Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PEMBERSIHAN HATI DARI AKHLAK TERCELA


Disusun Oleh :

M. Muhammad Mujib
No absen : 31
Wildan Rahmatullah

No absen : 39
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Akhlak Tasawwuf yang
di bimbing oleh :

Drs. KH. Umar Burhanudin

PENDIDIKAN KADER ULAMA ( PKU ) ANGKATAN DUA

MUI Kabupaten Cianjur


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Segala puji kami panjatkan kepata Tuhan yang Maha Esa.Atas rahmat dan
karunianya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makala mata kuliyah Akhlak
Tasawwuf tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahlimpahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulisan ,akalah berjudul “Pembersihan hati dari akhlak tercela” dapat


diselesaikan karna bantuan banyak pihak. Kami berharap makalah tentang
Pembersihan hati dari akhlak tercela dapat menjadi referensi bagi pihak yang tertarik.
Selain itu, kami juga berharap agar pembaca dapat sudut pandang baru seteah
membaca makalah ini
Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, trutama
pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi
penyempurnaan makalah. Apabilaterdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami
mohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga


makalah ini dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Cianjur, 09 September 2023


Penulis

M. Mujib
Latar Belakang
Seorang hamba (sufi) ketika ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT harus
melewati tahap-tahap sebelum benar-benar dekat dengan Allah SWT., dan para sufi
mengatakan ada 3 tahap, yakni Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Takhalli artinya
mengosongkan diri dan hati dari akhlak tercela (akhlak mazmumah), Tahalli artinya
mengisi diri dan hati dengan Allah, baik dzikir maupun berakhlak baik (akhlak
mahmudah), dan Tajalli artinya meleburkan diri dengan Allah SWT. Namun yang
akan dibahas adalah mengenai akhlak tercela yang harus dikosongkan dari diri dan
hati.

Akhlak tercela banyak macamnya namun yang akan dibahasa disini


adalah Hubb al-Dunya, Ittiba’ al-Hawa, Thama’, dan Hasad. Meski untuk menjadi
seorang sufi sangat berat, tidak mustahil hanya saja kecil kemungkinan. Namun
setidaknya sebagai seorang muslim khususnya pelajar/mahasiswa mampu untuk
mengetahui tentang keempat akhlak tercela tersebut sehingga mampu untuk
menguranginya dan sedikit demi sedikit meninggalkannya sehingga mendapatkan
nikmat dunia dan akhirat pula.

1. Rumusan Masalah
A. Apa pengertian akhlak tercela (akhlak madzmumah) ?
B. Bagaimana penjelasan tentang hubb al-dunya ?
C. Bagaimana penjelasan tentang ittiba’ al-hawa ?
D. Bagaimana penjelasan tentang thama’ ?
E. Bagaimana penjelasan tentang hasad ?

1. Tujuan Penulisan
A. Untuk mengetahui pengertian akhlak tercela (akhlak madzmumah).
B. Untuk mengetahui penjelasan hubb al-dunya.
C. Untuk mengetahui penjelasan tentang ittiba’ al-hawa.
D. Untuk mengetahui penjelasan tentang thama’.
E. Untuk mengetahui penjelasan tentang hasad.

2. Manfaat

Pelajar atau mahasantri mampu mengetahui pengertian akhlak tercela, dan


beberapa macamnya beserta penjelasannya sehingga dapat terhindar dari hal tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlak Tercela (Akhlak Mazmumah)

Akhlak tercela (akhlak mazmumah) terdiri dari dua kata yakni, akhlak dan
tercela (mazmumah). Akhlaq adalah meervoud dari Khilqun[1], yang mengandung
segi-segi persesuaian dengan Khalqun serta erat hubungannya
dengan Khaliq dan Makhluk[2]. Arti dari Akhlaq atau Khilqun (Khuluqun) yaitu
perangai, tabi’at, watak. Sedangkan arti dari kata Khalqun adalah kejadian,
penciptaan, ciptaan. Ibnu Athir dalam kitabnya an-Nihayah telah menerangkan bahwa
: “Hakikat makna khuluqun ( ٌ‫ ) ُخلُق‬itu ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu
jiwa dan sifat-sifatnya), sedang makna khalqun ( ٌ‫ ) َخ ْلق‬merupakan gambaran bentuk
luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya)“.

B. Hubb al-Dunya

Hubb al-Dunya terdiri dari 2 kata, yaitu hubbun dan dunya. Hubbun berasal
dari bahasa arab yakni dari kata habba-yahubbu yang artinya cinta, mencintai.
Sedangkan dunya menurut lisanul arab berasal dari danaa-yadnuu-dunuwwan-
danawah semakna dengan qaruba yang berarti dekat. KH. Ahmad Rifa’i berpendapat
bahwa segala sesuatu yang tidak membawa manfaat di dunia itulah yang dinamakan
dunia. Dan sejalan dengan pendapat KH. Ahmad Rifa’i, Hujjatul Islam Imam al-
Ghazali mengatakan di dalam Ihya Ulumiddin bahwa dunia adalah segala sesuatu
yang memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada
manusia yang diperoleh secara langsung sebelum mati.

Ciri-ciri orang yang hubb al-dunya adalah diantaranya suka menumpuk harta,
mencintai popularitas guna membesarkan diri, mencintai segala sesuatu yang
membuat lupa beribadah dan terbiasa hidup mewah.

Kehidupan dunia ini tidak kekal, masih ada akhirat nanti, tempat sejati bagi
manusia. Kehidupan dunia ini hanyalah sebatas permainan dan senda gurau, maka
oleh karena itu tidak sepantasnya bagi manusia untuk terbuai dalam kehidupan dunia
jikalau mereka mengetahui. Allah SWT berfirman dalam surat al-Ankabut ayat 64 :

‫اار حاْل ِخ َرةَ ََلِ َي ا حْلَيَ َوا ُن ل حَو َكانُوا يَ حعلَ ُمو َن‬
َ ‫ب َوإِ ان الد‬
ِ ِِ
ٌ ‫َوَما َهذه ا حْلَيَاةُ الدُّنحيَا إِاَّل ََلحٌو َولَع‬

Artinya :
“Dan tidaklah kehidupan dunia ini kecuali hanya sebatas senda gurau dan
permainan, dan sesungguhnya akhirat adalah kehidupan sejati. jikalau mereka
mengetahui”.

Dunialah yang memperdaya seseorang sampai melupakan tugas pokoknya


untuk beribadat menyembah Allah SWT.[3] Allah SWT berfirman dalam surah Az-
Zariyat ayat 56 :
ِ ‫اْلنحس إِاَّل لِي حعب ُد‬ ِ ُ ‫وما َخلَ حق‬
‫ون‬ ُ َ َ ِ‫ت ا حْل ان َو ح‬ ََ

Artinya :

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepadaKu)”.

Seseorang yang mencintai dunia akan mengakibatkan dirinya banyak melakukan


kesalahan dan berbuat dosa seperti berbuat maksiat, keji, dan munkar, karena ia
melupakan Allah SWT.[4] Rasulullah SAW. bersabda :
‫حب الدنيا رأس كل خطيئة‬

Artinya :

“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan”. (HR. Al-Baihaqy).

Dengan demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi


memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh
kemewahan dunia, seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali
sekedar hajat yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah.[5] Dan
diantara dari cara untuk menghadapi hubb al-dunya adalah menjauhi hal yang mewah
dan mencolok, melath diri untuk hidup sederhana dan menyadari bahwa dunia ini tidak
lebih hanya fatamorgana belaka.
KH. Ahmad Rifa’i menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau
meninggalkan dunia sebagai berikut :

1. Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya wajib.


2. Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
3. Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga sunat.
4. Mengambil dunia halal yang digunakan untuk menolong berbuat
kebajikan yang bermanfaat di akhirat, hukumnya sunat.
Dari pendapat KH. Ahmad Rifa’i diatas tentang ketentuan hukum mengambil
atau meninggalkan dunia, maka bisa diketahui bahwa dunia tak perlu dibenci secara
berlebihan karena dunia adalah anugerah Allah yang perlu diterima, dinikmati dan
disyukuri bukan diingkari. Selain itu seseorang tidak dapat menikmati nikmatnya
akhirat (surga) kecuali dengan melalui kehidupan dunia. Allah SWT berfirman dalam
surat al-Qashas ayat 77 :

‫ك ِم َن الدُّنحيَا‬ ِ َ‫اَّلل الداار حاْل ِخرةَ وََّل تَنس ن‬


َ َ‫صيب‬ َ َ َ َ ُ‫آَت َك ا‬ َ ‫يما‬ِ
َ ‫َوابحتَ ِغ ف‬

Ali Karamallah Wajhah berkata :

‫اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل ْلخرتك كأنك متوت غدا‬

C. Itba al-Hawa
Itba berasal dari bahasa Arab yakni masdar dari kata atbaa-yutbiu yang berarti
mengikuti. Sedangkan hawa dalam bahasa Arab adalah kecenderungan nafs kepada
syahwat. Kata hawa dalam bahasa Arab juga mengandung arti turun dari atas ke
bawah, tetapi lebih mengandung konotasi negatif, dan menurut al-Isfahani, hawa
mengandung arti bahwa pemiliknya akan jatuh ke dalam keruwetan besar ketika hidup
di dunia, dan di akhirat dimasukan ke dalam neraka Hawiyah.

Dalam kitab Riayat al-Himmat diungkapkan definisi itba al-hawa sebagai


berikut : itba al-hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa nafsu. Adapun menurut
Istilah syara berarti orang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum
syariat itulah orang mengikuti hawa maksiat.[6]
Menurut KH. Ahmad Rifa’i, orang yang mengikuti hawa nafsu berarti buta mata
hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang sperti ini akan tersesat dari
jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan dan melupakan kehidupan kekal dan
abadi di akhirat. Allah SWT berfirman dalam surat Shad ayat 26 :

‫اب َش ِدي ٌد ِِبَا‬ ِ‫يل ا‬ ِ ِ‫ضلُّو َن َع حن َسب‬ ِ‫يل ا‬


ِ ‫اَّلل ۚ إِ ان الا ِذين ي‬ ِ ِ‫ك َع حن َسب‬ ِ ‫وََّل تَتابِ ِع ا حَلَو ٰى فَي‬
َ ‫ضلا‬
ٌ ‫اَّلل ََلُ حم َع َذ‬ ََ ُ َ َ
ِ ‫نَسوا يَ حوَم ا حْلِس‬
‫اب‬ َ ُ

Artinya :
“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia menyesatkanmu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa
yang sangat pedih karena mereka melupakan hari perhitungan”.

Hawa nafsu dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan


perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara.[7] Kalau nafsu yang
berkuasa, kehancuran tidak dapat dielakkan lagi, dan hilanglah pengaruh ilmu
pengetahuan serta lunturlah keaslian keyakinan. Muhammad bin Ibrahmi pernah
berkata : “Setiap perbuatan jahat berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan
nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan”.
Nafsu di dalam alQuran terbagi kepada 3 bagian, yaitu :

a. Nafsu Muthmainnah
Nafsu muthmainnah yaitu jiwa yang tenang dan tentram. Ketika iman menang
melawan hawa nafsu, perbuatan manusia lebih banyak yang baik daripada yang buruk,
karena akal menguasai nafsu. Nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu yang
sempurna, berada dalam kebenaran dan kebajikan, dan inilah nafsu yang dipanggil dan
dirahmati oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al Fajr ayat 27-
30 :

ِ ‫ضياةً * فَا حد ُخلِي ِِف ِعب‬


‫ادي* َوا حد ُخلِي َجن ِات‬ ِ ‫اضيةً مر‬
ِ ِ ِِ ِ
َ ‫س ال ُحمط َحمئناةُ * حارجعي إِ ََل َربِك َر َ َ ح‬
ُ ‫ََي أَياتُ َها النا حف‬

Artinya :

“Wahai jiwa yang tenang (27). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan (hati)
yang ridha dan diridhaiNya (28). Maka masuklah kepada (golongan)
hambaKu (29). Dan masuklah ke dalam surgaKu (30).

b. Nafsu Lawwamah

Nafsu lawwamah yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-
kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang
mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi. Ketika iman kadangkalah menang dan
kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia seperti ini perbuatannya
relatif seimbang antara baik dan buruk. Orang dengan nafsu lawammah ini biasanya
disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul penyesalan dalam dirinya, namun
dalam kesempatan lain ia akan mengulangi maksiat tersebut yang juga akan diiringi
dengan penyesalan-penyesalan kembali. Allah berfirman dalam surat al Qiyamah ayat
2:
‫س اللااو َام ِة‬ ِ ‫وََّل أُق‬
ِ ‫حس ُم ِِبلنا حف‬ َ

Artinya :

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”

Nafsu Ammarah
Nafsu yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah,
yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Ketika iman kalah oleh hawa nafsu, sehingga
manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Orang yang
seperti inilah yang hawa nafsunya menguasai dirinya, dan akal mereka berada dibawah
pengaruh hawa nafsu. Firman Allah surat Yusuf ayat 53 :

ِ ِ ِ ُّ ‫وما أُب ِرئ نَ حف ِسي ۚ إِ ان النا حفس ََلَ امارةٌ ِِب‬


ٌ ‫لسوء إِاَّل َما َرح َم َرِّب ۚ إِ ان َرِّب غَ ُفوٌر َرح‬
‫يم‬ َ َ ُ َ ََ

Artinya :

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya


nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

D. Thama

Thama berasal dari bahasa Arab yang artinya serakah, rakus. KH. Ahmad
Rifa’I memberikan definisi at thama sebagai berikut : Yang dimaksud thama menurut
tarajumah adalah rakus hatinya.[8] Sedang menurut istilah kecintaan yang berlebihan
terhadap dunia tanpa menghitungkan haram maupun halal cara mendapatkannya.
Dapat dipahami bahwa thama sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap sesuatu
yang bernilai keduniawian, sehingga tidak memperhitungkan haram halal cara
mendapatkan hal tersebut. Yang penting adalah tercapainya keinginan tersebut

Thama adalah kebalikan atau lawan dari sifat Qanaah. Jika Qanaah adalah rela
dengan sekedar keperluan berupa makan, minum dan pakaian. Dan berarti thama bisa
jadi adalah kebalikannya yaitu tidak puas dengan rizqi yang diberikan Allah, dan ingin
lebih dari keperluan yang dibutuhkan.

Sifat ini sangat berbahaya bagi manusia, karena dapat mengakibatkan rasa iri,
dengki, dan permusuhan diantara sesama manusia. Selain itu sifat ini dapat
menyebabkan orang yang memiliki sifat ini melakukan hal yang keji dan munkar,
karena mereka menginginkan sesuatu tanpa memikirkan halal haramnya cara
mendapatkan. Dan orang yang thama adalah orang yang paling hina disisi Allah.
Sebagaimana Ibrahim bin Ismail berkata : “Dunia itu lebih sedikit dari yang paling
sedikit dan orang yang rakus terhadap dunia lebih hina dari orang-orang yang hina”.

Thama timbul dari waham yaitu ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh
Allah SWT. Ibnu Athaillah mengatakan : “Tak ada yang lebih mendorong kepada
Thama melainkan imajinasi (waham) itu sendiri”. Dorongan imajinatif, dan lamunan-
lamunan panjang yang palsu senantiasa menjuruskan pada sifat thama dan segala
bentuk keinginan yang ada kaitannya dengan kekuatan, kekuasaan, dan fasilitas
makhluk.
Ciri-ciri dari orang yang thama adalah tidak pernah bersyukur kepada Allah,
selalu merasa kurang, terbiasa dengan kehidupan mewah dan serba mahal, dan
sebagainya. Allah SWT. berfirman dalam surat al Adiyat tentang orang yang
bersifat thama :

‫ش ِديح ٌد‬ ِ ُ‫ش ِه حي ٌد * َوإِناهُ ِْل‬


َ َ‫ب ا حْلَ حِْي ل‬ َ ِ‫لى َذال‬
َ َ‫ك ل‬ ِ ِِ ِ ‫اْلنح‬
َ ‫سا َن ل َربه لَ َكنُ حو ٌد * َوإناهُ َع‬
ِ
َ ِ‫* إ ان ح‬

ِ ‫* أَفَالَ ي حعلَم إِذَاب حعثِر ما ِِف الح ُقب وِر * وح‬


ُّ ‫ص َل َما ِِف‬
‫الص ُد حو ِر‬ ُ َ ‫ُح‬ َ َ ُ ُ َ

ٍ ِ ِِ
ٌ‫إِ ان َراَّبُ حم َّب حم يَ حوَمئذ اْلَبِ حْي‬

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya (6).
Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya (7). Dan
sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta (8). Maka apakah dia
tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur (9). Dan
dilahirkan apa yang ada di dalam dada (10). Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari
itu Maha Mengetahui keadaan mereka (11).

