Anda di halaman 1dari 15

MAZHAB DJAFARIYAH

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Perbandingan Mazhab
pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidika Agama Islam
Semester VI Kelompok II Tahun Akademik
2020/2021

Oleh

NURALISAH
02181047

SARTIKA
02181045

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BONE

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah swt., atas petunjuk dan
hidayah-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Mazhab
Djafariyah” ini dengan semaksimal mungkin, apabila terdapat banyak kesalahan
dalam penulisan makalah ini, kami hanya mampu mengucapkan mohon maaf
yang sedalamnya, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah swt.
Dalam penyelesaian makalah ini tentunya banyak melibatkan berbagai
pihak. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita terutama sebagai calon
pendidik yang bertugas untuk mengarahkan peserta didik kepada tujuan
pendidikan yaitu mencerdaskan anak bangsa. Memang makalah ini masih jauh
dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Watampone, 04 Mei 2021

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan 1

BAB II PEMBAHASAN 2

A. Biografi Imam Abu JA’far As-Shodiq 3

B. Dasar Ijtihad Mazhab Jafariyah

C. Metode Istimbat Mazhab Djafariyah 5

BAB III PENUTUP 11

A. Simpulan 11

B. Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam realitasnya pemikiran hukum islam (fiqh) senantiasa menampakkan
potret ragam pemikiran yang amat varian, baik berkenaan dengan konstruksi teori-
teori pemikiran hukum islam maaupun beberapa aspek khusus yang bersifat
parsial. Kenyataan tersebut sangat logis, mengingat perkembangan tuntutan
masyarakat dan pendapat umum tentang hukum acap kali lebih cepat
perjalanannya jika dibandingkan dengan perkembangan dan perubahan yang
terjadi pada hukum itu sendiri.
Jika para ahli hukum memiliki kesadaran tinggi akan perlunya
reaktualisasi, perubahan, perkembangan pemikiran hukum islam, maka kesadaran
tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan. Hal tersebut terjadi pula pada periode
Imam Madzhab pada beberapa abad yang telah lalu, bisa kita lihat dalam riwayat
Imam Syafi’I yang mempunyai Qaul Qadim dan selanjutnya berubah menjadi
Qaul Jadid. Demikian juga terjadi pada beberapa pemikiran hukum diantara
Madzhab dan para pengikutnya. Terjadinya perubahan paradigma itu selain
karena perkembangan nalar pemikirnya juga karena semata-mata atas tuntutan
situasional maupun kondisional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Abu JA’far As-Shodiq?
2. Bagaimana dasar Ijtihad mazhab Djafariyah?
3. Bagaimana metode Istimbat hokum mazhab jafariyah?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui biografi Imam Abu JA’far As-Shodiq
2. Memahami dasar Ijtihad mazhab Djafariyah
3. Mengetahui metode Istimbat hokum mazhab jafariyah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Abu JA’far As-Shodiq


