Anda di halaman 1dari 16

PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM IBN SINA

Oleh: Zainal Abidin


Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email: zainal.abidinbbm@gmail.com

Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibn Sina
mempunyai banyak keunikan, jika dibandingkan diantara para filosof muslim
lainnya, Ibn sina tidak hanya unik, tapi juga memperoleh berbagai penghargaan
yang tinggi hingga masa modern sekarang. Ia adalah satu-satunya filosof besar
Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci,
suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad,
meskipun ada serangan-serangan dari Al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi dan
sebagainya.1.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena
sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa
yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan
untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual
Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Karakteristik paling dasar dari pemikiran Ibn Sina adalah pencapaian definisi
metode pemisahan dan pembedaan konsep-konsep secara tegas dan keras. Hal ini
memberikan kehalusan yang luar biasa terhadap pemikiran-pemikirannya.
Tantangan itu sering memberikan kompleksitas skolastik yang kuat dan
susunan yang sulit dalam penelaran filsafatnya, sehingga mengusik temperamen
modern, tetapi dapat dipastikan, bahwa tatacara ini jugalah yang diperoleh dalam
hampir seluruh doktrin asli para filosof Islam.2

Definisi Filsafat Menurut Ibn Sina


Ibn Sina juga berusaha memadukan antara wahyu dan filsafat, pada aspek
makna dan fungsi. Menurutnya, setiap kewajiban yang diperintahkan agama,
seperti pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan seterusnya, mempunyai kebaikan dan
hikmah-hikmah tertentu yang mempercepat proses terwujudnya cinta kasih (al-
‘isyq) pada keseluruhan tingkatan realitas, khususnya pada diri manusia sendiri dan
jiwa-jiwa tinggi. Sesungguhnya, sifat cinta kasih ini telah ada pada semua tataran
wujud, bahkan munculnya realitas adalah karena adanya sifat itu. Pelaksanaan
bentuk-bentuk kebajikan dan kewajiban mempercepat dan memperkuat ikatan cinta

1
Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia,
2009), 123.
2
M.M Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1985), 101.
dalam alam wujud. Artinya, ajaran-ajaran wahyu tentang kewajiban dan larangan
dapat dipahami secara filosofis, sehingga tidak ada pertentangan antara wahyu dan
filsafat.
Filosofi Sina adalah upaya untuk membangun sistem yang kohreren dan
komperhensif yang sesuai dengan urgensi agama budaya Muslim.3

Mazhab Filsafat Ibn Sina: Paripatetik


Ibn Sina dan Ibn Rusyd menganut Aliran Paripatetik.4 Ibn Sina sebelum
meninggal menulis sebuah risalah yang berjudul mantiq al-Masyriqyin (logika
orang-orang Timur) yang merupakan bagian pembuka dari karya-karya yang lebih
umum. Dalam karya itu ia menulis bahwa karya-karya Filsafat paripatetiknya yang
terkenal seperti Al-Asyifa’ dan Al-Najat, hanyalah karya-karya eksoterik yang
ditunjukan kepada masyarakat umum dan kemudian bermaksud menjelaskan
“Filsafat Timur” yang ia nilai untuk masyarakat elit yang hakikatnya, ia sebut “ilmu
pengetahuan masyarakat elit”.5
Ibn Sina merupakan filosof Muslim penting yang membangun teori
Kenabian dengan risalahnya Itsbatal-Nubuwat. Filsafat Ibn Sina yang menandai
puncak filsafat paripatetik Islam. yang dikenal sebagai Masya’i, yaitu filsafat
sinkretis (sintetis dari ajaran-ajaran Wahyu, Islam, Aristotelianisme dan
Neoplatonisme).
Corak pemikiran Ibn Sina dalam mengembangkan filsafatnya, beliau
memadukan antara filsafat dan agama. Dalam hal ini, M. Natsir mengatakan sosok
Ibn Sina merupakan salah satu muslim yang kreatif yang tidak mengenyampingkan
ajaran Islam dalam corak pemikirannya, sekalipun beliau seorang filsuf yang
dikagumi pada masanya.6
Sebagaimana filosof lainnya, Ibn Sina merupakan filosof Muslim yang oleh
sebagian orang dikritisi hanya sebagai duplikasi dari Hellenisme (filsafat Yunani),
yang tidak mencerminkan pemikiran Islam. Padahal mereka yang melahirkan
filsafat Islam dan berupaya serta berhasil memadukan wahyu dengan akal, akidah
dengan hikmah, agama dengan filsafat.Yang menjelaskan kepada manusia bahwa
wahyu tidak bertentangan dengan akal.
Ibn Sina membuat sintetis final tentang Islam dengan filsafat
Aristotelianisme dan Neoplatonisme menjadi sebuah dimensi intelektual yang
permanen dalam dunia Islam dan bertahan sebagai ajaran filsafat yang hidup sampai

