Anda di halaman 1dari 21

FALSAFAH ILMU TAUHID

Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam/Teologi Islam tidak lain adalah perumusan


sistematis pergumulan pemikiran manusia tentang persoalan-
persoalan ketuhanan yang terjadi pada penggalan sejarah tertentu.
Meskipun sumber primer teologi Islam adalah wahyu (revelation),
namun formulasi gagasan, pemikiran dan rancang bangun
epistimologi keilmuannya tiada lain merupakan hasil kreasi manusia
semata.

Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam/Teologi Islam adalah ilmu yang membahas


aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya
secara rasional. Jadi obyek forma teologi yaitu permasalahan
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya.
Sementara metodologinya, yaitu upaya memahami ayat-ayat al-
Quran dan al-Sunnah secara mendalam diikuti elaborasi
pemahaman dengan fakta-fakta empirik.

1
Ilmukalam merupakan sebuah
disiplin ilmu yang berkaitan dengan
keimanan yang diperkuat dengan
menggunakan argumentasi-
argumentasi rasional.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi


Islam berada dalam satu rumpun
disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam
yang terdiri dari Teologi Islam, Filsafat
Islam, dan Tasawuf.
2
Teologi Islam diistilahkan oleh berbagai pakar dengan beragam
nama, antara lain: Abu Hanifah (150 H/767 M) memberinya nama
dengan istilah ilmu fiqh al-akbar. Imam Syafiie (204 H/819 M),
Imam Malik (179 H/795 M), dan Imam Jafar al-Shadiq (148 H/765
M) memberinya nama dengan istilah Ilmu al-Kalam, dan tokohnya
disebut sebagai al-Mutakallimun. Imam al-Asyari (324 H/935 M), al-
Bagdady (429 H/1037 M), dan beberapa tokoh al-Azhar University
memberinya nama dengan istilah Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi
(331 H/942 M), al-Ghazali (505 H/1111 M), dan al-Thusi (671 H/1272
M), memberinya nama dengan istilah Ilmu al-Aqaid. Abdu al-
Jabbar (415 H/1024 M) memberinya nama dengan istilah Ilmu al-
Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberinya nama dengan istilah
Ilmu al-Tauhid wa al-Shifah. Muhammad Abduh (1323H/1905 M)
memberinya nama dengan istilah Ilmu al-Tauhid. Harry Austyn
Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy of Kalam.
Ahmad Mahmud Shubhy memberinya nama dengan istilah Ilmi al-
Kalam. M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative
Theology. C A Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica
Teology. Sementara itu Harun Nasution (2000 M) memberi nama
dengan istilah Teologi Islam.
3
ILMU TAUHID / ILMU KALAM

Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan


istilah Ilmu Kalam, Ilmu Aqaid, Ilmu
Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut
bahasa (etimologis) kata "tauhid"
merupakan bentuk masdar yang berarti
mempercayai keesaan Tuhan yaitu Allah
SWT. Disebut Ilmu Tauhid karena
tujuannya yang pokok adalah
mempercayai keesaan Tuhan, baik dari
segi Dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-
perbuatan-Nya.
4
Adapun menurut istilah (terminologis),
ilmu tauhid ialah ilmu yang
membicarakan tentang Tuhan dan sifat-
sifat yang wajib, mustahil serta jaiz bagi-
Nya, juga membahas tentang utusan-
utusan-Nya dan sifat-sifat yang wajib,
mustahil serta jaiz bagi mereka.

5
Disebut dengan Ilmu Ushuluddin atau
Ilmu 'Aqaid karena pokok
pembahasannya adalah tentang masalah-
masalah kepercayaan atau keyakinan
yang menjadi dasar agama Islam.

6
Disebut dengan Ilmu Kalam atau Teologi
Islam karena permasalahan terpenting
yang muncul pada masa pertama dan
pernah menimbulkan pertentangan keras
di kalangan umat Islam pada abad ke-9
dan ke-10 M. adalah tentang kalam Allah
(al-Qur'an) apakah ia azali atau tidak,
apakah ia qadim atau makhluk.
Pertentangan keras ini bahkan sampai
menimbulkan penganiayaan dan
pembunuhan terhadap sesama muslim
waktu itu.

7
Teologi yang diajarkan di kalangan umat
Islam Indonesia pada umumnya adalah
teologi dalam bentuk Ilmu Tauhid yang
antara lain memiliki karakteristik sbb :
1. Pembahasannya kurang mendalam dan
kurang filosofis.
2. Pada umumnya yang dikaji adalah ilmu
tauhid menurut aliran Asy'ariyah
sehingga timbul kesan di kalangan
sebagian umat Islam Indonesia bahwa
inilah satu-satunya teologi yang ada
dalam Islam.
3. Pembahasannya bersifat sepihak dan
tidak mengemukakan pendapat atau
paham dari aliran-aliran lain yang ada
dalam teologi Islam.
8
Namun ironis sekali, relativitas hasil pemikiran
tersebut dalam kurun waktu tertentu telah
dipakai sebagai hasil final yang diterima secara
taken for granted dan tidak dikaji lebih lanjut
secara kritis, analitis dan inovatif. Terlebih lagi
kondisi objektif tersebut di atas telah
berimplikasi pada timbulnya institusionalisasi
pemikiran yang termanifestasikan ke dalam
wadah formal teologi, sehingga
menimbulkan budaya truth claim yang sudah
barang tentu berimplikasi pada pembentukan
mode of thought yang bersifat partikularistik,
eksklusif dan intoleran. Realitas inilah yang
oleh para pengamat sosial keagamaan dinilai
bahwa pemikiran teologi seringkali membawa
ke arah ketersesatan umat.

