Anda di halaman 1dari 30

KOMUNIKASI INTERPERSONAL KELUARGA ANTARA MAHASISWA DAN

ORANG TUA SEBAGAI PENUNJANG KESEHATAN MENTAL MAHASISWA


RANTAU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Oleh :

Hanif Muhtarom Ayoga L100190003


Andre Nito Pradhana L100200058
Ucca Rasendriya Sagraha L100200163
Hangger Jogie Farendra L100200069
Ashari Nur Hidayat L100200225

FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA


PRODI ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Globalisasi telah membawa berbagai dampak atau perubahan bagi generasi
muda masa kini, terutama mahasiswa. Semakin berkembangnya era globalisasi,
membuat banyaknya mahasiswa yang sebenarnya tinggal di daerah tertentu harus
menyelesaikan pendidikannya meskipun di luar daerah asalnya. Mahasiswa yang
menempuh pendidikan di luar daerah asalnya tersebut dapat dikenal dengan sebutan
mahasiswa rantau. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab mahasiswa rantau
harus berimigrasi di lembaga pendidikan tinggi yang menjadi tempat belajarnya,
antara lain karena terdapat superior spesifik di tempat baru, memiliki peluang kerja
yang sesuai dengan passion-nya sehingga mendapatkan karir yang lebih baik,
memiliki peluang untuk memperoleh pendidikan agar lebih tinggi, biasanya satuan
pendidikan yang dituju memiliki lulusan yang terbaik dan rating cukup tinggi, daerah
lembaga pendidikan yang dituju memiliki berbagai tempat hiburan yang lebih
beragam, adanya ajakan seseorang yang bisa menjadi tempat sharing dan berlindung
untuk dirinya, serta masih banyak lagi (Nadlyfah & Kustanti, 2020).
Terdapat perbedaan tersendiri terhadap kondisi lingkungan di daerah asal
mahasiswa rantau dengan daerah baru yang ditinggalinya, salah satunya yaitu
menimbulkan berbagai hal yang kurang sesuai bagi mahasiswa pendatang.
Ketidaksesuaian tersebut misalnya seperti perbedaan bahasa daerah, cara berbicara,
kebiasaan, maupun hal-hal lain yang menjadi penyebab sulitnya beradaptasi pada
mahasiswa rantau yang berimigrasi. Hal ini dapat memunculkan permasalahan baru
bagi individu mahasiswa rantau tersebut apabila tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungan baru daerah tempat tinggalnya saat ini. Permasalahan yang mungkin
terjadi yaitu mahasiswa rantau kemungkinan mengalami tekanan maupun kecemasan,
sehingga akan berdampak pada stress (Thahir & Suryanto, 2022).
Stress dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang sedang dialami oleh
seseorang dengan perasaan cemas dan tertekan. Faktor penyebab stress yang dialami
oleh seseorang pastinya berbeda-beda. Dalam aspek kondisi, mahasiswa rantau
dengan tingkatan pertama mengalami stress karena merasa kurang mampu beradaptasi
dengan lingkungan yang baru. Selain itu dapat disebabkan karena terdapat perbedaan
cara berfikir maupun riwayat pendidikan, mulai dari Sekolah Menengah Atas (SMA)
hingga ke tingkat perkuliahan. Adanya pola atau cara interaksi sosial dengan
lingkungan dan teman baru di daerah yang sekarang, serta kehidupan yang dapat
dibilang jauh dari keluarga dapat menjadi faktor penyebab seseorang terkena stress.
Perbedaan dampak stress dari setiap individu dapat disebabkan karena karakteristik
atau kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Karakter atau pribadi
dari setiap mahasiswa selanjutnya dapat menentukan respon mahasiswa terhadap
stress yang dialaminya, dimana akan membentuk respon yang cukup beragam dari
mahasiswa yang mengalami stress meskipun dikarenakan permasalahan yang sama
(Wibowo & Kojongian, 2022).
Mayoritas atau sebagian besar mahasiswa juga seringkali mengalami stress
karena adanya tekanan dari akademik. Tekanan akademik ini membuat mahasiswa
merasa disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang semakin menumpuk. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Lubis et al., pada tahun 2021, disebutkan bahwa
banyak mahasiswa yang mengalami stress termasuk dalam kategori sedang. Hasil
penelitian dari Lubis et al., tersebut menunjukkan bahwa stress yang dialami oleh
mahasiswa biasanya disebabkan karena terdapat tekanan dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran secara online, khususnya pada masa pandemi lalu. Menurut penelitian,
stress yang dialami oleh mahasiswa dapat berupa perasaan yang membuat individu
tersebut menjadi tidak nyaman, mengalami tegang, bahkan mengalami perubahan
perilaku yang signifikan. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Yusuf dan Rahim pada tahun 2020 bahwa stress dapat terjadi akibat materi
perkuliahan yang cukup banyak, kurangnya interaksi antara dosen dan mahasiswa,
metode pembelajaran yang kurang sesuai, serta tugas-tugas yang semakin bertambah.
Di samping itu, mahasiswa juga akan merasa tertekan karena adanya keharusan untuk
dapat memahami materi perkuliahan maupun keterampilan dengan waktu
pembelajaran yang relatif singkat (Lubis et al., 2021).
Permasalahan terkait dengan stress akibat akademik atau tekanan yang terjadi
karena kegiatan pembelajaran di masa perkuliahan dapat berimplikasi pada mental
health (kesehatan mental) mahasiswa. Menurut penelitian yang berjudul
“Representasi Kesehatan Mental Siswa pada Masa Pandemic Covid-19”,
menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk sitasi mental health yang dialami oleh
mahasiswa di masa pandemi Covid-19 lalu. Pertama, yang biasanya disebut dengan
psychological distress, merupakan rentang mental health ketika dalam posisi negatif.
Dalam psychological distress ini, mahasiswa akan merasa jenuh, tidak nyaman, sulit
berkonsentrasi, mengalami kecapekan, mudah cemas, merasa tertekan oleh kondisi,
serta merasa tidak mampu dalam melakukan aktivitas-aktivitas positif karena adanya
perasaan pesimis. Kedua, yang biasanya disebut dengan psychological wellbeing,
merupakan keadaan pada saat seseorang atau individu mengalami mental health yang
positif atau baik. Dalam psychological wellbeing ini, mahasiswa dapat lebih
menerima keadaan karena mempunyai teman yang berlatar belakang atau mengalami
hal yang sama, lebih mampu memberikan semangat pada diri sendiri karena pengaruh
positif dari orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya, serta dapat menyalurkan
bakat dan minatnya masing-masing, sehingga akan merasakan kenikmatan tersendiri
(Lestari & Risqi, 2021).
Kesehatan mental masih belum dipahami di Indonesia, sehingga tidak sedikit
remaja yang memilih untuk menyakiti diri sendiri dan mengakhiri hidupnya. Redaksi
Sehat Negeriku melaporkan di situs Sehatnegeriku.kemkes.go.id bahwa masyarakat
masih belum melihat adanya masalah kesehatan jiwa yang memerlukan penanganan.
Pada tahun 2018, menurut hasil Riskesdas, hingga 9,8% remaja berusia di atas 15
tahun mengalami gangguan kesehatan jiwa (ROKOM, 2019). Menurut data terbaru