Madzhab Ja’fari dikembangkan oleh Imam Ja’far Al-Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir (57-113 H./ 677-732 M). Imam Ja’far mempelajari ilmu-
ilmu keagamaan dari kakeknya, yaitu Ali Zainal Abidin selama 15 tahun. Namun,
setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun 94 H., ia terus dibina oleh ayahnya
sendiri, Muhammad Al-Baqir. Peluang utuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan
lebih terbuka lebar, karena Madinah merupakan pusat kajian ilmu-ilmu
keagamaan. Di kota ini banyak pakar hadis dan hukum islam sekaligus. Kakeknya
sendiri, ayah dari ibunya Qasim bin Muhammad merupakan salah seorang dari
tujuh serangkaian ulama’ Madinah. Imam Ja’far banyak mempelajari hadits-
hadits Nabi SAW serta hukum islam dari kakeknya ini.
Setelah Qasim meninggal pada tahun 108 H., Imam Ja’far terus belajar
kepada ayahnya sendiri sampai ia memahami dengan mendalam mengenai hadis
dan hukum islam.Ayah Imam Ja’far, Al-Baqir biasa menggunakan pendekatan
yang sering digunakan oleh Sufyan Al-Tsaury, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Imam
Abu Hanifah. Al-Baqir memberikan perhatian kepada Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan Ustman Bin Affan. “Barang siapa yang tidak menganggap tentu saja
‘Ali bin Abi Thalib, Abu bakar dan Umar berarti ia mengabaikan sunnah”, kata
Al-Baqir.[4] Dan pernyataan ini, ayah Imam Ja’far bukan syi’ah yang
mengabaikan sahabat Nabi lainnya. Selain ilmu-ilmu agama, imam Ja’far juga
pakar dalam ilmu-ilmu sains alam, seperti fisika, kimia, botani, astronoi, farmasi,
dan kedokteran. Wawasannya juga sangat luas yang meliputi kitab-kitab terdahlu,
semacam taurat, injil, dan pengetahuan nabi-nabi terdahulu.
Imam Ja’far mengalami pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah. Kedua dinasti ini tidak menyukai kelompok Syi’ah. Sebagai orang
yang dianggap salah satu Imam Syi’ah. Sebagai orang yang dianggap salah satu
imam Syi’ah (Imam keenam), Imam Ja’far kurang perhatian dengan kehidupan
politik. Ia tenggelam dalam dunia ilmu. Imam Ja’far memiliki pengaruh yang luas
di masyarakat. Karena pengaruhnya ini, Imam Ja’far berulangkali hendak dibunuh
oleh para penguasa. Akhirnya, Imam Ja’far wafat karena racun yang dimasukkan
kedalam makanannya atas perintah Khalifah Al-Manshur.1

B. Dasar Ijtihad Mazhab Djafariyah


Mazhab Syiah Imamiyah biasa disebut mazhab Ja‘fari, karena mereka
memegang fikih Mazhab Ja‘fari, salah satu mazhab fikih dalam aliran Syiah yang
dirintis oleh Imam Ja’far Ṣadiq imam ke-6 di kalangan Syiah, di mana fikihnya
didasarkan kepada Al-Qur’an, hadis, dalil akal, dan Ijma’ (Al-Gita 1993:83).
Sehingga ada kesan, bahwa mazhab mereka dalam masalah furū’ adalah mazhab
Imam Ja’far Ṣadiq, karena mayoritas kaum Syiah dalam masalah fikih, mayoritas
mengambil dari Imam ini, sekalipun mereka juga mengambil dari para imam
Ahlul Bayt yang lain dan tidak pernah membeda-bedakan. Akan tetapi ketika
riwayat-riwayat dalam masalah fikih banyak diambil dari imam ini, dibandingkan
dari imam-imam lainnya, hal itulah yang melatar belakangi penamaan mazhab ini
disematkan kepada Imam Ja’far Ṣadiq. Syiah menganggap sumber-sumber hukum
Islam yang utama dan pertama ialah Alquran kemudian diikuti oleh sunah, Ijmā’
dan akal.

1. Al-Qur’an
Menurut Mazhab Ja’fari, Al-Qur’an merupakan sumber pertama hukum
dan aturan Islam. Namun dalam menggali hukum dari Al-Qur’an tidak
selalu harus memperhatikan makna lahirnya tetapi harus juga
memperhatikan makna batinnya. Untuk mendapatkan makna batin itu, para
pengikut mazhab Ja’fari harus mempunyai marja’ (tempat meminta fatwa),
yaitu para imam atau naib al-Imam (penganti para I ma maksum)
(Ṭabaṭaba’i, 1989:109). Oleh karena itu, mereka memandang imam-imam
itu sebagai al-Qur’an an-Natiq (Al-Quran yang berbicara), sementara Al-
Qur’an yang berupa mushaf mereka sebut al-Qur’an al-Ṣamit (Alquran
yang diam). Apa yang disebutkan oleh para imam maksum tidak mungkin

1
http://carangerti.blogspot.com/2016/02/makalah-pemikiran-madzhab-jafari.html?m=1
bertentangan dengan apa yang disebutkan Al-Quran. Karena kandungan
Al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka perlu penjelasan yang lebih
terperinci. Orang yang paling patut memberikan penjelasan ini adalah para
imam yang maksum. Dengan kata lain, kita hanya dapat mengetahui
maksud Al-Qur’an yang sebenarnya dengan petunjuk para imam yang
telah mendapat petunjuk dari Allah swt. Mereka mendapat petunjuk
langsung dari Allah, karena ketakwaan mereka yang amat tinggi dan
kebersihan hati mereka yang sudah mencapai maksimal.

