Anda di halaman 1dari 19

b.

Hakikat Filsafat Dakwah


Pada dasarnya, dakwah dapat dipandang sebagai sebuah realitas,.
Dan sebagai sebuah realitas, dakwah dapat dikaji dan dijelaskan
melalui berbagai perspektif, seperti perspektif sosiologi, antropologi.
sejarah, politik, dan tentu dengan filsafat.

Ketika dakwah didekati dari sudut filsafat, kemudian disebut


dengan filsafat dakwah, maka segera muncul pertanyaan pertanyaan
mendasar yang harus segera dijawab. Misalnya, apakah dakwah itu ?
apakah tujuan dakwah ? Apakah dakwah diperlukan bagi kehidupan
manusia ? Mengapa manusia memerlukan dakwah? Apakah akibatnya
kalau tidak ada dakwah ?

Pertanyaan-pertanyan tersebut merupakan problem ontologis


dakwah yang harus dijelaskan oleh filsafat dakwah. Dengan mengkaji
problem ontologis dengan sendirinya filsafat dakwah akan berurusan
dengan dengan pertanyaan apa yang hendak diketahui atau esensi
yang hendak dikaji atau suatu pengkajian teori-teori untuk
mengetahui yang terdalam tentang sesuatu atau apa kenyataan
(realitas) dari sesuatu itu.

Pengertia filsafat dakwah berdasarkan makna filsafat sebagai


kegiatan berpikir sesuai hukum berpikir dapat dirumuskan bahwa
Filsafat Dakwah adalah: sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari secara kritis dan mendalam tentang dakwah dan
respon terhadap dakwah yang dilakukun oleh dai sehingga
orang yang didakwahi dapat menjadi manusia yang yang
beriman dan berahlak mulia.1

Pada praktiknya, filsafat dakwah akan mempelajari secara kritis


dan mendalam mengapa ajaran Isalam perlu dikomunikasikan
,disosialisasikan diinternalisasikan, dan diamalkan ? mengapa
keyakinan manusia perlu diluruskan ? mengapa pikiran manusia perlu
dimerdekakan dari anasir-anasir irrasional ? mengapa jiwa manusia
perlu dibersihkan dari hawa nafsu yang buruk ? mengapa nilai-nilai
kemanusiaan perlu ditumbuhkembangkan. Inilah antara lain
sederetan pertanyaan mendasar yang harus dijawab secara tuntas
oleh filsafat dakwah.

Ki Musa A. Machfoeld, Filsafat Dakwah (Jakarta: PT Bulan Bintang,


1

2004), h. 14.
 Syukriadi Sambas, menyatakan bahwa filsafat dakwah memiliki
batasan sebagai “hikmah dalam berdakwah”. Pengertian hikmah
menurut para pakar filsafat al-Qur’an adalah: adil, ilmu, sabar,
kenabian, sehingga dalam berdakwah terungkap ungkapan
untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang
utama, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan
cermat, yaitu orang yang bijak telah tertimpa berbagai
pengalaman.2

Para pakar filsafat al-Qur’an sebagai pakar filsafat dakwah telah


merumuskan pengertian hikmah acuan para dai: memiliki validitas
dalam perkatan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan
mengamalkannya, meletakkan sesuatu pada tempatnya,
menjawab segala sesuatu dengan tepat dan cepat, memperbaiki
perkataan dan perbuatan, tepat dalam perkataan dan
perbuatan serta meletakkan sesuatu pada tempatnya, takut
kepada Allah swt, mengamalkan ilmu, dan wara dalam agama,
berkata tegas dan benar yang dapat membedakan yang hak dan
batil.

Dari pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan dan pakar al-


Qur’an tersebut, filsafat dakwah dapat dirumuskan sebagai
“ketepatan perkataan, perbuatan, dan keyakinan serta
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dalam mendakwahi
manusia menuju jalan Allah”.

