Anda di halaman 1dari 8

PEMIKIRAN METAFISIKA

EMHA AINUN NADJIB

Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Filsafat Nusantara Modern-Kontemporer

Dosen Pengampu:

Drs. Budi Sutrisna, M. Hum

Disusun Oleh:

Satria Widi Laksono

Ardhian Vidianov

Risca Revina Desi Vionita

Talitha Neysa Firman

Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2016

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Emha Ainun Najib, atau yang lebih akrab disapa Cak Nun ini merupakan intelektual
muslim, sastrawan, budayawan, atau bahkan ada sumber yang menyebutkan bahwa dia
adalah pelayan. Di sini kata pelayan diartikan sebagai perangkum dinamika seni, agama,
politik, dan sinergi ekonomi yang tentu gunanaya untuk kemajuan masyarakat. Dalam
perjalanan karirnya, Ia sangat cemerlang di bidang teater, dimulai ketika Ia memilih Jogja,
lalu bersemedi di Malioboro. Saat di Jogja, Ia gemar mementaskan teater-teaternya. Dan saat
ini pun kita mengetahui bahwa kegiatan berkesiannya masih terus berjalan pada wadah yang
dibuatnya, yaitu Grup Musik Kyai Kanjeng yang membawakan pesan-pesan religius. Juga,
buku-bukunya yang bertebaran di berbagai toko buku. Tidak hanya itu, Cak Nun pun sering
mengisi berbagai seminar baik tentang sastra maupun budaya.

Dalam abad kontemporer ini, terutama di Nusantara, Cak Nun merupakan intelektual
muslim yang cukup produktif melalui bukunya dan juga musiknya, juga banyak dikenal
melalui gagasan-gagasan yang terkadang cukup fenomenal. Walau pemikirannya terkadang
seperti loncat-loncat, namun ada garis merahnya. Dasar dari gagasan-gagasannya. Atau akar
dari syair-syair yang tercipta. Dalam bahasa filsafat disebut metafisika atau ontologi.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah metafisika itu?
2. Bagaimana pemikiran Emha Ainun Najib?
3. Bagaimana realitas terdalam menurut Emha Ainun Najib?
II. PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJIB

A Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur.
Dia menempuh pendidikan sekolah dasarnya di Jombang. Kemudian, ia pergi merantau dan
bersekolah di Jogja yaitu di SMP Muhammadiyah dan melanjutkan ke SMA Muhammadiyah.
Ia juga sempat menjalani pendidikan di Pondok Modern Gontor di Ponorogo. Setelah itu, ia
melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu di Universitas Gadjah Mada,
tepatnya di Fakultas Ekonomi, dan hanya bertahan satu semester saja.
Ketika berada di Jogja, Cak Nun sempat hidup menggelandang di Malioboro
selama tahun 1970-1975. Pada saat itu, ia belajar sastra di Universitas Malioboro kepada
sang Presiden Malioboro yaitu Umbu Landu Paranggi. Bersama dengan banyak penulis
sastra muda lainnya yang terkabung dalam Persada Studi Klub (PSK), Cak Nun menjalani
kehidupan menggelandang-nya. Hal inilah yang diduga menyebabkan dirinya tidak
melanjutkan kegiatan perkuliahannya.
Saat ini, Cak Nun aktif mengisi pengajian bulanan di berbagai daerah di Indonesia,
salah satunya adalah pengajian bertajuk Mocopat Syafaat yang digelar pada tangga 17 setiap
bulannya di Yogyakarta. Dalam pengajian tersebut, Cak Nun membahas berbagai persoalan
yang tengah terjadi di masyarakat, khususnya yang terjadi di Indonesia. Selain itu juga
terdapat pembahasan tentang pemahaman nilai, pola komunikasi, metode perhubungan
kultural, pendidikan cara berpikir, pengupayaan solusi masalah masyarakat, serta hakikat
realitas.

