Anda di halaman 1dari 81

DARI TEOLOGI MENUJU TEOANTROPOLOGI,

Pemikiran Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

BAB I
PENDAHULUAN

A. Mengapa ditulis?

Egalitarianisme, humanisme dan keadilan sosial


merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan kehidupan
sosial manusia. Dengan perangkat-perangkat tersebut
diharapkan berbagai ketimpangan sosial yang pada gilirannya
akan dapat memicu kecemburuan sosial (social jealousy),
bahkan kebencian sosial (social hatred), minimal dapat
dikurangi. Ironisnya dalam dataran realitasnya justru yang
muncul ke permukaan adalah sistem sosial dan praktek
kehidupan yang tak bersahabat serta mencabik-cabik nilai
kemanusiaan. Bagaimana tidak, jika kaum lemah berhadapan
secara diametral dengan kaum kuat, warga negara
bertabarakan dengan dengan tirani kekuasaan, masyarakat
industrial tercerabut, teralienasi dan terlempar dari akar-akar
kemanusiaannya sendiri. Sementara itu, kaum beragama, yang
biasanya mengklaim diri berdiri paling depan mengusung
panj-panji kemanusiaan-moralitas, ternyata juga saling bertikai
dan saling terlibat konflik.
Melihat banyaknya realitas konflik yang disandarkan
pada agama seperti yang terjadi di negara-negara: India,
Pakistan, Thailand, Yugoslavia, Bosnia, Irlandia, Philipina dan

1
negara-negara lain, agaknya bisa dimengerti analisis Ian G.
Barbour bahwa ada dua ciri menonjol dalam pemikiran agama
(baca: teologi). Pertama, pemikiran keagamaan menekankan
perlunya keterlibatan dan kesungguhan personal terhadap
ajaran agama yang dipeluknya. Agama adalah persoalan
pokok antara hidup dan mati. Pemeluk agama tentu akan
memperjuangkan serta mempertahankan ajaran-ajaran
agamanya hingga rela berkorban. Di sini, agama erat
kaitannya dengan emosi. Kedua, karena adanya keterlibatn
personal maka “bahasa” yang digunakan adalah bahasa
seorang “pelaku” atau “pemain” (actor) bukan bahasa
pengamat atau penulis dari luar (spectator). Karenanya,
kesetiaan pada agama berimplikasi menyeluruh terhadap
keagamaanya. Seorang agamawan yang baik selalu
menujukkan eksistensi diri dan sanggup menderita untuk
mempertahankan prinsip dan mencapai tujuan yang
diperintahkan agama.1
Gambaran di atas menunjukkan betapa teologi
mampu memberikan warna dan nuansa tersendiri bagi sikap
hidup. Dengan tepat Nurcholish Madjid mengilustrasikan
teologi sebagai sebuah karpet, sementara aspek-aspek lain
adalah benda-benda yang diletakkkan di atasnya. Semua apa
yang sekarang ini muncul sebagai tindakan ad hoc yang
kongkret sebetulnya mempunyai dasar dan pemikiran yang

1
Baca: M. Amin Abduallah, Falsafah Kalam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995) hlm. 53
2
fundamental2yangt terdapat dalam teologi mengingat ia
merupakan disiplin yang membahas mengenai Tuhan dan
hubungan dunia dengan dunia.3 Dengan kata lain teologi
mampu mendasari seluruh bangunan pemahaman yang
lainnya. Ia menjadi unsur yang sangat menentukan apakah
agama menjadi fungsional ataukah tidak. Dari sini bisa
dipahami bahwa teologi tidak lebih adalah tafsiran atau
refleksi terhadap ajaran tentang tuhan dan akibat-akibat yang
dikaitkan dengan masyarakat. Ia selalu saja merupakan refleksi
iman dalam konteks tradisi. Artinya formulasi teologis yang
dikedepankan oleh seorang atau kelompok sangat
dipengaruhi oleh kondisi spasial dan temporal. Suasana sosial
politik dan tingkat intelektualitas juga turut memberikan
sumbangan. Itulah sebabnya rumusan teologi menjadi
bermacam-macam, bahkan mungkin berhadap-hadapan,
sekalipun rujukannya satu. Dalam konteks Islam, misalnya,
muncul teologi Asy’ariyah yang berbeda dengan teologi
Maturidiyah dan berhadapan dengan teologi Mu’tazilah;
sedangkan dalam Kristen muncul formulasi teologis yang
bebeda antara Karl Barth, Martin Buber, Martin Luther dan
sebagainya.
Dalam konteks agama-agama, banyak pihak menilai
bahwa Islam merupakan agama dengan sumber ajaran dan
sejarah yang paling kaya serta paling mungkin untuk terus

2
Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun” dalam Refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta :
LSAF, 1989, hlm.108
3
Lihat: D.S. Adam, “Theology” dalam James Hastings,
Ency7clopedia of Religion and Ethics (New York: Charlers Scribner’s
Sons, Vol. 12 tth.) hlm. 728.
3
melakukan berbagai perubahan. Sayangnya, dalam waktu yang
sangat lama, gairah untuk selalu mengadakan pembaharuan
dan pemahaman teologis telah hilang. Umat Islam puas
dengan dogma-dogma teologis abad pertengahan yang hanya
berkisar pada isu-isu metafisis dan spekulatif yang absurd dan
kosong, yang melupakan kepentingan rakyat tetapi akrab
dengan elit kekuasaan. Teologi Asy’ariyah, misalnya, sekalipun
tidak dimaksudkan dengan secara sengaja untuk memberi
legitimasi tetapi implikasinya terhadap kekuasaan ternyata
sangat besar. Karenanya Hassan Hanafi menyebutnya sebagai
ideologi kekuasaan.4 Demikian pula teologi Mu’tazilah yang
rasional ternyata hanya menarik sebagian kecil masyarakat
(baca: elit). Lebih jauh dari itu, sebagaimana dikritik oleh
Iqbal, Mu’tazilah telah mereduksi agama karena memisahkan
pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret manusia.5
Dogma-dogma teologis seperti inilah, yang notabene adalah
produk skolastik, yang terus menguasai, bahkan sampai
sekarang, pola pikir dan sikap hidup masyarakat Islam. Inilah
yang memberi saham terhadap stagnasi dari progresifitas.
Dogma-dogma ini tidak saja membuat umat Islam terhimpit
kejamnya kekuasaan tetapi juga telah membuat beku dan
salah tingkah dalam menghadapi perkembangan zaman.
Wajar jika pada perkembangan pemikiran Islam
tercatat kaum revivalis pramodernis berkesimpulan bahwa
pemikiran teologis sesungguhnya adalah penjara-penjara atau

4
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan
Postmodernisme (Yogyakarata: LkiS, 1993), hlm. 91.
5
Muhammad Iqbal, The Recontruction Relegious Thoughy in
Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981) hlm. 5.
4
pada akhirnya, tanpa bisa dielakkan lagi, pasti akan menjadi
penjara. Agama lebih baik tanpa teologi karena dalam
pandangan mereka hal itu merupakan kejahatan terhadap
agama. Sementara itu kaum modernis, mungkin karena imbas
penilaian kaum revivalis terhadap teologi, tidak berbicara
banyak tentang teologi. Jika ada, seperti Muhammad Abduh,
hanya dalam batas-batas minimal, sekalipun mampu berbuat
banyak untuk membangkitkan rasionalisme.6
Secara lebih filosofis, dalam konteks sekarang ini,
Amin Abdullah menemukan dua watak teologi jika tetap
bertahan seperti sekarang ini, kesulitan pertama muncul ketika
ia berhadapan dengan temuan-temuan ilmu empiris, baik ilmu
kealaman maupun ilmu kemanusiaan. Ketidakmampuan
teologi menyesuaikan bahasa dengan perkembangan ilmu ilmu
modern empiris tersebut menjadikan teologi kurang relevan
dengan perkembangan pengalaman manusia. Teologi menjadi
usang dan ketinggalan mode karena tidak mampu berbicara
tentang masalah-masalah empirik kontemporer. Kesulitan
kedua muncul ketika teologi berhadapan dengan globalisasi
budaya. Bagaimanapun, globalisasi akan memaksa teologi
utnuk membuat konsesi-konsesi psikologis. Namun,
konsesi-konsesi psikologis ini sulit untuk dilakukan karena
struktur fundamental pemikiran teologis yang partikularis tak
memungkinkan hal itu.7

6
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an
Intelectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982) hlm.
152-153.
7
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas (Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 53-54.
5
Berangkat dari kenyataan ini maka dipandang perlu
untuk mengadakan reformulasi teologis secara sistematis.
Reformulasi tersebut haruslah merupakan terobosan baru
yang memungkinkan pemikiran teologis melampui batas
batas tradisionalnya agar lebih segar dan tak berkutat pada
isu-isu transendental spekulatif, melainkan lebih reflektif
sosiologis.. Salah seorang yang mencoba mencairkan
kebekuan formulasi teologi dan memberikan alternatif
tawaran adalah Asghar Ali Engineer.
Dengan berangkat dari adanya satu keyakinan bahwa
masing-masing agama mempunyai titik tekan nilai-Hindu
pada ketiadaan kekerasan, Budha pada keharuan, Jain pada
ketidakadaan pemilikan, Kristen pada cinta kasih dan Islam
pada persamaan dan keadilan,8 Bagaimanapun, bukanlah
semata-mata agama spiritual melainkan juga menyangkut
kehidupan sekuler (wordly). Islam menyerukan masyarakat
yang adil secara sangat serius dan berulang-ulang. Oleh karena
itu istilah-istilah teologis pun tidak bisa dipahamai dalam
makna keagamaannya semata tanpa mengikutsertakan
pemahaman terhadap psiko-sosialnya.9
Dengan demikian teologi hanya akan bisa bermanfaat
bagi tujuan-tujuan kemanusiaan bila berangkat dari kondisi
kemanusiaan itu sendiri. Kerja-kerja ketuhanan yang ingin
direalisasikan adalah bagaimana bisa mewujudkan idealitas
idealitas tertinggi yang dipahami oleh dan untuk manusia.

8
Asghar Ali Engineer, “Islam-the Ultimate Vision” dalam “
al-Mushir Vol. 36, 1994, hlm.110.
9
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology (New
Delhi: Sterling Publishers Pvt. Ltd., 1990), hlm. 8.
6
Pencapaian ini hanya akan terkristalisasikan melalui ruang dan
waktu, dan hal itu hanya mungkin dengan menghubungkan
tujuan-tujuan tersebut dengan kondisi yang terus berubah
secara kreatif. Karena ruh-ruh ajaran teologis berusaha
mewujudkan kemampuan-kemampuan yang bisa
direalisasikan dalam situasi-situasi tertentu, maka diskursus
teologis harus ditafsirkan dalam terma sosial, ekonomi dan
politik modern.10 Keadaan demikian meniscayakan untuk
tidak memahami teologi semata-mata secara spekulatif tetapi
juga harus menjadikannya sebagai sebuah kajian yang reflektif
sosiologis. Tentu saja ini akan mensyaratkan dipakainya
beberapa perangkat analisis sosial untuk memahami kembali
teologi. Sehingga kontekstualisasi teologi sama pentingnya
dengan aspek-aspek metafisiknya yang sublim.
Upaya perumusan teologi memang harus selalu
dilakukan. Secara teoritis, hal ini perlu agar dapat meletakkan
asumsi bahwa perkembangan pemikiran teologis tidaklah
berhenti hanya pada karya-karya klasik, melainkan harus
dinamis dan terus selalu berkembang. Secara praktis, hal ini
diharapkan dapat menjadi acuan bagaimana mengaktualkan
dan mengaplikasikan pemikiran teologis dalam kehidupan
nyata.

Istilah teologi sebenarnya bukan berasal dari Islam. Ia


sebenarnya berasal dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani.
Namun demikian pungutan istilah dari khazanah dan tradisi
agama lain tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang

10
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus
Salim, (Yogyakarta: LkiS, 1993), hlm. 8.
7
negatif, apalagi istilah tersebut memperkaya khazanah dan
membantu mensistematisasikan pemikiran dan pemahaman.
Secara etimologis, istilah teologi berasal dari kata theos yang
berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. D.S. Adam
memberikan batasan pengertian teologi merupakan disiplin
yang membahas mengenai Tuhan dan hubungan Tuhan
dengan dunia,11 sedangkan Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menjelaskan bahwa
teologi adalah pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat-sifat
Allah dan agama terutama berdasar pada kitab-kitab Suci.12
Menilik akar katanya, istilah teologi sebenarnya bukan berasal
dari Islam, namun istilah teologi tersebut bukan sesuatu yang
baru dalam khazanah pemikiran Islam sekarang. Hal ini bisa
dilacak pada masa di mana Islam mengalami perkembangan
intelektual yang cukup signifikan melalui gerakan
penerjemahan berbagai karya-karya monumental Yunani.
Sebut saja karya yang berjudul Theologia Aristotle dan
Elementatio Theologia yang telah dikenal di kalangan para
pemikir Islam.13 Sebagai istilah pungutan dari khazanah dan
tradisi lain tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang
negatif, apalagi istilah tersebut memperkaya khazanah dan
membantu mensistematisasikan pemikiran dan pemahaman,

11
Lihat: D.S. Adam, "Theology" dalam James Hastings,
Encyclopaedia of Religion and Ethics (New York: Charlers Scribner`s
Sons, vol. 12. tth.), hlm. 728.
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 932.
13
Madjid Fakhry, The History of Islamic Philosophy (New
York: Columbia University Press, 1983), hlm. 19-31.
8
sekalipun pada perkembangannya melahirkan berbagai
pemahaman yang berbeda.
Dalam perkembangannya istilah teologi dipahami
secara berbeda-beda. Ada yang memahami istilah teologi
merupakan istilah teknis ilmiah. Sebagai ilmu tentu saja ia
mempunyai bidang kajian khusus yang membedakannya dari
bidang ilmu yang lain. Dalam hal ini teologi adalah sebuah
ilmu dengan bidang pengkajian tertentu yaitu Tuhan dan
hubungannya dengan alam semesta dan manusia. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa arus utama intelektualisme
yang pada saat itu berada di tangan orang-orang Islam Arab
dan adanya dominasi gerakan Arabisme telah menjadi faktor
penting yang meniscayakan berbagai istilah Yunani
dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab, termasuk istilah
teologi menjadi istilah kalam.14 Dari kenyataan ini bisa

14
Menurut Gruneboum, salah satu hal yang menjadi aspek
penentu keberhasilan Arabisasi pemikiran adalah adanya keyakinan
bahwa bahasa Arab mempunyai keunggulan dibandingkan dengan
bahasa lainnya. Hal inilah yang pada tataran tertentu berpengaruh
terhadap adanya penerjemahan istilah Yunani, termasuk teologi. Baca:
Gustave von Gruneboum, Medieval Islam (Chicago: The University of
Chicago Press, 1956), hlm. 37. Penilaian bahwa bahasa Arab
mempunyai keunggulan juga disampaikan oleh Gustave Le Bon bahwa
satu abad sebelum Islam, bahasa Arab dengan jaringan konseptualnya
dan jaringan maknanya telah mencapai kesempurnaan. Baca: Aan
Radiana dan Abdul Munir Almarhum, “Analisa Linguistik dalam al
Qur’an”, dalam al-Hikmah, No. 17 Vol. VII tahun 1996, hlm. 12.
Sedangkan al-Jābirī menyatakan bahwa kesimpulan bahasa Arab adalah
bahasa yang sempurna diyakini oleh masyarakat Arab karena menjadi
bahasa al-Quran. Jika al-Quran dipahami sebagai “karya” yang
sempurna, maka bahasanya juga adalah bahasa yang sempurna. Dalam
konteks ini, maka di masyarakat Arab muncul fanatisme ke-
9
diketahui bahwa penggunaan istilah teologi sebagai pengganti
ilmu kalam tidak lain hanya merupakan pengulangan sejarah.15
Oleh karena itu, membicarakan masalah teologi dalam Islam
berarti adalah membicarakan tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan Tuhan sebagaimana disebutkan dalam
peristilahan yang sering dipakai dalam dunia Islam yaitu Ilmu
Kalam, Ilmu `Aqāid dan Ilmu Ushuluddin.16
Berbeda dengan itu, Masdar Farid Mas`udi dan
Djohan Effendi berpendapat bahwa istilah teologi
sebagaimana yang dipahami sekarang ini merupakan suatu
bentuk penyempitan. Pemahaman seperti ini didasarkan pada
kenyataan bahwa istilah teologi, menurut Masdar, hanya
menyangkut masalah ketuhanan semata (sebagaimana bisa
dipahami dari kata: theos dan logos). Bagi Masdar teologi
merupakan istilah yang serba mencakup, yaitu suatu bentuk
pemahaman terhadap agama itu sendiri. Teologi adalah
merupakan fiqh, dalam arti pemahaman bukan dalam arti
kajian mengenai hukum Islam. Ini terbukti dengan istilah al
fiqh al-akbar yang justru berisi tentang sistem keimanan. Itulah

Araban. Baca: M. `Ābid al-Jābirī, Bunyat al-`Aql al-`Arabī (Beirut: al


Markaz al-Tsaqāfī al-`Arabī, 1993).