2. Sunah
Syiah menganggap sunah itu sebagai sumber utama yang kedua,
yang diwajibkan kepada setiap orang Islam untuk mengamalkannya.
Sunah menurut mazhab Ja‘fari adalah ucapan, tindakan, dan pembenaran
melalui diamnya Nabi saw dan para imam maksum. Dengan demikian,
kalau di kalangan mazhab Sunni, yang dimaksud sunah hanya dinisbahkan
kepada Nabi saw, sementara sunah menurut mazhab Ja‘fari bukan saja
ucapan, tindakan, dan pembenaran Nabi saw tetapi juga termasuk di
dalamnya ucapan, tindakan dan pembenaran para imam yang maksum.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang berasal dari imam sama
kedudukannya dengan yang berasal dari Nabi saw (al-Mudzaffar, 1992:93-
95). Dengan tetap memandang bahwa kesempurnaan para imam mereka
berada di bawah posisi kesempurnaan Rasul dan di atas kesempurnaan
manusia biasa (AlGita, 1993: 62).
‫ كتاب اهلل وعرتيت أهل بييت‬:‫ إين تركت فيكم ماإن متسكتم به لن تضلوا‬،‫ياأيها الناس‬.

“Hai manusia sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua hal; kitabullah


dan Ahlul Bait (anak keturunanku)” (H.R. al-Turmudhi).

Menurut Ṭabaṭaba’i, dengan hadis ini jelas bahwa kata-kata dan


perbuatan para pewaris Nabi sama otoritasnya dengan kata-kata dan
perbuatan Nabi Saw. Ajaran Syiah Ja‘fari (Syiah Imamiyah) menganggap
hubungan antara teks hadis dengan Al-Qur’an sebagai syarat mutlak untuk
menilai kesahihahn suatu hadis. Dalam sumber-sumber kaum Syiah
terdapat beberapa hadis dari Nabi saw dan para Imam dengan sanad yang
sahih, tetapi jika isinya bertentangan dengan teks Al-Quran, maka hadis itu
ditolak dan tidak mempunyai nilai apa-apa dimata mereka (Ṭabaṭaba’i
1989:112). Dengan demikian orang Syiah Imamiyah tidak akan
mendasarkan kajian hukumnya atas dasar hadis yang kontradiksi
kandungannya dengan Al-Quran. Mengenai hadis-hadis yang tidak dapat
dipastikan sesuai atau tidaknya dengan Alquran, menurut beberapa
ketetapan dari para imam mereka dibiarkan tanpa disebutkan diterima atau
ditolak (Ṭabaṭaba’i 1989:113).

Di antara kitab-kitab hadis yang bisa diandalkan untuk dijadikan


sandaran hukum di kalangan Syiah Imamiyah adalah kitab “Uṣūl alKāfī”
yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Yaqub ibn Ishaq alKailani al-
Razi selama 30 tahun. Kendati demikian mereka para ulama Syiah tidak
menelan mentah-mentah apa yang ada di dalam kitab tersebut karena tidak
seluruhnya dianggap sahih (Wardani 1995:113- 114). Terdapat beberapa
hadis yang dinilai ḍaīf atau mawdū’, termasuk di antaranya hadis yang
mengidikasikan adanya perubahan dalam Alquran, karena hadis tersebut
dinilai bertentangan dengan Alquran dan bertentangan dengan relita yang
ada.

