1. Pengantar
Konsili Vatikan II telah membuka suasana baru dalam berteologi. Teologi yang sifatnya
kontekstual menjadi semacam kebutuhan Gereja dewasa ini. Bahkan para teolog menyatakan
bahwa saat ini tidak ada “teologi” – semacam ungkapan “iman yang mencari pemahaman”
dengan “satu ukuran yang cocok untuk semua”, yang berlaku secara universal dan dapat
diterapkan secara universal juga. Sebaliknya, satu-satunya teologi yang ada adalah “teologi
kontekstual” yang mencari pemahaman iman dalam situasi, tempat waktu dan budayanya
sendiri.1 Teologi ini selalu menempatkan pengalaman iman masa lalu para leluhur kita dalam
iman sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci dan Tradisi sekaligus mengaktualisasikan
pengalaman mereka sehingga kesaksian Kitab Suci dan Tradisi tetap hidup dan relevan bagi
semua bangsa. Bevans juga menambahkan bahwa teologi dewasa ini tidak memerlukan lagi
sebuah Summa Theologiae atau sebuah Church Dogmatics yang mungkin mengklaim berlaku
dalam segala situasi manusia di dunia dewasa ini. Sebaliknya, apa yang Gereja butuhkan ialah
mekarnya aneka teologi di setiap penjuru dunia, di setiap situasi historis di antara setiap
kelompok sosial.2
Teologi Minjung adalah salah satu teologi kontekstual yang berusaha merefleksikan iman
Kristiani dalam konteks Korea. Salah satu referensi tentang teologi minjung adalah buku Minjung
Theology People as the Subjects of History. Dalam Buku Minjung Theology People as the
Subjects of History, para teolog minjung memaparkan bagaimana pengalaman kaum minjung di
Korea menjadi langkah pertama dalam berteologi, dan selanjutnya mengkaitkannya dengan teks
Kitab Suci.
1
S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, Ledalero, Maumere 2010, 228-229.
2
S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 259.
2
Penulisan buku Minjung Theology People as the Subjects of History ini tidak dapat
dilepaskan dari sebuah pertemuan konsultasi teologis pertama yang digagas oleh Theological
Commission of National Council of Churches in Korea di Seoul tanggal 22-24 Oktober 1979.
Buku ini adalah sebuah dokumentasi hasil pertemuan konsultasi teologi ini.
Pertemuan ini dihadiri oleh tujuh belas orang dari beberapa negara di Asia ini dan
mengusung tema umum “The People of God and the Mission of the Church”. Menurut kesaksian
Suh Kwang-sun David, tema ini sebenarnya hanya cover name atau bukan tema sesungguhnya
agar pertemuan ini tidak menarik banyak perhatian pemerintah atau para penguasa diktator yang
akan mengawasi ketat khususnya para partisipan lokal atau orang-orang Korea.
Kata “People of God” diangkat karena merupakan jargon Gereja Korea, sedangkan
“mission” bagi para penguasa hanyalah sebuah rumusan yang tidak berbahaya (cliché).
Sebenarnya, tema konsultasi teologis itu adalah “minjung” dan perkembangan teologis dewasa
ini di Korea dari kategori minjung. Namun penggunaan istilah minjung nampak disamarkan
karena kata minjung sendiri adalah sebuah kata yang berbahaya.
3. Pengertian Minjung
Minjung adalah kosakata bahasa Korea tetapi berakar dari bahasa Cina. Menurut Suh
Kwang-sun David, minjung merupakan sebuah kata hasil kombinasi dari dua karakter Cina: min
( ) dan jung ( ). Min dapat diterjemahkan sebagai “orang-orang atau rakyat” dan jung sebagai
“massa”. Oleh karena itu, “Minjung” berarti massa rakyat, massa, atau cukup rakyat saja.3
Minjung adalah sebuah kata yang tumbuh dari pengalaman-pengalaman orang-orang
Kristen Korea dalam perjuangan politis demi keadilan selama bertahun-tahun. “…Teologi
minjung adalah sebuah akumulasi dan artikulasi dari refleksi teologis atas pengalaman-
pengalaman para pelajar, kaum buruh, para pekerja media, profesor, petani, para penulis, dan
kaum intelektual Kristen sama baiknya dengan para teolog di Korea selama dekade 1970an.”4
Teologi ini adalah hasil refleksi murid-murid Kristus dalam penderitaan penjara, yang nampak
3
Suh Kwang-sun David, ”A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of
Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of
History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 16.