15
Wolfson menegaskan bahwa istilah kalam pada awalnya
merupakan pengganti istilah logos dalam pemikiran filsafat Yunani,
termasuk di dalamnya teologi. Kalau pada zaman sekarang ada
kecenderungan mengganti istilah kalam dengan teologi maka bisa
dikatakan sebagai pengulangan sejarah. Harry Austin Wolfson, The
Philosophy of Kalam (England: Harvard University Press, 1976), hlm.
2.
16
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), hlm. 201-202.
10
sebabnya, bagi Masdar, terdapat teologi hukum.17 Sementara
itu, Djohan Effendi mempunyai kesimpulan yang sama
dengan Masdar. Ia memahami bahwa teologi lebih tepat
dipadankan dengan istilah fiqh, yang berarti pemahaman,
bukan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Lebih jauh Djohan,
mendasarkan pemahamannya mengenai teologi berdasarkan
al-Quran di mana ide sentralnya adalah tauhid yang
menghendaki adanya keserasian antara ide-ide ketuhanan dan
kehidupan praktis.18 Kelompok ini mengidentikkan teologi
sebagai pemahaman keagamaan secara totalitas. Dengan
demikian, pemakaian istilah teologi pada gilirannya akan
selalu mengalami perkembangan dan perluasan.
Sebagai sebuah kajian yang seharusnya tidak semata
mata spekulatif tetapi juga sebagai kajian yang reflektif
sosiologis, tentu saja mensyaratkan beberapa perangkat
analisis sosial untuk memahami kembali teologi. Dengan
demikian diharapkan kontekstualisasi teologi bisa tercapai.
Karena itu, pembahasan di sini dimaksud sebagai sebuah
upaya untuk meletakkan manusia dalam martabatnya sebagai
manusia di hadapan Tuhan. Secara lebih spesifik, bagaimana
manusia bisa terlepas dari berbagai tindak ketidakadilan,
penindasan, pemiskinan dan pembodohan. Ada dua ciri
utama dalam pembebasan ini, yaitu ciri dinamis dan ciri

17
Lihat: Masdar F. Mas`udi, “Teologi Rasionalistik dalam
Islam, Suatu Telaah Kritis atas Teologi Mu`tazilah” dalam Masyhur
Amin, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam
(Yogyakarta : LKPSM NU DIY, 1989), hlm. 101.
18
Djohan Effendi, “Konsep-konsep Teologis” dalam Budhy
Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah
(Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 52.
11
otokrotis. Pertama, ciri dinamis menempatkan perseorangan
atau kelompok dalam suatu atmosfer yang memungkinkannya
untuk mengembangkan kemanusiaannya untuk hidup lebih
bernilai, untuk hidup sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan. Kedua, ciri otokritis menempatkan
persoarangan tau kelompok dalam atmosfer yang
memungkinkannya untuk mengevaluasi kembali, menilai
kembali, mengoreksi kembali segala tindakan kultural yang
telah dilakukkannya.19 Dalam kerangka ini, penulis kemudian
menyebutnya sebagai teoantropologi
B. Struktur Logis Isi Buku

Untuk mendapatkan struktur yang padu dalam buku


ini, dua sisi yang dibidik adalah aspek metode dan hubungan
antar bagian. Secara metodik, buku ini sesungguhnya
merupakan sebuah bentuk penelitian kepustakaan sehingga
seluruh datanya diambil dari berbagai karya ilmiah yang ada
keterkaitannya dengan subyek penulisan. Dalam hal ini ada
dua sumber sekunder, baik yang berupa buku-buku maupun
artikel-artikel di berbagai jurnal. Sedangkan sumber sekunder
adalah karya-karya orang lain yang membahas pemikiran
Asghar dan atau karya-karya yang mempunyai visi yang sama.
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul,
penulis menggunakan metode historis dan deskriptif-analitis.
Metode Historis digunakan untuk mengetahui perjalanan
kesejarahan teologis Islam dan paradigma-paradigma yang

19
Ismed Natsir, “Penghayatan Agama untuk Menumbuhkan
Kultur Pembebasan”, dalam Prisma, Juni 1978, hlm. 40.

12
digunakannya. Metode ini juga akan diterapkan pada
penelaahan mengenai latar belakang baik eksternal maupun
internal yang turut mempengaruhi pemikiran subyek
penulisan. Metode deskriptif-analitis akan diterapkan pada
pengkajian mengenai data-data primer yang diperkaya dengan
data-data sekunder dengan lebih dahulu mendiskripsikan
subyek penulisan untuk kemudian diadakan analisis dengan
pendekatan teologis-sosiologis. Kedua pendekatan ini dipakai
karena, penulis berasumsi bahwa, pemahaman dan pelontaran
term-term teologis yang telah berkembang dan yang diajukan
oleh Asghar tidak semata-mata teologis tetapi melibatkan
perangkat-perangkat sosiologis.
Untuk mengembangkan konsep, baik dalam kaitannya
dengan kelebihan maupun kekurangan, penulis menggunakan
pola pikir reflektif.20 Pola pikir ini dimaksudkan untuk
merekontruksi konsep dalam konteks sosial. Pendekatan
reflektif ini dilakukan dengan menggunakan dua prosedur
yaitu prosedur deduktif dan prosedur induktif. Penggunaan
dua prosedur ini diharapkan bisa memberikan hasil yang lebih
mendekati kebenaran.
Sedangkan untuk hubungan logis antara bagian dalam
buku ini disusun dengan berangkat dari kegelesiahan
intelektual mengapa kok teologi yang merupakan bagian dari
agama tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi berbagai
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Adakah
yangsesuatu yang slah dengan bangunan teologi yang sudah

20
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1989), hlm. 55-80.
13
ada sehingga perlu diadakan upaya dekonstruksi-rekonstruksi
teologi agar lebih mampu menjawab tantangan zaman? Jika
ya, teologi yang bagaimana yang dibutuhkan. Pada bagian ini
juga akan diuraikan mengenai kerangka metodologis untuk
menjawab kegelisahan itu.
Bagian berikutnya memotret perkembangan dan
paradigma teologi dalam Islam. Juga ditunjukan betapa dari
berbagai formulasi teologi tersebut tidak mampu berbuat apa
apa menghadapi raksasa pnderitaan dan keterbelengguan
manusia. Kondisi demikian mengantarkan para pemikir untuk
mengusulkan bangunan teologi baru yang lebih memihak
kepada sisi kemanuisaan. Dalam bagian ini diajukan Teologi
Pembebasan sebagai sebuah contoh kepekaan terhadap
problem aktual-eksistensial masyarakat. Pengambilan contoh
ini dimaksudkan untuk memberikan inspirasi betapa teologi
sebebnarnya bisa menjadi bagian dari agama yang sangat
fungsional. Bab ini dimaksudkan sebagai pengantar yang
mengarah kepada pentingnya perumusan ulang dan kerangka
teoritik untuk melihat gagasan pokok pada bab-ab
selanjutnya. Bab ini berisi tiga sub bab. Sub bab pertama
membahas tentang kemandulan Teologi Islam menghadapi
berbagai persoalan modern sehingga perlu diadakan
reformulasi. Sub bab kedua akan memaparkan sejarah
munculnya Teologi Pembebasan. Sub bab ketiga berisi
beberapa paradigma teologi, yaitu tradisional, rasional,
fundamental dan transformatif. Sub bab ini dimaksudkan
untuk memberikan kerangka teoritis dalam mengidentifikasi
pola pemikiran Ashgar.

14
Setelah kerangka teoritis pada bagian sebelumnya,
berikutnya akan menyajikan data berkaitan dengan sosok
Ashgar Ali Engineer sebagai salah satu pemikir yang
menawarkan bangunan baru dalam struktur teologi yang
keluar dari pakem teologi yang sudah ada. Selain riwayat hidup,
baik sosial maupun akademiknya, juga diuraikan mengenai
sumber dan kerangka metodologisnya. Data-data ini dirasa
penting untuk memberikan landasan dan mencermati aspek
konseptual teologis yang ditawarkannya. Pada bab ini ada tiga
sub bab. Masing-masing adalah riwayat hidup dan karya-karya
Ashgar; sumber yang memberi inspirasi untuk
memformulasikan pemikirannya; dan kerangka metodologis
yang digunakannya untuk menganalisis sumber inspirasi.
Bagian berikutnya, yang merpakan bagian terpenting
dari seluruh bagian buku ini, adalah konstruk baru teologi
yang tidak berkutat pada terma-terma teologis. Berdasarkan
kesadaran sejarah kemanuisaan, maka terma-terma teologis
harus dipahami dengan menyertakan seperangkat analisis
sosial. Itu sebabnya pada bagian ini dipilih lebih mengarah
pada muatan-muatan konseptual dan karakteristik teologi
Asghar Ali Enginer. Adapun konsep-konsep kunci tersebut
adalah tauhid-syirk, mukmin-kafir, adil dan jihad.
Dalam bab selanjutnya akan ditemukan sebuah
perubahan yang amat mendasar dari paradigma lama menjadi
sebuah paradigma baru yang menjanjikan. Tentu saja
termasuk juga kelebihan dan kekurangannya.

15
Terakhir, seluruh rangkaian tulisan akan diakhiri
dengan bagian yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

16
BAB II
KERANGKA PARADIGMATIK TEOLOGI ISLAM

A. Kemandulan Teologi dalam Merespon Persoalan


Aktual

Sebelum membicarakan tentang persoalan utama, ada


baiknya dibahas terlebih dahulu bagaimana teologi dalam
Islam yang ada mengaktualisasikan dirinya. Hal ini penting
mengingat upaya utnuk memotret, memberikan sebuah
penilaian, apakah sistem teologi tertentu mempunyai
efektivitas atau tidak, harus dilihat bagaimana pola pikirnya
yang pokok dan pengalaman kesejarahannya. Tentu saja di
sini tidak akan ditampilkan secara keseluruhan sistem teologi
yang ada, melainkan hanya beberapa yang mewakili arus besar
hingga saat sekarang.
Secara historis, teologi sebenarnya bermula dari niat
tulus umat Islam untuk mempertahankan keimanan dari
serangan wakil-wakil sekte dan budaya lama. Sebagai kekuatan
baru yang menang dalam berbagai medan pertempuran sistem
keyakinan,21 Islam mendapatkan berbagai gempuran dari
aliran-aliran filsafat, agama dan kepercayaan yang ada di
sekitar di mana mereka hidup, terutama filsafat Yunani, agama
Yahudi, Kristen dan Zoroaster serta faham-faham Jabariyah
dan Qadariyah. Karena sifat mempertahankan diri inilah,
maka tulisan-tulisan dalam teologi klasik dibuat dalam

21
Hassan Hanafi, From Faith to Revolution (Cordoba, Spain,
1985), hlm. 4.
17
bentuk perdebatan, yang di dalamnya logika menempati posisi
yang sangat penting. Demikian pula, teologi klasik sering,
untuk menghindari kata selalu, terimplementasi dalam
rumusan apalogetik. Atau bisa jadi persoalan itu berwujud
adanya pemahaman masyarakat dan atau kelompok tertentu
yang dianggap salah oleh masyarakat dan atau kelompok lain
yang berbeda, sehingga perlu diadakan koreksi terhadapnya.
Itulah sebabnya, menurut Nurcholish, Teologi Islam tidak
bisa disebut teologi semata melainkan teologi dialektik.22
Pemahaman historis ini menujukkan bahwa teologi
tidak lebih adalah formulasi pemikiran ketuhanan yang
berusaha menjawab berbagai persoalan agama yang muncul
pada waktu tertentu. Karena sifatnya yang demikian, maka
teologi tidak lain juga merupakan bagian pemikiran Islam
yang seharusnya, selalu mengalami perkembangan. Akan
tetapi, dalam kenyataan, teologi yang berkembang saat ini pun
sama sekali tidak beranjak dari konsepsi-konsepsi teologi
klasik. Teologi seakan-akan menjadi dogma yang universal
sifatnya. Teologi, meminjam istilah Arkoun,23 telah
dimitologisasikan dan diidiologisasikan. Akibatnya, sangat

22
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), Islam, hlm. 202.
23
Dalam kaitannya dengan pemikiran Islam, Arkoun banyak
menggunakan istilah mitologisasi dan idiologisasi untuk pembakuan
pemikiran. Yang dimaksud dengan mitologisasi adalah penegasan
berbagai kepercayaan dan gambaran yang menggerakkan kelompok
besar di balik selubung ilmiah dan rasional. Sedangkan idiologisasi
adalah penggunaan sejumlah terbatas gagasan yang disederhanakan
untuk mengarahkan kekuatan-keuatan sosial menuju tindakan-tindakan
tertentu. Baca: Mohammad Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikr al-Arabi al
Islami (Bairut: Markaz al-Inma al-Qoumi, 1988), hlm. 211-213.
18
terasa betapa masing-masing sistem teologi tersebut
sedemikian tak berdaya menghadapi berbagai persoalan
modern.
Kelompok Khawarij, untuk menyebut salah satu arus
besar, dalam perjalanan sejarah adalah golongan yang ekstrim
dan eksklusif. Al-Syahrastani menengarai kelompok ini
sebagai kelompok yang menyempal dari pemerintahan Islam
yang syah, baik pada masa sahabat, tabiin maupun
pemerintahan sesudahnya dalam setiap masa.24 Akar-akar
mereka sebenarnya semula adalah pengikut Ali, tetapi dengan
berbagai pertimbangan, ketidaksesuaian keyakinan politis,
akhirnya mereka menyatakan keluar. Bagi mereka satu satunya
hukum adalah hukum Allah (la hukma illa li Allah). Sebagai
dasar legitimasinya, kaum Khawarij menciptakan
doktrin-doktrin teologis, berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an
sebagai pegangan formal yang sesungguhnya merupakan
manifestasi dari nilai-nilai budaya kaum badui. Dengan
doktrin tersebut, mereka sebenarnya berusaha
mengidentifikasi dirinya dalam struktur masyarakat yang
mulai berubah.
Intoleran, fanatis dan ekslusif inilah ciri Khawarij. Ciri
ini diangkat dan dimunculkan hampir-hampir pada level
kredo. Kredo inilah yang pada akhirnya mengilhami mereka
untuk melakukan perubahan politik melalui kekerasan dan
kekalapan. Akibatnya mereka banyak melakukan penyerangan
terhadap, tidak saja pemerintahan yang syah, tetapi juga

24
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr,
tth.), hlm. 114.
19
orang-orang yang mereka sebut “pengecut-pengecut yang
menyesuaikan diri dengan keadaan”.25 Dalam kerangka
operasionalnya, ada tiga gerakan yang dilakukannya: Takfir,
Hijrah dan Jihad.26 Takfir dilakukan kepada kelompok yang
dipandang sudah menyimpang dari ketrentuan dan hukum
Tuhan. Siapa pun yang tidak tunduk kepada hukum-Nya,
tentu saja yang sesuai dengan pengertian mereka yang
biasanya diturunkan dari pemahaman tekstual, adalah kafir.
Setelah proses pengkafitan ini, konsekuensinya kelompok
Khawarij harus berhijrah, memisahkan diri dari orang-orang
yang telah dipandang sesat tersebut. Selanjutnya disusul
dengan penyataan dan pelaksanaan jihad, perang dengan
orang “kafir”.
Meski kelompok Khawarij tidak berumur panjang,
karena eksterimitasnya, ia menjadi semacam prototype bagi
banyak kelompok keras yang muncul dalam masa-masa
belakangan hingga zaman kontemporer. Kelompok
kelompok radikal yang muncul seakan mensistematisasikan
pola gerakan dan aktivitas Khawarij. Tentu saja, dalam
konteks sekarang kelompok-kelompok ini lebih banyak
berhenti pada pengadopsian pandangan daripada sebagai
sebuah gerakan yang mempunyai semangat keagamaan tinggi
tanpa disertai pengetahuan yang memadai.

