Anda di halaman 1dari 10

GANGGUAN PENYESUAIAN DAN DEPRESI DI MASA PANDEMI COVID-19

Viola Romadhona Frionti

Pandemi Covid-19 menjadi topik global saat ini. Sudah terhitung hampir dua tahun
Indonesia berada dalam situasi pandemi Covid-19. Berawal pada bulan Desember 2019 kasus
pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Cina. Seiring berjalannya waktu, virus tersebut
menyebar hingga ke Indonesia yang ditemukan pada bulan Maret 2020 tepatnya di Kota Depok,
Jawa Barat. Coronavirus Disease 19 (Covid-19) adalah sebuah virus yang disinyalir berasal dari
hewan kemudian menular pada manusia. Virus ini dapat menular dari satu orang ke orang yang
lain melalui percikan batuk atau bersin. Orang yang paling berisiko terjangkit virus Covid-19
adalah orang yang melakukan kontak langsung dengan orang yang terinfeksi Covid-19. Adapun
gejala yang ditimbulkan antara lain demam, batuk kering, kelelahan, nyeri tenggorokan, diare,
sakit kepala, hingga hilangnya indera perasa dan penciuman.

Virus ini telah membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Di
setiap aktivitas, seseorang akan bertemu dengan orang lain yang tanpa diketahui sudah terjangkit
virus atau tempat-tempat yang sudah mengandung virus. Untuk itu, WHO dan Kementerian
Kesehatan mengeluarkan langkah untuk menekan penyebaran Covid-19 yang dikenal dengan
Gerakan 5M yaitu mencuci tangan secara teratur, memakai masker, menjaga jarak dengan orang
yang menunjukkan gejala batuk dan bersin, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
Akan tetapi, faktanya masih banyak masyarakat yang mengabaikan dan tidak menaati protokol
kesehatan. Di sinilah pentingnya kesadaran masyarakat agar kondisi pandemi cepat membaik.

Pemerintah memberlakukan kebijakan guna memutus rantai penyebaran Covid-19


dengan menerapkan social distancing. Social distancing menyebabkan pembatasan aktivitas pada
beberapa sektor kehidupan. Salah satu sektor yang mengalami pembatasan aktivitas adalah
sektor pendidikan. Sistem pembelajaran yang semula dilakukan secara langsung di kelas
dialihkan menjadi sistem pembelajaran daring (dalam jaringan) dari rumah. Hal ini menyebabkan
siswa mengeluhkan sulitnya belajar dari rumah seperti keterbatasan kuota data, pemahaman
materi yang kurang, dan banyaknya tugas yang diberikan oleh guru. Sistem pembelajaran daring
diterapkan di semua kalangan pendidikan mulai dari tingkat prasekolah, SD, SMP, SMA hingga
perguruan tinggi. Pra sekolah adalah tingkat pendidikan untuk anak usia dini yang sedang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan prasekolah mencakup Taman Kanak-
Kanak (TK)/ Raudatul Athfal (RA)/ Bustanul Athfal (BA), Kelompok Bermain (KB), Taman
Penitipan Anak (TPA), dan Satuan PAUD Sejenis (SPS) (Wulandari & Purwanta, 2020). TK
memiliki peran lebih besar daripada yang lainnya sebab TK adalah tingkatan terakhir prasekolah
sebelum memasuki Sekolah Dasar. Pencapaian perkembangan yang maksimal dapat
menumbuhkan kesiapan anak untuk ke jenjang SD serta dapat mencapai prestasi yang baik.
Dalam prosesnya, setiap pendidikan tidak lepas dari peran seorang guru. Guru memiliki tugas
dan kewajiban dalam membimbing dan mengajarkan murid supaya berkembang sesuai potensi
yang dimiliki. Di masa pandemi, tidak hanya kalangan siswa yang mengalami kesulitan dalam
belajar namun kalangan guru juga mempunyai masalah tersendiri dalam mengajar. Menurut
Winarti et al. (2020) masalah yang dialami guru pada pembelajaran daring adalah tidak
efektifnya proses penyampaian pembelajaran, penilaian, dan pengamatan melalui video.
Pembelajaran daring menyebabkan para guru harus menyesuaikan diri dengan teknologi yang
berkembang agar materi dapat tersampaikan dengan baik. Jika guru tidak bisa menyesuaikan diri,
maka akan mengakibatkan permasalahan-permasalahan psikologis.