4
Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 16.
3
dalam surat-surat mereka dari dalam penjara untuk keluarga dan para sahabat mereka. Wan San
Han mengidentifikasikan minjung sebagai orang-orang yang tersingkir secara politis,
dieksploitasi secara ekonomis, dialienasikan atau diasingkan secara sosiologis, dan yang
dihilangkan secara akademis.5
5
Wan Sang-han, Minjung dan Society, Sugak Publishing House, Seoul 1980, 26-27.
6
Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 192-200.
7
A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, dalam Pasific Theological Review 18:2
(1985), 10.
4
Teologi minjung merupakan sebuah hasil refleksi kaum tertindas di Korea atas
pengalaman penderitaan mereka dalam terang iman Kristiani. Para teolog tidak melepaskan
begitu saja pengalaman konkret mereka dengan akar dan tradisi leluhur mereka yang telah
terbangun selama berabad-abad, sekaligus memadukannya dengan nilai-nilai pembebasan
Kristiani. Dalam konteks ini, realitas minjung menjadi penting. Pada bagian ini, tulisan-tulisan
yang ada mencoba menguraikan secara singkat mengenai realitas minjung dalam kehidupan
rakyat Korea.
8
Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 25.
5
dalam tahanan isolasi, kondisinya amat memprihatinkan. Br. Oh tidak mampu menceritakan
situasi yang sesungguhnya. Beberapa orang yakin bahwa selama dalam tahanan, Br. Oh
mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan paksaan untuk tidak meneruskan perjuangannya.
Suh Nam Dong menegaskan bahwa dua peristiwa itu merupakan salah satu bentuk han
para buruh dan petani Korea. Ia melihat bahwa dari dua peristiwa itu tampak adanya struktur
politik dan ekonomi Korea yang menindas dan melahirkan han dalam diri delapan juta buruh
waktu itu. Karena itu dapat dikatakan bahwa han adalah perasaan umum dari rakyat Korea yang
tidak berdaya. Ini adalah akumulasi pengalaman penindasan yang tertekan dan dipadatkan, yang
diwariskan dan diteruskan yang mendidih dalam darah kaum minjung.
Han adalah sebuah perasaan mendalam yang bangkit dari minjung yang tertindas dan
menderita. Di satu sisi, han adalah perasaan dominan tentang kekalahan, kemunduran, dan
ketiadaan yang dapat disublimasikan dalam bentuk eskpresi-ekspresi artistik yang hebat. Syair-
syair kuno Korea, Pansori dan tari topeng (T’alchum), merupakan bentuk sublimasi artisitik dari
han yang lemah dan frustasi itu. Namun, di sisi lain, han adalah perasaan kegigihan kehendak
untuk hidup yang datang dari orang-orang yang lemah. Kegigihan ini melahirkan sebuah tendensi
pada revolusi sosial sebagai perlawanan atau pemberontakan atas situasi yang menindas mereka.
Dia mengembangkan kata dan dalam teologi minjung sebagai jawaban atas han kaum
minjung.9 Kata Dan berarti “memotong”. Dia menjelaskan dua dimensi dari dan untuk
memperdalam uraiannya tentang dan. Pertama, dan adalah penyangkalan diri. Orang yang
tertindas melepaskan diri impian-impian:
Aku memisahkan tubuh dan pikiranku dari segala kehidupan yang nyaman dan
mudah, lingkaran mimpi-mimpi borjuis yang kecil, rawa sekular tanpa kematian.
Inilah isi keseluruhan dari imanku- aku tahu bahwa hanya penyangkalan diri yang
hebatlah jalanku… inilah revolusi yang harus aku tunjukkan dan wujudkan dengan
hidupku sendiri. Khayalan itu sudah berakhir.10
Dimensi kedua adalah dimensi sosial yaitu mencoba memutus belenggu lingkaran han.
