Anda di halaman 1dari 19

Makalah

Pemikiran Ekonomi Al-Farabi Dan Ibnu Sina

Disusun Oleh Kelompok 3:

PRANDI UTAMA (2110402085)

ELIN AUDHYA SANDRA (2110402081)

WENA CAROLINA (2110402080)

Dosen Pembimbing:

MEGI VORNIKA, M.Pd

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini “Sholawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang
telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami
khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan
untuk menuju kesempurnaan makalah ini. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga
terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh
di hadapan Allah SWT. Amin.

Sungai Penuh, 12 april 2022

Penulis
Daftar isi
BAB I ................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 6
BAB II .................................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 7
A. AL-FARABI .............................................................................................................. 7
1. Riwayat Hidup dan Karya-karya Al-Farabi................................................................. 7
2. Pemikiran – Pemikiran Al- Farabi ........................................................................... 8
B. IBNU SINA........................................................................................................... 12
1. Riwayat Hidup Ibnu Sina ...................................................................................... 12
2. Pemikiran-Pemikiran Ibnu Sina ............................................................................. 13
a. Tentang Emanasi ................................................................................................... 13
b. Filsafat Jiwa ............................................................................................................. 14
BAB III ............................................................................................................................... 18
PENUTUP .......................................................................................................................... 18
Kesimpulan ..................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat Islam memecahkan problematika-problematika besar tradisional –yakni,
problematika Tuhan, alam dan manusia. Ia memberikan pandangan detail tentang semua ini
dengan terpengaruh oleh lingkungan dan kondisi yang melingkupinya. Di samping
memanfaatkan kajian-kajian filosofis sebelumnya yang sampai kepadanya, baik itu dari
Timur maupun dari Barat. Ia sampai pada sekelompok pendapat yang jika berbeda dalam
rinciannya disebabkan oleh perbedaan tokoh-tokohnya, karena ia bertemu dalam aliran
universal dan teori-teori milik bersama.1[1]

Sejalan dengan perkembangan sejarah agama Islam, pemikir-pemikir atau tokoh dalam
Sejarah Islam mulai muncul antara lain al-Farabi, al-Kindi,. Pembahasan kedua tokoh
tersebut mengenai riwayat hidup dan pandangan-pandangannya tentang emanasi, jiwa, nabi,
wujud dan lain sebagainya.

Berbicara tentang sejarah, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa sejarah bersifat filosofis,
ilmiah dan kritis. Sejarah bukanlah sekedar narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan
raja-raja dan menghiburnya, tetapi lebih jauh merupakan pencerminan struktur politik,
ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat di katakana bahwa sejarah merupakan
rekaman bangsa-bangsa atau nrgara-negara tentang pasang surut kebudayaannya. Sejarah
tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kesatuan
organik, tetapi juga menentukan sesuatu yang akan datang2[2].

Pemikiran-pemikiran Filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam,
mengingat Islam bukan hanya sekedar agama tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat
sudah barang tentu terpengaruh dengan kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran
tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun
tujuannya. Karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran
dalam satu kesatuan3[3].

Untuk memahami realitas di balik filsafat, manusia seharusnya menggunakan potensi


akal pikirannya untuk memecahkan apa-apa yang ada dalam filsafat, dengan mengaitkan
sebuah realitas dengan realitas lainnya, berdasar sebuah prinsip fundamental tentang kesatuan
dan keseluruhan yang merupakan kunci dari setiap pemikiran dan tindakan dalam Islam.
Dalam hal ini pemikiran merupakan keniscayaan dan suatu kewajiban4[4].

Berdasarkan pendapat Ibn Miskawaih di atas, al-Farabi, al-Kindi maupun Ibn Sina
termasuk tokoh-tokoh Filsafat Islam yang memiliki beraneka ragam pemikiran tentang
kejadian-kejadian atau objek berbagai ilmu pengetahuan.

Al-Farabi menjadi besar di mata dunia, terutama di dunia Eropa. Bukan saja lantaran
kemampuan di bidang filsafat, akan tetapi karena ilmu logika ( mantik ) dan metafisika,
selain dari itu, ia pun mempuyai aliran sendiri dalam ilmu filsafat politik.

