RABI’
MAKALAH
Disusun Oleh:
Halit. Kalbahan
NIM: 050118.00039
Wawan Maulana
NIM: 050118.00070
Dosen:
Ahmad Masruri, S.Pd.I, M.Pd.
Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan
judul: “Pemikiran Politik Priode Klasik Al-Farabi, dan Ibnu Abi Ar-Rabi’”. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai hari penghabisan.
Atas bimbingan rekan-rekan dan saran dari teman-teman maka disusunlah Makalah
ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi kami semua dalam
memenuhi tugas dari mata kuliah Fiqih Siyasah dan semoga segala yang tertuang dalam
Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka
membangun Khasanah keilmuan. Makalah ini disajikan khusus dengan tujuan untuk memberi
arahan dan tuntunan agar yang membaca bisa menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Fiqih Siyasah Bapak KH. Dzainuddin Abdullah, MH
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada para pembaca.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT semata.
Tangerang, 15 Juli 2021
Halit. Kalbahan
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR-----------------------------------------------------------------------------------I
DAFTAR ISI---------------------------------------------------------------------------------------------II
BAB I PENDAHULUAN-------------------------------------------------------------------------------1
A. Latar Belakang-------------------------------------------------------------------------------------1
B. Rumusan Masalah---------------------------------------------------------------------------------2
C. Tujuan------------------------------------------------------------------------------------------------2
BAB II KAJIAN TEORITIK-------------------------------------------------------------------------3
A. Al-Farabi---------------------------------------------------------------------------------------------3
1. Biografi Al-Farabi-------------------------------------------------------------------------------------------------------- 3
2. Latar Belakang Sosial Al-Farabi----------------------------------------------------------------------------------4
3.Pemikiran Politik Al-Farabi----------------------------------------------------------------------------------------- 5
a. Karakteristik Negara Utama------------------------------------------------------------------6
b. Ideologi Warga Negara------------------------------------------------------------------------7
c. Karakteristik Masyarakat---------------------------------------------------------------------9
d. Karakteristik Negara-------------------------------------------------------------------------10
B. Pemikiran Politik Ibnu Ar-Rabi’--------------------------------------------------------------13
1. Negara/Pemerintahan Ideal----------------------------------------------------------------------------------------- 14
2. Karakteristik Pemimpin/Raja--------------------------------------------------------------------------------------15
BAB III KESIMPULAN------------------------------------------------------------------------------19
A. Kesimpulan----------------------------------------------------------------------------------------19
DAFTAR PUSTAKA----------------------------------------------------------------------------------20
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana dalam ranah politik menjadi pembahasan yang selalu hangat di setiap
kalangan masyakat terutama para pakar akademisi. Untuk mendefinisikan negara
ideal dengan menentukan segala kriterianya seperti apa memang selalu menjadi
pergulatan panjang. Salah satu tokoh terkenal yang pernah berusaha mengkaji ini pada
era klasik ialah Al-Farabi dan Ibnu Al-Arabi. Mereka hidup dimasa polemik baik
dalam segi agama, politik, kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan
Weber, negara adalah perwujudan historis sebuah kolektivitas sosial dalam memenuhi
kebutuhan harkat manusia pada sebuah negara.1 Dari sini dapat dipetik bahwa negara
adalah suatu kesatuan dimana memiliki tata aturan yang dibuat, diyakini, dan
dilaksanakan oleh masyarakat pada suatu wilayah tertentu.