“Dan adalah untuk mengatasi han. Secara personal, dan adalah penyangkalan diri. Secara
kolektif atau sosial dan adalah untuk memotong lingkaran setan balas dendam.”11 Artinya, jika
9
A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, 3.
10
Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian
Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia,
Singapore 1981, 64.
11
Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 64.
6
han kaum minjung meledak tak terkendali dan destruktif, mereka akan membenci, membunuh,
dan membalas dendam pada para penindas mereka tanpa henti. Dan berfungsi untuk mencegah
munculnya sifat destruktif han dan lingkaran setan balas dendam itu.
Sistem pemikiran dan ini terdiri dari empat tahap. Pertama, menyadari Allah dalam hati
kita. Karena kesadaran ini kita terdorong untuk memuliakan Allah dalam pikiran (Shichonju).
Kedua, memelihara tubuh Allah-membiarkan Allah (kesadaran Ilahi) tumbuh dalam diri kita
(Yangchonju). Ketiga, melaksanakan perjuangan untuk mewujudkan Allah dan mempraktekkan
apa yang kita percayai ada dalam Allah (Haengchonju). Tahap ini menandai perjuangan kita
untuk mengalahkan ketidakadilan dunia dengan daya kuasa Allah. Keempat, mentransendensikan
kematian dan kehidupan sebagai sebuah pejuang yang dibangkitkan untuk rakyat atau hidup
sebagai para minjung pemenang yang rendah hati dan dibangkitkan mengatasi kematian
(Sangchonju). Tahap ini orang mengalahkan ketidakadilan dengan mentransendensikan dunia.12
Para teolog minjung memandang serius han sebagai “bahasa” kaum minjung dan
menjadikannya titik kontak dalam pencariannya sebagai basis teologis dalam rangka memulihkan
kedudukan kaum minjung sebagai subyek sejarah.
12
Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 65-67. Bdk. Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001, 7.
13
Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 7.
7
yang awalnya bersifat religius, justru bergeser menjadi media untuk mengungkapkan rasa
ketertindasan mereka, dengan mengejek atau mengkritik para penindas mereka.
Tari topeng bukan hanya tarian semata, namun juga musik instrumental ritmik, lagu-lagu,
dan dialog antara para pemain dengan pemusik dan para pemain dengan para penonton atau
audiens. Tari topeng penuh dengan lelucon, sindiran, dan ekspresi vulgar berupa kata-kata kotor
yang berkaitan dengan seks.
Tari topeng terdiri atas 11 adegan. Hyun Young-hak menyebutkan tiga adegan yang
menurutnya penting berkaitan dengan minjung, yaitu Nojang (Biksu Budha Tua), Tiga Yangban
(tiga orang aristokrat atau bangsawan), dan Miyal Halmi (Wanita Tua Miyal).14
Nojang adalah sebuah kritikan terhadap agama yang cenderung menjadi spiritualitas yang
kuno dan agama metafisis yang jauh terpisah dari dunia nyata sehingga tidak bermakna dan tak
produktif bagi rakyat.15 Kisah Tiga Yangban ini mau menunjukkan bagaimana realitas kehidupan
Kelas yangban. Kelas ini adalah kelas elit penguasa menganggap diri terpelajar, terhormat dan
terpisah dari dunia fana rakyat jelata. Namun, dalam kisah ini mereka terlihat bodoh. Mereka
begitu menikmati dunia mereka sendiri dan eksistensi sistem yang memberikan previlese dan
prestise khusus bagi posisi mereka. Sikap ini membuat mereka buta akan realitas dunia. Kisah
ketiga adalah Miyal-Malmi, yang menggambarkan seorang perempuan tua yang mencari
suaminya. Dia terpisah dari suaminya selama bertahun-tahun karena perang di pulau Cheju,
tempat tinggal mereka dulu. Kisah ketiga ini mau mengungkapkan kenyataan dunia di mana
kaum bangsawan memerintah sekaligus kritik terhadap penindasan laki-laki atas kaum
perempuan.
