Anda di halaman 1dari 12

TEOLOGI AGAMA-AGAMA PAUL TILLICH

Makalah ini disusun dan dibuat guna melengkapi tugas kelompok pada mata kuliah teologi
agama-agama

Dosen Pembimbing : Bapak Nur Khamid, M.Hum

Disusun Oleh :

Miftakhul Aini ZahrotuN Nikmah 53050200053

Muhammad Fadhilah 53050200054

Anik Farida 5305020005

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Teologi Agama-agama Paul
Tillich” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Nur Khamid
M.Hum, pada mata kuliah Teologi Agama-agama. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang teologi agama-agama bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Nur Khamid M.Hum. selaku dosen mata
kuliah Teologi Agama-agama yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan,
semangat dan masukan. Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Salatiga, 21 Mei 2022


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengenal sesuatu hal tanpa melihat latar belakang dan hubungan sejarahnya
akan menghasilkan pengertian yang sepotong serta tidak akan diperoleh kebenaran.
Berusaha menjangkau hubungan sejarah akan dapat memberikan pengertian yang
lebih kaya dan lengkap, sehingga mendapatkan makna yang sebenarnya. Peristiwa
baru tidak bisa dilepaskan dari peristiwa lama. Zaman yang baru merupakan
kelanjutan dan produk zaman yang lama.
Karena itu, dalam makalah ini, penulis berupaya untuk memahami sejarah
pemikiran Paul Tillich. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menguraikan riwayat
hidup, pokok-pokok ajaran terhadap teologinya. Demi tercapainya tujuan dan
runtutnya penulisan, penulis akan membahas tentang riwayat hidup dan karya-karya
Paul Tilich, metode teologinya serta pokok-pokok pikiran.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Riwayat Hidup Paul Tillich?


2. Bagaimana Teologi dari Paul Tillich?
3. Apa Sajakah Pokok Pikiran Teologi dari Paul Tillich?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Paul Tillich.


2. Untuk mengetahui Teologi dari Paul Tillich.
3. Untuk mengetahui Pokok Pikiran Teologi dari Paul Tillich.
BAB II

PEMBHASAN
A. Riwayat Hidup
Paul Johannes Tillich (20 Agustus 1886 – 22 Oktober 1965) adalah seorang
teolog Jerman-Amerika dan seorang filsuf eksistensialis Kristen . Bersama dengan
Karl Barth yang hidup sezaman dengannya, Tillich adalah salah satu teolog
sistematika Protestan yang paling berpengaruh pada abad ke-20.

Tillich dilahirkan dalam sebuah keluarga pendeta Lutheran di Starzeddel (di


kabupaten Guben yang kini termasuk wilayah Polandia). Ia belajar di sejumlah
universitas di Jerman, yaitu di Berlin, Tübingen, Halle, dan Breslau. Ia mendapatkan
gelar doktornya dengan menulis disertasi tentang Friedrich Schelling. Tak lama
sesudah itu, pada 1912, ia ditahbiskan sebagai pendeta di Gereja Lutheran, dan segera
beralih karier menjadi seorang profesor. Kecuali untuk selingan singkat sebagai
pendeta tentara di dinas ketentaraan Jerman pada Perang Dunia I, ia mengajar di
sejumlah universitas di seluruh Jerman selama dua puluh tahun kemudian. Tillich
mengajar teologi di universitas Berlin, Marburg, Dresden, dan Leipzig, dan filsafat di
Universitas Goethe, Frankfurt. Namun, perlawanannya terhadap rezim Nazi
menyebabkan ia kehilangan pekerjaannya. Ia dipecat pada 1933 dan digantikan oleh
filsuf Arnold Gehlen, yang telah bergabung dengan Partai Nazi tahun itu, karena ia
dilarang mengajar di universitas-universitas di Jerman, Tillich pun menerima
undangan dari Reinhold Niebuhr untuk mengajar di Seminari Teologi Union di
Amerika Serikat. Akhirnya Tillich menjadi warga negara AS pada 1940.