dari Unicef.org, banyak anak muda berusia antara 10 hingga 19 tahun yang menderita
masalah kesehatan mental (UNICEF, 2021).
Masalah kesehatan jiwa bukan hanya kondisi dimana seseorang didiagnosa
mengalami gangguan jiwa, bahkan lebih dari itu. Kesehatan mental melibatkan pola
berpikir jernih, mengendalikan emosi, dan bagaimana seseorang berinteraksi dengan
teman sebayanya (Saskara & Ulio, 2020). Kesehatan jiwa dapat dilihat dari faktor
internal, keluarga, dan lingkungan. Faktor keluarga meliputi pola asuh seperti
komunikasi orang tua-anak dan kedekatan anak dengan orangtuanya (Djayadin &
Munastiwi, 2020). Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari suatu medium
ke medium lain melalui suatu tahapan, media, sedemikian rupa sehingga pesan
tersebut menghasilkan efek atau dampak. Komunikasi memiliki banyak tugas, seperti
membentuk konsep diri, mengungkapkan eksistensi diri, membentuk hubungan,
menyampaikan perasaan, mengajar, menghibur dan lain-lain (Tatang, 2016).
Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang penting, karena manusia
adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi, berbicara dengan orang
lain dan membangun hubungan. Oleh karena itu, komunikasi juga penting secara
psikologis. Kecenderungan untuk menutup dan mengabaikan perasaan bisa
menyebabkan stres, yang juga terkait dengan kesehatan mental. Dalam artikel
“Komunikasi Interpersonal Keluarga Kristen Memasuki Era 4.0” tertulis bahwa
kualitas komunikasi atau hubungan bermanfaat bagi pencapaian kesehatan mental.
Secara khusus, kualitas komunikasi dan hubungan yang berkembang menjadi penting
dalam kehidupan orang-orang yang terlibat dalam komunikasi dan hubungan tersebut
(Sampe et al., 2019).
Orang tua adalah keluarga yang paling dekat dengan anak karena dapat
membentuk karakter yang penting dalam kehidupan seorang anak. Keduanya perlu
berbagi pikiran dan perasaan satu sama lain, seperti yang dikatakan Joseph A. Devito.
Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua
orang atau kelompok kecil dengan sugesti. Proses tersebut terjadi ketika komunikator
sebagai pengirim pesan menyampaikan pesan dalam bentuk verbal maupun nonverbal
(Tatang, 2016). Komunikasi antara orang tua dan anak memiliki banyak implikasi,
seperti: Sebagai perkembangan emosi anak, pembentukan karakter dan sikap anak,
mengatasi kenakalan anak, meningkatkan minat belajar anak dan keberhasilan anak.
Selain itu, komunikasi antara orang tua dan anak juga mempengaruhi kesehatan
mental anak. Bentuk-bentuk komunikasi seperti mendukung pendapat, pemikiran atau
pernyataan, dapat membangkitkan motivasi dalam lingkaran yang sempit dan
memiliki efek positif, seperti semangat untuk mencapai suatu tujuan atau melakukan
sesuatu (Koraag et al., 2021).
Komunikasi keluarga merupakan bagian terpenting dalam keharmonisan
keluarga, terutama antara orang tua dan anak. Para ahli sepakat bahwa komunikasi
memegang peranan yang sangat strategis dalam mempersiapkan anak untuk
memasuki kehidupan yang lebih luas. Misalnya, bagaimana anak menentukan
bagaimana anak dalam keluarga tersebut berkomunikasi satu sama lain atau bahkan
dengan beberapa orang. Keberhasilan komunikasi ini sangat tergantung pada
keluarga. Artinya, keberhasilan komunikasi sangat bergantung pada keluarga, dan
keluarga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar dan berkembang
secara fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Ketika keluarga mampu mendidik
anak dengan baik melalui interaksi yang efektif, maka anak dapat berkomunikasi
dengan baik dan benar di luar lingkungan keluarga. Sebaliknya, jika keluarga tidak
mengajarkan cara berkomunikasi yang baik, maka apa yang telah dipelajari akan
terbawa ke lingkungan yang lebih luas (Nursanti dkk., 2021).
Komunikasi jarak jauh dengan keluarga ketika mahasiswa ingin merantau dan
berimigrasi ke tempat yang dituju, artinya bahwa mereka harus pindah ke daerah lain
untuk melanjutkan studi. Pada saat ini, komunikasi keluarga antara orang tua dan
mahasiswa rantau menjadi sangat mudah. Komunikasi antara mahasiswa rantau dan
orang tua dapat dilakukan secara mudah dan lancar melalui media sosial. Berbagai
fungsi juga mendukung mahasiswa rantau dan orang tua untuk melihat situasi kapan
saja maupun dimana saja pada waktu yang bersamaan. Sering dikatakan bahwa proses
komunikasi berubah dari waktu ke waktu seiring pertumbuhan anak menjadi dewasa.
Sebagai orang dewasa, seorang anak seringkali memiliki kebebasan untuk membuat
pilihan pribadi. Salah satu keputusan pribadinya adalah melanjutkan studinya di
tempat lain. Fenomena ini memunculkan konsep khusus bagi mahasiswa rantau.
Kajian studi terkait dengan komunikasi antara orang tua dan tingkat stres
mahasiswa rantau terdapat pada adanya larangan mudik (Nuzuli, 2020). Hal ini
menunjukkan bahwa komunikasi dengan orang tua merupakan salah satu hal
terpenting yang dapat menurunkan tingkat stres mahasiswa rantau, khususnya
mahasiswa Universitas Amikom yang tidak bisa melakukan mudik. Melalui hasil uji
regresi linier pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
komunikasi dengan orang tua maka tingkat stres semakin rendah. Artinya bahwa
komunikasi dengan orang tua berperan atau menjadi salah satu hal penting yang dapat
mengurangi stress atau tekanan mahasiswa rantau.
Studi lain tentang pola komunikasi keluarga terhadap kesehatan mental anak
pada masa pandemi Covid-19 (Djayadin & Munastiwi, 2020) menunjukkan bahwa
penerapan komunikasi antara orang tua dan anak dalam keluarga memberikan dampak
yang signifikan terhadap kesehatan mental anak. Kajian yang dilakukan pada keluarga
Sulawesi ini menunjukkan bahwa berbagai nilai positif yang diajarkan pada anak
berpengaruh positif terhadap pembentukan dan perkembangan intelektual anak.
Sistem nilai yang relevan mengacu pada kualitas emosional, seperti nilai sopan
santun, kesabaran dalam memecahkan masalah, toleransi, empati, serta beradaptasi
dan bersahabat terhadap lingkungan. Kepribadian anak yang cerdas dalam intelektual
dan emosionalnya merupakan pondasi kesehatan mental anak. Hal ini diawali dengan
penerapan model komunikasi yang tepat dalam keluarga, karena anak tetap
membutuhkan orang tua yang dapat menjadi tempat bercerita dalam berbagai situasi.
Para remaja membahas pengaruh komunikasi efektif terhadap pengertian,
keceriaan, membangun hubungan yang harmonis, serta disertai dengan tindakan akan
berpengaruh pada perilaku seorang mahasiswa rantau (Hasibuan, 2011). Karena
komunikasi atau kehadiran orang tua penting bagi kesehatan mental anak, maka
peneliti ingin mengetahui bagaimana komunikasi antara orang tua dan mahasiswa
rantau yang sedang menempuh pendidikannya di Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS).