25
Fazlurr Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:
Pustaka, 1984), hlm. 244-246.
26
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 141.
20
Berbeda dengan sistem teologi Khawarij yang
mendasarkan sepenuhnya kepada doktrin-doktrin tekstual
yang terkesan kaku dan rigid, Mu’tazilah adalah sistem teologi
yang sangat menekankan aspek rasionalitas. Manusialah pusat
sistem teologinya (anthroposentris). Mereka berusaha
memeperkenalkan lima prinsip keimanan yang terdiri dari
tauhid, al-‘adl, al-wa’ad wa al-wa’id, al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy
‘an al-munkar, al-manzilah bain al manzilatain.27 Sebagai
representasi dari kelompok rasionlitas. Yang lahir dari
keprihatinan realitas kognitif, tentu saja mereka memaparkan
sistem teologinya secara filosofis dan jelimet. Akibat sistem
teologinya menjadi sangat elitis. Ia hanya menjadi konsumsi
bagi orang-orang yang terdidik secara intelektual sehingga tak
mampu menyentuh akar-akar persoalan pada masyarakat
bawah.
Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip
ajaran yang dipropagandakan Mu’tazilah adalah “keadilan”-
suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,
terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang
dilakukan penguasa. Keadilan Allah dipahami sebagai bahwa
semua perbuatan-Nya adalah baik. Ia tidak melakukan sesuatu
yang tidak baik dan tidak meninggalkan apapun yang
merupakan kewajiban bagi-Nya.28 Keadilam, dalam prespektif
Mu’tazilah, mengimplikasikan adanya kebebasan berkehendak
dan bertindak (free will and free act). Akan tetapi, lantaran dasar

27
Mengenai kelima prinsip ini bisa dibaca secara
komprehensip dalam al-Qadli Abd al-Jabbar, Syarh Ushul al-Khamsah
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1965).
28
Ibid., hlm. 132.
21
keprihatinannya yang elitis tadi, keadila yang dimaksudkan
adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis) yang berkaitan
dengan “peranan” Tuhan di hari kemudian, bukan keadilan
sosiologis. Bahkan dalam implementasinya, Mu’tazilah malah
jatuh ke dalam praktek-praktek tindak ketidakadilan.
Kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan oleh
umat, kelompok Mu’tazilah ini justru bergandengan dengan
rezim yang berkuasa untuk melakukan tidak sewenang wenang
terhadap siapa saja yang tidak mensukainya.
Prinsip keadilan, yang di tindak lanjuti dengan prinsip
Amar Ma’ruf Nahi Munkar, malah merisaukan banyak pihak
yang tidak seide. Seperti diketahui, dengan dalil itu, Mu’tazilah
telah melancarkan intrik terhadap orang lain yang menerima
doktrin-doktrin teologisnya dan menimpakan hukuman atas
siapa saja yang mencoba menolaknya tragedi teologis ini
dikenal dengan sebutan mihnah, inquisition- di lakukan dengan
dukungan tengah-tengah kekuasaan dan birokrasi pemerintah
yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.
Kelemahan lain yang dirasakan, sebagai akibat lebih
jauh, adalah keinginan mereka untuk “menurunkan” Tuhan
dan agama hanya pada dataran kognitif semata. Meminjam
istilah Iqbal, mereka berusaha mereduksi agama menjadi
semata-mata sistem konsep yang logis sehingga memisahkan
pemikiran keagamaan dari pengalaman kongret manusia29

29
Mohamad Iqbal, The Reconstruction Relegious Thought in Islam
(New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), hlm. 5. Dalam bukunya ini Iqbal
mengatakan “The Mu’tazilah…..reduced religion to a mere sytem
logical concepts ending in a purely negative attitude. They failed to see
22
Arus besar lain yang saat sekarang ini masih sangat di
rasakan adalah sistem teologi Asy’ariyah. Ia didirikan di atas
kerangka landasan yang sangat teosentris. Segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini pada hakikatnya bergerak atas ketentuan
Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemampuan untuk
menentukan hasil dari yang diinginkan. Bagi umat Islam yang
umumnya bersifat sederhana, kerangka pemikiran seperti ini
menjadi lebih mudah di terima karena tetap meletakkan
Tuhan sebagai yang di atas segalanya. Itulah sebabnya sistem
teologi ini menjadi sangat mengakar di masyarakat. Implikasi
sistem teologi ini menjadi kemampuan akal manusia dalam
menghadapi segala realitas mempunyai daya yang lemah.
Dalam konsep keadilan, misalnya, sekalipun obyek
pembicaraanya sama yaitu keadilan di “dunia lain” tetapi
konsep keadilan Asy’ariyah jauh berbeda dengan Mu’tazilah,
jika konsep keadilan Mu’tazilah lebih berorentasi pada
keseimbangan antara pemberian dan penerimaan, perbuatan
dan balasan, maka konsep keadilan Asy’ariyah lebih di
landaskan pada adanya otoritas subyek. Keadilan adalah hak
prerogatif Allah.30 tidak ada yang melawan. Allah tidak bisa
disalahkan. Allah berada di luar segala yang ada karena dia-lah
yang menentukan segalanya, termasuk perbuatan baik dan
buruk manusia.31 Jadi, konsep ini sesungguhnya merupakan
imbas langsung dari adanya kelemahan manusia. Tak ada

that in the domain of knowledge- scienentific or religious- complete


independence of thought from concrete experience is not possible.”
30
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 72.
31
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ’an Ushul al-Diyanah
(Kairo: Idarah al-Muniriyyah, tth.), hlm. 9.
23
kemampuan untuk menentukan perbuatan sendiri, karena
semuanya telah ditentukan (predestination). Sekalipun
manusia mempunyai usaha (kasb)32 tetapi tidak efektif.
Konsepsi demikian ini, pada dataran manifestasinya,
tentu dengan sangat subur menumbuhkan kesalahpahaman,
bahkan menjadi alat legitimasi bagi praktek kehidupan yang
keliru. Di satu sisi, jika tidak ada kemauan etis dari manusia
untuk memahami secara arif, maka akan sangat potensial bagi
mereka untuk menjadikan konsep-konsep tersebut, sebagai
sandaran teologis. Bagi penguasa, misalnya, ini akan menjadi
alat legitimasi yang ampuh bagi dirinya sendiri, bahwa
keberadaannya sebagai penguasa merupakan pilihan dan
ketentuan Tuhan. Demikian pula segala kebijakan yang di
lakukan dan peraturan-peraturan yang di undangkan. Di sisi
lain, bagi masyarakat konsep ini menjadikan mereka tak ambil
peduli bahkan menerima begitu saja apa yang terjadi tanpa
ada keinginan untuk mengubahnya. Barangkali, karena inilah
Hasan Hanafi dan kelompok yang kekirian-kirian akhinya
melancarkan kritik dengan pedas. Hasan Hanafi, misalnya,
menyebut Asy’ariyah sebagai ideologi kekuasaan.33
Setidaknya itulah yang terbukti dalam sejarah. Fakta
historis menunjukkan, bahwa aliran Asy’ariyah telah berhasil
menarik rakyat banyak di bawah naunganya berkat campur
tangan khalifah al-Mutawakkil ketika ia membatalkan aliran
Mu’tazilah sebagai paham resmi waktu itu.

32
Ibid. , hlm. 54.
33
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan
Postmodernisme (Yogyakarata: LKiS, 1993), hlm. 91.

24
Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi
Asy’ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya terhadap
dinasti yang berkuasa sebagai konsekuensi logis dari faham
manusia lemah dan patuh pada penguasa. Dengan demikian,
ia sering dapat dukungan dari, bahkan menjadi aliran dinasti
yang berkuasa. Ia juga menghilangkan kesadaran pemikiran
rasionalisme di dunia Islam, dengan akibat kemunduran umat
Islam selama berabad-abad.
Menurut Asy’ariyah, karena akal manusia mempunyai
daya yang lemah, penganut aliran ini kurang mempunyai
ruang gerak, ia terikat tidak saja pada dogma-dogma tetapi
juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzonni, yaitu ayat
ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain dari arti
leterlek, tetapi mereka artikan secara leterlek. Dengan
demikian para penganut teologi ini sukar dapat mengikuti dan
mentolelir perubahan serta perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat modern. Selain itu, ia dapat merupakan salah satu
dari faktor-faktor yang memperlambat kemajuan dan
pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi Sayyed Ameer Ali
mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam
sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme
Asy’ariyah. Paham bahwa semua yang terjadi, temasuk
perbuatan manusia adalah atas kehendak Tuhan
menghilangkan makna petangungjawaban manusia atas segala
perbuatannya.
Perbedaan-perbedaan karateristik arus besar teologi
itu membawa pada persialitas implementatif ketika di
hadapkan pada berbagai problema aktual dan eksistensial
manusia. Pemahaman yang kaku, akan tidak bisa mengikuti

25
laju perkembangan dan kebutuhan hidup manusia karena
tersekat dengan sangat ketat. Elitisme hanya mampu
memberikan jawaban-jawaban kepada sekelompok kecil umat
manusia. Fatalisme tidak akan dapat memberikan gairah, etos
kerja dan dinamika dunia yang harus selalu berubah dan
berkembang. Secara keseluruhan, sistem Teologi Islam
tersebut menjadi mandul dan tak mampu menjawab persoalan
aktual dan eksisitensial manusia.
Persoalan aktual dan eksistensial adalah persoalan
realitas hidup, sedangkan persoalan teologis, dalam pengertian
di atas, adalah persoalan spekualatif dan metafisik.
Sebagaimana diuraikan pada bagian depan, bahwa teologi
adalah ibarat sebuah karpet, sedangkan segala sesuatu yang
lain adalah benda-benda yang di atasnya, tentu posisi teologi
menjadi amat fundamental. Bagaimana pun tatanan segala
sesuatu sangat di tentukan oleh landasan yang diberikannya,
kalau pengandaiannya seperti itu, maka Teologi Islam, yang
nota bene adalah produk masa klasik dan skolastik, jika tidak
diadakan perumusan ulang, memang tidak banyak bisa
diharapkan untuk memecahkan persoalan kontemporer.
Dalam persoalan sosial, ekonomi, politik dan
teknologi yang sekarang ini terjadi, manusia sering kali
melakukan perekayasaan dan mereka berhasil dengan baik, ini
tentu akan membuat orang-orang bertanya tentang tempat
Tuhan dalam persoalan proses-proses seperti itu. Jawaban
yang di berikan oleh sementara pihak, rasionalis, adalah
bahwa Tuhan cmpur tangan dalam proses itu melalui hukum
alam mungkin bisa memuaskan. Tetapi akan segera muncul

26
persoalan lain, misalnya, lantas apa “pekerjaan” Tuhan setelah
hukum alam itu berjalan.
Terhadap ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa
bumi ini hanya akan di warisi oleh hamba-hamba Allah yang
saleh,34 juga akan menimbulkan pertanyaan. Mengapa dunia
Islam, yang tentu saja secara nomatif lebih saleh, tidak
mampu menguasai dunia? Malah orang-orang non-muslim,
yang tidak saleh, yang menguasainya. Demikian pula, siapa
yang menolong Allah pasti Allah akan menolongnya,35 tetapi
kenyataannya justru Islam yang selalu mengalami kekalahan.
Kita juga melihat dan menyaksikan keruntuhan moral yang
dialami oleh bangsa-bangsa dan individu-individu yang
mengindentifikasi diri kepada keyakinan agama Islam.
Ketidakadilan, perampasan hak, ketidakpedulian pada
persoalan kaum tertindas, tipisnya solidaritas antara individu
dan sebagainya merupakan hal-hal yang kita temukan sehari
hari di dunia Islam.
Muhammad A. al-Buraey dalam desertasinya berjudul
Administrative Development: an Islamic Perspective yang di ajukan
pada Univesitas North Carolina memberikan gambaran
menarik mengenai ketidakberdayaan kondisi Islam tersebut.
Ia menyebutkan sebagai “berada di lubang kadal” ( in the lizrd
hole).36 Dalam aspek politik, misalnya, ia mencatat bahwa dari
ke-47 negara OKI, pada tahun 80-an, 22 diantaranya

34
QS al- Anbiya’/ 21: 105.
35
QS al-Hajj/ 22: 40.
36
Muhammad A. al-Buraey, Administrative Development: an
Islamic Persepective terj. M. Nashir Budiman. (Jakarta: Rajawali,
1986), hlm. 212-221.
27
merupakan Negara diktator, baik oleh militer, sipil, maupun
satu partai.37 Sementara itu dalam aspek ekonomi, dunia Islam
justru terjadi kesenjangan yang sangat luar biasa tetapi,
anehnya, mereka dengan lantang menyuarakan adanya
solidaritas sosial.38
Senada dengan penilaian al-Buraey, Kuntowijoyo:
yang mencoba mengetengahkan hasil penulisan Gerhald
Lenski bahwa di negara sosialis kesenjangan, kasus Rusia,
maksimal AS, bisa mencapai 1: 25, sedangkan di Negara
kapitalis, kasus AS, bisa mencapai 1 : 11.000; menyatakan
bahwa kesenjangan di Negara ketiga, di mana sbagian besar
dunia Islam berada, bisa puluhan ribu kali lipat, tanpa
menyebut angka pasti. Dengan kata lain, ketidakadilan
distribusi pendapatan yang paling banyak terjadi adalah di
duia ketiga.39 Bahkan, Arief Budiman menandaskan, ada kesan
kuat bahwa kemiskinan identik dengan Islam. Sebaliknya
Kristen identik dengan kekayaan.40
Melihat kenyataan ini orang lalu dapat bertanya, apa
kaitan antara keimanan dan perilaku orang yang beriman?
Kesalahan atau ketidakberesan seperti ini bisa jadi disebabkan
oleh banyak faktor, namun kiranya tidak terlalu jauh dari
kebenaran kalau dikatakan bahwa kesalahan keimanan secara
konseptual (baca: teologi) merupakan salah satu penyebab.

37
Ibid., hlm. 162-163.
38
Ibid., hlm. 204-209.
39
Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung : Mizan, 1991),
hlm. 296-297.
40
Arief Budiman, “Dimensi Sosial Ekonomi Konflik” dalam
Th. Sumartana, Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta:
Dian/Interfidei, tth.), hlm. 190.
28
Dengan demikian, perlu diadakan pemikiran ulang terhadap
konsep keimanan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kenyataan
kehidupan masa kini, terutama iptek dan akibat-akibat yang di
timbulkannya merupakan tantangan yang harus di hadapai
oleh para teolog. Ini tidak berarti bahwa kaum muslimin
harus anti iptek, melainkan bahwa perumusan teologi yang
telah dibuat orang selama ini ternyata sudah tidak lagi efektif
untuk membekali dalam masa iptek dan infomasi. Ini juga
tidak berarti bahwa orang-orang terdahulu telah berbuat
kesalahan dalam penyusunan ilmu ini. Mereka bisa jadi telah
berhasil menghadapi tantangan zaman mereka, namun untuk
tantangan masa kini senjata mereka tidak lagi berdaya guna.
Dalam kondisi Teologi Islam yang mandul demikian
ini, wajar jika kemudian di sana sini muncul gugatan untuk
melakuakan reformasi teologis yang bersifat transformatif
seperti teologi pembebabasan.

