Anda di halaman 1dari 15

A.

Latar Belakang Masalah

Perkembangan keilmuan komunikasi mengalami kemajuan yang sangat

pesat, dimulai dari era retorika yunani kuno. hingga era komunikasi berbasis

teknologi. Mempelajari komunikasi adalah mempelajari proses sosial yang aktual,

di mana bentuk simbol yang signifikan diciptakan, muncul, dan digunakan.

Tujuan kita berkomunikasi adalah untuk mengkontruksi, memelihara,

memperbaiki dan menstransformasi realitas. Karena model komunikasi tidak

dapat merepresentasikan komunikasi itu sendiri, tetapi membimbing dan

berkonsentrasi pada interaksi manusia, massa dan pribadi. Karena itu mempelajari

komunikasi termasuk didalamnya mempelajari konstruksi, pengertian dan

penggunaan model-model komunikasi itu sendiri.

Istilah komunikasi digunakan dalam arti yang sangat luas untuk

menampung semua prosedur yang bisa digunakan oleh satu pikiran untuk

mempengaruhi pikiran lain. Karena itu hampir seluruh proses komunikasi adalah

persuasi. Dalam perspektif Komunikasi profetik akan menemukan titik terang

dan benang merah peran dan kontribusi komunikasi kenabian dalam sejarah

perkembangan ilmu komunikasi. Komunikasi profetik tidak hanya dapat

dipetakan dalam kelompok kerja agama saja tetapi dapat dipetakan dalam

kelompok kerja ilmu secara umum sebab memuat urusan kemanusiaan dan agama

secara bersamaan.

Komunikasi profetik bukan hanya persoalan dakwah tetapi juga persoalan

kemanusiaan secara luas. Di dalamnya terkandung usaha komunikasi yang

berorientasi pada humanisasi, liberasi dan transendensi. Komunikasi profetik

1
merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang

terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.

Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa sub

masalah yaitu:

1. Bagaimana Pengertian Komunikasi Profetik?

2. Bagaimana relasi humanisasi, liberasi dan transendensi dengan komunikasi

Profetik?

B. Pembahasan

1. Pengertian Komunikasi Profetik

Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu

komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah

Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi

profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif

lslam yang terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang

sebelumnya.1

Lahirnya ilmu profetik bukan berati akan menggeser kedudukan ilmu

sosial yang sudah ada dan berkembang saat ini, melainkan akan melengkapi

bahkan mengembangkan ilmu sosial yang tengah berkembang saat ini.

Komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi

Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah

berkembang sebelumnya. Ini bisa dibilang sebuah upaya suntikan imunisasi bagi

perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, dalam menerapkan prinsip-

1
Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007), hal 113-114

2
prinsip kaidah komunikasi kenabian terhadap dinamisnya ilmu komunikasi yang

berperan penting dalam kancah akselerasi perubahan sosial yang dapat

menempatkan pengguna komunikasi, konsumen dan media komunikasinya jadi

memiliki imunitas pertimbangan etis dalam berbagai praktik berkomunikasi.2

Di Indonesia istilah profetik mencuat kepermukaan, setelah Kuntowijoyo

menawarkan istilah ilmu sosial profetik.3 Menurut Kontowijoyo, istilah ilmu

sosial profetik terinspirasi oleh Roger Garaudy dan Muhammad Iqbal. Dalam

konteks ini Roger Garaudy (seorang filosof Perancis yang menjadi muslim)

menyatakan bahwa, filsafat barat tidak memuaskan, sebab hanya terombang-

ambing antara dua kutub, idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat barat

(filsafat kritis), itu lahir dari pertanyaan: bagaimana pengetahuan dimungkinkan?.

Dengan demikian Roger Garaudy menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu

menjadi, bagaimana wahyu dimungkinkan?.4 Satu-satunya cara untuk

menghindari kehancuran perdaban ialah dengan mengambil kembali warisan

Islam. 5

2
Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan)., h. 115
3
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Cet. I;
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), h 86
4
Roger Garaudy melakukan kritik terhadap filsafat barat, dan kemudian memberikan
alternatif penggantinya: filsafat profetik, yaitu filsafat yang bersumber dari Al-Qur’an, yang
membawa cara-cara baru untuk melihat Tuhan, dan alam, dan juga membawa hukum-hukum baru
yang tidak dapat diredusir dalam filsafat Yunani (tidak dapat difahami dengan bertitik tolak dari
filsafat-filsafat sebelumnya. Lihat Roger Garaudy, Janji-janji Islam, dialihbahasakan oleh H.M.
Rasjidi dari judul asli “Promesses de l”Islam” (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1982), h. 109-114.

