Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ZUHUD DAN RIDHA DALAM TASAWUF

Disusun oleh:

NAMA : 1. La Diva Asandi


2. Mayyesti
3. Gusfa Riza
Handayani SEMESTER : I ( Satu )

Dosen Pembimbing :
Novialdi, S.Ag, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH
STAI YAPTIP PASAMAN BARAT
TAHUN 1442 H / 2020 M
Tidak usah
dibuat

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya lah sehingga penulisan makalah ragam bahasa Indonesia
ini dapat terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah dengan judul “Zuhud dan Ridha dalam Tasawuf” ini Penulis
susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf yang diberikan oleh Bapak
Novialdi, S.Ag, M.Pd. Untuk itu Penulis menyusun makalah ini dengan harapan
dapat membantu pembaca untuk lebih memahami lagi tentang zuhud dan ridha ini
untuk memperlancar proses pembelajaran.
Namun demikian tentu saja dalam penyusunan makalah Penulis ini masih
terdapat banyak kekurangan dalam penulisan dan pemilihan kata yang kurang
tepat. Dengan ini, Penulis memohon maaf jika dalam pembuatan makalah ini
banyak kekurangan.Harapan Penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wa’salammu’alaikum.Wr.Wb.

Ujung Gading, November 2020

Penulis

ii
Tidak usah
dibuat

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3
A. Pengertian Zuhud..................................................................................3
B. Pengertian Ridha...................................................................................9
BAB III PENUTUP.........................................................................................11
A. Kesimpulan.........................................................................................11
B. Saran 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Zuhud adalah sebuah kata yang
mengungkapkan berpaling atau berpindahnya
keinginan terhadap sesuatu kepada hal lain yang
lebih baik darinya. Sesuatu yang ditinggalkan itu
mestinya adalah sesuatu yang dicintai.
Barangsiapa meninggalkan sesuatu yang tidak dia
sukai atau tidak diinginkan oleh jiwanya,maka
tidak disebut orang yang zuhud. Seperti orang
yang meninggalkan tanah, maka tidak disebut
zuhud.
Dari sini, maka orang yang berpaling
meninggalkan cinta dunia kepada cinta akhirat
disebutsebagai orang yang zuhud terhadap dunia.
Karena pada setiap jiwa manusia telah
tertanamsecara naluri kecintaan kepada perkara-
perkara duniawi. Sedangkan akhirat, jauh lebih
baik daridunia.
Dan ketahuilah, bahwa zuhud adalah amalan hati
sehingga tidak bisa diukur dengan perkara lahiriah
seperti kemiskinan, badan yang kurus, pakaian
yang compang-camping dan semisalnya.
Seiring berjalannya waktu pengertian dan
pemahaman orang tentang Ridha itu sangat
beraneka ragam, ada juga yang bahkan tidak tahu
makna dari ridha itu sendiri apa, dan ada pula yang
tau makna ridha yang sebenarnya, tetapi tidak
Tidak usah
mengamalkannya dalam kehidupan. dibuat

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian zuhud?
1
2. Apa saja
Macam-
macam
zuhud dan
tingkatann
ya?
3. Apa
Perbedaan
antara
zuhud
sebagai
maqam dan
zuhud
sebagai
moral?
4. Apa Faktor
yang
mempenga
ruhi
zuhud?
5. Apa
Pengertian
Ridho?
6. Bagaimana
Sikap dan
Karakterist
ik Sikap
ridha?

2
Tidak usah
dibuat
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian zuhud
2. Mengetahui saja Macam-macam zuhud dan tingkatannya
3. Mengetahui Perbedaan antara zuhud sebagai maqam dan zuhud
sebagai moral
4. Mengetahui Faktor yang mempengaruhi zuhud
5. Mengetahui Pengertian Ridho
6. Mengetahui Sikap dan Karakteristik Sikap ridha
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansyai’in watarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenagan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang zuhud secara terminologis, maka tidak bisa di lepaskan
dari dua hal: yang pertama zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
tasawuf. Kedua zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.
Apabila tasawuf diartikan adanya komunikasi langsung antarakepada-Nya
manusia dengan
Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam)
menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepadaNya.
Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua pengertian tersebut sejalan dengan
makna ihsan. Yang pertama berarti ibadah kepada Allah seakan-akan melihatnya
dan zuhud sebagai salah satu maqam menuju kesana, dan yang kedua arti
dasar ihsan adalah berbuat baik
Menurut Al-Palibani hakikat zuhud itu meninggalkan sesuatu yang di
kasihi dan berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik dari
padanya. Karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia “karena
mengigikan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud.1
Sesuaikan
dengan aturan
Pengertian zuhud
1.
ini ada tiga macam :
1) 2.
Meninggalkan sesuatu karena mengiginkan sesuatu yang lebih baik
daripadanya.
2) Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat
keakhiratan, dan
3) Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintaiNya.2
Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing
mengungkap menurut perasaanya, berbicara menurut keadaanya. Padahal