Selanjutnya tentang pengertian filsafat dakwah berdasarkan


makna filsafat sebagai kegiatan berpikir sesuai dengan hukum
berpikir, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan menyeluruh


tentang dakwah Islam sebagai sebuah sistem aktualisasi ajaran Islam
di sepanjang zaman.
2. Aktivitas pikiran yang teratur, selaras, dan terpadu dalam
mencandra hakekat dakwah Islam pada tataran konsep dan tataran
realitas.
3. Pengetahuan murni tentang proses internalisasi, transmisi,
transformasi, dan difusi Islam di sepanjang zaman.

2
Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah
(Bandung: KP HADID, 2000), h. 7.
4. Analisis logis, radikal, objektif, dan proforsional dalam
membahas term-term dakwah Islam baik dari sisi teoritis maupun
praktis.

c. Tujuan filsafat dakwah


Tujuan filsafat dakwah dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, memberikan landasan dan sekaligus menggerakkan proses


dakwah Islam berdasar pada al- Qur’an dan as-Sunnah secara
objektif-proforsional.
Kedua, melakukan kritik dan koreksi proses dakwah Islam dan
sekaligus mengevaluasinya.
Ketiga, menegakkan kebenaran dan keadilan di atas dasar
tauhidullah dan tauhid risalah. Q Ali Imran/3:18
Keempat, mensyukuri nikmat akal dengan menerangkannya sesuai
fungsi peruntukkannya. Sesuai Sabda Rasulullah saw “ Setiap sesuatu
memiliki alat, alat seorang mukmin adalah akalnya. Segala sesuatu
memiliki kendaraan dan kendaraan seorang mukmin adalah akalnya.
Segala sesuatu memiliki penyangga dan penyangga se orang muslim
adalah akalnya. Segala sesuatu memiliki tujuan puncak dan tujuan
puncak seorang muslim adalah akalnya. Setiap pedagang mempunyai
barang dagangan dan barang dagangan para pejuang adalah akalnya.
Dan setiap kehancuran akan mengalami pembangunan kembali,
sementara pembangunan akhirat adalah akal.”
Kelima, upaya penyempurnaan jiwa manusia baik dari sudut teoritis
maupun praktis.

Filsafat dakwah dapat memberikan pemahaman yang bersifat


universal tentang suatu unit ajaran Islam secara mendalam,
mendasar dan radikal sampai keakar-akarnya, sehingga akhirnya
dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki, kebenaran hakiki
tersebut terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai
seorang Islam.

Lebih jauh filsafat dakwah memiliki makna yang urgen karena


bertujuan memberikan kepuasan kepada sebahagian jiwa yang amat
berharga juga mengantarkan seorang sampai kepada keprcayaan
keagamaan yang benar, yang kalau sebelumnya hanya diterima secara
dogmatis dan absolute, maka pada akhirnya bukan hanya mitologis
semata, tetapi juga diterima malaui kerangka fikirin yang rasional
juga akan memberi artinya penting dalam menyadari otoritas dirinya
sebagai makhluk yang berdimensi dalam memahami diri.

d. Wilayah dan metodologi filsafat dakwah.

Obyek formal filsafat dakwah adalah mempelajari hakekat


dakwah. Apakah dakwah hanya sekedar merupakan bentuk dan model
sosialisasi dan transformasi ajaran Islam? Apakah hanya mengajak
manusia untuk hidup di jalan Allah saja? Apakah hubungannya antara
dakwah dengan rahmatan lil alamin dengan amar makruf nahi
mungkar dengan kekhalifahan, kemanusiaan, larangan syirik,
larangan menumpuk harta kekayaan, riba, menganiaya orang lain
menindas dan merusak lingkungan dan bagaimana mendorong orang
menjadi beriman, berakhlak mulia, taat beribadah, peduli terhadap
kaum yang dilemahkan, dan melakukan amal kebaikan dll.

Sedangkan obyek material filsafat dakwah adalah manusia, Islam,


Allah dan lingkungan (dunia).