3
Sedangkan Muh. Iqbal dengan mengutip kata-kata yang diucapkan oleh

Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam, dari Ganggah6 yang berkaitan dengan

peristiwa mi’raj Nabi Muhammad Saw. menyimpulkan bahwa seandainya Nabi

seorang mistikus atau sufi tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah

merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya. Namun ternyata

Nabi lebih memilih untuk kembali ke bumi untuk menggerakan perubahan sosial,

untuk mengubah jalannya sejarah.

Menurut Kuntowijoyo apa yang terdeskripsi diatas merupakan upaya dari

Nabi untuk memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita etik

profetik. Hal ini memperlihatkan bahwa pengalaman keagamaan (pengalaman

relijius) yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. tidak menggoda beliau untuk

berhenti, akan tetapi justru menjadikannya kekuatan psikologis untuk mengubah

kemanusiaan, menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah. Hal inilah yang oleh

Kuntowijoyo disebut sebagai etika profetik.7

Iqbal dalam tulisannya The Reconstruction of Religious Thought In Islam

memaknai etika kenabian sebagai etika transformatif, ia memberi penekanan

bahwa Nabi adalah seorang manusia pilihan yang dengan sepenuhnya sadar

dengan tanggung jawab sosialnya. Kembalinya Nabi dari mi’raj untuk menyusuri

ruang dan waktu, hidup dan berhadapan dengan realitas sejarah kehidupan, lalu

melakukan kerja-kerja transformasi adalah bukti bahwa ia membawa cita-cita

6
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, (Yogyakarta: Jalasutra,
2008), h. 145.
7
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika., h 89

4
perubahan dan semangat revolusioner.8 Menciptakan suatu tatanan

kemasyarakatan yang adil, berkarakter, membantu umat dalam

mengaktualisasikan setiap potensi yang ia miliki, serta membentuk peradaban

yang dihiasi dengan nilai etis dan estetik keislaman.

Komunikasi profetik bukan hanya persoalan dakwah tetapi juga persoalan

kemanusiaan secara luas. Komunikasi profetik tentu saja tetap berkelanjutan,

menyeru masyarakat dan bangsa-bangsa kepada kebenaran adalah tugas dan

tanggung jawab semua manusia. Misi profetik adalah misi universal yang berlaku

bagi siapapun dan dimana pun, tanpa harus terjebak pada latar belakang teologis,

mazhab, suku, dan ras.9

Spirit kenabian (profetik) yang senantiasa diagung-agungkan setiap saat,

sejatinya menjadi lokomotif perubahan, pembebasan, dan pemerdekaan. Adalah

bukan hal yang mustahil bahwa, konfigurasi sosial yang seperti ini merupakan hal

yang mungkin untuk diwujudkan sekiranya umat Islam benar-benar konsisten dan

bersatu dalam membumikan nilai-nilai Ilahiah yang telah diskemakan dengan luar

biasa oleh para nabi dan rasul di zamannya.

Upaya seperti ini, tidak bermaksud mengembalikan zaman sebagaimana

zaman nabi dan rasul tersebut, akan tetapi menjadikan pribadinya sebagai spirit

pergerakan untuk membumikan nilai-nilai yang telah ia perjuangkan dalam

8
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought In Islam. terj. Osman
Raliby, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h. 145.
9
Ali Syariati, Religion vs Religion. terj. Afif Muhammad dan Abndul Syukur, Agama
versus Agama (Cet. VII; Bandung: IKAPI, 2000), h. 12.

5
kehidupan nyata (realitas), dan tentu saja dengan konstruksi intelektual yang

kontekstual dengan zaman saat ini.10

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Imran/3:110

   


 
 
  
    
   
  
 

Terjemahnya:

kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.11

Abdurahman Mas’ud menjelaskan bahwa ‘amar ma’ruf nahy mungkar

dalam ayat tersebut tidak lain dari social control itu sendiri yang merupakan

keharusan penciptaan baik secara individu, keluarga, masyarakat, dan organisasi,

dalam rangka perbaikan bersama dan menghindari kerugian bersama. 12 Perintah

tersebut merupakan kewajiban bagi setiap orang mukmin dimana pun dan kapan

pun, baik dalam dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-

lain. Ini berarti bahwa konsep tersebut mengarah pada terbentuknya tatasan sosial

10
Husain Heriyanto, Pardigma Holistik, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains, dan
Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Jakarta Selatan : Teraju, 2003), h. 10.
11
Deparetemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, t.th), h. 50.
12
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gama Media,
2003), h. 90.

