Anda di halaman 1dari 36

PROPOSAL KEGIATAN PENDIDIKAN DAN PROMOSI KESEHATAN

MASTERPIECE
Manajemen Stress pada Pembelajaran Daring di Era Pandemi Covid-19

KELOMPOK 2 TUTORIAL 2

Faiz Zahran Alfairuz (220110190015)


Shafa Salsabila (220110190017)
Ima Rismawati (220110190018)
Qoori Salmaa Luthfiyyah (220110190019)
Amellia Agustin (220110190021)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

a.  Kajian Teoritis

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia saat ini menyebabkan banyak
permasalahan yang sulit untuk ditangani oleh masyarakat. Pandemi Covid-19
adalah krisis kesehatan yang pertama dan utama di dunia saat ini, banyak Negara
memutuskan untuk menutup sekolah, perguruan tinggi dan Universitas (Purwanto
Dkk, 2020). World Health Organization (WHO) (2020) mencatat pada 2 maret
2020 sebanyak 90.308 terinfeksi Covid-19 dan diperkirakan akan semakin
bertambah. Semakin cepat penyebaran covid-19 mengakibatkan banyak Negara-
negara di dunia melakukan lockdown agar memutus rantai penyebaran Covid-19.
Data pada tanggal 15 Mei 2020 di Indonesia didapatkan 16.496 terkonfirmasi
Covid19 dengan kasus baru sebanyak 490 orang, 11.617 orang dalam perawatan,
3.803 dinyatakan sembuh dan 1.076 meninggal, sedangkan orang dalam
pemantauan (ODP) sebanyak 262.919 dan pasien dalam pengawasan (PDP)
sebanyak 34.360 orang (Gugus Covid, 2020).

Kondisi yang terjadi saat ini memberikan dampak terhadap berbagai sektor
seperti ekonomi dan sosial, untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Indonesia
sendiri sudah mulai menetapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hal
tersebut tertera didalam Permenkes No. 9 Tahun 2020. PSBB sendiri meliputi
pembatasan kegiatan penduduk dalam satu wilayah, termasuk pembatasan
terhadap pergerakan orang atau barang untuk satu provinsi atau kabupaten kota
untuk mencegah penyebaran covid-19.

Kemendikbud mengeluarkan surat edaran instruksi kepada seluruh universitas


yang ada di Indonesia untuk melakukan perkuliahan jarak jauh (daring) secara
online. Kuliah daring atau yang biasa disebut dengan sebutan kuliah online adalah
proses belajar mengajar berbasis internet yang dilakukan oleh mahasiswa, maupun
dosen, dimana peserta dapat mengakses materi, saling berinteraksi, mendiskusikan
materi, dan mengembangkan diri lewat pengalaman belajar berbasis online
(Universitas Indonesia,2020). Tujuan Program Kuliah Daring Indonesia Terbuka
dan Terpadu menurut Kemendikbud (2014), yaitu : (1) Meningkatkan kualitas dan
relevansi layanan pendidikan, (2) Meningkatkan kepastian mendapat layanan
pendidikan yang baik, (3) Meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan, (4)
Meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan, (5) Meningkatkan kesamaan
dalam mendapatkan layanan pendidikan yang baik. Dalam proses pelaksanaannya,
perkuliahan daring menimbulkan beberapa masalah. Banyak mahasiswa yang
mengeluh karena kuliah berbasis online membuat mereka kurang paham akan
materi-materi perkuliahan yang disampaikan, dan pemberian tugas yang
jumlahnya lebih banyak dibandingkan kuliah seperti biasa. Oleh karena itu, tidak
sedikit mahasiswa mengalami stres dikarenakan sistem perkuliahan daring ini.
Stres adalah suatu kondisi respon fisik, emosi, kognitif, dan perilaku terhadap
suatu peristiwa yang dinilai mengancam atau menantang individu tersebut
(Ciccarelli,2014). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), stres ialah
kekacauan atau gangguan mental dan emosional yang diakibatkan oleh faktor
luar; ketegangan. Respon stres pada setiap orang berbeda-beda. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2017) respon stres dapat berupa perilaku
menghindari tugas,menarik diri, sulit tidur, tidur terus, dan sulit makan. Secara
fisiologis respon stres dapat berupa jantung berdebar, tekanan darah tinggi, panas,
keringat dingin, pusing, sakit perut, cepat lelah. Sedangkan pada aspek psikologis,
stres dapat berbentuk frustasi, depresi, kecewa, merasa bersalah, bingung, takut,
tidak berdaya, cemas, tidak termotivasi, dan gelisah (Wahyuni, 2017).

Ketidaksesuaian antara tuntutan dan kemampuan akan menghasilkan suatu


permasalah seperti stress, dan masalah yang sering terjadi di lingkungan
pendidikan adalah stress belajar. Menurut Looker dan Gregson (2005) stres
belajar merupakan suatu keadaan individu yang mengalami tekanan hasil persepsi
dan penilaian tentang stressor akademik, yang berhubungan dengan belajar di
lingkungan sekolahnya dan mahasiswa cenderung akan mengalami stres belajar.
Menurut Hawari (2011) bentuk dari stres di lingkungan pendidikan adalah merasa
takut menghadapi ujian, merasa tidak percaya diri dalam tindakannya, merasa
tidak mampu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, kecewa, dan merasa
gurunya tidak adil. Wlodkowski (2004) menyatakan jika seorang mahasiswa ingin
mencapai kesuksesan dibandingkan dengan pencapaiannya saat ini, kuncinya
adalah jangan pernah berhenti belajar. Stres yang terjadi pada setiap individu akan
memiliki perbedaan, dimana hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
fungsi fisiologis, kepribadian, karakteristik perilaku, dan karakteristik stressor
yang dialami dimana mencakup durasi, intensitas, jumlah, cakupan, dan sifat
stressor itu sendiri. Menurut Gadzella (2001) terdapat lima kategori stressor yang
akan dialami mahasiswa yaitu tekanan, frustasi, konflik, perubahan-perubahan dan
keinginan diri. Adanya motivasi belajar yang tinggi membuat mahasiswa belajar
dengan tekun, yang pada akhirnya akan terwujud dalam prestasi akademik. Perlu
ditanamkan pada diri mahasiswa bahwa dengan belajar akan mendapatkan
pengetahuan yang baik, dan mahasiswa akan mempunyai bekal menjalani
kehidupannya di kemudian hari. Hal yang mempengaruhi motivasi belajar
mahasiswa dapat berasal dari dirinya sendiri, lingkungan sekolah maupun dari
lingkungan keluarga. Mahasiswa yang tidak memiliki motivasi belajar akan dapat
menyebabkan prestasi belajarnya menurun (Hakim, 2001).

b.  Kajian Empiris Hasil Penelitian Terdahulu

Adapun yang menjadi landasan penelitian terdahulu dalam proposal ini


adalah sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan di bawah ini, yakni :

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indah Novitasari, Sahuri


Teguh Kurniawan, Maria Wisnu Kanita di Universitas Kusuma Husada Surakarta
selama Study From Home (SFH) di masa pandemi Covid-19 didapatkan bahwa
tingkat stress responden mahasiswa Profesi Ners angkatan XI selama study from
home (SHF) di masa pandemi Covid-19 mayoritas mahasiswa tidak mengalami
stress / normal sebanyak 60 responden (48.4%) dengan nilai interval kepercayaan
95% didapatkan nilai minimum 39,6% dan maksimum 57,2%, stress ringan
sebanyak 50 responden (40.3%) dengan nilai interval kepercayaan 95%
didapatkan nilai minimum 31,5% dan maksimum 49,1%, stress sedang sebanyak
6 mahasiswa (4,8%) dengan nilai interval kepercayaan 95% didapatkan nilai
minimum 0,9% dan nilai maksimum 8,7%, serta stress berat sebanyak 8
mahasiswa (6,5%) dengan interval kepercayaan 95% didapatkan nilai minimum
2,2% dan nilai maksimum 10,8%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat stress
mahasiswa dengan kategori normal, stress ringan, stress sedang dan stress berat
masuk dalam interval kepercayaan 95%.