Tari topeng menjadi sarana untuk mentransendensi pengalaman mereka. Dalam dan
melalui tari topeng, minjung mengalami dan mengekspresikan sebuah transendensi kritis
melampaui dunia ini dan menertawakan absurditasnya.16
Menurut Hyun Young-hak, pengalaman transendensi ini mempunyai pengaruh baik
secara positif maupun negatif. Ketika penindasan menjadi-jadi, kemarahan kaum minjung dapat
saja meledak dan memberontak, namun tanpa mempunyai visi untuk mengubah sistem sosial
dalam masyarakat. Untuk mencegah pecahnya pemberontakan, para pemimpin yang cerdas dan
14
Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, dalam The Commission of Theological
Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian
Conference of Asia, Singapore 1981,48-50.
15
A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 136.
16
Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, 50.
8
licik biasanya memanipulasi dan “mencuci otak” kaum minjung. Mereka mengijinkan dan
bahkan membantu kaum minjung mengadakan festival-festival dan pertunjukan tari topeng yang
berarti menyebarkan perasaan minjung yang terpendam. Mereka juga mengilahikan penglihatan
minjung supaya perwujudan harapan mereka terjadi dalam “dunia lain” bukan dalam dunia nyata.
Dalam hal inilah pengalaman transendental menjadi sesuatu yang negatif, karena membuat
minjung menjadi pasif dan terjebak oleh pengharapan dan utopia belaka.
Namun, pengalaman transendensi itu juga mempunyai pengaruh positif. Pertama,
pengalaman itu membangun dalam diri kaum minjung sikap bijaksana dan mempunyai daya
untuk bertahan hidup dalam dunia yang tidak menghargai martabat mereka. Keyakinan bahwa
dunia yang ada sekarang tidak berpihak dan mereka mampu mengatasi dunia itu, membuat
mereka mampu menanggung beratnya kehidupan di dunia nyata ini dengan humor yang baik
tanpa jatuh ke dalam keputusasaan. Kedua, pengalaman ini mendukung kaum minjung untuk
berjuang demi perubahan dan kebebasan.
17
Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 33.
9
merestorasi sebuah rakyat. Dari kisah naratif Keluaran itu, Moon menemukan sebuah fakta
penting: YHWH tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam gerakan pembebasan. Menurutnya,
manusia diundang untuk bertindak sebagai partner Allah. Selain itu, perjumpaan Allah dengan
Musa dikaitkan dengan para Bapa bangsa, terkait dengan janji Allah kepada mereka. Allah
bukanlah Allah yang ingkar janji, namun selalu menepati janjiNya.18 Sejak semula atau sejak
penciptaan Allah telah memberkati mereka dan menjadikan mereka penguasa atas karya
ciptaanNya. Dengan kata lain, Allah mempercayakan tanggung jawab kepada manusia untuk
menjadi subyek atas sejarah. Ini jelas terungkap dalam Kej 1:28 “…Beranakcuculah dan
bertambah banyak: penuhilah bumi dan takluklah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Oleh karena itu,
menurut Moon, minjung adalah mereka yang membentuk sejarah manusia dengan menaklukkan
dan menguasai bumi, yang memenuhi tujuan Allah dalam penciptaan.
Saat mengalami penindasan, berkat yang diberikan Allah dan hak minjung untuk menjadi
penguasa atas dunia dan sejarah disangkal. Sejarah Keluaran merupakan sebuah sejarah restorasi
martabat manusia sebagai yang diberkati oleh Allah.19 Para teolog minjung memahami peristiwa
Eksodus sebagai penegasan akan kedudukan sebagai subyek. Sebagaimana bangsa Israel
diselamatkan Allah, demikian pula kaum minjung di Korea akan dibebaskan oleh Allah yang
sama, sehingga mereka memperoleh kembali kedudukannya kembali sebagai subyek dalam
sejarah.
Moon melihat bahwa realitas minjung dibicarakan juga dalam tulisan-tulisan Kenabian.