Secara fungsional, Negara merupakan suatu institusi dalam mengakomodir
segala kebutuhan masyarakat, dan kepentingan individu dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan hidup. Secara operasionalnya bahwa negara memiliki kewajiban
memelihara dan menentramkan kehidupan masyarakat guna mewujudkan tujuan
bersama. Dari sini Maskuri mendefinisikan bahwa negara adalah sistem yang holistis
yang memiliki fungsi menyelenggarakan sebagai produk dari manusia yang paling
baik.2
Pada setiap negara tentu memiliki seorang pemimpin dalam mengatur proses
kenegaraan tersebut. Misalnya dalam negara monarki dipimpin oleh seorang raja, dan
selebihnya di pimpin oleh presiden. Dalam ranah politik membahas tentang kriteria
dan standarisasi seorang pemimpin dalam memimpin negara. Konsepsi ini sangat
penting dikarenakan seorang pemimpin menjadi penentu berhasil atau tidaknya sistem
kenegaraan tersebut. Pemimpin dianggap sebagai suatu kendali teratas. Baiknya corak
memimpinnya seorang pemimpin akan baik pula kualitas tata negara yang
dipimpinnya, terutama mengacu kepada kesejahteraan masyarakat. Pada era klasik,
Para aktor intelektual seperti Al-Farabi dan Ibnu Abi Rabi’ telah mendefinisikan hal
tersebut bahkan sampai ilmuan yang seterusnya. Penulisan ini akan membahas sedikit
dari paradigma-paradigma yang telah dikemukakan oleh mereka.
1
George Baladier, Antropologi Politik terj. Y. Budi santoso, (Yogyakarta: Rajawali pers, 1986), hal.
161.
2
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, (Al-Madinah Al-Fadilah, Jakarta: Kinta, 1968), hal. 2.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Menjelaskan karakteristik negara ideal menurut Al-Farabi dan Ibnu Abi Ar-Rabi’.
2. Menjabarkan kriteria, standarisasi seorang Pemimpin dalam mengatur suatu
negara.
3. Mendefinisikan kritria Negara, Bangsa, dan Masyarakst menurut Al-Farabi, dan
Ibnu Abi Rabi’.
2
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Al-Farabi
1. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhamad Ibn Muhamad Ibn Tarkhan Ibn Al-
Uzalagh Al-Farabi. Ia lebih dikenal dengan sebutan Alfarabi. Lahir di Wasij di
Distrik Farab (yang juga dikenal dengan nama Utrar) di Transoxiana, sekitar 870
M, dan wafat di Damaskus pada 950 M. 3 Ayahnya berkebangsaan Persia dan
ibunya berkebangsaan Turki.4 Sejak masa kecilnya Al-Farabi mempunyai
kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Setelah besar, Al-Farabi
meninggaalkan negerinya untuk menuju Baghdad, yang menjadi pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan saat itu. Di Baghdad ia belajar logika kepada
Abu Bisyr bin Mattius, seorang kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan
filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn Hailam.5 Dan ilmu Nahwu kepada
Abu Bakar As-Sarraj.6 Kemudian ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunanidi
Asia Kecil, dan berguru pada Yuhana ibn Jilad. Tidak berapa lama, ia kembali ke
Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun.
Selama di Baghdad ia menulis dan membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat
Yunani dan mengajarkan kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang
terkenal adalah Yahya ibn Abdi, filsuf Kristen.7
Yang bisa di ketahui tentang soal latar belakang keluarga alFārābī adalah
bahwa ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan. Persia (kendatipun nama
kakek dan nama kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki) ibunya
berkebangsaan Turki. Yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti
Sam‟aniyyah. Barangkali bahwa masuknya keluarga ini ke dalam Islam, terjadi
pada . Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan penaklukan dan Islamisasi atas
Farab oleh Dinasti Sama‟niyyah pada 839-840 M.8
3
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
(Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2002), hal. 51
4
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Pengantar Filsafat Islam (Konsep,
Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 80
5
Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam... hal. 81
6
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014), hal. 29
7
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 198
3
Penguasa Samaniyah pada masa itu adalah Nasr Ibn
Ahmad dan Ismail Ibn Ahmad. Sementara zaman keemasan Samaniyah sendiri
pada pemerintahan Nasr Ibn Ahmad. Penguasa Samaniyah keIV. Sejak masa
pemerintahan Nasr II perpustakaan Samaniyah di Bukhara adalah yang paling
terkenal sebagai pusat ilmu dan kesusastraan.17 Al-Fārābī sendiri setelah banyak
pendidikannya diBukahara dia meneruskan pergi ke Baghdad yang pada masa itu
Baghdad memiliki akses sumber-sumber pengetahuan yang tidak ada di Bukhara,
seperti ilmu logka, filsafat, sastra, dan sebagainya..
