Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TINGKATAN MAQAMAT (AL-ZUHUD, AL-FAQR, AL-SHABR, AL-


TAWADLU’)

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok


Mata Kuliah : Teosofi
Dosen Pengampu : Dr. Abul Ma’ali, M.Ed

Disusun oleh :
1. Fauziah Nabila (220201110180)
2. Luthfi Hafiz Arsyad (220201110179)
3. Yusyak Ikzaz Mubarrok (220201110205)

KELAS E
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Ungkapan syukur, alhamdu lillahi rabb al-‘alamin, puji syukur kehadirat


Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala rahmat
dan karunia-Nya, shalwat serta salam tidak lupa kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benderang seperti saat ini, dengan itu makalah ini dapat kami
selesaikan guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Teosofi yang yang
diampu oleh Bapak Abul Ma’ali, M.Ed., dengan tema “Tingkatan Maqamat’, serta
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.

Kami berusaha semaksimal mugkin untuk menyelesaikan makalah ini.


Meski demikian, penulis menyadari bahwa tidak pernah ada pekerjaan yang
sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Dengan penuh
kerendahan hati kami mempersilakan kepada pembaca untuk memberikan saran
ataupun kritik yang menjadikan makalah ini jadi lebih baik.

Malang, 09 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER…………………………………………………………….

KATA PENGANTAR……………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..

A. Latar Belakang…………………………………………………………...
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..
C. Tujuan……………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………

1. Al-Zuhud…….……………………………………………………………
2. Al-Faqr……………………………………………………………………
3. Al-Shabr………………………………………………………………….
4. Tawadu’…………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP………………………………………………………………

A. Kesimpulan……………………………………………………………….
B. Saran……………………………………………………………………...
C. Daftar Pustaka……………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian Islam yang menjadi
daya tarik tersendiri untuk dikaji. Ia merupakan salah satu tema yang
mendapatkan perhatian luas baik di kalangan peneliti muslim, maupun
non-muslim. Namaun demikian, hal ini pada akhirnya mempunyai
konsekuensi tersendiri terhadap pemahaman tasawuf, yang terkadang
bertentangan dengan pemahaman para pengamal tasawuf, dalam hal ini
adalah sufi. Sebagaimana pendapat Nicholson misalnya, yang menyatakan
bahwa salah satu maqamat yang ada di dalam tasawuf, yaitu az-Zuhd,
merupakan ajaran yang juga telah dipraktikan dan ditemukan dalam
penganut agama yang lain, dalam hal ini adalah Kristen. Tulisan ini akan
berupaya membahas konsep maqamat dan ahwal dalam perspektif para
sufi, yang bertujuan untuk melihat apakah konsep maqamat dan ahwal ini
mendapatkan pengaruh dari agama lain di luar Islam, atau justru
sebaliknya bahwa ia muncul secara original dari ajaran Islam itu sendiri.
Dari penelitian ini kemudian didapatkan kesimpulan bahwa konsep
maqamat dan ahwal dalam tasawuf pada dasarnya telah ada dalam
generasi Islam pertama yaitu pada masa sahabat, dan kemudian semakin
populer ketika dikenalkan pertama kali secara sistematis oleh seorang sufi
bernama Zunnun al-Mashri pada abad ke 9 M. Dengan demikian bahwa
anggapan bahwa konsep maqamat dan ahwal berasal dari agama lain, tidak
mempunyai bukti yang kuat dan relevan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan zuhud?
2. Apa yang dimaksud dengan faqr?
3. Apa yang dimaksud dengan shabr?
4. Apa yang dimaksud dengan tawadu’?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu zuhud
2. Untuk mengetahui apa itu faqr
3. Untuk mengetahui apa itu shabr
4. Untuk mengetahui apa itu tawadu’
BAB II

