Anda di halaman 1dari 26

PEMIKIRAN POLITIK PRIODE KLASIK AL FARABI DAN IBNU ABI

RABI’
MAKALAH

Dipresentasikan di Mata Kuliah Fiqih Siyasah

Disusun Oleh:
Halit. Kalbahan
NIM: 050118.00039
Wawan Maulana
NIM: 050118.00070

Dosen:
Ahmad Masruri, S.Pd.I, M.Pd.

Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)


Sekolah Ilmu Tarbiyah (STIT) AL-AMIN
BANTEN
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan
judul: “Pemikiran Politik Priode Klasik Al-Farabi, dan Ibnu Abi Ar-Rabi’”. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai hari penghabisan.
Atas bimbingan rekan-rekan dan saran dari teman-teman maka disusunlah Makalah
ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi kami semua dalam
memenuhi tugas dari mata kuliah Fiqih Siyasah dan semoga segala yang tertuang dalam
Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka
membangun Khasanah keilmuan. Makalah ini disajikan khusus dengan tujuan untuk memberi
arahan dan tuntunan agar yang membaca bisa menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Fiqih Siyasah Bapak KH. Dzainuddin Abdullah, MH
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada para pembaca.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT semata.
Tangerang, 15 Juli 2021

Halit. Kalbahan

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR-----------------------------------------------------------------------------------I
DAFTAR ISI---------------------------------------------------------------------------------------------II
BAB I PENDAHULUAN-------------------------------------------------------------------------------1
A. Latar Belakang-------------------------------------------------------------------------------------1
B. Rumusan Masalah---------------------------------------------------------------------------------2
C. Tujuan------------------------------------------------------------------------------------------------2
BAB II KAJIAN TEORITIK-------------------------------------------------------------------------3
A. Al-Farabi---------------------------------------------------------------------------------------------3
1. Biografi Al-Farabi-------------------------------------------------------------------------------------------------------- 3
2. Latar Belakang Sosial Al-Farabi----------------------------------------------------------------------------------4
3.Pemikiran Politik Al-Farabi----------------------------------------------------------------------------------------- 5
a. Karakteristik Negara Utama------------------------------------------------------------------6
b. Ideologi Warga Negara------------------------------------------------------------------------7
c. Karakteristik Masyarakat---------------------------------------------------------------------9
d. Karakteristik Negara-------------------------------------------------------------------------10
B. Pemikiran Politik Ibnu Ar-Rabi’--------------------------------------------------------------13
1. Negara/Pemerintahan Ideal----------------------------------------------------------------------------------------- 14
2. Karakteristik Pemimpin/Raja--------------------------------------------------------------------------------------15
BAB III KESIMPULAN------------------------------------------------------------------------------19
A. Kesimpulan----------------------------------------------------------------------------------------19
DAFTAR PUSTAKA----------------------------------------------------------------------------------20

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Wacana dalam ranah politik menjadi pembahasan yang selalu hangat di setiap
kalangan masyakat terutama para pakar akademisi. Untuk mendefinisikan negara
ideal dengan menentukan segala kriterianya seperti apa memang selalu menjadi
pergulatan panjang. Salah satu tokoh terkenal yang pernah berusaha mengkaji ini pada
era klasik ialah Al-Farabi dan Ibnu Al-Arabi. Mereka hidup dimasa polemik baik
dalam segi agama, politik, kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan
Weber, negara adalah perwujudan historis sebuah kolektivitas sosial dalam memenuhi
kebutuhan harkat manusia pada sebuah negara.1 Dari sini dapat dipetik bahwa negara
adalah suatu kesatuan dimana memiliki tata aturan yang dibuat, diyakini, dan
dilaksanakan oleh masyarakat pada suatu wilayah tertentu.
Secara fungsional, Negara merupakan suatu institusi dalam mengakomodir
segala kebutuhan masyarakat, dan kepentingan individu dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan hidup. Secara operasionalnya bahwa negara memiliki kewajiban
memelihara dan menentramkan kehidupan masyarakat guna mewujudkan tujuan
bersama. Dari sini Maskuri mendefinisikan bahwa negara adalah sistem yang holistis
yang memiliki fungsi menyelenggarakan sebagai produk dari manusia yang paling
baik.2
Pada setiap negara tentu memiliki seorang pemimpin dalam mengatur proses
kenegaraan tersebut. Misalnya dalam negara monarki dipimpin oleh seorang raja, dan
selebihnya di pimpin oleh presiden. Dalam ranah politik membahas tentang kriteria
dan standarisasi seorang pemimpin dalam memimpin negara. Konsepsi ini sangat
penting dikarenakan seorang pemimpin menjadi penentu berhasil atau tidaknya sistem
kenegaraan tersebut. Pemimpin dianggap sebagai suatu kendali teratas. Baiknya corak
memimpinnya seorang pemimpin akan baik pula kualitas tata negara yang
dipimpinnya, terutama mengacu kepada kesejahteraan masyarakat. Pada era klasik,
Para aktor intelektual seperti Al-Farabi dan Ibnu Abi Rabi’ telah mendefinisikan hal
tersebut bahkan sampai ilmuan yang seterusnya. Penulisan ini akan membahas sedikit
dari paradigma-paradigma yang telah dikemukakan oleh mereka.

1
George Baladier, Antropologi Politik terj. Y. Budi santoso, (Yogyakarta: Rajawali pers, 1986), hal.
161.
2
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, (Al-Madinah Al-Fadilah, Jakarta: Kinta, 1968), hal. 2.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran politik menurut Al-Farabi ?


2. Bagaimana pemikiran politik menurut Ibnu Abi Rabi’ ?

C. Tujuan

1. Menjelaskan karakteristik negara ideal menurut Al-Farabi dan Ibnu Abi Ar-Rabi’.
2. Menjabarkan kriteria, standarisasi seorang Pemimpin dalam mengatur suatu
negara.
3. Mendefinisikan kritria Negara, Bangsa, dan Masyarakst menurut Al-Farabi, dan
Ibnu Abi Rabi’.