Kemudian berdasarkan artikel penelitian lain yang dilakukan oleh Livana PH,
Mohammad Fatkhul Mubin, Yazid Basthomi yang melibatkan 1.129 mahasiswa
semua jurusan di 22 dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia didapatkan hasil
Mayoritas mahasiswa Indonesia yang mengalami stres berusia 21 tahun dan
berjenis kelamin perempuan. Mayoritas penyebab stres mahasiswa Indonesia
selama pandemi Covid-19 adalah tugas pembelajaran, seperti yang tersaji pada
tabel dibawah ini

Faktor penyebab Hasil


(responden)

Tugas pembelajaran 795

Bosan dirumah saja 654

Proses pembelajaran daring/online yang mulai 631


membosankan

Tidak dapat bertemu dengan orang-orang yang 455


disayangi

Tidak dapat mengikuti pembelajaran daring/ online 423


karena kuota internet yang terbatas
Tidak dapat melaksanakan hobi seperti biasanya 405

Berdasarkan artikel penelitian lainnya yang dilakukan oleh Uswatun


Hasanah, Ludiana, Immawati, Livana PH yang melibatkan 190 mahasiswa pada
bulan Mei 2020 pada mahasiswa Akper Dharma Wacana menunjukkan terdapat
beberapa mahasiswa yang mengalami stres ringan, yaitu 23 mahasiswa (12,11%)
akibat pembelajaran daring. Stres dapat terjadi akibat beberapa hal, diantaranya
banyaknya materi pelajaran yang harus dipelajari, kurangnya feedback yang
diberikan dosen, kualitas dosen yang mengajar, serta banyaknya tugas yang
diberikan dosen (Yusof MS, Rahim AF, 2010).

1.2 Permasalahan yang ditemukan

Hingga saat ini dunia masih belum lekas sembuh dari paparan virus baru
yang disebut virus corona yang dapat menyebabkan suatu penyakit yang disebut
COVID-19. Virus yang muncul sejak 2019 ini awalnya berasal dari kota Wuhan,
Tiongkok dan akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia, salah satunya
Indonesia. Virus corona ini mulai muncul di Indonesia sejak awal tahun 2020.
Hingga saat ini kasus positif COVID-19 di Indonesia sudah mencapai angka 441
rb. Dengan kondisi yang terjadi saat ini, tentu sangat berdampak terhadap
berbagai sektor, salah satunya sektor pendidikan.

Di dalam sektor pendidikan sendiri, terjadi berbagai perubahan akibat


kondisi yang terjadi, terutama perubahan dalam metode pembelajaran. Dalam
upaya untuk memutus rantai penyebaran virus dan menjaga keamanan serta
keselamatan para peserta didik dan tenaga pendidik, pada tanggal 24 maret 2020
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam
Masa Darurat Penyebaran COVID-19. Dalam Surat Edaran tersebut dijelaskan
bahwa proses belajar mengajar dilaksanakan di rumah melalui pembelajaran
daring/jarak jauh. Akhirnya hingga saat ini kegiatan pembelajaran baik pada
tingkat SD, SMP, SMA, maupun perkuliahan dilakukan dalam sistem online.

Pembelajaran daring ini tidak hanya memiliki dampak positif saja, namun
memiliki dampak negatif juga. Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas,
menunjukkan bahwa pembelajaran daring ini menyebabkan mahasiswa
mengalami stres. Penyebab stres dalam pembelajaran daring menurut beberapa
analisis penelitian diantaranya tugas dan pemahaman materi pembelajaran sulit
dipahami, perasaan bosan kerap muncul karena di rumah saja dan proses
pembelajaran daring yang membosankan, mahasiswa tidak dapat mengaplikasikan
hasil pembelajaran, ketersediaan sarana penunjang kurang dan keterbatasan kuota
internet, dan mahasiswa tidak dapat menjalankan hobi seperti biasanya. Stres ini
berpengaruh terhadap proses pembelajaran salah satunya membuat mahasiswa
menjadi sulit untuk berkonsentrasi saat menjalankan proses pembelajaran.
Sehingga kami akan mengadakan promosi kesehatan yang berjudul “Manajemen
Stres pada Pembelajaran Daring di Era Pandemi Covid-19”.

1.3 Tujuan Kegiatan Pendidikan dan Promosi Kesehatan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari


kegiatan pendidikan dan promosi kesehatan mengenai manajemen stress pada
pembelajaran daring di era pandemi Covid-19.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari kegiatan Pendidikan dan Promosi Kesehatan mengenai


manajemen stress pada pembelajaran daring di era pandemi Covid-19 yaitu agar
mahasiswa dapat mengetahui pengaruh dari pembelajaran  secara daring yang
menyebabkan stres. 

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mahasiswa dapat mengetahui penyebab stress pada pembelajaran daring di


era pandemi Covid-19.
2. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara mencegah terjadinya stress
pada pembelajaran daring di era pandemi Covid-19. 
3. Mahasiswa dapat mengelola stress agar tidak menimbulkan dampak yang
buruk terhadap dirinya sendiri. 

1.4 Ruang Lingkup

Kegiatan pendidikan dan promosi kesehatan mengenai manajemen stress


pada pembelajaran daring di era pandemi Covid-19 ini ditujukan kepada
mahasiswa di wilayah Jawa Barat. Sesuai dengan permasalahan di masa pandemi
ini, adanya kebijakan belajar secara daring merupakan salah satu kebijakan
pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Disisi lain
kebijakan tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap mahasiswa yaitu
mengalami stress dalam proses pembelajaran secara daring. oleh karena itu
diperlukan pendidikan dan promosi kesehatan mengenai manajemen stress di
masa pandemi Covid-19. Agar pendidikan dan promosi lebih terarah maka ada
batasan topik yang akan dibahas yaitu :

1. Penyebab stress pada mahasiswa dalam proses pembelajaran daring di


masa pandemi Covid-19.
2. Solusi yang dapat dilakukan dalam upaya mengurangi stress pada
mahasiswa dalam proses pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


2.1.1 Stress
2.1.1.1 Definisi Stres

Menurut (Potter & Perry, 2005), Stres membuat seseorang yang


mengalaminya berpikir dan berusaha keras dalam menyelesaikan suatu
permasalahan atau tantangan dalam hidup sebagai bentuk respon adaptasi untuk
tetap bertahan.
Menurut Cannon yang merupakan peneliti pertama yang mengembangkan
konsep stres yang dikenal dengan “fight-or-flight response” pada tahun 1914,
menyatakan bahwa stres adalah sebagai gangguan homeostasis yang
menyebabkan perubahan pada keseimbangan fisiologis yang dihasilkan dari
adanya rangsangan terhadap fisik maupun psikologis.
Definisi lain stres menurut Luthans (2011:8) stres adalah suatu tanggapan
dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses
psikologi, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa
yang telah banyak mengadakan tuntutan psikologi dan fisik seseorang.

2.1.1.2 Penyebab stress

Stres terjadi jika adanya stresor. Stressor adalah hal yang menyebabkan
terjadinya stres pada individu. Penyebab stres atau stressor dapat dikelompokkan
menjadi :

a. Stressor Eksternal
Stressor yang berasal dari luar diri individu, seperti perubahan pada
suhu atau temperatur lingkungan sekitar individu, perubahan dalam peran
keluarga atau sosial individu, atau tekanan yang diberikan oleh pasangan
dari individu.
b. Stressor Internal
Stressor yang berasal dari dalam diri individu. Biasanya
berhubungan dengan fungsi fisiologis tubuh suatu individu, seperti
demam, kondisi tertentu, seperti kehamilan atau menopause, atau suatu
keadaan emosi seperti rasa bersalah.
c. Stressor perkembangan
Stressor yang terjadi pada waktu yang dapat diprediksi pada
suatu kehidupan seseorang, seperti yang nampak pada tabel di bawah ini:

Tahapan Perkembangan Stresor

Anak ·         Awal masuk sekolah


·         Membangun hubungan dengan teman
·         Persaingan sesama teman

Remaja ·         Mengubah fisik


·         Hubungan daya tarik antar lawan jenis
·         Menjelajahi kemandirian
·         Memilih karir

Dewasa awal ·         Pernikahan


·         Meninggalkan rumah/merantau
·         Pengelolaan rumah
·         Memulai pekerjaan
·         Melanjutkan pendidikan
·         Anak-anak
 

Dewasa ·         Perubahan fisik akibat penuaan


·         Mempertahankan status sosial dan
standar hidup
·         Membantu anak dari remaja menjadi
mandiri
·         Orang tua yang menua

Dewasa akhir ·         Penurunan kesehatan dan kemampuan


fisik
·         Perubahan tempat tinggal
·         Pensiun dan pendapatan berkurang
·         Kematian pasangan dan teman

d. Stressor situasional
Stressor yang tidak dapat diprediksi dan dapat terjadi kapan saja
selama hidup. Stressor situasional mungkin positif atau negatif. Contoh
stressor situasional, diantaranya Kematian salah satu anggota keluarga,
pernikahan atau perceraian, kelahiran seorang anak, pekerjaan baru,
penyakit.