1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan rumusan
masalah tentang:
a. Bagaimana cara komunikasi orang tua dan mahasiswa rantau UMS serta kaitannya
dengan kesehatan mental mahasiswa?
b. Apa saja hambatan yang muncul dalam komunikasi orang tua dan mahasiswa
rantau UMS?
1.3 Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan khusus dilakukannya penelitian ini antara lain sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui cara komunikasi orang tua dan mahasiswa rantau UMS serta
kaitannya dengan kesehatan mental mahasiswa.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang muncul dalam komunikasi orang tua
dan mahasiswa rantau UMS.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi penulis dan penelitan selanjutnya
dalam menggali komunikasi interpersonal keluarga antara mahasiswa dan orang
tua sebagai penunjang kesehatan mental mahasiswa rantau Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
b. Dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya komunikasi
interpersonal keluarga sebagai penunjang kesehatan mental mahasiswa rantau di
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
1.5 Keutamaan Penelitian
Penelitian ini mengkaji terkait komunikasi interpersonal keluarga yang dilakukan oleh
mahasiswa rantau UMS. Namun, peneliti juga melakukan kajian terhadap kaitan
antara komunikasi interpersonal tersebut dengan kesehatan mental mahasiswa seperti
culture shock perkuliahan yang dihadapi, stress akademik, maupun perasaan
homesick.
1.6 Temuan yang Ditargetkan
Target temuan dalam penelitian ini yaitu peneliti hendak melihat sejauh mana suka-
duka mahasiswa perantau dan bagaimana mereka mengatasi kendala perkuliahan yang
dialami dengan menggunakan mahasiswa rantau di Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
1.7 Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pesan atau informasi terkait komunikasi
interpersonal keluarga yang terjadi di antara mahasiswa rantau dan orang tua mereka.
Selain memberikan informasi terkait komunikasi interpersonal keluarga, peneliti juga
memberikan informasi terkait dampak komunikasi keluarga yang dilakukan terhadap
kesehatan mental mahasiswa rantau serta memberikan penjelasan terkait culture
shock, tekanan perkuliaha, maupun perasaan homesick yang dirasakan mahasiswa
rantau Universitas Muhammadiyah Surakarta.
1.8 Luaran Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan atau tolak ukur bagi calon mahasiswa
yang ingin merantau di Kota Surakarta, khususnya di Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS). Harapannya calon mahasiswa rantau tidak merasa kaget dengan
hal-hal yang akan dihadapi di tanah rantauan terlebih dengan tekanan akademik dan
stress yang lumrahnya dialami oleh mahasiswa rantau.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)