2
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Al-Farabi

1. Biografi Al-Farabi

Nama lengkapnya Abu Nashr Muhamad Ibn Muhamad Ibn Tarkhan Ibn Al-
Uzalagh Al-Farabi. Ia lebih dikenal dengan sebutan Alfarabi. Lahir di Wasij di
Distrik Farab (yang juga dikenal dengan nama Utrar) di Transoxiana, sekitar 870
M, dan wafat di Damaskus pada 950 M. 3 Ayahnya berkebangsaan Persia dan
ibunya berkebangsaan Turki.4 Sejak masa kecilnya Al-Farabi mempunyai
kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Setelah besar, Al-Farabi
meninggaalkan negerinya untuk menuju Baghdad, yang menjadi pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan saat itu. Di Baghdad ia belajar logika kepada
Abu Bisyr bin Mattius, seorang kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan
filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn Hailam.5 Dan ilmu Nahwu kepada
Abu Bakar As-Sarraj.6 Kemudian ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunanidi
Asia Kecil, dan berguru pada Yuhana ibn Jilad. Tidak berapa lama, ia kembali ke
Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun.
Selama di Baghdad ia menulis dan membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat
Yunani dan mengajarkan kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang
terkenal adalah Yahya ibn Abdi, filsuf Kristen.7
Yang bisa di ketahui tentang soal latar belakang keluarga alFārābī adalah
bahwa ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan. Persia (kendatipun nama
kakek dan nama kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki) ibunya
berkebangsaan Turki. Yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti
Sam‟aniyyah. Barangkali bahwa masuknya keluarga ini ke dalam Islam, terjadi
pada . Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan penaklukan dan Islamisasi atas
Farab oleh Dinasti Sama‟niyyah pada 839-840 M.8

3
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
(Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2002), hal. 51
4
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Pengantar Filsafat Islam (Konsep,
Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 80
5
Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam... hal. 81
6
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014), hal. 29
7
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 198

3
Penguasa Samaniyah pada masa itu adalah Nasr Ibn
Ahmad dan Ismail Ibn Ahmad. Sementara zaman keemasan Samaniyah sendiri
pada pemerintahan Nasr Ibn Ahmad. Penguasa Samaniyah keIV. Sejak masa
pemerintahan Nasr II perpustakaan Samaniyah di Bukhara adalah yang paling
terkenal sebagai pusat ilmu dan kesusastraan.17 Al-Fārābī sendiri setelah banyak
pendidikannya diBukahara dia meneruskan pergi ke Baghdad yang pada masa itu
Baghdad memiliki akses sumber-sumber pengetahuan yang tidak ada di Bukhara,
seperti ilmu logka, filsafat, sastra, dan sebagainya..

2. Latar Belakang Sosial Al-Farabi

Farabi hidup pada zaman ke-kuasaan Abbasyiah diguncang oleh berbagai


gejolak, pertentangan dan pemberontakan. Dia lahir pada masa pemerintahan
Khalifah Mu’tamid dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Mu'ti suatu
periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama- sekali. Pada waktu itu
timbul banyak macam tantangan, bahkan pemberontakan, terhadap kekuasaan
Abbasyiah dengan berbagai motif: agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-
anak raja dan penguasa-penguasa lama berusaha mendapatkan kembali wilayah
dan kekayaan nenek moyangnya, khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka
mencoba mencapai maksudnya dengan merongrong wibawa khalifah dan berkerja
sama dengan kelompok Syi’ah, keturunan Ali bin Abi Thalib, yang beranggapan
lebih berhak memerintah dunia Islam daripada keturunan Abbas, paman Nabi itu.
Situasi politik menjadi lebih kalut lagi dengan menghilangnya Imam Mohammad
Mahdi (Imam XII dari Syi’ah Imamiyah), dalam usia sekitar empat atau lima
tahun. Mungkin karena situasi politik yang demikian, dan juga karena
perkenalannya dengan karya- karya tulis pemikir Yunani seperti Plato dan
Aristoteles, Farabi yang gemar berkhalwat, menyendiri dan merenung, merasa
terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang
ideal. Kenyataan bahwa Farabi dalam hidupnya tidak dekat dengan penguasa dan
tidak menduduki salah satu jabatan pemerintahan, di satu pihak merupakan
keuntungan, tetapi di lain pihak merupakan kerugian. Merupakan keuntungan oleh
karena Farabi mempunyai ”kebebasan” dalam berpikir tanpa harus berusaha
8
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, hal.
51

4
menyesuaikan gagasannya dengan pola politik yang ada; merupakan kerugian oleh
karena dia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam
pengelolaan urusan kenegaraan, dan juga untuk menguji kebenaran teorinya
dengan kenyataan-kenyataan politik yang terakhir di tengah kehidupan bernegara
pada zamannya.9
Menurut Massignon ahli ketimuran Perancis, Al-Farabi adalah
seorang filosof islam dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia, memang al-Kindi
telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Tetapi ia tidak menciptakan
sistem (madzhab) filsafat tertentu, sedangkan persoalan-persoalan yang
dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang
memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem
(madzhab) filsafat yang lengkap dan telah memainkan peranan yang penting dalam
dunia Islam. Al-Farabi menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusy dan filofof-filosof
Islam lain yang datang sesudahnya. Oleh karena itu ia mendapat gelar “Guru
kedua” (al-muallim as-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang menedapat
gelar “Guru pertama” (al-muallim al-awwal).10

3. Pemikiran Politik Al-Farabi

Pemikiran Al-Farabi lainnya yang amat penting adalah


tentang politik yang dia tuangkan dalam dua karyanya Al-Siyasah Al Madaniyyah
(Pemerintahan politik) dan Ara‟ Al-Madinah Al-fadhillah (pendapat-pendapat
tentang negara utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan
negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh.11
Tentu pada setiap organ memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam
tubuh. Dimana, pada setiap organ mereka saling bekerja sama berinteraksi dan
berkomunikasi dalam melakukan tugasnya dengan tujuan agar organisme dapat
melangsungkan kehidupan. Al-Farabi mendefinisikan bahwa kehidupan bernegara
itu sama halnya dengan sistem organisme seseorang dimana setiap organ adalah
bagian-bagian yang inheren dengan organ yang lain. Ketika satu organ satu
bermasalah maka organ lain juga turut merasakan. Otak menjadi organ utama yang

9
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Pemikiran, Dan Sejarah Edisi V, (Jakarta: UI
Press, 1993).
10
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hal. 82.
11
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), hal. 41.