Di Seminari Teologi Union inilah Tillich mendapatkan reputasinya setelah


menerbitkan serangkaian buku yang menguraikan sintesisnya yang khusus tentang
teologi Kristen Protestan dengan filsafat eksistensialis (dengan memanfaatkan
penelitian dalam Psikologi di dalam prosesnya). Antara 1952 dan 1954, Tillich
menyampaikan kuliah-kuliah Gifford di Universitas Aberdeen, yang menghasilkan
tiga jilid bukunya yang komprehensif, yaitu Systematic Theology (Teologi
Sistematika). Sebuah buku terbitan 1952 yang menguraikan pandangan-pandangannya
tentang eksistensialisme, The Courage to Be, (Keberanian untuk Mengada) ternyata
populer bahkan di luar kalangan filsafat dan keagamaan, yang membuatnya terkenal
dan berpengaruh. Karya-karyanya ini menyebabkan ia mendapatkan tawaran jabatan
yang bergengsi di Universitas Harvard. Pada 1955 ia memasuki masa emeritasi di
Seminarinya dan diakui sebagai Superstar intelektual, yang selama ini hanya dikenal
di universitas. Ia menerima tawaran dari Harvard dan diangkat sebagai Profesor
Universitas. Di sana ia menulis sebuah buku lainnya yang juga populer, Dynamics of
Faith (Dinamika Iman) (1957). Ia juga memberikan sumbangan penting kepada
pemikiran tentang Doktrin Perang yang Sah modern. Pada 1962, ia pindah ke
Universitas Chicago, dan terus mengajar di sana hingga wafatnya di Chicago pada
1965. Jenazah Tillich dikremasikan dan abunya disimpan di Taman Paul Tillich di
New Harmony, Indiana.

Karya Paul Tillich yang terbesar adalah teologi sistematis. Di dalamnya ia


menguraikan pendekatan teologinya. Paul Tillich sebagaimana ditulis oleh Tony Lane
menjelaskan bahwa: Suatu sistem teologi diharapkan memenuhi dua kebutuhan asasi,
yaitu pernyataan mengenai kebenaran berita Kristen dan penafsiran kebenaran ini bagi
setiap generasi baru. Teologi bergerak antara dua kutub, yaitu antara kebenaran kekal
dari dasar-dasarnya dan situasi waktu pada zaman kebenaran kekal itu diterima.

Jadi, Paul Tillich menentang ortodoksi yang mencampuradukkan kebenaran-


kebenaran kekal dengan cara kebenaran-kebenaran diungkapkan pada zaman tertentu.
Ortodoksi mengambil teologi yang sebenarnya ditujukan kepada masa silam dan
mengalamatkannya kepada situasi dewasa ini. Namun, masa lampau sudah tidak
sesuai lagi dengan situasi masa kini.

B. Teologi
Pendekatan Tillich terhadap teologi Protestan sangat sistematik. Ia berusaha
menghubungkan kebudayaan dan iman dengan begitu rupa sehingga "iman tidak perlu
ditolak oleh kebudayaan kontemporer dan kebudayaan tidak perlu ditolak oleh iman",
metode inilah yang dikenal dengan metode korelasi. Akibatnya, orientasi Tillich
sangat apologetik, karena ia berusaha memberikan jawaban-jawaban teologis yang
konkret sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan
ia menjadi sangat populer karena pemikirannya mudah diikuti oleh para pembaca
awam. Dalam perspektif yang lebih luas, penyataan (revelation) dipahami sebagai
sumber mata air agama. Tillich berusaha mempertemukan penyataan dengan
penalaran dengan mengajukan argumen bahwa penyataan tidak pernah bertabrakan
dengan nalar (dan dengan demikian mengukuhkan Thomas Aquinas ketika ia
mengatakan bahwa iman pada hakikatnya rasional), dan bahwa kedua kutub
pengalaman subjektif manusia ini saling melengkapi sifatnya.