Permasalahan penyesuaian diri guru tersebut saya temukan ketika saya melaksanakan
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Pada minggu awal PPL saya melakukan observasi dan
wawancara di lingkungan sekitar yaitu di Cibitung, Jawa Barat. Saya menemukan permasalahan
penyesuaian diri yang dialami oleh seorang guru TK. Subjek mengungkapkan bahwa selama
pandemi dirinya merasa cemas terhadap pembelajaran yang berubah, terlebih murid-murid TK
adalah anak usia dini yang perlu pembelajaran tatap muka secara langsung di kelas sehingga
perkembangan setiap murid dapat tercapai secara maksimal. Kondisi tersebut kurang dapat
tercapai apabila pembelajaran berlangsung secara daring. Selain itu, subjek merasa kondisi emosi
tidak stabil, mudah lelah, dan perilakunya menjadi lebih banyak diam. Rasa cemas itu muncul
sejak awal pandemi dan diberlakukannya pembelajaran daring. Kecemasan tersebut terkait
materi pembelajaran bisa dipahami oleh murid atau tidak, kemampuan diri subjek dalam
mengajar, dan perkembangan murid tersebut. Subjek juga menyampaikan bahwa sebagai guru
TK dituntut untuk memberikan perkembangan terhadap muridnya. Di sisi lain, subjek juga
kurang mampu menggunakan teknologi untuk pembelajaran dan pengajaran. Padahal,
penggunaan teknologi tersebut berperan penting dalam mendukung proses mengajar. Hambatan
penyesuaian diri dengan adanya pandemi yang menyebabkan perubahan belajar dan tuntutan
sebagai guru tersebut membuat subjek memiliki gangguan penyesuaian.

Gangguan penyesuaian (adjustment disorder) merupakan suatu diagnosis yang mengarah


pada individu yang mengalami peristiwa besar dalam hidupnya yang penuh tekanan dan
mengakibatkan individu tersebut mengalami kesusahan atau ketidakmampuan untuk
menghadapinya sehingga mengganggu fungsi sehari-hari (Bachem & Casey, 2018). ICD-10 dan
DSM-IV mendefinisikan gangguan penyesuaian sebagai keadaan sementara yang ditandai
dengan munculnya gejala yakni terganggunya fungsi seseorang akibat tekanan pada emosi dan
psikis, yang muncul sebagai bagian adaptasi terhadap perubahan hidup, peristiwa hidup yang
penuh tekanan dan penyakit fisik yang serius. Gangguan penyesuaian terkadang dianggap
sebagai “pengobatan masalah hidup” karena ada pemisahan yang tidak jelas antara kondisi dan
reaksi normal terhadap kondisi yang menekankan. Tetapi, sebagian besar penelitian telah
menunjukkan bahwa gangguan penyesuaian adalah kondisi kejiwaan yang berbeda.

Kriteria utama pada gangguan penyesuaian yakni adanya suatu perubahan penting dalam
kehidupan atau stresor yang menimbulkan situasi tidak nyaman yang berkelanjutan. Gejala akan
hilang apabila stresor dihilangkan atau tingkat adaptasi tercapai. Pada kasus yang dialami subjek,
stresor yang dialaminya yaitu pandemi Covid-19 dan perubahan proses pembelajaran menjadi
daring. Adanya pandemi Covid-19 dan pembelajaran daring membuat subjek mengalami tekanan
dan kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya sebagai guru TK. Terlebih murid-murid yang
diajar adalah anak usia dini yang sangat memerlukan proses pembelajaran secara langsung dan
intensif di kelas. Perkembangan murid mesti dipantau secara langsung oleh subjek. Dan pada
saat situasi berubah, subjek kesulitan beradaptasi dengan hal tersebut. Selama subjek menjadi
guru TK sejak tahun 2005, subjek belum pernah mengalami perubahan yang signifikan seperti
ini.

