Anda di halaman 1dari 14

Resume

Analisis Kurikulum Pendidikan Dasar


“Perkembangan Social dan Moral Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar”

Oleh:

Fadhila Salmanura

Nim: 19004134

Dosen Pembimbing:

Prof.Dr.Alwen Bentri, M.Pd.

Kurikulum Teknologi Pendidikan


Fakultas Ilmu Pendidikan
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Perkembangan Social dan Moral Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar

A. Perkembangan Sosial pada Anak Usia SD

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial.


Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk meyesuaikan diri terhadap norma-norma
kelompok, moral dan tradisi; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling
berkomunikasi dan bekerja sama. Kemampuan anak berkembang dari berbagai kesempatan
dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya. Kebutuhan berinteraksi
dengan orang lain telah dirasakan sejak usia 6 bulan, yang pada saat itu mereka telah mampu
mengenal manusia yang lain, terutama anggota keluarga. Anak mulai mampu membedakan
arti senyum dan perilaku sosial lain, seerti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan
kasih sayang.

Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa hubungan sosial (sosialisasi)


merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari
tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Sueann
Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang
membimbing anak kearah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota
masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif.

Dalam perkembangan sosial peserta didik usia Sekolah Dasar, kelompok dan
permainan anak memegang peran penting. Melalui kegiatan kelompok dan permainan, anak
Sekolah Dasar belajar berbagul dan bersosialisasi dengan anak lainnya. Perkembangan sosial
dapat menumbuhkan jiwa sosial dan perhatian terhadap lingkungan tanpa ada tekanan karena
perkembangan sosial dengan baik.

Menurut Hurlock (1980), perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan


berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Untuk mencapai kemampuan tersebut, orang
perlu melalui tiga proses, yaitu:

1. Belajar bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosial. Hal ini
dikarenakan setiap lingkungan sosial memiliki standart tingkh laku bagi para
anggotanya. Anak perlu mengetahui dan meyesuaikan perilakunya dengan standart
tersebut.
2. Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Misalnya, peran sebagai anak dirumah,
sebagai murid di sekolah dan sebagai teman bermain.
3. Perkembangan sikap sosial, yakni sikap positif terhadap lingkungan sosial dan
aktivitas sosial akan membantu anak untuk bermasyarakat dengan baik.

Lebih lanjut Hurlock (1980) mengungkapkan terdapat 4 faktor yang mempengaruhi


kemampuan sosialisasi antara lain :

1. Adanya kesempatan untuk bersosialisasi. Semakin besar kesempatan, anak akan


semakin terlatih dalam bersikap dan memberi respon terhadap situasi sosial.
2. Kemampuan berkomunikasi dengan topik menarik bagi orang lain.
3. Adanya motivasi untuk bersosialisasi. Anak dapat memiliki motavasi tinggi untuk
bersosialisasi apabila memeroleh kepuasan hubungan yang terjalin dengan orang lain
sehingga anak cenderung mengulang dan memperluas hubungan tersebut.
4. Metode belajar yang efekif adalah dengan biimbingan dari orang dewasa bagaimana
berperilaku dan memilih teman yang baik.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial pada Anak Sekolah Dasar

Menurut Sunarto dan Hartono (2006: 130-132) mengatakan bahwa perkembangan sosial anak
Sekolah Dasar dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah:

a. Keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan sosial anak. Diantara
faktor yang terkait dengan keluarga dan yang banyak berpengaruh terhadap perkembangan
sosial anak adalah hal-hal yang berkaitan dengan: Status sosial ekonomi keluarga dan
keutuhan keluarga, serta sikap dan kebiasaan orang tua.

b. Status Sosial Ekonomi

Masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai anak yang independen, akan tetapi
akan dipandang dalam konteksnya yang utuh dalam keluarga anak itu. “ia anak siapa”. Secara
tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya dan
memperhitungkan norma yang berlaku didalam keluarganya.

Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi normatif
yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial
anak senantiasa akan “menjaga status sosial dan ekonomi keluarganya”, maksudnya adalah
mengakibatkan menempatkan dirinya dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini akan
berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi “terisolasi” dari kelompoknya. Akibat lain mereka
akan membentuk kelompok elit dengan normanya sendiri.

c. Kapasitas Mental, Emosi dan Intelegensi

Kemampuan berpikir sangat mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar,


memecahkan masalah dan berbahasa. Anak yang mempunyai kemampuan intelektual tinggi,
kemampuan dalam berbahasa yang baik dan pengendalian emosional secara seimbang sangat
menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.

Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal
utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang
berkemampuan intelektual tinggi.

d. Kematangan atau pengalaman

Pengalaman sosial awal sangat menentukan perilaku kepribadian selanjutnya, sekolah


juga mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan sikap sosial anak, karena
selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, anak-anak mengahabiskan waktu bertahun-
tahun di sekolah sebagai anggota suatu masyarakat kecil yang harus mengerjakan seumlah
tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan membatasi perilaku, perasaan dan
sikap anak-anak.

e. Pendidikan

Di sekolah, guru membimbing perkembangan kemampuan sikap, dan hubungan sosial


yang ajar pada peserta didiknya. Hubungan sosial yang sehat dalam sekolah dan kelas
seyogyanya diprogram, dikreasikan, dan dipelihara bersama-sama dalam belajar, bermain dan
berkompetisi sehat. Sekolah mengupayakan layanan bimbingan kepada peserta didik.
Bimbingan selain untuk belajar, adalah untuk penyesuaian diri kedalam lingkungan atau juga
penyerasian terhadap lingkungannya.

Bentuk-bentuk Tingkah Laku Sosial Anak Sekolah Dasar

Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga,
orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-
bentuk tingkah laku sosial. Pada anak Sekolah Dasar, bentuk-bentuk tingkah laku sosial itu
adalah sebagai berikut:
1) Pembangkangan (negativisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah
laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau
lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Berkembangnya tingkah laku
negativisme pada usia ini dianggap wajar. Tigkah laku melawan merupakan salah satu
bentuk dari proses perkembangan tersebut.
2) Agresi, yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata
(verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustrasi (rasa
kecewa karena tidak terpenuhu kebutuhan/keinginannya) yang dialaminya. Agresi ini
mewujud dalam perilaku menyerang, seperti : memukul, mencubit, menendang,
menggigit, marah-marah dan mencaci maki. Orang tua menghukum anak yang
agresif, menyebabkan meningkatnya agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya
orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara
mengalihkan perhatian/ keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu yang
diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan keselamatannya), atau upaya lain
yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
3) Berselisih/bertengkar, terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung atau terganggu
oleh sikap dan perilaku anak lain, seperti diganggu pada saat mengerjakan sesuatu
atau direbut barang atau mainannya.
4) Menggoda, yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda merupakan
serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau
cemoohan), sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang-orang yang diserangnya.
5) Persaingan, yaitu keinginan untuk melebihi orang laindan selalu didorong oleh orang
lain.
6) Kerja sama, yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok.
7) Tingkah laku berkuasa, yaitu sejenins tingkah laku untuk menguasai situasi sosial,
mendominasi atau meminta, menyuruh dan mengancam atau memaksa orang lain
untuk memenui kebutuhan dirinya.
8) Mementingkan diri sendiri, yaitu sikap egosentris dalam memenuhi keinginannya.
Anak ingin selalu dipenuhi keinginannya dan apabila ditolak, maka dia protes dengan
menangis, menjerit atau marah-marah.
9) Simpati, yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian
terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama dengannya.
B. Perkembangan Moral Pada Anak Usia SD