PEMBAHASAN

1. Al-Zuhud
Zuhud adalah sifat yang telah dimiliki manusia untuk memandang
dunia serta akhirat. Ada juga yang menganggap pengertian zuhud adalah
upaya melupakan dunia untuk mencintai Allah SWT saja.
Sifat zuhud akan mengesampingkan segala yang berkaitan dengan
duniawi. Zuhud sendiri memiliki beberapa tingkatan. Dijelaskan oleh
Imam Ahmad, tingkatan zuhud sendiri kira-kira ada tiga yang dapat kita
ketahui. Dari ketiga tingkatan ini, bisa disimpulkan bahwa kezuhudan
seseorang tidak bisa disamaratakan. Tidak pula menuntut dan bisa
dilakukan sesuai kemampuan. Pengertian zuhud adalah upaya manusia
untuk mengalihkan perhatiannya untuk jauh dari dunia. Orang yang
bersikap zuhud adalah mereka yang hanyalah fokus kepada kepentingan
akhirat ataupun surgawinya.
Jika dilihat secara kasat mata, zuhud adalah praktik yang tak
memerlukan harta kekayaan di dunia. Tak hidup dengan mencari harta
kekayaan seperti manusia kebanyakan. Orang yang zuhud hanya mencari
harta seperlunya, asal cukup untuk bertahan hidup di dunia, bisa dikatakan
bahwa pengertian zuhud adalah suatu keputusan untuk melupakan dunia
untuk mencintai Allah SWT saja. Melupakan angan-angan dan hanya
melihat dunia dari sudut pandang “tidak membutuhkannya”. Zuhud adalah
mengganggap kecil dunia.
 Menurut Imam Sufyan Ats-Tsauri
Zuhud sendiri memiliki artian yaitu terbatasnya angan-angan.
 Menurut Imam Junaidi
Pengertian zuhud adalah menganggap kecil dunia serta menghapus
pengaruhnya di dalam hati.
 Menurut Ibu Ajibah
 Zuhud adalah terbebasnya hati dari ketergantungan selain kepada
Allah SWT.
 Menurut Wahid bin Ward
Zuhud adalah tidak merasa putus asa tatkala harta benda dunia
terlepas dari genggaman dan tidak merasa senang ketika ada
perkara dunia yang datang.
 Menurut Imam Ahmad, terdapat 3 tingkatan zuhud yang dapat kita
pahami:
1) Orang awam menganggap zuhud adalah meninggalkan
keharaman.
2) Orang istimewa (khawash) menganggap zuhud adalah
meninggalkan hal-hal yang halal sekalipun melebihi
kebutuhannya.
3) Orang sangat istimewa (al-‘arifin) mengganggap zuhud
adalah meninggalkan segala sesuatu yang mengganggunya
untuk mengingat Allah SWT.

Dalil yang menjelaskan tentang zuhud, Alquran Surat Al-A’la Ayat 16

Artinya : Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia.

2. Al-Faqr
Maqam fakir merupakan perwujudan upaya ‫تطهر القلب بكلية عن ماسوى اله‬
yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain tuhan.
Yang dituju dengan konsep fakir sebenarnya hanyalah memutuskan
persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada
kegandrungan pada keindahan penghayatan makrifat pada Zat Tuhan saja
di sepanjang keadaan.
Faqir bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqir
sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna
meninggalkan atau menjauhi keinginan terhadap hal-hal yang bersifat
materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka faqir berarti
mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain
Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Sedang
menurut terminologi tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana hati tidak
butuh kecuali kepada Allah.
Makna fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah,
diantaranya surat Al-Fathir Ayat:15, yaitu :

Artinya : “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan


Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji”. (QS. Al-Fathir :15).
Secara harfiah al Faqr atau fakir biasanya diartikan sebagai orang yang
berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir
adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada dalam diri kita dan
tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-
kewajiban.
Klasifikasi Faqr
menurut Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy derajat fuqara diklasifikasikan
menjadi 3:
1. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara lahir batin memang
tidak meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia
tidak mau mengambil. Strata ini adalah maqam muqarrabin.
2. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan,
atau memohon pada siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia
menerima. Ini adalah maqam Al-siddiqin.
3. Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia
mengutarakan keinginannya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui
bahwa saudaranya akan senang dengan ungkapan pengaduannya
tersebut. Maka, sesungguhnya memecahkan permasalahannya
merupakan nilai shadaqah.
Allah telah menyebutkan sifat-sifat orang fakir dalam Al-Qur’an, Surat
Al-Baqarah ayat 273 :

Artinya : (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh


jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang
yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri
dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.

Orang-orang fakir juga memiliki tiga tingkatan, antara lain:


1. Orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apa pun
kepada seseorang, baik secara lahir maupun batin. Ia tidak
menunggu apapun dari seseorang. Jika diberi sesuatu, ia tidak
mengambilnya. Kedudukan spiritual ini adalah kedudukan Al-
Muqarrabuun (orang yang didekatkan pada Allah).
2. Orang yang tidak memiliki apapun. Namun ia tidak minta kepada
siapapun, tidak mencari dan juga tidak memberi isyarat atas
kefakirannya. Jika diberi sesuatu tanpa meminta lebih dahulu maka
ia akan mengambilnya.
3. Orang yang tidak memiliki apa-apa. Jika ia membutuhkan sesuatu
ia akan mengungkapkannya kepada sebagian temannya yang ia
kenal, yang mana bila ia mengungkapkan kepadanya ia akan
merasa senang.

3. Al-Shabr
Berkaitan dengan shabr (Sabar dalam Bahasa Indonesia), para ulama
menyatakan bahwa kata ini diulang dalam al-Qur’an sebanyak 90 kali.
Pengulangan kata shabr dalam al-Qur’an ini menandakan pentingnya
perilaku sabar bagi umat Islam. Sabar merupakan perintah Allah, orang
sabar memperoleh pujian dari Allah, Allah mencintai orang yang sabar,
Allah senantiasa bersama orang yang sabar, Allah menjamin pahala yang
baik dan tanpa batas bagi orang yang sabar, orang sabar adalah orang yang
mulia dan mendapat pertolongan Allah, serta beberapa ayat lain yang
menjelaskan betapa sabar merupakan hal yang penting dalam agama Islam.
Secara etimologi, sabar bermakna menahan. Adapun secara
terminologi, sabar berarti menahan diri dari gelisah, cemas, dan amarah.
Para ulama mengategorikan sabar pada tiga kategori; sabar atas ketaatan,
sabar atas kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah. Adapun
dasar atas kemaksiatan merupakan sabar yang paling utama di antara
kedua kategori sabar lainnya. Al Ghazali mengategorikan sabar pada dua
hal saja; sabar badani dan sabar nafsi. Sabar badani bermakna menahan
segala kelelahan yang dialami fisik sebab melaksanakan perintah-perintah
Allah. Adapun sabar nafsi bermakna menahan segala kegelisahan dan
amarah yang dialami jiwa sebab mendapat musibah, menahan diri dari
ajakan nafsu untuk bermaksiat, menahan nafsu dari serakah, dan segala hal
yang berkaitan dengan kesabaran jiwa.

4. Tawadu’
Tawaḍu’ adalah perasaan yang selalu muncul dalam diri seorang sufi
sebagai hasil dari penghampirannya dengan Allah SWT. Ia merasa senang
dan tentram bersama Allah SWT. Ia mampu menjadi tegar dalam
menghadapi perkara buruk yang menimpanya. Namun, ia menggunakan
kesenangan dan ketentraman perasaannya sebagai penggerak dalam
tindakannya. Seorang sufi akan meninggalkan sifat congkak dan sombong
ntuk memastikan hatinya bersih dari sifat-sifat tercela. Tawaḍu’
sebenarnya adalah kerendahan hati seorang hamba (ketundukan) terhadap
kebenaran dan kekuasaan-Nya. Tawaḍu’ juga merupakan kepasrahan
kepada kebenaran dengan mematuhi bahwa tawaḍu’ itu adalah
merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut
terhadap mereka. Merendahkan sarap merupakan meninggalkan
kesombongan untuk mewujudkan persamaan dan tidak ada perbedaan
antara seseorang manusi dengan lainnya, kecuali dengan ketakwaan. Sikap
tawaḍu’ yang tertanam dalam hati seorang muslim adalah suatu usaha
untuk menghindari sifat tamak (rakus) dan sombong. Syekh Al-Islam
‘Abdullah AlAnsari mengatakan bahwa tawaḍu’ mempunyai tiga tahapan:
1) Tawaḍu’ kepada agama, yaitu tidak menentangnya dengan
pemikiran dan penukilan, tidak menolak dalil agama, dan tidak
berfikir untuk menyangkalnya.
2) Merindhai seorang Muslim sebagai saudara sesama hamba Allah
SWT, tidak menolak kebenaran sekalipun datang dari musuh dan
menerima permohonan maaf dari orang yang meminta maaf.
3) Tunduk kepada kebenaran Allah SWT dengan melepaskan pendapat
dan kebiasaan dalam mengabdi tidak melihat hamba dalam
mu’amalah.
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
Zuhud adalah sifat yang telah dimiliki manusia untuk memandang
dunia serta akhirat. Ada juga yang menganggap pengertian zuhud adalah
upaya melupakan dunia untuk mencintai Allah SWT saja. Faqir bermakna
senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqir sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan
atau menjauhi keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan)
yang sangat diinginkan maka faqir berarti mengosongkan hati dari ikatan
dan keinginan terhadap apa saja selain Allah, kebutuhannya yang hakiki
hanya kepada Allah semata. Sabar merupakan perintah Allah, orang sabar
memperoleh pujian dari Allah, Allah mencintai orang yang sabar, Allah
senantiasa bersama orang yang sabar. Tawaḍu’ adalah perasaan yang
selalu muncul dalam diri seorang sufi sebagai hasil dari penghampirannya
dengan Allah SWT.

b. Saran
Demikian materi yang disampaikan semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan untuk kita semua. kami mohon maaf apabila ada
kesalahan perkataan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas,
karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. sekian
penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima
kasih yang sebesar besarnya.

c. Daftar Pustaka

Rosi, Rois Imron. 2022. Pengantar Teologi Islam dan Tasawuf. Malang:Madza
Media.

Bachrun Rif’i, H. Hasan mud’is, Filsafat Tasawuf, 225-226.

Anda mungkin juga menyukai