4
menyesuaikan gagasannya dengan pola politik yang ada; merupakan kerugian oleh
karena dia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam
pengelolaan urusan kenegaraan, dan juga untuk menguji kebenaran teorinya
dengan kenyataan-kenyataan politik yang terakhir di tengah kehidupan bernegara
pada zamannya.9
Menurut Massignon ahli ketimuran Perancis, Al-Farabi adalah
seorang filosof islam dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia, memang al-Kindi
telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Tetapi ia tidak menciptakan
sistem (madzhab) filsafat tertentu, sedangkan persoalan-persoalan yang
dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang
memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem
(madzhab) filsafat yang lengkap dan telah memainkan peranan yang penting dalam
dunia Islam. Al-Farabi menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusy dan filofof-filosof
Islam lain yang datang sesudahnya. Oleh karena itu ia mendapat gelar “Guru
kedua” (al-muallim as-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang menedapat
gelar “Guru pertama” (al-muallim al-awwal).10
9
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Pemikiran, Dan Sejarah Edisi V, (Jakarta: UI
Press, 1993).
10
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hal. 82.
11
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), hal. 41.
5
dimiliki manusia, karena otak berfungsi mengendalikan segala fungsi tubuh
dibantu dengan organ lain seperti jantung, paru-paru dan lain sebagainya.
Dihubungkan dengan syaraf, berkolaburasi dan kerja otak dikendalikan
(dibimbing) dengan hati (kalb). Pemimpin dalam suatu negara tidak lain berperan
seperti otak, yaitu mengendalikan. Oleh karenanya otak haruslah sehat, harus
terbebas dari segala unsur kenegatifan, agar semua kerja dapat berjalan dengan
baik.
Penguasa/Pemimpin ini haruslah orang yang lebih unggul baik dalam
bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Di samping daya profetik
yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa
kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap
moderat dalam hal makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan
hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian serta kesehatan
jasmani dan rohani dan kefasihan berbicara.12
Dalam kajian ini akan di bahas beberapa buah pemikiran politik Al -Farabi
yang diuraikan beberapa tipe.karakteristik, yaitu: karakteristik negara ideal,
karakteristik masyarakat, dan karakteristik negara.
12
Jurnal UIN Banten, Biografi Al-Farabi, Lihat, https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.uinbanten.ac.id/1976/4/BAB
%2520II.pdf&ved=2ahUKEwiBqKOnxuDxAhX77HMBHV5WCVIQFnoECDQQAQ&usg=AOvVaw1PjRCgv
ZpZxsWPFwTzeblb.
6
pendapat Plato dan Aristoteles, yaitu suatu negara yang sempurna lagi cerdas
dimana pemimpin negaranya dipimpin oleh seorang filosof yang suci jiwanya
sehingga dapat mendekati sifat seorang Nabi.13 Kedua, Negara menurut al-
Farabi, adalah suatu negara ketuhanan yang bertujuan kebahagian bersama,
materil dan spritual dibawah pimpinan seorang Presiden dan atau bersama
wakil-wakinya yang bersifat kenabian. Negara itu didukung oleh rakyatnya
yang bersifat gotong royong, kolektif dan kooperatif di dalam cara berfikirnya
dan cara bekerjanya.
Setiap negara yang dibangun harus mempunyai tujuan (ends of the
state), yang menjadi cita-cita utama dan idaman oleh setiap warga negaranya.
Al-Farabi menegaskan bahwa setiap warga negara harus mempunyai ide
(Arā‟u) yang harus diperjuangkan terusmenerus dan menuju kepada suatu titik
yang terakhir dari negaranya, yang menjadi harapan dan tujuan bersama. Bagi
al-Farabi tujuan terakhir itu ialah “kebahagian” (happiness). Adapun karakter
negara utama dapat ditinjau dari beberapa dimensi, diantaranya:
13
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama al-Madinah Al-Fadilah, (Jakarta: 1968), hal. 2.