5
dimiliki manusia, karena otak berfungsi mengendalikan segala fungsi tubuh
dibantu dengan organ lain seperti jantung, paru-paru dan lain sebagainya.
Dihubungkan dengan syaraf, berkolaburasi dan kerja otak dikendalikan
(dibimbing) dengan hati (kalb). Pemimpin dalam suatu negara tidak lain berperan
seperti otak, yaitu mengendalikan. Oleh karenanya otak haruslah sehat, harus
terbebas dari segala unsur kenegatifan, agar semua kerja dapat berjalan dengan
baik.
Penguasa/Pemimpin ini haruslah orang yang lebih unggul baik dalam
bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Di samping daya profetik
yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa
kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap
moderat dalam hal makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan
hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian serta kesehatan
jasmani dan rohani dan kefasihan berbicara.12
Dalam kajian ini akan di bahas beberapa buah pemikiran politik Al -Farabi
yang diuraikan beberapa tipe.karakteristik, yaitu: karakteristik negara ideal,
karakteristik masyarakat, dan karakteristik negara.

a. Karakteristik Negara Utama

Al-Farabi dalam pengamatannya, beliau mengungkapkan bahwa negara


yang didiami sebuah kelompok masyarakat tidak semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup
yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materiil tetapi
juga sprituil, tidak saja didunia yang fana ini tetapi juga di akhirat nanti.
Pendapat al-Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat atau bernegara itu
memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam di
samping pengaruh tradisi pemikiran Plato dan Aristoteles yang mengaitkan
politik dengan moralitas, akhlak atau budi pekerti. Tujuan Al-Farabi di dalam
Konsep (Al-Madinah Al-Fadilah). Pertama, Mencita-citakan akan mengatur
dunia Internasional dengan satu lembaga yang bersifat Universal dan untuk
mencontohkan suatu negara utama (al-Madīnah al-Fāḍilah), seperti halnya

12
Jurnal UIN Banten, Biografi Al-Farabi, Lihat, https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.uinbanten.ac.id/1976/4/BAB
%2520II.pdf&ved=2ahUKEwiBqKOnxuDxAhX77HMBHV5WCVIQFnoECDQQAQ&usg=AOvVaw1PjRCgv
ZpZxsWPFwTzeblb.

6
pendapat Plato dan Aristoteles, yaitu suatu negara yang sempurna lagi cerdas
dimana pemimpin negaranya dipimpin oleh seorang filosof yang suci jiwanya
sehingga dapat mendekati sifat seorang Nabi.13 Kedua, Negara menurut al-
Farabi, adalah suatu negara ketuhanan yang bertujuan kebahagian bersama,
materil dan spritual dibawah pimpinan seorang Presiden dan atau bersama
wakil-wakinya yang bersifat kenabian. Negara itu didukung oleh rakyatnya
yang bersifat gotong royong, kolektif dan kooperatif di dalam cara berfikirnya
dan cara bekerjanya.
Setiap negara yang dibangun harus mempunyai tujuan (ends of the
state), yang menjadi cita-cita utama dan idaman oleh setiap warga negaranya.
Al-Farabi menegaskan bahwa setiap warga negara harus mempunyai ide
(Arā‟u) yang harus diperjuangkan terusmenerus dan menuju kepada suatu titik
yang terakhir dari negaranya, yang menjadi harapan dan tujuan bersama. Bagi
al-Farabi tujuan terakhir itu ialah “kebahagian” (happiness). Adapun karakter
negara utama dapat ditinjau dari beberapa dimensi, diantaranya:

b. Ideologi Warga Negara

Cita-cita Utama atau Negara Sempurna. Konsepnya tersebut diuraikan dalam


buku yang berjudul “Arā‟u ahli Madīnah alFāḍilah” (The principle of the
community of model City). Berdasarkan pendapatnya bahwa negara adalah berasal
dari masyarakat kota. Membicarakan soal negara dimulailah dari manusia yang
menjadikan warga negara tersebut dan yang membentuk masyarakat itu. Manusia
atau warga mempunyai dasar fikiran dan pendapat yang mengharuskan dia bekerja
dan berjuang mencapai tujuan negara yang terakhir ialah kebahagian. 14
Manusia yang berfikir dan bercita-cita yang dapat menjadi warga negara dari
suatu negara, dan suatu negara utama hanya dapat didirikan oleh warga yang utama
pula. Untuk menjadi warga negara yang utama tersebut manusia harus mempunyai
kemauan bulat yang mendorongnya untuk bertindak baik, dimana perbuatn itu
mendorongnya untuk bertindak baik maupun tindakan itu sudah dilakukan dalam
bentuk perbuatan.
1) Akhlak
Mengenai akhak utama ini Al-Farabi membicarakannya di dalam buku yang
komentarnya terhadap karangan Aristoteles yang dinamakannya Kitabu al- Akhlaq

13
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama al-Madinah Al-Fadilah, (Jakarta: 1968), hal. 2.
14
Said, Abdullah. "Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy 1.1 (2019): 63-78.