Secara umum, gejala-gejala yang ditimbulkan dari gangguan penyesuaian mencakup


gejala psikologis (seperti kecemasan, kekhawatiran, konsentrasi yang buruk, dan mudah marah),
gejala fisik (seperti jantung berdebar, pernapasan cepat, diare, tremor, mudah lelah), dan gejala
perilaku (dapat terdiri dari agresi, melukai diri sendiri dengan sengaja, penyalahgunaan alkohol,
menarik diri, masalah pekerjaan) (Carta et al., 2009). Gejala tersebut muncul secara bertahap
setelah peristiwa terjadi, biasanya dalam kurun waktu satu bulan dan jarang terjadi lebih dari
enam bulan. Individu yang mengalami gangguan penyesuaian akan mengalami kesulitan dalam
fungsi sosial dan pekerjaan. Semisal komunikasi atau hubungan interpersonal dengan orang lain
menjadi terganggu atau kesulitan berkonsentrasi dalam pekerjaan. Dalam gangguan penyesuaian,
terdapat subtipe yang didasarkan pada gejala dominan yang dialami individu. DSM-IV
mengelompokkan subtipe tersebut sebagai berikut:

1. Gangguan penyesuaian dengan mood


2. Gangguan penyesuaian dengan kecemasan
3. Gangguan penyesuaian dengan kecemasan campuran dan mood
4. Gangguan penyesuaian dengan perilaku
5. Gangguan penyesuaian dengan campuran emosi dan perilaku
6. Gangguan penyesuaian yang tidak ditentukan

Berdasarkan subtipe tersebut, saya mendiagnosis subjek termasuk pada gangguan


penyesuaian dengan kecemasan. Dalam satu kasus gangguan penyesuaian dengan kecemasan
masalah-masalah terlihat seperti; tingkat kecemasan yang tinggi, memandang rendah sumber
daya dirinya sendiri, penurunan prestasi, serta perilaku menghindar baik ketika berbicara di
depan umum atau interaksi personal (Gómez & Vindel, 2010). Gejala dominan yang dimiliki
subjek adalah kecemasan. Kecemasan terkait murid dapat menerima materi dengan baik atau
tidak selama pembelajaran daring, kecemasan terkait subjek mampu memenuhi kewajibannya
selama pembelajaran daring di masa pandemi atau tidak, dan kecemasan terkait subjek mampu
memberikan perkembangan terhadap murid selama pembelajaran daring atau tidak. Kecemasan
mendominasi subjek sehingga berdampak pada fisik maupun perilaku sehari-hari. Perilaku yang
terlihat dari subjek yaitu menarik diri. Dalam hal ini subjek menjadi lebih sering diam. Setelah
menetapkan diagnosis, saya membaca jurnal sebagai referensi untuk memilih jenis psikoterapi
yang tepat untuk diberikan pada subjek. Menurut Casey (2009), gangguan penyesuaian dapat
dilakukan dengan terapi kelompok, terapi kognitif-perilaku, terapi keluarga, dan terapi suportif-
dinamis. Kemudian, saya memilih terapi kognitif-perilaku untuk mengatasi gangguan
penyesuaian dengan kecemasan.

Menurut Beck (Muqodas, 2011), terapi kognitif-perilaku (cognitive behavior therapy)


merupakan pendekatan konseling dan psikoterapi yang berfokus pada mengubah pemikiran serta
keyakinan yang irasional dan perilaku yang mengganggu atau menyimpang ke arah yang lebih
positif dan rasional. Pikiran, perilaku, serta perasaan yang negatif akan menyebabkan individu
mengalami permasalahan psikologis yang serius seperti depresi, trauma, dan kecemasan. Terapi
kognitif-perilaku atau CBT didasarkan pada mengubah cara berpikir, merasa, dan bertindak
sehingga diharapkan dapat pula mengubah perilakunya dari negatif dan irasional menjadi positif
dan rasional. Adapun tujuan dari terapi CBT adalah menentang pikiran dan keyakinan yang salah
dengan pernyataan-pernyataan yang rasional. Proses terapi tersebut saya lakukan dalam tiga sesi
atau pertemuan.