Perilaku moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari kelompok
sosialnya. Moral berasal dari bahsa latin: mores berarti tatakrama atau kebiasaan. Perilaku
moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku, dimana
anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan oleh
masyarakatnya, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal menyesuaikan pada
harapan sosial. Perilaku tersebut tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial.
Perilaku unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari kelompok sosialnya.
Perilaku ini cenderung terlihat pada kanak-kanak. Ketika masih kanak-kanak, anak tidak
diharapkan untuk mengenal seluruh tata krama dari suatu kelompok. Begitu anak memasuki
usia remajadan menjadi anggota suatu kelompok, anak dituntut untuk bertingkah laku sesuai
dengan kebiasaan kelompoknya. Tingkah laku yang sesuai dengan aturan tidak hanya sesuai
dengan dasar-dasar yang ditetapkan secara sosial tetapi juga perlu diikuti secara suka rela.
Hal ini terjadi pada otoritas eksternal maupun internal. Dalam perkembangan moral kelak
anak-anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah. Kemudian, begitu anak
bertambah besar, ia harus tahu alasan mengapa sesuatu dianggap benar sementara yang lain
tidak. Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang
terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan mana yang baik dan mana yang
buruk.

Teori Kohlberg (Hersh, R.H. 1977) tentang perkembangan moral dibagi menjadi 3
level, yang masing-masing level dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut:

Level 1. Moralitas Prakonvensional

Tahap 1 - Ketaatan dan Hukuman. Tahap awal perkembangan moral terutama terjadi pada
anak-anak kecil, tetapi orang dewasa juga mampu mengekspresikan jenis penalaran ini. Pada
tahap ini, anak-anak melihat aturan sebagai hal yang tetap dan absolut. Mematuhi aturan itu
penting karena merupakan sarana untuk menghindari hukuman.;

Tahap 2 - Individualisme dan Pertukaran. Pada tahap perkembangan moral ini, anak-anak
menjelaskan sudut pandang individu dan menilai tindakan berdasarkan bagaimana mereka
melayani kebutuhan individu. Dalam dilema Heinz, anak-anak berpendapat bahwa tindakan
terbaik adalah pilihan yang paling baik memenuhi kebutuhan Heinz. Timbal balik adalah
mungkin, tetapi hanya jika melayani kepentingan diri sendiri.
Level 2. Moralitas Konvensional

Tahap 3 - Hubungan Interpersonal. Seringkali disebut sebagai orientasi "good boy-


good girl", tahap perkembangan moral ini difokuskan pada memenuhi harapan dan peran
sosial. Ada penekanan pada konformitas, bersikap "baik," dan mempertimbangkan
bagaimana pilihan memengaruhi hubungan.; Tahap 4 - Menjaga Ketertiban Sosial. Pada
tahap perkembangan moral ini, orang mulai menganggap masyarakat secara keseluruhan
ketika membuat penilaian. Fokusnya adalah menjaga hukum dan ketertiban dengan
mengikuti aturan, melakukan tugas seseorang dan menghormati otoritas.

Level 3. Moralitas Pasca-konvensional

Tahap 5 - Kontrak Sosial dan Hak Perorangan. Pada tahap ini, orang mulai
memperhitungkan perbedaan nilai, pendapat, dan kepercayaan orang lain. Aturan hukum
penting untuk mempertahankan masyarakat, tetapi anggota masyarakat harus menyetujui
standarstandar ini.;

Tahap 6 - Prinsip Universal. Tingkat penalaran moral terakhir Kolhberg didasarkan


pada prinsip-prinsip etika universal dan penalaran abstrak. Pada tahap ini, orang mengikuti
prinsipprinsip keadilan yang diinternalisasi ini, bahkan jika mereka bertentangan dengan
hukum dan peraturan.

anak-anak SD yang berusia 11-12 tahun secara umum termasuk dalam tahap pra
konvensional tahap ½ yang dominan diikuti tahap 2 dan 2/3, yang cenderung
melakukan sesuatu kegiatan bukan karena membutuhkan hasil melainkan karena takut
dihukum. Anak-anak SD yang berusia 11-12 tahun secara umum termasuk dalam tahap pra
konvensional tahap ½ yang dominan diikuti tahap 2 dan 2/3, yang cenderung melakukan
sesuatu kegiatan bukan karena membutuhkan hasil melainkan karena takut dihukum. anak-
anak SD yang berusia 11-12 tahun secara umum termasuk dalam tahap pra konvensional
tahap ½ yang dominan diikuti tahap 2 dan 2/3, yang cenderung melakukan sesuatu
kegiatan bukan karena membutuhkan hasil melainkan karena takut dihukum.

Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan
sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari dari
orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di
sekitar pelanggaran moral. Jadi, menurut piaget relativitasme moral menggantikan moral
yang kaku. Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan anak yang
lebih sadar bahwa dalam bebarapa situasi, berbohong dibenarkan, dan oleh karena itu,
berbohong tidak selalu buruk.

Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan
moral moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional atau moralitas
dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini oleh
Kohlberg disebutkan moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati
orang laindan untuk mempertahankan hubungan-hubunganyang baik. Dalam tahap kedua,
kohlberg mengatakan bahwa kalau kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang
sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk
menghindari penolakan kelompok dan celaan.

Cara Mempelajari Moral

Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai. Akibatnya,
tiap bayi yang baru lahir dapat dianggap amoral. Tidak seorang anakpun dapat diharapkan
mengembangkan kode moral sendiri. Maka, tiap anak harus diajarkan standart kelompok
tentang yang bernar dan yang salah.

Hurlock (1978) mengemukakan dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok
utama:

1) Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana


dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan. Elemen pertama yang penting
dalam belajar menjadi individu yang bermoral adalah belajar apa yang diharpkan
kelompok. Dalam setiap kelompok sosial beberapa perilaku yang dianggap benar atau
salah karena berkaitan dengan kesejahteraan anggota kelompoknya.
2) Menegmbangkan Hati Nuran. Kata hati merupakan kontrol internal (dalam diri)
terhadap tingkah laku seseorang. Tidak ada anak yang lahir dengan kata hati tertentu
dan setiap anak tidak hanya belajar mengenai apa yang benar dan apa yang salah,
tetapi anak harus menggunakan kata hatinya sebagai kontrol terhadap tingkah
lakunya. Hal ini merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa
anak usia sekolah. Kata hati merupakan sesuatu yang kompleks bagi anak-anak. Oleh
karena itu, pada awalnya tingkah laku mereka lebih banyak dikontrol oleh
lingkungan. Terjadi pergantian yang perlahan-lahan dari lingkungan ke kontrol yang
sudah terinternalisasi, pada saat itulah transisi sudah lebih lengkap.
3) Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai
dengan harapan kelompok. Setelah anak mengembangkan kata hati maka kata hati
akan diperrgunakan sebagai pedoman bagi tingkah laku mereka. Jika tingkah laku
mereka tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh kata hatinya maka mereka
akan merasa bersalah, malu atau keduanya.
4) Mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial untuk belajar apa saja yang
diharapkan anggota kelompok. Interaksi sosial memegang peran penting dalam
perkembangan moral anak karena dapat memberikan dasar-dasar dari tingkah laku
yang diterima masyarakat,memberikan motivasi melalui apa yang diterima

Pola Perkembangan Moral

Menurut Peaget, perkembangan moral terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama
disebut tahap realisme moral ( moralitas oleh pembatasan”. Tahap kedua disebut moralitas
otonomi ( moralitas oleh kerja sama atau hubungan timbal balik)

Dalam tahap yang pertama ini seorang anak menilai tindakan sebagai benar atau salah
atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motifasi dibelakangnya. Moral anak
otomatis mengikuti peraturan tanpa berfikir atau menilai, dan cendrung menganggap orang
dewasa yang berkuasa sebagai maha kuasa. Yang paling penting menurut Piaget bahwa anak
menilai suatu perbuatan benar atu salah berdasarkan hukuman bukan pada nilai moralnya.

Di tahap kedua perkembangan kognitif anak telah terbentuk sehingga dia dapat
mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu. Anak
mulai dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan dapat mempertimbangkan
berbagai faktor untuk memecahkan masalah

Peranan Disiplin dalam Perkembangan Moral

Disiplin berperan penting dalam perkembangan kode moral. Meskipun anak


memerlukan diisiplin, disiplin merupakan masalah yang serius bagi anak yang lebih besar.
Penggunaan secara kontinu teknik-teknik disiplin yang ternyata efektif ketika anak masih
kecil, cenderung menyebabkan kebencian pada yang lebih besar. Kalau disiplin dibutuhkan
dalam perkembangan, haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Jika anak
tidak berinteraksi dengan lingkungannya, anak tidak akan tahu tingkah laku apa yang akan
diterima
Interaksi sosial yang pertama dialami anak adalah melalui kehidupan
dilingkungannya. Melalui interaksi sosial, anak tidak hanya belajar mengenai kode-kode
moral, tetapi mereka juga berkesempatan untuk belajar mengevaluasi tingkah laku mereka.