7
(Aristotle Nicomachaen ethics). Buku ini adalah buku pertama dalam bahasa arab
mengenai ilmu akhlak. Sebagai perintis jalan ilmu tersebut Al-Farabi sudah
meletakkan dasar-dasar yang kuat. Bukan saja ia menerjemahkan berbagai buku-
buku dan pendapat Aristoteles, yang berdasarkan kepada filsafat semata, tetapi
dibawanya dasar baru yang lebih kuat ialah agama Islam, dan ia memberikan tujuan
bahwa yang akhir dari akhlak adalah mencapai kebahagian total, kebahagian materil
dan kebahagian spritual, akhlak dibaginya menjadi 2 bagian yaitu akhlak
(Mahmudah) adalah akhlak yang baik dan akhlak (Mazmumah) adalah akhlak yang
jahat.
Setiap warga negara yang utama melatih diri dan membiasakan sifat-sifat yang
utama, sehingga menjadi karakter (tabi‟at) yang baik baginya dan menjauhkan
dirinya dari tiap-tiap perbuatan yang tercela dan tiap-tiap sifat yang rendah. Sesuai
dengan syarat-syarat yang dikemukakannya bahwa setiap warga negara harus
mempunyai ideologi, begitu juga warga itu harus mempunyai akhlak yang utama.
Dengan apakah akhlak yang utama itu dapat diketahui dan apakah ukurannya
yang dipakai untuk menetapkan akhlak yang yang rendah (jahat). Aristoteles
menjawabnya: ukurannya ialah fikiran (akal), dan falsafah. Dijaman sekarang ini
bisa dijabarkan menjadi 5 dasar yaitu: theologis (agama), hedonis (rasa senang),
utilistis (manfaat), vitalistis (kekuasaan), naturalistis (hukum alam), dan idealistis
(cita-cita yang tinggi). Dari kecenderungan manusia untuk bermasyarakat, lahirlah
berbagai macam masyarakat, di antaranya ada yang merupakan masyarakat-
masyarakat yang sempurna, dan di antarannya ada yang tidak sempurna. 15
2) Keragaman
Al-Farabi berkeinginan memperjuangkan perwujudan gagasan tentang
persamaan dan persatuan antar manusia sebagaimana yang diperjuangkan oleh Plato
sebelum- sebelumnya. Hanya saja, gagasan ini sulit untuk diwujudkan dikarenakan
adanya perbedaan diantara bangsa-bangsa yang memiliki keragaman karena faktor-
faktor tertentu, diantaranya watak atau tabiat, adat istiadat, lingkungan alam
sekitarnya dan bahasa karena setiap bangsa memiliki bahasa sendiri. Al-Farabi
menegaskan, bangsa-bangsa memiliki keragaman karena dua factor alamiah, yaitu
bentuk kejadian dan lingkunga alam, dan ditambah dengan factor lain di luar factor
alamiah, yaitu bahasa.
Perbedaan ini dipicu oleh oleh sebab-sebab alamiah pula, seperti perbedaan
unsur langit yang membentuk spiritual, perbedaan unsur bumi membentuk fisik,
serta unsur geologis tempat tinggal. Perbedaan geologi akan berdampak pada

15
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama al-Madinah Al-Fadilah, hal. 51. Didalam Said, Abdullah.
"Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy 1.1 (2019): 63-78.

8
perbedaan uap yang naik dari bumi. Setiap uap yang terjadi di bumi akan menjadi
persoalan-persoalan tertentu bagi suatu wilayah. Perbedaan uap berdampak pada
perbedaan udara dan air. Perbedaan udara dan air akan berdampak pada keragaman
tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Dengan demikian, beragam pula makanan suatu bangsa. Keragaman makanan
manusia diikuti keragaman material dan pertanian yang darinya manusia masa lalu
terbentuk. Ini berdampak pada perbedaan tabiat. 16 Dari pengaruh faktor lingkungan
iklim, geografis dan makanan masyarakat setempat akan membentuk pola berpikir
hubungan sosial masyarakat tertentu, dan selanjutnya akan mempengaruhi hubungan
sosial, watak, tradisi yang mengakibatkan keragaman sistem sosial politik
masyarakat tertentu.

c. Karakteristik Masyarakat

Al-Farabi mendefinisikan bahwa masyarakat pada suatu negara setidaknya terdiri


dari masyarakat sempurna, dan Masyarakat tidak sempurna.
1) Masyarakat-masyarakat yang Sempurna
Menurut Farabi, terdapat tiga macam masyarakat yang sempuma: masyarakat
sempurna besar, masyarakat sempurna sedang, dan masyarakat sempurna kecil.
Adapun masyarakat sempurna besar adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat
untuk bergabung dan saling membantu serta kerjasama. Masyarakat sempurna
sedang adalah masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni di satu
wilayah dari bumi ini. Sedangkan masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat
yang terdiri dari para penghuni satu kota. Atau dengan nama lain, masyarakat
sempurna besar adalah perserikatan bangsa-bangsa, masyarakat sempurna sedang
adalah negara nasional, dan masyarakat sempurna kecil adalah negara-kota.
Sebagaimana Plato dan Aristoteles, Farabi ber pendapat, di antara tiga macam
masyarakat sempurna tersebut maka negara-kota merupakan sistem atau pola politik
yang terbaik dan terunggul. Beberapa pengamat sejarah ilmu politik Islam
menganggap aneh pendapat Farabi itu, oleh karena pada waktu itu dia hidup pada
zaman di kala Islam telah terbagi-bagi menjadi semacam negara- negara nasional,
yang masing-masing terdiri dari banyak kota dan desa serta berwilayah luas. Tetapi
Farabi tidak seorang diri dalam hal ini. Aristoteles juga menganggap bahwa negara-
kota merupakan kesatuan politik yang terbaik di Yunani meskipun waktu itu Yunani
sudah menjadi daerah jajahan Macedonia, dan sistem negara-kota sudah tidak

16
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam terjm.
Roshihon Anwar, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hal. 357.