Salah satu komponen terpenting dalam komunikasi sebenarnya yaitu self (diri
sendiri). Menurut Leary, McDonald, dan Tangney (dalam Ningsih, 2015), self dapat
diartikan sebagai suatu keseluruhan psikologis yang memungkinkan refleksi atau
cerminan diri mempengaruhi pengalaman sadar yang mendasari semua persepsi,
keyakinan, dan perasaan tentang diri sendiri dan hal-hal yang menjadi kekuatan untuk
mengatur perilaku mereka sendiri. Dalam bahasa, self berarti diri sendiri,
menampakkan diri, sedangkan disclosure yang berarti menutup atau berhenti. Jadi,
disclosure sendiri memiliki arti openness atau keterbukaan. Maka dari itu, self-
disclosure adalah pengungkapan diri atau bentuk dari keterbukaan seseorang terhadap
sesuatu, namun beberapa peneliti seringkali menyebutnya sebagai penyingkapan diri.
Menurut Wei, M., Russell & Zakalik dkk. (dalam Pamuncak, 2011)
menjelaskan bahwa “self-disclosure refers to individual’s the verbal communication
of personality relevant information, thoughts, and feelings in order to let themselves
be known to others.” Artinya bahwa self-disclosure merupakan komunikasi verbal
yang menyampaikan pribadi, informasi, pikiran, dan perasaan khawatir yang
ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui tentang dirinya.
Tujuan dan fungsi komunikasi interpersonal menjelaskan bahwa komunikasi
tersebut dapat menciptakan hubungan yang lebih bermakna dengan orang lain.
Membentuk hubungan yang lebih bermakna tidak lepas dari keterbukaan diri.
Pengungkapan diri adalah bentuk komunikasi yang mengungkapkan terkait dengan
diri seorang individu kepada orang lain. Devito (dalam Ningsih, 2015) menjelaskan
bahwa pengungkapan diri atau self-disclosure adalah suatu bentuk komunikasi
dimana seseorang mengungkapkan informasi tentang dirinya yang biasanya
disembunyikan oleh orang tersebut. Istilah pengungkapan diri menggambarkan
penyediaan informasi secara sadar seperti. Pernyataan: "Aku takut terbang" atau "Aku
menghabiskan beberapa waktu di penjara sebelum bertemu denganmu."
Pengungkapan diri dengan bentuk seperti ini juga dapat diartikan sebagai
pengungkapan informasi tentang diri yang sebenarnya tidak diketahui oleh orang lain.
Dikutip dari Devito (dalam Ningsih, 2015) yang mendefinisikan dan
menegaskan bahwa self-disclosure dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk informasi
yang bersifat rahasia atau tersimpan dan kemudian diteruskan kepada orang lain,
sehingga menjadi bentuk komunikasi. Fisher (1978:261) memperkuat dengan
pendapatnya bahwa pengungkapan diri secara umum didefinisikan sebagai
pengungkapan informasi tentang diri sendiri yang dimana pihak lain tidak
menyadarinya dalam beberapa hal.
Pernyataan-pernyataan terkait dengan self-disclosure tersebut kemudian
dipertegas oleh Morton, Barker & Gaut (dalam Gainau, 2009) yang mengemukakan
bahwa self-disclosure merupakan kemampuan seseorang untuk mengkomunikasikan
informasi kepada orang lain, termasuk pikiran/pendapat, keinginan, perasaan, dan
perhatian. Sementara itu, Laurenceau, Barrett, dan Pietromonaco (1998) dan Crider
(1983) mengatakan bahwa self-disclosure terdiri dari persepsi, opini, dan perasaan.
Pelaporan kepada orang lain membuat orang tersebut merasa dihargai, diperhatikan,
dan dipercaya oleh orang lain, sehingga hubungan komunikasi menjadi lebih akrab
setelahnya. Pendapat ini juga diperkuat dengan pendapat Johnson (dalam Fajar, 2015)
bahwa bersifat terbuka kepada orang lain artinya kita memberikan rasa perhatian atas
perkataan atau tindakan mereka, atau dengan kata lain kita menerima keterbukaan
mereka terhadap kita. Dalam hal ini, orang lain atau pihak lain yang
mendengarkannya akan siap menerima respon atau reaksinya terhadap situasi yang
dialami.
Berdasarkan konsep self-disclosure yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
dapat ditegaskan bahwa self-disclosure atau keterbukaan diri adalah suatu proses
dimana seseorang mengungkapkan dirinya terkait dengan informasi yang sebelumnya
diketahuinya dan kemudian dibagikan kepada orang lain, termasuk pikiran, perasaan,
dan ekspresi diri yang mendalam lainnya. Joseph A. Devito (1986) menyebutkan
bahwa self-disclosure memiliki 5 dimensi, antara lain :
1) Pengukuran teori self-disclosure
2) Tingkat valensi self-disclosure
3) Validitas kelengkapan, kecermatan, dan kejujuran
4) Orientasi maksud dan tujuan
5) Tingkat keakraban dengan orang lain

Penelitian sebelumnya tentang teori self-disclosure telah dilakukan oleh South


et al. pada tahun (2020) berjudul “Pengaruh Komunikasi Antarpribadi Orang Tua
Terhadap Pengungkapan Diri Anak Remaja di Desa Towuntu Timur Kecamatan
Pasan Kabupaten Minahasa Tenggara”. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini telah
menunjukkan bahwa dengan menggunakan teori keterbukaan diri atau self-disclosure
sebagai latar belakang teori, variabel komunikasi orang tua berkontribusi hingga
42,2%, dari variabel pengungkapan diri remaja, sementara sisanya sekitar 57,8%
dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak dibahas lebih lanjut pada penelitian ini.
Studi lain yang relevan telah dilakukan juga oleh Tania dan Nurudin (2021) dengan
judul “Self-Disclosure Komunikasi Antar Pribadi Pasangan Jarak Jauh dalam
Mempertahankan Hubungan Saat Physical Distancing Era Pandemic COVID-19”.
Hasil pada penelitian ini telah menunjukkan bahwa :

