Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Masa remaja merupakan periode kritis dalam perkembangan individu, yang
ditandai oleh transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada umumnya,
remaja cenderung memiliki energi yang tinggi dan emosi yang bergejolak sebagai
bagian dari eksplorasi identitas dan penemuan diri. Namun, Ali & Asrori (2014)
menekankan bahwa pengendalian diri pada masa ini belum sepenuhnya sempurna.
Hal ini dapat mengarah pada berbagai tantangan, terutama dalam hal interaksi
sosial. Menurut penelitian oleh Susanto (2010) remaja yang mengalami kesulitan
dalam mengendalikan diri cenderung menunjukkan kemampuan interaksi sosial
yang maladaptif. Mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam menjalin
hubungan pertemanan karena kecenderungan untuk menyendiri, berkonflik,
marah-marah, dan cenderung memiliki jumlah teman yang terbatas. Fenomena ini
menyoroti perlunya perhatian terhadap aspek sosial dan emosional dalam
mendukung perkembangan remaja agar dapat melewati fase ini dengan baik.
Upaya pembinaan yang melibatkan pengembangan keterampilan sosial dan
kontrol emosi dapat membantu remaja mengatasi tantangan ini dan membangun
hubungan interpersonal yang sehat.
Menurut Suryobroto dalam (Bahri Syaiful, 2011) masa usia sekolah dianggap
sebagai periode yang sangat penting dalam perkembangan intelektual anak-anak.
Hal ini dikarenakan pada masa ini, anak-anak cenderung lebih mudah dididik
dibandingkan dengan masa sebelumnya dan sesudahnya. Pada awal sekolah dasar,
terdapat dua fase yang dibedakan, yaitu fase kelas rendah sekolah dasar (6-9
tahun) dan fase kelas tinggi sekolah dasar (9-12 tahun) (Bahri Syaiful, 2011). Fase
ini memperlihatkan bahwa dalam rentang usia tersebut, anak-anak mengalami
perkembangan kognitif dan kecerdasan yang signifikan. Pada fase kelas rendah,
anak-anak cenderung mengalami dasar-dasar pembelajaran awal, sedangkan pada
fase kelas tinggi, mereka semakin mampu mengasimilasi informasi dengan lebih
kompleks. Masa ini memberikan peluang besar untuk pengembangan
keterampilan intelektual, kemampuan kognitif, dan pembentukan dasar
pengetahuan yang kuat. Oleh karena itu, pendidikan pada masa usia sekolah
menjadi kunci penting dalam membentuk dasar intelektual yang kokoh bagi
perkembangan anak-anak.
Hafied (2011) dalam perjalanan fase pendidikan, interaksi sosial menjadi
elemen krusial yang membentuk perkembangan peserta didik. Interaksi tersebut
melibatkan hubungan antar sesama peserta didik, relasi dengan guru, dan
keterlibatan dengan lingkungan sekitar. Pemahaman ini sejalan dengan pandangan
yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang secara alamiah
merasa keinginan untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Ada dorongan
bawaan pada manusia untuk mengetahui lebih banyak tentang dunia di sekitarnya,
termasuk pemahaman terhadap diri sendiri. Rasa ingin tahu ini mendorong
manusia untuk berkomunikasi, baik melalui percakapan verbal maupun
melibatkan diri dalam interaksi sosial. Dalam konteks pendidikan, interaksi sosial
di dalam kelas dan lingkungan sekolah tidak hanya membantu peserta didik
memahami materi pelajaran, tetapi juga membentuk keterampilan komunikasi,
kepemimpinan, dan kerjasama yang esensial dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, interaksi sosial menjadi bagian integral dari proses pembelajaran yang
tidak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga mengasah keterampilan sosial
yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Pandangan H. Borner mengenai interaksi sosial menyajikan perspektif yang
menggambarkan hubungan kompleks antara individu atau kelompok. Menurut
Borner, interaksi sosial terjadi ketika perilaku satu individu memiliki dampak,
mengubah, atau memperbaiki perilaku individu lain, dan sebaliknya. Dalam
konteks siswa di sekolah, interaksi sosial terutama dapat ditemukan dalam
hubungan dengan kelompok teman sebaya. Di lingkungan sekolah, siswa sering
berinteraksi dalam berbagai konteks, seperti kerjasama, persaingan, dan konflik.