Dalam pendekatan metafisiknya, Tillich adalah seorang eksistensialis yang


gigih, yang memusatkan perhatiannya pada hakikat keberadaan. Ketiadaan
(nothingness) adalah sebuah motif penting dalam filsafat eksistensialis dan dengan
demikian Tillich mengikutsertakan konsep ini sebagai sarana reifikasi keberadaan itu
sendiri. Tillich berpendapat bahwa kecemasan dari ketidakberadaan (non-being)
(kecemasan eksistensial) itu inheren di dalam pengalaman mengada itu sendiri. Secara
sederhana, orang takut akan ketidakberadaan mereka sendiri, yakni, kematian.
Mengikuti alur yang serupa dengan Søren Kierkegaard dan hampir identik dengan
alur Sigmund Freud, Tillich mengatakan bahwa di dalam momen-momen paling
introspektif kita, kita menghadapi teror dari ketidakberadaan kita sendiri. Artinya, kita
"menyadari kefanaan kita", bahwa kita adalah makhluk-makhluk yang fana.
Pertanyaan yang sewajarnya muncul dalam pikiran orang di dalam pemikiran
introspektif ini ialah apakah yang pertama-tama menyebabkan kita "mengada". Tillich
menyimpulkan bahwa makhluk yang secara radikal fana (yang, sebaliknya, sekurang-
kurangnya secara potensial, kekal) tidak dapat dipertahankan atau disebabkan oleh
makhluk yang fana lainnya. Apa yang memelihara makhluk-makhluk yang fana ini
adalah yang mengada itu sendiri (being itself), atau dasar dari keberadaan (ground of
being). Inilah yang diidentifikasikan Tillich sebagai Allah.

Nama lain untuk dasar keberadaan adalah esensi. Esensi dipahami sebagai
kekuatan dari keberadaan, dan selama-lamanya tidak dapat ditembus oleh pikiran
yang sadar. Dengan demikian ia tetap berada di luar ranah pemikiran, dan
mempertahankan kebutuhan akan penyataan di dalam tradisi Kristen.

Yang berlawanan dengan esensi, tetapi juga tergantung kepadanya, adalah


eksistensi atau keberadaan. Eksistensi bersifat fana, sementara esensi kekal. Karena
eksistensi itu adalah keberadaan sementara esensi adalah dasar dari mengada, maka
esensi adalah dasar atau sumber dari keberadaan. Namun karena yang satu bersifat
kekal sementara yang lainnya fana, maka eksistensi (yang fana) pada dasarnya
teralienasi dari esensi. Manusia teralienasi dari Allah. Inilah yang disebutkan Tillich
sebagai dosa. Menjadi berada berarti teralienasi.
Pandangan Tillich yang radikal yang meninggalkan teologi Kristen yang
tradisional ditemukan dalam pemahamannya tentang Kristus. Menurut Tillich, Kristus
adalah "Keberadaan yang Baru", yang di dalam dirinya memperbaiki alienasi antara
esensi dengan eksistensi. Esensi sepenuhnya menampakkan dirinya di dalam Kristus,
tetapi Kristus pun adalah manusia yang fana. Bagi Tillich, hal ini menunjukkan suatu
revolusi di dalam hakikat keberadaan itu sendiri. Jurangnya telah dipulihkan dan
esensi kini dapat ditemukan di dalam eksistensi. Dengan demikian menurut Tillich,
Kristus bukanlah Allah sendiri di dalam dirinya, sebaliknya Kristus adalah penyataan
Allah. Sementara kekristenan tradisional menganggap Kristus sebagai manusia
seutuhnya dan Allah seutuhnya, Tilliah percaya bahwa Kristus adalah cerminan dari
tujuan tertinggi manusia, apa yang Allah inginkan agar manusia menjadi. Dengan
demikian, menjadi seorang Kristen berarti membuat diri sendiri secara progresif
semakin "seperti Kristus", suatu tujuan yang sangat mungkin dicapai menurut
pendapat Tillich. Dengan kata lain, Kristus bukanlah Allah di dalam pengertian yang
tradisional, melainkan mengungkapkan esensi yang terkandung secara inheren di
dalam semua eksistensi, termasuk eksistensi Anda dan saya. Dengan demikian Kristus
tidaklah berbeda dari Anda atau saya sejauh bahwa ia sepenuhnya menyingkapkan
Allah di dalalm kefanaannya sendiri, sesuatu yang pada prinsipnya Anda dan saya
pun dapat lakukan.