B. Teologi Pembebasan: Sebuah Contoh Kecil

Pada akhir-akhir ini, secara sadar maupun tidak sadar,


teologi pembebasan, yang berasal dari khazanah pemikiran
Kristen, telah dicoba diadopsi oleh para pemikir Islam, baik
secara jelas menggunakan nama yang sama dengan
seperangkat metode analisis dan pemecahan masalah maupun
sebatas mengunakan term-termnya saja. Pemikiran yang
bercorak pembebasan tersebut nampak kejelasannya setelah
munculnya Hasan Hanafi (Mesir) dengan gerakan al-Yasar al
Islami, Ziaul Haq (Pakistan, bukan mantan presiden), Ashgar

29
Ali Engineer (India) dengan Teologi Pembebasan Islam,
Moeslim Abdurrahman (Indonesia) dengan Teologi
Tranformatif, Farid Essack (Afrika selatan), Masdar Farid
Mas’udi (Indonesia) dengan Teologi Populis, Mansour Fakih
dengan Teologi untuk Kaum Tertindas dan sebagainya.
Sekalipun terjadi perbedaan istilah namun secara prinsipil
kerangka berfikir mereka tidak jauh berbeda yaitu bertumpu
pada filsafat praksis: kesatuan dialektis antara teori dan aksi,
teori dan praksis, iman dan amal.
Tema pemihakan kepada masyarakat yang tak berdaya
dengan menggunakan kesatuan dialektis antara teori dan aksi
tersebut banyak dipengaruhi oleh lahirnya Teologi
Pembebasan dalam Kristen. Tema ini muncul pertama kali
dalam perbincangan delapan belas bishop dari negara-negara
dunia ketiga dan semakin menguat bentuknya pada
konferensi para bishop di Amerika Latin di Medellin pada
tahun 1968.41 Pada mulanya istilah tersebut merupakan reaksi
terhadap istilah “pembangunan” yang tumbuh subur di
Amerika Latin dan negara lain yang membawa misi sistem
ekonomi politik liberal kapitalis. Istilah pembangunan ini
direaksi dengan keras karena banyak membawa karakteristik
yang tidak menguntungkan. Pertama, ia akan melanggengkan
struktur dan sistem ekonomi yang eksploitatif atau struktur
kelas sosial yang tidak adil. Kedua, mengandung dominasi
kultural dan deologi pemaksaan maupun penjinakan dengan
berusaha untuk menciptakan konsep realitas di masyarakat
bawah dengan mempengaruhi moralitas, kebiasaan, prinsip

41
Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History,
Politics and Salvation (New York: Orbis Books, 1973), hlm. 35.
30
keberagamaan, politik serta hubungan sosial. Ketiga,
membawa dominasi pengetahuan yakni dengan
menyingkirkan semua bentuk pengetahuan non-positivistik.
Keempat, melanggengkan dominasi laki-laki dan penindasan
perempuan di dunia ketiga. Kelima, membawa masalah
lingkungan bagi dunia ketiga.42 Dari berbagai watak tersebut,
menunjukkan bahwa diskursus pembangunan merupakan
proses pendominasian oleh yang kuat secara intelektual,
politik, ideologi, ekonomi dan budaya.
Dalam konteks inilah maka para teolog kontemporer
mengajukan perbaikan sosial sebagai dialektika teori-praxis
sebagai agenda. Hal ini terlihat dari perumusan mereka
mengenai pembebasan. Leonardo Boff, misalnya, memahami
bahwa pembebasan adalah proses menuju kemerdekaan, baik
merdeka dari segala bentuk sistem yang menindas maupun
bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang
memungkinkan manusia untuk menentukan dirinya sendiri,
tujuan-tujuan hidup, politis, ekonomi dan kulturnya.43
Sedangkan menurut Gutierrez, pembebasan bukan saja
refleksi dalam iman yang muncul dari tindakan untuk diri
sendiri melainkan merupakan proses yang total, utuh dan
menyeluruh dalam setiap segi kehidupan manusia, yang
menyatakan aksi penyelamatan Tuhan dalam sejarah.44

42
Mansoer Fakih. “Teologi Kaum Tertindas” dalam Agama
dan Aspirasi Rakyat (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1994), hlm. 215- 220.
43
F. Wahono Nitiprawira, Teologi Pembebasan, Sejarah,
Metode Praksis dan Isinya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987),
hlm. 17.
44
Gutierrez, Theology, hlm. 21-22.
31
Gustavo Gutierrez , yang lahir pada tahun 1928 di
Lima, melalui bukunya Teologia de Liberacion mengatakan
bahwa ateisme dan rasionalisme, yang menjadi tantangan bagi
teologi modern di Eropa, sama sekali tidak merupakan
bahaya di Amerika Latin. Semua rezim secara resmi
menyokong agama dan hanya sedikit orang ateis. Tetapi ateis
praktis yaitu orang yang tidak mau melaksanakan perintah
kitab suci dan yang hidup tidak manusiawi ternyata cukup
banyak. Bahkan harus dikatakan bahwa sistem sosial politik
Amerika Latin secara keseluruhan merupakan sistem yang
tidak cocok dengan hak kemanusiaan. Oleh karena itu,
kondisi sosial politiklah, dan bukan sistem ateisme yang
menjadi tantangan untuk teologi modern saat ini. Dalam
teologi jenis ini seseorang yang tidak peduli pada penderitaan
dan memeras orang lain adalah ateis praktis.45 Untuk itu
Gutierrez mengajukan adanya tiga unsur pembebasan yang
tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Unsur
unsur tersebut adalah pertama, pembebasan dari penindasan
sosial, ekonomi dan politik, kedua, pembebasan dari sistem
non-person artinya bahwa manusia harus dilihat sebagai
entitas kesadaran bagi nasibnya sendiri; ketiga, pembebasan
dari dosa, akar dari segala penindasan. Dari sini teologi
pembebasan bisa dipahami bahwa ia dengan sendirinya bukan
lahir dari adanya pemikiran reflektif para teolog sendiri
melainkan dari hasil sebuah sentakan realitas masyarakat dan
sekaligus merupakan jawaban terhadap masalah
46
kemasyarakatan yang ada. Dengan kata lain yang menggugah

45
Baca: Basis, No. 9-10 th. Ke-46, Sept-Okt 1997.
46
Gutierrez, Theology, hlm. 36-37.
32
munculnya jenis pemikiran seperti ini adalah kesadaran politik
yang mendorong urgensi mempersoalkan martabat manusia
yang dirusakkan oleh suatu sistem kehidupan bersama. Ia
didesak oleh kelemahan fundamental suatu suasana politik
yang menyebabkan sebagian orang kehilangan hak-hak
elementernya. Itu sebabnya teologi pembebasan bersifat kritis
terhadap penyelewengan yang memboncengi semangat
membangun.
Asumsi penting dalam Teologi Pembebasan atas
keberadaan manusia adalah bahwa manusia itu merdeka,
historis dan sosial. Merdeka berarti manusia mampu
mengatasi fisik dan kodratnya, mampu mengambil keputusan
dan pertimbangan secara kreatif. Keberadaannya yang historis
berarti bahwa ia terbuka secara konkret di dalam dan melalui
waktu. Oleh karenanya kemerdekaan manusia tidaklah
berlangsung sekali melainkan potensi yang menjadi realitas
melalui proses yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah.47
Dari asumsi ini Teologi Pembebasan disandarkan. Ia
merupakan sebuah tanggapan agama terghadap masalah
masalah penting pada zamannya yakni masalah makna sebuah
sejarah. Itulah sebabnya ia tertantang untuk menanggapi
fenomena zaman sekarang yang ditandai dengan penderitaan
dan penindasan massif manusia yang sudah sekian lama tak
terperhatikan. Masalah penderitaaan manusia menjadi
masalah teologis, bukan sekadar sosiologis. Isu teologi masa
kini didesak untuk memfokuskan diri pada problem sejarah
sebagai sejarah penderitaan, penindasan dan pemerdekaan.

47
Greg Soetomo, Revolusi Damai ( Yogyakarta: Kanisius,
1998), hlm. 91.
33
Nampak sekali bahwa Teologi Pembebasan diliputi
oleh makna historisitas dan kesadaran bahwa seluruh realitas
berada dalam waktu. Situasi sekarang adalah produk masa
lalu. Ini memberi implikasi bahwa teologi menjadi relevan dan
berhubungan dengan persoalan spesifik hidup manusia dalam
kerangka ruang dan waktu tertentu. Jika Amerikam Latin
sebagai tempat lahirnya Teologi Pemebasan, yang pada saat
itu dilanda penindasan dan penderitaan, maka tentu saja
teologi yang dibangun pun harus menyuarakan kepentingan
aktual dan eksistensial mereka.
Farid Essack, pemikir Islam yang juga sangat intens
mengembangkan jenis teologi ini, menyatakan bahwa teologi
pembebasan adalah pembebasan dari struktur sosial, politik
dan keagamaan yang didasarkan kepada kepatuhan tanpa
kritik dan kebebasan seluruh manusia dari seluruh bentuk
ketidakadilan dan eksploitasi termasuk yang disebabkan oleh
ras, gender, kelas dan agama. Teologi Pembebasan mencoba
untuk mencapai tujuan-tujuan melalui suatu proses yang
partisipatorik dan liberatorik. Artinya bahwa hal itu
diformulasikan oleh, dan dalam solidaritas dengan, mereka
yang mempunyai semangat pembebasan sosial politik dan
pembebasan personal agar menjadi nyata melalui partisipasi
mereka.48
Di sini terlihat jelas bahwa teologi adalah sebuah
reaksi terhadap sistem masysrakat yang tidak adil dan
mencoba mengkritik sistem teologi yang steril dengan

48
Farid Essack, Quran, Liberation and Pluralism: an Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), hlm. 83.
34
perlawanan yang konkret, yakni perombakan struktur
kekuasaan yang ada dan menggantikan dengan struktur
kekuasaan yang tidak eksploitatif. Oleh karena itu teologi
pembebasan merupakan orientasi keseluruhan refleksi
teologis yaitu orientasi pembebasan kaum miskin,
terpinggirkan dan tertindas. Walau demikian, teologi
pembebasan bukan partai politik, akan tetapi bersifat sangat
politis dalam arti yang sangat luas, yaitu tindakan yang
menyangkut kehidupan bersama dalam masyarakat. Teologi
Pembebasan ini juga dikategorikan sebagai prophetic theology
yang berpandangan bahwa Tuhan berpihak pada orang yang
menjadi korban ketidakadilan.49
C. Beberapa Paradigma Teologi

Dari beberapa arus teologi, sebagai mana diungkapkan


di atas, nampak sekali adanya perbedaan. Ketidaksamaan ini
sebenarnya sangat ditentukan oleh cara pandang yang diakui
atau tidak, sesungguhnya didasarkan pada adanya suatu
lapisan-lapisan yang secara struktural tak terlihat. Cara
pandang tersebut tunduk kepada berbagai aturan, yang
menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari
kenyataan, apa yang di anggap penting atau tidak penting,
hubugan apa yang diadakan antara berbagai unsur kenyataan
dalam penggolongan dan analisis dan sebagainya. Artinya,
setiap zaman memandang, memahami dan membicarakan
kenyataan dengan caranya sendiri-sendiri karena sruktur yang

49
J.B. Banawiratma, ”Pembebasan, Agama dan Demokrasi:
Sumbangan Teologi Pembebasan” dalam Agama Demokrasi dan
Keadilan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 80.
35
tak terlihat memang berlainan, cara pandang demikian ini
oleh Gedamer di sebut sebagai “praduga”, oleh Foucault di
sebut sebagai “episteme”, sedangkan oleh Thomas Kuhn
disebut sebagai “paradigm”.
Ada kesejajaran pemahaman antara Thomas Kuhn
dan Hans Kung ketika mereka memahami paradigma. Jika
Kuhn memandang sebagai latar belakang yang tak
tertanyakan atau seperangkat kepercayaan yang merupakan
persenyawaan sifat-sifat personal dan historis,50 maka Hans
Kung memahaminya sebagai “a total constellation: the conscious
unconscious total constellation of convictions, value, and pattern of
behaviour” (sebuah konstalasi total: konstelasi total baik yang
di sadari maupun tak di sadari mengenai keyakinan, nilai, dan
pola tingkah laku).51 Dari pengertian tersebut bisa dipahami
bahwa paradigma adalah kerangka referensi yang mendasari
sejumlah teori maupun praktek-praktek ilmiah dalam pereode
tertentu. Secara lebih ringkas, paradigma tidak lain dan tidak
bukan adalah model interpretasi atau model pemahaman.
Memperhatikan perjalanan pemikiran teologis Islam,
secara umum, barangkali tidak terlalu berlebihan jika di
katakan bahwa Teologi Islam ada sampai sekarang ini tetap
saja ortodoks dan klasik, karena menekankan pada teks-teks
masa lalu dan cenderung a priori terhadap karya-karya lain

50
Baca: Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution
di bawah judul ”Introduction: A Role for History” dan “The Priority of
Paradigms”. (Chicago: University of Chicago Press, 1974), hlm.1-9 dan
43-51. Baca juga: Ted Honderich (ed.), The Oxford Companion to
Philosophy (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 451.
51
St. Sunardi, “Dialog: Cara Baru Beragama” dalam Th.
Sumartana, Dialog, hlm. 81.
36
yang berusaha menyesuaikan dengan tuntutan zaman.52 Corak
pemikiran teologis yang seperti ini tentu saja tidak bisa di
salahkan karena memang itulah rumusan yang dirasa paling
baik untuk konteks waktu itu. Bagitulah lapisan struktural
pemikiran masyarakatnya.
Tetapi dalam kerangka teoritisnya, dengan adanya
perkembangan pemikiran teologis, ada beberapa paradigma
yang mungkin dapat di gunakan untuk memotret berbagai
teologi yang sudah dan akan terus berkembang. Beberapa
paradigma dimaksud adalah tradisional, rasional,
fundamentalis, transformatif.

1. Paradigma Tradisional
Paradigma ini berasumsi bahwa kehidupan ini
adalah deterministik. Hanya Tuhan yang tahu apa arti dan
hikmah dibalik ketentuan-Nya. Kemajuan,
keterbelakangan dan kemiskinan umat, misalnya, adalah
ketentuan Tuhan dan lebih merupakan ujian dari Allah
ketimbang sebagai persoalan di serahkan kepada Allah. “
We can never know what is right by independent reason but only by
revealation and derived sources”,53 demikian kata George F.
Hourani ketika membicarakan tentang tradisionalisme. Di
samping itu paradigma tradisional juga sangat kopromistik
terhadap tradisi. Cara pandang demikian ini, seperti kita

52
Baca: Luthfie Assyaukanie, “Islam Dalam Konteks
Pemikiran Pasca-Modenisme” dalam Ulumul Quran, no. 1 Vol. V th.
1994, hlm. 24.
53
George F. Hourani, “Ethical Presupposion Of The Qur’an”
dalam The Muslm Word, Vol. LXX No. 2 April 1980, hlm. 3.
37
lihat pada arus besar sistem teologi, paling banyak
menentukan rumusan teologis sunny (baca: Asy’ariyah).
Hal ini mengingat bahwa struktur masyarakat,
bagaimanapun, didominasi oleh kaum awam.
Kesederhanaan pemikiran dan kecenderungan
untuk menerima keadaan apa adanya, menjadikan mereka
lebih banyak bersandar dan berdasar pada konsep
kelemahan manusia dan bergantung sepenuhnya kepada
takdir tanpa disertai sikap kritis. Akibatnya, ketika sampai
pada dataran kognitif, paradigma ini tidak mampu
menggunakan alat analisa dengan baik. Paradigma ini,
akhirnya, menjadikan masyarakat kurang begitu menyakini
proses-proses kausalitas.

2. Paradigma Rasional
Hourani mengambarkan paradigma ini dengan
sebuah ugkapan singkat “what is right can be known by
independent reason”.54 Peryataan tersebut secara eksplisit
menegaskan bahwa dikatakan rasional karena melihat
segala sesuatu dalam ukuran kebebasan rasional dan
dimensi kausalitas. Paradigma ini banyak di gunakan di
kalangan modernis dan neo-modernis yang sering juga di
sebut developmentalis. Dalam perspektif mereka,
kemajuan suatu masyarakat sepenuhnya di tentukan oleh
kebebasan manusia sendiri. Sedangkan keterbelakangan
dipandang sebagai akibat dari adanya sesuatu yang salah
dalam teologi umat Islam, sehingga perlu pembaruan

54
Hourani, Ethical, hlm. 2.
38
teologi secara rasional. Kesalahan mendasar, menurut
paradigma ini, terletak pada sikap fanatic,
predeterminisme dan menyerah pada nasib serta etos
sosial dan etos kerja yang rendah.
Dalam kaitanya dengan Teologi Islam,
landasannya adalah keyakinan bahwa pada dasarnya Islam
itu bersifat rasional. Sehingga rasionalitas pun menjadi
entitas paling akhir dan paling menentukan untuk
kebenaran sebuah proposisi Islam. Karena itu yang
membuat paradigma rasional menjadi betul-betul rasional
adalah karena dalam paradigma ini termuat sifat kritis
dengan penghargaan yang besar pada peran akal.
Kritisismenya terlihat dalam tekanan-tekanan yang kuat
dalam membuat dan menetapkan distingsi-distingsi dan
katagori-katagori.55 Obsesi pokok dari paradigma ini
adalah membangun suatu teologi rasional yang
memperlihatkan fungsi wahyu bagi manusia, faham
kebebasan manusia, tentang sifat-sifat Tuhan, dan di
sekitar perbuatan Tuhan terhadap manusia. Disamping itu
mereka juga mengembangkan ekuilibrium dalam
kehidupan beragama yang praktis dan langsung pada
penghayatan Tuhan sehari-hari. Titik tolak mereka adalah
pemikiran klasik yang telah menyelamatkan Islam dari
serangan helenisme total.
Analisis yang dikembangkan oleh paradigma ini
biasanya adalah analisa semantik untuk melihat apa
sebenarnya gagasan moral al-Qur’an. Analisis semantik ini

55
Budy Munawar-Rachman, “Dari Tahapan Moral Ke Periode
Sejarah” dalam Ulumul Quran No. 3 vol . V1 th. 1995, hlm. 27.
39
dilakukannya selain dengan metode tafsir al-Qur’an, juga
dengan analisis sosial historis untuk melihat maksud
pengertian-pengertian awal dari istilah-istilah al-Qur’an.
Dengan demikian apa yang disebut dengan murni Islam,
mereka cari melalui pengungkapan makna dasar al-Quran
dan keseluruhan proses penerjemahannya dalam tradisi
Islam.