B Pemikiran
1 Realitas

Emha Ainun Najib dalam salah satu ceramahnya mengemukakan bahwa yang
sesungguhnya ada adalah hakikat kesejatian (manunggaling). Emha pernah berkata
dalam salah satu ceramahnya, Yang saya tulis bukanlah mistik, melainkan realitas.
Saya hanya melihat realitas dan kesejatian. Yang paling riil itu kesejatian. Manusia
bukanlah wajah atau pakaiannya. Wajah dan pakaian itu hanya kamuflase dari realitas
manusia. Hati manusia disebut sebagai realitas yang paling sejati. Dari pemikiran-
pemikiran tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Emha adalah seorang
yang menekankan humanitas dan realitas sebagai poros filsafatnya.
2 Keteraturan, Kehendak Bebas, dan Humanitas.

Caknun berpendapat bahwa semua yang ada dan yang mungkin ada, yang
sering disebut sebagai cosmos tunduk pada hukum alam. Latar belakang teologis
Emha membuatnya menyebutnya dengan istilah sunnatullah. Pohon-pohon dan
binatang itu tunduk pada sunnatullah. Dalam terminologinya, Emha menggunakan
istilah kodrat alami, yaitu kodrat yang seratus persen dikuasai dan dimiliki oleh
Tuhan.

Dalam realitas pada manusia, Emha memberikan porsi yang berbeda. Manusia
disebut emha memiliki kehendak bebas. Emha menyebutnya sebagai kodrat budaya.
Tuhan menguasai lima puluh persen kodrat, sedangkan lima puluh persen lainnya
diserahkan kepada manusia untuk berinisiatif. Emha menyebutnya dengan Tuhan
berbagi.

Emha adalah seorang filsuf yang mempercayai adanya kebaikan universal.


Emha dalam salah satu ceramahnya menggambarkan tentang bagaimana kehendak
manusia bekerja, dan pilihan-pilihan apa yang sesungguhnya adan dan dapat
ditempuh manusia sebelum menempuh suatu keputusan tindakan. Dalam satu
ceramahnya, Emha mendapat pertanyaan tentang mengapa ada kejahatan, sedangkan
seharusnya Tuhan menjaga. Jawaban Emha adalah mengapa Tuhan memberikan
wewenang untuk manusia, karena manusia memiliki hati. Sebagai orang yang
mencuri, sebenarnya ada pilihan untuk tidak mencuri. Dalam Tanya jawab tersebut
tercermin ide filosofisnya tentang kebebasan manusia, serta kepercayaan Emha
terhadap Humanitas. Sesungguhnya pilihan untuk tidak melakukan kejahatan selalu
ada. Hanya saja manusia lebih memilih untuk melakukannya melalui pertimbangan-
pertimbangannya.

III. METAFISIKA
A. Pengertian Metafisika
Louis O. Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat menyebutkan bahwa
istilah metafisika dipergunakan di Yunani untuk menunjukkan karya-karya tertentu
Aristoteles. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, meta ta physika yang berarti hal-hal
yang terdapat sesudah fisika. Aristoteles mendefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan
mengenai yang-ada sebagai yang-ada, yang dilawankan, misalnya, dengan yang-ada
sebagai yang digerakkan atau yang-ada sebagai yang-jumlahkan. Dewasa ini metafisika
dipergunakan baik untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-
pertanyaan terdalam. Metafisika seringkali juga dijumbuhkan, khususnya bagi mereka
yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu ontologi.
Terdapat beberapa definisi metafisika menurut para ahli, diantaranya:
1. Louis O. Kattsoff, mendefinisikan metafisika sebagai bagian pengetahuan manusia
yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang-ada yang terdalam.
Dalam arti ini, metafisika sangat erat hubungannya dengan ilmu-ilmu alam dan saling
mempengaruhi terhadap ilmu-ilmu tersebut.
2. Mark B. Woodhouse, mengartikan metafisika sebagai studi tentang hakikat terdalam
kenyataan. Dapatkah manusia sungguh-sungguh bebas memilih? Apakah Tuhan ada?
Apakah kenyataan pada hakikatnya material ataukah spiritual? Apakah jiwa sungguh
dapat dibedakan dari badan?
3. Ibnu Sina. Menurutnya, metafisika adalah ilmu yang memberikan pengetahuan
tentang prinsip-prinsip filsafat teoretis, yang dilakukan dengan cara
mendemonstrasikan perolehan sempurna prinsip-prinsip tersebut melalui intelek.
Metafisika berhubungan dengan maujud sepanjang ia ada.

Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa metafisika merupakan cabang


ilmu filsafat yang membahas tentang keberadaan atau eksistensi.

B. Aliran Metafisika atau Ontologi

Terdapat beberapa aliran dalam membahas keberadaan atau metafisika,


dibedakan berdasarkan kuantitas dan kualitas.

Berdasarkan kuantitas, aliran metafisika dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Monisme, yaitu aliran metafisika yang meyakini adanya satu kenyataan


tunggal (substansi).
2. Dualisme, yaitu aliran metafisika yang meyakini adanya dua kenyataan
(dua substansi).
3. Pluralisme, yaitu aliran metafisika yang meyakini adanya banyak
kenyataan.

Sedangkan berdasarkan kualitas, aliran metafisika dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Spiritualisme atau idealisme, yaitu suatu aliran metafisika yang meyakini


bahwa spirit atau idea merupakan dasar dari semua keberadaan.
2. Materialisme, yaitu aliran metafisika yang meyakini bahwa materi adalah
dasar dari semua keberadaan.

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Cak Nun meyakini bahwa realitas yang sesungguhnya bukan merupakan yang terlihat
saja seperti manusia yang sesungguhnya bukanlah penampilanya, atau wajahnya melainkan
adalah hatinya. Penampilan hanya sekedar kamuflase dari realitas. Seperti itulah ia
menggambarkan realitas ini, realitas yang sesungguhnya merupakan apa yang tersirat dalam
tingkah laku sosial masyarakat, merupakan apa yang mata telanjang tidak dapat cerap,
kesejatian yang mendasari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui jalan abstraksilah manusia dapat mencerap realitas dengan kesejatian.

Jika kita menggolongkan metafisika Cak Nun ini dalam aliran-aliran metafisika yang
ada, maka masuk dalam aliran realisme. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa yang
riil adalah kesejatian. Dijelaskan lebih lanjut, kesejatian menurut Cak Nun merupakan hati
manusia. Dalam mencetuskan hati sebagai yang sejati, dapat dihubungkan dengan metode
abstraksi Aristoteles, bahwa yang wajah, penampilan, atau segala yang terlihat merupakan
aksidensia semata.

Demikian pemikiran Cak Nun mengenai realitaas yang merupakan abstraksi dari
wujud-fisik, yaitu kesejatian hati. Hal ini dapat menjadi solusi dari permasalahan masyarakat
yang menyangkut tentang toleransi dan pluralisme. Dari sini kita dapat mengambil poin
penting bahwa janganlah kita terjebak dalam wujud-wujud fisik manusia, atau hal-hal yang
melekat pada manusia seperti agama, status sosial, jabatan, gelar, profesi, karena hal tersebut
merupakan realitas yang semu. Dan yang sesungguhnya ialah kesejatian hati.

Sumber :

Anonim. (tidak ada tahun). Emha Ainun Nadjib. [merdeka.com].


http://profil.merdeka.com/indonesia/e/emha-ainun-nadjib/. Diakses pada tanggal 20
September 2016.
Hadi, Sumasno. 2012. Dari Kesadaran Kealamsemestaan, Menuju Cinta: Percikan Filsafat
Cak Nun. https://caknun.com/2012/dari-kesadaran-kealamsemestaan-menuju-
cinta-percikan-filsafat-cak-nun/ . Diakses pada tanggal 20 September 2016.

Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Khumaini, Anwar. 2015. Dakwah Kultural Ala Cak Nun yang Kadang Bikin Kontroversi.
[merdeka.com]. https://www.merdeka.com/peristiwa/dakwah-kultural-ala-cak-nun-
yang-kadang-bikin-kontroversi.html . Diakses pada tanggal 20 September 2016.

Nadjib, Emha Ainun. 2012. Presiden Malioboro. https://caknun.com/2012/presiden-


malioboro/ . Diakses pada tanggal 20 September 2016.

Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan
Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti.
Yogyakarta: Narasi.

Sudaryanto. 2013. Recana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) Mata Kuliah
Azaz-Azaz Filsafat. Yogyakarta: Program S1 Ilmu Filsafat.

Woodhouse, Mark B. 2000. Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai