Anda di halaman 1dari 6

Nama : Roni Tampubolon

NIM : 23.07.270

M. Kuliah : Teologi Kontemporer

Dosen : Dr. Ramli Harahap

1. Teologi kontemporer atau Teologi Modern sering juga disebut teologi Historis-Kritis.
Pengertian dari teologi kontemporer itu sendiri adalah teologi yang berdasarkan pada
skeptis atau yang sering disebut dengan menaruh kecurigaan dan keragu-raguan terhadap
Alkitab. Bagi kalangan ini, Alkitab tidak diterima lagi sebagai wahyu Allah atau
kebenaran yang di ilhamkan, baik dari sisi sejarahnya maupun berita yang disampaikan
oleh Alkitab tersebut. Makanya bagi kalangan mereka, Alkitab tidak diterima sebagai
satu-satunya sumber teologi. Jadi kalau demikian, apa yang menjadi sumber teologi
mereka? Sumber teologi mereka adalah filsafat, dan dapat dikatakan bahwa bagi
kalangan ini bahwa mereka telah menggeser kedudukan firman Tuhan dan
menggantikannya dengan fisafat.
Latar belakang teologi kontemporer
Teologi kontemporer dalam arti yang sesungguhnya baru lahir tahun 1919 di Swiss, 40
mil sebelah selatan perbatasan dengan Jerman. Karl Barth (1886-1968), yang sudah
melayani di tempat tersebut sejak tahun 1919 yaitu tepatnya sejak beliau berusia 25
tahun. Kemudian teologi ini dilanjutkan oleh Immanuel Kant. Jadi, tahun 1919 lah
merupakan titik tolak lahirnya teologi kontemporer.
a. Renaissance

Renaissance berarti kelahiran baru, dan menjelaskan kebangkitan intelektual yang


terjadi di Eropa setelah abad pertengahan. Periode ini juga sering disebut sebagai sebuah
kebangkitan pembelajaran. Renaissance ini muncul dari 1350-1650. Jadi penekanan
renaissance ini adalah kemuliaan manusia bukan kemuliaan Allah. Pusat dari manusia dan
dunia ini adalah manusia dan bukan Allah. Manusia pada saat sudah bertolak kepada rasio
atau penalaran bukan lagi pada wahyu ilahi.

Renaissance telah mendatangkan skeptis (keragu-raguan) terhadap Alkitab dan hal-hal yang
supranatural. Tokoh filsafat seperti Descartes, Spinoza dan Libniz berargumentasi bahwa
penalaran manusia dan ilmu pengetahuan mampu untuk memahami teka-teki kehidupan.
Tulisan-tulisan para humanis secular berperan dalam meremehkan Alkitab, mukjizat, dan
wahyu ilahi. Pencerahan dari filsafat humanis secular telah melakukan dasar bagi liberalisme
riligius dan penyangkalannya pada hal-hal yang supranatural.

Ada beberapa tokoh pencerahan, antara lain: John Locke (1632-1704), berargumentasi
bahwa semua yang ada dalam pikiran manusia berasal dari sensasi, memang Locke mengakui
beberapa aspek dari wahyu ilahi, namun ia menyangkal inti dari iman Kristen yang kontra
diksi dengan penalaran yang berdasar pada pengalaman. Ada juga George Berkeley (1685-
1753), mengajarkan bahwa semua pengetahuan ada dalam pikiran. Dengan kata lain,
Berkeley menyangkal wahyu khusus. Serta David Hume (1711-1776) yang adalah seorang
skeptis yang berasal dari Skotlandia, mengkritisi mukjizat-mukjizat di Alkitab, serta
menyangkal bahwa kemungkinan untuk dapat mengetahui kebenaran yang objek. Jadi, dapat
dikatakan bahwa ketiga tokoh di atas membangun teologi di atas rasio, menolak wahyu dan
Alkitab.

b. Idealisme.

Idealisme adalah filsafat yang menyataanbah warealitastidakterletak pada wilayah fisik,


melainkandalam wilayah akal. Di realitas ada akal ilahi, yang menggerakkan dunia kearah
yang lebih baik. Adapun tokoh idealisme ini adalah Immanuel Kant (1724-1804), Kant
berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Allah harus berasal dari penalaran. Kant
menolak bukti-buktitentangkeberadaan Allah, denganmenyangkalkeabsahannya. Kant juga
menggolongkankekristenan dan nilaikekristenan di bawah wilayah moral.Yang membuat
Kant berargumentasi seperti demikian karena Kant menggabungkan antara rasio dan empiris
(pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah). Tokoh berikutnya adalah Georg w.f. hegel
(1770-1831), mengajarkan bahwa hanya pikiran yang riil, setiap hal lain merupakan ekspresi
dari yang absolute yang adalah Allah. Kedua tokoh di atas menganggap kekristenan hanya
sebuah sistemetika, bukan wahyu dari Allah.