"Allah tidak eksis (ada). Ia adalah yang ada itu sendiri di luar esensi dan eksistensi.
Karena itu berdebat dan mengatakan bahwa Allah itu eksis berarti menyangkal Dia."

Pernyataan Tillich ini meringkaskan konsepsinya tentang Allah. Kita tidak dapat
berpikir tentang Allah sebagai suatu keberadaan yang eksis di dalam ruang dan waktu,
karena hal itu akan membatasi-Nya, dan membuat-Nya fana (terbatas). Tetapi semua
makhluk adalah fana, dan bila Allah adalah Pencipta dari semua makhluk, secara logis
tidak mungkin Allah menjadi fana karena sesuatu yang fana tidak dapat menjadi
pemelihara dari varitas yang kekal dari hal-hal yang fana. Dengan demikian kita harus
memikirkan Allah sebagai yang di luar dari yang mengada, di luar yang fana dan
keterbatasan, kuasa atau esensi dari yang ada itu sendiri.

Sebuah pokok penting terakhir dari teologi Tillich adalah ini: karena segala
sesuatu yang eksis itu korup dan karenanya ambigu, tak ada sesuatupun yang fana
yang dapat mengada (dengan dirinya sendiri) sebagai yang kekal. Yang mungkin
hanyalah apabila yang fana itu menjadi sarana untuk menyingkapkan yang kekal,
tetapi keduanya tidak boleh dicampur-baurkan. Hal ini membuat agama itu sendiri
sebagai wadah yang tidak boleh ditafsirkan terlalu dogmatik, karena sifatnya yang
konseptual dan karena itu fana dan korup. Agama yang benar ialah apa yang secara
benar mengungkapkan yang fana, tetapi tidak ada satu agamapun yang dapat
melakukannya dalam cara yang lain daripada melalui metafora dan simbol. Dengan
demikian keseluruhan Alkitab harus dipahami secara simbolik, dan semua
pengetahuan rohani dan teologis tidak dapat lain kecuali daripada simbool. Hal ini
sering kali diambil oleh para teolog untuk digunakan sebagai kebalikan (counterpoint)
yang efektif dalam menghadapi fundamentalisme agama.

C. Pokok Pikiran Teologi


Beberapa pokok pemikiran dari Paul Tillich adalah sebagai berikut :

1. Inti Pergumulan Teologi

Persoalan pokok dalam teologi Paul Tillich adalah sejarah, yaitu sejarah dalam
arti yang luas. Sejarah sebagai persoalan mengenai arti dan hakikat segala realitas
yang terjadi. Pandangan Paul Tillich mengenai dunia, alam, hidup manusia dan lain
sebagainya, ditandai oleh pandangannya tentang sejarah. Ajarannya mengenai segala
yang ada (baca: ontologi) bukan statis, melainkan dinamis. Apa saja yang disebut
sesuatu, menurut Paul Tillich ingin bereksistensi, ingin memasuki waktu dan
perubahan-perubahan di dalam waktu. Karena itu, tidak ada perbedaan antara ide dan
eksistensi. Kebenaran berdiri di tengah-tengah segala yang terjadi. Kebenaran tidak
pernah selesai. Kebenaran senantiasa bersifat terbuka. Kebenaran senantiasa berusaha
melewati dirinya sendiri, senantiasa dalam perjalanan menuju pada perealisasian
konkret.

2. Nilai Teologi

Menurut Paul Tillich, nilai teologi terletak pada apa yang dilakukan oleh
teologi bagi pemberitaan. Karena itu, soal bahasa menjadi persoalan pokok dalam
teologi. Kita harus mencoba menjadikan pengertian-pengertian yang tradisional yang
dipakai gereja dan teologi menjadi pengertian-pengertian yang dapat dimengerti oleh
manusia zaman sekarang. Untuk itu diperlukan pembentukan bahasa dan bahan-bahan
pengertian yang baru, misalnya pengertian ”Allah” harus dipikirkan dan dirumuskan
kembali.