Dalam situasi kerjasama, siswa dapat saling memotivasi dan mendukung satu
sama lain dalam mencapai tujuan bersama. Di sisi lain, situasi persaingan
mungkin memunculkan kompetisi yang sehat, sementara konflik dapat muncul
karena perbedaan pendapat atau kepentingan. Dengan demikian, interaksi sosial di
sekolah tidak hanya mencakup aspek positif seperti kerjasama, tetapi juga
melibatkan dinamika kompleks dari persaingan dan konflik, yang pada akhirnya
membentuk pola hubungan yang beragam dan mendalam di antara siswa.
Memahami dinamika ini penting dalam konteks pendidikan, karena
memungkinkan pengembangan keterampilan sosial dan penyelesaian konflik yang
konstruktif bagi peserta didik (Purwianti et al., 2020).
Faktor lingkungan sekolah dapat menjadi penyebab tindakan bullying, yang
seringkali berkaitan dengan perbedaan karakteristik antar siswa. Dalam konteks
ini, perbedaan tingkat kognitif siswa dan adanya kelompok-kelompok bermain
menjadi faktor yang signifikan. Variasi dalam tingkat kognitif siswa dapat
menciptakan kesenjangan dalam kemampuan akademis, yang mungkin menjadi
sumber ketidaksetaraan dan potensi intimidasi. Selain itu, adanya kelompok
bermain yang tertutup dapat menciptakan divisi sosial di antara siswa,
mengakibatkan kurangnya integrasi dan interaksi antar kelompok. Kondisi ini
menciptakan lingkungan yang kurang inklusif dan menyebabkan siswa merasa
sulit untuk membaur. Oleh karena itu, pemahaman dan penanganan terhadap
faktor-faktor lingkungan sekolah yang memicu ketidaksetaraan dan isolasi sosial
dapat membantu mencegah tindakan bullying dan menciptakan atmosfer yang
lebih aman dan mendukung bagi seluruh siswa.(KHALIFAH, 2018)
Verbal bullying merupakan bentuk perilaku menyakiti emosional yang
menggunakan kata-kata atau makian untuk merendahkan dan mengejek
korbannya. Tindakan ini seringkali tidak habis-habis dan bisa mencakup
penggunaan kata-kata kasar, penghinaan terkait ketidakmampuan fisik, serta
penilaian negatif terhadap kecerdasan dan minat korbannya. Pelaku verbal
bullying dapat mengolok-olok suku, agama, atau bahkan menyerang aspek fisik
secara menyeluruh. Contohnya, merendahkan penampilan fisik, mencela
kegemaran, atau menghina atribut pribadi tertentu. Tindakan seperti ini tidak
hanya memiliki dampak psikologis yang serius pada korban, tetapi juga dapat
menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak mendukung di tempat
berinteraksi, seperti sekolah atau tempat kerja. Pencegahan dan penanggulangan
verbal bullying memerlukan kesadaran masyarakat serta upaya untuk
mempromosikan penghargaan terhadap perbedaan dan mengajarkan komunikasi
yang sehat.
