Sejarah mencatat, kelahiran teologi Islam didorong oleh kebutuhan riil umat Islam yang merujuk kepada urgensi mempertahankan akidah mereka. Hal itu dirasakan mendesak karena terjadinya perdebatan-perdebatan di Syria dan Iraq antara umat Islam dan pengikut agama-agama lain seperti Kristen, Masda dan Mani yang telah mengembangkan argumen-argumen filosofis dan teologis untuk mempertahankan keyakinan mereka, sehingga mendorong umat Islam untuk mencari suatu pengembangan rasional keyakinan yang mereka miliki. Dalam perspektif Islam, salah satu faktor utama yang ikut menyumbang terjadinya keberagamaan yang pasif tapi sekaligus eksklusif tersebut berujung pada teologi Islam yang saat ini masih didominasi teologi skolastik abad pertengahan di satu pihak, dan otoritas mutlak yang dimilikinya pada pihak lain. Dalam bahasa yang lain, teologi Islam belum mengalami perkembangan signifikan sejak kemunculannya pertama kali. Alih-alih akan terjadi pengembangan konsep teologis, justru yang terjadi teologi diklaim sebagai kebenaran yang mutlak. Karena itu, ketika dikontekstualisasikan dengan kehidupan kontemporer, maka teologi tersebut sarat dengan kelemahan mendasar. Karena kondisi yang berkembang saat ini telah jauh berbeda dari kondisi saat kelahiran teologi. Karena itu konsep seperti keimanan, ketuhanan, dan kenabian menjadi subyek utama sebagai wacana teologis. Sedang persoalan kemanusiaan dalam kehidupan kurang mendapat tempat. Dalam ungkapan yang lain, obyek kajian teologi Islam ditekankan kepada upaya mempertahankan akidah semata sehingga bersifat teosentris. Ironisnya, aliran-aliran teologi dalam perkembangan berikutnya tetap menempatkan persoalan ketuhanan sebagai persoalan yang terpisah dari persoalan manusia. Hal semacam itu menjadi suatu persoalan yang cukup serius ketika pada satu pihak kehidupan umat terus mengalami perubahan, tapi pada pihak lain teologi tetap tidak mau beranjak dan tidak mau meluaskan obyek kajiannya. Persoalan ketuhanan yang sebenarnya memiliki kaitan dengan persoalan kemanusiaan tetap tidak tertangani secara serius. Akibatnya, teologi Islam hadir hanya sebagai defensive apologia (apologi defensif) semata. Di kalangan mutakallimun, teologi Islam dimunculkan sekadar untuk membela ajaran-ajaran agama dengan argumen-argumen rasional. Mereka belum melangkah lebih jauh untuk menyelidiki dan menafsirkannya dengan metode-metode rasional. Mereka hanya sibuk dengan rumusan-rumusan dan argumen-argumen yang rumit dan sophisticated yang diambil dari filsafat yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat umum. Sedang persoalan konkret yang dihadapi umat dibiarkan terbelangkai tanpa usaha serius untuk mengkaitkannya dengan aspek teologis. Fenomena tersebut terjadi pada hampir semua aliran teologi Islam, dari Mu’tazilah, Asy’ariyah, sampai aliran modernisme klasik. Bahkan, reduksi teologis itu terjadi pula di kalangan mazhab neo-Hanbali dan aliran-aliran lain yang serupa. Teologi dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan akidah-keimanan berdasarkan makna- makna zahir teks melalui pemaknaan secara literalis. Konsep yang kemudian muncul adalah konsep ketuhanan an sich kebenaran hakiki agama. Dampaknya, ulama ushuluddin dan umat pengikutnya, menjadi terasing dari dunia nyata dan menyandarkan segala sesuatu kepada Allah tanpa menyinggung kehendak dan tugas manusia dalam kehidupan. Pada saat yang sama, pemegang otoritas keagamaan mempunyai peranan yang sangat dominan yang kemudian disusul oleh para penguasa politik. Hal ini merupakan kegagalan teologi Islam yang akan mengantarkan umat kedalam kehancuran. Atas dasar itu, kesan yang cukup tampak dari hal itu adalah sifat teologi Islam yang terlalu berorientasi ke atas, serta lebih bersifat pure academic, sehingga kehilangan pijakan dengan realitas kehidupan yang dijalani umat manusia. Bahkan lebih jauh, teologi menjadi alat kepentingan bagi kelompok tertentu sehingga terjadi semacam politisasi agama. Kehadiran gerakan-gerakan pembaruan yang muncul sebelum dan di zaman modern ternyata tidak memiliki signifikansi yang cukup berarti dalam menawarkan gagasan yang segar dalam bidang teologis. Sebab, metodologi yang dijadikan pijakan masih serupa dengan aliran-aliran yang sebelumnya. Akibatnya, konsep-konsep teologi mereka tidak lebih dari sekadar pengulangan dari teologi skolastik, dan bahkan bersifat minimal. Modernisme klasik misalnya, (yang muncul pada akhir abad kesembilan belas dan pergantian menuju abad dua puluh; sebagai kelanjutan dari pembaruan yang sebelumya) juga terperangkap dalam pernyataan-pernyataan teologi yang defensif dan apologetik, atau hanya pengulangan argumen-argumen teologis abad pertengahan. Meskipun mereka berusaha untuk kembali ke al-Qur’an dan Sunnah serta bersikap rasionalistik dalam memahaminya, mereka belum mempunyai metode yang tepat untuk dapat menangkap secara utuh pandangan dunia al-Qur’an, sehingga konsepnya masih terkesan tetap mengarah ke atas. Dengan demikian, sampai saat ini teologi hanya berupa kumpulan ritual (tepatnya doktrin) yang tidak memiliki jiwa, tidak menyentuh kepentingan kelompok masyarakat secara umum, semisal orang yang tertindas dan pekerja kasar, serta sekadar menjadi latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kelompok kelas menengah. Alhasil, agama dengan teologi seperti itu menjadi penyebab kelanggengan status quo. Teologi tidak mampu menghadirkan dirinya sebagai suatu disiplin yang dapat mengangkat nilai-nilai teologis yang transformatif sehingga dapat mencerahkan kehidupan umat. Syahdan, lebih dari itu, posisi teologi lalu diletakkan sebagai ilmu Syari’ah yang paling tinggi dan sebagai perumus dasar-dasar pada keterjebakan dogmatik. Nyaris setiap mazhab menganggap agama. Kenyataan itu mengantarkan aliran-aliran teologi dan pemikiran-pemikiran teologis mereka sebagai konsep yang merepresentasikan secara utuh nilai dan ajaran Islam yang genuine, sehingga menjadikan pemikiran mereka sebagai dogma mati yang nyaris tidak boleh dikritisi sama sekali.
)* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul
Jadid, dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.