Tegasnya, Mazhab Imamiyah dalam berinteraksi dengan hadis


Rasul, sekalipun hadis tersebut diasumsikan mutawatir dari Ahlul Bayt,
tetapi kalau matan hadisnya bertolak belakang dengan kandungan Alquran
dan tidak bisa ditakwil maka hadis itu dihukumi ḍaīf (AlKhū’i, 1974:222-
235). Mereka sangat berahati-hati dalam menerima suatu hadis karena
tidak mungkin imam-imam mereka yang maksum mengatakan sesuatu
yang menyalahi teks Al-Quran dan Hadis Rasul yang sahih. Kemungkinan
akan adanya pendustaan dan pemalsuan terhadap imam-imam mereka,
ternyata jauh sebelumnya sudah diprediksikan oleh Imam Ja’far Sadiq
ketika beliau berwasiat kepada murid-muridnya. Ia berkata “Janganlah
anda menerima setiap riwayat yang disematkan kepada kami (Ahlul Bayt)
kecuali yang sejalan dengan Al-Quran dan hadis sahih” (Hashim
1990:250).

3. Ijma’

Orang-orang Syiah Imamiyah mengakui, bahwa ahli-ahli fikih dan


ahli-ahli hadis mereka dalam masa sahabat dan tabi’-tabi’in menyebut
perkataan Ijmā’.2 Tetapi ijma’ yang dimaksud itu ialah ijma’ yang
disepakati oleh semua ulama atas sesuatu hukum dan Imam Ali turut
bersama mereka. Ijma’ seperti itu tidak lain sifatnya selain sebagai
penjelasan dari pada kedua sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan
Sunah. Sejak hari-hari pertama golongan Syiah Imamiyah tidak mau
berpegang selain kepada Al-Quran dan Sunah dalam menetapkan suatu
hukum agama. Karena agama itu adalah peraturan Tuhan sehingga tidak
boleh ditambah dengan peraturan yang ditetapkan oleh manusia. Dengan
demikian ijma’ hanya merupakan manifestasi dari suatu hadis yang secara
riwayat tidak ditemukan padahal sebenarnya ada. Menurut mereka
kedudukan Ijma’ tidak lebih dari pengungkapan sekelompok ulama
terhadap suatu hadis yang tidak ditemukan dalam riwayat yang tertulis
atau didengar dari mulut-kemulut.

Qiyas yang menurut kalangan Ahli Sunah dibenarkan sebagai


sumber hukum agama yang keempat, yang dikatakan pernah terjadi dalam
masa sahabat, yang diberi sifat dengan memperbandingkan suatu perkara
dengan perkara yang sudah terdapat hukumnya pada masa Nabi saw. dan
sahabat oleh orang Syiah tidak dapat diterima dan dianggap suatu bid’ah
dalam agama. Mereka tidak mau beramal dengan hukum yaang
berdasarkan qiyas. Di antara alasan-alasanya, di samping alasan yang
sudah disebutkan pada pembahasan sebelumnya juga ada sebuah ucapan
dari Ali ibn Abu Talib. Ia berkata: ”Jika diperkenankan menggunakan
2
Lufaefi, “Harmonisme Fikih Ja’fari Dan Hanafi: Kajian Historis Dan Sumber-Sumber
Hukum Keduanya”, al- Afkar, Vol. 2, No. 1, January 2019, h.240-241
qiyas, maka dalam perkara air dalam salat bagi musafir, mestinya yang
lebih dipentingkan menyapu kaki dari pada menyapu luar sepatu”.

Orang Syiah Imamayiah mempunyai alasan tidak menggunakan


qiyās sebagai sumber hukum agama. Karena pembuat hukum (al-Shari’)
agama hanyalah Allah, sedang al-Shari’’ dalam hukum qiyas adalah
manusia. Mereka menolak pandangan yang mengatakan bahwa qiyās
sudah ada di masa Nabi dan dibolehkan menggunakannya. Penetapan Nabi
kepada Mu’adz bukanlah alasan adanya qiyas, tetapi alasan untuk
menggunakan akal dalam menjelaskan Alquran dan sunah. Karena
menggunakan akal itu diwajibkan bagi seorang qadi dan mufti dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan dan dalam menjelaskan masalah
halal dan haram.