9
Perlu ditegaskan di sini, bahwa teologi
bukanlah agama. Namun teologi hanyalah
merupakan hasil formulasi akal pikiran
manusia sesuai dengan situasi dan
kondisi sosial yang ada. Oleh karena itu,
rumusan teologi sangat terkait dengan
ruang dan waktu, tingkat pengatahuan
manusia, kadar intelektualitas seseorang,
kondisi sosial budaya, terlebih lagi politik
yang dihadapi pada saat teologi itu
muncul. Meskipun sumbernya kitab suci,
namun teologi adalah karya manusia yang
memiliki realitas yang falliable.
10
Karena itu, rumusan teologi pada masa
tertentu dapat berubah, disebabkan
tantangan zaman yang dihadapi pun
berubah. Dalam konteks inilah harus ada
keberanian ilmiah untuk melakukan
dekonstruksi, rekonstruksi, maupun
transformasi, agar teologi sebagai salah
satu bagian inheren dalam kajian
keagamaan tetap responsif dengan
perkembangan zaman yang dihadapi
manusia.

11
Di abad pertengahan, teologi pernah di
sebut sebagai the queen of the science
(ilmu pengetahuan paling tinggi dan
otoritatif). Ketika itu semua hasil
penelitian rasional harus sesuai dengan
teologi. Maka pandangan dan wacana
(discource) keagamaan mendominasi
pemikiran manusia, dan oleh karena itu
jika terjadi perselisihan visi dan orientasi,
maka visi keagamaan harus
dimenangkan.

12
Oleh karena itu, struktur fundamental
rancang bangun pemikiran teologi,
sangat terkait erat dengan karakteristik
sebagai berikut :
1. Kecenderungan yang sangat kuat untuk
mengutamakan loyalitas pada kelompok.
2. Adanya keterlibatan pribadi
(involvement) dan penghayatan yang
sangat mendalam terhadap ajaran
teologi yang diyakini kebenarannya.
3. Artikulasi perasaan dan pemikiran
diungkapkan dengan bahasa pelaku
(aktor) bukan dengan bahasa seorang
pengamat (spectator).

13
Kristalisasi ketiga karakteristik di atas
dalam diri seseorang atau dalam
kelompok tertentu telah menimbulkan
terciptanya enclave-enclave komunitas
teologi yang cenderung bersifat eksklusif
dan emosional. Sifat dasar inilah yang
berakibat berkembangnya budaya pada
penganut teologi tertentu untuk selalu
mendahulukan truth claim yang paling
dominan dalam proses pembentukan
sikap dogmatisme dan fanatisme.
14
Truth claim yang mentah dan emosional
telah merasuk ke dalam wilayah sosial,
politik yang praktis-empiris, sehingga
harapan-harapan besar tentang peranan
agama dalam mengatasi problema
manusia modern semakin utopis. Orang
lebih melihat dan mementingkan agama
(teologi) sebagai kelembagaan eksoteris,
daripada menggali nilai-nilai spiritual
yang terkandung di dalamnya untuk
dijadikan sebagai big power guna
menjawab tantangan riil kemanusiaan
dalam kehidupan kontemporer.

15
Berbagai kenyataan di atas
menuntut segera dilakukan upaya
transformasi teologi yang
melibatkan kesadaran sosiologis,
antropologis, psikologis, yang
dibangun di atas sikap universalitas
emansipatorik dan egalitarian.
Berdasar pemikiran ini, maka dapat
ditawarkan beberapa pondasi untuk
menciptakan rancang bangun
teologi yang inklusif.
16
Pertama, melakukan dekonstruksi
pemikiran teologis yang bersifat
partikularis-eksklusif dan dogmatis
menuju teologi yang inklusif dan
bertautan dengan missi sosial yang
emansipatoris.

17
Kedua, mengeliminir budaya truth
claim dan menumbuhkan sikap
toleransi terhadap berbagai perbedaan
teologis, dengan memperluas
wawasan intelektual yang bernuansa
dialogis, sehingga mampu
mengakomodir keberanekaragaman
teologi yang bersifat institusional dan
pengalaman spiritual yang bersifat
individual.

18
Ketiga, rancang bangun teologi
tersebut harus bersifat fleksibel dan
adaptif, yakni mampu merespon
konteks sosial yang selalu berubah.

19
Keempat, rumusan-rumusan teologi
harus dapat memberikan arah dan
siraman spiritual yang berorientasi
pada fraksis (otofraksis dan bukan
ortodoksi) yang lebih fungsional,
sehingga mampu menegakkan basis-
basis nilai keagamaan yang lebih
esensial dalam setiap aspek kehidupan
manusia.

20
21

Anda mungkin juga menyukai