14
Said, Abdullah. "Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy 1.1 (2019): 63-78.
7
(Aristotle Nicomachaen ethics). Buku ini adalah buku pertama dalam bahasa arab
mengenai ilmu akhlak. Sebagai perintis jalan ilmu tersebut Al-Farabi sudah
meletakkan dasar-dasar yang kuat. Bukan saja ia menerjemahkan berbagai buku-
buku dan pendapat Aristoteles, yang berdasarkan kepada filsafat semata, tetapi
dibawanya dasar baru yang lebih kuat ialah agama Islam, dan ia memberikan tujuan
bahwa yang akhir dari akhlak adalah mencapai kebahagian total, kebahagian materil
dan kebahagian spritual, akhlak dibaginya menjadi 2 bagian yaitu akhlak
(Mahmudah) adalah akhlak yang baik dan akhlak (Mazmumah) adalah akhlak yang
jahat.
Setiap warga negara yang utama melatih diri dan membiasakan sifat-sifat yang
utama, sehingga menjadi karakter (tabi‟at) yang baik baginya dan menjauhkan
dirinya dari tiap-tiap perbuatan yang tercela dan tiap-tiap sifat yang rendah. Sesuai
dengan syarat-syarat yang dikemukakannya bahwa setiap warga negara harus
mempunyai ideologi, begitu juga warga itu harus mempunyai akhlak yang utama.
Dengan apakah akhlak yang utama itu dapat diketahui dan apakah ukurannya
yang dipakai untuk menetapkan akhlak yang yang rendah (jahat). Aristoteles
menjawabnya: ukurannya ialah fikiran (akal), dan falsafah. Dijaman sekarang ini
bisa dijabarkan menjadi 5 dasar yaitu: theologis (agama), hedonis (rasa senang),
utilistis (manfaat), vitalistis (kekuasaan), naturalistis (hukum alam), dan idealistis
(cita-cita yang tinggi). Dari kecenderungan manusia untuk bermasyarakat, lahirlah
berbagai macam masyarakat, di antaranya ada yang merupakan masyarakat-
masyarakat yang sempurna, dan di antarannya ada yang tidak sempurna. 15
2) Keragaman
Al-Farabi berkeinginan memperjuangkan perwujudan gagasan tentang
persamaan dan persatuan antar manusia sebagaimana yang diperjuangkan oleh Plato
sebelum- sebelumnya. Hanya saja, gagasan ini sulit untuk diwujudkan dikarenakan
adanya perbedaan diantara bangsa-bangsa yang memiliki keragaman karena faktor-
faktor tertentu, diantaranya watak atau tabiat, adat istiadat, lingkungan alam
sekitarnya dan bahasa karena setiap bangsa memiliki bahasa sendiri. Al-Farabi
menegaskan, bangsa-bangsa memiliki keragaman karena dua factor alamiah, yaitu
bentuk kejadian dan lingkunga alam, dan ditambah dengan factor lain di luar factor
alamiah, yaitu bahasa.
Perbedaan ini dipicu oleh oleh sebab-sebab alamiah pula, seperti perbedaan
unsur langit yang membentuk spiritual, perbedaan unsur bumi membentuk fisik,
serta unsur geologis tempat tinggal. Perbedaan geologi akan berdampak pada
15
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama al-Madinah Al-Fadilah, hal. 51. Didalam Said, Abdullah.
"Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy 1.1 (2019): 63-78.
8
perbedaan uap yang naik dari bumi. Setiap uap yang terjadi di bumi akan menjadi
persoalan-persoalan tertentu bagi suatu wilayah. Perbedaan uap berdampak pada
perbedaan udara dan air. Perbedaan udara dan air akan berdampak pada keragaman
tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Dengan demikian, beragam pula makanan suatu bangsa. Keragaman makanan
manusia diikuti keragaman material dan pertanian yang darinya manusia masa lalu
terbentuk. Ini berdampak pada perbedaan tabiat. 16 Dari pengaruh faktor lingkungan
iklim, geografis dan makanan masyarakat setempat akan membentuk pola berpikir
hubungan sosial masyarakat tertentu, dan selanjutnya akan mempengaruhi hubungan
sosial, watak, tradisi yang mengakibatkan keragaman sistem sosial politik
masyarakat tertentu.
c. Karakteristik Masyarakat
16
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam terjm.