6
kemasyarakatan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan, sehingga hal-hal yang

dipandang akan menjerumuskan manusia dari fitrahnya senantiasa diperangi,

demikian halnya dengan setiap sesuatu yang dianggap mendukung pencapaian

kesejatian manusia sebagai individu dan masyarakat akan senantiasa didukung.

Kuntowijoyo, selaku pemikir muslim Indonesia yang menyadari efek

modernisasi dan globalisasi, yakni terbentuknya masyarakat abstrak, masyarakat

tanpa wajah kemanusiaan, masyarakat yang telah menjadi robot-robot industri.

Masyarakat yang krisis orientasi dan identitas sehingga cenderung mengadopsi

budaya-budaya impor Barat tanpa dibarengi dengan sifat kritis.

2. Relasi Humanisasi, Liberasi dan Transendensi dengan Komunikasi

Profetik

komunikasi Profetik pada intinya memiliki tiga pilar utama, yakni:

humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiga poin tersebut merupakan hal yang

saling terkait satu sama lain, sehingga memahami satu diantaranya meniscayakan

pelibatan yang lainnya. Penghubungan ketiga nilai tersebut dimaksudkan untuk

tujuan praktis, yakni pembebasan manusia dari ketergantungan selain pada Tuhan.

Pada poin ini, akan diuraikan relasi dari ketiga hal tersebut dengan komunikasi

Profetik, yaitu:

1. Relasi humanisasi dengan komunikasi Profetik

Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna

asalnya adalah menyeru atau menegakkan kebajikan. Dalam komunikasi Profetik,

humanisasi artinya proses komunikasi dalam memanusiakan manusia. Humanisasi

sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan,

7
jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep

humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya,

humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep

transendensi yang menjadi dasarnya. Humanisme antroposentris yang menjadikan

akal sebagai senjata utama, sebagaimana motto yang paling kuat dipegang ialah

cogito ergo zum dari sang bapak Filsafat Moderen Rene Descartes.13

Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja

yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris

beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia.

Etosnya adalah semangat menghargai nilainilai yang dibangun oleh manusia

sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur

kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan

untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan

kekuasaan dan kesenangan manusia. Antroposentrisme menganggap manusia

sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia

antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia

pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya

pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak

terkendali

Melalui ilmu dan peradaban moderen, tercipta mesin-mesin perang

terhadap alam, berupa tekonologi untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam

13
Cogito Ergo Sum artinya aku berpikir maka aku ada. Pernyataan ini sekaligus
membuktikan posisi rasio sebagai sumber satu-satunya pengetahuan. Lihat Doni Gahral Adian,
Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn ( Jakarta
Selatan: Teraju, 2002), h. 11.

8
tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia seperti senjata pemusnah

massal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses

humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.

Kenyataan ini mengantarkan Kuntowijoyo untuk mengusulkan humanisme

teosentris sebagai ganti atas humanisme antroposentris guna mengembalikan citra

dan martabat kemanusiaan. Maksud dari Humanisme teosentris dalam hal ini ialah

memandang manusia sebagai makhluk dua dimensi, bahwa manusia disamping

sebagai makhluk biologis yang membutuhkan materi, seperti sandang, pangan,

dan papan, manusia juga membutuhkan spiritualitas sebagai konsekuensi logis

atas keberadaan unsur ruhani (ilahiah) dalam dirinya. Kebutuhan manusia

terhadap materi semata-mata sebagai penguat raga untuk lebih memantapkan

posisi ruhaniahnya. Dengan demikian, orientasi pencarian kebutuhan-kebutuhan

material senantiasa diselaraskan dengan tuntutan-tuntutan ruhaniahnya sebagai

tujuan.

Humanisme dalam komunikasi Profetik adalah terjemahan dari kalimat

amar ma’ruf yang makna dasarnya ialah menyeru atau menegakkan kepada

kebijakan.14 Amar ma’ruf ini dimaksudkan untuk mengangkat citra positif

manusia dan mengantarnya kepada nur (cahaya) Ilahi, hal ini dimaksudkan

semata-mata untuk menggapai fitrah kemanusiaan itu sendiri. Konsepsi ini

berangkat dari sebuah keyakinan bahwa dengan fitrah tersebutlah manusia

mendapatkan posisi sebagai makhluk termulia dimata Tuhan.15

14
Muhammad Ahmad Khalafallah, Masyarakat Muslim Ideal: Tafsir Ayat-ayat Sosial
(Yogyakarta: Insan Madani, 2008), h. 39.
15
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h.
229.