2.1.1.3 Gejala-gejala Stres Akademik


Individu yang mengalami stres akan menunjukkan gejala emosional dan
fisik (Hernawati, N. 2006;Inayatillah, V. 2015). Lebih lanjut dijelaskan sebagai
berikut.
1. Gejala emosional
Siswa yang mengalami stres akademik secara emosional ditandai
dengan: gelisah atau cemas, sedih atau depresi karena tuntutan akademik,
dan merasa harga dirinya menurun atau merasa tidak mampu untuk
melaksanakan tuntutan dari pendidikan atau akademik.
2. Gejala fisik
Siswa yang mengalami stres akademik secara fisik ditandai
dengan: sakit kepala, pusing, tidur tidak teratur, susah tidur, sakit
punggung, mencret, lelah atau kehilangan energi untuk belajar. Menurut
(Simbolon, I. 2015; Fahmi, F. 2011) gejala stres terdiri atas fisik, emosi,
dan ditambah dengan perilaku, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
Gejala yang termasuk kategori fisik yaitu: sakit kepala, jantung
berdebar-debar, perubahan pola makan lemah atau lemas, sering buang
air kecil, dan sulit menelan.
Gejala emosi antara lain: depresi, cepat marah, murung, cemas,
khawatir, mudah menangis, gelisah terhadap hal-hal yang kecil, panik,
dan berperilaku impulsif.
Gejala perilaku seperti: dahi berkerut, tindakan agresif,
kecenderungan menyendiri, ceroboh, menyalahkan orang lain, melamun,
gelak tawa gelisah bernada tinggi, berjalan mondar-mandir, dan perilaku
sosial yang berubah.

2.1.1.4 Fisiologis Stress


Stres juga dapat terlihat dari indikasi fisiologis yang salah satunya adalah
stres dapat mengakibatkan berbagai bentuk keluhan pada otot dan tulang
(muskuloskeletal) (Tarwaka, 2010) keluhan muskuloskeletal ini dapat terjadi
sementara dan biasanya akan segera hilang ketika pembebanan dihentikan. Ketika
keluhan terus terjadi meskipun beban kerja dihentikan artinya individu
mengalami keluhan muskuloskeletal menetap.Bagian tubuh yang paling
banyak dirasakan keluhannya adalah bagian pantat, pinggang, punggung,
pergelangan tangan, siku-siku dan leher. Keluhan pada pantat dikarenakanpada
posisi duduk memang bagian ini berfungsi sebagai penopang tubuh dan
mengalami tekanan akibat berat tubuh. Sementara pinggang dan punggung
berfungsi menahan tubuh menjadi tegak dan menyanggah sebagian berat
badan.Keluhan pada pinggang dan punggung muncul akibat postur kerja
yang tidak ergonomis seperti melakukan kegiatan membungkuk dikarenakan
individu misalnya melakukan aktivitas menulis atau mengetik menggunakan
laptop dalam waktu yang cukup lama. Begitu pula bagian leher dirasakan
paling sering mengalami keluhan muskuloskeletal dikarenakan individu
sering menundukkan kepalanya selama proses bekerja dalam posisi duduk
dalam durasi yang cukup lama.
Postur tubuh yang tidak seimbang dan berlangsung lama dalam jangka
waktu yang lama akan mengakibatkan stres postural pada bagian tubuh tertentu
dan kurangnya istirahat pada bagian tubuh tertentu (Pheasant, 2003). Keluhan
pada muskuleskeletal yang dirasakan individu memang diakibatkan aktivitas fisik
namun demikian beberapa riset juga menyebutkan bahwa keadaan stres dapat
memicu terjadinya low back pain (nyeri ringan di bagian punggung) seperti riset
yang dilakukan oleh Reene Shibukawa yang menyebutkan bahwa karyawan
dengan stres kerja memiliki resiko untuk mengalami low back pain sejumlah 4.93
lebih besar dibandingkan karyawan yang tidak mengalami stres kerja (Dalam
Wijaya, Darwita, & Bahar, 2011)
Indikasi fisiologis lainnya dari gangguan mental stres adalah membuat
individu sering merasakan sakit dan nyeri kepala. Sebuah riset yang dilakukan
oleh Tandaju (2016) menjelaskan bahwa keluhan nyeri kepala primer. Lebih
lanjut studi ini menunjukkan bahwa stres memicu 84% dari kasus nyeri
kepala.Terkait indikasi fisiologis stres dengan nyeri sakit kepala beberapa literasi
menyebutkan bahwa faktor pencetusnya adalah karena permasalahan atau
gangguan istirahat dan tidur. Selanjutnya gangguan tidur pada studi literatur ini
akan dikelompokkan pada indikasi stres perilaku, karena stres dapat mengubah
perilaku seseorang. Sebagaimana Arora (2008) menyebutkan gejala perilaku
orang stres diantaranya adalah kurang tidur atau akan tidur berlebihan,
kehilangan nafsu makan atau akan makan berlebihan dan sering merokok.

2.1.1.1 Coping Stres


A. Definisi Coping Stres
Coping merupakan suatu proses yang dilakukan setiap waktu dalam
lingkungan keluarga, lingkungan kerja, sekolah maupun masyarakat. Coping
digunakan seseorang untuk mengatasi stress dan hambatan–hambatan yang
dialami.
Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2002 ; 112), coping behavior diartikan
sebagai sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi
dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas
atau masalah).
Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino ; 1997) mengartikan coping adalah
suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi
antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam
memenuhi tuntutan tersebut.
Sedangkan (dalam Smet 1994 ; 143) Lazarus dan Folkman
mendefinisikan coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk
mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan, baik itu tuntutan yang
berasal dari individu maupun yang berasal dari lingkungan dengan sumber-
sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi stress.
Rasmun mengatakan bahwa coping adalah dimana seseorang yang
mengalami stres atau ketegangan psikologis dalam menghadapi masalah
kehidupan sehari-hari yang memerlukan kemampuan pribadi maupun
dukungan dari lingkungan, agar dapat mengurangi stres yang dihadapinya.
Dengan kata lain, coping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam
menyelesaikan situasi stressful. Coping tersebut adalah merupakan respon
individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun
psikologis (Rasmun, 2004 ; 29)
Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa coping adalah segala
usaha individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan segala konflik yang
muncul, mengurangi ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara tuntutan
situasi baik yang berasal dari individu maupun lingkungan dengan sumber
daya yang mereka gunakan dalam menghadapi stress.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas coping stress merupakan suatu
bentuk upaya yang dilakukan individu untuk mengatasi dan
meminimalisasikan situasi yang penuh akan tekanan (stress) baik secara
kognitif maupun dengan perilaku.

B. Macam-Macam Coping Sress


1. Coping psikologis
Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stres psikologis
tergantung pada dua faktor, yaitu:
1) Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor,
artinya seberapa berat ancaman yang dirasakan oleh individu
tersebut terhadap stressor yang diterima
2) Keefektifan strategi coping yang digunakan oleh individu; artinya
dalam menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif
maka menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola
baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan fisik maupun psikologis.
2. Coping psiko-sosial
Reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stres yang diterima
atau dihadapi oleh klien. Menurut Stuart dan Sundeen mengemukakan
(dalam Rasmun ; 2004) bahwa terdapat 2 kategori coping yang bisa
dilakukan untuk mengatasi stres dan kecemasan:
1) Reaksi yang berorientasi pada tugas (task-oriented reaction).
Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan
konflik dan memenuhi kebutuhan dasar. Terdapat 3 macam
reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu:
a Perilaku menyerang (fight) Individu menggunakan
energinya untuk melakukan perlawanan dalam rangka
mempertahankan integritas pribadinya
b Perilaku menarik diri (withdrawal) Merupakan perilaku
yang menunjukkan pengasingan diri dari lingkungan dan
orang lain.
c Kompromi Merupakan tindakan konstruktif yang
dilakukan individu untuk menyelesaikan masalah melalui
musyawarah atau negosiasi.
2) Reaksi yang berorientasi pada Ego Reaksi ini sering digunakan
oleh individu dalam menghadapi stres, atau ancaman, dan jika
dilakukan dalam waktu sesaat maka akan dapat mengurangi
kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu yang lama akan
dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya
hubungan interpersonal dan menurunkan produktivitas kerja.
(Rasmun, 2004 ; 30-34).