Roshihon Anwar, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hal. 357.
9
berfungsi lagi. Dalam pada itu pendapat Farabi ini dapat dianggap sebagai bukti
bahwa dalam idealisasi politik dia tidak menghirau-kan kenyataan-kenyataan
politik pada zaman dia hidup.17
d. Karakteristik Negara
17
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Pemikiran, Dan Sejarah Edisi V, Didalam Said,
Abdullah. "Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy 1.1 (2019): hal.
69.
10
dan paling sempurna adalah apabila orang dapat memperoleh semuanya secara
total. Sebaliknya, keadaan seperti badan sakit, kemiskinan, tidak adanya
hiburan, ketiadaan kebebasan melampiaskan hawa-nafsu, dan tidak memperoleh
penghormatan merupakan sebuah penderitaan.18 Hal inilah yang berusaha
mereka hindari.
Jiwa penduduk kota/negara kebodohan, menurut Alfarabi tidak
sempurna. Keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu besar dan
tidak mau berpikir tentang hakekat materi itu kemudian berujung (pengenalan)
kepada Pencipta Pertama. Mereka hanya berpikir tentang kekinian dan ke-di-
sini-an. Seperti binatang yang tidak pernah memikirkan adanya kehidupan
akhirat. Bagi mereka, semua yang ada saat ini pada akhirnya akan hilang
(musnah) juga.19 Mereka ini berada pada tingkatan materi pertama yang menjadi
dasar dari keempat unsur, api, angin, air, dan tanah. Hal yang masih baru dalam
tahapan materi pertama, dan belum mempunyai bentuk. Alfarabi membagi
Kota/ Negara ini menjadi enam macam, yaitu; Almadinah Aldharuriyah
(Kota/Negara Kebutuhan Dasar); Almadinah Alnadzdzalah (Kota/Negara Jahat);
Almadinah Alkhassah wa Alsuquth (Kota/Negara Rendah dan Hina); Almadinah
Alkaramiyah (Kota/Negara Kehormatan, Aristokratik); Almadinah Altaghallub,
(Kota/Negara Imperialis); Almadinah Aljama’iyyah (Kota/Negara Demokratik).
Akan dijelaskan sebagai berikut.
1) Al-Madinah Al-Dharuriyah (Negara/Kota dengan Kebutuhan Dasar)
Negara/kota model ini berisikan masyarakat yang mana memprioritaskan
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar, seperti: makan,
minum, rumah, dan menikah. Dalam corak negara/kota A-Dharuriyah, dibutuhkan
seorang pemimpin yang mana memiliki kemampuan dalam hal manajemen untuk
mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat. Jadi, tolok ukur dari model ini
adalah bahwa kenegaraan dibangun atas dasar tujuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar.
Alfarabi Abu Nashr, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, 182. Didalam Sukardi, Imam. "Negara Dan
18
Kepemimpinan Dalam Pemikiran Alfarabi." Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat 14.2 (2017): hal.
291.
19
Alfarabi Abu Nashr, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, 139.
11
berlomba-lomba untuk menjadi yang terkaya, baik dari cara yang benar atau
dengan cara yang salah. Gaya dari pemimpin di negara ini ialah, bahwa pemimpin
dinegara ini adalah orang yang paling banyak mendapatkan perolehan, dan
memiliki kemampuan dalam menajga perolehannya tersebut.
20
Alfarabi Abu Nashr, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, hal. 128..
21
Al-farabi, Kitab Al-Siyasah Al Madinah, Tahqiq oleh fauzi Mitri Najjar, hal. 89.