3
Achmad Gholib, Filsafat Islam (Jakarta: Faza Media, 2009), 54.
4
A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2016), 5.
5
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Timur diterjm. Ach, Maimun Syamsyudin
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), 82.
6
M. Natsir, “Islam dan Kebudayaan” Jurnal Kapita Selekta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 2.
hari ini. Ibn Sina adalah penggali yang amat sempurna dan penerjemah abadi
filsafast paripatetik yang menunjukkan sampai ke pintu gerbang filsafat
teosofiiluminasi yang menandakan penyatuan filsafat dan spiritual secara integral.
Satu setengah abad setelah Filsafat masya’i ia menghantarkan Shihabuddin
Suhrawardi ke filsafat iluminasi (al-ishraq)
Paripatetik (Ibn Sina) dan kaum Sufi menyatakan bahwa yang berhubungan
dengan realitas eksternal adalah eksistensi, sedangkan mahiyyah (kauditas=esensi)
hanya abstraksi mental. Isyraqi (Suhrawardi) sebaliknya memberikan jawaban
terbalik, yaitu bahwa eksistensi hanyalah formulasi abstrak yang diperoleh pikiran
dari substasi eksternal. Jadi eksistensi-lah yang aksiden dan esensilah yang
principal.

Pembagian Kluster Kajian Filsafat


Menurut pemahaman Ibn Sina tujuan filsafat adalah penetapan realitas
terhadap sesuatu sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. ada dua tipe filsafat,
yaitu teoritis dan praktis. Filsafat teoritis adalah pengetahuan tentang hal-hal yang
ada bukan karena pilihan atau tindakan kita, bertujuan untuk menyempurnakan jiwa
melalui pengetahuan. Filsfat praktis adalah pengetahuan tentang hal-hal yang ada
berdasarkan pilihan dan tindakan kita yang bertujuan untuk menyempurnakan jiwa
melalui pengetahuan tentang apa yang seharusnya dilakukan.7
Ada dua jenis utama subjek pengetahuan teoretis, yaitu subjek yang dapat
diletaki gerak dan subjek yang tidak dapat diletaki gerak. Subjek yang dapat diletaki
gerak misalnya kemanusiaan, sedangkan subjek yang tak dapat diletaki gerak sepeti
Tuhan. Subjek yang pertama dibagi lagi menjadi dua, yaitu subjek yang tidak bisa
eksis tanpa adanya gerak yang dikaitkan dengannya, seperti kemanusiaan dan
kepersegian, dan subjek yang bisa eksis tanpa gerak yang dikaitkan kepadanya,
seperti kesatuan dan keragaman. Subjek membutuhkan gerak mustahil bebas dari
gerak, baik dalam realitas ataupun dalam pikiran, misalnya kemanusiaan. Namun
ada pula subjek yang bebas dari gerak dalam pikiran, tetapi tidak dalam realitas,
misalnya kepersegian. Berdasarkan hal tersebut, terdapat tiga cabang filsafat teoritis
yakni sebagai berikut:
a. Fisika, yaitu Filsafat yang membahas hal-hal sepanjang gerak terkait dengannya,
baik dalam realitas maupun dalam pikiran.
b. Matematika Murni, yaitu Filsafat yang membahas hal-hal sepanjang gerak terkait
dengannya dalam relaitas, tetapi tidak dalam pikiran.
c. Metafisika, Yaitu filsafat yang membicarakan hal-hal sepanjang gerak tidak terikat
padanya. Baik dalam realitas maupun dalam pikiran.

7
M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1985), 100.
Disisi lain, filsafat praktis mempelajari salah satu dari hal berikut ini.
a. Prinsip yang mendasari berbagai urusan publik antar anggota masyarakat tentang
manajemen negeri/kota yang disebut dengan ilmu politik. Manfaatnya untuk
mengetahui cara mengelola “musyawarah atau urun rembuk” yang baik di kalangan
anggota masyarakat demi terwujudnya kesejahyteraan manusia dan kelestarian
umat manusia.
b. Prinsip yang mendasari berbagai urusan personal di dalam masyarakat yang
memperlajari manajemen rumah tangga. Manfaatnya untuk memperkenalkan tipe
“saling berbagi” yang seharusnya berlangsung diantara keluarga demi terjaminnya
kesejahteraan mereka.
c. Prinsip yang mendasari urusan-urusan individu yang mempelajari manajemen
individu yang disebut dengan etika. Memberikan dua manfaat yaitu untuk
mengetahui kebajikan-kebajikan dan cara-cara meraihnya dalam rangka
memperbaiki jiwa serta untuk mengetahui perbuatan-perbuatan jahat dan cara
menghindarinya dalam rangka membersihkan jiwa.
d. Prinsip filsafat praktis tersebut diambil dari syariah Ilahi.8