1) Inti komunikasi di masa pandemi LDR lebih luas daripada tatap muka.
2) Adanya pengalaman saling mempengaruhi unsur akurasi laporan diri.
3) Menentukan topik dan waktu menjadi salah satu hal yang terpenting dalam
penilaian diri dan komunikasi.
4) Dalam proses pengungkapan diri, kepribadian pasangan mempengaruhi sifat
pengungkapan diri itu sendiri.
5) Perubahan sikap melalui komunikasi tidak terlihat dan tidak dapat ditentukan
secara pasti.
Teori self-disclosure digunakan dalam penelitian ini karena menurut peneliti
teori ini relevan dan sesuai untuk menganalisis hasil penelitian. Hal ini dikarenakan
mahasiswa rantau yang tinggal di luar daerah membutuhkan keterbukaan diri untuk
mengungkapkan perasaannya kepada keluarga demi menjaga kewarasannya.
Keterbukaan diri ini menjadi bagian yang sangat penting bagi mahasiswa, khususnya
mahasiswa rantau, agar bisa terus bertahan dengan berbagi keluh kesah.

2.2 Komunikasi Interpersonal


Berdasarkan pemikiran Carl I. Hovland, ilmu komunikasi dapat didefinisikan
sebagai upaya dan/atau strategi sistematis guna merumuskan secara tegas prinsip-
prinsip transfer informasi melalui pembentukan opini dan sikap. Secara umum dapat
digarisbawahi bahwa komunikasi merupakan suatu bentuk informasi yang dibagikan
secara menyeluruh. R. Wayne Pace (1979) juga telah mengartikan bahwa
interpersonal communication (komunikasi antarpribadi) adalah proses dalam
berkomunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih secara langsung ataupun tatap
muka, dimana pihak pengirim dapat langsung menyampaikan pesan dan penerima
langsung menerima serta kemudian menanggapi pesan tersebut.
Komunikasi interpersonal juga dapat digambarkan sebagai komunikasi tatap
muka antara orang yang satu dengan lainnya atau bahkan sekelompok orang dalam
satu tempat, dimana memungkinkan setiap individu untuk secara langsung
menangkap reaksi orang lain, baik secara verbal maupun non-verbal. Komunikasi
interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau
sekelompok kecil orang dengan beberapa efek dan umpan balik segera. Setelah
melalui proses interpersonal ini, pesan ditransmisikan ke orang lain, proses pertukaran
informasi antara satu orang dengan orang lain atau biasanya antara dua orang yang
dapat langsung mengetahui umpan baliknya. Semakin banyak orang yang terlibat
dalam komunikasi, semakin rumit komunikasi tersebut.
Komunikasi antar manusia atau dikenal dengan sebutan komunikasi
interpersonal termasuk dalam salah satu bentuk kegiatan aktif dan bukan kegiatan
yang pasif. Komunikasi interpersonal tidak hanya melibatkan kegiatan komunikasi
dari pengirim kepada penerima pesan dan sebaliknya, akan tetapi komunikasi dua
arah antara pengirim maupun penerima pesan. Komunikasi interpersonal bahkan tidak
hanya sekedar sebagai bentuk rangkaian stimulus-respons saja, melainkan rangkaian
proses yang saling menerima, menyajikan, dan menyampaikan tanggapan yang sudah
diolah oleh berbagai pihak yang terlibat. Komunikasi antar manusia ini sangat
berperan penting dalam perubahan dan perkembangan bersama. Perubahan tersebut
dapat terjadi melalui interaksi antar komunikasi yang terjalin, dimana para pihak
memberikan inspirasi, dorongan, dan motivasi untuk mengubah pikiran, perasaan dan
sikap sesuai topik yang digali bersama.
Agar komunikasi antar manusia atau interpersonal ini dapat menciptakan
hubungan manusia secara efektif dan meningkatkan kerja sama, maka kita harus
saling terbuka, percaya, dan saling memberikan support antara satu dengan lainnya,
serta memiliki sikap terbuka yang mendorong munculnya rasa saling pengertian,
penghargaan, dan pengembangan. Hubungan interpersonal harus diperluas dan
ditingkatkan dengan memperkuat hubungan dan kerja sama dengan berbagai pihak.
Makna komunikasi interpersonal terjadi secara dialogis. Hal ini menunjukkan
terjadinya interaksi, dimana seseorang atau individu yang berpartisipasi dalam bentuk
komunikasi tersebut memiliki dua peran, masing-masing berperan sebagai pembicara
dan pendengar secara bergantian. Dalam aspek komunikasi dialogis, komunikator
tampak berusaha mencapai saling pengertian dan empati. Melalui proses tersebut, rasa
saling menghargai bukan berasal dari status sosial, melainkan dari anggapan bahwa
setiap orang adalah manusia yang memiliki hak dan kewajiban, berhak dan pantas
untuk dihormati dan dihargai sebagai manusia.
Cenderung merubah sikap, keyakinan, pendapat dan perilaku komunikator,
maka bentuk komunikasi interpersonal yang sering digunakan untuk melakukan
komunikasi persuasi yaitu teknik komunikasi manusia secara psikologis yang bersifat
ajakan dan fleksibel sehingga berorientasi pada sifat persuasif. Dengan demikian,
setiap media melakukan empat operasi yaitu pembentukan pesan, pengiriman,
penerimaan dan pemrosesan, keempat operasi ini biasanya terjadi secara berurutan
dan pembentukan pesan didefinisikan sebagai pembangkitan ide atau gagasan dengan
tujuan tertentu.
Komunikasi interpersonal memiliki beberapa dimensi yang mengesankan.
Menurut DeVito (2013), komunikasi interpersonal yang efektif harus memenuhi lima
dimensi berikut:
a. Keterbukaan
b. Selalu berfikiran positif
c. Rasa empati
d. Saling support atau memberikan dukungan
e. Kesetaraan

