Anda di halaman 1dari 10

Zuhud, Khauf dan Raja, Habb dan Fana

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Akhlak Tassawuf

Dosen pengampu : Bpk. Jasuri

Disusun oleh:

1. Tutuk Miftuatin (133911105)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I. ZUHUD

(Pengertian Zuhud Dalam Islam) – Arti kata zuhud adalah tidak ingin kepada
sesuatu dengan meninggalkannya. Menurut istilahzuhud adalah berpaling dan
meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi
dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat
spiritual atau kebahagiaan akherat.

Ada 3 tingkatan zuhud yaitu:

1. Tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu
dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.
2. Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil
keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak
mendatangkan keuntungan baginya.
3. Tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini
mempunyai nilai, karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah.
(menurut Abu Nasr As Sarraj At Tusi)

Menurut AI Gazali membagi zuhud juga dalam tiga tingkatan yaitu:

1. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari


padanya
2. Meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakheratan
3. Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya

Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan pandangan bahwa harta benda


adalah se’suatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, dari
mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah.

Namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau
memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya
adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi
dalam mengabdikan diri kepada Allah
Fungsi zuhud dalam kehidupan.
Zuhud dapat membuat manusia memikirkan dan merenungi akhirat. Zuhud juga
dapat mengalahkan hawa nafsu manusia. Zuhud dapat menghadirkan perasaan bahwa
kenikmatan duniawi tidak boleh memalingkan hati dan zikir kepada Allah subhanahu
wata'ala.
Zuhud dapat memberikan pemahaman sepenuhnya bahwa dunia adalah perkara
yang tidak ada maknanya dan akan cepat sirna jika dibandingkan dengan yang ada di
sisi Allah subhanahu wata'ala. Zuhud dapat menghadirkan perasaan bahwa kehidupan
di dunia sifatnya hanya sementara, sehingga dalam kehidupan sehari - hari seseorang
akan menganggap cukup (kanaah) terhadap rezeki dan ketentuan Allah subhanahu
wata'ala. Zuhud melahirkan sikap warak (menjaga diri agar tidak terjatuh kepada yang
syubhat), tawakal (berserah diri kepada Allah), sabar, dan syukur.

I. KHAUF WA RAJA
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu :
dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata:
“Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka
dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai
dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin
Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan
sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan
takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu
(lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56),
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan
yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza
wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah
diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan”(Thariqul
Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai
(Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan
harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan
roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)

Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam
jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada penjelasannya nanti insya
Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia
memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh
ma’rifatullah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa
takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab
itu khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku
adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa
kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108) Madaarijus Salikin,1/512, dinukil
dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang
tercampuri dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada
pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti… (Al Mufradaat hal 149, dinukil dari
Hushuulul Ma’muul, hal. 89) Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan
tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang
diiringi amalan… (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Macam-macam khouf
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan, Takut itu ada tiga macam:
1. Khouf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam,
maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela…. akan tetapi apabila
rasa takut ini …. menjadi sebab dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang
diharamkan maka hal itu haram.
2. Khouf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya
tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan
kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.
3. Khouf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada
di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa
takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik.
II. HABB DAN FANA

Cinta dunia adalah ujung dari segala bentuk perilaku menyimpang. Allah SWT

berfirman " ketahuilah, bahwa sesugguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan

dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu


serta
berbangga-bangga dengan banyaknya harta dan ank, seperti hujan yang membuat

para petani terkagum-kagum dengan tanaman-tanamannya,kemudai tanaman itu

menjadai kering dan kamu lihat warnanya menguning lalu hancur. dan diakhirat

kelak ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhoanNya. Dan

kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al-


Hadid[57];20)

Sifat orang cinta dunia

1.Tamak terhadap sesuatu

2.Tidak memberi peluang kepada orang lain

3. Suka salahkan orang apabila gagal

4.Menghalalkan segala cara dalam mencari rezeki

5. Sibuk dengan urusan dunia hingga melupakan akhirat

6.Tidak memiliki pendirian yang kuat dalam mencari kebenaran

"Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu, jika kau hilangkan agama

dalam dirimu, hilanglah cintaku padamu."(Imam Nawawi)

Sabda Rasulullah : “ Barang siapa yang menjadikan akhirat harapannya, Allah


akan menjadikan rasa cukup di dalam

hatinya serta mempersatukannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam


keadaan menyerah diri. Tetapi barang

siapa yang dunia menjadi harapannya, Allah akan menjadikan kefakiran berada di
depan matanya serta menceraiberaikannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya
kecuali dalam sekadar apa yang telah ditetapkan baginya.”

(Riwayat al-Tirmizi)

“Barang siapa yang menghendaki keuntungandi akhirat akan kami tambah


keuntungan itu baginya. Dan barang
siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, kami berikan kepadanya
sebahagian dari keuntungan dunia dan

tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” ( al-Syura 42:20)

Mereka yang cinta akhirat diberi kemudahan menikmati dunia. Allah berfirman:
“Dialah yang menjadikan bumi itu

mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah


sebahagian daripada rezekinya dan hanya

kepadanya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (al-Mulk 67:15)

Keuntungan cinta akhirat

1. Siapa yang beramal untuk akhiratnya, Allah akan mencukupkan dunianya.

2. Siapa yang memperbaiki hubungan antara dirinya dengan Allah, Allah akan
memperbaiki hubungan dirinya dengan manusia lain.