Teori Metafisika Ibn Sina


Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil Wajib al-Wujud
dan Mumkin al-Wujud mengesankan duplikat pemikiran al-Farabi. Sepertinya tidak
ada tambahan sama sekali. Akan tetapi dalam filsafat Wujudnya, bahwa segala yang
ada ia bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri.9
Metafisika Ibn Sina didasarkan pada ontologi, sehingga Ibn Sina disebut
juga sebagai ‘filosof wujud”. Ada tiga hukum menurut ibn Sina untuk membedakan
“wujud murni” dengan “eksistensi dunia”. Ibn Sina membuat pembedaan
fundamental diantara ketiganya: Pertama, Wajib al-Wujud (wujud yang wajib)
adalah realitas yang harus ada, dan tidak bisa tidak ada. Hanya ada satu realitas dan
itu Wajib al-Wujud, yakni Tuhan. Eksistensi Tuhan adalah Esa (wahdah),
simple/simpisitas (sederhana), harus basit (tidak tersusun baik dari unsur-unsur dan
organ-organ). Tuhan simple, artinya tidak muraqab (tersusun) dari zat dan sifat.
Lalu Ibn Sina membagi “Wajib al-Wujud” kepada dua bagian, yaitu Wajib al-Wujud
bi dzatihi, dan Wajib al-Wujud bi ghairihi.
Wajib al-Wujud bi dzatihi adalah Tuhan ada (maujud) karena dzatnya, maka
dari Tuhan-lah berasal segala yang ada, sehingga mustahil jika diandaikan tidak ada

8
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam (Bandung: Yrama Wdya, 2006) 54-55
9
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya (Jakarta: RajaGrafindo, 2009), 98.
Wajib al-Wujud bi ghairihi yang kedua, adalah wujudnya ada, karena ada
sesuatu yang lain diluar dzat-Nya. Wajib adanya, karena ada yang menciptakan.
Alam misalnya.
Kedua, Mumkin al-Wujud menurut Ibn Sina adalah kontingensi yakni
transendensi rantai wujud dan tatanan eksistensi cosmis dan dunia yang bersifat
pluralistis adalah kontingen (tergantung) kepada Wajib al-Wujud. Menurutnya
Wajib al-Wujud itu adalah azali, jadi Mumkin al-Wujud juga harus azali. Alam
adalah kontingen jadi alam itu azali, dan yang azali itu adalah Hayulani-nya (materi
awal), ia tidak diciptakan tapi terbit dengan sendirinya. Ketiga, al-Mumtani’ al-
wujud (mustahil) adalah wujud yang tidak mungkin.
Wujud adalah aktualitas dari esensi (mahiyyah). Hanya ada satu Zat saja
yang esensinya adalah eksistensi-Nya dan itulah Allah, wujud yang wajib adanya.
Dalam hal semua benda lainnya yang eksistensinya masih mungkin (kontingensi)
atau tidak pasti (mumkin al-Wujud), esensinya tidak selalu menunjukan ada dalam
eksistensinya, karena dapat diperkirakan adanya esensi suatu ciptaan tanpa
mengetahui apaka ia ada atau tidak. Perlu dikemukakan sebagai bahan komparasi
yang dikemukakan oleh Mulla Shadrah (979-1050 H/1571-1642), filosof terbesar
di zaman modern di Iran, menegaskan adanya prinsipalitas/konversi eksistensi
wujud suatu benda (isalat al-wujud) terhadap esensi sebab. Menurutnya, esensi
hanya sekedar manifestasi mental (aksiden) dari eksistensi.10 Maka Ibn Sina
berpendapat yang kemudian diikuti oleh Fazlurrahman, bahwa Tuhan adalah wujud
yang eksistensinya tak beresensi.
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan
salah satu makhluknya tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni
Wajib al-Wujud. Jagat raya ini Mumkin al-Wujud yang memerlukan sesuatu sebab
yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.
Dengan demikian, dalam menetapkan Tuhan kita tidak memerlukan pada
perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian
wujudnya dengan salah satu makhluknya.
Menurut Ibn Sina ada tiga macam jiwa-jiwa tumbuhan hewan dan manusia
hewan tumbuhan memiliki tiga daya kekuatan nutrisi atau makanan kekuatan
tumbuh (growth) kekuatan reproduksi. Kekuatan nutrisi ketika ada dalam satu
tubuh mengubah zat yang di matanya agar sesuai dengan tubuh. Kekuatan tumbuh
adalah kekuatan yang dengannya tubuh terus berkembang tanpa mengubah
bentuknya sampai ia berada pada posisi yang matang. Kekuatan reproduksi
memiliki potensi untuk melahirkan sebagian dari tubuh sehingga memungkinkan
untuk melahirkan tugu lain yang sama secara aktual.

