Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nabiilah Huwaidaa

NIM : 0502201049
Kelas : Akuntansi Syariah 2 A
Mata kuliah : Akhlak Tasawuf

Review PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM AKHLAK ISLAM

1. Fase Yunani
Kemungkinan bangsa yang pertama membahas akhlak secara ilmiah adalah
bangsa Yunani . Para ahli filsafat Yunani menaruh besar perhatiannya kepada soal
akhlak. Saat itu terdapat kaum Sufsata , yaitu golongan ahli filsafat yang mengajar
para pemuda Yunani untuk menyiapkan diri menjadi patriot-patriot yang berakhlak.
Pemikiran mengenai kewajiban-kewajiban tersebut mendorong mereka untuk
memikirkan pokok dan asal-usul akhlak. Mereka mencela golongan orang-orang yang
memegang kukuh ajaran dan adat istiadat kuno, dimana mereka hanya mengikuti
ajaran-ajaran yang terdahulu.
Kemudian Plato datang, dia menentang ajaran dan adat kuno melainkan
melakukan koreksi terhadap golongan angkatan muda. Menurut pendapatnya dengan
jalan ocehan dan cemoohan hakikat kebenaran itu akan tertolong. Mereka
mengartikan nama "Sufsatah" yaitu "kekacauan" sehingga nama mereka menjadi
jelek, padahal kadang mereka mempunyai pandangan yang lebih teliti dan lebih hebat
dalam memberikan kesadaran dan kemerdekaan dari takhayul.
Socrates (469-339 SM) datang, dia mencurahkan segala perhatiannya pada
soal-soal sumber perkembangan alam dan kesalahan-kesalahan langit. Menurutnya
yang perlu diperhatikan ialah apa yang menjadi dasar sesuatu perbuatan dalam
kehidupan manusia. Socrates berpendapat bahwa akhlak (etika) dan perilaku manusia
tidak akan benar, kecuali jika diberi dasar ilmu. Socrates mempunyai paham bahwa
"keutamaan itu adalah ilmu".
Pengaruh Socrates menimbulkan berbagai aliran ilmu akhlak (etika). Dua
golongan atau aliran yang terpenting adalah aliran Cynics dan aliran Cyrenics.
Golongan Cynics yaitu pengikut ajaran Sutiscanes (444-370 SM) ajarannya ialah
Tuhan itu bersih dari kebutuhan, tidak membutuhkan apa-apa dan sebaik-baik orang
itu adalah orang yang sama akhlaknya dengan akhlak Tuhan. Tokoh aliran ini ialah
Deoganis. Dia mengajarkan kepada murid-muridnya supaya membuang semua
kebiasaan manusia, merasa cukup dengan sedikit, rela menderita, memandang hina
kepada kekayaan, menghindari kesenangan, dan tidak menghiraukan kemiskinan dan
cemoohan orang, asal mereka tetap memegang "keutamaan".
Adapun golongan Cyrenics, berpendapat bahwa mencari kesenangan dan
menjauhi penderitaan itu adalah tujuan hidup yang benar. Keutamaannya adalah jika
kesenangan lebih besar dari pada penderitaannya. Tokohnya ialah Aristbus. Golongan
ini memandang kebahagiaan itu dalam mencapai dan memperbanyak kesenangan.
Golongan Epicurus dan golongan Stoics pengikut aliran Cyrenics namun berlainan
dalam cara mempelajari akhlak (etika). Filosof Perancis, yaitu Gancogne (1592-1655)
pengikut Epicurus yang menghidupkan ajaran-ajarannya. Kebanyakan filosof Yunani
dan Romawi mengikuti aliran Stoics.
Datanglah Plato (429-347 SM) murid Socrates, dia berpendapat bahwa
dibelakang alam wujud (fisik) ada alam lain yang bersifat ruhani (metafisika) dan
setiap benda yang berjasad itu mempunyai gambar yang tidak berjasad di alam ruhani.
Dia juga berpandapat bahwa di dalam jiwa ada berbagai kekuatan yang berlainan, dan
keutamaan timbul dari keseimbangan kekuatan-kekuatan itu yang juga tunduk kepada
akal. Menurut ajarannya terdapat empat pokok-pokok keutamaan yaitu kebijaksanaan,
keberanian, kesucian, dan keadilan, yang manjadi syarat untuk tegak dan lurusnya
bangsa-bangsa dan perseorangan.
Kemudian datang Aristo atau Aristoteles (384-322 SM) murid Plato. Dia
membuat aliran baru dan pengikutnya dinamakan peripatetics. Dia berpendapat bahwa
tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Cara mencapai kebahagiaan menurutnya
ialah dangan mempergunakan kekuatan akal sebaik-baiknya. Aristoteles juga
menciptakan teori "tengah-tengah" yaitu setiap keutamaan berada diantara dua
keburukan.
Pada akhir abad III tersebarlah Agama Nasrani di Eropa, jalan pikiran orang
Eropa juga berubah. Mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat
dalam kitab Taurat, dengan menyatakan bahwa Allah adalah sumber akhlak yang
menciptakan segala kaidah dan patokan dalam perilaku yang menerangkan baik dan
buruk. Kebaikan semua itu untuk mencari kerelaan Allah .