Pengertian Disiplin

Kita semua mungkin anda pun sebagai guru menyadari pentingnya disiplin dalam
perkembangan dan penanaman moral anak.Konsep umum dari disipin disamakan dengan
hukuman.Konsep ini menyatakan bahwa disiplin digunakan jika anak melanggar aturan-
aturan yang ditetapkan oleh orang tua,guru,ataupun orang dewasa lainnya.Disiplin
merupakan cara masyarakat mengajarkan anak berperilaku moral yang diterima oleh
masyarakatnya.Tujuan dari disiplin adalah membentuk perilaku yang sesuai dengan
kelompok sosialnya.Walaupun demikian,ada orang tua yang takut bahwa dengan
menerapkan disiplin akan menimbulkan masalah dalam hubungan dengan anak-anaknya.Oleh
karena itu .ada konsep yang bertentangan tentang disiplin itu sendiri.Konsep yang
memandang disiplin sebagai konsep negative,berarti sama dengan hukuman.Sedangkan
konsep positif sama dengan adanya pendidikan ,bimbingan dalam menerapkan disiplin diri
dan kontrol diri.

Pentingnya Disiplin Bagi Anak

Disiplin adalah penting bagi perkembangan anak karena berisi hal-hal yang
diperlukan anak.Disiplin akan menambah kebahagiaan. penyesuaian sosial dan pribadi
mereka.Beberapa kebutuhan anak yang dapat dipenuhi melalui disiplin adalah sebagai
berikut:

1) Disiplin membuat anak-anak mempunyai persaan aman tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.
2) Anak belajar mengapa pola perilaku tertentu diterima dan mengapa pola perilaku lain
tidak diterima.
3) Melalui disiplin anak-anak dibantu untuk hidup sesuai dengan norma-norma
sosial.Anak-anak belajar berperilaku dengan cara tertentu yang dapat memperoleh
pujian,dimana anak-anak mengartikan sebagai dicintai-diterima.Hal ini mendorong
anak untuk mengulang perilaku yang baik.
4) Anak-anak pun akan mengembangkan kata hati untuk membuat keputusan dan
pengendalian dari perilakunya.
Disamping itu ,hal-hal yang penting dari disiplin untuk anak usia SD adalah (Hurlock,1980)
berikut ini :

1) Alat untuk Membentuk Moral. Pengajaran baik dan buruk perlu ditekankan pada
alasan mengapa pola tingkah laku diterima sementara yang lain tidak,dan penjelasan
langsung perlu untuk membantu anak memilkii konsep yang lebih luas.
2) Penghargaan. Penghargaan memiliki nilai pendidikan yang kuat bagi anak jika anak
bertingkah laku benar dan dapat memotivasi anak untuk mengulang kembali tingkah
laku yang diharapkan.Dengan demikian ,penghargaan merupakan hal yang efektif
maka pemberian penghargaan juga harus tepat disesuaikan dengan usia anak dan
tingkat perkembangannya.
3) Hukuman. Sebagaimana penghargaan ,hukuman perlu dikembangkan secara tepat
.Hukuman dapat memotivasi anak agar taat pada harapan sosialdikemudian hari.
4) Konsistensi. Disiplin yang baik adalah disiplin yang diberikan secara konsisten .Apa
yang benar saat ini juga benar disaat yang lain.Tingkah laku yang salah jika diulang
,perlu mendapat penghargaan yang sama pula.

Dengan demikian,dapt disimpulkan bahwa dalm menerapkan disiplin,hendaknya


disesuaikan dengan perkembangan anak.Seorang anak akan cocok pada suatu disiplin,tetapi
anak yang lain tidak sesuai.Pemberian disiplin tergantung pada dimana biasanya muncul
permasalahan.Oleh karena itu disiplin sebaiknya mulai diberikan dalam hubungan dengan
kegiatan rutin sehari-hari,seperti acara makan,tidur ataupun kebiasaan belajar.