9
berfungsi lagi. Dalam pada itu pendapat Farabi ini dapat dianggap sebagai bukti
bahwa dalam idealisasi politik dia tidak menghirau-kan kenyataan-kenyataan
politik pada zaman dia hidup.17

2) Masyarakat-masyarakat yang Tidak Sempurna


Adapun masyarakat-masyarakat yang tidak atau belum sempurna, menurut
Farabi, adalah penghidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong dan keluarga;
dan di antara tiga bentuk pergaulan yang tidak atau belum sempuma itu, maka
kehidupan sosial di dalam rumah atau keluarga merupakan masyarakat yang paling
tidak sempurna. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat lorong, masyarakat
lorong merupakan bagian dari masyarakat kampung, dan masyarakat kampung
merupakan bagian dari masyarakat negara-kota. Terbentuknya kampung dan desa,
keduanya diperlukan oleh negara-kota. Hanya bedanya, kampung merupakan bagian
dari negara- kota, sedangkan desa hanya merupakan pelengkap untuk melayani
kebutuhan negara-kota. Tampaknya Farabi menganggap bahwa tiga unit pergaulan
sosial tersebut tidak merupakan masyarakat-masyarakat yang sempuma karena tidak
cukup lengkap untuk berswasem- bada dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan
para warganya, baik kebutuhan ekonomi, sosial, budaya maupun spiritual.

d. Karakteristik Negara

Dalam karya ini, Alfarabi juga menguraikan tentang jenis-jenis kotakota


yang berlawanan dengan kota/negara utama, sebagaimana disebutkan di atas.
Pertama; Almadinah Aljahiliah (kota/negara kebodohan) yaitu; kota yang
warganya tidak mengetahui tentang arti ke bahagiaan (yang seharusnya menjadi
tujuan utama manusia). Hal ini tidak pernah terlintas di dalam benak mereka.
Jika diarahkan untuk sampai kepada hal itu pun (kebahagiaan), mereka tetap
tidak dapat memahaminya, bahkan tidak mempercainya. Hal-hal yang baik
hanya diketahui secara superfisial, tetapi dianggap sebagai yang paling baik,
bahkan dijadikan sebagai tujuan hidup. Hal ini misalnya seperti; kesehatan
badan, kemakmuran, kenikmatan kesenangan jasmani (badani), kebebasan
melampiaskan hawa-nafsu, dan merasa dihormati. Menurut mereka, ini adalah
unsurunsur yang menjadi kelengkapan dari kebaha giaan. Kebahagiaan terbesar

17
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Pemikiran, Dan Sejarah Edisi V, Didalam Said,
Abdullah. "Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy 1.1 (2019): hal.
69.

10
dan paling sempurna adalah apabila orang dapat memperoleh semuanya secara
total. Sebaliknya, keadaan seperti badan sakit, kemiskinan, tidak adanya
hiburan, ketiadaan kebebasan melampiaskan hawa-nafsu, dan tidak memperoleh
penghormatan merupakan sebuah penderitaan.18 Hal inilah yang berusaha
mereka hindari.
Jiwa penduduk kota/negara kebodohan, menurut Alfarabi tidak
sempurna. Keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu besar dan
tidak mau berpikir tentang hakekat materi itu kemudian berujung (pengenalan)
kepada Pencipta Pertama. Mereka hanya berpikir tentang kekinian dan ke-di-
sini-an. Seperti binatang yang tidak pernah memikirkan adanya kehidupan
akhirat. Bagi mereka, semua yang ada saat ini pada akhirnya akan hilang
(musnah) juga.19 Mereka ini berada pada tingkatan materi pertama yang menjadi
dasar dari keempat unsur, api, angin, air, dan tanah. Hal yang masih baru dalam
tahapan materi pertama, dan belum mempunyai bentuk. Alfarabi membagi
Kota/ Negara ini menjadi enam macam, yaitu; Almadinah Aldharuriyah
(Kota/Negara Kebutuhan Dasar); Almadinah Alnadzdzalah (Kota/Negara Jahat);
Almadinah Alkhassah wa Alsuquth (Kota/Negara Rendah dan Hina); Almadinah
Alkaramiyah (Kota/Negara Kehormatan, Aristokratik); Almadinah Altaghallub,
(Kota/Negara Imperialis); Almadinah Aljama’iyyah (Kota/Negara Demokratik).
Akan dijelaskan sebagai berikut.
1) Al-Madinah Al-Dharuriyah (Negara/Kota dengan Kebutuhan Dasar)
Negara/kota model ini berisikan masyarakat yang mana memprioritaskan
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar, seperti: makan,
minum, rumah, dan menikah. Dalam corak negara/kota A-Dharuriyah, dibutuhkan
seorang pemimpin yang mana memiliki kemampuan dalam hal manajemen untuk
mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat. Jadi, tolok ukur dari model ini
adalah bahwa kenegaraan dibangun atas dasar tujuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar.

2) Al-Madinah Al-Nadzdzalah (Negara/Kota Jahat)


Corak dari negara/kota ini, dimana warganya memiliki pandangan bahwa
kekayaan dan kamakmuran menjadi tujuan dalam hidup. Semua warga ini saling

Alfarabi Abu Nashr, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, 182. Didalam Sukardi, Imam. "Negara Dan
18

Kepemimpinan Dalam Pemikiran Alfarabi." Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat 14.2 (2017): hal.
291.
19
Alfarabi Abu Nashr, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, 139.

11
berlomba-lomba untuk menjadi yang terkaya, baik dari cara yang benar atau
dengan cara yang salah. Gaya dari pemimpin di negara ini ialah, bahwa pemimpin
dinegara ini adalah orang yang paling banyak mendapatkan perolehan, dan
memiliki kemampuan dalam menajga perolehannya tersebut.

3) Al-Madinah Al-Khassah wa Al-Suquth (Negara/kota Hina dan Rendah)


Al-Madinah Al-Khassah wa Al-Suquth adalah suatu negara/kota dengan
warga negara yang tujuan hidup warganya hanya memburu kesenangan, dan
kenikmatan dunia. Baik berwujudannya seperti, makan, minuman, atau menikah
(hubungan seks). Warga pada kota ini menganggap bahwa yang paling bahagia
adalah yang paling banyak mendapatkan kenikmatan. 20

4) Al-Madinah Al-Karamiyah (Negara/Kota Penghormatan).


Al-Madinah Al-Karamiyah adalah suatu negara yang tujuan hidup baik
warganya ataupun pemimpinnya adalah demi mendapatkan penghormatan.
Negara/kota ini bisa disebut sebagai negara gila hormat. Negara ini tentu tidak
menegasikan segala kebutuhan dasar, seperti makan, minum, dan tempat tinggal,
akantetapi, semua itu mereka usahakan untuk mendapatkan penghormatan dari
orang lain.21
Kepemimpinan negara ini memiliki corak cenderung feodalistis, dimana
pemimpin berusaha memenuhi segala keinginannya tanpa menghiraukan keadaan
dan kemampuan negara. Tentu hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan sehingga
masyarakatlah yang menjadi sasaran demi mewujudkan segala keinginan
penguasa. Disamping itu, pemimpin ini bersifat emritokrasi yang mana pemimpin
dipilih atas dasar kedudukan, jabatan, dan darah keluarga (bangsawan), tanpa
mempertimbangkan kemampuan (skill).

5) Al-Madinah Al-Taghallub (Negara/Kota Imprialis)


Al-Madinah Al-Taghallub merupakan suatu negara yang mana memiliki
corak yang bersifat menguasai. Tujuan pokok dari warga negara ini adalah hanya
untuk menundukkan orang lain, dan menjadikan negaranya sendiri menjadi negara
yang paling berkuasa. Negara/ kota ini dianggap sebagai tipe kota yang memiliki
perangi warganya cenderung kejam, berangasan, dan berlebihan akan segala
sesuatu hal.

20
Alfarabi Abu Nashr, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, hal. 128..
21
Al-farabi, Kitab Al-Siyasah Al Madinah, Tahqiq oleh fauzi Mitri Najjar, hal. 89.

12
Negara ini terus berusaha menjadi yang berdominasi, disamping memiliki
pemimpin yang kuat, dan haus akan kekuasaan. Pemimpin negara ini adalah orang
yang paling kuat, paling dapat mengalahkan orang lain, dapat menguasai orang
lain, pandai, dan selalu kelihatan menang dihadapan orang lain, dan lagi tidak
pernah mengalami kekalahan. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang alami apabila
ytang menjadi pemimpin mereka adalah orang yang paling ahli mempimpin anak
buah agar bisa menguasai orang lain, yakni orang yang paling kuat atau paling
licik diantara mereka.22

6) Al-Madinah Al-Jama’iyah (Negara/Kota Demokrasi).


Negara dengan sistem demokrasi memiliki konsepsi atas kebebasan dalam
hidup. Warga negara dalam corak negara ini menganggap bahwa semua manusia
itu memiliki status yang sama, tidak ada perbedaaan antara satu dengan yang lain,
tidak boleh berkuasa atas yang lain, dan berhak melakukan segala sesuatu
sekehendak hatinya. Demikian dari hal itu, pandangan ini mengakibatkan berbagai
bariansi baik dalam bentuk rasial ataupun berbagai diversitas, sehingga dalam kota
ini ada unsur kebaikkan dan juga unsur keburukan.
Kepemimpinan dalam kota ini hanya sebatas menampung dan memenuhi
seluruh aspirasi warga/masyarakatnya, dan lagi masyarakat mengakui seorang
pemimpin yang berjanji untuk memberikan kebabasan, dan kesempatan yang lebih
besar. Subordinasi mereka pada kepemimpinan politik sepenuhnya bersifat
sukarela, dan pemerintahan tergantuk dengan kehendak rakyat. Dengan demikian,
tipe masyarakat dalam kota ini ada yang baik, dan ada pula yang buruk. Akan
tetapi, jika negara ini menjadi negara maju, maka corak dari negara ini dinilai
menadi corak yang paling sukses.23

B. Pemikiran Politik Ibnu Ar-Rabi’

Nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’.
Pemikiran politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul suluk al-malik fi Tadbir
al-Mamalik (prilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan), yang ditulis untuk
memenuhi permintaan khalifah al-Mu’thasim, khalifah ke delapan dinasti
Abbasiyyah, yang memerintah abad IX Masehi.24

22
Al-farabi, Kitab Al-Siyasah Al Madinah, Tahqiq oleh fauzi Mitri Najjar, hal. 94.
23
Al-farabi, Kitab Al-Siyasah Al Madinah, Tahqiq oleh fauzi Mitri Najjar, hal. 101.
24
Munawar Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, (Ul-Press, Jakarta,
cet. V), hlm, 42

13
Menurut Ibn Abi Rabi’, asal mula tumbuhnya kota atau terbentuknya negara,
berasal dari ketidak berdayaan manusia untuk hidup sendiri dalam mencukupi segala
kebutuhan hidupnya, tanpa bantuan orang lain. Ketergantungan kepada orang lain
inilah, mendorong manusia untuk saling membantu dan berkumpul, serta menetap
disatu tempat. Dari sinilah, tumbuh sebuah komunitas kota, yang akhirnya
berkembang menjadi sebuah negara.25
Kekuasaan kepala negara, bagi Ibnu Abi Rabi’, adalah bersumber dari Tuhan. Hal
ini dapat dipahami dari statemennya, bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa
bagi masyarakat. Penguasa ini mendapat pancaran Ilahi dan dilakukan dengan
karamah-Nya. Hanya saja, dia tidak menjelaskan, dikukuhkan melalui pemilihan atau
penunjukan. Sehingga sumber kekuasaan kepala negara adalah bukan berasal dari
rakyat, tetapi dari Allah yang diberikan kepada orang pilihan-Nya. Dan tugas
pemimpin negara itu adalah mengelola urusan rakyatnya dan bertindak sebagai hakim
untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.26

1. Negara/Pemerintahan Ideal

Bentuk pemerintah yang terbaik, masih menurut Ibn Abi Rabi’, adalah
bentuk pemerintah monarkhi, yakni pemerintah yang berpusat pada satu individu,
yaitu seorang raja.27 Hal ini didasarkan dengan pertimbangan, dengan banyaknya
pemimpin, akan dapat melumpuhkan politik pemerintahan dan menimbulkan
kekacauan. Karenanya sebuah kota/negara atau masyarakat perlu dipimpin oleh
seorang yang kuat.28 Selain itu, sebuah negara perlu dipimpin seorang pemimpin,
juga didasarkan dengan beberapa pertimbangan lain, seperti agar penguasa
mempunyai kesempatan yang besar untuk menegakkan keadilan di antara warga
negara; dapat menolak kedzoliman terhadap orang-orang yang mungkin dianiaya;
mendorong warga negara untuk mewujudkan tujuannya yang luhur, sehingga
setiap orang dapat bekerja untuk kepentingan dirinya dan kepentingan masyarakat.