1
Prof.Dr. H.M. Syukur Amin, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar) h.1
2
Ahmad imam bin hambal, Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo) h.28
pembicaraan menurut bahasa ilmu, jauh lebih luas dari pada berbicara berdasarka
bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.
Ada beberapa pendapat dari para ulama yaitu dari Syaikhul-islam ibnu taimiyah
berkata, “zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk
kepentingan akhirat”. Sedangkan menurut sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia
artinya tidak mengumbar harapan,bukannya makan sesuatu yang kering dan
mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-junaid berkata, “Aku pernah
mendengar sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para
waliNya, menjaga agar tidak melalaikan hamba-hambaNya yang suci dan
menggeluarkanya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Dari mana
kutipanya
Allah tidak meridhainya bagi mereka. Dia juga berkata, “orang yang zuhud tidak
gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karaena kehilanggan dunia.
Menurut Yahya bin Mu’adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan
dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam
masalah ruh. Menurut ibnu-jala’,zuhud itu memandang dunia dengan pandangan
yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut
ibnu khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan
dunia. Menurut Al-imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar
harapan di dunia. Ada pula salah satu riwayat dariNya, bahwa zuhud itu tidak
gembira mendapatkan keduniaan dan tidak sedih kehilangan keduniaanya.3
Menurut abdulah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah
dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga
dinyatakan syaqiq dan Yusuf bin Asbath.
Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara
meninggalkan yang haram, ini merupakan zuhudnya orang-orang awam,
meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, ini merupakan zuhudnya
orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini
zuhudnya orang-orang yang ma’rifat.
Yang pasti para ulama sudah bersepakat bahwa zuhud itu merupakan
perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat.

3
Al-jauziyah Ibnu Qayyim, Madarijus salikin, (Jakarta:pustaka Al-Kautsar,1998) ,h.147
Kaita4nzuhud ini ada enam macam yaitu Harta, rupa ,kekuasaan, manusia, nafsu,
dan hal-hal selain Allah. Dan seseorang itu tidak layak mendapat sebuah zuhud
kecuali menghindari enam macam tersebut. Yang paling baik dari pengertian
zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-
hasan,”zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-
nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di tangan Allah dari
pada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka
pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak di timpa
musibah sama sekali.
Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih
memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak? Dan menurut Abu hafsh,
zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini
sudah tidak Sesuaikan
ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.
dengan aturan

1. Macam-macam zuhud dan Tingkatannya


Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata, “Zuhud ada beberapa macam:
Zuhud terhadap perkara yang haram, maka ini adalah kewajiban atas setiap
individu. Zuhud terhadap berbagai syubhat, maka ini sesuai dengan tingkatan
syubhat itu. Jika syubhat itu semakin kuat maka zuhud terhadapnya tergolong
perkara yang wajib, namun jika lemah maka zuhud terhadapnya tergolong
mustahab (sunah, disukai). Zuhud terhadap perkara mubah yang berlebihan.
Zuhud terhadap perkara yang tidak bermanfaat dari perkataan, penglihatan,
pertanyaan, pertemuan dan yang lainnya. Zuhud terhadap manusia. Zuhud
terhadap diri sendiri, dimana dia merasakan jiwanya menjadi remeh karena Allah.
Dan zuhud yang mencakup semua itu adalah zuhudterhadap segala sesuatu selain
Allah dan zuhud terhadap segala sesuatu yang menyibukkanmu dari-Nya.
Ahmad ibnu Qudamah al-Maqdisi –rahimahullah– berkata:
Tingkatan pertama, Di antara manusia ada yang zuhud terhadap dunia
sedangkan dia menyenangi dan menginginkan dunia itu. Hanya saja dia berusaha

4
Ghazali Imam, Ihya Ulumuddin (Jakarta: pustaka sahara, 2012) h. 150

5
melawan jiwanya. Maka orang yang semacam ini disebut mutazahhid (orang yang
berusaha zuhud). Inilah permulaan zuhud.5
Tingkatan kedua, orang yang zuhud terhadap dunia secara sukarela. Jiwanya tidak
merasa berat untuk zuhud. Akan tetapi dia masih memandang dan melirik kepada
sikap zuhudnya. Hampir-hampir dia merasa takjub terhadap dirinya. Dia
memandang dirinya telah meninggalkan sesuatu yang bernilai (maksudnya adalah
dunia -pen) untuk mencari sesuatu yang lebih besar nilainya (yakni akhirat).
Seperti orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan dua
dirham. Maka zuhud semacam ini masih ada kekurangan.
Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan tertinggi. Orang yang zuhud secara sukarela, dan
lebih dari itu dia juga zuhud terhadap sikap zuhudnya. Maksudnya, dia tidak
memandang bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu. Karena dia mengetahui
bahwa dunia bukanlah sesuatu yang bernilai. Maka dia seperti orang yang
meninggalkan selembar kain untuk mendapatkan permata. Dia tidak
menganggapnya sebagai pertukaran. Karena dunia dibandingkan dengan
kenikmatan akhirat, lebih baik daripada secarik kain dibandingkan dengan
permata. Maka inilah kesempurnaan dalam zuhud. Adapun tingkatan yang lain
yaitu:
1) Orang yang merasa berat untuk bersikap zuhud terhadap dunia. Ia berjuang
untuk meninggalkannya, pada hal ia sangat mengiginkannya. Orang seperti
ini disebut mutazahhid (orang yang masih belajar untuk berzuhud), dan ini
adalah langkah awal untuk menuju zuhud. Semoga saja ia menjadi orang
zuhud di kemudian hari.
2) Orang yang meninggalkan dunia (berzuhud) dengan suka rela karena ia
menggangapnya hina, namun ia masih punya hasrat terhadap dunia, Ia
seperti orang yang meninggalkan satu dirham demi mendapatkan dua
dirham. Hal seperti ini tidaklah berat baginya, namun ia tetap tidakterbebas
dari sikap memperhatikan sesuatu yang ditinggalkannya dan masih

6
memperhatikan kondisi dirinya. Sikap ini masuk kategori zuhud, namun
masih belum sempurna.6
3) Orang yang menganggap dunia tidak ada arti baginya. Ia menjadi seperti
seorang yang meninggalkan setumpuk kotoran untuk mengambil mutiara,
namun tidak menganggap hal demikian sebagai bentuk ganti rugi. Ia
berpandangan bahwa penjauhan diri terhadap dunia yang di hubungkan
dengan kenikmatan akhirat atau Allah adalah lebih hina dari pada
meninggalkan setumpuk kotoran yang dihubungkan dengan mutiara. Jadi
disini tidak ada hubungan antara satu sama lain yang didasarkan untuk
memperoleh ganti rugi (atau akhirat) karena meninggalkan dunia.
Ada juga mengenal orang zabid (yang hidup zuhud), Al-Palimbani
menerangkan pula tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang
salik dalam menempuh kehidupan zuhud itu:
a) Zuhud “orang mubtadi (pemulaan) yaitu orang yang permulaan menjalani
akan jalan yang menyampaikan kepada makrifah akan Allah itu, yaitu
orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kpda
keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya.
b) Orang yang pertengahan jalan itu yaitu orang yang telah mudah hatinya
meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi kasih akan dunia itu.
c) Orang yang muntabi, yakni orang-orang yang arif, yang bagi mereka dunia
itu seperti” tahi saja “ tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati
mereka sudah menghadap ke akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang
meninggalkan daripada hatinya yang lain dari pada Allah, baik duia maupun
akhirat. Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti ini adalah maqam dalam
perjalanan seorang salik Al-Palimbani mengikuti Al-Ghazali terdiri dari tiga
perkara yaitu ilmu, hal, dan amal.
Pada pendapat Al-Palimbani zuhud mempunyai tingkatan yang tertinggi
yaitu bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak mengiginkan sesuatu selain Allah.
Ciri-ciri orang zuhud menurut Dia ada tiga perkara:

6
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf modern, (Jakarta: pustaka panjimas) h.121

7
Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya
sesuatu Orang yang memujinya dan orang yang menghinanya dianggap sama
saja.
Ia merasa intim dengan tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-Nya.
Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam
hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan
kebesaran. Karena itu maqam zuhud ini adalah pendahuluan dari maqam
syukur yang mencerminkan kejiwaan seseorang muslim yang selalu memandang
tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya.
Tetapi sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus
dilewati yaitu maqam sabar.
Maka ketahuilah tingkatan zuhud yang tertinggi adalah engkau
meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencari ridhaNya. Semua
dilakukan untuk mengetahui kelezatan dan luhurnya sifat zuhud. Selagi masih
mampu mempertahankan diri dari semua itu, maka lakukanlah, dan itulah yang
dinamakan zuhud yang sebenarnya (hakiki).

2. Perbedaan antara zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai moral (akhlak):
a) Melakukan zuhud dengan tujuan bertemu Allah SWT dan Ma’rifa
kepadaNya. Dunia di pandang sebagai hijab antara dia dengan Tuhan,
sedangkan yang kedua hanya sebagai sikap mengambil jarak dengan dunia
dalam rangka menghias diri dengan sifat-sifat terpuji, karena disadari
bahwa cinta dunia merupakan pangkal kejelekan (ra’su kulli khati’ah
b) Yang pertama bersifat individual sedangkan yang kedua bersifat individual
dan social, dan sering dipergunakan sebagai gerakan protes terhadap
ketimpangan social.
c) Yang pertama formulasinya bersifat normatif, doctrinal, dan ahistoris.
Sedangkan yang kedua formulasinya bisa diberi makna kontekstual dan
historis.
B. Definisi Ridha
Ridha berasal dari bahasa arab, radiya yang artinya senang hati (rela).
Menurut kamus besar Indonesia, ridha artinya rela, suka, dan senang hati.
sedangkan menurut bahasa adalah ketetapan hati untuk menerima segala
keputusan yang sudah ditetapkan dan ridha merupakan akhir dari semua keinginan
dan harapan yang baik .7
Ridha menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala
yang diberikan Allah swt, baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Sikap ridho harus
ditunjukkan, baik ketika menerima nikmat maupun tatkala ditimpa musibah.
Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan
tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa
ridha kepada Allah SWT. dalam situasi apapun (Hikmah, Republika, Senin 5
Februari 2007, Nomor: 032/Tahun ke 15)
Kebanyakan manusia merasa sukar atau gelisah ketika menerima keadaan
yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat,
kedudukan, kematian anggota keluarganya, dan lain-lain, kecuali orang yang
mempunyai sifat ridha terhadap takdir. Orang yang memiliki sifat ridha tidak
mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dilakukannya. Seorang
insan tidak akan menyesal dengan kehidupan yang diberikan Allah SWT dan
tidak iri hati atas kelebihan yang didapat orang lain, karena yakin bahwa semua
itu berasal dari Allah SWT.
Sedangkan kewajibannya adalah berusaha atau berikhtiar dengan
kemampuan yang ada. Ridho terhadap takdir bukan berarti menyerah atau pasrah
tanpa usaha. Menyerah dan berputus asa tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Allah
SWT memberikan cobaan atau ujian dalam rangka menguji keimanan dan
ketakwaan hamba-Nya.
1. Sikap Ridha Dapat Ditunjukkan Melalui Ciri-ciri Sebagai Berikut :

7
Al-Razi, Abi Bakar Ahamad bin Ali, 1335 H, Ahkam Al-Qur’an al-Jassash, Bairut: Dar al-Kitaab
al-Arabiy
a. Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai dengan kesungguhan
usaha atau ikhtiar dan penuh tanggung jawab.
b. Senantiasa mengingat Allah SWT dan tetap melaksanakan shalat dengan
kusyuk.
c. Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain dan tidak ria untuk
dikagumi hasil usahanya.
d. Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah SWT atas segala
nikmat pemberian-Nya. Hal tersebut adalah upaya untuk mencapai tingkat
tertinggi dalam perbaikan akhlak.
e. Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai dengan keadaan
dan kemampuan, seperti aktif dalam kegiatan sosial, kerja bakti, dan
membantu orangtua dalam menyelesaikan pekerjaan mereka.
f. Menunjukkan kerelaan atau ridha terhadap diri sendiri dan Allah SWT
dan Juga ridha terhadap kehidupan, terhadap takdir yang berbentuk
nikmat maupun musibah, dan terhadap perolehan rezeki atau karunia Allah
SWT.8