3. Tujuan Teologi

Bagi Paul Tillich, tujuan teologi adalah membicarakan kebenaran Allah,


sehingga manusia merasakan manfaatnya. Untuk itu diperlukan filsafat. Pusat
perhatian filsafat dicurahkan pada soal ”ada” (ontologi), apa artinya bahwa sesuatu
ada. Segala sesuatu yang dikatakan oleh teologi tentang Allah, dunia, manusia,
semuanya itu ada di dalam kawasan ”ada”. Karena itu, tanpa suatu filsafat tidak
mungkin teologi dapat menjadikan ”adanya Allah” dapat dimengerti.

4. Allah

Paul Tillich mengajarkan bahwa Allah dapat ditunjukkan dalam segala yang
ada, sekaligus Ia jauh tanpa batas, mengatasi yang ada. Realitas Allah tidak terbatas,
sedangkan realitas dunia terbatas. Allah sebagai Allah yang hidup. Ia terus-menerus
memenangkan ”yang tidak ada” pada diri-Nya sendiri dan pada makhluk-Nya. Itulah
sebabnya, Ia menjadi dasar, tempat segala ”ada” berdiri. Segala ”yang ada” mendapat
kekuatan dari Allah untuk berada, sekalipun terkandung di dalamnya ”yang tidak
ada”. Pandangan Paul Tillich tentang Allah, dipertegas oleh Tony Lane sebagai
berikut:

Nama dari kedalaman yang tidak terhingga dan tidak habis-habisnya, dasar
seluruh keberadaan adalah Allah. Kedalaman itu adalah arti dari kata Allah. Dan jika
kata itu tidak banyak artinya bagimu, terjemahkanlah dan berbicaralah tentang
kedalaman-kedalaman hidupmu, tentang keprihatinanmu yang dasariah, mengenai apa
yang anda anggap serius. Mungkin untuk melakukan ini harus anda melupakan segala
sesuatu yang tradisional yang pernah anda ajar tentang Allah. Sebab, jika anda tahu
bahwa Allah itu berarti kedalaman, anda sudah tahu banyak tentang diri-Nya. Sebab
itu, anda tidak bisa menyebut dirimu ateis atau orang tidak percaya.

5. Manusia

Paul Tillich percaya bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna, tetapi
pada saat yang sama manusia juga adalah makhluk yang berdosa. Manusia adalah
makhluk yang sempurna dalam pengertian bahwa “setiap” manusia mempunyai
kesadaran akan hubungannya dengan Allah dan “dapat” mengkomunikasikan
kesadaran tersebut kepada sesamanya. Namun, manusia juga adalah manusia yang
berdosa, di mana sebelum perasaan keagamaan berkembang, kuasa dagingnya sudah
melumpuhkan segala keinginan baik manusia.

6. Gereja

Paul Tillich melakukan kritik (baca: protes) terhadap gereja bahwa sampai saat
ini, gereja hanya melagukan lagu lama, hanya meneruskan begitu saja kebenaran yang
diwarisi dari nenek moyangnya. Menurut Paul Tillich, manusia sekarang telah
terasing dari warisan itu. Dengan pemberitaannya yang menggunakan lagu lama itu
gereja memaksa orang untuk kembali pada abad-abad yang lampau. Sudah jelas
bahwa perbuatan itu tidak akan berhasil. Orang tidak akan mau mendengarkan gereja.

7. Alkitab

Alkitab tidak berbeda dari kumpulan formulasi doktrin-doktrin yang dibuat


gereja-gereja zaman ini, yang cuma merupakan manifestasi kebudayaan dan hasil dari
pergumulan manusia pada zamannya. Menurut Paul Tillich, Alkitab merupakan
berita-berita dari mereka yang memiliki pengalaman religius itu. Artinya Alkitab
lebih diperlakukan sebagai riwayat pengalaman religius manusia.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Soedarmo, R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002.

Sinaga, Martin Lukito, Paul Tillich Teologi & Dinamika Iman, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2000.

Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,


2004.

https://id.scribd.com/document/443590683/SEJARAH-PEMIKIRAN-PAUL-TILLICH-docx-
internet-docx

Anda mungkin juga menyukai