Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH PERKEMBANGAN AKHLAK

NAMA : FARHATUS SHOLEHA

PRODI : PGSD

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS BAKTI INDONESIA

2023
Daftar Isi:

1. Akhlak pada Bangsa Yunani

2. Akhlak pada agama nasrani dan Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)

3.Akhlak pada agama nasrani dan Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)

4.Akhlak pada agama Islam

5.Akhlak Pada Zaman Baru


Akhlak pada Bangsa Yunani

Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah
munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu otang-orang yang bijaksana (500-450 SM).
Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak,
karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.

Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang
akhlak adalah Socrates (469-399 M). Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak, karena
ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antarmanusia
dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu
tidak akan menjadi benar, kecuali bila didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga ia
berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu.

Selanjutnya, Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya
ialah Cynics dan Cyrenics. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun
444-370 SM. Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan
sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai
konsekuensinya,golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia sedapat
mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak suka terhadap
kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan cercaan orang, yang penting ia dapat
memelihara akhlak yang mulia.
Adapun golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippus yang labu di Cyrena (kota Barka di utara
Afrika). Golongan ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah
merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah
perbuatan yang tingkat kadar kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian
menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan
mengutamakannya.

Pada tahap selanjutnya datanglah Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli filsafat Athena dan
murid dari Socrates. Dalam pandangan terhadap akhlak, Plato berupaya memadukan antara
unsur yang datang dari diri manusia sendiri, dan unsur yang datang dari luar. Unsur dari diri
manusia berupa akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur dari luar berupa
pancaran nilai-nilai luhur dari yang bersifat mutlak. Perpaduan dari kedua unsur inilah yang
membawa manusia menjadi orang yang utama.

Setelah Plato, datang pula Aristoteles (394-322 SM). Sebagai seorang murid Plato, Aristoteles
berupaya membangun suatu paham yang khas, dan Aristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir
yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah bahagia atau kebahagiaan.
Jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan akal dengan sebaik-
baiknya.

Atistoteles juga dikenal sebagai tokoh yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa
tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua keburukan. Dermawan misalnya
adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara
membabi buta dan takut. Demikian dengan keutamaan lainnya.

Selanjutnya pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics dan Epicurus.
Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics
berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah dikemukakan di atas.
Sementara Epicurus mendasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics sebagaimana telah
dikemukakan juga di atas. Paham mereka banyak diikuti di zaman baru.

Akhlak pada agama nasrani dan Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)

Menurut agama nasrani ini bahwa Ľuhan adalah sumber akhlak. Ľuhanlah yang menentukan
dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Ľuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menurut
agama ini bahwa yang disebut baik ialah perbuatan yang disukai Ľuhan serta berusaha
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, ajaran akhlak pada agama Nasrani
ini tampak bersifat teocentri (memusat pada Ľuhan) dan sufistik (bercorak batin). Karena itu
tidaklah mengherankan jika ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para pendeta
berdasarkan ajaran Ľaurat ini sejalan dengan ajaran ahli-ahli filsafat Yunani dari aliran Stoics
sebagaiama diungkapkan sebelumnya.

Selanjutnya Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja waktu itu,
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan
kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang
diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh karena itu, tidak ada artinya lagi
penggunaan akal pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan
tidak bertentangan dengan doktrin yang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki persamaan dan
menguatkan pendapat gereja. Di luar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak
diperkenankan. Namun demikian, sebagian dari kalangan gereja ada yang mempergunakan
pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya
dengan akal. Filsafat yang menentang agama Nasrani dibuang jauh-jauh.

Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran
akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Di antara
mereka yang termasyhur ialah Abelard, seorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Ľhomas
Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Itali (1226-1274).

Akhlak pada agama nasrani dan Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)

Bangsa Arab pada zaman Jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada
aliran paham tertentu, sebagaimana yang dijumpai pada bangsa Yunani dan Romawi yang telah
disebutkan di atas. Hal yang demikian sebagai akibat dari tidak berkembangnya kegiatan ilmiah
di kalangan masyarakat Arab. Pada masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah
dan ahli syair. Di dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang
memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong pada perbuatan yang
utama dan menjauhi dari perbuatan yang tercela dan hina. Hal yang demikian misalnya terlihat
pada kata-kata hikmah yang dikemukakan Luqmanul Hakim, Aktsam bin Shaifi; dan pada syair
yang dikarang oleh Zuhair bin Abi Sulma dan Hakim al-Ľhai.
Akhlak pada agama Islam

Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada Agama Islam dengan titik
pangkalnya pada Ľuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar
percaya kepada Ľuhan dan mengakuinya bahwa Dia-lah Pencipta, Pemilik, Pemelihara,
Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya. Segala
apa yang ada dunia ini, dari gejala-gejala yang bermacam-macam dan segala makhluk yang
beraneka warna, dari biji dan binatang melata di bumi sampai kepada langit yang berlapis
semua milik Ľuhan, dan diatur oleh-Nya.

Selain itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan
memuat ajaran yang menuntun kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua ini terkandung
dalam ajaran al-Qur’an yang diturunkan Allah Swt. dan ajaran yang didatangkan dari Nabi
Muhammad SAW yang disebut dengan Sunnah .

Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak lebih lanjut dapat dijelaskan dengan menunjukkan
universalitas al-Qur’an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia. Hasil penelitian
Ľhabathabi terhadap kandungan al-Qur’an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia itu ada
tiga macam, dengan uraiannya secara singkat sebagai berikut:

Pertama, menurut petunjuk al-Qur’an, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada
kebahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan
merupakan suatu warna khusus di antara warna-warna kehidupan yang diinginkan manusia,
yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesentosaan dan
lain-lain. Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu
kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tidak dapat
diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu
disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia
menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas.
Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan yang didasarkan fitrah, bukan
berdasarkan emosi dan dorongan hawa nafsu.
Selanjutnya perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak dapat pula dijumpai dari perhatian Nabi
Muhammad SAW. sebagaimana terlihat dalam ucapan dan perbuatannya yang mengandung
akhlak. Di dalam hadisnya kita misalnya menemukan pernyataan bahwa beliau diutus ke muka
bumi ini untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Orang yang paling berat timbangan amal
baiknya di akhirat adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Orang yang paling sempurna
imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan lain sebagainya.

Akhlak Pada Zaman Baru

Pada akhir abad kelimabelas Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam bidang filsafat,
ilmu pengetahuan dan teknolog. Para ahli bangsa Eropa termasuk Itali mulai meningkatkan
kegiatan dalam bidang filsafat Yunani, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Kehidupan
mereka yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan
memberikan peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran. Segala sesuatu yang selama
ini dianggap mapan mulai diteliti, dikritik dan diperbaharui, hingga akhirnya mereka menerapkan
pola bertindak dan berpikir secara liberal.
Diantara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak.
Penentuan patokan baik buruk yang semula didasarkan pada dogma gereja diganti dengan
penentuan baik buruk berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
pengalaman empirik. Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut
kenyataan empirik dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal atau keyakinan yang
terdapat dalam ajaran agama. Sumber akhlak yang semula ajaran al-kitab dan dogma kristiani
dan khayalan mereka ganti dengan ajaran akhlak yang bersumber pada logika dan pengalaman
empirik. Hal yang demikian pada gilirannya melahirkan apa yang disebut dengan etika dan
moral yang berbasis pada pemikiran akal pikiran.

Anda mungkin juga menyukai