Karangan “Tendensi Filsafat Plato dan Aristoteles” uraiannya tentang etika berjudul “al-
Sirah al-Fasilah” yang merupakan sebagian dari hasil karyanya dan yang lebih luas dan lebih
besar berjudul “Mabadi’ al-Maujudad”, memperlihatkan sifat inteleknya yang serba segi.

Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
begitu unik. Sedangkan di antara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga
memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu- satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu
sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.5[5]

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang
ia miliki itu, menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam
menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi
dalam sistem keagamaan Islam.6[6]

Pemikiran – pemikiran al- Farabi dan Ibn Sina tentang emanasi/ al-faydh, filsafat jiwa,
filsafat kenabian, dan teori politik bagi al-Farabi dan teori wujud bagi Ibn Sina menarik kita
kaji untuk menambah wawasan cakrawala berfikiran kita dalam pemikiran filsafat.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, maka yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam
makalah ini, adalah:

1. Bagaimana biografi al-Farabi, pemikiran, dan apa saja karya-karyanya?

2. Bagaimana biografi Ibn Sina, pemikiran, dan apa saja karya-karyanya?


BAB II
PEMBAHASAN

A. AL-FARABI

1. Riwayat Hidup dan Karya-karya Al-Farabi

Nama lengkapnya ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan al-Uzdag ibn
Awzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di desa Wasij, suatu distrik kota Farab, yang termasuk
wilayah kekuasaan Turki, namun terletak di dekat perbatasan dengan Persi (Khurasan).
Ayahnya menikah dengan wanita Turki dan merupakan seorang jendral komando tentara
Mesir dan pernah menjadi seorang hakim dan ibunya berkebangsaan Turki. Kepribadian al-
Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempuyai
kecakapan luar biasa.

Al-Farabi dilahirkan pada tahun 257 H (870 M) dan meninggal dalam usia 80 tahun,
yaitu pada bulan Desember 950 M ketika dalam perjalanannya menuju Damaskus. Dalam
bahasa latin ia dikenal dengan: Alfarabius atau Avennasar, seorang filosof Islam terbesar. Ia
dijuluki sebagai “The Second Master” (Guru Kedua=al-Mu’allimus al-sani), sedangkan “The
First Master” disandang oleh Aristoteles. Ibn Khaldun menempatkannya diatas Ibn Sina dan
Ibn Rusyd. Disebut Farabi karena kelahirannya di Farrab, yang juga di sebut kampung Utrar.
Dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan,
dalam daerah Turkistan, Rusia.7[7]

Al-Farabi waktu masih mudanya, telah berjalan meninggalkan kampung halaman


tercintanya yaitu Farrab demi mencari ilmu pengetahuan. Kemudian ia sampai di Baghdad.
Di sana ia belajar tentang ilmu bahasa Arab, dan kemudian ia meneruskan pelajaran tentang
ilmu logika pada Abu Basyar Matta, putra Yunus. Untuk memperoleh ilmu filsafat, ia pergi
ke Harran, dan di sana ia menjadi murid Yuhahhan Ibn Khailan, ia juga sangat tertarik akan
ilmu – ilmu Aristoteles, yang di berikan oleh Yuhanna, buku Anima dibacanya sampai dua
ratus kali, berulang ulang dan buku Phisica, dibacanya sampai empat puluh kali.

Karangan “Tendensi Filsafat Plato dan Aristoteles” uraiannya tentang etika berjudul “al-
Sirah al-Fasilah” yang merupakan sebagian dari hasil karyanya dan yang lebih luas dan lebih
besar berjudul “Mabadi’ al-Maujudad”, memperlihatkan sifat inteleknya yang serba segi. Dan
al-Farabi meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa karya–karyanya yang agung pada
usia 80 tahun di damaskus pada bulan Desember 950 M.

Karya al-Farabi dituangkan dalam 60 karangan utuh, 17 komentar dan 25 risalah.