3. Siapa yang memperbaiki keadaan batinnya, Allah akan memperbaiki keadaan


lahirnya.

4. Siapa yang menjadikan aktivitinya untuk akhirat, maka tidak akan lewat satu
haripun melainkan dia akan kembali

Manfaat orang yang ingat akhirat

1. Tidak melihat urusan dunia kecuali dia akan mengaitkan dengan akhirat

2. Tidak berkumpul dengan keluarganya kecuali membayangkan akan berkumpul


bersama penduduk syurga

3. Tidak mengenakan pakaian kecuali teringat akan pakaian sutera milik


penghuni syurga

4. Tidak menyeberangi sebuah jambatan kecuali teringat akan titian sirat di atas
neraka

5. Tidak mendengar suara yang kuat melainkan mengingatkannya akan tiupan


sangkakala
6. Tidak pernah berbicara tentang suatu perkara, melainkan ada kaitannya dengan
akhirat

FANA

Pengertian Fana dan Baqa

Fana ( artinya hilang, hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri

bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa (

artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana

dalam penghancuran diri untuk mencapai ma‟rifat. Seorang sufi untuk

ma‟rifat harus bisa menghancurkan diri terlebih dahulu, dan proses

penghancuran diri inilah di dalam tasawuf disebut “Fana” yang diiringi oleh

“Baqa”.

 Dalam „Risalatul Qusyairiyah‟ dinyatakan bahwa Fana adalah menghilangkan

sifat-sifat yang tercela dan Baqa artinya mendirikan sifat-sifat yang terpuji.

Barang siapa yang menghilangkan sifat tercela maka timbullah sifat yang

terpuji. Jika sifat tercela menguasai diri maka tertutuplah sifat yang terpuji

bagi seseorang.

 Dari segi bahasa Al-Fana berarti hilangnya wujud sesuatu, sedangkan Fana

menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya

sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut

pendapat lain Fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifatsifat


ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.Konsep Fana dan
Baqa

Ibn „Arabi
Fana dalam pengertian mistik adalah hilangnya ketidaktahuan dan Baqa
pengetahuan yang pasti/

sejati yang diperoleh dengan intuisi mengenai kesatuan esensial dari keseluruhan
ini.

Fana dalam pengertian metafisika adalah hilangnya bentuk-bentuk dunia


fenomena dan

berlanjutnya substansi universal yang tunggal. Hal ini ia simpulkan dengan


hilangnya sesuatu

bentuk pada saat Tuhan memanifestasikan (tajalli) diri-Nya dalam bentuk lain.

E. A. Affifi ; Pemikiran tentang Fana dan Baqa dapat dibagi ke dalam tahapan-
tahapan sebagai

berikut:

a. Si Sufi menjauhkan dirinya dari dosa (al-Fana‟ „an al-Ma‟asi)

b.Memfana‟kan dirinya dari semua perbuatan (af ‟al) apapun, ia hanya


menyadari bahwa Tuhan

sendirilah satu-satunya pelaku segala perbuatan (af ‟al) di alam ini.

c.Memfana‟kan dirinya dari sifat-sifat dan kulitas wujud yang bersifat mungkin,
sebab semuanya

merupakan kepunyaan Allah.

d.Memfana‟kan personalitas atau dzat dirinya sendiri, ia menyadari dengan


sungguh-sungguh

ketidakberadaan (non-eksistensi) dari fenomena dirinya serta baqa di dalam


substansi yang tidak

berubah dan tidak hancur yang merupakaan esensinya.

e. Si Sufi melepaskan semua sifat-sifat Tuhan serta hubungannya, yaitu ia lebih


memandang Tuhan
sebagai esensi dari alam ini daripada sebagai sebab, sebagaimana pendapat para
filosof.

Maksudnya Si Sufi tidak menganggap alam ini sebagai akibat dari satu sebab,
melainkan sebagai

suatu realitas dalam pemunculan Tuhan (Al-Haqq fid dzuhur).Al-Qusyairi; Fana


adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan Baqa adalah

berdirinya sifat-sifat terpuji.

Junaid al-Baghdadi;Tauhid bisa dicapai dengan membuat diri Fana dari

dirinya sendiri dan alam sekitarnya, sehingga keinginannya dikendalikan

oleh Allah.

R. A. Nicholson dalam bukunyaThe Mystics of Islam.

Ada tiga tingkat Fana yaitu perubahan moral, penghayatan jiwa, dan

lenyapnya kesadaran.Dalam hal ini, Imam al-Ghazali membatasi sampai ke

Fana tingkat dua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang

fundamental antara hamba yang melihat denganTuhan yang dilihatnya.

Sebaliknya Husain bin Mansur al-Hallaj, yang menekankan pencapaian Fana

tingkat tiga cenderung ke paham Manunggaling kawula-gusti. Dalam

penghayatan ini manusia merasa mengalami sama dan jadi seperti Tuhan itu

sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Abbudin Nata. 2006. Akhlak Tasaawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Amin syukur. Zuhud di abad medern. Yogyakarta. Pustaka pelajar. 1997

Fahmi basyaiban. Khauf wa raja. http://fahmibasyaiban.blogspot.com/2014/02/khauf-dan-


roja.html diakses tanggal 12 desember 2014. Pukul 11.03

Ibrahim Hilal. 2002. Tasawuf antara agama dan Filsafat. Jakarta. Pustaka Hidayah

Anda mungkin juga menyukai