10
M. Sa’id Syaikh, A Dictionary of Muslim Philosophi, Diterj. Machnun Husein (Yogyakarta:
Rajawali, 1991), 145-146.
Jiwa hewan memiliki dua daya daya motif dan daya perseptif.
Daya motif termasuk di dalamnya adalah kekuatan hasrat dan kekuatan efisien.
Kekuatan hasrat bisa berubah atraktif atau repulsif. Atraktif adalah sifat ketertarikan
sedangkan repulsif adalah sifat marah.
kekuatan efisien adalah kekuatan yang mampu menggerakkan tubuh dan otot-otot.
Daya perseptif atau kognitif diklasifikasikan ke dalam eksternal dan
internal. kekuatan eksternal mencakup lima alat indra melihat mendengar bau rasa
dan raba.
kekuatan internal adalah kemanusiaan yaitu titik pusat di mana seluruh
persepsi penyusun pengertian sebelum di elaborasikan oleh daya yang lebih tinggi
terletak di bagian otak. berikutnya adalah daya formatif atau imajinasi yang berada
di tengah otak di imajinasi berfungsi untuk melepaskan persepsi indrawi dan
kondisi tempat waktu dan materiil benda dan memungkinkan pikiran untuk
membayangkan objek ketika objek tersebut lenyap dengan cara membuat kesan
tentang objek tersebut
Daya kognitif mampu mengabstraksikan elemen elemen umum dari hasil
persepsi dan imej dalam bentuk objek persepsi. Daya estimasi kemudian mengatur
catatan-catatan ini kedalam apa yang disebut dengan putusan. Putusan ini menurut
Ibn Sina lebih berkarakter Istingtif daripada intelektual. Adalah daya estimasi yang
mengkonstitusikan intelegensi binatang, misalnya kambing dengan daya ini tahu
untuk menyelamatkan dari serigala. Daya terakhir dalam jiwa binatang adalah
memori yang berada di bagian belakang.
Hanya jiwa manusia yang memiliki pikiran (reason). Pikiran atau
intelligence dalam pandangan Ibn Sina terdiri dari dua macam, akal Praktis dan
teoretis, akal Praktis (active intelligence) adalah akal yang berhubungan dengan
moralitas, akal teoretis (speculative intelligence) adalah akal yang memungkinkan
kita berpikir abstrak.11
Saeed Syaikh memberi bagian yang sangat jelas
sebagai berikut:

11
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim (Yogyakrta: Pusataka Pesantren, 2004), 100.
Ibn Sina kelihatannya cenderung berkesimpulan bahwa jiwa manusia
berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan munculnya jasad jiwa
manusia akan kekal dalam bentuk individual yang akan menerima pembalasan di
akhirat. Akan tetapi kekalnya ini dikekalkan Allah. Jadi jiwa adalah baru karen
diciptakan dan kekal (tidak punya akhir).
Dalam menetapkan bekalnya jiwa Ibn Sina mengemukakan tiga dalil:
a. Dalil infhisal yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat accident masing-
masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan
lainnya. Karenanya jiwa akal walaupun jasad binasa sementara itu jasa tidak dapat
hidup tanpa adanya jiwa.
b. Dalil al-bashatat yaitu jiwa adalah Johar rohani yang hidup selalu dan tidak
mengenal mati. Pasalnya hidup merupakan sifat jiwa, dan mustahil bersifat dengan
lawannya, yakni fana dan mati. Karenanya jiwa dinamakan juga dengan Jauhar
Basith (hidup selalu)
c. Dalil musyabahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia sesuai dengan filsafat
emanasi. Bersumber dari akal kesepuluh sebagai pemberi segala bentuk. Karena
akan 10 ini merupakan esensi yang berpikir azali dan kekal, maka jiwa sebagai
akibatnya akan kekal sebagai sebabnya.12
Sesuai dengan isyarat di atas secara eksplisit Ibn Sina mengatakan bahwa
yang dibangkitkan di akhirat nanti hanya rohnya. Pengingkaran pembangkitan
jasmani inilah yang menimbulkan kritik tajam bahkan para filosof diberi hukum
keluar Islam (kafir). Pendapat ini mengandung arti bahwa pembalasan di akhirat
hanya disediakan untuk roh semata, sedangkan jasad akan lenyap seperti jasad
tumbuhan dan hewan. Padahal manusia yang diberi beban oleh agama adalah
manusia yang tersusun dari jasad dan roh. Sebenarnya terjadi perbedaan interpretasi
tentang hal ini disebabkan berbedanya pemahaman ajaran dasar dalam Islam yang
tidak akan membawa pada kekafiran.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Ibn Sina menempatkan jiwa manusia
pada peringkat yang paling tinggi. Disamping sebagai dasar berpikir jiwa manusia
juga mempunyai daya daya yang terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan.
Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut Ibn Sina jiwa manusia tidak
hancur dengan hancurnya badan. Sementara itu jiwa tumbuhan dan hewan yang ada
dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan dan tidak akan dihidupkan

12
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, 111.
kembali di akhirat. Warna fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani pembalasan
untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia ini juga.13

Teori Penciptaan Alam (Emanasi)