3. Pardigma Fundamental56
Terlepas dari konteks kemunculannya, istilah
fundamental, sebagaiman di kemukakan Ernest Gellner,
memiliki ide dasar bahwa ajaran pokok agama harus di
pegang kokoh secara rigid dan literalis, tanpa kompromi,

56
Istilah fundamental dalam kehidupan keagamaan maupun
gerakan Islam sering membikin repot, soalnya, kalau mengacu kepada
pengertian harfiahnya, maka semua orang yang percaya menurut rukun
iman dan menjalankan rukun Islam yang lima adalah kaum
fundamentalis. Apa yang disebut ajaran fundamental dalam Islam
tercakup dalam rukun iman dan rukun Islam itu. Praktis semua
madzhab atau aliran keagamaan dalam Islam tidak berselisih pendapat
mengenai dua hal itu. Beberapa aliran besar di dunia Islam seperti
Sunny,Syiah dan Ahmadiyah tentu saja adalah fundamentalis.
Sementara itu penggunaan istilah fundamental nampaknya di
maksud untuk fenomena lain.istilah itu menimbulkan suatu citra
tertentu, misalnya ekstrimisme, fanatisme atau bahkan terorisme dalam
mewujudkan atau mempertahankan keyakinan keagamaan. Mereka
yang di sebut kaum fundamentalis sering disebut sebagai tidak rasional,
tidak moderat dan cenderung unuk melakukan tindakan kekerasan jika
perlu. Dawam Raharjo, “Fundamentalisme” dalam Muhammad
Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam
(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 85-86.
40
pelunakan, reinterpretasi, dan reduksi.57 Dari gambaran
yang diberikan Gellner di atas bisa diketahui bahwa yang
dimaksud paradigma fundamental adalah suatu cara
pandang masyarakat yang segala sesuatunya dirujukkan
kepada kitab suci. Dalam konteks ini, keterbelakangan
tentu saja dipandang karena adanya idiologi dan agama
lain yang lebih dijadikan referensi ketimbang al-Qur’an.
Maka paradigma ini menyerukan kembali kepada al Quran
secara konsekuen dan memperkokoh persatuan umat
dalam satu kepemimpinan tunggal dan menentang segala
yang berbau non-Islam. Akibatnya, sebagaima disinggung
di depan, paradigma ini cenderung bersifat kaku dan
literalis karena al-Quran dan Sunnah sebagai sumber
adalah universal, melintasi batas ruang dan waktu, serta
serba mencakup. Kecenderungan demikian ini sengaja
dikembangkan dengan alasan demi menjaga kemurnian
doktrin dan pelaksanaanya. Pelaksanaan doktrin secara
murni dan utuh adalah satu-satunya cara dalam
menyelamatkan manusia dari kehancuran.
Interpretasi-interpretasi hanya akan membawa doktrin yag
tadinya universal menjadi partikular. Akibatnya agama
akan kehilangan identitas karena tenggelam dalam
derasnya proses perubahan, adaptasi dan akulturasi
budaya.
Barangkali apa yang diajukan oleh Marty, ketika
membicarakan gerakan fundamentalisme cukup
representatatif mewakili untuk menyebut karakteristik

57
Ernerst Gellner. Postmodernism : Reason and Religion
(London : 1992) , hlm. 2.
41
paradigma ini. Ia mengemukakan empat prinsip. Pertama,
fundamentalis adalah oppositionalism, paham perlawanan
terhadap segala sesuatau yang dianggap mengancam jati
diri dan eksistensi Islam. Kedua, fundamentalisme
merupakan penolakan terhadap hermeneutika. Teks al
Qur’an harus dipahami secara literal, sebagaimana adanya,
karena nalar dipandang tak mampu memberikan
intepretasi terhadap teks. Ketiga, fundamentalisme
merupakan penolakan terhadap pluralisme dan relativisme
karena keduanya merupakan pemahaman yang keliru
terhadap teks al-Qur’an. Keempat, fundamentalisme
merupakan penolakan terhadap perkembangan historis
dan sosiologis. Masyarakat harus menyesuaikan, bila perlu
dengan kekerasan, perkembangannya dengan teks al
Qur’an, bukan sebaliknya teks atau penafsirannya yang
mengikuti perkembangan masyarakat.58

4. Paradigma Transformatif
Mungkin ini merupakan paradigma alternatif dan
hasil renungan terhadap ketiga paradigma di atas, yang
dianggap kurang relevan dan kurang bermakna terhadap
realitas sosial politik yang sering terjadi berbagai dominasi
dan peminggiran kaum miskin. Itulah sebabnya,
paradigma ini berasumsi bahwa keterbelakangan
disebabkan adanya struktur dan sistem yang tidak adil dan
hanya menguntungkan sebagian pihak. Oleh karena itu

58
Lihat: Azyumardi Azra, Pergolakan Polit\ik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme (Jakarta:
Paradigma, 1996), hlm. 109-110.
42
tema yang dikembangkan adalah bagaimana menciptakan
struktur dan sistem yang lebih baik untuk membebaskan
masyarakat muslim yang terbelakang dari dominasi
struktural. Ada enam ciri pokok dalam paradigma ini,
yaitu:
a. Teologi bukanlah semata-mata persoalan abstrak
sehingga tercerabut dari akar-akar sosio-psikologisnya.
Ia harus bertautan dengan visi sosial yang
emansipatorik.
b. Teologi transformatif merupakan artikulasi pesan
agama dan bukan agama itu sendiri.
c. Model ideal yang dirumuskan dari proses dialog antara
superstruktur dan realitas.
d. Basis otoritas bertumpu dan untuk kepentingan umat,
profesionalisme agama hanya untuk pendampingan. e.
Berorentasi pada praksis, bukan dakwah agama karena
dakwah agama biasanya berorentasi pada membangun
symbol permukaan. Sedangkan praksis agama yang
sejati berorentasi kepada bagaimana menegakkan
basis nilai keberagamaan yang essensial.
f. Berfungsi sebagai institusi kritis terhadap jebakan struktur
yang melawan pesan dasar agama, termasuk struktur yang
dibangun oleh proses sosiologis.59 Perhatian utama adalah
suatau tranformasi sosial, bukan dalam pegertian mereka yang
menekankan

59
Moeslim Abdurrahman, “Wong Cilik dan Kebutuhan
Teologis Transformatif” dalam Masyhur Amin (ed), Teologi
Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM
NU DIY, 1989), hlm. 160-161.
43
pembangunan klas menengah Islam yang kuat secara
ekonomis, politis dan kometmen terhadap nilai dasar Islam,
tapi transformasi itu termuat adanya empowerment of the people
untuk mengorganisisir diri dalam memperbaiki harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian jelas bahwa
tekanannya bukan mengusahakan transformasi masyarakat ke
arah kemodernan saja, tetapi mentransformasikan struktur
struktur masyarakat yang menindas, ke arah struktur yang
lebih fungsional dan humanis, untuk realisasi martabat
manusia.
Semua usaha dilakukan dalam dua moment. Pertama,
memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk
membebaskan dirinya dari belenggu penindasan stuktural,
melalui penyadaran. Kedua, mencari visi al-Qur’an dalam
emansipasi masyarakat tertindas. Karena itu daur kerja
mereka adalah dari idiologi ke aksi dan refleksi. Semua proses
tersebut dimulai dengan kritik idiologi, yaitu penelanjangan
legitimasi kekuasaan yang menjadi dasar penindasan, sekaligus
memperlihatkan penafsiran-penafsiran yang terdistorsi dari
maksud dasar al-Qur’an yang pada dasarnya bersifat
emansipatoris.60

60
Budhy Munawar-Rochman, “Dari Tahapan Moral” dalam
Ulumul Quran, hlm. 29. Baca juga: Mansour Fakih, “Teologi yang
Membebaskan Kritik terhadap Developmentalisme” dalam Ulumul
Quran no. 3, vol. VI, th. 1995, hlm. 100-103.
44
BAB III
ASGHAR ALI ENGINEER
DAN LATAR BELAKANG SOSIALNYA

Sebuah pemikiran tentu saja tidak bisa terwujud dalam


suatu kehampaan. Ia selalu saja dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Bisa jadi faktor internal seperti latar belakang
pendidikan pemikir dan penggunaan berbagai kerangka;
metode serta pendekatan yang digunakannya untuk
menganalisis data, mengeksplanasi pemikirannya, maupun
faktor eksternal seperti kondisi sosial, politik, dan intelektual
masyarakat, baik makro maupun mikro yang di dalamnya ia
hidup. Oleh karena itu, suatu keharusan untuk memahami
latar belakang mengapa dan bagaimana pemikiran Asghar Ali
terbentuk melalui penelusuran riwayat hidup, sumber-sumber
dan kerangka metodologis pemikirannya.
A. Riwayat Hidup dan Karya

Asghar Ali Enginer lahir pada 10 Maret 1940 di Kalkuta,


India, dari pasangan Syaikh Qurban Husain dan Maryam.
Ia adalah seorang insiyur sipil. Berbeda dengan para
pemikir kontemporer lain yang sebagian besar
mendapatkan pendidikan di luar negeri, pendidikan
formalnya ditempuh di India. Setelah menamatkan
pendidikan dasar dan menengah, ia melanjutkan
pendidikan tinggi dalam disiplin ilmu teknik di universitas
Vikram, India. Pendidikan tingginya dimulai pada tahun
1956. enam tahun kemudian, 1962, ia berhasil
menyelesaikan dan mengondol gelar sarjana teknik sipil
45
(B.Sc. Eng.) selepas dari pendidikan tinggi, ia menggeluti
profesi sebagai insinyur sipil dalam waktu yang cukup lama
sebelum akhirnya dengan sangat serius melakukan
penulisan tentang berbagai aspek dalam Islam.
Keterkaitannya kepada Islam tidaklah secara tiba
tiba. Sekalipun Asghar tidak pernah mengikuti pendidikan
formal dalam disiplin ilmu keIslaman, namun latar
belakang keluarganya mengantarkan dirinya menjadi
seorang pemikir-reformis Islam.61 Sebagaimana umumnya
keluarga Syiah, pendidikan keagamaan tradisional
diberikan secara langsung oleh orang tuanya sejak kecil.
Ayahnya, seorang ulama syiah, mengajarkannya bahasa
Arab secara intensif dan mengenalkannya pada berbagai
khazanah pemikiran Islam, klasik maupun modern. Selain
bahasa Urdu dan bahasa arab, ia juga menguasai dengan
baik bahasa Inggris dan bahasa Persi. Dengan bekal ini,
walaupun tetap memenuhi dunia teknik, akhirnya ia
mengembangkan dan memusatkan perhatiannya terhadap
penulisannya terhadap penulisan karya-karya keagamaan
Islam. Penguasaan bahasanya ini juga menjadikannya
mampu menjelajah karya-karya orisinil keagamaan baik
yang berasal dari kalangan muslim maupun non-muslim.

61
Pengakuan bahwa Asghar Ali adalah seorang modernis
Muslim diberikan oleh Wilfred Madelung, pada bagian bibliografi,
ketika memaparkan mengenai Syiah Ismailiyah. Lihat: Mircea Eliade,
Encyclopaedia of Religion (New York: Macmillan Publishing, 1978),
hlm. 260.

46
Kapasitasnya sebagai reformis maupun sebagai
aktivis. Dalam pemikiran, ia membuktikannya dengan
mengalirnya berbagai karya dan keterlibatan pada
berbagai kelompok-kelompok ilmiah, karya-karya
ilmiahnya telah mencapai jumlah yang cukup banyak dan
tersebar di berbagai kawasan akademis. Terbukti beberapa
karnyanya diterbitkan di Amerika, seperti The Islamic
State, di London, seperti Women Right in Islam, di
Malaysia, seperti The Origin and Development of Islam,
dan sebagainya. Sedangkan keterlibatan di berbagai
kelompok ilmiahnya tidak sebatas menjadi anggota pasif,
tetapi memberikan peran penting dengan menempatkan
dirinya pada posisi sebagai pimpinan.
Dalam aktivitasnya, Asghar adalah seorang Da’i,
pimpinan sekte Syi’ah Islamiyyah, daudi Bohras,62 di India.
Untuk diakui sebagai Da’i tidaklah mudah. Da’i harus
memenuhi 94 kualifikasi yang dikelompokkan dalam
empat bagaian. Keempat kualifikasi tersebut adalah
kualifikasi pendidikan: kualifikasi administrative;
kualifikasi moral dan teoritikal; kualifikasi keluarga dan
kepribadian. Yang menarik adalah diantara kualifikasi
seorang Da’I harus tampil sebagai pembela umat yang
tertindas dan berjuang melawan kezaliman.63 Bagiannya,

62
Dalam Bohras terdapat beberapa kelompok lagi: Sulaimani,
Aliya dan sebagainya. Dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Daudi
Bohras (selanjutnya disebut Bohras saja). Mengenai kelompok ini bisa
disimak lebih jauh dalam studi komprehensif Asghar Ali Engineer
dalam The Bohras (New Delhi: Vikash Publishing, 1980).
63
Lihat: Djohan Efendi, “Memikirkan Kembali Asumsi
pemikiran Kita” Kata Pengantar dalam Asghar Ali Engineer, Islam
47
harus ada keseimbangan antara refleksi dan aksi. Ia
dengan sangat gigih memperjuangkan dan menyuarakan
pembebasan, suatu tema yang menjadi ruh pada setiap
karyanya, seperti hak asasi manusia, hak-hak perempuan,
pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis dan agama,
rehabilitasi rakyat tertindas, rehabilitasi lingkungan dan
sebagainya. Itulah sebabnya ia banyak terlibat bahkan
memimpin organisasi yang memberikan banyak perhatian
kepada upaya advokasi sosial. Dalam kelompok Bohras
sendiri, misalnya, yang disinyalir oleh Tahir Mahmood
selama lima puluh tahunan terakhir ini muncul kelompok
pembangkang,64 Asghar memberikan oposisi aktif karena
menurutnya telah terjadi banyak penyimpangan.65 Banyak
pihak yang merasa terancam dengan berbagai kegiatannya.

dan Pembebasan, terj. Hairus Salim (Yogyakarta: LkiS, 1993), hlm.vii.


64
Tahir Mahmood, Statute Law Relating to Muslims in India
(New Delhi: Institute of Objective Studies, 1995), hlm. 72. 65Beberapa
penyimpangan Da’i ke 51 (1915-1965), Thahir Sayf al-Din, yang
diidentifikasinya, bersama para aktivis lain, adalah (a) mengklaim
bahwa ia adalah perwakilan Tuhan di bumi, (b) ia memiliki seluruh
kekuatan Nabi Muhammad dan mampu membuat amandemen dalam
Qur’an dan syari’at, (c) ia mengambil dan memberi bunga sekalipun
jelas bahwa hal ini dilarang oleh Islam, (d) ia menjadi pemilik mutlak
komunitas, sedangkan komunitas adalah budaknya, (e) ia dapat
menggunakan dana public untuk dirinya sendiri dan keluarganya serta
berbagai tujuan apakah untuk kebaikan atau tidak. Baca: Asghar Ali
Engineer, The Bohras, hlm.305. penilaian ini bertolak belakang dengan
penilaian Mustofa Abdulhussain. Menurut yang terakhir ini, justru Da’i
ke 51 mampu membawa kepada modernitas dalam menghadapi abad
ke-dua puluh. Baca: Mustofa Abdulhussein dalam John L. Esposito,
The Oxford Encyclopaedia of Islamic Word (New York: Oxford
University Press, 1995), hlm. 225.
48
Ia telah coba dibunuh dua kali, yaitu di Kalkuta pada 8
november 1977 dan di Heiderabad pada 26 desember
1977.66
Untuk menyalurkan idealismenya, Asghar terlibat
secara intensif dalam berbagai organisasi. Ia pernah
tercatat sebagai Wakil Presiden People’s Union for Civil
Liberties, Ketua Vikas Adhyayan Kendra (Centre for
Devlopment Studies), Ketua Committee for Communal Harmony,
Ketua Centre for Study of Society and Secularism,Sekretaris
Jendral Central Board of Dawoodi Bohra Community dan
Konvenor Asia Muslims’ Action Network
Sebagai seorang pemikir-reformis, lebih-lebih dalam
kapasitasnya sebagai Derector of Islamic Studies di
Bombay dan mantan anggota Dewan Eksekutif
Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi, Asghar Ali sangat
intens menuangkan pemikir-pemikirannya di berbagai
forum ilmiah baik perkuliahan, seminar, lokakarya,
maupun symposium di berbagai Negara: Amerika Serikat,
Kanada, Swiss, Thailand, Indonesia, Sri Lanka, Philipina,
Malaysia, Yaman, Mesir, Hongkong, Republik Asia
Tengah, Prancis dan Jerman adalah negara-negara tempat
Asghar pernah memberikan kuliah dan ceramah.
Ia juga sangat rajin mensosialisasikan gagasannya
melalui berbagai penerbitan, dalam dan luar negeri. Tidak
kurang dari 40 judul buku, baik sebagai penulis maupun
penyuting, telah diterbitkannya. Selain itu, ia juga sangat

66
Baca: Appendix I “Memorandum of the Central Board of
Dawoodi Bohra Community” dalam Asghar Ali Engineer, The Bohras,
hlm. 315.
49
rajin menuangkan ide-idenya di berbagai jurnal dan harian
seperti Islam and The Modern Age; Religion and Society;
Theravada, Jeevandhara, Progressive, al-Mushir, Times of
India, Indian Express, The Hindu, Daily, Telegraph dan
sebagainya.
B. Sumber: Realitas Sosial