C. Bentuk – Bentuk Coping Stress


Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino ; 1997) secara umum
membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu sebagai
berikut:
1. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah
strategi untuk penanganan stress atau coping yang berpusat pada
sumber masalah, individu berusaha langsung menghadapi sumber
masalah, mencari sumber masalah, mengubah lingkungan yang
menyebabkan stress dan berusaha menyelesaikannya sehingga pada
akhirnya stress berkurang atau hilang.
Untuk mengurangi stres individu akan mengatasi dengan
mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru.
Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin
akan dapat mengubah situasi karena individu secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi
yang menimbulkan stress. Strategi ini akan cenderung digunakan
seseorang jika dia merasa dalam menghadapi masalah dia mampu
mengontrol permasalahan itu.
2. Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) adalah
strategi penanganan stress dimana individu memberi respon terhadap
situasi stress dengan cara emosional. Digunakan untuk mengatur
respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini melalui perilaku
individu bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak
menyenangkan. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang
menekan individu akan cenderung untuk mengatur emosinya dalam
rangka penyesuaian diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh
suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Individu akan
cenderung menggunakan strategi ini jika dia merasa tidak bisa
mengontrol masalah yang ada.
3. Berawal dari pendapat yang dikemukakan Lazarus mengenai tipe
coping stres, suatu studi lanjutan dilakukan oleh Folkman, dkk (dalam
Smet, 1994 ; 145) mengenai variasi dari kedua strategi terdahulu,
yaitu problem-focused coping dan emotion focused coping. Hasil
studi tersebut menunjukkan adanya delapan bentuk coping yang
muncul, yaitu :
1) Problem focused coping, antara lain;
a Planful Problem Solving Menggambarkan usaha pemecahan
masalah dengan tenang dan berhati-hati disertai dengan
pendekatan analisis untuk pemecahan masalah.
b Confrontive Coping Menggambarkan reaksi agresif untuk
mengubah keadaan, yang menggambarkan pula derajat
kebencian dan pengambilan resiko.
c Seeking Social Support Menggambarkan usaha untuk mencari
dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan
nyata maupun dukungan emosional.
2) Emotion focused coping
1) Distancing
Menggambarkan reaksi melepaskan diri atau berusaha
tidak melibatkan diri dalam permasalahan, disamping
menciptakan pandangan-pandangan yang positif.
2) Self-Control
Menggambarkan usaha-usaha untuk meregulasi perasaan
maupun tindakan.
3) Accepting Responsibility
Yaitu usaha-usaha untuk mengakui peran dirinya dalam
permasalahan yang dihadapi dan mencoba untuk
mendudukkan segala sesuatu dengan benar sebagaimana
mestinya.
4) Escape-Avoidance
Menggambarkan reaksi berkhayal dan usaha menghindar
atau melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapi.
5) Positive Reappraisal
Menggambarkan usaha untuk menciptakan makna yang
positif dengan memusatkan pada pengembangan personal dan
juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

Lahey (2004 ; 519-521) mengemukakan coping yang efektif antara lain :

1. Menjauhi sumber-sumber stress (removing stressor)


2. Melakukan penyesuaian dalam pemikiran ketika menghadapi suatu
permasalahan (cognitive coping)
3. Mengatur reaksi yang ditimbulkan karena stress atau segala tekanan
(managing stress reaction)
Sedangkan coping yang tidak efektif antara lain :
1. Penghindaran (withdrawal)
2. Bersikap agresi (aggression)
3. Mengobati diri sendiri, seperti minum-minuman keras dan pelarian
pada obat terlarang (self-medication)
4. Melakukan ego pertahanan diri (defense mechanism) seperti
melakukan displacement, sublimasi, proyeksi, reaksi formasi,
regresi, rasionalisasi, represi, denial, dan intelektualisasi.

Smet (1994 ; 146) juga berpendapat bahwa, tidak ada satupun


metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stress. Tidak ada coping
stres yang paling berhasil. Menurut Rutter (dalam Smet, 1994 ; 146) coping
yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stress dan
situasi. Keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi
coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stress,
daripada mencoba menemukan satu strategi yang paling berhasil.

D Faktor - faktor yang Mempengaruhi Coping stres


Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang menjadi sebab
kecenderungan seseorang akan coping stres yang dipilihnya telah dilakukan
oleh beberapa tokoh. Diantaranya Bandura (dalam Pergament, 1997 ; 100)
yang mengatakan bahwa optimisme yang muncul dari efikasi diri dalam
hidup seseorang memiliki hubungan dengan banyak konsekuensi positif,
termasuk dalam kemampuan menghadapi kondisi yang sulit sehingga
menimbulkan ketenangan emosional dalam copingnya.
Menurut Pergament (1997 ; 101) beberapa hal yang menjadi sumber
coping. Dalam hal ini, sumber coping meliputi hal-hal yang memiliki
pengaruh terhadap pemilihan seseorang atas coping stres tertentu. Hal-hal
tersebut antara lain sebagai berikut :
1) Materi (seperti makanan, uang);
2) Fisik (seperti vitalitas dan kesehatan);
3) Psikologis (seperti kemampuan problem solving);
4) Sosial (seperti kemampuan interpersonal, dukungan sistem sosial);
dan
5) Spiritual (seperti perasaan kedekatan dengan Tuhan).
Sedangkan Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa cara individu
menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya
individu sendiri yang meliputi :
1) Kesehatan fisik; kesehatan merupakan hal yang penting karena selama
dalam usaha mengatasi stress individu dituntut untuk mengesahkan
tenaga yang cukup besar.
2) Keyakinan atau pandangan positif; keyakinan menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib
(eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian
ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan
strategi coping tipe problem-focused coping.
3) Keterampilan memecahkan masalah; keterampilan ini meliputi
kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi,
mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif
tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut
sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya
melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4) Keterampilan sosial; keterampilan ini meliputi kemampuan untuk


berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
5) Dukungan sosial; dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan
kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan
oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan
masyarakat sekitarnya.
Materi; dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-
barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hal-hal yang memiliki pengaruh terhadap pemilihan
seseorang atas coping stressnya, antara lain : materi (seperti makanan, uang);
fisik (seperti vitalitas dan kesehatan); psikologis (seperti kemampuan
problem solving); sosial (seperti kemampuan interpersonal, dukungan sistem
sosial); dan spiritual (seperti perasaan kedekatan dengan Tuhan).

E Proses Coping Stress


Proses Coping menurut Lazarus dalam (Syamsu yusuf, 2004 ; 115) dapat
dilihat pada bagan berikut :

F Fungsi Coping Stres


Folkman dan Lazarus (Rahmatus Sa’adah, 2008 ; 65-66), coping
yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping) berfungsi untuk
meregulasi respon emosional terhadap masalah. Coping ini sebagian besar
terdiri dari proses-proses kognitif yang ditujukan pada pengukuran tekanan
emosional dan strategi yang termasuk di dalamnya adalah :
1) Penghindaran, peminiman atau pembuatan jarak
2) Perhatian yang selektif
3) Memberikan penilaian yang positif pada kejadian yang negatif
Sedangkan coping yang berpusat pada masalah (problem-focused
coping) berfungsi untuk mengatur dan merubah masalah penyebab
stres. Strategi yang termasuk di dalamnya adalah :
a Mengidentifikasikan masalah
b Mengumpulkan alternatif pemecahan masalah
c Mempertimbangkan nilai dan keuntungan alternatif tersebut
d Memilih alternatif terbaik e. Mengambil tindakan

2.2 Proses Pembelajaran


2.1.2.1 Waktu yang Efektif
Setiap individu membutuhkan waktu untuk menyerap materi yang akan
dipelajari. Waktu belajar adalah waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang
baik dan tepat sesuai dengan situasi dirinya. Waktu dalam belajar perlu disesuaikan
khusus untuk lebih efisien dalam pencapaian target belajar. Sukardi (1998, P.60),
mengatakan “belajar secara teratur setiap hari dan tidak mengesampingkan waktu
semestinya. Dengan belajar yang disiplin dan teratur niscaya akan dapat
meningkatkan hasil belajarnya”. Keteraturan belajar adalah pangkal utama dari
belajar yang baik untuk disiplin pribadi yang tinggi siswa dapat menjauhi godaan
dan gangguan-gangguan yang mendorong siswa malas belajar.
Purwanto (2007, P.114), mengemukakan dari hasil eksperimen ternyata
bahwa jangka waktu (periode) belajar yang produktif seperti menghafal, mengetik,
mengerjakan soal hitung, dan sebagainya adalah antara 20-30 menit. Jangka waktu
yang lebih dari 30 menit untuk belajar yang benar-benar memerlukan konsentrasi
perhatian relatif kurang atau tidak produktif. Selain itu, belajar yang terus-menerus
dalam jangka waktu yang lama tanpa istirahat tidak efisien dan tidak efektif. Oleh
karena itu, untuk belajar yang produktif diperlukana adanya pembagian waktu
belajar. Dalam hal ini “hukum Jost” masih tetap diakui kebenarannya. Menurut
hukum Jost tentang belajar, 30 menit 2 X sehari selama 6 hari lebih baik dan
produktif daripada sekali belajar selama 6 jam (360 menit) tanpa berhenti.
Menurut Kartini (1985: 17), untuk menentukan waktu belajar ada
beberapa petunjuk agar bisa lebih efektif yaitu: (1) pilihlah waktu yang
memungkinkan anda dapat belajar dengan baik, di waktu pagi, di waktu siang,
sore, atau malam hari; belajar larut malam itu kurang efektif, (2) bertanyalah pada
diri sendiri, pelajaran mana yang anda anggap sukar dan mana yang mudah, (3)
mata pelajaran yang sukar bagi anda, hendaknya dipelajari lebih lama, agar betul-
betul anda kuasai, (4) berilah waktu yang cukup untuk setiap mata pelajaran, (5)
tidak ada pedoman yang pasti untuk menetapkan berapa lama seharusnya waktu
belajar, (6) ulangilah pelajaran yang baru saja diberikan di kelas, hal ini akan lebih
mudah diingat, (7) belajar setiap hari 1 jam selama 6 hari berturut-turut akan
memberikan hasil lebih besar dari pada belajar 6 jam sekaligus dalam satu hari, dan
(8) jangan menyia-nyiakan waktu belajar.
Menurut Hakim (1992: ) adalah: (1) pemilihan atau penentuan jadwal
belajar sifatnya individual; ada siswa yang lebih cocok belajar pada malam hari,
ada yang lebih cocok pada sore hari dan ada pula yang lebih cocok pada pagi hari,
(2) atur jadwal belajar dengan mempertimbangkan jumlah mata pelajaran yang
harus dipelajari dalam satu semester, (3) sediakan waktu belajar yang sesuai
dengan tingkat kesulitan mata pelajaran, dan (4) buat jadwal pelajaran secara
fleksibel (jangan terlalu terikat dengan jadwal).
Kemudian menurut Thabrani (1994: 60) adalah: ”Dalam menyusun
rencana belajar, buatlah variasi antara mata pelajaran satu dengan mata pelajaran
yang lain. Variasi antara mata pelajaran yang anda sukai dan yang kurang anda
sukai. Waktu istirahat, dapat anda gunakan untuk mencukur kumis atau
menggunting kuku, waktu tunggu di apotik atau di halte bus, dapat anda gunakan
untuk mereview. Yang penting, kita harus membiasakan diri menggunakan setiap
waktu yang kita punyai untuk menghasilkan sesuatu”.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa
pemilihan waktu belajar setiap orang berbeda-beda ada yang lebih konsentrasi
belajar pada malam hari, sore hari, siang hari bahkan ada yang lebih konsentrasi
belajar pada pagi hari. Pelajaran yang lebih sukar hendaknya dipelajari lebih lama,
agar kita bisa menguasai pelajaran tersebut. Buatlah jadwal agar belajar bisa lebih
teratur.
Tetapi dalam kenyataannya, masih banyak siswa yang tidak dapat belajar
dengan efektif, kebanyakan siswa menganggap belajar adalah sesuatu yang
membosankan, sehingga banyak siswa yang belajar tetapi tidak memperoleh
manfaat dari belajar itu sendiri. (Susanti, 2007)
Berdasarkan pendapat tersebut, dijelaskan bahwa belajar sebenarnya
sangat menyenangkan dan mengasyikan, apabila kita bisa menyiasatinya dengan
baik. Kebanyakan dari siswa menganggap belajar adalah hal yang membosankan,
tetapi dalam penjelasan Susanti, belajar itu menyenangkan. Dalam menggunakan
waktu belajar di rumah, agar dapat tertata dengan baik dan teratur maka harus
dibuat jadwal belajar, sehingga siswa akan lebih teratur lagi dalam menata waktu
yang tersedia di rumah dan dapat memanfaatkannya dengan lebih efektif. 

2.1.2.2 Gaya Belajar


Dalam mencapai keberhasilan dalam belajar, ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Salah satunya adalah gaya belajar. Gaya belajar sudah banyak
dijabarkan oleh beberapa ahli. Salah satunya teori gaya belajar VARK oleh Neil
D Fleming. Gaya belajar ini berfokus pada rangsangan dalam merespon materi
sesuai dengan pilihan belajarnya (Fleming, 2012). Singkatan dari gaya belajar
VARK adalah visual, aural, read/write, dan kinesthetic. Berikut adalah
penjelasan dari gaya belajar VARK :
 Visual
Dalam gaya ini, kecenderungan seseorang dalam menyerap dan
memproses informasi dengan cara melihat. Kebanyakan mereka senang
menggunakan media visual seperti gambar, poster, diagram, warna, simbol,
video, animasi,  peta konsep, dan grafik dalam mendapat informasi atau
materi pembelajaran. Hal yang memudahkan mereka dalam memaparkan apa
yang mereka lihat contohnya gambar adalah dengan cara membayangkan
setiap sudut, titik, dan hal kecil dalam gambar itu. Jika contohnya bacaan
dalam buku, mereka akan membayangkan tata letak halamannya. Terkadang
mereka juga mengganti kalimat-kalimat dalam bentuk simbol dan inisial.
Simbol yang digunakan pun bisa simbol bentuk atau simbol warna sesuai
apa yang mereka pahami.

 Aural
Gaya belajar yang satu ini cenderung menggunakan indera
pendengaran. Orang-orangnya senang jika mendengarkan ceramah,
menghadiri presentasi/tutorial, cerita dan lawakan untuk memperoleh
informasi. Kebanyakan dari mereka itu senang berdialog, misalnya
berdiskusi dan menyampaikan ide dengan suara yang lantang. Media yang
mereka gunakan biasanya berupa tape recorder (rekaman) untuk mereka
putar kembali setelah selesai proses pembelajaran. Biasanya mereka
memiliki catatan yang buruk karena catatan mereka ada dalam rekaman.
Mereka lebih suka belajar dalam keadaan sunyi karena menurut mereka itu
lebih membuat mereka berkonsentrasi dalam belajar dibandingkan belajar
dalam keramaian.
 Read/Write
Membaca dan menulis bagi mereka sangat efektif untuk
memperoleh, memproses, dan menyimpan informasi dalam otak mereka.
Mereka mampu memproses apa yang mereka tulis, kemudian mereka juga
mampu membacanya berulang-ulang sampai mereka benar-benar paham.
Kegiatan yang mereka sukai adalah merangkum materi pembelajaran dengan
menggunakan bahasa sendiri. Segala bentuk materi dari mulai gambar,
grafik, dan diagram akan mereka tafsirkan sendiri dalam bentuk tulisan.
Media yang mereka perlukan adalah teks dan alat tulis. Biasanya kebiasaan
belajar mereka dinilai lebih teratur.
 Kinesthetic
Kecenderungan gaya belajar ini adalah melibatkan seluruh panca
indera. Hal yang mereka suka dalam belajar adalah belajar secara langsung
atau praktik. Kebanyakan dari mereka menyukai aktivitas gerak fisik dalam
belajar. Saat di kelas pun mereka menyukai pembelajaran di laboratorium
untuk kunjungan lapangan, metode “trial and error”, mendengarkan, dan
mengingat contoh nyata yang terjadi di dekat maupun yang jauh dari
mereka. Media yang mereka butuhkan adalah alat peraga.