12
Negara ini terus berusaha menjadi yang berdominasi, disamping memiliki
pemimpin yang kuat, dan haus akan kekuasaan. Pemimpin negara ini adalah orang
yang paling kuat, paling dapat mengalahkan orang lain, dapat menguasai orang
lain, pandai, dan selalu kelihatan menang dihadapan orang lain, dan lagi tidak
pernah mengalami kekalahan. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang alami apabila
ytang menjadi pemimpin mereka adalah orang yang paling ahli mempimpin anak
buah agar bisa menguasai orang lain, yakni orang yang paling kuat atau paling
licik diantara mereka.22
Nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’.
Pemikiran politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul suluk al-malik fi Tadbir
al-Mamalik (prilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan), yang ditulis untuk
memenuhi permintaan khalifah al-Mu’thasim, khalifah ke delapan dinasti
Abbasiyyah, yang memerintah abad IX Masehi.24
22
Al-farabi, Kitab Al-Siyasah Al Madinah, Tahqiq oleh fauzi Mitri Najjar, hal. 94.
23
Al-farabi, Kitab Al-Siyasah Al Madinah, Tahqiq oleh fauzi Mitri Najjar, hal. 101.
24
Munawar Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, (Ul-Press, Jakarta,
cet. V), hlm, 42
13
Menurut Ibn Abi Rabi’, asal mula tumbuhnya kota atau terbentuknya negara,
berasal dari ketidak berdayaan manusia untuk hidup sendiri dalam mencukupi segala
kebutuhan hidupnya, tanpa bantuan orang lain. Ketergantungan kepada orang lain
inilah, mendorong manusia untuk saling membantu dan berkumpul, serta menetap
disatu tempat. Dari sinilah, tumbuh sebuah komunitas kota, yang akhirnya
berkembang menjadi sebuah negara.25
Kekuasaan kepala negara, bagi Ibnu Abi Rabi’, adalah bersumber dari Tuhan. Hal
ini dapat dipahami dari statemennya, bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa
bagi masyarakat. Penguasa ini mendapat pancaran Ilahi dan dilakukan dengan
karamah-Nya. Hanya saja, dia tidak menjelaskan, dikukuhkan melalui pemilihan atau
penunjukan. Sehingga sumber kekuasaan kepala negara adalah bukan berasal dari
rakyat, tetapi dari Allah yang diberikan kepada orang pilihan-Nya. Dan tugas
pemimpin negara itu adalah mengelola urusan rakyatnya dan bertindak sebagai hakim
untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.26
1. Negara/Pemerintahan Ideal
Bentuk pemerintah yang terbaik, masih menurut Ibn Abi Rabi’, adalah
bentuk pemerintah monarkhi, yakni pemerintah yang berpusat pada satu individu,
yaitu seorang raja.27 Hal ini didasarkan dengan pertimbangan, dengan banyaknya
pemimpin, akan dapat melumpuhkan politik pemerintahan dan menimbulkan
kekacauan. Karenanya sebuah kota/negara atau masyarakat perlu dipimpin oleh
seorang yang kuat.28 Selain itu, sebuah negara perlu dipimpin seorang pemimpin,
juga didasarkan dengan beberapa pertimbangan lain, seperti agar penguasa
mempunyai kesempatan yang besar untuk menegakkan keadilan di antara warga
negara; dapat menolak kedzoliman terhadap orang-orang yang mungkin dianiaya;
mendorong warga negara untuk mewujudkan tujuannya yang luhur, sehingga
setiap orang dapat bekerja untuk kepentingan dirinya dan kepentingan masyarakat.