Beberapa cara untuk menghadapi sifat ini diantaranya adalah :

▪ Selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki. Karena Allah mengancam


orang yang tidak bersyukur dengan adzab yang pedih. Allah berfirman:
‫ش ِدي ٌد‬
َ َ‫َوإِ حذ ََتَذا َن َربُّ ُك حم لَئِ حن َش َك حرُحُت ََلَ ِزي َدنا ُك حم َۖولَئِ حن َك َف حرُحُت إِ ان َع َذ ِاّب ل‬

Artinya :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

▪ Membiasakan diri hidup sederhana.


▪ Bijaksana dalam membelanjakan harta.
▪ Menyadari bahwa kehidupan dunia itu sementara dan dunia hanyalah
permainan.
▪ Melihat “ke bawah” dan tidak melihat “ke atas”, sebagaimana Rasulullah
SAW. bersabda :
ِ َ‫أُنحظُروا إِ ََل من أَس َفل ِم حن ُكم وَّلَ تَ حنظُروا إِ ََل من هو فَ وقَ ُكم فَأِناهُ أَج َدر أَ حن َّلَ تَ حز َدروا نِعمة‬
‫هللا‬ َ‫ُ ح‬ ُ ‫ح‬ ‫َ ح َُ ح ح‬ ُ َ ‫َح ح َ ح‬ ُ
ْ‫كم‬
ُ ‫عَلَحي‬
Artinya :

“lihatlah kepada orang yang di bawah kalian, dan jangan lihat orang
yang di atas kalian, yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang
hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (HR. Muslim).

E. Hasad
Hasad berasal dari kata hasada-yahsudu yang berarti dengki, benci. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa ulama yang berpendapat tentang pengertian hasad,
diantaranya :

▪Imam al-Ghazali : membenci nikmat Allah SWT yang ada pada diri
orang lain, dan mengharapkan hilangnya nikmat tersebut.
▪ Imam Ibnu Hajar : berangan-angan hilangnya nikmat dari orang yang
berhak.
▪ Imam An-Nawawi : berangan-angan hilangnya nikmat dari saudaranya,
baik nikmat agama ataupun dunia.
Tidak ada hasad kecuali adanya kenikmatan. Apabila Allah memberi nikmat kepada
seseorang maka ada dua hal yang mungkin terjadi :

▪ Membenci dan menyukai hilangnya nikmat itu dari orang tersebut, dan
inilah yang dinamakan hasad.
▪ Tidak menyukai hilang dan tidak membenci adanya serta kekalnya
nikmat itu tetapi menginginkan yang seperti itu. Dan ini
dinamakan ghibthah. Dan kadang dikhususkan dengan
nama munafasah (berlomba-lomba).
Hasad hukumnya adalah haram, dan orang yang memiliki sifat hasad semua
amal kebaikannya akan terhapus karena hasad seperti api yang membakar kayu.
Rasulullah SAW bersabda :

ِ ‫إِ اَي ُكم وا حْلس َد فَِإ ان ا حْلس َد َيح ُكل ا حْل‬


‫ب‬ ُ ‫سنَات َك َما ََتح ُك ُل الن‬
َ َ‫اار ا حْلَط‬ ََ ُ َ ََ ََ َ ‫ح‬

Artinya :

“hindarilah sifat hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan
kayu bakar”.

Rasulullah pun secara terang-terangan dalam haditsnya menyebutkan untuk jangan


berbuat atau memiliki sifat hasad.

ِ ‫اد‬
ً‫هللا إِ حخ َوان‬ َ َ‫اس ُدوا َوَّلَ تَ َدابَ ُروا َوُك حونُ حوا ِعب‬
َ َ‫ضوا َوَّلَ ََت‬
ُ َ‫َّلَ تَبَاغ‬

“janganlah kamu saling membenci, saling mendengki, sling membelakangi, dan


jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara”.