Para nabi tampil sebagai orang-orang yang menyuarakan tangisan atau han kaum minjung. Para
nabi tampil dengan berani membuka topeng kesalahan para anggota keluarga kerajaan dan
memohon kesadaran mereka mengenai situasi realitas kaum minjung. Para nabi tidak berbicara
mengenai sesuatu yang jauh di masa depan, namun mereka berbicara mengenai situasi sosio-
ekonomi dan politik yang konkret terjadi saat ini.
Moon memusatkan perhatiannya pada dua pewartaan nabi yang terkenal yaitu Mikha dan
Amos. Kedua nabi ini adalah nabi yang paling keras dan lantang menyuarakan kritikan terhadap
sikap hidup para penguasa dan sekaligus menyuarakan jeritan penderitaan rakyat kecil.
18
Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, Orbis Books, New York 1985, 6.
19
Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 34.
10
Kritikan Amos terhadap kelas penguasa menunjuk sebuah titik dasar ketidakadilan yaitu
penindasan. Penindasan ini terwujud dalam bentuk praktek jual beli budak, perampasan, pajak
gandum dan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Para penguasa yang bersekongkol mengabaikan
atau mendiamkan permintaan kaum minjung, kecuali mau memberi uang suap, menerapkan
sistem kebijakan perdagangan yang korup dan merugikan kaum petani. Dalam Am 5:10-12,
Amos mengecam praktek korupsi dalam sistem yang ada. Sistem pengadilan kacau dan
kehilangan integritasnya.
Amos tidak hanya mengkritik keculasan para pemimpin dalam sistem sosial ekonomi dan
politik masyarakat Kerajaan Utara, namun juga mengkritik bobroknya sistem religius Israel.
Dalam Am 7:10-17, Moon menunjukkan adanya bukti konfrontasi antara Amos dengan Amazia,
seorang imam di Bethel. Amos mengkritik Amazia dengan berani dan keras yang dianggapnya
melanggar Taurat dan mencoba menghentikan perkataan Allah meskipun kritikannya
menyinggung raja.
Nabi lain yang tak kalah keras mengkritik ketidakadilan adalah Mikha. Moon menyatakan
bahwa tulisan-tulisan kenabian Mikha memusatkan perhatian pada kata “my people atau umatKu”
yaitu mereka yang tertindas. Mereka meyakini dirinya sebagai orang-orang yang dipilih sebagai
gambar Allah dan seharusnya mereka menjadi subyek sejarah. Faktanya mereka kini tertindas,
bukan oleh bangsa asing misalnya Mesir, namun oleh penguasa mereka sendiri, yang
digambarkan oleh Mikha sebagai “ this people atau orang-orang ini” (Mi 2:7b-9).
Mikha melihat adanya dua kelas yang berbeda yaitu kelas orang miskin yang tertindas
oleh para penguasa yang kaya. Lahan-lahan pertanian dan rumah-rumah yang bagus di Moresyet
diambil alih oleh para penguasa secara paksa dan tidak adil dengan menggunakan kekerasan
fisik. Mikha dengan lantang mengecam tindakan para pemimpin yang kejam dan tamak itu ibarat
orang yang “memakan daging bangsaku, dan mengupas kulit dari tubuhnya” (Mi 3:3).
Mikha melihat juga perilaku para imam dan “nabi-nabi palsu” sama buruknya dengan
para pemimpin yang tidak adil itu. “Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para
imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang” (Mi 3:10).
Mikha menuduh mereka telah membangun iman dan teologi yang salah untuk membenarkan
tindakan mereka sehingga melawan sabda Allah. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah cara
untuk menjaga dan meningkatkan kekayaan pribadi mereka.20
20
Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 47.
11
Kata ”umatKu” menjadi semacam tema pusat atau inti ajaran dalam pewartaan nubuat
Mikha. Mikha merasa bahwa seorang nabi sejati harus terlibat dalam penderitaan umatNya yang
tertindas dan ikut merasakan betapa berat kesengsaraan mereka. Moon menegaskan bahwa dari
tokoh Mikha, kita dapat belajar bahwa seorang nabi sejati selalu berdiri di samping dan bersama
kaum minjung.21
Moon mencoba menarik sebuah benang merah yang menghubungkan realitas pewartaan
nabi Mikha dengan teologi minjung di Korea. Moon Hee-suk melihat bahwa situasi pada zaman
nabi Mikha mempunyai kemiripan dengan kondisi kehidupan para petani, buruh, kelas pekerja,
dan para pengangguran yang hidup seperti budak di Korea saat ini.22 Sikap dan karakter nabi
Mikha nampak dalam diri para teolog dan para pemimpin gerakan-gerakan pembebasan yang
menyuarakan harapan dan keluhan kaum minjung di Korea.