Penelitian sebelumnya tentang komunikasi interpersonal telah dilakukan oleh


Nabila pada tahun (2022) yang berjudul “Peranan Komunikasi Orang Tua Terhadap
Kesehatan Mental Anak Remaja di Masa Pandemi Covid-19”. Kajian studi penelitian
ini menunjukkan bahwa komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan anak-anak
yang memasuki fase remaja ternyata memiliki peran yang cukup penting dalam
meningkatkan kesehatan mental pada masa pandemi Covid-19. Tugas komunikasi
orang tua antara lain seperti menginformasikan, mendidik, mengendalikan, dan
memberikan motivasi, serta dukungan penuh terhadap anaknya. Peran komunikasi
orang tua dalam hal ini membuat kesehatan mental remaja menjadi lebih penting bagi
remaja untuk berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Studi signifikan lainnya juga telah diterbitkan oleh Barus et al. (2020) berjudul
“Komunikasi Interpersonal Tenaga Kerja Indonesia dan Anak”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hal pertama yaitu lemahnya interaksi yang terjadi antara anak
dengan orang tua seringkali disebabkan oleh terputusnya sambungan teknologi
komunikasi dan kesibukan orang tua yang semakin padat, sehingga jarang dapat
berkomunikasi dengan anak. Kendala lain adalah kurangnya makna antarpribadi
karena gerakan dan ekspresi yang tidak biasa yang dihasilkan dari komunikasi tidak
langsung. Hal kedua yaitu sikap orang tua yang memperhatikan kondisi anak, namun
tidak secara detail, sehingga anak sering melakukan pelanggaran. Hal ketiga yaitu
pesan dalam bentuk pertanyaan tertutup dapat mengakibatkan kurangnya umpan balik
atau feedback, dimana telah mengurangi dinamika dialog antara orang tua dengan
anak.

2.3 Kesehatan Mental


Kesehatan mental atau mental health sangat dipengaruhi oleh adanya budaya
yang ada di tempat tinggal seseorang. Apa yang diperbolehkan dalam suatu budaya
mungkin saja menjadi sesuatu hal yang tidak normal di budaya lain, atau bahkan
sebaliknya. Kesehatan mental dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang
tidak merasa bersalah, mempunyai evaluasi diri yang realistis dan mampu menerima
kekurangannya, mempunyai kemampuan untuk menghadapi atau menyelesaikan
masalah dalam kehidupannya, mempunyai rasa puas dengan kehidupan sosialnya, dan
mempunyai kebahagiaan dalam hidup.
Dalam arti lain, kesehatan mental merupakan salah satu bentuk terwujudnya
integritas kepribadian, keselarasan dengan identitas, pertumbuhan menuju aktualisasi
diri, dan hubungan yang sehat. Oleh karena itu, kesehatan mental menjadi prasyarat
khusus untuk tingkat kesejahteraan mental dimana individu dapat berfungsi dengan
baik, menikmati hidup secara seimbang dan beradaptasi dengan tantangan hidup, serta
merespon lingkungan sosial budaya maupun agama yang berperan untuk menciptakan
batasan sehat ataupun tidak sehat. Berdasarkan definisi yang lebih positif ini,
kesehatan mental menjadi landasan untuk mencapai kesejahteraan individu dan
berfungsi secara efektif dalam masyarakat.

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini mengadopsi metode naturalistik atau kualitatif karena
dilaksanakan pada situasi yang alamiah. Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa
metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang mempelajari keadaan
objek di alam, di mana peneliti sebagai alat sentral, teknik pengumpulan data
dilaksanakan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif yang penekanannya lebih ke arah makna dibandingkan dengan
generalisasi. Objek alami yang dirujuk oleh Sugiyono (2013), adalah objek apa
adanya, yang belum dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi saat peneliti tiba di
objek setelah masuk dan keluar dari objek bersifat relatif tidak berubah.
Metode kualitatif Creswell (2015) adalah proses penelitian dan pemahaman
berdasarkan metodologi yang mempelajari fenomena sosial dan masalah manusia.
Peneliti mengambil gambaran yang kompleks, memeriksa kata-kata, melaporkan
pandangan rinci dari responden dan melakukan penelitian di lingkungan alami.
Bogdan dan Taylor (dalam Creswell 2015) menyebutkan bahwa metode kualitatif
adalah teknik penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang diamati.
Karakteristik yang paling penting dari penelitian kualitatif adalah makna.
Dengan demikian, penelitian naturalistik tidak memperhatikan kesamaan antara objek
penelitian, tetapi mengungkapkan wawasan tentang kehidupan orang yang berbeda.
Pemikiran ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa maknanya berbeda untuk setiap
orang. Oleh karena itu, tidak mungkin mengungkap realitas manusia unik ini dengan
menggunakan alat selain manusia sebagai instrumennya.
Dengan menggunakan metode kualitatif ini, realitas atau fenomena mengenai
komunikasi interpersonal keluarga antara orang tua dan mahasiswa rantau sebagai
penunjang kesehatan mental mahasiswa UMS akan dipandang sebagai suatu hasil
konstruksi pemikiran yang dinamis dan penuh makna. Hal ini sesuai dengan teori
Sugiyono (2013) bahwa realitas dalam metode penelitian kualitatif merupakan
konstruksi pemahaman terhadap semua data beserta maknanya.
Menurut Farid (2018), tidak ada tujuan universal atau umum di antara
manusia, melainkan makna unik yang muncul dari situasi individu, pendekatan
fenomenologis ketika peneliti menyelidiki komunikasi interpersonal yang dilakukan
oleh mahasiswa rantau UMS. Hal ini sesuai dengan Moleong dalam Nuryanto et al.
(2019), artinya peneliti berusaha memahami makna peristiwa dan hubungannya
dengan orang-orang dalam situasi tertentu dari perspektif fenomenologis.
Fenomenologi tidak memungkiri bahwa peneliti tidak lepas dari prasangka
atau asumsinya. Namun di sisi lain, fenomenologi memiliki satu ciri yaitu bahwa
fenomena yang dipelajari harus merupakan gejala yang murni atau asli. Dengan kata
lain, gejala ini tidak boleh disamakan dengan fenomena lain yang tidak terkait, atau
dipengaruhi oleh interpretasi lain yang berasal dari budaya, kepercayaan, atau bahkan
teori ilmiah yang sudah ada sebelumnya. Realitas fenomenologi tidak lain adalah
gejala pertama, murni dan asli. Syarat utama keberhasilan penggunaan metode
fenomenologis adalah bebas dari pra-anggapan atau asumsi.
Kuswarno dalam Pragholapati (2020) menyatakan bahwa fenomenologi
berusaha untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang-orang yang
mengalaminya secara langsung dan mengacu pada ciri-ciri alamiah pengalaman
manusia dan makna-makna yang terkait dengannya. Objek penelitian fenomenologis
adalah kesadaran akan pengalaman, yaitu situasi yang menawarkan perspektif
eksperiensial terhadap kepribadian pertama. Jadi dengan menggunakan pendekatan
fenomenologi, peneliti berusaha untuk menggali fenomena komunikasi interpersonal
keluarga yang terjadi antara orang tua dengan mahasiswa rantau sebagai penunjang
kesehatan mental mahasiswa UMS.
3.2 Tahapan Penelitian
Terdapat beberapa tahapan penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini,
antara lain:
1) Tahap Pra-Lapangan
Orientasi yang meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan
teori dan disiplin ilmu, penjajakan dengan konteks penelitian mencakup observasi
awal ke lapangan dalam hal ini adalah Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS), penyusunan usulan penelitian dan seminar proposal penelitian, kemudian
dilanjutkan dengan mengurus perizinan penelitian kepada subjek penelitian.
2) Tahap Kegiatan Lapangan
Tahap kegiatan lapangan, tahap ini meliputi pengumpulan data-data yang terkait
dengan fokus penelitian yaitu tentang komunikasi interpersonal yang dilakukan
oleh orang tua dan mahasiswa rantau sebagai penunjang kesehatan mental
mahasiswa UMS.
3) Tahapan Analisis Data
Pada tahap ini, data yang diperoleh melalui observasi partisipan, wawancara
mendalam dan dokumentasi diolah dan diorganisir, dilanjutkan dengan
interpretasi data sesuai dengan konteks masalah yang diteliti. Selain itu, untuk
memverifikasi keakuratan data dengan meninjau sumber data dan metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data sebagai valid, data yang bertanggung jawab
adalah dasar dan bahan untuk mengungkapkan makna atau interpretasi data yang
merupakan proses untuk menentukan pemahaman tentang konteks kajian yang
sedang diteliti.
4) Tahapan Penulisan Laporan
Langkah ini melibatkan kompilasi hasil penelitian dari semua kegiatan
pengumpulan data untuk memahami data. Kemudian mendiskusikan hasil
penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan umpan balik perbaikan
sehingga dapat menyempurnakan hasil penelitian.
5) Langkah adalah mengatur cakupan persyaratan tugas akhir.
3.3 Objek atau Variabel Penelitian
Objek penelitian ialah hal yang perlu diperhatikan pada penelitian dikarenakan
objek penelitian ialah tujuan yang ingin digapai guna memperoleh jawaban atau
penyelesaian. Objek penelitian ialah tujuan ilmiah untuk memperoleh informasi
tentang suatu fakta yang objektif, valid dan terpercaya (variabel tertentu) yang
berkaitan dengan tujuan tertentu dan kegunaan yang diharapkan. Objek yang dipilih
pada penelitian ini ialah komunikasi interpersonal keluarga yang dilakukan orang tua
dengan mahasiswa rantau Universitas Muhammadiyah Surakarta terutama mahasiswa
ilmu komunikasi.
3.4 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik-teknik
sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi yang
melibatkan pencatatan keadaan atau perilaku objek sasaran. Dalam hal ini peneliti
melakukan pengamatan langsung berkaitan dengan komunikasi interpersonal
keluarga yang dilakukan oleh orang tua dan mahasiswa sebagai penunjang
kesehatan mental mahasiswa rantau di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
b. Wawancara
Wawancara mendalam ialah wawancara yang pada bagian isinya terdapat
pertanyaan-pertanyaan yang belum ada jawaban lain dari jawaban yang telah
ditentukan sebelumnya. Namun, sering kali, wawancara khusus dilaksanakan
dengan banyak responden pada waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Hal ini
baik dilaksanakan ketika peneliti memiliki daftar pertanyaan yang terstruktur,
tetapi akan lebih baik lagi untuk mencocokkan semuanya senatural mungkin.
Metode ini membutuhkan keterampilan menyimak yang detail sebagai informasi
penelitian. Catatan wawancara juga dibutuhkan untuk merekam tanggapan non-
verbal subjek penelitian, keadaan wawancara, lokasi wawancara dan rekaman
audio. Peneliti melaksanakan tanya jawab langsung dengan narasumber-
narasumber yang telah ditentukan yaitu tujuh mahasiswa rantau prodi ilmu
komunikasi di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
c. Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk melengkapi keakuratan dan kebenaran data
atau informasi yang dikumpulkan dari bahan dokumen industri dan dapat
digunakan sebagai bahan untuk memverifikasi keakuratan informasi tersebut.
Analisis dokumen digunakan untuk mengumpulkan informasi yang berasal dari
arsip dan dokumen terkait penelitian yang berada di dalam atau di luar lokasi
penelitian. Metode ini mengumpulkan informasi yang sudah tersedia dalam
catatan dokumen. Tugasnya adalah mendukung dan melengkapi informasi yang
diperoleh melalui observasi dan wawancara.
Sementara data sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa jurnal,
buku, serta literatur lain yang relevan dengan penelitian ini.