25
Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, Ul-Press, Jakarta,
cet. V, hlm. 43-44; Muhammad Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar
al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 209
26
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, di tahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 101
27
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 103; Munawar Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran,
Ul-Press, Jakarta, cet. V, hlm, 46
28
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 104; Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar
al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 215

14
Bagi Ibn Abi Rabi’, sebuah negara cukup di pimpin seorang penguasa yang
mengelola dan merencanakan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan diantara
warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan, agar tiap-tiap anggota masyarakat dapat
bekerja dan menghasilkan suatu produksi yang bermanfaat bagi kepentingan
dirinya dan kepentingan orang lain.29

2. Karakteristik Pemimpin/Raja
Sebuah negara dapat tegak, tegas Ibn Abi Rabi’, jika komponen-komponen
penting diperhatikan, yaitu : raja, rakyat, keadilan dan pengelolaan pemerintah
(administrasi negara). Seorang raja setidaknya harus memenuhi enam kriteria
sebagai berikut:
a. Dari segi keturunan, ia harus berasal dari keluarga raja dan dekat hubungan
kerabatnya dengar raja sebelumnya
b. Mempunyai cita-cita yang tinggi, yang dapat dibina melalui Pendidikan akhlak
c. Berpendirian tegas, yang bisa dibina melalui penelaahan dan pembahasan
tentang pola-pola pengelolaan negara yang dilakukan oleh para raja
sebelumnya
d. Tegar saat menghadapi kesulitan
e. Memiliki sumber finansial yang cukup
f. Dan mempunyai pembantu-pembantu yang jujur.30
Lebih lanjut Ibn Abi Rabi menjelaskan, bahwa Allah telah memberi
keistimewaan kepada para penguasa, dengan memuliakannya, memberi kedudukan
penting dinegaranya, dan disegani hamba-hamba Allah. Allah pun mewajibkan
kepada para ulama untuk mengagungkan, memuliakan dan menghormati raja,
sebagaimana Allah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk mentaati para
penguasa.31

29
Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-
Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 215; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi), serta
Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 115-116
30
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 407; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi), serta
Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 118-119
31
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’,
Dar al-Sya’b Kairo, hlm. 406; Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Sakhshiyyah wa Madzahib, Dar
al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 218

15
Pemimpian masyarakat atau negara, demikian Ibn Abi Rabi’, haruslah
manusia utama. Baginya, manusia utama adalah mereka yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kebahagiaan (prinpsip).
b. Sehat tubuhnya (fisik).
c. Mempunyai pendalaman dan penelaahan yang baik terhadap pendapat ulama
yang mengetahui kandungan kitab suci (kognitif).
d. Daya ingatnya baik (kuat) dan tidak melupakan ilmu pengetahuan yang telah
diperolehnya (kognitif).
e. Memiliki tingkat kecerdasan dan ketajaman berfikir yang baik, saat menghadapi
suatu masalah
f. Berkemampuan olah vocal dengan baik (linguistik).
g. Mencintai ilmu dan suka belajar, serta mengambil pelajaran dari setiap kejadian
h. Tidak mempunyai karakteristik yang buruk dan membenci sesuatu yang dapat
mengakibatkan buruk bagi dirinya (rohani).
i. Berjiwa besar, mencintai kemuliaan dan menjaga dirinya dari segala sesuatu
yang membawa keburukan (akhlak).
j. Mencintai keadilan, kejujuran, dan orang-orang yang adil dan jujur, serta benci
kepalsuan dan kebohongan (humanistik).
k. Percaya diri untuk merealisasikan cita-citanya, tidak takut mati, dan tidak
mempunyai jiwa yang lemah (afektif).
l. Memandang rendah dunia dan hal-hal yang membawa kepada nilai-nilai
keduniaan yang fana (aqidah).32
Berkaitan dengan keadilan, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian yaitu: Keadilan yang berhubungan dengan perbuatan seorang hamba
yang berkenaan dengan hak Allah; Keadilan yang berhubungan dengan perbuatan
seorang yang berkenaan dengan hak-hak terhadap sesamanya; dan keadilan yang
berhubungan dengan perbuatan seseorang terhadap hak-hak para pendahulu
mereka. Adapun indikator seseorang dapat dikatakan bersikap adil adalah:
a. Menepati janji dan Amanah, serta dapat di percaya
b. Bersifat penyayang dan terbebas dari sikap penipu
c. Memelihara dan memperhatikan janji-janjinya kepada orang lain

32
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 313

16
d. Jujur dalam segala tindakannya
e. Tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku
f. Menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan menyampaikan amanat pada
yang berhak menerimanya.33