21
Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 48.
22
“Saat ini” menunjuk pada situasi saat tulisan itu dibuat, yaitu pada tahun 1970an. Moon Hee-suk Cyiris “An Old
Testament Understanding of Minjung”, 133.
23
Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 140-141.
24
J Gnilka, “Das Evangelium nach Markus, EKK I”, 1978, 279, dalam Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament
Understanding of Minjung”, 139.
12
musuh mereka. Kelima, karena ochlos berlawanan dengan para penguasa, para penguasa takut
terhadap mereka dan mencoba untuk tidak membangkitkan kemarahan mereka.
Ahn Byung-mu juga mengidentifikasi bagaimana sikap Yesus terhadap kelompok ochlos.
Pertama, Yesus tergerak hatiNya oleh belaskasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba
yang tidak mempunyai gembala (6:34). Kedua, Yesus mewartakan bahwa mereka adalah ibuNya
dan saudara-saudaraNya (Mrk 3:34) Dan menerima kaum ochlos ini sebagai anggota keluarga
atau komunitas yang baru. Ketiga, Yesus mempunyai kebiasaan mengajar mereka (bdk Mat 10:1;
11:18). Ini berarti kaum ochlos kagum akan ajaran-ajaran Yesus.25
Bagi para teolog minjung, Yesus tidak hanya sekedar datang “untuk” kaum minjung,
namun Yesus sendiri adalah bagian dari minjung itu sendiri. Bahkan Ia sendiri adalah
personifikasi atau lambang kaum minjung. Yesus berjalan bersama mereka dan menjadi sahabat
mereka. Justru pada titik inilah menurut Ahn, Yesus mewartakan kepada mereka bahwa
“Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15).
Yesus mewartakan sebuah jalan dan pengharapan yang baru. Pada titik ini, Yesus
berjuang bersama dengan minjung yang menderita. Bahkan Allah dipandang sebagai Allah yang
ikut menderita, yang memandang serius penderitaan manusia sebagai akibat ketidakadilan,
kekerasan, dan penindasan. Dengan demikian, ada kesatuan antara “Allah dan Revolusi
(unification of God and revolution)”. IdentifikasiNya dipandang sebagai jalan kaum minjung
untuk mengadakan revolusi memperjuangkan status mereka sebagai subyek sejarah, yang
menentukan sejarah mereka sendiri, bukan oleh kaum elit penguasa.
25
Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 141-142.
13
transendensi diri kaum minjung.26 Para teolog minjung mencoba merunut genealogi teologi
minjung dalam pengalaman-pengalaman historis dan pembangunan komunitas Kristiani di Korea
yang menghidupi perasaan han baik sifatnya personal maupun kolektif, yang termanifestasikan
dalam berbagai macam bentuk seni dan pertunjukan seperti novel-novel, puisi-puisi, dan tari
topeng. Refleksi itu bergerak menuju pada tindakan-tindakan yang mempunyai daya ubah bagi
kaum minjung. Gagasan mesianik berkembang dengan mengkolaborasikan gagasan mesianik
dalam Budha Maitreya, Donghak, dan Kristianitas. Proses kolaborasi itu mengarah pada
terbentuknya Mesianisme Yesus atau mesianisme seorang Hamba yang menantang secara radikal
semua bentuk mesianisme politis dan kekuasaan. Mesianisme Yesus akan membebaskan kaum
minjung dari segala penderitaannya dan menempatkannya sebagai subyek sejarah, dan
menciptakan sebuah umat Allah yang bersekutu (koinonia) dan dan damai (shalom). Pembebasan
tidak hanya menyentuh unsur spiritual kaum minjung, namun juga secara sosio-ekonomis-politis.