2. Fase Arab Pra-Islam


Kehidupan baik dan kemuliaan cukup. Namun mereka juga pemarah yang luar
biasa, perampok, perampas, saat mereka merasa diancam. Kehalusan perangai bangsa
Arab dapat dilihat dari syair-syair mereka, Pada zaman jahiliah bangsa Arab memiliki
perangai halus dan rela dalam saat contohnya syair Zuhair ibn Abi Salam yang
mengatakan : "Siapa yang menempati janji tidak akan tercela, dan siapa yang
membawa hatinya menuju kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu".
Adapun Amir ibnu Dharb Al-'Adwaniy "pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak.
Sesungguhnya penyesalan itu akibat kebodohan".
Aktsam ibn Shaify juga mengatakan " jujur adalah pangkal keselamatan; dusta
adalah kerusakan; kejahatan adalah kekerasan; ketelitian adalah sarana menghadapi
kesulitan; kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan
sebaik-baik perkara adalah sabar". Amr ibn al-Ahtam pernah mengatakan kepada
budaknya "Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai yang akurat lelaki pencuri;
bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya kedudukan suci dan tinggi adalah oang
yang belas kasih. Orang yang mulia akan takut mencelamu, dan bagi kebenaran
memiliki jalan sendiri bagi orang-orang yang baik".
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum islam telah memiliki pemikiran
yang minimal dalam bidang akhlak, dan belum sebanding dengan kata-kata hikmah
dari filosof-filosof Yunani kuno. Memang pada saat itu dari kalangan bangsa Arab
belum diketahui adanya para ahli filsafat dan aliran-alirannya. Hanya ada orang-orang
arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan untuk berbuat kebaikan dan
melarang berbuat keburukan.
Setelah agama islam datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber
dari sagala sesuatu yang ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah
ciptaan sang Khalikul Alam.

3. Fase Islam
Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,islam menerima setiap
kebiasaan terpuji yang terdapat pada bangsa Arab serta menolak semua yang
dianggap jelek (menurut petunjuk wahyu, yaitu Al-quran dan As-sunnah). Islam
membawa akhlak mulia yang menjadi dasar kebaikan hidup umat manusia dan alam
seluruhnya. Pemikiran bangsa Arab setelah Al-quran turun dari segi akhlak menjadi
luas dan berkembang, juga lebih jelas arah dan sasarannya. Mereka telah diberi
nikmat (islam) oleh Allah, mereka juga mamapu dalam menulis syair-syair dan karya
tulis sastra yang mendidik melalui kata-katanya yang hikmah dan terdapat pesan-
pesan yang berkaitan dangan akhlak-akhlak yang sifatnya praktis.
Di kalangan bangsa Arab, sedikit sekali orang yang mempelajari akhlak secara
ilmiah meskipun mereka telah maju dalam lapangan pengetahuan. Itu karena mereka
merasa cukup dengan ajaran akhlak dari agama dan tidak butuh dengan pembahasan
ilmiah. Abu Nashr Al-Faraby dan Abu 'Ali bin Sina mempelajari akhlak sacara ilmiah
juga mempelajari filsafat Yunani, sehingga dalam ajaran mereka tentang akhlak
terdapat alam pikiran Yunani. Pembahasan akhlak terbesar di kalangan Arab adalah
Ibnu Miskawaih dalam kitabnya Tadzibul Akhlak wa-Tathhirul 'Araq, yang
membahas campuran akhlak secara ilmiah dengan ajaran-ajaran Plato, Aristo,
Galinus, dan ajaran-ajaran islam.
Abah Ibnu Thiby telah memadukan antara takwa kepada Allah dengan bakti
kepada orang tua dalam hal kebaikan. Hanya saja dalam tuntunan wahyu ada
koreksinya, yaitu Nabi melarang orang tunduk kepada makhluk sesamanya.