Hasad memiliki banyak sebab, yaitu permusuhan, ingin disanjung, kebencian,


kesombongan, ‘ujub, ketakutan hilangnya maksud-maksud yang diinginkan, cinta
kekuasaan, kotornya jiwa, dan kebakhilan[9].
Hasad termasuk kepada penyakit hati yang berat, dan tidak ada obat bagi
penyakit hati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu yang bermanfaat bagi penyakit
hasad adalah mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa hasad itu memberi madarat
di dunia dan juga pada agama, dan tidak ada madaratnya bagi mahsud baik di dunia
maupun pada agama bahkan member manfaat.

Setiap manusia pasti memiliki sifat hasad, namun tergantung dari manusia
tersebut menyikapinya, ada yang menampakkannya dan ada yang diam tidak
menampakkanya serta menyembunyikannya. Maka orang bersikap terakhir tidak akan
mendapat dosa dan kemadaratan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

ِ ،‫ اْلسد‬،‫ والظن‬: ‫ثالث َّل خيلو منهن أحد‬


‫ وإذا حسدت فال‬،‫ إذا ظننت فال َتقق‬: ،‫والطْية‬
‫ وإذا تطْيت فامض‬،‫تبغ‬

Artinya :
“tiga hal yang tidak terlepas dari seseorang : prasangka, hasad, dan takhayul.
Maka apabila prasangka jangan dinyatakan, apabila hasad jangan melanggar, dan
apabila tathayyur maka harus melakukan”.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Akhlak tercela (akhlak madzmumah) adalah segala tingkah laku, ucapan,
gejolak hati yang tidak berada dalam jalan Allah, dan cenderung dikuasai
oleh ghadab. Akhlak tercela bisa berupa perbuatan, ucapan, dan dalam hati.
Banyak sekali macam akhlak tercela diantarany hubb al dunya, itba al hawa,
thama dan hasad.
2. Hubb al dunya artinya mencintai segala hal yang bersifat keduniawian secara
berlebihan. Orang yang bersifat hubb al dunya suka menumpuk harta,
mencintai popularitas guna membesarkan diri, mencintai segala sesuatu yang
membuat lupa beribadah dan terbiasa hidup mewah.
3. Itba al hawa adalah mengikuti keinginan hati yang cenderung kepada nafsu
syahwat. Nafsu terbagi kepada 3 tingkatan atau bagian yakni, nafsu
muthmainnah, nafsu lawwamah dan nafsu muthmainnah.
4. Thama artinya rakus, yakni rakus terhadap kehidupan dunia tanpa memikirkan
bagaimana cara mendapatkan keduniawian tersebut. Orang yang rakus tidak
bersyukur kepada Allah, membiasakan diri hidup mewah.
5. Hasad adalah iri dengki. Iri dan dengki atas nikmat Allah yang ada pada diri
orang lain dan berharap nikmat itu lenyap. Perbedaan hasad dan ghibtah
(munafasah) adalah apabila hasad adalah seperti pengertian di atas dan ghibtah
(munafasah) adalah sangat menginginkan nikmat tersebut tapi tidak menyukai
hilang dan tidak membenci adanya serta kekalnya nikmat itu.

Keempat sifat tersebut hampir sama dan saling berkaitan. Oleh karena itu cara
untuk menghindarinya / mengobatinya pun sama, diantaranya adalah selalu bersyukur,
bersifat qanaah, membiasakan hidup sederhana, membelanjakan harta dengan
bijaksana, mengetahui bahwa sifat-sifat ini sangat berdampak buruk, mengetahui
bahwa dunia hanyalah permainan dan senda guran dan sebagainya.
B. Saran

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan


oleh karena itu maka kami memohon saran kepada seluruh pembaca, khususnya
kepada Bapak agar kami untuk kedepannya mampu menyusun makalah dan karya
ilmiah lebih baik.

[1] Atau Khuluqun.


[2] Barmawie Umary, Materia Akhlak, (Solo: CV. Ramadhani, cet. V, 1984), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 61
[4] Alwan Khoiri, Akhlaq/Tashawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2005), hlm. 92
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 95-96.
[7] Ibid., hlm. 96
[8] Ibid., hlm. 93
[9] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin : Ringkasan Yang
Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam, terj., (Bandung: Mizan), 2000, hlm. 253.

Anda mungkin juga menyukai