Bagi Kim, ada beberapa tugas yang muncul atas situasi semacam itu di Korea. Pertama,
orang-orang Kristen harus menyingkapkan sejarah panjang mesianisme politis yang
memperbudak mereka dan dan berjuang untuk melawan mesianisme politis ini. Usaha ini
melibatkan adanya evaluasi-evaluasi kritis terhadap nilai-nilai politis, struktur-struktur politis dan
kepemimpinan politis. Kedua, mencoba menemukan kembali tradisi-tradisi mesianis populer
yang diwariskan oleh Budhisme mesianik Maitreya dan agama Donghak, melalui sebuah
penelitian literatur-literatur yang ada dan melalui dialog dengan para pemimpin Budhis dan
Donghak yang mempunyai keprihatinan sama dengan orang-orang Kristen. Ketiga, terlibat dalam
sebuah langkah konkret dalam perspektif politis seorang Kristen, berdasarkan gagasan-gagasan
berikut ini: gagasan tentang kebangkitan umum rakyat (jasmani maupun spiritual) yang dipahami
dalam istilah-istilah subyektivitas mesianis rakyat, shalom dalam hubungannya dengan proses
unifikasi kedua Korea, dan koinonia (partisipasi) dan keadilan dalam hubungannya dengan
pembangunan sosial politik orang-orang Korea. Untuk melaksanakan tiga hal ini, kita
memerlukan sebuah pemahaman umum tentang sejarah Korea dan kita harus berdialog dengan
kaum intelektual sekuler yang mencoba untuk melayani rakyat.27
26
Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of
Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of
History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 28.
27
Kim Yong-bock, “Messiah and Minjung: Discerning Missianic Politics over against Political Mesianisme”, dalam
The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as
the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 192.
14
28
Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in
Korea”, dalam Inter-Religio 24 (1993), 52.
29
Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in
Korea”, 53.
30
Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, dalam Japan
Christian Review 64 (1998), 62.
15
religius.31 Inilah salah model teologi bagi Gereja Asia yang merindukan adanya teologi yang
dibangun atas dasar kekhasan Asia: Kemiskinan, multi-kultural, dan multi-religius.
Teologi minjung juga membantu Gereja Asia untuk melaksanakan langkah-langkah apa
yang ditawarkan oleh FABC dalam mewujudkan teologi kontekstual Asia dengan metodologi
teologis “See, Judge, and Act”. Pada tahap “See” teologi minjung melihat realitas penderitaan
kaum minjung, tidak hanya dalam pengalaman konkret saat ini, tetapi juga dalam sejarah yang
diwariskan dalam bentuk cerita atau narasi, Pansori, tari topeng (T’alchum). Narasi memainkan
peran penting dalam budaya-budaya Asia. Mgr Luis Antonio G. Tagle (sekarang Kardinal dan
Uskup Agung Manila) dalam First Asian Mission Congress menyatakan bahwa teologi
diuntungkan dengan adanya kisah-kisah naratif itu karena cerita menyatakan identitas personal
dan peristiwa-peristiwa yang mempertajam identitas itu.32 Selanjutnya, pada tahap “Judge”
teologi minjung membantu merefleksikan dan menafsirkan pengalaman itu dalam terang Kitab
Suci yaitu Kisah Eksodus, nubuat profetis Amos-Mikha, dan kisah mesianis Yesus. Akhirnya
pada tahap “Acts” teologi minjung mencoba membuat langkah-langkah konkret demi perjuangan
untuk pembebasan kaum minjung yang miskin dan tertindas.
Oleh karena itu, tugas teologi minjung di Korea bersama-sama dengan teologi-teologi
kontektual Asia lainnya seperti Teologi Akar Rumput di Filipina, Teologi Planeter di Sri Lanka,
Teologi Kerbau di Thailand, dan teologi-teologi lainnya adalah membuat wajah-wajah Gereja
khas Asia semakin tampak. Yewangoe mengutip gagasan Schillebeeckx yang menyatakan bahwa
gereja-gereja Asia harus menjadi tempat pertemuan antara aksi dan kontemplasi. Dalam liturgi,
pembebasan dan keselamatan Allah dirayakan, tetapi pada saat yang sama, liturgi pun harus
menjadi tempat di mana praksis yang membebaskan itu mendapatkan makanannya.33
31
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 310.