Filsafat dakwah mencoba melihat proses interaksi antara manusia


yang menjadi subyek (dai) dan obyek (mad’u) dalam proses dakwah,
Islam sebagai proses dakwah dan lingkungan dimana manusia akan
menerapkan dan mengamalkan nilai-nilai Islam, serta Allah yang
menurunkan Islam dan memberikan takdirnya yang menyebabkan
terjadinya perubahan keyakinan, sikap dan tindakan. 3 Karena itu
bahasan tentang filsafat dakwah tidak akan pernah terlepas dari
pembahasan tentang Allah, manusia, serta lingkungan di mana proses
dakwah terjadi.

Karena itu, secara sederhana ruang lingkup filsafat dapat dapat


dirumuskan sbb:

Pertama: manusia sebagai pelaku dakwah dan manusia juga


sebagai penerima dakwah.

Kedua: Agama Islam sebagai pesan dakwah yang harus


disampaikan.

Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah


3

(Bandung: KP HADID, 2000), h. 7.


Ketiga: Allah menciptakan manusia dan alam sebagai Rabb yang
memelihara alam dan menurunkan agama Islam, serta menentukan
proses terjadinya dakwah.

Keempat: lingkungan alam tempat terjadinya proses dakwah.

Karena itu, ruang lingkup kajian filsafat dakwah sangat luas,


yakni seluas pemahaman dan wilayah aktifitas keimanan, keislaman,
keikhsanan manusia, alam lingkungannya.

Untuk mempelajari filsafat dakwah dapat ditempuh langkah-


langkah sbb:

Pertama: yang harus dikaji adalah memahami apa dan siapa


manusia secara mendalam dan utuh. Dalam pengertian manusia
ditinjau dari berbagai sisi, bagaimana struktur fisiologisnya,
sejarahnya, kecenderungannya, sifat-sifatnya,fungsi,
tanggungjawabnya dsb.

Kedua: tujuan diturunkan Islam untuk apa? Fungsinya sebagai


apa, dan seterusnya. Ini bersifat normative dengan merujuk pada
Alqur’an dan Sunnah.

Ketiga: mempelajari apa yang dimaksud dengan dakwah.


Pertanyaan ontologis tentang apa itu dakwah harus dijelaskan secara
tuntas.

Keempat: Apa perlunya dakwah dan resiko apa yang mungkin


timbul jika tidak ada dakwah

Kelima: Bagaimana seharusnya dakwah dilakukan dan


seterusnya.

Penjelasan bahwa manusia sebagai subyek sekaligus obyek


dakwah, tentu memerlukan kerangka kefilsafatan dalam berdakwah
sebab manusia sangat butuh terhadap siraman rohani atau dakwah
berdasarkan beberapa persepsi, merupakan kebutuhan manusia
secara fitriah.

Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan


Tuhan, karena itulah pergerakan dan perjalanan hidup manusia
adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang
Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan
mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk
digunakan sebagai sarana untuk mencapai “spirituality progress”.

Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang


tidak bisa dilupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu
meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup
dan praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati,
bahkan sejak mulai tidaur sampai kembali tidur agama selalu akan
memberikan bimbingan, demi menuju hidup sejahtera dunia dan
akhirat. Ponsel yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari
masyarkat Indonesia bisa menjadi alat bantu untuk lebih mendekatkan
diri kepada Tuhan melalui fitur-fitur spiritual.

Maraknya penggunaan fitur spiritual ini sebenarnya tidak hanya


merebak di Indonesia tetapi juga telah ada di negara-negara lain,
seperti penggunaan fitur spiritual untuk umat Budha yang akan
menjadi faktor penting dalam keagamaan. Biasanya orang memakai
fitur spiritual semacam ini untuk mendukung aktivitas ibadah mereka.

Salah satu contoh fitur spiritual yang dekat dengan masyarakat


Indonesia saat sekarang adalah Athan Time. Aplikasi ini
mengingatkan penggunanya untuk menjalankan shalat lima waktu. Ini
merupakan salah satu fitur yang dibuat untuk mendukung praktik
techno-spiritual secara efektif. Selain itu, fitur ini juga berfungsi
menghubungkan orang dengan pengalaman religius mereka.