Terapi pertama dilakukan pada hari Senin (6/9) pada pagi hari. Terapi dilakukan dengan
beberapa tahapan yaitu: 1) Pembukaan dan mengisi informed consent, 2) Memperkenalkan terapi
CBT secara singkat pada klien, 3) Menentukan tujuan terapi, 4) Identifikasi pikiran dan
keyakinan yang irasional, 5) Menentang pikiran yang irasional 6) Menganalisis perilaku, 7)
Relaksasi, dan 8) Mengakhiri terapi. Pembukaan dilakukan dengan menyapa subjek dan
menanyakan kabar lalu dilanjut dengan mengisi informed consent oleh subjek. Tak lupa saya
bertanya mengenai perasaan subjek di hari tersebut. Subjek bercerita yang ia rasakan dalam
kondisi cemas dan khawatir. Kemudian, ketika dirasa cukup, saya mengenalkan terapi CBT
kepada subjek bahwa terapi ini berfokus pada mengubah pikiran cemas yang dirasakan subjek
menjadi pemikiran yang lebih positif. Adapun tujuan terapi yaitu belajar dan mempraktikkan
strategi pemecahan masalah untuk mengelola pikiran yang cemas. Lalu, dilanjut dengan
pemberian terapi dengan mengidentifikasi pikiran subjek yang cemas.

Subjek mengungkapkan bahwa pikiran cemas tersebut terdiri dari: merasa khawatir jika
materi pembelajaran tidak sampai pada anak-anak yang belajar di rumah, tidak mampu mengajar
di situasi daring, dan merasa tidak bisa memberikan perkembangan pada muridnya karena tidak
bisa tatap muka secara langsung. Langkah selanjutnya, yaitu menentang pikiran irasional dan
perasaan cemas tersebut. Subjek diberi arahan bahwasanya dengan pengalaman mengajar selama
15 tahun, menjadi modalitas berharga untuk mengajar di situasi yang baru seperti ini, dan juga
menanamkan pemikiran dalam dirinya bahwa peristiwa yang dicemaskan tersebut belum tentu
terjadi. Saya mencoba untuk mendorong subjek mengidentifikasi pikiran rasional untuk
merekonstruksi pikirannya yang irasional tersebut. Selain itu, saya menggali kegiatan yang
disukai subjek dan menyarankan untuk melakukannya dalam beberapa hari ke depan. Terapi
diakhiri dengan relaksasi.
Terapi kedua dilakukan pada hari Kamis (9/9), rangkaian proses yang dilakukan sama
seperti terapi pertama. Pada pertemuan kedua subjek mengungkapkan perasaannya kalau ia
merasa sedikit lebih baik dari pertemuan pertama, ia perlahan-lahan mulai menerapkan pikiran
positif dan rasional, seperti yakin akan kemampuan diri sendiri dan meyakinkan bahwa peristiwa
yang dicemaskan itu belum tentu terjadi. Selain itu, subjek melakukan yang saya sarankan di
pertemuan sebelumnya yakni melakukan kegiatan yang disukai untuk mengalihkan perilakunya
yang lebih sering diam. Kegiatan yang disukai subjek adalah memasak. Memasak membuatnya
sedikit mengalihkan pikiran dan perilakunya. Saya juga memberi pertanyaan kepada subjek
terkait dampak apabila subjek terus menerus cemas. Subjek menjawab dengan baik bahwasanya
jika ia terus menerus berada dalam kecemasan maka akan mempersulit rutinitasnya sehari-hari
dan menimbulkan masalah baru. Selain mengajar TK, subjek merupakan seorang ibu rumah
tangga dan memiliki dua anak. Subjek harus mengurus suami dan kedua anaknya sebagai ibu
sekaligus menjadi guru TK..

Selama mengajar daring, ia harus mencari materi baru di setiap pertemuan dan harus
kreatif dalam memberi materi dalam bentuk video yang nantinya akan dipelajari oleh murid di
rumah. Pendampingan hanya bisa dipantau oleh orang tua mereka masing-masing di rumah.
Adapun percobaan pembelajaran lain selama pandemi yaitu home visit, proses belajar dilakukan
dengan guru mengunjungi rumah murid satu persatu. Namun, pelaksanaannya hanya satu
minggu sekali. Pada terapi kedua, saya tetap memberi arahan untuk menentang pikiran cemasnya
dan menyarankannya mulai menerapkan secara mandiri. Saya menjelaskan bahwa pembuatan
video dan penggunaan teknologi dalam mengajar daring bisa dipelajari, sehingga kecemasan
terhadapnya bisa ditekan.