Untuk mengantarkan lebih jauh dalam memahami


pemikiran Asghar, yang lahir awal abad dua puluh, perlu
dicermati kondisi India pada umumnya dan Islam India
pada khususnya menjelang dan awal abad 20.
India merupakan kawasan yang sangat riuh. Riuh
bukan hanya karena jumlah penduduk yang sedemikian
padat, tetapi juga karena pluralitas dalam segala hal:
politik, agama, bahasa, budaya, dan sosial.67 Realitasnya
menjadi sangat kompleks. Itulah sebabnya ia selalu
mengalami krisis, bahkan sampai sekarang pun India
tampak masih dipenuhi berbagai krisis. Gejala-gejala
tersebut sangat bervariasi dan terus selalu berkembang.
1. Politik
Dalam aspek politik, misalnya pada pertengahan abad ke
19, India sepenuhnya telah dikuasai oleh Inggris. Maka
praktis secara formal pemerintahan beralih dari
persekutuan Hindia Timur ke tangan Inggris. Dengan
demikian berarti runtulah salah satu negara Islam terbesar

67
Untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan
kompleksitas India, terutama aspek representative bisa dibaca: George
E. Delury, World Enclypedy of Political Sistems and Parties (Oxford:
Fact on File, 1987).
50
yang berdiri pada awal abad 16 M., yakni negara Mongol
India yang dinisbahkan kepada Timur Lank, emperor
Islam dari Asia Tengah.68 Tentu dalam hal ini aksioma
politik, yang mengatakan bahwasanya peralihan kekuasaam
politik akan diikuti dengan adanya berbagai peralihan yang
lain, juga berlaku.
Dalam kaitannya dengan Islam, dengan takluknya
India ke tangan Inggris, maka Inggris melakukan tekanan
tekanan terhadap umat Islam yang pada waktu itu
memberikan perlawanan yang sengit terhadap mereka.
Akibat tekanan yang demikian ini umat Islam mengalami
kemerosotan di berbagai bidang seperti ekonomi,
pendidikan, dan politik. Sementara pemeluk agama Hindu
yang diperlakukan secara baik oleh pemerintah Inggris
banyak memperoleh kemajuan.69 Hal ini mungkin bisa
dipahami jika dihubungkan dengan keberadaan umat
Islam yang minoritas tetapi bersamaan dengan itu justru
memberikan perlawanan yang sangat sengit.
Sejak 15 Agustus 1947 India menjadi negara
Republik yang konstitusinya menjamin hak warga negara.
Dalam konstitusi tersebut dinyatakan adanya hak
persamaan, hak kebebasan, hak menentang pemerasan,
hak beragama, hak budaya dan pendidikan, hak atas harta

68
Lihat: Muĥammad al-Bāhī, al-Fikr al-Islām al-Ĥadīs wa
Shilatuhu bi al-Isti’mār al-Garbi (Cairo: Maktabah al-Misriyyah, tth),
hlm. 9
69
Lihat: Mazheruddin Saddiqi, Kebudayaan Islam di Pakistan
dan India, Jalan Islam Jalan Mutlak terj. Abu Salamah dkk. (Jakarta:
Pembangunan, 1963), hlm.71.
51
benda dan hak atas perbaikan konstitusional.70 Sekalipun
konstitusinya menyatakan demikian, Akbar S. Ahmed
secara cerdas membuktikan tidaklah demikian realitanya.
Ia mendukung argumen telah terjadi diskriminasi tersebut.
Ia melihat, bahkan sampai sekarang, bahwa orang muslim
tidak mendapat bagian yang wajar berdasarkan hak-hak
konstitusi dan demografi. Walaupun merupakan 12
persen dari total penduduk India yang berjumlah 850 juta.
Orang Islam hanya diberi kurang dari 3 persen tugas tugas
pemerintahan; presentasi dalam pendidikan dan industri
bahkan lebih buruk. Kondisi demikian, baik tirani
mayoritas maupun tirani negara, semakin memperkuat
perasaan teraniaya dan didhalimi.71
Posisi orang Islam sebagai minoritas, ketika terjadi
pemisahan antara India dan Pakistan, menyebabkan
terjadinya migrasi besar-besaran. Menyikapi ini, para
tokoh Islam terpecah dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok yang berpandangan bahwa nasionalisme dan
Islam adalah dua ideolog yang berlawanan, karena yang
satu bersifat particular dan yang lainnya bersifat universal.
Dalam pandangan kelompok ini, baik India maupun
Pakistan sama-sama tidak bisa dibenarkan karena sifatnya
yang partikularistis. Kelompok ini dipimpin oleh al
Madudi dan Ali al-Nadwi. Kedua, kelompok yang

70
Lihat: Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993), hlm.213.
71
Akbar S. Ahmed, Postmodernisme Bahaya dan Harapan
bagi Islam, terj. M. Sirozi (Bandung: MIzan, 1994), hlm.152.
52
menumbuhkan apa yang disebut composite nationalism.72 Ini
dilakukan karena masyarakat Hindu dan Islam telah sama
sama menjalani sejarah dan pengalaman di India. Dengan
demikian, mereka cenderung untuk tetap memilih India
sebagai negaranya. Dalam kelompok ini terdapat nama
Abdul Kalam Azad. Ketiga, Kelompok yang ingin
menjadikan Islam sebagai dominator umum yang
menjembatani kesukuan, bahasa, wilayah regional, dan
perbedaan lapisan masyarakat Islam. Untuk itu perlu
adanya sebuah komunitas Muslim. Itu hanya bisa
terpenuhi apabila mereka berada di Pakistan. Di antara
tokoh kelompok ini adalah Muhammad Ali Jinnah dan
Muhammad Iqbal.73
2. Agama
Selain kondisi politik, kondisi keberagamaan di
India patut untuk dicermati. Keberagamaan India dikenal
tidak saja karena religiositasnya tetapi juga karena
pluralisme agamanya. Berbagai agama besar dunia ada di
India; Hindu, Budha, Islam, Kristen, Jain, Sikh,
Zoroaster, dengan masing-masing sektenya. Agama agama
ini memberikan kontribusi dalam perwajahan

72
Aziz Ahmad, Islamic Modernism in India and Pakistan
1857-1964 (London: Oxford University Press, 1967). Hlm.186.
73
Pembagian ke dalam tiga kelompok ini penulis adopsi dari John L.
Esposito. Tetapi, apa yang dilakukan oleh Esposito adalah sebatas
memetakan pandangan-pandangan dalam kaitan nasionalisme dan
Islam ketika menjelang lahirnya India merdeka. Sedangkan penulis
mencoba menghubungkan dengan fenomena exodus ke Pakistan. Baca:
John L. Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
hlm.125-127.
53
India. Sekalipun India bisa berbangga dengan tradisi
keagamaanya yang besar pada masa lalu, seperti kebesaran
Asoka dan Sultan Akbar yang sangat toleran, namun pada
kenyataannya sekarang ini konflik antar agama justru
sedemikian mencuat.
Secara khusus, kondisi keberagamaan umat Islam di
India oleh sementara pihak dinilai memiliki keterkaitan
dengan kemunduran Islam. Kemunduran Islam itu sendiri
sebetulnya disebabkan oleh banyak faktor. Akan tetapi
yang paling mendasar adalah adanya pemahaman yang
antara lain dikemukakan oleh Sayyid Ahmad Syahid, salah
seorang pemburu pemikiran Islam abad ke-18. Menurut
dia, umat Islam India mundur karena agama yang mereka
anut tidak lagi Islam yang murni melainkan Islam yang
bercampur dengan faham dan praktek kaum tarekat-sufi,
seperti kepatuhan terhadap guru yang tak terbatas, dan
ziarah kuburan para wali untuk minta syafaat.74 Sekalipun
tesis ini dikemukakan pada abad ke-18, namun tampaknya
masih tetap mempunyai tingkat relevensi yang tinggi.
Munculnya berbagai aliran tarekat India, yang
tumbuh bagai jamur di musim hujan, seperti tarekat
Qadariyah, Sattariyah, Naqsabandiyyah dan Chistiyah,
sangat membawa pengaruh terhadap perkembangan
pemikiran dan pergerakan intelektual dalam Islam di
India. Fenomena sufistik, denganciri pokok ajarannya
memusatkan perhatian upaya pendekatan dan penyatuan
diri dengan Tuhan serta menafikan aspek kedunawiaan

74
Lihat Harun Nasition, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah
Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hl. 157.
54
tersebut memberikan indikasi lemahnya daya progresivitas
dan kreativitas serta semnagat hidup dinamis di kalangan
umat Islam India di awal abad ke dua puluh.
3. Sosial
Fenomena lain yang sangat mencolok adalah
kondisi sosial masyarakat India. Laporan statistik
menyebutkan bahwa dari seluruh penduduk India hanya
ada sekitar 13 juta dapat dimasukkan ke dalam kelompok
orang kaya, 80 juta dalam kondisi hidup layak, 297 juta
berada pada garis kemiskinan dan 300 juta berada di
bawah garis kemiskinan.75 Perbandingan ini jelas tidak
seimbang. Penulis tidak tahu pasti apakah ada korelasi
positif antara kondisi seluruh masyarakat.
Sekalipun konstitusi India secara tegas mengarahkan
kepada persamaan dan pembebasan, tetapi struktur
masyarakat India yang secara cultural ditentukan dengan
kuat oleh kasta, tentu harapan konstitusi tersebut sangat
sulit terwujud. Masyarakat akan selalu berada dalam
ketidaksamaan. Perbedaan ini mengakibatkan hubungan
yang tidak seimbang karena masing-masing anggota
masyarakat hanya bisa menjalin jaringan dengan
kelompok kastanya. Kondisi demikian sangat longgar
memberikan peluang bagi muncul dan terpeliharanya
ketidakadilan dan ekploitasi.
Barngkali dari semua itu, kondisi sosial inilah yang
paling utama dalam menimbulkan krisis yang
berkepanjangan.

75
Baca: S. Arulsamy, “Liberation Theology in India” dalam
Indian Theological Studies 1985, hlm. 268.
55
4. Kedudukan Wanita
Masyarakat India adalah masyarakat patriarkis76 yang
sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan atau kekuatan
kelelakian77 yang selalu dihubungkan dengan term
superioritas dan inferioritas. Dengan demikian, ia
merupakan prinsip yang mendasari segala subordinasi,
semangat resisme, penguasa pihak satu atas pihak lain,
penentuan pekerjaan dan seks.78
Heteroginitas, sistem dan sifat kemasyarakatan
seperti itu menyebabkan adanya ketidakstabilan peran
antara pria dan wanita. Sekalipun kesempatan
memperoleh pendidikan bagi kaum wanita sama dengan
kaum pria, tetapi kenyataannya hal itu lebih banyak
disediakan untuk mendukung keberadaan kaum pria,
wanita yang telah mendapatkan pendidikan pun sangat
sedikit yang bisa memainkan peranan penting. Hampir di
segala sektor wanita berada di bawah kaum pria. Banyak
wanita terpaksa drop out sekolah karena tuntutan rumah
tangga, tradisi, perkawinan, kemiskinan, sikap-sikap

76
Jessie Tellis Nayak. “Status of Women in India: Some
Reflection” dalam Indian Missiological Revew, April 1990, hlm.72.
77
Bandingkan dengan pengertian Echols dan Shadily yang mengatakan
bahwa patriarki adalah sistem kemasyarakatan yang menentukan ayah
sebagai kepala negara. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.421. 78Lihat:
Mansour Fakih, “Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis
Gender” dalam Membincang Feminisme (Surabaya: Risalah Gusti,
1996), hlm. 50.
56
negative dan diskriminasi. Oleh karena itu, sekalipun
kemampuan mengkonsumsi berbagai bacaan-tulisan
berkembang, ketidak mampuan juga tetap relative besar.
Untuk kepentingan peningkatan produksi, mereka
sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Mereka
menerima upah lebih sedikit dibanding pria untuk jenis
pekerjaan yang sama hanya karena produktivitasnya
dinilai rendah. Bahkan, seringkali diperlakukan secara
eksploitatif, langsung maupun tak langsung.
C. Kerangka Metodologi

1. Hermeneutika
Dalam merumuskan pemikirannya tentang Teologi
Pembebasan Islam, salah satu alat yang digunakan oleh
Asghar adalah Hermeneutika. Oleh karena itu sebelum
melangkah lebih jauh ada baiknya dibahas lebih dahulu,
walaupun sekilas, mengenai hermeneutika tersebut.
Secara etimologis, hermeneutika berasal dari bahasa
yunani hermenuin yang berarti menafsirkan. Ada
beberapa teori untuk menjelaskan ini. Di satu pihak,
berteori bahwa istilah hermeneutikaini berasal dari tokoh
mitologi Yunani yang bernama Hermes. Tugas hermes
adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung
Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh
umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes menjadi
penting sekali. Hermes harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke
dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarannya.

57
Berhasil tidaknya bergantung pada cara bagaimana pesan
itu disampaikan.79
Hermeneutika pada akhirnya berurusan dengan
tugas menerangkan kata-kata dan teks yang dirasakan
asing oleh masyarakat. Asing, karena datang dari Tuhan
yang berbicara dengan bahasa-Nya sendiri yang tanpa
huruf, tanpa suara dan datang dari generasi terdahulu
yang hidup dalam tradisi dan mungkin juga bahasa yang
berbeda. Oleh karena itu Wilhelm Dilthey mencirikan
hermeneutika sebagai pembebasan terhadap agama.80
Menyikapi keberadaan hermeneutika sebagai
metode pemahaman, Gadamer dalam seluruh karyanya
menekankan adanya keharusan pembedaan dua
pemahaman; pemahaman terhadap isi yang benar dan
pemahaman intensi. Pemahaman pertama merujuk
kepada macam substansi pengetahuan yang dimiliki
seseoranng. Pemahaman kedua mencakup pemahaman
terhadap pengetahuan tentang kondisi psikologis,
biografis, kesejarahan. Apa yang dipahami bukanlah
kebenaran isi klaim atau titik aksi, tetapi motivasi di
belakang perbuatan klaim dari seseorang atau tampilan
aksinya.81 Pandangan ini tidak berbeda jauh dari

79
E. Soemaryono, Hermeneutika (Yogyakarta: Kanisisus,
1996), hlm. 23-24.
80
George Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and
Reason (Cambridge: Polity Press, 1987), hlm. 5.
81
Ibid., hlm 8.
58
pandangan Rahman yang mensyaratkan pengetahuan
environment.82
Sigmund Baumann dalam Hermeneutics and Social
science memberikan uraian bahwa hermeneutika lebih
berkaitan dengan upaya menjelaskan dan menelusuri
pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau
tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi sehingga
menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar
atau pembaca. Keraguan ini adakalanya juga muncul
ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling
berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga
pembaca harus bekerja melakukan kajian untuk
menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan
yang jelas.83
Dalam kerangka operasionalnya, Schleiermacher,
diilhami oleh gurunya Friedrich Ast, mendapat ide
mengamati isi sebuah karya dari dua sisi: sisi luar dan sisi
dalam. Aspek luar sebuah karya, adalah aspek tata bahasa
dan kekhasan linguistic lainnya. Aspek dalam adalah
jiwanya (Geist). Ast sendiri memahami bahwa tugas
hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari
suatu teks beserta situasinya menurut zamannya. Ast
membagi tugas itu ke dalam tiga bagian, yaitu sejarah, tata
bahasa dan aspek kerohaniannya (geistige). Korespodensi

82
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,1982),
hlm.9.
83
Baca: Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.126.
59
antara tiga taraf bagian atau taraf pemahaman itu juga
merupakan tiga taraf penjelasannya, yaitu hermeneutika
atas huruf (Hermeneutik des Buchstabense) yang menentukan
‘bahan baku’ sebuah teks, hermeneutika atas makna
(Hermeneutik des Sines) atau ‘bentuk’ teks, dan
hermeneutika atas aspek kejiwaan (Hermeneutic des Geistes)
atau ‘jiwa’ teks.84
Pengertian yang lebih tegas mungkin diberikan oleh
Ankersmit. Hermeneutika, bagi Ankersmit, dapat
dipergunakan dalam dua pengertian;
(1) Menafsirkan teks-teks dari masa lampau.
(2) Menerangkan perbuatan-perbuatan para pelaku
sejarah.
Ada perbedaan besar dan mendasar antara kedua
pengertian tersebut. Teks-teks ditafsirkan dan perbuatan
–perbuatan diterangkan. Menurut arti pertama, kita
melihat satu kesatuan atau koherensi dalam sebuah teks,
sedangkan menurut arti kedua kita memberi jawaban
terhadap pertanyaan, mengapa seorang pelaku histories
melakukan demikian? Dalam interpretasi teks-teks, kita
seolah-olah mangatasi masa silam serta bahan sejarah,
agar mengambil suatu pendirian, dari mana kita dapat
melihat kesatuan dan kebertautan. Dalam kasus kedua
kita menggunakan bahan sejarah, agar lebih dalam dapat
menyelami masa silam.85