Selanjutnya agar kekuasaan dan pengelolaan pemerintah berjalan secara


efektif dan efisien, penyelenggara negara masih menurut Ibn Abi Rabi’ harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak mengangkat pejabat negara yang tidak memiliki integritas kepribadian
yang memadai dan membahayakan kerajaan
b. Tidak meminta fatwa atau saran kepada orang yang tidak dapat di percaya, yang
dapat membawa kehancuran negara
c. Tidak menyimpan atau menyampaikan rahasia kepada orang yang tidak dapat
dipercaya
d. Tidak minta bantuan kepada orang yang tidak memiliki kemandirian, yang
dapat merusak urusannya
e. Tidak meremehkan pejabat-pejabat negara, yang menunjukkan kelemahan
pemikirannya
f. Tidak memberi tugas kepada orang-orang yang bodoh atau tidak mampu, yang
dapat berakibat buruk.34
Dari yang telah dipaparkan diatas, dapat diambil benang merah bahwa corak
pemikiran Ibnu Abi Rabi’ mengacu pada kriteria soerang pemimpin yang mutlak.
Beliau menjelaskan bahwa pemimpin haruslah orang yang sempurna dari segi
apapun, dan tidak memiliki kecacatan dalam dirinya. Negara ideal konsepi
pemikiraan Ibn Abi Rabi’ lebih mengacu kepada sistem negara yang bersifat
monarci (kerajaan), dimana satu negara yang di pimpin oleh satu pemimpin
memiliki keunikan yaitu, terjauhkannya potensi terjadi penyelewengan dari para
pemimpin-pemimpin yang lain. Dengan diintegrasikannya kepada satu pemimpin
maka negara tersebut terfokus kan pada suatu kepala, dan memiliki sistem yang
kuat sehingga bisa menghindari hal-hal yang bersifat manipulatif.

33
Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-
Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 228-229; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi),
serta Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 125
34
Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-
Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 229-230; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi),
serta Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 126-127

17
18
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan

Konsepsi politik yang telah di bahasa oleh Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’
menjadi sebuah renungan untuk para penjabat-penjabat negara (Stakeholder) dalam
urusan kenegaraan. Al-Farabi dan Ibnu Abi Rabi’ memiliki kesamaan dalam
paradigmanya dalam ranah politik, yaitu Negara dengan warga yang memiliki
kesamaan pandangan, dan tujuan akan kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud
bukanlah hanya sekedar pemenuhan materi belaka, akan tetapi pemenuhan kebutuhan
jiwa dan spiritual, atau ukhrawi/akhirat. Oleh karenanya, masyarakat harus memiliki
kualitas dan keunggulan dalam merealisasikan kebahagiaan tersebut.
Didalam negara selalu memiliki pemimpin yang menjadi kepala akan semua
praktik birokrasi negara. Pemimpin dalam.pandangan al-farabi dan Ibnu Abi Rabi
adalah seseorsng yang diberi tanggung jawab dan kepercayaan dalam memimpin
negara. Seorang pemimpin dalam definisi al-farabi adalah seorang individu yang
memiliki keunggulan dari segala hal. Disamping itu, Ibnu Abi Rabi’ memandang
bahwa pemimpin adalah mandat yang diberikan oleh Tuhan sebagai pengganti
seorang Nabi, dimana pemimpin haruslah memiliki sifat kenabian didalam dirinya.
Oleh karenanya, seorang pemimpin menurut Al-farabi dan Abi Ibnu Rabi adalah
seorang yang memiliki keunggulan yang lebih, mulai dari segi:
 Segi kognitif, yaitu: Memiliki kecerdasan, nalar yang kuat, cinta terhadap ilmu
pengetahuan, dan berpengetahuan.
 Segi afektif, yaitu berakhlak mulia, cinta terhadap keadilan, cinta terhadap
kejujuran, berkasih sayang, dan berjiwa besar.
 Segi spiritual, yaitu: Seorang yang membenci keburukan, bahkan berusaha agar
tidak terjerumus pada keburukan, dan memiliki sifat kenabian.
 Segi Komunikasi, yaitu: memiliki kefasihan berbicara, dan kaya akan bahasa yang
mudah dipahami.
 Segi Fisiologis, yaitu: memiliki tubuh yang sehat, dan tiada cacat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. terjm. Roshihon
Anwar. Bandung: CV. Pustaka Setia
Alfarabi Abu Nashr. 2017, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, 182. Didalam Sukardi, Imam.
"Negara Dan Kepemimpinan Dalam Pemikiran Alfarabi." Al-A'raf: Jurnal Pemikiran
Islam dan Filsafat 14.2.

Alfan, Muhammad, 2011. Filsafat Etika Islam.Bandung: Pustaka Setia Baladier


Baladier, George. 1986. Antropologi Politik terj. Y. Budi santoso. Yogyakarta: Rajawali pers
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, di tahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah
Rabi’, Dar al-Sya’b, Kairo.
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah
Rabi’, Dar al-Sya’b Kairo, hlm. 406; Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam;
Sakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria.
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah
Rbai’, Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 103; Munawar Sjadzali, 1993, Islam dan Tata
Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, Ul-Press, Jakarta, cet. V.
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah
Rbai’, Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 407; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah
(pemikiran politik Ibn Abi Rabi), serta Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Jurnal UIN Banten, Biografi Al-Farabi, Lihat, https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.uinbanten.ac.id/1976/4/BAB
%2520II.pdf&ved=2ahUKEwiBqKOnxuDxAhX77HMBHV5WCVIQFnoECDQQA
Q&usg=AOvVaw1PjRCgvZpZxsWPFwTzeblb.
Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah
al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 215; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah
(pemikiran politik Ibn Abi Rabi), serta Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

20
Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, Ul-Press,
Jakarta, cet. V, hlm. 43-44; Muhammad Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-
Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria.
Nasution, Hasyimsya. , 2011. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Said, Abdullah. "Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy 1.1 (2019): 63-78.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam, 2009. Pengantar Filsafat Islam (Konsep,
Filsuf, dan Ajarannya). Bandung: Pustaka Setia.
Sjadzali, Munawir, 1993. Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Pemikiran, Dan Sejarah Edisi V.
Jakarta: UI Press
Sukardi, Imam. "Negara Dan Kepemimpinan Dalam Pemikiran Alfarabi." Al-A'raf: Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat 14.2. 2017
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam. Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam
Zainal Abidin Ahmad, 1968. Negara Utama. Al-Madinah Al-Fadilah, Jakarta: Kinta
Zaprulkhan, 2014. Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

21
22

Anda mungkin juga menyukai