2.1.2.3 Metode Pembelajaran


Pada proses pembelajaran dibutuhkan metode untuk mencapai tujuan dari
suatu pembelajaran itu. Berikut beberapa metode pembelajaran menurut beberapa
artikel yang bisa diterapkan dalam proses pembelajaran :

a. Ceramah
Menurut Roestiyah, ceramah merupakan metode mengajar yang
dipakai untuk menjelaskan materi ataupun uraian tentang suatu pokok
permasalahan atau materi pembelajaran yang disampaikan melalui lisan.
Ceramah ini biasa disebut dengan strategi menginformasikan atau strategi
lecture sebab strategi ini banyak dipakai di perguruan tinggi. Ceramah dapat
dimaknai dari dua sisi, yaitu secara sederhana ceramah cenderung dimaknai
sebagai metode penyampai pesan, sedangkan secara luas dapat dimaknai
sebagai metode untuk membahas sesuatu hal yang sifatnya bisa saja
berbentuk wacana atau problematika (Wina Sanjaya: 2008).
b. Active Knowledge Sharing
Menurut Silberman (2009), Strategi Active Knowledge Sharing
merupakan cara yang optimal untuk mengarahkan perhatian siswa kepada
materi pelajaran. Guru dapat memakainya, sebagai alat ukur sudah sejauh
mana pengetahuan siswa, bahkan penggunaan strategi titu juga memperkuat
hubungan tim siswa, Strategi itu dapat berjalan antara materi pelajaran
ataupun antar beberapa ragam mata pelajaran. Menurut Trianto 2010, active
knowledge sharing ialah strategi pembelajaran yang penekanannya lebih
fokus pada materi pelajaran yang diajarkan, dalam hal ini pembelajaran
diarahkan kepada berkelompok atau membentuk tim belajar untuk saling
berbagi ilmu dan pengalaman belajar. Dengan demikian lebih mudah untuk
menilai tingkat kemajuan siswa.
c. iLearning : Metode Pembelajaran Inovatif di Era Education 4.0
Dalam artikel yang berjudul iLearning : Metode Pembelajaran
Inovatif di Era Education 4.0 Untung Raharja dkk dosen Universitas Raharja
menyebutkan dalam metode ini memiliki kelebihan yang disingkat dengan
4B yakni belajar, bermain, berdoa, dan bekerja. iLearning di Universitas
Raharja berkembang menjadi dua metode belajar yaitu iMe (iLearning
Media) dan iDu (iLearning Education) .Secara garis besar, iMe dan iDu
dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan metode pembelajaran secara
mandiri yang berbasis online. Jika di Universitas Padjadjaran sistemnya
bernama Reguler Live Unpad dan MOOC.
d. Small Group Discussion
Small group discussion merupakan proses pembelajaran dengan
diskusi pada kelompok kecil dengan tujuan agar mahasiswa dapat
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi dan agar keaktifan
mahasiswa meningkat.
e. Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
Metode pembelajaran ini didesain untuk meningkatkan rasa
tanggung jawab mahasiswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga
pembelajaran orang lain. Mahasiswa tidak hanya mempelajari pokok bahasan
yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan
pokok bahasan tersebut kepada kelompoknya. Mahasiswa dibagi dalam
beberapa kelompok belajar yang heterogen yang beranggotakan 5-6 orang
dengan menggunakan pola kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal
adalah kelompok awal mahasiswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli
yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Dosen
dituntut terampil dan mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya
suasana yang baik bagi setiap anggota kelompok. Sedangkan kelompok ahli,
yaitu kelompok mahasiswa yang terdiri dari anggota kelompok lain
(kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami pokok bahasan tertentu
untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Para anggota dari
kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan pokok bahasan yang sama
dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan
pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk
mempelajari pokok bahasan mereka tersebut. Peran dosen adalah
memfasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk
memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai, para anggota
kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada
teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan
di kelompok ahli. Para kelompok ahli harus mampu untuk membagi
pengetahuan yang didapatkan saat melakukan diskusi di kelompok ahli,
sehingga pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok
asal. Kunci cooperative learning tipe jigsaw ini adalah interdependence setiap
mahasiswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang
diperlukan. Artinya mahasiswa harus memiliki tanggung jawab dan kerja
sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi
dan memecahkan masalah yang diberikan.

2.1.2.4 Evaluasi Pembelajaran


Evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk
mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajikan
informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun
kebijakan maupun menyusun program selanjutnya. Evaluasi ini bertujuan untuk
memperoleh informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program.
Bila ditinjau dari sasarannya dalam proses pembelajaran, evaluasi ada
yang bersifat makro dan juga mikro. Evaluasi yang bersifat makro sasarannya
adalah program pendidikan, yaitu program yang direncanakan untuk
memperbaiki bidang pendidikan. Sedangkan evaluasi mikro sering digunakan di
tingkat kelas, khususnya untuk mengetahui pencapaian belajar peserta didik.
Hal-hal yang dijadikan objek dalam evaluasi program pembelajaran
diantaranya:
1. Desain program pembelajaran
 Kompetensi yang akan dikembangkan
 Strategi pembelajaran
 Isi program pembelajaran
2. Implementasi program pembelajaran
3. Hasil program pembelajaran
Berikut ini adalah beberapa model yang dapat dijadikan sebagai evaluasi
program pembelajaran:
a. Evaluasi model Kirkpatrick
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal
dengan istilah “Kirkpatrick four levels evaluation model”. Evaluasi
terhadap efektivitas program training menurut Kirkpatrick mencakup
empat level evaluasi, yaitu: level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level 3 –
Behavior, level 4 – Result
b. Evaluasi model CIPP
Konsep evaluasi model CIPP (Context, Input, Process and
Product) pertama kali ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun 1965
sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (the Elementary and
Secondary Education Act). Dalam bidang pendidikan. Stufflebeam
menggolongkan sistem pendidikan atas 4 dimensi, yaitu:
1) Context : situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis
tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem
yang bersangkutan, seperti misalnya masalah pendidikan yang
dirasakan, keadaan ekonomi negara, pandangan hidup masyarakat dan
seterusnya.
2) Input : sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
3) Process : pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di
dalam kegiatan nyata di lapangan.
4) Product : hasil yang dicapai baik selama maupun pada akhir
pengembangan sistem pendidikan yang bersangkutan.
c. Evaluasi model Stake ( Model Countenance )
Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu
description dan judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam
program pendidikan, yaitu antecedent (context), transaction (process) dan
outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu program
pendidikan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara program
dengan program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu
membandingkan suatu program dengan standar tertentu.

2.1.2.5 Fasilitas Pembelajaran


Fasilitas pembelajaran adalah segala sesuatu yang disediakan agar proses
pembelajaran dapat berjalan lancar, teratur, efektif dan efisien. Fasilitas
pembelajaran ini terdiri dari:
A. Sarana
Sarana pembelajaran adalah peralatan dan perlengkapan yang
secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pembelajaran.
Contoh: Buku pelajaran, buku bacaan, alat laboratorium, dan
berbagai media pembelajaran lainnya. Dalam kondisi belajar daring
seperti yang terjadi saat ini, handphone/laptop dan kuota juga
merupakan sarana yang penting dalam berlangsungnya proses
pembelajaran.
B. Prasarana
Prasarana pembelajaran adalah semua komponen yang langsung
menunjang jalannya proses pembelajaran.
Contoh: gedung, ruang belajar, lapangan olahraga, ruang ibadah,
ruang laboratorium, dan yang lainnya.
Fasilitas pembelajaran ini memiliki pengaruh penting dalam
proses pembelajaran. Ketika fasilitas yang menunjang dalam proses
pembelajaran  tersedia dan dapat berfungsi dengan baik maka akan
memberi pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan proses
pembelajaran. Sebaliknya, ketika fasilitas tidak dapat terpenuhi, maka
proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan semestinya.