2. Karekteristik Sikap Ridha


Apabila sebagian pendapat para ahli hikmah, ridha dikelompokan menjadi
tiga tingkatan, yaitu ridha kepada Allah SWT, ridha pada apa yang datang dari
Alalah SWT, dan ridha pada qada Allah SWT.9
Rida kepada Allah SWT adalah fardu ain. Rida pada apa yang datang dari
Allah meskipun merupakan sesuatu yang sangat luhur, hal ini termasuk ubudiah
yang sangat mulia.
Sesungguhnya pilihan Allah untuk hamba-Nya dibagi dua macam yaitu:
pertama, ikhtiar ad-din wa syar’I (pilihan keagamaan dan syariat). kedua, ikhtiarr
kauni kadari (pilihan yang berkenaan dengan alam dan takdir). Takdir yang tidak
dicintai dan diridhai Allah yaitu perbuatan aib dan dosa-dosa.

8
Al-Razi, Fahr al-din Muhammad bin Umar bin Husain, 1998, Al-Mahshul fi’Ilmi
Tasawuf, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
9
Al-Mubarak, Muhammad, 1995, Sistem Pemerintahan dalam Perspektif Islam Terjemahan.
Firman Harianto, Solo, CV. Pustaka Mantiq
BAB III
PENUTU
P

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa zuhud adalah
berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah, melatih dda
mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat)
berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak zikir. Tapi dalam
Satu pragraf
pengertian lain bahwa zuhud adalah tidak merasa banggasaja
dengan kemewahan
dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih atas kehilangan
kemewahan itu dari tangannya dan zuhud itu upaya menjauhkan diri dari
kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, engan jala
berpuasa walaupun kadang-kadang pelaksanaanya melebihi apa yang ditentukan
oleh agama. Demikian pula Ruwaim Ibnu Ahmad mengatakan bahwa zuhud ialah
menghilangkan bagian jiwa dari dunia, baik berupa pujian dan sanjungan, maupun
posisi dan kedudukan disisi manusia.
Ridha adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan
Allah swt, baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan-Nya. Sikap ridha harus ditunjukkan, baik ketika menerima
nikmat maupun tatkala ditimpa musibah.

B. Saran
Untuk membantu kita dalam memahami pengertian Zuhud dan Ridho yang
sebenarnya harus kita pelajari terlebih dahulu lalu kita terapkan dalam kehidupan
kita sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Sesuaikan
dengan aturan
Tidak ada
Prof.Dr. H.M. Syukur Amin, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar) h.1
halaman
Ahmad imam bin hambal, Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo) h.28
Al-jauziyah Ibnu Qayyim, Madarijus salikin, (Jakarta:pustaka Al-Kautsar,1998)
,h.147
Ghazali Imam, Ihya Ulumuddin (Jakarta: pustaka sahara, 2012) h. 150
DR.M. QUZWAIN CHATIB, mengenal Allah, (Jakarta:P.T Bulan Bintang,1985)
h.87
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf modern, (Jakarta: pustaka panjimas) h.121
Al-Razi, Abi Bakar Ahamad bin Ali, 1335 H, Ahkam Al-Qur’an al-
Jassash, Bairut: Dar al-Kitaab al-Arabiy.
Al-Razi, Fahr al-din Muhammad bin Umar bin Husain, 1998, Al-Mahshul fi’Ilmi
Tasawuf, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mubarak, Muhammad, 1995, Sistem Pemerintahan dalam Perspektif
Islam Terjemahan. Firman Harianto, Solo, CV. Pustaka Mantiq.
Rasyid Ridha, Muhammad, t.t., Tafsir Al-Quran al-Karim-Tafsir al-Manar,

Anda mungkin juga menyukai