Terapi berlanjut pada sesi ketiga yang dilakukan di hari Senin (13/9) pada pagi hari. Di
terapi ketiga ini subjek bercerita perasaannya jauh lebih membaik dari sebelumnya. Subjek sudah
bisa menerapkan pemikiran yang positif dan melakukannya secara mandiri di rumah sesuai
arahan. Aktivitas memasak tetap dilakukannya sampai saat ini dan subjek menambah aktivitas
lain dengan mengobrol bersama teman-teman guru lainnya. Di samping itu, subjek berusaha
membangun komunikasi dengan orang tua murid untuk memantau perkembangan anak-anak
mereka di rumah. Perbincangan dengan guru lain dilakukannya dengan tujuan bertukar pikiran
mengenai pengalaman mengajar daring. Teman-teman guru cukup suportif menanggapi subjek.
Keseluruhan proses terapi berjalan dengan baik. Subjek cukup memahami dan kooperatif
dalam melaksanakan serangkaian tahapan terapi. Kecemasan yang dialami didasarkan pada
peristiwa yang baru saja terjadi, yaitu pandemi Covid-19, yang menyebabkan pembelajaran jarak
jauh atau daring. Tidak bisa dimungkiri, pandemi Covid-19 sangat rentan dengan permasalahan
mental yang dialami sebagian masyarakat, dalam hal ini subjek yang berprofesi sebagai guru TK.
Subjek sebagai tenaga pengajar anak usia dini mengalami permasalahan psikologis, yakni
gangguan penyesuaian dengan kecemasan. Perasaan cemas yang hadir dalam pikirannya tersebut
mendominasi gejala-gejala psikologis lainnya dari diagnosis gangguan penyesuaian dengan
kecemasan. Setelah diberikan terapi berupa terapi kognitif perilaku, subjek merasa lega,
kecemasannya berkurang, serta perilakunya membaik. Subjek mengungkapkan proses terapi
seperti ini baru pertama kali ia dapatkan. Perilakunya yang lebih banyak diam perlahan mulai
membaik dengan melakukan aktivitas yang ia suka.

Bentuk kegiatan PPL saya yang kedua yaitu psikoedukasi. Psikoedukasi adalah salah satu
intervensi psikologis yang dilakukan pada individu, keluarga, maupun kelompok yang berfokus
pada memberi pengetahuan tentang kesehatan mental serta bagaimana cara menghadapinya
(Sahrani & Hastuti, 2018). Psikoedukasi dilaksanakan pada hari Jum’at (10/9) di sore hari.
Psikoedukasi dilakukan kepada sekelompok mahasiswa yang terdiri dari lima orang. Adapun
tema yang diangkat yaitu depresi. Menurut Dirgayunita (2016) depresi merupakan gangguan
emosional atau suasana hati yang buruk dengan indikasi; rasa sedih mendalam dan
berkepanjangan, putus asa, perasaan bersalah dan tidak berguna yang dapat mempengaruhi
kehidupan sehari-hari maupun hubungan interpersonal. Belum lama ini, terjadi kasus mahasiswa
yang mencoba melakukan bunuh diri di Malang akibat masalah perkuliahan. Kasus tersebut
didasari oleh tekanan-tekanan akademik yang banyak ditambah faktor lainnya juga. Kalangan
mahasiswa terutama mahasiswa tingkat akhir sangat rentan dengan gangguan kesehatan mental.
Oleh karena itu, tema ini dirasa perlu untuk dijadikan topik dalam psikoedukasi. Proses
psikoedukasi dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu: 1) Pembukaan, 2) Pengisian prates
(pretest), 3) Psikoedukasi, 4) Pengisian pascates (posttest), 5) Diskusi, 6) Salam dan penutup.

Prates dan pascates disajikan dalam bentuk Google Form dengan beberapa pertanyaan
dasar, seperti pengetahuan tentang depresi, gejalanya, dan penanganannya. Prates dan pascates
tersebut bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan tingkat pemahaman para subjek
psikoedukasi antara sebelum dan sesudah diberikan psikoedukasi. Berdasarkan hasil prates dan
pascates, psikoedukasi yang diberikan pada kelompok mahasiswa dapat memberikan pengaruh
yang signifikan. Hal ini terlihat pada kenaikan angka atau skor pemahaman dari 3 menjadi 5.
Selain itu, materi diberikan dalam bentuk slide power point agar memudahkan peserta dalam
membaca. Kemudian, pada saat diskusi, mahasiswa aktif dan antusias bertanya mengenai topik
psikoedukasi.