Pemberian Hukuman Dan Penghargaan

Menanamkan aturan-aturan dan disiplin melalui hukuman dan penghargaan


tampaknya tidak dapat di abaikan.Dengan hukuman ,anak belajar mengapa ia dihukum dan
anak akan lebih memahami mengapa perbuatan yang dilakukan itu salah.Adanya hukuman
membuat anak tidak akan mengulangi perilaku yang salah tersebut sehingga anak belajar
tentang baik buruk perilakunya.

Pemberian hukuman pun hendaknya segera,konsisten dan konstruktif dengan alasan


yang jelas.Adapun pemberian hukuman dapat berfungsi untuk :

1) Membatasi anak agar tingkah laku yang tidak di inginkan di ulangi


2) Mendidik
3) Motivasi,untuk menghindari terjadinya tingkah laku sosial yang tidak diinginkan.
Bentuk hukuman dapat berbentuk hukuman fisik (misalnya pukulan),mengisolasi
anak selama beberapa waktu(misal tidak menonton acara TV yang disukai).Meskipun
demikian,pemberian hukuman fisik tampaknya sudah tidak terlalu efektif,itulah sebabnya
akan lebih baik dan efektif jika pemberian hukuman disertai pula penjelasan mengapa tingkah
laku dilarang(Strommen dkk,1983).Secara psikologis pemberian hukuman juga tidak akan
merusak anak,sejauh berkaitan/seimbang dengan tingkah laku yang diberi
hukuman.Pemberian hukuman yang terlalu sering juga tidak terlalu baik karena akan
berakibat negative pada diri anak.Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua
yang sering menghukum anaknya mengakibatkan anak belajar pola-pola tingkah laku yang
tidak sehat,seperti suka menyerang yang tidak terkontrol,tidak bias berkomunikasi secara
efektif,takut pada otoritas,menghindar dari interaksi sosial,tidak mampu mengekspresikan
emosinya secara positif,merasa bersalah dan self ekteem(harga diri)rendah.Selain itu juga
perkembangan sosial dan intelektualnya juga terhambat.Jika anak menjadi orang tua ,kelak
akan menjadi orang tua yang sering menghukum anaknya. (Gordon & Gordon
dalam strommen,1983).

Secara singkat dapat dikatakan hukuman dapat merusak diri anak tergantung dari
pandangan orang tua /keluarga terhadap sudut pandang anak mengenai hukuman yang
diterimanya.Jika orang tua digambarkan anak sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan
perhatian pada anak maka pemberian hukuman dirasakan sebagai suatu kenyataan yang tidak
menyenangkan dalam kehidupan anak ,dan bukan sebagai sesuatu yang kejam dan penolakan.

Pemberian penghargaan pun sama dengan hukumannya ,yaitu memotivasi anak untuk
mengulang perilaku yang baik yang dapat diterima oleh lingkungannya.Dengan demikian
,anak akan lebih mudah menyesuaikan diri.Oleh karena itu fungsi penghargaan adalah :

1) Nilai mendidik karena pemberian penghargaan menunjukkan bahwa tingkah laku


anak adalah yang sesauai dengan apa yang diharapkan lingkungannya.
2) Motivasi,agar tingkah laku yang diterima di ulang kembali
3) Penguat ,untuk tingkah laku yang diterima secara sosial

Bentuk penghargaan berbentuk nonverbal’seperti senyuman,pelukan,sedangkan


berbentuk verbal,seperti melalui ungkapan rasa puas atau menghargai usaha anak.Selain
itu,tidak jarang pula yang memberikan penghargaan dalam bentuk pemberian
hadiah.Pemberian penghargaan hendaknya bervariasi sehingga anak tidak selalu
mengharapkan hadiah.
Berrkaitan dengan pembahasan mengenai perkembangan moral pada anak SD maka
berikut ini akan membahas mengenai arti agama bagi anak SD.