9
Fitrah yang asasinya ialah mendorong manusia kepada hal-hal baik,

kepada kesucian, kejujuran, keadilan, dan berbagai perilaku ma’ruf lainnya,

adalah serangkaian alasan mengapa manusia yang ditunjuk menjadi khalifah di

muka bumi. Berbeda dengan asumsi sebagaian pemikir barat yang melihat akal

sebagai hal yang asasi dalam diri manusia sehingga kemuliaan manusiapun diukur

dari pencapaian rasionalitas. Islam justru melihat kemuliaan manusia itu terletak

pada seberapa besar ia mengembangkan fitrahnya.

Prinsip humanisasi dalam komunikasi profetik adalah sebuah bentuk

komunikasi yang memanusiakan manusia, yang memposisikan manusia sebagai

mahkluk sosial yang ideal diantara sekian makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi.

Dimana manusia dalam berkomunikasi ataupun dalam menjalankan kehidupan

sehari-hari menjadikan nabi sebagai teladan atau figuritas (khususnya Muhammad

saw.) yang dalam sejarah perjalanan hidupnya berhasil membangun panji-panji

kemanusiaan yang tidak semata-mata memberi keuntungan sepihak bagi umat

Islam, tapi lebih dari itu ialah memberi dampak pada individu dan masyarakat non

Islam sekalipun. Nabi Muhammad saw. tidak hanya sukses dalam

mengembangkan ajaran Islam secara teoritik, tapi ia juga telah berhasil mendesain

satu bentuk kemasyarakatan yang berkeadilan berdasarkan nilai-nilai ilahiah.

Inilah ruh dari kesatuan antara teori dan praktek yang tersirat di balik perjuangan

sucinya.

2. Relasi Liberasi dengan komunikasi Profetik

Kuntowijoyo melihat dan memposisikan agama sebagai fondasi utama

bagi pembebasan manusia. Melalui konsep liberasi yang diterjemahkan secara

10
kreatif dari kalimat tanhauna ‘anil munkar yang makna dasarnya ialah mencegah

kemungkaran.16 Kuntowijoyo mengusung satu diskursus sosial yang

mensyaratkan kemestian bagi manusia untuk pro aktif dalam menolak dan

menentang kebatilan, kemungkaran, dan ketidak adilan. Dalam konteks

keindonesiaan misalnya, kemungkaran dapat dilihat dalam berbagai tampilan,

misalnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Wajar jika Indonesia sebagai

salah satu negara kaya dan berpenduduk muslim mayoritas hingga saat ini blum

bisa menampilkan dirinya sebagai bangsa besar di mata dunia.

Liberasi sebagai ruh kedua dari komunikasi Profetik. Liberasi dalam

perspektif Kuntowijoyo mensyaratkan empat sasaran utama, yaitu sistem

pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang

membelenggu manusia, sehingga manusia tidak mampu mengaktualisasikan

dirinya sebagai makhluk yang merdeka, sehingga di butuhkan komunikasi

profetik dalam bentuk liberal untuk mengatasi masalah ini.

Liberasi sistem pengetahuan bertujuan untuk membebaskan manusia dari

sistem pengetahuan materialis atau fanatisme buta, serta klaim kebenaran yang

tidak disertai dengan analisa rasional, sehingga ilmu pengetahuan ditampilkan

terkesan dogmatis dan doktriner. Terkait dengan agenda ini, tentu saja yang paling

berperan ialah para civitas akademis, dan praktisi pendidikan. Mereka dalam hal

ini ditugaskan untuk membangun panji-panji pengetahuan yang meghargai

objektifitas. Liberasi dalam sistem sosial budaya bertujuan untuk transformasi

16
Munkar artinya sesuatu yang ditolak oleh manusia karena mengandung kejahatan,
keburukan, dan malapetaka. Muhammad Ahmad Khalafallah, Masyarakat Muslim Ideal…, h. 39.

11
sosial, bersatu dalam keragaman, toleransi, dan saling menghargai antara satu

dengan yang lainnya, merupakan rangkain agenda dari liberasi ini.