25
Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, Ul-Press, Jakarta,
cet. V, hlm. 43-44; Muhammad Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar
al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 209
26
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, di tahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 101
27
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 103; Munawar Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran,
Ul-Press, Jakarta, cet. V, hlm, 46
28
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 104; Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar
al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 215
14
Bagi Ibn Abi Rabi’, sebuah negara cukup di pimpin seorang penguasa yang
mengelola dan merencanakan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan diantara
warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan, agar tiap-tiap anggota masyarakat dapat
bekerja dan menghasilkan suatu produksi yang bermanfaat bagi kepentingan
dirinya dan kepentingan orang lain.29
2. Karakteristik Pemimpin/Raja
Sebuah negara dapat tegak, tegas Ibn Abi Rabi’, jika komponen-komponen
penting diperhatikan, yaitu : raja, rakyat, keadilan dan pengelolaan pemerintah
(administrasi negara). Seorang raja setidaknya harus memenuhi enam kriteria
sebagai berikut:
a. Dari segi keturunan, ia harus berasal dari keluarga raja dan dekat hubungan
kerabatnya dengar raja sebelumnya
b. Mempunyai cita-cita yang tinggi, yang dapat dibina melalui Pendidikan akhlak
c. Berpendirian tegas, yang bisa dibina melalui penelaahan dan pembahasan
tentang pola-pola pengelolaan negara yang dilakukan oleh para raja
sebelumnya
d. Tegar saat menghadapi kesulitan
e. Memiliki sumber finansial yang cukup
f. Dan mempunyai pembantu-pembantu yang jujur.30
Lebih lanjut Ibn Abi Rabi menjelaskan, bahwa Allah telah memberi
keistimewaan kepada para penguasa, dengan memuliakannya, memberi kedudukan
penting dinegaranya, dan disegani hamba-hamba Allah. Allah pun mewajibkan
kepada para ulama untuk mengagungkan, memuliakan dan menghormati raja,
sebagaimana Allah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk mentaati para
penguasa.31
29
Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-
Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 215; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi), serta
Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 115-116
30
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 407; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi), serta
Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 118-119
31
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’,
Dar al-Sya’b Kairo, hlm. 406; Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Sakhshiyyah wa Madzahib, Dar
al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 218
15
Pemimpian masyarakat atau negara, demikian Ibn Abi Rabi’, haruslah
manusia utama. Baginya, manusia utama adalah mereka yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kebahagiaan (prinpsip).
b. Sehat tubuhnya (fisik).
c. Mempunyai pendalaman dan penelaahan yang baik terhadap pendapat ulama
yang mengetahui kandungan kitab suci (kognitif).
d. Daya ingatnya baik (kuat) dan tidak melupakan ilmu pengetahuan yang telah
diperolehnya (kognitif).
e. Memiliki tingkat kecerdasan dan ketajaman berfikir yang baik, saat menghadapi
suatu masalah
f. Berkemampuan olah vocal dengan baik (linguistik).
g. Mencintai ilmu dan suka belajar, serta mengambil pelajaran dari setiap kejadian
h. Tidak mempunyai karakteristik yang buruk dan membenci sesuatu yang dapat
mengakibatkan buruk bagi dirinya (rohani).
i. Berjiwa besar, mencintai kemuliaan dan menjaga dirinya dari segala sesuatu
yang membawa keburukan (akhlak).
j. Mencintai keadilan, kejujuran, dan orang-orang yang adil dan jujur, serta benci
kepalsuan dan kebohongan (humanistik).
k. Percaya diri untuk merealisasikan cita-citanya, tidak takut mati, dan tidak
mempunyai jiwa yang lemah (afektif).