32
Mario Saturnino Dias (ed.), Telling the Story of Jesus in Asia: A Celebration of Faith and Life at the First Asian
Mission Congress, FABC- Office of Evangelization, Goa 2006, 133.
33
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 363.
16
teolog seperti, Se Yoon Kim dan Eunsoo Kim secara ekstrim menyebut teologi minjung sebagai
teologi heretik dalam terang Kitab Suci.34
34
Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.
35
Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.
36
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 332.
17
dan relasi dengan Allah dipulihkan. Allah tidak menutup mata terhadap Israel yang menjadi
korban “kedosaan” Mesir dalam sistem sosialnya yang menindas. Allah menghukum dengan
serangkaian bencana (bdk. Kel 7:14-12:42) sebagai tanda keprihatinan Allah akan situasi sosial
ekonomi dan politik umatNya. Namun harus pula diingat bahwa Allah juga tidak menutup mata
atas potensi “pemberontakan” Israel terhadap Allah. Oleh karena itu, pembebasan dari struktur-
struktur sosial yang menindas tidaklah otomatis pembebasan dari dosa. Tindakan penebusan
Allah dalam peristiwa Paskah harus selalu diingat. Tanpa pertobatan dan tanpa pengampunan
dosa kaum tertindas dapat menjadi penindas, jika ada kesempatan. Itulah sebabnya Allah
memperingatkan Israel agar tidak menghisap orang asing di negeri mereka, karena mereka pun
dahulu orang asing di Mesir (bdk Im 19:33-34).37
Pendapat Yewangoe ini mau menjawab pemahaman Kim Yong-bock, seorang teolog
minjung, yang menyatakan bahwa pemahaman tentang dosa tidak memainkan peran dalam
teologi minjung di Korea. Yewangoe mengkritik para teolog minjung yang tidak seimbang dalam
memperhatikan sisi pembebasan secara politis dan pembebasan secara spiritual. Mereka lebih
menekankan makna politis dalam pembebasan kaum minjung dan kurang menekankan pada
makna penebusannya. Para teolog minjung menafsirkan orang berdosa sebagai minjung. Orang
berdosa hanyalah “cap atau gelar” yang dikenakan pada kaum minjung oleh kelas penguasa pada
jaman Yesus. Oleh karena itu, gagasan apakah kaum minjung berdosa dan memberontak kepada
Allah tidak memainkan peran apapun dalam teologi minjung.38
37
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 335-336.
38
David Mol, “Minjung Theologie-Zuidkoreaanse bevrij dingstheologie in een geïndustrialiseerde samenleving”,
Wending, 1985, 21-22 dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 330-331.
39
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 341-342.
18
memahami bahwa hakikat Allah bukanlah penderitaan, tetapi kasih. Justru karena kasihNya pada
manusia, Allah mengosongkan diriNya (kenosis) demi keselamatan manusia (bdk. Flp 2:6-8).40
Yewangoe mengutip gagasan Choan Seng Song yang mengkritik pandangan teolog
minjung yang menyatakan bahwa Allah menderita dan mati “bersama” dunia dan manusia. Song
menegaskan bahwa Allah menderita dan wafat “untuk” dunia dan manusia.41 Penekanan yang
berlebihan pada Allah yang menderita dan mati “bersama” manusia dan enggan menggunakan
kata “untuk” berarti mengabaikan keutuhan citra Yesus Kristus. Penggunaan mesianisme Hamba
Yahwe yang menderita dalam teologi minjung, harus dimaknai pula sebagai jalan Allah yang
menyelamatkan dengan cara menanggung dosa banyak orang, yang dari padaNya datang
keselamatan bagi semua orang.42
Catatan:
Tulisan ini adalah ringkasan dari Skripsi penulis
40
Choan Seng Song, Third Eye Theology, Maryknoll, 1979, 69, dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 349-
350.
41
Choan Seng Song, Third Eye Theology, 165-166.
42
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 357.