Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH


Diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Ilmu Kalam yang di bimbing oleh Bapak
Muh. Luthfi Abdul Latif,S.H.,M.H

Disusun oleh :
Risna Dewi Rustandi

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


MUHAMMADIYAH
GARUT
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Aliran Ilmu Kalam Kontemporen
menurut Hasan Hanapi dan Ismail Faruki ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Makalah Ulumul Qur’an yang berjudul Makalah Aliran Ilmu Kalam
Kontemporen menurut Hasan Hanapi dan Ismail Faruki ini. Dan kami juga
menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah
membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan
serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan
sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah
Aliran Ilmu Kalam Kontemporen menurut Hasan Hanapi dan Ismail Faruki ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT,
dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Aliran Ilmu
Kalam Kontemporen menurut Hasan Hanapi dan Ismail Faruki ini dapat
bermanfaat bagi kita semuanya.

Garut, 24 Februari 2023


Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………...
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………….....
A. Latar
Belakang……………………………………………………………………....
B. Rumusan
Masalah…………………………………………………………………...
BAB II
ISI……………………………………………………………………………….
Aliran Ilmu Kalam Kontemporen menurut Hasan Hanapi……………………………...

Aliran Ilmu Kalam Kontemporen menurut Ismail


Faruki……………………………….
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………........
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah Nabi,
diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi
oleh perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa
tampilan Islam itu beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang
beragam, perubahan jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda.
Misalnya, ada komunitas yang senang menampilkan Islam dengan pemerintahan
kerajaan, ada pula yang senang pemerintahan republik. Bahkan, ada yang ingin
kembali ke pemerintah bentuk khilafah Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan
Hadis dalam memahami ajaran Islam.

Tidak bisa dihindari lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar
antara sesama Muslim yang terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam.
Tampaknya, pemahaman itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatik buta
dapat diredam, sejarah tampilan ajaran Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati.
Dengan cara ini proses terselengaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasai-
generasi berikutnya dapat dipahami. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud
ini pun dapat dimengerti. Dalam era kontemporer ini kemudian teraktualisasi
perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis.

Di antara tokoh yang ada di era kontemporer ini adalah Ismail Al-Faruqi dan
Hasan Hanafi. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang ilmu kalam masa kini
tentang pemikiran tokoh yang telah disebutkan di atas.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aliran ilmu kalam kontemporen menurut Hasan Hanapi?

2. Bagaimana aliran ilmu kalam kontemporen menurut Ismail Paruki?


BAB II

ISI

A. Aliran Ilmu Kalam Kontemporen menurut Hasan Hanapi

1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi

Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo.


Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat
dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo
yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut
Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi tertarik
juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam
Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan
perubahan sosial.[16]

Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-
Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi
1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar
Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang
ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat
manusia.

2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi

a. Kritik terhadap teologi Tradisional

Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi


menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan
(teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks
sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya.
Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami
kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama
pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju
kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus
dilakukan.[17]

Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang


hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial
politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan
dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk
dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi
itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan
tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang
berupa wahyu.[18]
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena
Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-
Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic
yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari
segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni
pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi
kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai
muatan-muatan kemanusiaan.[19]

Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang


sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh
dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for Granted. Ia
adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan verifikasi dan
falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.[20]

Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah


pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para
penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan
nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara
keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.

Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan


berbagai kepentingan dan ia sarat dengan konflik social-politik. Teologi telah
gagal pada dua tingkat: Pertama, pada tingkat teoritis, kedua, pada tingkat
praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.[21]

b. Rekontruksi Teologi

Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan


saran rekontruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan
teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan
melakukan rekontruksi dan revisi, serta nenbangun kembali epistemologi lama
yang rancu dan palsu menuju epiatemologi baru yag sahih dan lebih
signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak
sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai
ilmu tentang pejuang social, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisonal
memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.[22]

Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan sosial


tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi
kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority)
sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi
revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla adalah revolusi sosial.
Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya dengan
mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi zaman
saat itu.[23]

Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para


ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka
Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk
melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga
hal yaitu:

1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan


global anatar berbagai ideologi.

2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga
terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi
gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah
memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim.

3) Keperingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara


nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi
menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat
mempersatukan umat Islam di bawah satu orde[24]

Menurut Hanafi, rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang


mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan
yang kongkret dagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu pertama-
tama untuk mentranformasikan teologgi menuju antropologi, menjadikan
teologi sebagai wacana tenntang kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif,
maupun kesejarahan.

Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh


kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam yaitu:

1) Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal


adalah warisan nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas
yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisonal memiliki
istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini
sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-
rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti
nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.

2) Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang


historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-
pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia
mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap prilaku para pendukungnya.
Analsis realitas ini berguna untuk menentukan stressing kea rah mana teologi
kontemporer harus diorientasikan.[25]
B. Aliran Ilmu Kalam Kontemporen menurut Ismail Al-Faruqi

1. Riwayat Singkat Ismail al Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di
Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun
1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk
pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur
Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat
pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang
filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana
dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.

Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya


universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia
menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai
anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis
Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas
membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata
bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama
Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.

Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras
terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia
karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.

2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi

Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul


Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini
mengungkapkan bahwa:

a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama

Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat


menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran
setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap
waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang
agung.[3] Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah realisasi
prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.

b. Tauhid sebagai pandangan dunia

Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang


dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
c. Tauhid sebagai intisari Islam

Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun
dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka
nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan
ptanata kenabian pun menjadi hilang.

d. Tauhid sebagai prinsip sejarah

Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu
etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat
keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu.
Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam
Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya
pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is
dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi

e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan

Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan
kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu
saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan
tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan
rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan
lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran

f. Tauhid sebagai prinsip metafisika

Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat
teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan
yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar
manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini,
keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas
pandangan umat Islam tentang alam.

g. Tauhid sebagai prinsip etika

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada


manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi.
Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari
kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan
dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu
melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan
bahkan dibangun di atasnya.[9]
h. Tauhid sebagai prinsip tata sosial

Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh
bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang
dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya untuk
mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim
keislamannya.[10]

i. Tauhid sebagai prinsip ummah

Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi


membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang
etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh
ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu.
Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-
cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam
relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam
tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja
tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.[11]

j. Tauhid sebagai prinsip keluarga

Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari


gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi
masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat.
Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh
hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.[12]

k. Tauhid sebagai tata politik

Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan


didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan
(ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal).
Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang
membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah
pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang
dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari
kesepakatan[13]

l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi

Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu:
pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain.
Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari
umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi ekonomi mereka
pada diri mereka sendiri.[14]
m. Tauhid sebagai prinsip estetika

Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga
menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa
keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang
diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
BAB II

PENUTUP

Dari peembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Kalam Ismail


Al-Faruqi terletak pada inti pengalaman agama adalah Tuhan. Kalimat syahadat
menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia,
ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Tauhid ummah terdiri dari tiga identitas
yaitu Etnosentrisme, Universalisme, Totalisme dan Kemerdekaan. Tauhid tidak
menentang kreatifitas seni, kenikmatan, dan keindahan.Islam menganggap bahwa
keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang
diwahyukan dalam firman-firman-Nya.

Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi


sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun
teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal
praktiknya dikalangan umat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Lamya, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi,
Surabaya: Al-Fikr, 1991

Al-Faruqi, Ismail Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988

Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi,


Jakarta:Logos, 1999

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998

Anda mungkin juga menyukai