4. Akal

Sumber hukum ke empat dalam Mazhab Ja‘fari adalah akal. Akal


dinilai sebagai sumber hukum sejauh tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan oleh Al-Quran dan Sunah. Ia hanya berkedudukan sebagai
sarana untuk memahami hukum-hukum tertentu yang sebenarnya dasarnya
telah tersirat dalam Al-Quran dan Sunah. Ulama usul fikih dan teologi di
kalangan Mazhab Ja‘fari memandang akal dan shari’ah tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Mereka mengatakan bahwa hukum apa pun
yang ditetapkan oleh akal juga ditetapkan oleh nas. Pandangan demikian
sesuai dengan prinsip teologi yang mereka pegang, yaitu bahwa kebaikan
dan keburukan itu dapat diketahui oleh akal, sekalipun tanpa bimibngan
wahyu. Bila seseorang telah mengetahui yang baik, ia wajib
melaksanakannya. Demikian pula, bila seseorang telah mengetahui yang
buruk, ia wajib pula menjauhinya tanpa harus menunggu penjelasan dari
shariat (Baqir, 1985:193-194). Dalam masalah usul dan ibadah hampir
tidak jauh berbeda antara Mazhab Ja‘fari dan Ahli Sunah, baik tentang
furu’ agama maupun mu’amalah. Hal ini dapat di lihat dalam kitab
perbandingan lima mazhab yang berjudul al-Fiqh ‘ala Madhahib al-
Khamsah, karya Muhammad Jawwad Mughniyah.

C. Metode Istimbat Mazhab Djafariyah

Memotret kriteria dan karakteristik hukum fikih Syiah Ja’far memang


harus kembali kepada sumber hukum yang dijadikan landasan dalam menetapkan
hukum oleh kelompok Syiah Imamiyah. Imam Muhammad al-Kashif al-Ghita
menyebutkan dalam kitabnya Aṣlu al-Shī’ah bahwa kaum muslimin sepakat atas
empat sumber hukum agama, yaitu Alquran, Sunah, akal, dan ijmā’. Tidak ada
perbedaan antara Syiah Imamiyah dan mazhab-mazhab lainnya. Akan tetapi Syiah
berbeda dalam hal berikut ini (Al-Gita, 1993:83).

Pertama, Syiah Imamiyah tidak memakai qiyās, berdasarkan hadis


mutawatir yang diriwayatkan dari imam-imam mereka, “Apabila qiyas menjadi
sumber hukum, agama akan rusak” (Jawwad, 1989: 81). Kedua, Syiah Imamiyah
lebih banyak mengambil sunah dari jalur (sanad) Ahlul Bait, yaitu jalur sanad
yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far Shadiq dari bapaknya Imam Baqir, kemudian
Imam Baqir meriwayatkan lagi dari bapaknya Ali Zainal Abidin, dan Zainal
Abidin dari Husain, dan Husain dari Ali ibn Abu Talib, dan Ali dari Rasul Saw.
Rantaian isnad semacam ini menurut istilah mereka disebut dengan rantaian emas
dan itu sebaik-baiknya isnād baik dari segi kesahihan atau kevalidannya. Atau
melalui isnād dari orang-orang yang tidak termasuk ahlul bait seperti Abu Dhar
al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Ammar ibn Yasir dan-lain-lain. Tegasnya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Jawwad Mughniyah, pada dasarnya Syiah
Imamiyah tidak mensyaratkan perawi hadis itu mesti penganut Mazhab
Imamiyah, akan tetapi yang menjadi syarat utama adalah kredibilitas perawinya
dengan tidak mempermasalahkan apakah perawi itu dari kalangan Syiah ataupun
Sunni.

