Anda di halaman 1dari 3

Teologis Yang Tidak Baku

Oleh: Salman Akif Faylasuf *


Sejarah mencatat, kelahiran teologi Islam didorong oleh kebutuhan riil umat Islam
yang merujuk kepada urgensi mempertahankan akidah mereka. Hal itu dirasakan
mendesak karena terjadinya perdebatan-perdebatan di Syria dan Iraq antara umat Islam
dan pengikut agama-agama lain seperti Kristen, Masda dan Mani yang telah
mengembangkan argumen-argumen filosofis dan teologis untuk mempertahankan
keyakinan mereka, sehingga mendorong umat Islam untuk mencari suatu pengembangan
rasional keyakinan yang mereka miliki.
Dalam perspektif Islam, salah satu faktor utama yang ikut menyumbang
terjadinya keberagamaan yang pasif tapi sekaligus eksklusif tersebut berujung pada
teologi Islam yang saat ini masih didominasi teologi skolastik abad pertengahan di satu
pihak, dan otoritas mutlak yang dimilikinya pada pihak lain. Dalam bahasa yang lain,
teologi Islam belum mengalami perkembangan signifikan sejak kemunculannya pertama
kali.
Alih-alih akan terjadi pengembangan konsep teologis, justru yang terjadi teologi
diklaim sebagai kebenaran yang mutlak. Karena itu, ketika dikontekstualisasikan dengan
kehidupan kontemporer, maka teologi tersebut sarat dengan kelemahan mendasar. Karena
kondisi yang berkembang saat ini telah jauh berbeda dari kondisi saat kelahiran teologi.
Karena itu konsep seperti keimanan, ketuhanan, dan kenabian menjadi subyek
utama sebagai wacana teologis. Sedang persoalan kemanusiaan dalam kehidupan kurang
mendapat tempat. Dalam ungkapan yang lain, obyek kajian teologi Islam ditekankan
kepada upaya mempertahankan akidah semata sehingga bersifat teosentris. Ironisnya,
aliran-aliran teologi dalam perkembangan berikutnya tetap menempatkan persoalan
ketuhanan sebagai persoalan yang terpisah dari persoalan manusia.
Hal semacam itu menjadi suatu persoalan yang cukup serius ketika pada satu
pihak kehidupan umat terus mengalami perubahan, tapi pada pihak lain teologi tetap
tidak mau beranjak dan tidak mau meluaskan obyek kajiannya. Persoalan ketuhanan yang
sebenarnya memiliki kaitan dengan persoalan kemanusiaan tetap tidak tertangani secara
serius. Akibatnya, teologi Islam hadir hanya sebagai defensive apologia (apologi
defensif) semata.
Di kalangan mutakallimun, teologi Islam dimunculkan sekadar untuk membela
ajaran-ajaran agama dengan argumen-argumen rasional. Mereka belum melangkah lebih
jauh untuk menyelidiki dan menafsirkannya dengan metode-metode rasional. Mereka
hanya sibuk dengan rumusan-rumusan dan argumen-argumen yang rumit dan
sophisticated yang diambil dari filsafat yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat
umum. Sedang persoalan konkret yang dihadapi umat dibiarkan terbelangkai tanpa usaha
serius untuk mengkaitkannya dengan aspek teologis.
Fenomena tersebut terjadi pada hampir semua aliran teologi Islam, dari
Mu’tazilah, Asy’ariyah, sampai aliran modernisme klasik. Bahkan, reduksi teologis itu
terjadi pula di kalangan mazhab neo-Hanbali dan aliran-aliran lain yang serupa. Teologi
dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan akidah-keimanan berdasarkan makna-
makna zahir teks melalui pemaknaan secara literalis. Konsep yang kemudian muncul
adalah konsep ketuhanan an sich kebenaran hakiki agama.
Dampaknya, ulama ushuluddin dan umat pengikutnya, menjadi terasing dari
dunia nyata dan menyandarkan segala sesuatu kepada Allah tanpa menyinggung
kehendak dan tugas manusia dalam kehidupan. Pada saat yang sama, pemegang otoritas
keagamaan mempunyai peranan yang sangat dominan yang kemudian disusul oleh para
penguasa politik. Hal ini merupakan kegagalan teologi Islam yang akan mengantarkan
umat kedalam kehancuran.
Atas dasar itu, kesan yang cukup tampak dari hal itu adalah sifat teologi Islam
yang terlalu berorientasi ke atas, serta lebih bersifat pure academic, sehingga kehilangan
pijakan dengan realitas kehidupan yang dijalani umat manusia. Bahkan lebih jauh, teologi
menjadi alat kepentingan bagi kelompok tertentu sehingga terjadi semacam politisasi
agama.
Kehadiran gerakan-gerakan pembaruan yang muncul sebelum dan di zaman
modern ternyata tidak memiliki signifikansi yang cukup berarti dalam menawarkan
gagasan yang segar dalam bidang teologis. Sebab, metodologi yang dijadikan pijakan
masih serupa dengan aliran-aliran yang sebelumnya. Akibatnya, konsep-konsep teologi
mereka tidak lebih dari sekadar pengulangan dari teologi skolastik, dan bahkan bersifat
minimal.
Modernisme klasik misalnya, (yang muncul pada akhir abad kesembilan belas dan
pergantian menuju abad dua puluh; sebagai kelanjutan dari pembaruan yang sebelumya)
juga terperangkap dalam pernyataan-pernyataan teologi yang defensif dan apologetik,
atau hanya pengulangan argumen-argumen teologis abad pertengahan. Meskipun mereka
berusaha untuk kembali ke al-Qur’an dan Sunnah serta bersikap rasionalistik dalam
memahaminya, mereka belum mempunyai metode yang tepat untuk dapat menangkap
secara utuh pandangan dunia al-Qur’an, sehingga konsepnya masih terkesan tetap
mengarah ke atas.
Dengan demikian, sampai saat ini teologi hanya berupa kumpulan ritual (tepatnya
doktrin) yang tidak memiliki jiwa, tidak menyentuh kepentingan kelompok masyarakat
secara umum, semisal orang yang tertindas dan pekerja kasar, serta sekadar menjadi
latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kelompok kelas menengah.
Alhasil, agama dengan teologi seperti itu menjadi penyebab kelanggengan status
quo. Teologi tidak mampu menghadirkan dirinya sebagai suatu disiplin yang dapat
mengangkat nilai-nilai teologis yang transformatif sehingga dapat mencerahkan
kehidupan umat.
Syahdan, lebih dari itu, posisi teologi lalu diletakkan sebagai ilmu Syari’ah yang
paling tinggi dan sebagai perumus dasar-dasar pada keterjebakan dogmatik. Nyaris setiap
mazhab menganggap agama. Kenyataan itu mengantarkan aliran-aliran teologi dan
pemikiran-pemikiran teologis mereka sebagai konsep yang merepresentasikan secara
utuh nilai dan ajaran Islam yang genuine, sehingga menjadikan pemikiran mereka sebagai
dogma mati yang nyaris tidak boleh dikritisi sama sekali.

)* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul


Jadid, dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Anda mungkin juga menyukai