2. Ada lima model teologi kontekstual yang diusulkan oleh Stephen B. Bevans dalam
bukunya "Teologi Kontekstual." Kelima model tersebut adalah:
1. Model Kontekstualis-Deskripsional: Model ini berfokus pada deskripsi dan
pemahaman konteks budaya, sosial, dan sejarah suatu komunitas gereja. Tujuannya
adalah agar teologi yang dikembangkan dapat memberikan jawaban konkret
terhadap tantangan dan permasalahan yang ada dalam masyarakat tersebut.
2. Model Kontekstualis-Normatif: Model ini membawa ke dalam teologi
kontekstual norma-norma iman Kristen dan Kitab Suci. Norma-norma ini digunakan
sebagai landasan untuk membimbing pembangunan teologi dalam konteks tertentu.
Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa pesan-pesan Injil tetap terjaga
dan relevan dalam kehidupan komunitas gereja tersebut.
3. Model Kontekstualis-Hermenutis: Model ini menekankan pentingnya tafsir dan
penafsiran yang tepat terhadap Kitab Suci dalam konteks gereja. Menggunakan
metode hermeneutika yang memperhatikan aspek historis, teksual, dan sosial, model
ini berusaha untuk menginterpretasikan pesan teologi secara benar dan kontekstual.
4. Model Kontekstualis-Transformatif: Model ini memusatkan perhatian pada
transformasi masyarakat melalui teologi yang kontekstual. Teologi digunakan
sebagai alat untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah sosial, seperti
kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan. Tujuan utamanya adalah membawa
perubahan positif dalam masyarakat melalui dialog, kerjasama, dan aksi.
5. Model Kontekstualis-Pembebasan: Model ini berfokus pada pembebasan atau
kemerdekaan bagi individu dan masyarakat yang tertindas. Berdasarkan ajaran
Yesus Kristus tentang keadilan, kasih, dan belas kasihan, teologi ini bergulir pada
perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan. Tujuannya adalah untuk
membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.
Dalam memilih model yang cocok digunakan bagi Gereja HKI, perlu dilakukan
refleksi dan diskusi bersama para pemimpin dan anggota jemaat. Penting untuk
mempertimbangkan konteks spesifik Gereja HKI dan kebutuhan jemaatnya. Setiap
model memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, jadi pilihan harus
didasarkan pada apa yang paling sesuai dengan visi, misi, dan nilai-nilai gereja serta
kebutuhan di dalam konteks gereja tersebut.

3. Ada beberapa bentuk kontekstualisasi yang dapat ditawarkan oleh ebenhaezerl nuban
timo, antara lain:
 Melalui karya seni: Ebenhaezerl Nuban Timo dapat melakukan kontekstualisasi
melalui karya seni, seperti lukisan, patung, atau instalasi. Dalam karya seni
tersebut, ia dapat menggambarkan atau merefleksikan kondisi kontekstual yang
ada di sekitarnya.
 Melalui penulisan: Ebenhaezerl Nuban Timo dapat menggambarkan
kontekstualisasi dengan menuliskannya dalam bentuk buku, artikel, atau esai.
Dalam tulisannya, ia dapat menguraikan pengalaman pribadinya, pengamatan,
atau hasil penelitiannya untuk memberikan pemahaman kontekstual.
 Melalui pementasan atau pertunjukan: Ebenhaezerl Nuban Timo dapat
menggunakan media pertunjukan, seperti teater atau tarian, untuk
memperlihatkan fakta atau cerita yang terjadi di sekitarnya. Dalam pementasan
atau pertunjukan tersebut, ia dapat menampilkan karakter, dialog, atau gerakan
yang merefleksikan kondisi sosial atau budaya yang kontekstual.
 Melalui diskusi atau seminar: Ebenhaezerl Nuban Timo dapat mengadakan
diskusi atau seminar untuk mendiskusikan atau membagikan pemahaman dan
pengetahuan mengenai kontekstualisasi yang ada di sekitarnya. Dalam diskusi
atau seminar tersebut, ia dapat berbagi pengalaman, informasi, atau pendapat
untuk memberikan sudut pandang yang lebih kontekstual.