2.2 Evaluasi Pendidikan dan Promosi Kesehatan


Instrumen evaluasi pada pendidikan dan promosi kesehatan mengenai
manajemen stress pada pembelajaran daring di era pandemi Covid-19 ini menggunakan
kuesioner berupa pre test dan post test. Pre test merupakan kegiatan menguji
pengetahuan awal responden mengenai materi yang akan disampaikan, dalam hal ini
yaitu pengetahuan mengenai permasalahan stress pada pembelajaran daring di era
pandemi Covid-19. Pelaksanaan pre test dilakukan sebelum kegiatan berlangsung. Uji
tingkat pengetahuan menggunakan google formulir yang diberikan kepada responden
untuk diisi sesuai kemampuan masing-masing responden. Sedangkan post test masih
sama seperti pre test, namun bedanya post test bertujuan untuk mengetahui
peningkatan pengetahuan responden sebelum mendengarkan pemaparan materi dan
setelah mendengarkan pemaparan materi. Pelaksanaan post test dilakukan setelah
kegiatan berlangsung. Evaluasi ini menjadi tolak ukur tercapainya tujuan dari pendidikan
dan promosi kesehatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Untuk pelaksanaan pre test dan post test akan dibagikan kepada 55 responden
dengan jumlah 10 soal dalam bentuk pilihan ganda. Isi dari kuesioner tersebut mengenai
definisi stresi, penyebab terjadinya stress, gejala dari stress, dan proses pembelajaran
seperti waktu yang efektif dalam belajar, cara belajar yang benar, evaluasi dalam belajar
serta fasilitas selama pembelajaran. Uraian Kuesioner tercantum pada lampiran
proposal.

BAB III

METODE KEGIATAN
3.1  Metode Pelaksanaan Pendidikan dan Promosi Kesehatan

 3.1.1 Ceramah / Lecture

Metode penyuluhan dengan cara ceramah atau lecture dapat mempermudah


mahasiswa untuk mengetahui penyebab stress pada pembelajaran daring, dan
juga mengetahui bagaimana cara mencegah terjadinya stress pada
pembelajaran daring di era pandemi sehingga mahasiswa dapat mengelola
stress agar tidak menimbulkan dampak yang buruk terhadap dirinya sendiri. 

3.1.2 Diskusi

Dengan melakukan diskusi, peserta juga dilatih untuk lebih memahami


materi yang disampaikan sehingga mereka dapat membagikan atau
menukar pengetahuan (sharing knowledge) yang mereka miliki kepada
sesama peserta didik. Menurut learning pyramid, dengan melakukan
diskusi, peserta didik lebih mudah memahami materi yang disampaikan
pada saat lecture. Dimana diskusi memiliki persentase 50% sementara
lecture hanya 5%.

3.2  Media

3.2.1 YouTube

kami menggunakan youtube untuk pendidikan kesehatan ini karena


youtube merupakan sebuah situs web video sharing (berbagi video) yang
populer, praktis dan mudah diakses. Dengan begitu peserta akan lebih mudah
untuk menonton video pendidikan kesehatn yang akan kami kirim di youtube. 

3.2.2 Video

Video merupakan salah satu media pembelajaran berbasis multimedia


yang mampu digunakan untuk penyampaian materi. media pembelajaran
berupa video mudah diakses dimana saja dan dapat dilihat berulang-ulang jika
masih ada yang belum dimengerti. 

3.2.3 Poster

kami menggunakan poster untuk memberikan gambaran mengenai


materi yang akan disampaikan kepada peserta promosi kesehatan. Selain itu,
poster yang kami gunakan juga berfungsi untuk menarik perhatian lalu tertarik
untuk mengikuti promosi kesehatan yang kami laksanakan. 

3.3 Jadwal Kegiatan


Kegiatan Pendidikan dan Promosi Kesehatan akan dilaksanakan pada :

Hari : Sabtu

Tanggal : 5 Desember 2020

Pukul : 10.00 s.d 11.50

Tempat : Rumah masing-masing

Platform  : WhatsApp Group

3.4  Rundown Acara Pendidikan dan Promosi Kesehatan

Waktu Kegiatan Penaggung


Jawab

10.00 – 10.03 Pembukaan + doa MC : Laras

10.03 – 10.08 Absensi Sekre : Amel

10.08 – 10.10 Ketentuan challenge dan doorprize MC : Laras

10.10 – 10.15 Sambutan dosen tutorial Nabila

10.15 – 10.20 Pre test 1 Neneng

10.20 – 10.35 Video promkes 1 Neneng

10.35 – 10.45 Tanya Jawab Neneng

10.45 – 10.50 Post test 1 Neneng


10.50 – 11.00 Break time Faiz

11.00 – 11.05 Pengkondisian peserta Shafa

11.05 – 11.10 Pre test 2 Shafa

11.10 – 11.25 Video promkes 2 Shafa

11.25 – 11.35 Tanya jawab Shafa

11.35 – 11.40 Post Test 2 Shafa

11.40 – 11.45 Pengumuman pemenang doorprize dan MC : Laras


challenge

11.45 – 11.50 Penutupan Mc : Laras

3.5  Susunan Kepanitiaan Kegiatan Pendidikan dan Promosi Kesehatan

Dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan kesehatan, terdapat susunan


pelaksanaan kegiatan sebagai berikut :
Ketua : Nabilah Al Adawiyah
Sekretaris : Amelia Agustin
Humas : Neneng Rivalda
  Shafa Salsabila
PDD : Qoori Salma Luthfiyyah
  Annisa Indah Tetania
  Laras Amelia Ramadhani
  Ima Rismawati
Acara : Tazkia Badliana Audly
  Indrianti Alvini Rizki
  Faiz Zahran Alfairuz

3.6  Evaluasi Pendidikan dan Promosi Kesehatan

            Instrumen evaluasi pada pendidikan kesehatan mengenai manajemen stress pada


pembelajaran daring di era pandemi Covid-19 ini menggunakan kuesioner berupa pre
test dan post test. Pre test merupakan kegiatan menguji pengetahuan awal peserta
mengenai materi yang akan disampaikan, dalam hal ini yaitu pengetahuan mengenai
permasalahan stress pada pembelajaran daring di era pandemi Covid-19. Pelaksanaan
pre test dilakukan sebelum kegiatan berlangsung. Uji tingkat pengetahuan
menggunakan google formulir yang diberikan kepada peserta untuk diisi sesuai
kemampuan masing-masing peserta. Sedangkan post test masih sama seperti pre test,
namun bedanya post test bertujuan untuk mengetahui peningkatan pengetahuan
responden sebelum mendengarkan pemaparan materi dan setelah mendengarkan
pemaparan materi. Pelaksanaan post test dilakukan setelah kegiatan berlangsung.
Evaluasi ini menjadi tolak ukur tercapainya tujuan dari pendidikan dan promosi
kesehatan yang telah direncanakan sebelumnya.

         Untuk pelaksanaan pre test dan post test akan dibagikan kepada (55/50)
peserta dengan jumlah 10 soal dalam bentuk pilihan ganda. Isi dari kuesioner tersebut
mengenai definisi  stres, penyebab terjadinya stress, gejala dari stress, dan proses
pembelajaran seperti waktu yang efektif dalam belajar, cara belajar yang benar, evaluasi
dalam belajar serta fasilitas selama pembelajaran. Indikator keberhasilan kegiatan
pendidikan kesehatan ini yaitu  minimal 70% dari peserta memperoleh nilai ≥ 70 dari
hasil pengerjaan post test. Uraian Kuesioner tercantum pada lampiran proposal.

BAB IV
HASIL
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
Amalia, P., & Amrullah, Y. (2019). Tingkat Pengetahuan Remaja Putri Tentang
Menstruasi. Jurnal Kebidanan Malahayati, 5(3), 287–291.
https://doi.org/10.33024/jkm.v5i3.1423

Angraeni, A. (2014). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Dengan Tindakan


Menstrual Hygiene Pada Siswi Smp Negeri 10 Padang. 1–8.

Ayele, E., & Berhan, Y. (2013). AGE AT MENARCHE AMONG IN-


SCHOOLADOLESCENTS IN SAWLA TOWN, SOUTH ETHIOPIA.
https://doi.org/10.4314/ejhs.v23i3.1

Beevi P., N., L., M., S, A. B., Haran, J. C., & Jose, R. (2017). Menstrual problems
among adolescent girls in Thiruvananthapuram district. International
Journal Of Community Medicine And Public Health, 4(8), 2995.
https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20173360

Belayneh, Z., & Mekuriaw, B. (2019). Knowledge and menstrual hygiene practice
among adolescent school girls in southern Ethiopia: A cross-sectional
study. BMC Public Health, 19(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12889-
019-7973-9

Bhatti, L. I., & Fikree, F. F. (2002). Health-seeking behavior of Karachi women


with reproductive tract infections. Social science & medicine (1982),
54(1), 105–117. https://doi.org/10.1016/s0277-9536(01)00012-0

Biran, A., Schmidt, W., Hernandez, O., Hutton, G., Lanata, C., Luvendijk, R., …
Weinger, M. (2011). Background Paper on Measuring WASH and Food
Hygiene Practices – Definition of Goals to. 1–81.

Biro Komunikasi dan Pelayanan Mayarakat Kemenkes RI. (2017). Manajemen


Kebersihan Menstruasi. 1. Retrieved from sehatnegriku.kemenkes.go.id

Chandra-Mouli, V., & Patel, S. V. (2017). Mapping the knowledge and


understanding of menarche, menstrual hygiene and menstrual health
among adolescent girls in low- and middle-income countries.
Reproductive health, 14(1), 30. https://doi.org/10.1186/s12978-017-0293-
6

Coast, E., & Lattof, S. (2018). Young adolescent girls’ knowledge of


menstruation and puberty A rapid evidence review. (December), 104.
Dasgupta, A., & Sarkar, M. (2008). Menstrual hygiene: How hygienic is the
adolescent girl? Indian Journal of Community Medicine, 33(2), 77.
https://doi.org/10.4103/0970-0218.40872

Dutta, D., Badloe, C., Lee, H., & House, S. (2016). Supporting the rights of girls
and women through Menstrual Hygiene Management (MHM) in the East
Asia and Pacific Region: Realities, progress and opportunities. Bangkok.

Fitria, A. (2012). Penggunaan Media Audio Visual Dalam Pembelajaran Anak


Usia Dini. 57–62.

Futri, Diosi Novisya (2017) HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN


MENSTRUASI DENGAN PERILAKU PERSONAL HYGIENE
MENSTRUASI PADA REMAJA PUTRI SMP NEGERI 2
KALIBAWANG YOGYAKARTA. Skripsi thesis, Universitas Mercu
Buana Yogyakarta.

Hastuti, Dewi, R. K., & Pramana, R. P. (2019). Menstrual Hygiene Management


(MHM): A Case Study of Primary and Junior High School Students in
Indonesia. The SMERU Research Institute, 107. Retrieved from
http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/mkm_en_0.pdf

Herdiana. (2013). Media Audio Visual. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689–1699.

Herrerro, R; Brinton, LA; Reeves, WC; Brenes, MM; Teronio, F; De Brinton,Rc;


Gaitan, E; Garcia, M & Rawls. (1990). Sexual behaviour, venereal
diseases, hygiene practices and invasive cervical cancer in a high-risk
population

House, S., Mahon, T., and Cavill, S. (2012). Menstrual hygiene matters: a
resource for improving menstrual hygiene around the world. Wateraid.

Kemendikbud. (2017). Panduan Manajemen Kebersihan Menstruasi Bagi Guru


dan Orang Tua. 1–16.

Kennedy, E., Suriastini, W., Macintyre, A., Huggett, C., Wheen, R., Faiqoh, …
Inathsan, B. (2015). Menstrual Hygiene Management in Indonesia. Burnet
Institute, 1–45.

Komite Penanggulangan Kanker Nasional. (2015) Panduan Penatalaksanaan


Kanker Serviks. Kemenkes RI; 1-7
Mahnun, N. (2012). Media Pembelajaran (Kajian terhadap Langkah-langkah
Pemilihan Media dan Implementasinya dalam Pembelajaran). An-Nida’,
37(1), 27–35.

Mitchell H. (2004). Vaginal discharge--causes, diagnosis, and treatment. BMJ


(Clinical research ed.), 328(7451), 1306–1308.
https://doi.org/10.1136/bmj.328.7451.1306

Pramesti, H. D., Suherni, & Nur, D. (2019). Perbedaan Peningkatan Pengetahuan


Menstrual Hygiene Menggunakan Media Booklet dan Leaflet pada
Remaja Putri di Pondok Pesantren An-Nur Bantul.

Putriyanti, C. E., & Ratnawati, E. (2019). Normal Puberty Knowledge and


Adolescent Menstrual Cycles. Jurnal Info Kesehatan, 17(2), 119–133.

Rahmatika, D. (2010). Pengaruh Pengetahuan dan Sikap tentang Personal


Hygiene Menstruasi terhadap Tindakan Personal hygiene Remaja Putri
Saat Menstruasi di SMK Negeri 8 Medan. Skripsi.

Sarwono, Prawirohadjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bima Pustaka Sarwono


Prawirohardjo;2014

Sitohang, N. A., & Adella, C. A. (2020). Pengaruh Pendidikan Kesehatan


Terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMP Dharma Pancasila Tentang
Manajemen Kesehatan Menstruasi. Jurnal Riset Hesti Medan Akper
Kesdam I/BB Medan, 4(2), 126. https://doi.org/10.34008/jurhesti.v4i2.146
Sinaga, Ernawati.(2017). Menejemen Kesehatan Menstruasi. Jakarta: IWWASH

Sumpter, C., & Torondel, B. (2013). A Systematic Review of the Health and
Social Effects of Menstrual Hygiene Management. PLoS ONE, 8(4).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0062004

Surmiasih, S., & Priyati, D. (2018). Pengetahuan Tentang Menstruasi Dengan


Upaya Penanganan Disminorea Pada Siswi Mts Al-Hidayah Tunggul
Pawenang Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu. Midwifery
Journal: Jurnal Kebidanan UM. Mataram, 3(1), 48.
https://doi.org/10.31764/mj.v3i1.126

Susilowati, Dwi. (2016). Promosi Kesehatan, Modul Bahan Ajar Cetak


Keperawatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sobel, J. D., Faro, S., Force, R. W., Foxman, B., Ledger, W. J., Nyirjesy, P. R.,
Reed, B. D., & Summers, P. R. (1998). Vulvovaginal candidiasis:
epidemiologic, diagnostic, and therapeutic considerations. American
journal of obstetrics and gynecology, 178(2), 203–211.
https://doi.org/10.1016/s0002-9378(98)80001-x

Sommer, M., Sutherland, C., & Chandra-Mouli, V. (2015). Putting menarche and
girls into the global population health agenda. Reproductive Health, 12(1),
10–12. https://doi.org/10.1186/s12978-015-0009-8

Tim Pembina UKS & UNICEF. (2016). Kenapa Berdarah? Panduan Khusus Anak
Perempuan untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta:
UNICEF Indonesia

Torondel, B., Sinha, S., Mohanty, J. R., Swain, T., Sahoo, P., Panda, B., … Das,
P. (2018). Association between unhygienic menstrual management
practices and prevalence of lower reproductive tract infections: a hospital-
based cross-sectional study in Odisha, India. BMC Infectious Diseases,
18(1). https://doi.org/10.1186/s12879-018-3384-2

UNESCO – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization


(2014) Puberty education & menstrual hygiene management. Good policy
and practice in health education. Paris: UNESCO.

UNICEF. (2016). Supporting the Rights of Girls and Women through Menstrual
Hygiene Management (MHM)in the East Asia and Pacific Region.
UNICEF East Asia and Pacific Regional Office, (February), 10–80.

WHO/UNICEF. (2015). WASH Post-2015: Proposed indicators for drinking


water, sanitation and hygiene. World Health Organization, 1–8. Retrieved
from
http://www.wssinfo.org/%0Ahttp://www.unwater.org/gemi/en/%0Ahttp://
www.wssinfo.org/post-2015-monitoring/

Widyastuti, Rahmawati, Purnamaningrum. (2009). Kesehatan Reproduksi.


Yogyakarta: Fitramaya.

Anda mungkin juga menyukai