Ketiga, pintu ijtihad masih tetap terbuka sampai sekarang, berbeda dengan
pendapat kebanyakan ulama Sunni. Selain masalah di atas, Syiah Imamiyah dan
mazhab-mazhab lainya sama saja tidak banyak berbeda kecuali dalam masalah
furū’ seperti perbedaan yang terjadi antar ulama Syiah Imamiyah atau antar ulama
Sunni itu sendiri dari segi pemahaan dan istinbāṭ hukum. Wahbah Al-Zuhaylī
ulama kontemporer asal Syiria dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu”
menyebutkan bahwa fikih Syiah Imamiyah lebih dekat kepada fikih Imam Syafi’i.
Perbedaan antara kedua mazhab tersebut tidak terjadi kecuali dalam tujuh belas
permasalahan saja, diantaranya masalah kebolehan nikah mut’ah. Perbedaan
mereka tidak lebih dari perbedaan masalah fiqhiyah seperti layaknya terjadi antara
mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi. Pada hakikatnya perbedaan antara Syiah
Imamiyah dan kelompok Sunni tidak berkenaan dengan masalah akidah dan
masalah fikih. Akan tetapi lebih mengacu kepada masalah pemerintahan (al-
Hukūmah) dan masalah Imāmah, (Wahbah 1995:59) yang kedua-duanya bila
tidak dilaksakan tidak menjadikan seorang muslim menjadi kafir.3

BAB III

3
Abdul Rouf, Kriteria Hukum Fikih Ja‘fari, Jakarta: AHKAM, Jurnal Ilmu syariah,
Volume 17, Number 1, 2017
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Abu Ja’far Ash_Shadiq terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan

wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun. Nama

beliau adalah Ja’far Bin Muhammad Bin Ali Zainal’ Abidin bin

Husain Bin Ali Bin Abu Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putrid

beliau Fathimah r.a. Imam Ja’far As-Shidiq, menempuh perjalanan

ilmiahnya bersama dengan ulama’-ulama’ besar. Ia sempat menjumpai

sahabat-sahabat nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl Bin Sa’id

as Sa’idi dan Anas bin malik r.a. ia juga berguru pada Sayyidu Tabi’in

‘Atha’ Bin Abi Rabbah, Muhamman Bin Syihab Az-Zuhri dan

Abdullah Bin Abi Rafi’ serta Iqrima Maula Ibnu Abbas. Ia pun

meriwayatkan dari kakeknya, Al-Qasim Bin Muhammad Bin Abu

Bakar.

2. Sumber hokum yang digunakan oleh mazhab Ja’fariyah adalah al-

quran, hadis, ijma’ dan akal, dan tidak menggunakan qiyas.

3. Menurut Jalaluddin Rakhmat, karakteristik khas mazhab Ja’fari, selain

menolak qiyas, adalah sebagai berikut: a) Sumber-sumber hukum

Islam yaitu, al-Quran, al-Hadits dan akal. Termasuk ke dalam sunnah

adalah sunnah Ahlul Bait; yakni para Imam yang ma’shum; b)

Istihasan tidak boleh dipergunakan. Qiyash hanya dipakai jika ‘illatnya

manshush, jika tidak ada maka dengan menggunakan akal; c) Al-

Quran merupakan wahyu yang lengkap yang mencakupi solusi segala

persoalan agama. Hanya Rasulullah Saw dan para sahabatnya yang

mampu untuk menggali makna batin al-Quran.28 Sementara itu

mazhab ini menolak Qiyash dan Istihsan karena dianggap sebagai


hayalan semata. Bagi mazhab Ja’fari, al-Quran san as-Sunnah

merupaka dua pusaka yang sempurna sehingga tidak perlu mengambil

hukum dari buatan manusia.

4. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini, banyak


kekurangan. Jadi, semoga para pembaca mampu memberikan saran kepada
penulis. Adapun tujuan penulis membuat makalah ini diharapakn kepada pembaca
mampu memahami defenisi dan lingkup kaian psikologi agama dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
http://carangerti.blogspot.com/2016/02/makalah-pemikiran-madzhab-
jafari.html?m=1 Diakses 4 Mei 2021
Lufaefi, “Harmonisme Fikih Ja’fari Dan Hanafi: Kajian Historis Dan
Sumber-Sumber Hukum Keduanya”, al- Afkar, Vol. 2, No. 1, January 2019.
Rouf, Abdul. Kriteria Hukum Fikih Ja‘fari, Jakarta: AHKAM, Jurnal Ilmu
syariah, Volume 17, Number 1, 2017

Anda mungkin juga menyukai