Melalui pengajarannya: Ebenhaezerl Nuban Timo dapat mencoba mengajarkan


kontekstualisasi kepada orang lain melalui kegiatan pengajaran. Dalam proses mengajar, ia
dapat menggunakan pendekatan yang kontekstual dan mengaitkan materi pelajaran dengan
realitas yang ada di sekitar peserta didik. Pilihan bentuk kontekstualisasi yang dapat
ditawarkan oleh Ebenhaezerl Nuban Timo tergantung pada minat, bakat, dan keahliannya
dalam bidang seni atau pendidikan. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan
untuk merancang bangun teologi yang kontekstual di Gereja HKI (Huria Kristen Indonesia)

4. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk merancang bangun teologi
yang kontekstual di Gereja HKI (Huria Kristen Indonesia):
 Mempelajari Konteks: Mulailah dengan mempelajari konteks sosial, budaya, dan
sejarah di mana Gereja HKI berada. Kenali peran gereja dalam masyarakat,
tantangan yang dihadapi, serta kebutuhan dan harapan anggota jemaat.
 Pendalaman Kitab Suci: Teliti dan telaahlah Kitab Suci, terutama bagian Alkitab
yang berkaitan dengan konteks gereja HKI. Identifikasi dan baca pesan-pesan yang
relevan untuk anggota jemaat dalam kehidupan sehari-hari mereka.
 Dialog dengan Budaya Lokal: Libatkan anggota jemaat dalam dialog dan diskusi
untuk memahami budaya lokal. Dengarkan cerita, kekhawatiran, dan aspirasi
mereka. Hal ini akan membantu memahami konteks budaya dan menerapkan
prinsip-prinsip teologis yang relevan.
 Identifikasi Kebutuhan dan Tantangan: Kenali kebutuhan dan tantangan yang
dihadapi oleh anggota jemaat HKI serta masyarakat sekitarnya. Fokuskan perhatian
pada isu-isu sosial, seperti kemiskinan, keadilan, pendidikan, dan kesehatan.
 Pendekatan Kontekstual: Gunakan pendekatan kontekstual dalam merancang
bangun teologi. Sesuaikan pesan dan penerapan ajaran Kristiani yang relevan
dengan permasalahan yang dihadapi jemaat dan masyarakat. Dalam hal ini, jangan
lupakan esensi ajaran Yesus Kristus.
 Pendidikan dan Pelatihan: Sediakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota jemaat
HKI tentang teologi dan cara menerapkannya dalam konteks sehari-hari. Dukung
juga pertumbuhan rohani dan pengetahuan akan doktrin Kristen melalui kelas,
seminar, atau kelompok diskusi.
 Keterlibatan dan Kemitraan: Melibatkan anggota jemaat, pemimpin gereja, dan
mitra lokal dalam merancang bangun teologi tersebut. Keterlibatan aktif akan
memastikan bahwa berbagai perspektif dijaga dan dipertimbangkan dalam
prosesnya.
 Evaluasi dan Revisi: Secara teratur, lakukan evaluasi terhadap rancangan bangun
teologi yang telah diimplementasikan. Catat dampaknya dan sambut masukan dari
jemaat. Lakukan revisi sesuai dengan perubahan konteks dan kebutuhan.

Rancangan bangun teologi yang kontekstual di Gereja HKI haruslah selaras dengan
nilai-nilai dan ajaran dasar iman Kristen, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan konkret
jemaat dan masyarakat sekitar.

5. Topik seputar Perjamuan Kudus bukanlah topik yang baru, melainkan topik yang sudah
ada sejak zaman Alkitab dan diperbincangkan hingga sekarang ini. Tampaknya, dari berbagai
diskusi yang berkepanjangan tentang Perjamuan Kudus, bukan memunculkan kesepahaman
teologi tentang topik Perjamuan Kudus, melainkan memunculkan berbagai perspektif yang
berbeda-beda (beragaman pandangan), bahkan tak jarang ada pemahaman yang salah tentang
Perjamuan Kudus. Menurut pengalaman empiris saya, tatkala saya ikut serta dalam
Perjamuan Kudus (salah satunya Ketika Perjamuan Kudus kepada orang sakit), ada jemaat
yang beranggapan bahwa Perjamuan Kudus itu dilakukan sebagai cara untuk mendatangkan
kesembuhan kepada seseorang yang mengalami sakit penyakit. Perjamuan Kudus dijadikan
sebagai alat untuk memberikan kesembuhan (tatkala ia memakan roti dan anggur), maka
disitulah terjadi kesembuhan.

Anda mungkin juga menyukai