l. Memandang rendah dunia dan hal-hal yang membawa kepada nilai-nilai
keduniaan yang fana (aqidah).32
Berkaitan dengan keadilan, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian yaitu: Keadilan yang berhubungan dengan perbuatan seorang hamba
yang berkenaan dengan hak Allah; Keadilan yang berhubungan dengan perbuatan
seorang yang berkenaan dengan hak-hak terhadap sesamanya; dan keadilan yang
berhubungan dengan perbuatan seseorang terhadap hak-hak para pendahulu
mereka. Adapun indikator seseorang dapat dikatakan bersikap adil adalah:
a. Menepati janji dan Amanah, serta dapat di percaya
b. Bersifat penyayang dan terbebas dari sikap penipu
c. Memelihara dan memperhatikan janji-janjinya kepada orang lain
32
Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rbai’,
Dar al-Sya’b, Kairo, hlm. 313
16
d. Jujur dalam segala tindakannya
e. Tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku
f. Menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan menyampaikan amanat pada
yang berhak menerimanya.33
33
Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-
Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 228-229; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi),
serta Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 125
34
Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-
Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 229-230; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (pemikiran politik Ibn Abi Rabi),
serta Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 126-127
17
18
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Konsepsi politik yang telah di bahasa oleh Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’
menjadi sebuah renungan untuk para penjabat-penjabat negara (Stakeholder) dalam
urusan kenegaraan. Al-Farabi dan Ibnu Abi Rabi’ memiliki kesamaan dalam
paradigmanya dalam ranah politik, yaitu Negara dengan warga yang memiliki
kesamaan pandangan, dan tujuan akan kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud
bukanlah hanya sekedar pemenuhan materi belaka, akan tetapi pemenuhan kebutuhan
jiwa dan spiritual, atau ukhrawi/akhirat. Oleh karenanya, masyarakat harus memiliki
kualitas dan keunggulan dalam merealisasikan kebahagiaan tersebut.
Didalam negara selalu memiliki pemimpin yang menjadi kepala akan semua
praktik birokrasi negara. Pemimpin dalam.pandangan al-farabi dan Ibnu Abi Rabi
adalah seseorsng yang diberi tanggung jawab dan kepercayaan dalam memimpin
negara. Seorang pemimpin dalam definisi al-farabi adalah seorang individu yang
memiliki keunggulan dari segala hal. Disamping itu, Ibnu Abi Rabi’ memandang
bahwa pemimpin adalah mandat yang diberikan oleh Tuhan sebagai pengganti
seorang Nabi, dimana pemimpin haruslah memiliki sifat kenabian didalam dirinya.
Oleh karenanya, seorang pemimpin menurut Al-farabi dan Abi Ibnu Rabi adalah
seorang yang memiliki keunggulan yang lebih, mulai dari segi:
Segi kognitif, yaitu: Memiliki kecerdasan, nalar yang kuat, cinta terhadap ilmu
pengetahuan, dan berpengetahuan.
Segi afektif, yaitu berakhlak mulia, cinta terhadap keadilan, cinta terhadap
kejujuran, berkasih sayang, dan berjiwa besar.
Segi spiritual, yaitu: Seorang yang membenci keburukan, bahkan berusaha agar
tidak terjerumus pada keburukan, dan memiliki sifat kenabian.
Segi Komunikasi, yaitu: memiliki kefasihan berbicara, dan kaya akan bahasa yang
mudah dipahami.
Segi Fisiologis, yaitu: memiliki tubuh yang sehat, dan tiada cacat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam. terjm. Roshihon
Anwar. Bandung: CV. Pustaka Setia
Alfarabi Abu Nashr. 2017, Ara’ Ahl Madinah Alfadhilah, 182. Didalam Sukardi, Imam.
"Negara Dan Kepemimpinan Dalam Pemikiran Alfarabi." Al-A'raf: Jurnal Pemikiran
Islam dan Filsafat 14.2.
20
Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, Ul-Press,
Jakarta, cet. V, hlm. 43-44; Muhammad Jalal Syaraf, 1978, al-fikr al-Siyasi fi al-
Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam’iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria.
Nasution, Hasyimsya. , 2011. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Said, Abdullah. "Filsafat Politik Al-Farabi." Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy 1.1 (2019): 63-78.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam, 2009. Pengantar Filsafat Islam (Konsep,
Filsuf, dan Ajarannya). Bandung: Pustaka Setia.
Sjadzali, Munawir, 1993. Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Pemikiran, Dan Sejarah Edisi V.
Jakarta: UI Press
Sukardi, Imam. "Negara Dan Kepemimpinan Dalam Pemikiran Alfarabi." Al-A'raf: Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat 14.2. 2017
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam. Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam
Zainal Abidin Ahmad, 1968. Negara Utama. Al-Madinah Al-Fadilah, Jakarta: Kinta
Zaprulkhan, 2014. Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
21
22