84
Soemaryono. Hermeneutika, hlm.37.
85
F.R. Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah: Pandapat
pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah terj. Dick Hartoko.
Jakarta:Gramedia, 1987), hlm.157.
60
Pandangan yang agak lain diajukan Bambang I.
Sugiharto. Menurutnya, hermeneutika menawarkan suatu
cara lain utnuk melihat bahasa, yaitu bahasa dilihat
sebagai cara kita mengalami dan memahami kenyataan
dan cara kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita.86
Mungkin, Bambang ingin mengambil kesimpulan umum.
Sayangnya, kesimpulan yang diberikan oleh Bambang
tersebut, nampak masih ngambang dan kabur, karena
tidak jelas bagaimana fenomena bahasa, yang mempunyai
muatan tertentu, itu sendiri menjadi obyek pemahaman,
bukan hanya sebatas sebagai media. Kesimpuylan umum
yang lebih menyasar justru dikemukakan oleh Rechard E.
palmer bahwa hermeneutika adalah proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.87
Pada bagian awal tulisan ini telah dinyatakan bahwa
teks adalah sentral pembahasan hermeneutika. Jika teks
dipahami sebagai sistem tanda, baik linguistik maupun
non-linguistik, yang dapat memproduksi makna umum,
maka sebenarnya teks adalah bagian dari sebuah wacana
yang hidup. Dengan demikian di balik teks terdapat mata
rantai psikologis yang perlu dipertimbangkan oleh
pembacanya. Meminjam analisa kaum strukturalis seperti
Levi Strauss, Ferdinand de Saussure, dan sebagainya, yang
menyatakan bahwa dalam gejala bahasa terdapat dua
unsur yaitu sistem kebahasaan (langue) dan pemakaian

86
Bambang I. Sugiharto, Postmodernisme Tantangan bagi
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm.99.
87
Richard E. Palmer, Hermeneutics (Evanston: North-Western
University Press, 1969), hlm. 3.
61
bahasa dalam ungkapan nyata (parole), maka sebuah teks
lebih dekat pada konsep langue ketimbang pada konsep
parole. Kedekatannya dengan konsep langue menjadikan
sebuah teks cenderung kehilangan spontanitasnya karena
subyek pembicara atau penulis tidak hadir. Berdasarkan
pengertian Palmer, karena sebuah teks kehilangan
spontanitasnya, maka salah satu tugas utama
hermeneutika adalah menghidupkan atau
merekontruksikan sebuah teks dalam jaringan interaksi
antara pembicara, pendengar dan situasi batin serta sosial
yang melingkupinya agar sebuah pernyataan tidak
mengalami alienasi dan menyesatkan pembacanya.
Dengan kata lain, memahami sebuah teks selalu
mengasumsikan interaksi dinamis antara variable psiko
sosiologis yang muncul pada dunia pengarang dan dunia
pembacanya.
Hermeneutika sebagai metode penafsiran selalu
hadir dalam usaha memahami teks sejarah dan teks kitab
suci sedangkan teks-tentu saja termasuk teks sejarah dan
Kitab Suci- mengalami perkembangan makna, maka
untuk memperoleh pemahaman yang benar, yang
dikehendaki oleh pembicara, hermeneutika tidak cukup
hanya didasarkan pada teks ataupun pemahaman
semantikal, melainkan perlu melibatkan faktor psikologis
dan sosiologis agar tidak terkecoh oleh teks semata.
Seluruh detil sebuah teks hanya bisa dipahami dari
konteks dan cakupan.88 Teks sejarah dan teks Kitab Suci

88
Hans-Georg Gademer, Truth and Method (USA: Sheed and
Ward Ltd., 1975), hlm. 154.
62
adalah sebuahproduk sejarah yang telah terhenti.
Sementara sejarah sebagai sebuah peristiwa tak mungkin
terulang lagi dan teks sejarah adalah sebuah dokumentasi
yang berisi penafsiran dan rekontruksi atas sebuah
peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara
masa lalu dan masa kini mesti terdapat tabir. Yang
menghubungkan sejarah dan kehidupan kita adalah
makna yang dikandungnya.
Dengan demikian hermeneutika, dalam kaitannya
dengan teks suci, selalu bermaksud menghidupkan
atauimerekontruksi makna teks “asing” karena berasal
dari “ruang dan waktu lain”. Upaya ini berada dalam
jaringan antara penulis (the author), pembaca (the reader)
tanpa terlepas dari akar-akar psiko-sosialnya, sehingga
dapat diketahui makna yang dikandungnya. Apa yang
ditulis dan dibaca, pada hakekatnya hanyalah sebatas sisi
luar yang kosong; sedangkan jiwa (geist), yang berada di
sisi dalam, sangat ditentukan oleh bagaimana teks itu
berdialog dengan psiko-sosial ketika teks itu terbentuk.
Al-Qur’an, sebagai teks suci yang muncul dalam
realitas sejarah, juga harus selalu diperlakukan demikian.
Sebagai seorang pembaca dan penikmat teks yang hidup
dalam konteks dengan maksud untuk mengetahui apa
sesungguhnya makna yang terkandung di dalamnya. Itu
bisa dilihat pada bagaimana ia selalu mulai pembahasan
dengan konteks sosial-historis kemunculan konsep konsep
keagamaan dan konteks sekarang untuk memahami
berbagai ajaran agama. Inilah proyek yang hendak dicapai
oleh Asghar.

63
Dengan kerangka ini, rasanya tidak terlalu
berlebihan jika dikatakan bahwa Asghar pun
menggunakan metode hermeneutika dalam memaknai
berbagai teks dalam al-Qur’an. Pemakaian metode ini
didasarkan pada adanya suatu keyakinan bahwa al-Qur’an
tidak bisa dipahami secara teologis dengan terlepas dari
kerangka sosiologisnya. Penggunaan metode ini bisa kita
dapatkan dalam hampir semua karyanya. Contoh yang
bisa diajukan adalah pemahamannya terhadap ayat yang
biasanya dijadikan landasan superioritas laki-laki atas
perempuan. Kata qawwamun yang oleh para mufassir
klasik dimaknai sebagai melindungi, oleh Asghar
dipahami sebagai memberi daya dukung. Dengan
pemahaman yang seperti ini ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa sesungguhnya baik laki-laki maupun
perempuan sebetulnya mempunyai kesejajaran.
Keunggulan laki-laki, dalam pandangan Asghar,
bukanlah keunggulan jenis kelamin, tetapi keunggulan
fungsional karena laki-laki mencari nafkah dan
membelanjakan hartanya untuk perempuan. Fungsi sosial
perempuan yaitu melaksanakan tugas-tugas domestik
dalam rumah tangga. Namun persoalan yang kemudian
adalah mengapa al-Qur’an memberikan keunggulan laki
laki atas perempuan. Masalah sesungguhnya terletak pada
du hal yaitu kesadaran sosial dan penafsiran yang tepat.
Kesadaran sosial perempuan pada waktu itu tidak
diragukan lagi sangat rendah dan pekerjaan domestik
dianggap sebagai kewajiban perempuan. Sementara itu
laki-laki mengagap dirinya sendiri lebih unggul karena

64
kekuasaan dan kemampuan mencari nafkah dan
membelanjakan perempuan.
Apabila kesadaran sosial kaum perempuan sudah
tumbuh, bahwa peran-peran domestik yang mereka
lakukan harus dinilai dan diberi ganjaran yang serupa
sesuai dengan doktrin yang diajarkan oleh al-Qur’an
bukan semata-mata kewajiban yang harus mereka lakukan,
maka tentu perlindungan dan nafkah yang diberikan oleh
laki-laki kepada mereka tidak lagi dapat dianggap sebagai
keunggulan laki-laki ats mereka, karena peran-peran
domestik yang dilakukan perempuan harus diimbangi
oleh peran laki-laki dengan melindungi dan memberinya
nafkah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai qawwam.
Tentu saja, harus diakui bahwa pekerjaan domestik
perempuan harus juga diperhatikan sebagai pekerjaan
produktif secara ekonomi dan tidak dapat begitu saja
sebagai pekerjaan domestik mereka. Jika laki-laki mencari
nafkah, maka perempuan mengerjakan pekerjaan
domestik. Keduanya bisa bersikap saling melengkapi satu
sama lain. Posisi ini sangat bisa dibenarkan dan harus
dipertahankan secara tegas. Apa yang dilakukan seseorang
(sebagai pelayanan atau kerja produktif) harus diberi
pengakuan penuh. Penafsiran atas pekerjaan domestik
perempuan ini tidaklah bertentangan dengan semangat al
Qur’an, walaupun memang tidak secara ekplisit
dinyatakan demikian. Al-Qur’an secara berulangkali

65
mengatakan bahwa setiap orang hanya memperoleh apa
yang diusahakan.89
Dengan jalan seperti itu Asghar menandaskan bahwa ayat
al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’ bukanlah pernyataan
normative melainkan pernyataan kontekstual. Pendapatnya
tersebut dibangun sebagai berikut:

Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah


qawwam (pemberi nafkah atau pengatur urursan
keluarga) dan tidak mengatakan mereka harus
menjadi qawwam. Dapat dilihat bahwa adalah
qawwam merupakan sebuah pernyataan kontekstual,
bukan normative. Seandainyua al-Qur’an
mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwam,
maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normative
dan pastilah akan mengikat pada semua perempuan
dalam semua zaman dan semua keadaan. Tetpi
Allah tidak menginginkan hal itu.90

Demikian pula terhadap kasus poligami, ketika


revolusi Islam terjadi banyak laki-laki yang mempunyai
beberapa istri dari banu Tsaqif. Kemudian mulailah
revolusi al-Qur’an; “Dan jika kamu takut tidak dapat
berbuat adil terhadap (hak-hak) anak-anak (perempuan)
yang yatim (bila kamu mengwininya), maka kawinlah

89
Lihat; Qs. Al-Baqarah/2: 281, 286: Ali Imran/3: 161; al
Jatsiyah/45; 22.
90
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm. 62-63.
66
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berbuat
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
memungkinkan untuk tidak menyimpang dari jalan lurus.”
Dengan demikian, ijin untuk mengawini lebih dari
seorang, sampai dengan empat istri, harus dilihat dalam
konteks ini. Pembatasan ini adalah sebuah pengurangan
yang drastis dalam jumlah istri yang dapat dilakukan. Ayat
ini adalah satu-satunya ayat yang mungkin dipakai untuk
membenarkan poligami dalam Islam. Tetapi perlu diingat,
ini adalah pembenaran kontekstual bukan pembenaran
normatif, karenanya keberlakuannya harus dilihat untuk
waktu itu, bukan untuk selamanya.
Ketika ayat ini diwahyukan banyak mukmin yang
mempunyai lebih dari empat istri. Mereka dianjurkan oleh
nabi agar memilih empat di antaranya dan menceraikan
yang lain. Dengan demikian akan tampak bahwa Islam
tidak mengambil inisiatif memperolehkan sampai empat
istri dalam situasi memungkinkan saat itu. Jadi, akan tidak
adil menuduh Islam begitu saja membolehkan beristri
lebih dari satu.91
Dengan alur pikir dan metode yang sama, Asghar
juga memahami serta memberikan ulang terhadap istilah
teologis yang sudah baku dalam masyarakat Islam seperti
iman, kufr, tauhid, dan istilah-istilah lain. Sebagaimana
akan ditunjukkan dalam bagian yang kemudian.

91
Asghar Ali Engineer, Perempuan, hlm.29-30.
67
2. Filsafat Praksis
Dalam kerangka berpikir Asghar, ia juga
menggunakan filsafat praksis. Ini bisa dilihat dari berbagai
tulisannya yang menekankan adanya penekanan pada
praksis ketimbang pada teori-teori metafisik. Ia, secara
tegas dalam sebuah tulisannya mengatakan:
Liberation theology, it may be noted, puts more emphasis on
praxis rather than on metaphysical theorization involving
abstract vague an ambiguous nation. The Praxis
emphasized is of liberative character and involves dialectical
interaction of ‘is’ and ‘ought’. I Must say with due emphasis
at may command that Islam, shorn of its received
metaphisico-theological obfuscations and seen quranic
revelations, is preeminently liberative in its character. As is
has already been pointed out to the rich traders of Mecca
who headed the establishment and fought furiously against
the prophet of Islam to perpetuate the status quo. The whole
ideological character of this latest and one of greatest religions
of the world is informed of anti-status-quoist spirit”.92

Filsafat Praksis93 adalah sebuah pemikiran yang


menitikberatkan pada kesatuan dialektis antara teori dan
aksi, teori dan praksis, iman dan amal. Praksis bukanlah

92
Asghar Ali Enineer, Liberation, hlm.6.
93
Istilah ini sebetulnya dilontarkan Antonio Gramsci ketika
menyambut para Neo-Marxis; F. Budi Hardiman. Kritik Ideologi
Pertautan dan Kepentingan (Yogyakarta: Kanisisus, 1993), hlm. 39.
68
aksi, tingkah laku, atau praktek sebagaimana lazim
dimengerti orang. Makna praksis mengandaikan
kebenaran yang mendalam bahwa arah sejarah bukanlah
semacam kodrat atau takdir, melainkan ditentukan oleh
upaya manusia juga. Sejarah dimengerti sebagai
pergerakan yang meninggalkan perbudakan dan
pemenjaraan manusia yang arahnya semakin mendekati
kemerdekaan manusia secara personal maupun sosial.
Praksis dimengerti sebagai tindakan partisipatif daalm
sejarah dan praktek yang memperjuangkan
berkembangnya kemerdekaan dalam masyarakat. Jadi,
bagaimana teori dan praksis terikat bersama dalam
pemerdekaan yang ada dalam sejarah. Upaya ini hanya
dapat diteguhkan dan menjadi nyata hanya apabila
seseorang terlibat dalam aktivitas yang menumbuhkan
kebebasan dan keadilan sosial. Hal ini merupakan
substansi sejarah, yang bermakna hanya bagi mereka yang
berpartisipasi dalam proses. Dengan demikian,
keselamatan dalam sejarah tak dapat dipisahkan dari
aktualitas dan aktualitas itu sendiri menjadi terang
benderang dalam praksis.94
Filsafat demikian ini hanya dipegang dan digunakan
oleh para ilmuawan sosial terutama mereka yang
menghendaki adanya perubahan secara radikal. Marx dan
Mazhab Frankfurt, bisa diidentifikasi sebagai representasi
peletak dasar filsafat ini. Dalam bagian ini saja akan

94
Greg Soetomo, Revolusi, hlm. 99-100.
69
diuraikan garis besar filsafat mereka, tanpa menanggapi
berbagai kritik satu atas yang lainnya.
Marx melihat bahwa masyarakat menampakkan diri
sebagai keadaan immoral dari sebuah dunia yang pecah
berkeping-keping. Oleh karena itu, Marx tidak percaya ide
rekonsiliasi yang ada pada negara. Moralitas, menurut
Marx, hanya bisa dicapai dari kontradiksi-kontradiksi yang
ada dalam masyarakat tersebut.95 Dengan batasan ini Marx
mengajukan dialektika ke dalam kenyataan sosial.
Mungkin benar Franz Magnis Suseno ketika
mengatakan bahwa Marx pernah mengklaim dirinya
mendasarkan pada keyakinan-keyakina moral tertentu96
tetapi realitas di atas menujukkan analisis sosial Marx
berpangkal pada sebuah konsep filosofis tentang
moralitas (das sollen) dan bukan pada fakta (das sein),
sekalipun pada pangkalnya. Sedangkan apa yang
dikembangkan selanjutnya oleh Marx adalah
menghubungkannya dengan fakta empiris dan persis
kaitan antara segi normatif dan faktual ini menghasilkan
sifat kritis dalam analisis Marx. Yang dilihat oleh Marx
bukannya krisis dalam roh, melainkan krisis ekonomi
yang bersifat empiris. Oleh karena itu, dia memusatkan
diri pada kerja sosial. Marx menemukan “inti rasional”
yang dimaksud dalam dialektika Hegel, pendahulunya,
adalah dalam hubungannya dengan kerja upah dan modal.