Arti Agama Bagi Anak Usia Sekolah

Salah satu hal umum yang diminati anak adalah agama Tak dapat disangkal bahwa
perasaan keagamaan termasuk perasaan yang luhur dalam jiwa seseorang. Perasaan
keagamaan menggerakkan hati seseorang agar ia lebih banyak melakukan perbuatan yang
baik. Oleh kaerna itu,perlu memperkenalkan agama sejak dini pada anak-anak.

Anak mempunyai keyakinan beragama,yang diperoleh dari lingkungan rumah


ataupun sekolahnya misalnya anak-anak diajarkan memikirkan tuhan sebagai seseorang yang
akan marah jika anak-anak berbuat kesalahan dan akan menghukumnya untuk dosa yang
dilakukan.Dilain pihak ,berbagai perayaan keagamaan dilingkungan rumah atau sekolah juga
diperkenalkan pada anak,misalnya bersalam-salamn untuk saling memaafkan setiap hari
puasa,memperkenalkan pada anak mengenai hari besar ,seperti idul
fitri.natal.nyepi,waisak,juga memperkenalkan pada anak mengenai berbagai
tempat ibadah.Melalui pelajaran agama dan PPKn anak SD dapat lebih memahami arti
agama.

Dengan mengenal konsep keagamaan ,anak akan menghindari perbuatan buruk dan
meningkatkan perbuatan baik.anak akan mempunyai keyakinan bahwa dengan berbuat baik
ia akan masuk surga. demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini anak berpikir tentang konsep
tuhan ,surga,neraka,malaikat ataupun dosa.Pada anak SD umumnya akan
mempertanyakan mengenai nilai dari ketaatan beragama seperti berdoa atau
sembahyang,yang kemudian akan meningkat pada pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan keyakinan beragama ,seperti surge atau neraka.

Dari kegiatan pembelajaran ini kita mendapatkan gambaran mengenai perkembangan


moral anak usia SD,mulai dari penanaman disiplin pada anak,bagaimana pemberian hukuman
dan penghargaan pada anak.Berkaitan dengan moral memang tidak bias dilepaskan dari
bagaimana arti agama bagi anak usia SD,Oleh karena pemahaman anak tentang agama tentu
berbeda dengan pemahaman orang dewasa tentang agama.
PERTANYAAN

1. Bagaimana cara guru untuk mengoptimalkan perkembangan social pada anak usia
sekolah dasar?
2. Bagaimana cara guru mengoptimalkan perkembangan moral pada anak usia sekolah
dasar?

JAWAB

1. Cara guru dalam mengoptimalkan aspek sosial anak adalah dengan melihat kondisi
perkembangan sosial anak. Dengan begini guru bisa melihat bagaimana cara untuk
mengoptimalkan perkembangan peserta didik. Selain itu juga bisa menerapkan
metode kolaboratif dalam pembelajaran atau selama didalam kelas contohnya dengan
membuat kelompok belajar, atau mengelompokan tempat duduk mereka dalam sesi
pembelajaran tertentu, dengan demikian meraka bisa berinteraksi akan sesama mereka
sehingga terciptanya sosialisasi. Bisa juga menerapkan metode bermain secara
kolaboratif.
2. cara guru mengoptimalkan perkembangan moral disekolah yaitu dengan menanamkan
hidup bersih teratur, menciptakan lingkungan yang menunjang kebiasaan dan desiplin
yang tnggi, memberikan tanggug jawab terhadap semua anak, membina kerjasama
yang baik, tenggang rasa, percaya diri melalui model model dan lain lain. Kepada
anak diberikan fasilitas dan kesempatan yang cukup dalam memberdayakan alat alat
yang ada disekolah dibawah pengawasan dan bmbingan guru. Guru juga harus dapat
memberikan contoh terhadap anak dalam hal ini seperti memberi contoh disiplin, rapi,
berbudaya, relegius, serta hal hal yang menerapkan norma-norma atau moral.
Dalam melayani atau mengoptimalkan perkembangan tersebut janganlah bersikap
otoriter, karena tipe ini yang demikian akan menghambat tugas perkembangan anak.
Setiap kegiatan anak dapat diajak untuk berkerjasama dan bermusyawarah dengan
skap demikian sangat menentukan keberhasilan perkembangan anak.

Anda mungkin juga menyukai