Psikoterapi dan psikoedukasi yang telah dilaksanakan diharapkan dapat membantu


masyarakat dalam mengetahui dan menangani berbagai kondisi kesehatan mental. Dari proses
psikoterapi, dapat dipetik pelajaran bahwasanya sesuatu perubahan yang terjadi dalam hidup
dapat memicu gangguan psikologis dan jika kita tidak peka maka akan berpotensi menjadi lebih
buruk. Oleh sebab itu, kepekaan dan rasa peduli sangat penting terutama terhadap diri sendiri dan
juga lingkungan sekitar. Dalam psikoedukasi, dapat diketahui masih banyak diantara kita
khususnya mahasiswa yang belum memahami adanya gangguan depresi beserta gejalanya.
Seringkali gejala yang mengarah pada gangguan depresi dianggap sebagai stres biasa, begitu
juga sebaliknya stres biasa dianggap gangguan depresi. Padahal, keduanya adalah kondisi
psikologis yang berbeda. Melalui psikoedukasi, diharapkan mahasiswa dapat memiliki gambaran
tentang depresi dan mengantisipasi jika ada orang sekitar yang memiliki ciri-ciri mengarah pada
gangguan depresi. Semoga masyarakat semakin banyak lagi yang aware dan peduli akan
kesehatan mental di samping kesehatan fisik.

DAFTAR PUSTAKA

Bachem, R., & Casey, P. (2018). Adjustment disorder: A diagnosis whose time has come.
Journal of Affective Disorders, 227, 243–253. https://doi.org/10.1016/j.jad.2017.10.034

Carta, M. G., Balestrieri, M., Murru, A., & Hardoy, M. C. (2009). Clinical Practice and
Epidemiology Adjustment Disorder : epidemiology , diagnosis and treatment. Clinical
Practice and Epidemiology in Mental Health, 15, 1–15. https://doi.org/10.1186/1745-0179-
5-15

Casey, P. (2009). Adjustment Disorder Epidemiology , Diagnosis and Treatment. CNS Drugs,
23(11), 927–938.
Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, Penyebab dan Penangannya. Journal An-Nafs: Kajian
Penelitian Psikologi, 1(1), 1–14. https://doi.org/10.33367/psi.v1i1.235

Gómez, V., & Vindel, A. (2010). Adjustment disorder with anxiety. Assessment, treatment and
follow up: a case report. Annuary of Clinical and Health Psychology, 6, 51–56.
http://institucional.us.es/apcs/doc/APCS_6_eng.pdf#page=51

Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5
(Cetakan 2). Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta.

Muqodas, I. (2011). Cognitive-Behavior Therapy : Solusi Pendekatan Praktek Konseling di


Indonesia. Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling, 1–22.

Sahrani, R., & Hastuti, R. (2018). Psikoedukasi Siswa Mengenai Quality of School Life.
CARADDE: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 1–6.
https://doi.org/10.31960/caradde.v1i1.2

Winarti, S., Taib, B., Alhadad, B., & Achmad, F. (2020). Analisis Dampak Covid-19 Dalam
Proses Pembelajaran Daring Pada Kelas B4 Di Paud Telkom Ternate. Pendidikan Guru
Anak Usia Dini, 3(4), 150–159.
http://ejournal.unkhair.ac.id/index.php/cahayapd/article/view/3140/2086

Wulandari, H., & Purwanta, E. (2020). Pencapaian Perkembangan Anak Usia Dini di Taman
Kanak-kanak selama Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Obsesi :
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 452. https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.626

BIODATA PENULIS

Viola Romadhona Frionti atau akrab disapa Vio lahir pada tanggal 12
Desember 1999. Lahir dan besar di Bekasi yang dikenal dengan sebutan
“kota industri”. Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Senang
berbincang dengan teman-teman maupun orang yang baru dikenal. Selain
itu, ia juga menyukai sebuah bidang yaitu bahasa inggris dan sedang
mengasah kemampuan dalam bidang tersebut melalui film, musik, dan kursus. Saat ini masih
aktif sebagai mahasiswi program studi Tasawuf dan Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah, UIN Raden Mas Said Surakarta. Bisa berteman lebih jauh atau sekedar menyapa pada
email violaromadhona99@gmail.com atau instagram @viorf.

Anda mungkin juga menyukai