95
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif
(Yogyakarta: Kanisisus, 1996), hlm. 65.
96
Franz Magnes Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.
(Yogyakarta: Kanesius, 1995), hlm. 126.
70
Dengan demikian prinsip pokok pemikiran Marx
lebih mengarah kepada kekuatan material dari pada
konsep-konsep mental. Ada dua tema pokok yang
dikembangkannya. Pertama, bahwa realitas ekonomi
menentukan sikap dan perilaku manusia. Kedua, sejarah
manusia adalah kisah pertarungan kelas, konflik terus
menerus antara pemilik modal dan pekerja yang harus
tetap survive.97 Dalam kondisi kerja sosial dalam
masyarakat kapitalis, menurut Marx, kaum pekerja
mengalami alienasi atau keterasingan. Pengalaman buruh
yang terasing ini, menjadi bukti materialistis dari
pengalaman dialektis. Jadi, manusia yang
mempertahankan hidupnya lewat kerja itumenjadikan
dirinya sebagai tuan atas sejarahnya. Manusia menjadi
subyek sejarah yang dalam kenyataannya masih berada
dalam keadaan tergantung atau terasing, maka ia harus
menyelamatkan dirinya sendiri dengan usahanya sendiri.
Dari sini Marx menghasilkan sebuah analisis ilmiah
positivisme yang mempertautkan kritik dengan krisis
ekonomi yang subyektif dalam era industrialisasi. Dalam
analisisnya, Marx tidak membuat penilaian moral atas
tingkah laku para pemilik modal individual, melainkan
menujukkan bagaimana eksploitasi berlangsung karena
kedudukan mereka dalam sistem kapitalis juga muncul
dari proses akumulasi modal, dari perampasan nilai lebih
atau keuntungan. Karl Marx berupaya menganalis proses
proses ekonomi dalam sistem kapitalis sebagai komplek

97
Daniel L. Pals, Seven Theories of Relegion (New York;
Oxford university Press, 1996), hlm. 127.
71
krisis yang akan menghancurkan sistem kapitalis itu
sendiri dan kemudian akan melahirkan masyarakat
sosialis. Ternyata prediksi Marx berkaitan dengan sistem
ekonomi sosial tidak tepat sasaran. Banyak negara
kapitalis semakin berkembang dan justru negara sosialis
runtuh. Walaupun demikian, teori sosial yang digagasnya
menghasilkan sebuah kritik yang ampuh pada zamannya.
Ini tentu saja karena ia memberi basis empiris pada
filsafat yang mempertautkan kritik dan krisis tersebut.
Selain Marx, Madzhab Frankfrut merupakan suatu
kelompok yang harus disebut jika hendak menjelaskan
kecenderungan praksis. Madzhab Frankfrut dimotori oleh
Horkheimer, Teodor Adorno dan Herbert Marcuse.
Dengan pendekatan baru, mereka melontarkan kritik
kritik yang tajam terhadap masyarakat Industri maju di
tahun 1960-an. Pendekatan inilah yang kemudian disebut
sebagai Teori Kritik. Sekurang-kurangnya ada enam tema
dalam program teori mereka, yaitu; bentuk-bentuk
integrasi sosial masyarakat post-liberal; sosialisasi dan
perkembangan ego; media masa dan kebudayaan massa;
psikologi sosial protes; teori seni; kritik atas positivisme.
Dengan keenam tema ini, teori kritis menjadi inspirasi
penting gerakan mahasiswa pada tahun-tahun itu yang
dikenal dengan gerakan “The New Left Movement”.98
Selain fasisme dan stalinisme, fenomena yang diacu
Mazhab Frankfurt sebagai kristalisasi ideologi yang
menindas, mereka juga mencurigai pencerahan sebagai

98
F. Budi Hardiman. Masyarakat, hlm. xvi.
72
biang keladi munculnya cara berfikir positivistis.
Horkheimer menyebutnya sebgai “rasio instrumental”,
Adorno mengistilahkan sebagai “pemikiran identitas”,
dan Marcuse mengatakan sebgaai “rasionalitas
teknologis”.99
Dia mengembalikan konsep teori pada asal katanya
“theoria”, yang artinya kontemplasi kosmos atau realitas.
Kata ini sudah sangat tua dan berakar dalam kosmologi
dan tradisi relegius Yunani Purba. Dengan melakukan
kontemplasi, seorang filusuf menatap kosmos yang
bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan di dalam
dirinya. Dia meniru kosmos, atau melakukan “mimesis”
(meniru). Dengan cara itu, teori atau kontemplasinya itu
mengarahkan tingkah lakunya. Teori, dalam pengertian
kuno itu, terkait dengan praksis. Istilah Bios Theoretikos,
dalam filsafat Yunani, menujukkan bahwa teori adalah
salah satu cara hidup. Dalam alam pemikiran abad ke-19,
“kritik” meraih sifat pragmatisnya lagi, yaitu untuk
mengatasi krisis menuju keadaan yang lebih baik. Kritik di
abad ini menjadi kemampuan rasional untuk mengatasi
krisis. “kritik” di sisni mengandaikan keterlibatan dengan
obyek yang dikritiknya, persis seperti seorang hakim yang
terlibat dalam krisis dalam arti menemukan keadilan atau
seorang dokter yang menghadapi penyakit.
Mula-mula teori kritik menggugat masalah
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu anggapan bahwa
ilmu-ilmu sosial bebas niali (value free). Ilmu terlepas dari

99
F. Budi Hardiman. Masyarakat, hlm. xvi-xvii
73
praktik sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi,
bersifat obyektif, dan sebgainya. Anggapan semacam itu
mengental menjadi kepercayaan umum bahwa satu
satunya bentuk pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan ilmiah. Anggapan tersebut dituduh
menyembunyiknn dukungan terhadap status quo dibalik
kedok obyektivitas. Positivisme tak kurang adalah sebagi
ideology, tidak sekedar melukiskan kenyataan dan
membiarkan berlangsung. Untuk itu perlu adanya
alternatif lain, yaitu Teori Kritis.
Dalam pandangan mereka segala bentuk ilmu
dijuruskan oleh kepentingan kognitif, maka tidak bebas
niali. Teori Kritis, misalnya, kepentingan kognitifnya
adalah terwujudnya pembebasan manusia dari
perbudakan, membangun masyarakat atas hubungan
antarpribadi yang merdeka dan pemulihan kedudukan
manusia sebagai subyek yang mengelola sendiri kenyataan
sosialnya. Dengan demikian, ketidaknetralan Teori Kritis
terhadap nilai justru ditentukan oleh keberpihakannya
kepada praksis.
Madzhab Frankrut berkeyakinan bahwa hanya
perubahan yang radikallah yang dapat menjadi obat bagi
penyakit kemodernan dewasa ini, khususnya teknologi
yang tak terkendali.100 Itulah sebabnya emansipasi
masyarakat adalah pokok keprihatinan Teori Kritis. Ini
jelas terlihat dalam berbagai karakteristiknya. Pertama,
bersifat historis yakni didasarkan pada situasi masyarakat

100
Ted Honderich, The Companion, .hlm. 290.
74
konkret dan melakukan “kritik imanen” terhadap
masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi. Kedua,
disusun dalam kesadaran keterlibatan para pemikirnya
sehingga bersifat kritis kepada siapapun, termasuk dirinya
sendiri. Ini didasarkan pada kesadaran bahwa teori sangat
mungkin jatuh menjadi ideologi. Ketiga, kritis terhadap
masyarakat aktual di mana sering terdapat kedok-kedok
ideologis untuk menutupi manipulasi dan eksploitasi.
Keempat, teori ini tidak bermaksud memisahkan dirinya
dari praksis, karena transformasi masyarakat hanya dapat
tercapai melalui praksis.101

101
F. Budi Hardiman, Ideologi, hlm. 58.
75
BAB IV
TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM:
ALTERNATIF KEBUNTUAN TEOLOGI

A. Pengertian Teologi Pembebasan Islam


Jika pada bagian terdahulu telah dipaparkan beberapa
faktor yang mengantarkan Asghar Ali Engineer pada gagasan
mengenai Teologi Pembebasan Islam, sekarang kita akan mulai
membicarakan gagasan tersebut. Ketika membicarakan tentang
Islam, Asghar selalu mengawali dengan asal usul dan
perkembangan awal Islam.102 ini dilakukan untuk menganalisis
bagaimana konsep-konsep keagamaan bisa terbentuk.
Beberapa contoh di bagian depan dan yang kemudian nanti
menujukkan bagaimana ia selalu menghubungkan konsep dan
realitas masyarakat. Makkah, tempat kemunculan Islam,
merupakan pusat transaksi komersial pada waktu itu. Bahkan
lebih dari itu, menurut Montgomerry Watt “Mecca was more than
a mere trading center, it was a financial center… The Quran appeared
not in the atmosphere of the desert, but in that of high finance”.103
Keberadaanya yang demikian ini, akhirnya memunculkan
adanya berbagai hegemoni, baik sosial, ekonomi maupun
politik. Dari telaah kesejarahannya ia sampai pada kesimpulan
bahwa Islam merupakan sebuah agama, dalam pengertian
teknis maupun revolusi sosial, yang menghadapi tantangan
struktur penindasan di luar dan di dalam masyarakat Arab.

102
Studi kritisnya atas asal-usul dan perkembangan Islam yang,
menurut penulis, mencoba memberikan pendekatan lain bisa dibaca pada:
Asghar Ali Engineer, The Origins and Development of Islam (Malaysia:
Ikraq, 1986)
103
Montgomery Watt, Mohammad at Mecca (Oxford: Oxford
University Press, 1983), hlm.3.
76
Meski demikian, ia kelihatannya tak mau terjebak dalam
pemahaman apologetis. Ia tak sependapat dengan Iqbal, bahwa
Islamlah satu-satunya agama yang cocok dengan dunia
modern, yang menawarkan harapan pembebasan.
Bagaimanapun, menurut Asghar, agama-agama seperti Budha,
Kristen, Yahudi dan Islam pada dasarnya adalah sebuah
gerakan protes.104 Agama, dengan demikian, merupakan unsur
paling subyektif terhadap kemapanan kekuasaan, baik yang
dibangun di atas otiritas politik, ekonomi maupun agama, yang
cenderung menindas dan eksplitatif. Tetapi, dari semua agama
yang ada, Islam menurut Asghar adalah agama dengan sumber
ajaran dan sejarah yang paling kaya dan mungkin untuk
berkembang menjadi ajaran teologis yang revolusioner dan
membebaskan. Seperti agama-agama yang lain, karakter
pembebasan sebuah agama sebetulnya sangat ditentukan oleh
aspek kesejarahannya. Hanya saja, dalam realitanya, Islam yang
demikian ini hanya berlaku dalam waktu yang singkat.105
Dengan memaparkan keterkaitan antara konsep
keagamaan yang kemudian berkembang dengan aspek
kesejarahannya, Asghar sebenarnya hendak mengatakan bahwa
agama tidak lain sesungguhnya adalah sebuah fenomena. Al
Qur’an sendiri, sebagai sumber agama Islam, selalu berangkat
dari kesadaran sejarah. Al-Qur’an tidak mengabaikan
determinasi sejarah.106 Karena pendekatannya bersifat
kesejarahan tentu saja ia sangat memperhatikan aspek-aspek
ruang dan waktu. Walaupun demikian, di samping sangat

104
Asghar Ali Engineer, “Religion and Liberation” dalam Journal
Islam and the Modern age, November 1988, hlm. 287.
105
Asghar Ali Engineer, Origin, hlm. 145.
106
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim
(Yogyakarta:LkiS, 1993), hlm. 2.

77
historis, pada hakekatnya al-Qur’an mengandung nilai-nilai
transhistoris. Ia melihat bahwa agama harus dilihat dalam
konteks sosiologis, sebagaimana juga harus dipandang dalam
konteks filosofis.107 Itulah sebabnya, ia tidak sepakat dengan
para teolog abad pertengahan yang memusatkan kajiannya
pada konsep akhirat. Baginya hal itu merupakan reduksi agama
menjadi murni oleh spiritual yang tidak mempunyai muatan
kemasyarakatan. Pemahaman terhadap agama dengan tanpa
mengikutsertakan kerangka sosiologis adalah sesuatu yang
amat naïf karena tidak ada sebuah konsep yang lahir dalam
ruang hampa budaya.
Berdasarkan pada pandangannya tentang agama ini,
Asghar menyatakan bahwa teologi sesungguhnya berakar pada
situasi tertentu. Ia lebih jauh menegaskan.
… Theology is nothing, if not rooted in particular situation and
transcend it. It is the tension between its rootedness and transendence
that makes it creative.
Theology is both contextual and normative. It cannot escape both its
contextualness and normativness. If it is not contextual it will be of
no use to a people of particular age and area; if it is not normative, it
would not only become supportive of status quo, it would also fail to
inspire humanity beyond one particular situation. Thus we see that
theology is nothing but human response to a changing situation whose
creator is god. The response, in order to be ever more meaningful, has
to be dynamic.108
Sebagai rumusan pemikiran manusia, Teologi Islam
harus dinamis dan kreatif. Manusia, berbeda dengan Iqbal yang
menyebut sebagai co-creator, bagi Asghar, adalah kolaborator

107
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology (New
Delhi: Sterling Publishers Pvt. Ltd., 1990), hlm. 20.
108
Ibid, hlm.138.
78
Tuhan dalam proses aktivitas kreatif.109 Karenanya Teologi
Islam sebenarnya, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri,
tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang sewenang
wenang. Peryataan al-Qur’an dalam hal ini sangat jelas “kamu
tidak akan pernah menemukan perubahan apapun pada
sunnah Allah.”110 Bahkan pahala dan sikasa Tuhan bukan atas
dasar tindakan atau kehendak tuhan yang sewenang-wenang.
Al-Qur’an menyatakan “Tidak ada sesuatu pun bagi manusia
kecuali yang diupayakannya.111 Tentu saja taufiq Allah tidak
ditolak tetapi hal itu tidaklah sewenang-wenang. Taufiq, yang
tidak lain merupakan pertolongan, petunjuk dan bimbingan
menuju kesuksesan, dalam pelaksanannya bergantung pada dua
hal, yaitu usaha seseorang dan kesesuaian dengan sunnatullah
yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah.112 Karena itu,
menurut Asghar, dalam Teologi Islam sesunguhnya merupakan
potensi untuk bertindak yang diciptakan tuhan, yang masih
mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat
diaktualisasikan, karena manusia adalah agen yang bebas.
Dalam kaitannya dengan keberadaan manusia, ada dua
hal penting yang ditekankan oleh Islam. Pertama, Islam
menekankan adanya kesatuan kemanusiaan sebagaimana
terungkap dalam al-Qur’an Qs. Al-Hujurat; 13. Ayat ini dengan
jelas menegaskan bahwa Islam menentang seluruh pandangan
dan konsep superioritas ras, suku, bangsa, dan keluarganya.
Yang menjadi ukuran adalah kesalehan. Tetapi, bagi Asghar,
kesalehan bukanlah semata-mata kesalehan ritual, melainkan
kesalehan sosial; keadilan. Kedua, dari ayat tersebut juga bisa
109
Asghar Ali Engineer, Islam, hlm. 39
110
QS. Al-Ahzab/33: 62.
111
QS. Al-Najm/53: 39.
112
Tim Ichtiar Baru Van Hoeve. Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 89.
79
dilihat bahwa al-Qur’an menghendaki adanya keadilan dalam
seluruh aspek. Sementara keadilan itu sendiri hanya bisa
direalisasikan jika ada kebebasan. Dari kedua hal ini, Asghar
menyimpulkan bahwa al-Qur’an telah memberikan sebuah
teori yang disebutnya liberative violence (kekerasan yang
membebaskan),113 sebuah teori yang mengedepankan
perjuangan untuk menghilangkan penindasan demi
pembebasan. Secara tegas ia menyatakan bahwa para penindas
sering menganianya kaum lemah dan dengan mudah
memanfaatkannya demi mempertahankan kepentingan
mereka. Oleh karenanya, tidak mungkin membebaskan kaum
teranianya tanpa perjuangan.114 Kesimpulan Asghar ini akan
terlihat lebih jelas jika dihubungkan dengan misi dasar
kenabian. Pengamatan terhadap sejarah revelasi yang diterima
Muhammad, sesuatu yang menarik adalah justru tidak terdapat
kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ditekankan
justru kecaman keserakahan dan ketidakpedulian sosial. Dari
empat puluh delapan surat pada periode Makkah, dua belas
surat115 yang diturunkan pada masa paling awal sama sekali
tidak menyinggung dan mempersoalkan penyembahan berhala.
Surat al-Mā’ūn, yang turun pada urutan ke tujuh, misalnya,
secara pedas mengecam orang-orang yang sekalipun
mempunyai ketaatan relegius, kesalehan ritual, tidak ambil
peduli dengan kenyataan yang timpang. Mereka dikatakan telah
menghianati agamanya sendiri.
113
Asghar Ali Engineer, Liberation, hlm. 23.
114
Ibid.
115
Surat-surat tersebut adalah; al-Alaq, al-Mudatstsir, al-Lahab, al Qurasy,
al-Kautsar, al-Humazah, al-Mā`ūn, al-Takātsur, al-Fīl, al-Lail, al Balad, dan
al-Insyirah. Sengaja hanya diambil ke-12 surat yang diturunkan paling awal
sebelum masa jeda yang cukup lama dari penerimaan wahyu.
80

Anda mungkin juga menyukai