Filsafat emanasi dalam teologi dan falsafah Islam bermaksud untuk
memurnikan tauhid.14 Emanasi ialah teori tentang keluarnya suatu Wujud Mumkin
(alam makhluk) dari Zat yang Wajib al-Wujud (Zat yang mesti adanya: Tuhan).
Teori ini disebut juga “ teori urut-urutan wujud”15
Ibn Sina sebagaimana juga al-farabi menemui kesulitan untuk jelaskan
bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi atau alam dari yang esa,
jauh dari arti banyak, jauh dari mater, bunga sempurna dan tidak berkehendak
apapun (Allah). Menetapkan masalah ini ia mengemukakan penciptaan secara
emanasi.
Menurut Mehdi Hairi Yazdi, teori emanasi mengenai hubungan iluminatif
(pancaran) menurun diawali oleh Ibn Sina. Dalam bukunya al-Isyarat wa al-
Tanbihat, Ibn Sina merumuskan doktrinnya tentang emanasi sebagai berikut:
“Emanasi” (al-Ibda’) adalah sesuatu yang dengannya sebuah eksistensi dilahirkan
dari yang lain, dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantara materi,
instrument, ataupun waktu.
Pada dasarnya teori emanasi Ibn Sina adalah pengeluaran akal-akal
sebagaimana yang dikemukakan al-Farabi. Namun ada perbedaan yaitu tatkala
“Akal Pertama” mengeluarkan “akal kedua” di sampingnya juga mengeluarkan dua
wujud yang lainnya, jadi bukan satu wujud saja seperti yang dikemukakan Al-
Farabi yaitu apa yang disebut dengan jarama al-fulk al-aqsa (langit dengan semua
planetnya) dan nafs al-fulk al-‘aqsa (jiwa dari langit dengan semua planetnya).16
Jadi letak perbedaan antara keduanya adalah teori emanasi Al-Farabi
mengalirkan bentuk ganda (tsanawiyah), yaitu “Akal Pertama” berpikir tentang
asalnya yang wajib al-wujud dan berpikir tentang dirinya sendiri yang mumkin al-
wujud, sedangkan emanasi Ibn Sina mengalirkan bentu tiga (thalathiyyah), yaitu
“Akal Pertama” berpikir terhadap Allah sebagai asal kejadiannya, berpikir terhadap
dirinya yang wajib al-wujud dan berpikir pada dirinya yang mumkin al-wujud.
Perbedaan ini merupakan jalan keluar terhadap kesulitan yang diaamati oleh para
filosof Yunani dulu.17

13
Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 76.
14
Harun Nasution, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Islam
Paramadina, 1994), 194.
15
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, ) 92.
16
Poerwantana, Seluk beluk Filsafat Islam (Bangdung: Remaja Rosdakarya, 1993), 148
17
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam (Jakarta: Bumu Aksara, 1991), 64.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Ibn Sina “Akal
Pertama” mempunyai dua sifat yaitu, sifat wajib-nya sebagai pancaran dari Allah,
dan sifat mumkin wujud-nya jika ditinjau dari hakekat dirinya.18 Dengan demikian
“Akal Pertama” ini mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, Diri-Nya
sebagai wajib wujud-Nya, dan Diri-Nya sebagai mumkin wujud-nya. Dari
pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal, sementara pemikiran tentang diri-Nya
sebagai wajib wujud-Nya timbul jiwa-jiwa, sedangkan pemikirannya tentang diri-
Nya sebagai mumkin wujud-Nya timbul langit.19
Teori emanasi sebagaimana yang secara umum dipahami oleh para filsuf
muslim bekerja di bawah 2 prinsip, pertama, dari prinsip bahwa Tuhan adalah
ketunggalan murni, maka tidak masuk akal bahwa sesuatu yang akan muncul
darinya kecuali bahwa sesuatu tersebut harus juga sesuatu yang tunggal. Yang satu
hanya dapat menghasilkan yang satu. Kedua, "ada"memiliki dua aspek: Wajib ada
atau atau mungkin ada, esensi atau eksistensi. Hanya dalam Tuhan sajalah esensi
dan eksistensi menyatu. Semua makhluk esensi terpisah dari eksistensi. Dari sini
kemudian disimpulkan bahwa esensi semua makhluk adalah bersifat mungkin, dan
dia menjadi bereksistensi hanya karena Tuhan.
Emanasi pertama dari wajib ada adalah satu yaitu akal pertama. Dalam salah
satu, eksistensinya adalah mungkin dan di lain pihak dia wajib melalui ada yang
pertama (first being). Ia mengetahui esensinya sendiri sebagaimana esensi The first
being. Iya memiliki eksistensi ganda, mungkin dan wujud, hari ini memunculkan
keragaman karena yang memiliki tiga macam objek pengetahuan: pengetahuan
tentang yang pertama, esensinya sendiri sebagai wajib ada, dan keberadaannya
sebagai mungkin ada. Dari akal pertama muncul tiga makhluk: Akal kedua, jiwa
(soul) pertama, dan dan langit bintang-bintang pertama. Dari akal kedua muncul
akan lain, langit kedua dan jiwanya.
Menurut sistem Ptolemy, di samping langit pertama, hanya ada 8 planet
yang mengelilingi bumi sebagai sumbunya. Maka, bermula dari ada yang pertama,
proses emanasi berakhir sampai pada akal kesepuluh yang bersamanya muncul
langit bulan kesembilan dan jiwanya. Akal kesepuluh ini, juga di sebut sebab
dengan active intelligence, merupakan langit yang paling bawah dan langsung
berkaitan dengan kejadian di bumi. Ia non produksi materi pertama (hayula) yang
pasif dan tidak berbentuk tetapi ia menjadi basis dari empat elemen dari mana
semua makhluk diciptakan. Komposisi dan dekomposisi elemen-elemen ini
menjadi sebab dari lahir (generation) dan matinya (dissolution) semua tubuh. Akal
kesepuluh, sebagai produser materi, adalah pemberi bentuk (Wahib ash-shuwar). Ia
memberi masing-masing materi bentuk yang pas dan dia juga memberi masing-
masing tubuh jiwa, yang merupakan bentuk (form) bagi tubuh ketika tubuh telah
siap menerimanya. Jadi, tanggal terakhir juga menjadi sebab dari eksistensi jiwa

18
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1978), 35.
19
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam, 65.
(soul) manusia. Tapi jiwa manusia tidak kerasan dalam tubuh dan dia tetap rindu
kepada First being. Oleh karena itu ia memulai perjalanan spiritualnya untuk
kembali kepada sumber asalnya melalui berbagai tangga akal langit.
Skema kosmologi yang terdiri atas akal jiwa langit memiliki justifikasi
historisnya dalam level perkembangan pemikiran saat itu sehingga kita menemukan
Ibn Sina Al Farabi dan filsuf lainnya berusaha untuk membangun pandangan dunia
filsafatnya seperti itu. Ini tidak dapat disimpulkan bahwa seluruh teori semata-mata
dipinjam dari produk orisinil pemikiran muslim. Beberapa pertimbangan tentang
teori kosmologi yang berkembang dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:20
Pandangan yang menjelaskan asal mula dunia sebagai ciptaan tuhan secara
langsung adalah penjelasan yang sangat sulit dan diterima. Masalah penciptaan
pasti mengimplikasikan mengubah sifat keberadaan Tuhan dan membawa kita pada
program kesempurnaan dan absolutan Tuhan. Kedua akan berimplikasi ketidak
sempurnaan dalam keberadaan ketuhanan. Maksudnya dia membutuhkan sesuatu
yang berarti bahwa dia tidak sempurna. Ketiga dunia ini beraneka ragam penuh
dengan elemen yang beragam bagaimana yang beragam muncul dari Tuhan Yang
esa.
Teori emanasi Neoplatonisme yang menjelaskan asal mula dunia sebagai
satu kerusakan yang lahir dari Tuhan seperti cahaya dari matahari jelas belum bisa
menjawab masalah di atas.
Bagaimanapun juga dunia tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang keluar
secara niscaya dari Tuhan itu akan sangat problematis secara filosofis nya apalagi
secara keagamaan. Dapatkah ini dunia kita yang kotor ini dengan seluruh ke
kotorannya bagaimana sih langsung dari Tuhan yang merupakan spirit murni?
Tidak. Ini bukanlah semata-mata ajaran teori emanasi sebagaimana yang tertera
diatas antara Tuhan di satu sisi dan Tuhan di sisi lain, harus ada agen-agen spiritual
yang memediasi tangga-tangga proses yang menghubungkan antara keduanya.
Teori paling tidak akan didasari pada satu pandangan bahwa sesuatu yang langsung
terkait dengan Tuhan lebih seperti Tuhan dan sesuatu yang langsung mengarah ke
dunia lebih seperti dunia. Elaborasi skema sejumlah akal dan jiwa akan membuat
rasa masuk akal konstruksi besar ini akan lebih mudah dan bahkan mengagungkan
untuk memahami berbagai akal dan jiwa sebagai malaikat sebagaimana yang
dideskripsikan oleh para teolog. Versi muslim tentang emanasi kemudian memberi
jawaban atas kebutuhan logis bahwa dari Tuhan yang satu hanya dapat muncul yang
satu.
Alasan tentang jumlah langit dan jiwanya ada pada sistem astronomi
Ptolemy saat itu. Menurut kosmologi ptolemy bumi dikelilingi oleh sembilan langit

20
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, 103.
seperti kulit bawang 8 diantaranya adalah langit untuk planet-planet dan yang ke-9
adalah langit untuk bintang-bintang.
Pandangan bahwa benda-benda di luar angkasa misalnya bintang dan planet
adalah sempurna dan memiliki jiwa atau kecerdasan yang lebih tinggi daripada
manusia muncul dari Aristoteles, iya Kinan tentang ketidaksempurnaan benda-
benda luar angkasa tetap tidak dipertanyakan sampai saat Galileo mengarahkan
teleskopnya ke bulan untuk pertama kali.21
Wajib Al-Wujud

Akal Pertama (Al’Aql Al-Awwal)
↓ Malaikat Muqarrabin Utama
Akal Ke-2 / Malaikat → Jiwa / Malaikat Langit pertama → Wadag pertama Langit
Utama (Shefa Paling luar)

Akal Ke-3 / Malaikat → Jiwa / Malaikat Langit Kedua → Wadag Kedua Langit
Utama Kedua (Bintang-Bintang Tetap
atau tanda-tanda Zodiak

Akal Ke-4 / Malaikat → Jiwa / Malaikat Langit Ketiga → Wadag Ketiga Langit
Utama Ketiga (saturnus)

Akal Ke-5 / Malaikat → Jiwa / Malaikat Langit Keempat → Wadag Keempat Langit
Utama Keempat (Jupiter)

Akal Ke-6 / Malaikat → Jiwa / Malaikat Langit Kelima → Wadag Kelima Langit
Utama Kelima (Mars)

Akal Ke-7 / Malaikat → Jiwa / Malaikat Langit Keenam → Wadag keenam Langit
Utama keenam (Matahari)

Akal Ke-8 / Malaikat → Jiwa / Malaikat Langit Ketujuh → Wadag Ketujuh Langit
Utama Ketujuh (Venus)

Akal Ke-9 / Malaikat →Jiwa / Malaikat Langit Kedelapan → Wadag Kedelapan Langit
Utama Kedelapan (Merkurius)

Akal Ke-10 / Malaikat→Jiwa/Malaikat Langit Kesembilan→ Wadag kesembilan Langit
Utama Kesembilan (Bulan)
(Wahib Al-Suwar) =

21
Ibid., 105.
Malaikat Jibril

Dunia22

Telah disebutkan bahwa filsafat emanasi ini bukan hasil renungan Ibn Sina
dan juga al-Farabi, tetapi berasal dari ramuan plotinus yang menyatakan bahwa
alam ini berasal dari pancaran dari yang esa atau The One. Kemudian filsafat
plotinus yang berprinsip bahwa dari yang satu hanya satu yang melimpah. Di
islamkan oleh Ibn Sina dan juga Al Farabi bahwa Allah menciptakan alam secara
emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam Alquran tidak ditemukan informasi
yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya.
Demikian walaupun prinsip Ibn Sina dan plotinus sama namun hasil dan tujuan
berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang esa plotinus sebagai penyebab yang
pasif bergeser menjadi Allah yang aktif yang menciptakan alam dari materi yang
sudah ada secara pancaran.
Adapun proses terjadinya pencemaran tersebut ialah ketika Allah wujud
(bukan dari tiada) sebagai akal langsung memikirkan terhadap zat nya yang menjadi
objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini
memancarlah akal kedua, jiwa pertama, dan langit pertama. Demikianlah
seterusnya sampai akan kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat
menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh,
materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur: air, udara, api, dan tanah.
Berlainan dengan al-Farabi bagi Ibn Sina akal pertama mempunyai dua
sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya
ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibn Sina membagi objek pemikiran
akal akal menjadi tiga: Allah (wajb al-Wujuf libdztihi), dirinya akal-akal (Wajib al-
Wujuf li ghairihi) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (Mumkin al-
wujud) ditinjau dari hakikatnya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel emanasi Ibn Sina di bawah ini.23
Dirinya sendiri Dirinya
Allah sebagai
(Subjek) sebagai Wajib sendiri
Wajib al-
Akal Sifat al-Wujud li mumkin Keterangan
Wujud
yang ke ghairihi, wujud
menghasilkan
menghasilkan lizatihi
Wajib al- Jiwa I yang Langit Masing-
I Akal II
Wujud menggerakkan Pertama masing jiwa
Mumkin al- Jiwa II yang Bintang- berfungsi
II Akal III
Wujud menggerakan Bintang sebagai

22
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003), 120-121.
23
Sirajuddin Zar, Konsep penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Alquran (Jakarta:
Rajawali Press, 1994), 180
Jiwa III yang penggerak
III Sda Akal IV saturnus
menggerakan satu planet
Jiwa IV yang karena
IV Sda Akal V Jupiter
menggerakan (immateri)
Jiwa V yang tidak bisa
V Sda Akal VI Mars lengsung
menggerakan
Iwa VI yang menggerakkan
VI Sda Akal VII Matahari Jism (materi)
menggerakan
Jiwa VII yang
VII Sda Akal VIII Venus
menggerakan
Jiwa VIII yang
VIII Sda Akal IX Merkuri
menggerakan
Jiwa IX yang
IX Sda Akal X Bulan
menggerakan
Bumi,
Roh,
Materi
pertama Akal X tidak
yang lagi
menjadi memancarkan
Jiwan X yang dasar akal-akal
X Sda -
menggerakan dari berikutnya
keempat karena
unsur kekuatannya
(udara, sudah lemah.
api, air,
dan
tanah )

