Anda di halaman 1dari 3

Humanisme Islam, seperti yang dipraktikkan oleh generasi Islam pada masa Ibnu Miskawaih

pada abad IV H./X Masehi, dan periode serupa, merupakan refleksi dari sikap yang
mencerminkan pengaruh literatur filsafat dari Persia, Romawi, dan Yunani. Humanisme Islam
tidak dapat dibatasi dengan ketat dan terus berkembang seiring perubahan sosial, politik, dan
budaya pada masa itu. Transformasinya dipengaruhi oleh perubahan kondisi sosial-politik
serta budaya yang berkembang.

Seiring berjalannya waktu, humanisme Islam menjadi semakin rasionalistik dan


terintegrasi dalam konteks budaya sekuler, tetapi tetap mempertahankan hubungan dengan
nilai-nilai budaya agama. Dalam pengertian yang sudah dijelaskan, Muhammad Arkoun
membagi humanisme Islam menjadi tiga bagian.

1. Arkoun menggambarkan humanisme literer pada era klasik (abad III-IV Masehi)
sebagai semangat yang terkait erat dengan aristokrasi dan kekuasaan. Pada masa
tersebut, individu berbakat hanya bisa mengembangkan potensi mereka jika mereka
memiliki hubungan dengan istana raja atau orang kaya. Humanisme literer pada masa
itu juga mirip dengan konsep humanitas, yang mencakup pandangan ideal tentang
manusia tanpa keterikatan disiplin tertentu. Humanisme literer didasarkan pada
literatur dan sering kali bergantung pada dukungan penguasa, sehingga kurang
objektif. Ciri khasnya adalah fokus pada teks tanpa memperhatikan konteks sejarah,
dan Arkoun mengkritik fondasi epistemologi ini. Dia menggunakan pendekatan
dekonstruksi untuk mengembalikan wacana keagamaan Islam ke posisi yang lebih
mendasar dan komprehensif, mengatasi keteguhan normativitas yang dianggap terlalu
kaku dan eksklusif.
2. Humanisme religius adalah konsepsi yang bertujuan untuk mengukur ketaatan
keberagamaan atau kesalehan seseorang melalui pengalaman mistik, khususnya dalam
konteks sufisme. Ini adalah sarana untuk mencapai keyakinan yang mendalam dan
mencapai puncak kebersihan jiwa (jihad al-akbar) dengan mengacu pada Tuhan,
melibatkan perasaan malu, kepasrahan, dan penghapusan keinginan yang
bertentangan dengan keadilan.
Dalam praktik humanisme religius, pendekatan historisisme digunakan untuk
memahami perkembangan pemikiran sufi dari waktu ke waktu. Ini dilakukan untuk
melacak kemunculan pemikiran atau wacana baru dalam konteks sejarah. Selain itu,
pendekatan psikologis digunakan untuk menggali faktor-faktor kepribadian individu
sufi dan lingkungan sosial mereka. Hal ini membantu dalam memahami bagaimana
faktor psikologis, seperti motivasi dan pengalaman pribadi, memengaruhi pendekatan
spiritual mereka.
Aspek positif dari humanisme religius adalah dimensi moral dan spiritualnya,
terutama dipengaruhi oleh ajaran sufisme. Ini membantu dalam pengembangan
karakter moral dan menghindari formalisme agama. Namun, ada sisi negatifnya, di
mana kadang-kadang dianggap sebagai pelarian dari realitas politik dan mendukung
determinisme teologi. Sufisme juga dapat menjadi bentuk agama massa atau ordo-
ordo sufisme.
Pendekatan ini menekankan dimensi spiritual-esoterik yang dapat dirasakan
bersama-sama, melewati batasan agama, budaya, bahasa, dan identitas nasional.
Beberapa tokoh sufi yang berpengaruh dalam pemikiran ini termasuk Rabi'ah
al-'Adawiyyah, Husain al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan lainnya.
3. Humanisme filosofis adalah penyatuan elemen dari humanisme literer dan humanisme
religius, yang melewati batasan disiplin ilmiah dengan pendekatan yang lebih
mendalam dan metodis. Ini melibatkan komitmen yang kuat terhadap pencarian
kebenaran yang melibatkan hubungan antara dunia, manusia, dan Tuhan. Arkoun
menekankan pentingnya tanggung jawab yang dapat dipahami dengan logika dan
kecerdasan manusia yang otonom dalam pendekatan ini.
Meskipun humanisme filosofis memberikan manusia otonomi dan kebebasan
yang besar untuk mengoptimalkan potensi intelektualnya, hal ini juga dapat menjadi
masalah jika tidak diimbangi dengan kesadaran akan pertanggungjawaban kepada
Tuhan. Ini menyoroti pentingnya kesadaran akan tanggung jawab dalam penggunaan
kebebasan individu.
Arkoun mencatat bahwa ada persaingan dan pertarungan antara ketiga bentuk
humanisme dalam Islam, yaitu humanisme literer, religius, dan filosofis, terutama
dalam konteks humanisme literer yang mengancam eksistensi bentuk lainnya. Namun,
selama periode tertentu, humanisme Islam tetap dinamis dan berkembang.
Pada abad ke-4 H dalam Islam, muncul kebutuhan untuk lebih mendalami dan
berdialog tentang interpretasi yang lebih fleksibel dalam bidang hukum, teologi, dan
filsafat. Tujuannya adalah membuka kemungkinan wacana yang lebih humanis
melalui pemahaman yang lebih mendalam terhadap fakta-fakta dalam Al-Qur'an.
Humanisme filosofis bertujuan untuk mengharmoniskan dua keekstriman
dalam humanisme Islam, yaitu nalar filosofis Hellenis dan nalar religius berbasis
wahyu Islam. Ini telah menciptakan dinamika dan perkembangan pemikiran Islam,
bahkan memengaruhi pemikiran Barat di universitas-universitas seperti Oxford,
Sorbonne, dan Bologna serta pusat-pusat peradaban Islam lainnya. Dinamika ini
akhirnya menjadi bagian dari peradaban Barat dan Islam.

Anda mungkin juga menyukai