3.5 Teknik Analisis Data


Pada dasarnya teknik analisis ini terdiri dari tiga bagian yaitu reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan serta pengujian. Reduksi data merupakan
langkah opsional bagi peneliti yang berusaha menyederhanakan, mengabstraksi, dan
mengubah data mentah sehingga catatan tertulis dapat diambil di lapangan. Penyajian
data merupakan salah satu kegiatan dalam penyusunan laporan penelitian yang
disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk menganalisis dan memahami
informasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Informasi yang ditampilkan
harus ringkas dan jelas agar mudah dipahami. Saat membuat dan menguji kesimpulan,
tujuannya adalah untuk melakukan analisis, mencari makna dalam informasi yang
tersedia, sehingga dapat ditemukan dalam penelitian yang dilakukan.
3.6 Penyimpulan Hasil Penelitian

Komunikasi interpersonal keluarga yang dilakukan antara mahasiswa rantau


dengan orang tua dinilai menjadi langkah untuk mengantisipasi terjadinya stress atau
berbagai tekanan yang dialami oleh mahasiswa rantau. Komunikasi interpersonal
dengan self-disclosure ditujukan agar mahasiswa mampu mengekspresikan perasaan
yang dialami selama melaksanakan kehidupan perkuliahan sehingga mampu
meringankan beban yang dirasakan dengan membaginya bersama orang lain dimana
dalam hal ini adalah anggota keluarga. Komunikasi keluarga yang sifatnya intim
dinilai efektif untuk memahami situasi dan kondisi yang dirasakan oleh seseorang,
khususnya bagi mahasiswa rantau Universitas Muhammadiyah Surakarta.

BAB 4 BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

4.1 Anggaran Biaya


Tabel 4.1 Format Rekapitulasi Rencana Anggaran Biaya

No Jenis Pengeluaran Sumber Dana Anggaran (Rp)


Bahan habis pakai Belmawa 3.850.000
4.600.000 Perguruan Tinggi 750.000
1.
Instansi Lain (jika -
ada)
Peralatan penunjang Belmawa 410.000
810.000 Perguruan Tinggi 300.000
2.
Instansi Lain (jika 100.000
ada)
Transportasi lokal Belmawa 550.000
550.000 Perguruan Tinggi -
3.
Instansi Lain (jika -
ada)
Biaya Akses Publikasi Belmawa 600.000
1.040.000 Perguruan Tinggi 440.000
4.
Instansi Lain (jika -
ada)
Jumlah

Belmawa 5.410.000
Perguruan Tinggi 1.490.000
Rekap Sumber Dana Instansi Lain (jika 100.000
ada)
Jumlah 7.000.000

4.2 Jadwal Kegiatan

Tabel 4.2 Jadwal Kegiatan

Bulan Penanggungjawab
No. Jenis Kegiatan
1 2 3 4
1. Brainstorming
2. Observasi Lapangan
3. Pengolahan data
4. Penyusunan laporan
Daftar Pustaka

Creswell, J. (2015). Riset Pendidikan: Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi Riset


Kualitatif & Kuantitatif.

Farid, M. (2018). Fenomenologi: Dalam Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Prenada Media.

Nabila, N. (2022). Peranan Komunikasi Orang Tua Terhadap Kesehatan Mental Anak
Remaja di Masa Pandemi Covid-19 (Doctoral dissertation).

Nadlyfah, A. K., & Kustanti, E. R. (2020). Hubungan antara pengungkapan diri dengan
penyesuaian diri pada mahasiswa rantau di semarang. Jurnal Empati, 7(1), 136-144.

Nursanti, S., Utamidewi, W., & Tayo, Y. (2021). Kualitas komunikasi keluarga tenaga
kesehatan di masa pandemic COVID-19. Jurnal Studi Komunikasi, 5(1), 233-248.

Nuryana, A., Pawito, P., & Utari, P. (2019). Pengantar Metode Penelitian Kepada Suatu
Pengertian Yang Mendalam Mengenai Konsep Fenomenologi. Ensains Journal, 2(1),
19-24.
Pragholapati, A. (2020). Pengalaman Seseorang yang Bercerai Karena Perselingkuhan di
Kota Bandung: Fenomenologi. Jurnal Surya Muda, 2(2), 66-75.

Sugiyono, D. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan


R&D.

Suoth, K. T., Rembang, M., & Kalangi, J. (2020). Pengaruh Komunikasi Antarpribadi Orang
Tua Terhadap Pengungkapan Diri Anak Remaja di Desa Towuntu Timur Kecamatan
Pasan Kabupaten Minahasa Tenggara. Acta Diurna Komunikasi, 2(4).

Tania, A. S. R., & Nurudin, N. (2021). Self-Disclosure Komunikasi Antar Pribadi Pasangan
Jarak Jauh dalam Mempertahankan Hubungan Saat Physical Distancing Era Pandemic
COVID-19. Komuniti: Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi, 13(1), 1-15.

Thahir, A. Z., & Suryanto, S. (2022). Stress Akulturatif pada Individu Mahasiswa Rantau di
Surabaya. JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(11), 4909-4916.
Wibowo, D. H., & Kojongian, M. G. R. (2022). Sendiri Saat Pandemi: Peran Kecerdasan
Emosi terhadap Stres pada Mahasiswa Rantau. Jurnal Sains Psikologi, 11(1), 1-9.
Lampiran 2. Justifikasi Anggaran Kegiatan

NO Jenis Perlengkapan Harga Satuan Jumlah


(Rp)

1 Alat tulis dan print Rp.13.600 312.800

2 Transportasi Rp.25.000 75.000

3 Konsumsi Rp.10.000 230.000

Jumlah Rp.617.800

Anda mungkin juga menyukai