Akal-akal dan planet-planet dalam emanasi diatas dipancar kan Allah secara
hirarkis. Keadaan ini bisa terjadi karena ta'aqqul Allah tentang zatnya sebagai
sumber energi dan menghasilkan energi yang maha dahsyat. Ta'aqqul Allah tentang
zatnya adalah ilmu Allah tentang dirinya dan ilmu itu adalah daya yang
menciptakan segalanya, agar sesuatu itu tercipta cukup sesuatu itu diketahui Allah.
Dari hasil ta'aqqul Allah tentang zatnya itulah di antaranya menjadi akal-akal, jiwa
dan yang lainnya rumah memadat menjadi planet.
Emanasisi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet.
sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi.
Berbeda dengan pendahulunya al-Farabi bagi Ibn Sina masing-masing jiwa
berfungsi sebagai penggerak 1 planet karena akal tidak bisa langsung
menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, akal
pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat jibril yang
bertugas mengatur bumi dan isinya.24

24
Harun Nasution, Studia Islamika, No.23 IAIN Jakarta, (1986), 5
Sebagai al-Farabi Ibn Sina juga mengajukan emanasi untuk mentauhidkan
Allah semua semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu Allah tidak bisa menciptakan
alam yang banyak jumlahnya unsurnya ini secara langsung. Jika Allah berhubungan
langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal
yang pelural. Hal ini merusak Citra tauhid
Telah disebutkan bahwa perbedaan yang mendasar antara imanensi protein
us dengan Ibn Sina ialah bagi proteinuria alam ini hanya terpancar dari satu Tuhan,
yang mengesankan Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini ditangkap dari
metafora yang ia gunakan bagaikan matahari memancarkan sinarnya. Sementara
dalam Islam yang mana sih ini dalam rangka menjelaskan cara Allah menciptakan
alam. Karena alam adalah ciptaan Allah dalam agama Islam termasuk ajaran pokok.
Dengan kata lain kekhalikan Allah ini mesti diimani seutuhnya. Orang yang
mengingkari dapat membawa kepada kekafiran. Atas dasar itulah maka ibarat
matahari dengan sinarnya merupakan ibarat yang menyesatkan.
Sejalan dengan filsafat emanasi alam ini kadim karena diciptakan oleh Allah
secara kidam dan azali. Akan tetapi tentu saja Ibn Sina membedakan antara
kadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat
alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam kadim
dari segi zaman (taqaddum zamany). Ada adapun dari esensi sebagai hasil ciptaan
Allah secara pancaran alam ini baru (hudus zaty). Sementara itu Allah adalah
taqaddum zaty, ia sebab semua yang ada dan ia pencipta alam. Jadi alam ini Baru
dan kadim, baru dari segi esensi dan dan kadim dari segi zaman.25

Penutup
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya
mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman
keyakinan keagamaannya mewarnai alam pikirannya. Ibnu Sina sependapat dengan
al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari
Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai
binatang, tetapi jika jiwa manuisia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka
orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi
(memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses
emanasi tersebut memancar segala yang ada. Tuhan adalah wajibul wujud (jika

25
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, 104.
tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada
atau ada menimbulkan tidak mustahil).
Pemikiran tentang kenabian Ibnu Sina menjelaskan bahwa nabi merupakan
manusia yang paling unggul dari filosof, karena nabi memiliki akal yang sempurna
tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991.
Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Gholib, Achmad, Filsafat Islam, Jakarta: Faza Media, 2009.
Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Yogyakrta: Pusataka Pesantren, 2004.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nasr, Sayyed Hossein Tiga Madzhab Utama Filsafat Timur diterjm. Ach, Maimun
Syamsyudin, Jogjakarta: IRCiSoD, 2014.
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
-----------Filsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang 1978.
-----------Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Islam
Paramadina, 1994.
-----------Studia Islamika, No.23 IAIN Jakarta, 1986.
Natsir, M., “Islam dan Kebudayaan” Jurnal Kapita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Poerwantana, Seluk beluk Filsafat Islam, Bangdung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Sholeh, A. Khudori, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016.
Sulaiman, Asep, Mengenal Filsafat Islam, Bandung: Yrama Wdya, 2006.
Supriadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, Bandung:
Pustaka Setia.
Syaikh, M. Sa’ide, A Dictionary of Muslim Philosophi, Diterj. Machnun Husein,
Yogyakarta: Rajawali, 1991.
Syarif, M.M, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1985.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, Jakarta: RajaGrafindo,
2009.
----------Konsep penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Alquran,
Jakarta: Rajawali Press, 1994.

Anda mungkin juga menyukai