4. Fase Abad Pertengahan


Eropa mulailah bangkitnya pada babak kedua abad xv dan para ahli
menghidup-hidupkan kembali filsafat Yunani. Para ahli angkatan baru waktu itu
mengeritik dan memperluas penyelidikan tentang masalah-masalah akhlak (etika) itu
berdasarkan persoalan ilmu-ilmu lain yang telah ditemukan orang, seperti ilmu jiwa
dan ilmu kemasyarakatan, Mereka cenderung kepada kenyataan, bukan kepada
khayal. Pandangan baru ini menimbulkan perubahan dalam nilai keutamaan.
Perhatian orang mulai tertuju kepada pentingnya dilakukan perhatian tentang pemuda,
wanita dan anak-anak dalam susunan memasyarakatan. Telah mencapai sukses dalam
menetapkan hak dan kewajiban.
Ilmu filsafat,termasuk didalamnya ilmu akhlak, waktu itu di Eropa pada abad-
abad pertengahan, sangat tertekan, sebab gereja memusuhi filsafat Yunani dan
Romawi dan menentang penyebaran ilmu dan kenegaraan. Gereja percaya bahwa
hakikat kebenaran itu wahyu yang tidak mungkin salah lagi. Wahyu hanya
membolehkan orang berfilsafat dalam batas-batas tertenttu, sekadar memperkuat
kepercayaan-kepercayaan keagamaan.
Di Eropa terjadi konfrontasi antara filsafat dan gereja. Gereja pada waktu itu
memerangi filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan
kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari
wahyu. Namun diantara golongan gereja ada juga yang menerima percikan filsafat
selama tidak bertentangan dengan ajaran gereja.
Inilah yang menciptakan suasana dimana filsafat akhlak yang lahir pada masa
itu merupakan perpaduan antara ajaran Yunani dengan ajaran Nasrani. Pemuka-
pemukanya yang termasyhur adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquinas
(1226-1274).
Kemudian datang Shakespeare dan Hetzenner yang menyatakan adanya
perasaan naluri pada manusia dapat digunakan untuk membedakan baik dan buruk.

5. Fase Modern
Periode modern dimulai dari tahun 1800 sampai fase kita sekarang,
merupakan zaman kebangkitan umat islam. Ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan
Barat menginsyafkan dunia islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat islam
bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi.
Sejak Abad Pertengahan, zaman John Stuart Mill (1806-1873) dipindahkannya
paham Epicurus ke paham Utilitarisme. Pahamnya terbesar di Eropa dan mempunyai
pengaruh besar disana. Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran
baik buruknya sesuatu ditentukan oleh kegunaannya.
Herbert Spencer (1820-1903) mengemukaan paham pertumbuhan secara
bertahap (evolusi) dalam akhlak manusia. Descartes (1596-1650) seorang ahli pikir
Perancis yang menjadi pembangun mazhab rasionalisme. Segala persangkaan yang
berasal dari adat kebiasaan harus ditolak.
Dari bahasan diatas dapat dipahami bahwa pada era modern itu bermunculan
berbagai mazhab etika antara lain sebagai berikut:
a. Ada yang tetap mempertahankan corak paham lama
b. Ada yang secara radikal melakukan revolusi pemikiran
c. Tidak sedikit yang masih tetap konsisten mempertahankan etika teologis, yaitu
ajaran akhlak yang berdasarkan ketuhanan (agama)

Anda mungkin juga menyukai