Liberasi dalam sistem ekonomi dimaksudkan untuk menciptakan suatu

sistem ekonomi yang berkeadilan, bebas dari korupsi, dan memihak pada

kepentingan kapital masyarakat banyak. Sedangkan liberasi dalam politik

bertujuan untuk membebaskan manusia dari sistem perpolitikan yang tidak adil,

penindasan, otoritarianisme, dan lain-lain.17 Misi sejati Islam ialah membebaskan

golongan tertindas.18

3. Relasi Transendensi dengan komunikasi Profetik

Trasendensi dalam komunikasi Profetik merupakan inti dari kedua unsur

sebelumnya (humanisasi dan liberasi). Ini bisa dilihat dari pertautan yang begitu

erat antara amal yang mencakup upaya dalam mengajak atau menghimbau

manusia dengan iman untuk berbuat baik (humanisasi) dan membebaskannya dari

segala macam aktivitas yang dapat menjatuhkan nilai kemanusiaannya (liberasi),

dalam pengertian bahwa manusia hanya senantiasa memusatkan diri pada Tuhan.

Transendensi adalah konsep yang diderivasi oleh Kuntowijoyo dari

penggalan ayat tu’minuna billah yang berarti beriman kepada Allah. Transendensi

dalam komunikasi Profetik dimaksudkan untuk menjadikan nilai-nilai transenden

(keimanan) sebagai bagian penting dari proses komunikasi dengan Tuhan dalam

pembangunan peradaban.

17
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology. terj. Agung Prihantoro, Islam
dan Teologi Pembebesan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 33.
18
Antony Black, The History of Political Thought: From the Prophet to the Present, terj.
Abdullah Ali, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi,
2006), h. 584-585.

12
Secara transendental ada dua tife utama pemahaman komunikasi timbal balik

antara Tuhan dan manusia.Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan

tutur bahasa yang dapat dipahami manusia.Kedua, bersifat nonverbal, yaitu

menggunakan tanda-tanda alam. Dalam perspektif filsafat ilmu pengetahuan, ilmu

komunikasi memiliki objek material yang sama dengan ilmu social lainnya, yaitu

tindakan manusia dalam konteks social. Artinya peristiwa komunikasi terjadi

hanya antar manusia. Karenanya, ilmu komunikasi hanya akan mengkaji manusia,

bukan makhluk yang lain.19 Shalat dalam ajaran Islam merupakan sarana

komunikasi antara manusia dan Allah Swt. Ketika manusia berdoa meminta

berbagai permintaan kepada Allah SWT sesunguhnya mausia telah melakukan

praktik komunikasi

C. Kesimpulan

Komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu

komunikasi Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi

yang sudah berkembang sebelumnya.Ini bisa dibilang sebuah upaya “suntikan

imunisasi” bagi perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, semacam

menerapkan prinsip-prinsip kaidah komunikasi kenabian terhadap dinamisnya

ilmu komunikasi yang berperan penting dalam kancah akselerasi perubahan

sosial. Lebih jauh, hal itu dapat menempatkan pengguna komunikasi, konsumen

dan media komunikasinya jadi memiliki ”imunitas” pertimbangan etis dalam

pelbagai praktik berkomunikasi.

19
Dani Vardiyansyah, Filsafat ilmu komunikasi suatu pengantar (Jakarta: Indeks, 2005),
h. 25

13
D. Daftar Pustaka

Ahmad Khalafallah, Muhammad. Masyarakat Muslim Ideal: Tafsir Ayat-ayat


Sosial. Yogyakarta: Insan Madani, 2008.
Ali Engineer, Asghar. Islam and Liberation Theology. terj. Agung Prihantoro,
Islam dan Teologi Pembebesan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Black, Antony. The History of Political Thought: From the Prophet to the
Present, terj. Abdullah Ali, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi
Hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi, 2006.
Deparetemen Agama RI. Alquran dan Terjemahannya. Semarang: PT. Karya
Toha Putra, t.th.

Garaudy, Roger. Janji-janji Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1982.

Heriyanto, Husain. Pardigma Holistik, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat,


Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta Selatan :
Teraju, 2003.

Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta:


Jalasutra, 2008.
Iqbal, Muhammad. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1966.

Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika.


Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Kuntowijoyo Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.
Mas’ud,Abdurrahman. Menuju Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta: Gama
Media, 2003. Gahral Adian, Doni. Menyoal Objektivisme Ilmu
Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta Selatan:
Teraju, 2002.

Syahputra, Iswandi. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). Bandung:


Simbiosa Rekatama Media, 2007.
Syariati, Ali. Religion vs Religion. terj. Afif Muhammad dan Abndul Syukur,
Agama versus Agama. Bandung: IKAPI, 2000.

14
Vardiyansyah, Dani. Filsafat ilmu komunikasi suatu pengantar. Jakarta: Indeks,
2005.

15

Anda mungkin juga menyukai