Masalah yang dibahas menyangkut macam-macam cabang ilmu. 14 buah ilmu politik, 43
buah tentang ilmu logika, 11 buah tentang ilmu musik. 10 buah membicarakan ilmu fisika
meliputi kimia dan kedokteran. Sedangkan 11 buah mengungkapkan tentang rahasia-rahasia
ketuhanan/teologi. Menurut Ensiklopedia Britanica keahliannya dalam bidang matematika,
fisika, kedokteran, filsafat dan tasawuf sama kuatnya dengan bidang ilmu budaya termasuk
musik. Dalam hal ini penganutnya antara lain, Vincent of Beauvais (1190-1264 M), Jerome
of Moravvia dan Raymond Lull, sebagaimana tersirat dalam bukunya Specu1um Doktrinal.

Beberapa karya Al-Farabi yang terkenal antara lain:

1. Maqalah fi Agradi ma Ba’da al-Tabi’ah


2. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
3. Kitab Tahshil al-Sa’adah
4. ‘U’yun al-Masa’il
5. Risalah fi al-‘Aql
6. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
7. Risalah fi Masa’il al-Mutafarriqah
8. Al-Ta’liqat
9. Risalah fi Itsbah al-Mufarraqat

2. Pemikiran – Pemikiran Al- Farabi

a. Teori Emanasi (al-Faydh)

Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk)
dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori emanasi disebut juga
teori “urut-urutan wujud”8[8]. Menurut teori emanasi al-Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu
Esa sama sekali. Karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja. Emanasi itu
timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Dzat-Nya satu, kalau apa yang keluar itu
pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan
pemikiran akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri

.
apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan
terlaksananya atau wujudnya.9[9]

Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, mengandung dua segi.
Pertama segi hakikatnya sendiri (al-tabi’ah al-wahiyyah) yaitu wujud yang mumkin. Kedua
segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang
menjadikan. Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang
tetap (al-Kawakib al-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada
Akal Pertama.

Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta
jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta
jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta
jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (al-Syams) beserta
jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (al-Zuharah) juga
beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius
(‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan
(Qamar).

Demikianlah, maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya mengurus benda-
benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh yaitu Bulan mengawasi dan mengurangi
kehidupan di bumi. Akal-akal tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada
Tuhan yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Dzat-Nya, maka
pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud dan
diri akal-akal itu sendiri.

b. Filsafat Jiwa

Adapun tentang jiwa, al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus.
Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-
pindah dari suatu badan kebadan yang lain.Jiwa manusia sebagaimana halnya materi asal
memancar dari akal kesepuluh. kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara
accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, dan binasanya jasad
tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang beruap,
berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.

Daya teoritis terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:

 Akal Potensial; baru mempuyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau
bentuk–bentuk dari meterinya.
 Akal Aktual; telah dapat melepaskan arti–arti dari materinya, dan arti–arti itu telah
mempuyai wujud akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi
dalam bentuk aktual.
 Akal Mustafad; telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan
dengan materi dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal.

c. Filsafat Kenabian

Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian muncullah al-Farabi, ia merasa


bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi
dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil penggabungannya dengan filsafat yang merupakan
kegiatan utama bagi filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama
yang membahas tentang kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain
hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam filsafat,
ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat hubungannya dengan
lapangan-lapangan akhlak. Pada waktu membicarakan negeri utama dari al-Farabi kita
melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, meskipun terbatas hanya
pada orang tertentu.

Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu: jalan fikiran dan jalan
imajinasi (penghayalan), atau dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi
(ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al-‘aql
al-fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-
dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan
fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan
orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama yang
dikonsepsikannya itu, akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan dengan al-‘aql al-
fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham
dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh
imajinasi tersebut.

Demikianlah teori kenabian-kenabian dari al-Farabi yang dipertalikan dengan soal-soal


kemasyarakatan, dan kejiwaan, seperti yang dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara’ Ahl al-
Madinah al-Fadhilah Menurut al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang pantas
mengepalai negeri utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan al-‘aql al-
fa’āl, yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan tersebut.
Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah hubungan nabi melalui imajinasi maka hubungan
filosof melalui pembahasan dan pemikiran.

d. Teori Politik

Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga


menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia
ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya,
untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan
pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai – nilai politik semata.

Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada
filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah
makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat.
Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan
kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di
dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.10[13] Pendapatnya ini menyangkut tujuan
hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.

Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:

1. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kami Masyarakat sempurna adalah


masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya.
Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan
individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih
dikuasai dan diperintah oleh pusatanya
2. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah).
Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya
kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung,
lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih
jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

B. IBNU SINA

1. Riwayat Hidup Ibnu Sina

Ibnu Sina memiliki nama lengkap: Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin
Sina atau Avicenna. Pemakaian nama Avicenna berasal dari bahasa Latin dan diadopsi oleh
Barat.Ia dilahirkan dalam masa kekacauan, di mana khilafat al-Abbasiyah mengalami
kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafat tersebut,
mulai melepaskan diri satu persatu. Kota Bagdad sendiri sebagai pusat pemerintahan khilafat
al-Abbasiyah dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka
berlangsung terus sampai tahun 447 H.

Menurut penjelasannya sendiri, Ibnu Sina dilahirkan di desa Afsyanah, tidak jauh dari
Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara), di mana ayahnya yang hidup dalam berbagai
kebudayaan, tinggal bersama keluarganya. Beberapa saat kemudian keluarga itu pindah ke
Bukhara, tempat si pemuda Husain (Ibnu Sina) menerima pengajaran pribadi dalam hal
membaca, menulis, aritmatika, yurisprudensi, dan logika. Di antara guru-gurunya Abu
Abdullah al-Natili dan Ismail seorang zahid yang disebut namanya. Minat Ibnu Sina terhadap
filsafat tampaknya telah berkembang sejak ia menyimak dan berdialog dengan guru mereka
itu. Tetapi, studi sistematikanya tentang logika dan kedokteran dimulai beberapa saat
kemudian.11[23]

Ibnu Sina juga mahir dalam ilmu kedokteran. Ketika ia mencapai usia tujuh belas tahun.
Nuh bin Mansur, pengusaha daerah Bukhara menderita sakit yang tidak bisa diobati oleh
dokter-dokter pada masanya. Akan tetapi, setelah Ibnu Sina mengobatinya maka ia sembuh.
Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan yang baik sekali dari raja tersebut dan diberikan
kesempatan mengunjungi perpustakaannya yang dipenuhi dengan buku-buku yang sukar
untuk ditemukan. Pernah perpustakaan itu terbakar, dan orang-orang menuduh Ibnu Sina lah
yang telah sengaja membakarnya agar orang lain tidak dapat mengambil manfaat dari sana.

Menjelang usia delapan belas tahun, ia telah menguasai logika, fisika, dan matematika,
sehingga tidak ada lagi yang tersisa baginya kecuali metafisika. Setelah membaca metafisika
Aristoteles sebanyak empat puluh kali, ia masih belum dapat memahami apa yang dimaksud
pengarang. Sampai secara kebetulan ia menemukan sebuah salinan dari buku “Maksud-
Maksud Metafisika Aristoteles”, yang seketika itu juga memberi petunjuk padanya apa yang
dimaksud Aristoteles.Dalam usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini menjadi
pukulan berat baginya, sehingga dengan berat hati meniggalkan Bukhara. Sejak itu, dia sering
melakukan perjalan ke beberapa daerah seperti Jurjan, Hamdzan, dan Ishfahan.12[24]

Ibnu Sina telah banyak mengarang buku antara lain: Al-Syifa’; al-Najat; al-Isyarat wat
Tanbihat; al-H}ikmat al-Syirgiyyah; dan al-Qanun atau Canon of Mediciul.13[25]Pada akhir
hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan. Ia hidup penuh dengan kesibukan
bekerja dan mengarang, hingga kesenangan dan kepahitan hidup ia telah alami. Boleh jadi
keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak diobati lagi. Pada tahun 428
H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.14[26]

2. Pemikiran-Pemikiran Ibnu Sina

a. Tentang Emanasi

Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid berangkat ke peniadaan sifat-
sifat Tuhan. Dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt., maka kaum
filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, berangkat melalui paham emanasi atau al-faid}.
Lebih dari Mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak
dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari
banyak unsur, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran
yang banyak membuat paham tauhid tidak murni lagi.15[27]

.
Menurut al-Farabi, Allah swt. menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa
wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur
(berfikir) Tuhan tentang zat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam
alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt. tentang zat-Nya adalah sebab dari adanya
alam ini. Dalam arti bahwa Ia-lah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada.16[28]
Berfikirnya Allah swt. tentang zat-Nya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan
tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-qudrah) yang menciptakan segalanya, agar
sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahui-Nya.

Untuk menjauhkan Tuhan dari arti banyak, al-Farabi sebagai Plotinus, berpendapat
bahwa alam ini memancar dari Tuhan dengan melalui akal-akal yang jumlahnya sepuluh.
Antara alam materi dan Tuhan terdapat pengantara. Sedikit berbeda dengan al-Farabi, Ibnu
Sina juga memiliki filsafat Emanasi yang sama, namun bagi Ibnu Sina akal-akal itu melekat,
dan akal Kesepuluh yang mengatur bumi adalah Jibril.17[29]

Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari
Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nya-lah memancar segala yang
ada. Ia berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya sebagai
pancaran dari Allah swt., dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dari
Akal Pertama memancar Akal Kedua, jiwa, dan Langit Pertama; dst. hingga Akal Kesepuluh,
jiwa, dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
di bawah bulan, termasuk jiwa manusia. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal
Kesepuluh adalah Jibril.18[32]

b. Filsafat Jiwa

Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengajukan beberapa argumen, yakni (1)
argumen psikofsik, (2) argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, (3) argumen
kontinuitas, dan (4) argumen manusia terbang di udara.19[33]

.
Untuk pembuktian pertama, Ibnu Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada
gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong unsur luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerak tidak
terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke
bawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan di kulit bumi ini.
Menurut hukum alam manusia harus diam di tempat karena mempunyai berat badan sama
benda padat. Gerak yang menetang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu di luar unsur
tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan jiwa oleh Ibnu Sina.20[34]

Untuk pembuktian yang kedua, Ibnu Sina membedakan aku sebagai jiwa, badan sebagai
alat. Ketika seorang berkata, dia akan tidur, bukan ia pergi ke tempat tidur atau memejamkan
mata dan tidak menggerakkan anggota badan, tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan
aku. Aku dalam pandangan Ibnu Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan
kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-
cinta, susah-gembira, menolak-menerima. Semua fenomena itu merupakan satu kesatuan,
sebab kalau saling bermusuhan tidak akan timbul keharmonisan. Karena itu, perlu jiwa untuk
mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya tinggal keserasian. Kalau
kesatuan itu lemah, lemah juga kehidupan, dan begitu juga sebaliknya. Bila kesatuan
fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya, tentu tidak bisa
dielakkan bahwa jiwa itua ada.21[35]

Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu :

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nabatiyah) dengan daya-daya :

 Makan (nutrition).
 Tumbuh (growth).
 Berkembang biak (reproduction).

2. Jiwa binatang (al-hayawaniyah) dengan daya-daya :

 Gerak (locomotion).
 Menangkap (perception), dengan dua bagian :
 Menangkap dari luar dengan panca indera.
 Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam.

3. Jiwa manusia, dengan dua daya :

 Praktis yang hubungannya dengan badan dan materi.


 Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak. Daya ini
mempunyai tingkatan :
 Akal materil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum
dilatih walaupun sedikitpun.
 Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal
abstrak.
 Akal actuil, yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
 Akal mustafad} yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak
dengan tak perlu pada daya upaya.

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan,

c. Filsafat Kenabian

Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina
telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban,
dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang
motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.

Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan
akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil.
Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat,
yang Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil begitu
besar, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif
dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat
hanya pada nabi dan rasul.22[41]

Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu
memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia
harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada
umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu sistem sosial-politik. Dengan kualitas
imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran nabi, melalui keniscayaan psikologis yang
mendorong, mengubah kebenaran-kebanaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-
imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau
membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga mendorong untuk berbuat
sesuatu.23[42]

d. Teori Wujud

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas
segala sifat lain, walaupun dengan essensi sendiri. Essensi, dalam paham Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu, wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu
Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisme dari filosof-
filosof lain.24[43]

Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :

1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud. Hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina
mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang
serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

 Al- Farabi Nama lengkapnya ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan al-
Uzdag ibn Awzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di desa Wasij, suatu distrik kota Farab,
yang termasuk wilayah kekuasaan Turki, namun terletak di dekat perbatasan dengan
Persi (Khurasan). Ayahnya menikah dengan wanita Turki dan merupakan seorang
jendral komando tentara Mesir dan pernah menjadi seorang hakim dan ibunya
berkebangsaan Turki. Kepribadian al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar
dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempuyai kecakapan luar biasa.ia dilahirkan pada
tahun 257 H (870 M) dan meninggal dalam usia 80 tahun. Al-Farabi dengan teori
emanasinya mengemukakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan yang esa dan
wujud pertama, akal pertama pun melimpah sehingga muncul akal kedua, begitu
seterusnya sampai pada akal kesepuluh. Teori kenabian al-farabi mengemukakan
bahwa pengetahuan filosof tidak bertentangan dengan pengetahuan nabi karena
keduanya bersumber dari akal fa’al yang sama berbeda dengan caranya. Kalau nabi
berkomunikasi dengan akal fa’al dengan menggunakan kekuatan imajinasi sedangkan
filosof dengan akal mustafad. Al-Madhinah al-fadhilah bagi al-farabi ibarat tubuh
manusia yang sehat semua anggota badannya bekerja sama sesuai dengan tugasnya
masng-masing yang berkordinasi secara rapi demi kesempurnaan hidup tubuh.
 Ibnu Sina memiliki nama lengkap: Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali
bin Sina atau Avicenna. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, tidak jauh dari Bukhara, di
Transoxiana (Persia Utara), di mana ayahnya yang hidup dalam berbagai kebudayaan,
tinggal bersama keluarganya. Beberapa saat kemudian keluarga itu pindah ke
Bukhara, tempat si pemuda Husain (Ibnu Sina) menerima pengajaran pribadi dalam
hal membaca, menulis, aritmatika, yurisprudensi, dan logika. Di antara guru-gurunya
Abu Abdullah al-Natili dan Ismail seorang zahid yang disebut namanya. Minat Ibnu
Sina terhadap filsafat tampaknya telah berkembang sejak ia menyimak dan berdialog
dengan guru mereka itu. Tetapi, studi sistematikanya tentang logika dan kedokteran
dimulai beberapa saat kemudian. Ibnu Sina sebagai filosof berkesimpulan bahwa alam
semesta ini diciptakan Allah melalui dengan jalan emanasi (pancaran).
DAFTAR PUSTAKA

al-Farabi. Al-Da’awi al-Qalbiyyah. Haidarabad: Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah, 1349 H.


Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad
Ali, t.t.
Al-Jauharai, Imam Khanafi, Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di
Pentas Globa, Cet. I: Yogyakarta: ITTAQA Press, 1999
Bakar, Osman, Hirarki Ilmu Membangun Rangka Fikir Islamisasi Ilmu Menurut al-
Farabi, al-Ghazali Quthb al-din al-Syirazi. Bandung: Mizan, 1997.
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid. III. Cet. IX; Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2001.
Echols, Jonh dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1976.
Ghalib, Mustafa. Ibnu Sina. Tt. Dar Maktabah wa al-Hilal, 1996.
Hana al-Fakhury dan Khalil al-Jarr. Tarikh al Falsafah al-Arabiyyah. Cet. 2; Beirut:
Mu’assasah li al-T}aba’at wa al-Nasyr, 1963.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Cet. 6, Jakarta: Bulan Bintang , 1996
Hoesain, Oemar Amin. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
Hossein Nasr, Seyyed, Islamic Conception Of Intellectual Life, Charles Scribner's Sons:
New York, 1973-1974
Madkour, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiq, terj. Yudian Wahyudi
Amin, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Nasr, Sayyid Husain. Theology, Philososphy adn Sprituality. Terj. Suharsono,
Djamaluddin MZ, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis. Cet. III; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.

Anda mungkin juga menyukai