Perilaku verbal bullying memiliki dampak serius meskipun luka yang
dihasilkan tidak terlihat secara fisik seperti pada tindakan bullying yang bersifat
fisik. Meskipun tidak nampak secara langsung, luka emosional yang timbul akibat
perkataan yang merendahkan dan mengejek dapat memberikan dampak jangka
panjang pada korban. Siswa yang menjadi korban verbal bullying sering kali
mengalami perasaan dikucilkan, kehilangan rasa percaya diri, dan takut untuk
berinteraksi sosial. Mereka dapat merasa terisolasi, kehilangan kepercayaan diri,
dan menarik diri dari kegiatan sosial. Dalam beberapa kasus, dampaknya bisa
sangat berat hingga menyebabkan korban merasa tertekan dan enggan
melanjutkan kegiatan sekolah. Oleh karena itu, penting untuk mendukung korban
verbal bullying, meningkatkan kesadaran terhadap dampak psikologis yang dapat
timbul, dan mempromosikan lingkungan yang aman dan mendukung di tempat
pendidikan. Pencegahan dan penanggulangan verbal bullying memerlukan peran
aktif dari seluruh komunitas sekolah dan masyarakat secara luas.
Berdasarkan data dari Jajak Pendapat (Jakpat), sebanyak 72,8% responden
mengakui bahwa mereka pernah mengalami bullying. Tindakan bullying, yang
melibatkan ancaman, penyebaran desas-desus, serangan fisik atau verbal, serta
pengucilan dari kelompok, memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan
individu. Angka yang tinggi ini menunjukkan perlunya tindakan preventif dan
kesadaran masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman, mendukung,
dan bebas dari perilaku bullying.

Sumber : (Naurah, 2023)


Menurut survei Jakpat yang dilakukan secara daring pada periode 14 Maret
2023 dengan partisipasi 2.929 responden, kekerasan verbal menjadi jenis bullying
yang paling sering dialami oleh korban, mencapai persentase sebesar 87,6%.
Disusul oleh kekerasan fisik dengan 27,5% dan cyber bullying dengan 19,6% dari
total responden. Adanya responden yang mengalami jenis bullying lainnya
sebanyak 0,9% menunjukkan variasi dalam pengalaman bullying yang masyarakat
alami. Metode survei yang menggunakan pertanyaan multiple answer memberikan
ruang bagi responden untuk memilih lebih dari satu jawaban, memberikan
gambaran yang lebih komprehensif terkait dengan beragam jenis bullying yang
ditemui dalam konteks survei tersebut (Naurah, 2023).
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, terutama di lingkungan sekolah
SMP Negeri 52 Surabaya, menggambarkan adanya sejumlah siswa yang
mengalami masalah dalam kehidupan sosial mereka. Salah satu contoh yang
mencolok adalah seorang siswa yang menjadi korban bullying secara intens,
menghadapi perlakuan yang tidak pantas berupa dikucilkan oleh teman-teman
sebayanya. Hasil observasi menunjukkan bahwa fenomena ini dapat disebabkan
oleh kondisi keluarga yang tidak stabil atau broken home, di mana siswa tersebut
mungkin kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari lingkungan
keluarganya. Akibatnya, siswa ini mencari perhatian dan dukungan dari teman-
teman sebaya, yang sayangnya dapat mengarahkannya kepada perilaku yang tidak
sehat. Dampak dari perlakuan ini terlihat jelas dalam kehidupan sosialnya di
sekolah, di mana teman-teman sekelas mengejek dan menjauhinya setelah
mengetahui situasi sulit yang dihadapinya. Ini menunjukkan pentingnya peran
keluarga dalam membentuk dukungan emosional bagi anak-anak, sehingga
mereka dapat menghadapi tantangan sosial di sekolah dengan lebih baik. Selain
itu, kepekaan dan responsifnya lingkungan sekolah juga memegang peran krusial
dalam memberikan perlindungan dan mendukung perkembangan sosial siswa
yang rentan.
Berdasarkan hasil observasi tersebut, maka adanya verbal bullying yang
dilakukan oleh siswa di sekolah tersebut, maka dari itu penulis tertarik untuk
membuat sebuah penelitian yang berjudul “Hubungan verbal bullying dengan
kemampuan interaksi social siswa”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah yaitu sebagai berikut :
a. Bagaimana perilaku verbal bullying siswa di Sekolah SMP Negeri 52
Surabaya?
b. Bagaimana Interaksi sosial siswa di Sekolah SMP Negeri 52 Surabaya?
c. Bagaimana hubungan perilaku verbal bullying dan interaksi social siswa di
Sekolah SMP Negeri 52 Surabaya?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat diketahui bahwa tujuan
penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan perilaku verbal bullying dan interaksi social
di Sekolah SMP Negeri 52 Surabaya
b. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui perilaku verbal bullying siswa di Sekolah SMP Negeri
52 Surabaya
2) Untuk mengetahui Interaksi sosial siswa di Sekolah SMP Negeri 52
Surabaya
3) Untuk mengetahui hubungan perilaku verbal bullying dan interaksi social
di Sekolah SMP Negeri 52 Surabaya

1.4. Manfaat Penelitian


a. Bagi Peneliti
Penelitian mengenai hubungan perilaku verbal bullying dan interaksi
sosial siswa di sekolah memiliki manfaat yang signifikan bagi berbagai pihak.
Bagi peneliti, penelitian ini dapat memberikan wawasan mendalam tentang
kompleksitas hubungan antara perilaku verbal bullying dan interaksi sosial
siswa, memperkaya pemahaman terhadap dinamika sosial di lingkungan
sekolah. Temuan penelitian ini dapat membantu peneliti untuk
mengembangkan strategi intervensi yang lebih tepat dan efektif.
b. Bagi pihak sekolah,
Penelitian ini memberikan kontribusi berharga dalam meningkatkan
pemahaman terhadap dampak perilaku verbal bullying terhadap interaksi
sosial siswa. Dengan pemahaman yang lebih baik, sekolah dapat
mengimplementasikan program anti-bullying yang lebih efektif,
mempromosikan lingkungan yang aman, dan memberikan dukungan yang
lebih baik bagi siswa yang mungkin menjadi korban.
c. Bagi peneliti lain,
Penelitian ini menyediakan landasan untuk penelitian selanjutnya dalam
bidang bullying dan interaksi sosial di lingkungan sekolah. Temuan dan
metodologi penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut
yang mendalam, memperkaya literatur ilmiah dan mengembangkan
pemahaman kolektif tentang isu-isu sosial di dunia pendidikan.
d. Bagi masyarakat,
Penelitian ini membawa manfaat dengan meningkatkan kesadaran
terhadap pentingnya menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan
mendukung. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara
perilaku verbal bullying dan interaksi sosial siswa, masyarakat dapat
bersama-sama mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan mengatasi
bullying, menciptakan lingkungan belajar yang positif, dan mendukung
perkembangan sosial dan emosional anak-anak di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., & Asrori, M. (2014). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. PT
Bumi Aksara.
Bahri Syaiful, D. (2011). Psikologi belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Cangara, H. (2011). Pengantar ilmu komunikasi.
KHALIFAH, R. N. U. R. (2018). HUBUNGAN PERILAKU BULLYING
DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL SISWA KELAS V SD
NEGERI 3 BANDAR SAKTI.
Naurah, N. (2023). Kekerasan Verbal Jadi Jenis Bullying yang Paling Banyak
Dialami Masyarakat. Goodstats. https://goodstats.id/article/kekerasan-
verbal-jadi-jenis-bullying-yang-paling-banyak-dialami-masyarakat-rkXuT
Purwianti, P., Azwar, B., & Putri, D. P. (2020). Hubungan Perilaku Verbal
Bullying dengan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Kelas V SDN 153
Bengko Sindang Dataran. Institut Agama Islam Negeri Curup.
SUSANTO, D. W. I. W. (2010). Fenomena Korban Perilaku Bullying pada
Remaja dalam Dunia Pendidikan. PRODI PSIKOLOGI UNIKA
SOEGIJAPRANATA.

Anda mungkin juga menyukai