Wajar kalau kemudian muncul istilah Spritual Quantient (SQ)


yang membahas ‘siapa saya’. Istilah SQ menjadi populer melalui buku
SQ: Spritual Quotient, The Ultimate Intelligence karya Danah Zohar
dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford
University. SQ diklaim memiliki dasar dan bukti ilmiah. Pakar
neurosains pada tahun 1990-an menemukan adanya “Titik Tuhan”
atau God Spot di dalam otak. Titik Tuhan ini adalah sekumpulan
jaringan saraf yang terletak di daerah lobus temporal otak, bagian
yang terletak di balik pelipis. Dari eksperimen yang menggunakan
sensor magnetis ditemukan adanya korelasi antara aktivitas berpikir
tentang hal sakral seperti kedamaian, cinta, kesatuan, Tuhan dengan
aktivitas magnet pada lobus temporal otak.

Berdasarkan kajian terhadap hakikat manusia, dapat dipahami


secara filosofis alasan  manusia harus didakwahi. Manusia adalah
makhluk yang mudah lupa (tempatnya salah dan lupa). Oleh karena
itu, dakwah merupakan hal yang begitu penting bagi manusia,
khususnya bagi mad’u sebagai media untuk mengingatkan dan
meninjau atas hal-hal yang sering dilupakan manusia (ajaran agama).
Tidak hanya untuk mad’u, tetapi penting pula bagi dai sebagai bahan
introsfeksi diri, mengingatkan kembali terhadap hal-hal yang ia
lupakan.

Dilihat dari teori kebutuhan manusia (kebutuhan spiritual), dapat


dipahami pula bahwa manusia membutuhkan akan ketenangan jiwa.
Salah satu caranya adalah melalui jalan ibadah. Manusia tidak akan
mampu beribadah apabila tidak ada dakwah. Oleh karena itu, dakwah
begitu penting bagi manusia.

Ada dua aspek makna pentingnya dakwah bagi manusia, sebagai


berikut:

1.  Memelihara dan mengembalikan martabat manusia

Dakwah adalah upaya para dai agar manusia tetap menjadi


makhluk yang baik, bersedia mengimani dan mengamalkan ajaran dan
nilai-nilai Islam, sehingga hidupnya menjadi baik, hak-hak asasinya
terlindungi, harmonis, sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat
terbebas dari siksaan dari api neraka dan memperoleh kenikmatan
surga yang dijanjikan. Ketinggian martabat manusia itulah yang
dikehendaki Allah swt., sehingga manusia dapat menjalakan fungsinya
sesuai dengan tujuan penciftaan-Nya, yaitu sebagau khalifah-Nya.
Bukannya makhluk yang selalu menimbulkan kerusakan dan
pertumpahan darah seperti yang dikhawatirkan oleh para malaikat.

Oleh sebab itu dakwah harus bertumpu pada tauhid, menjadikan


Allah sebagai titik tolak dan sekaligus tujuan hidup manusia. Diatas
keyakinan tauhid itulah manusia harus melakukan kewajiban
menghambakan diri (mengabdi) kepada Allah yang wujudnya secara
vertikal menyembah kepada Allah swt., dan horizontal menjalankan
sebuah risalah atau misi yaitu menata kehidupan sesuai dengan yang
dikehendaki Allah swt. Hal ini karena dakwah adalah mengajak orang
untuk hidup mengikuti ajaran Islam yang bertumpu pada tauhid.
Diatas fondasi tauhid itulah Islam dibangun untuk dipedomani
pemeluknya supaya hidupnya selalu baik dan tidak seperti binatang
ternak atau makhluk yang lebih rendah dari binatang.

2.  Membina akhlak dan memupuk semangat kemanusiaan


Dakwah juga urgen dan sangat diperlukan oleh manusia karena
tanpanya manusia akan sesat. Hidupnya menjadi tidak teratur dan
kualitas kemanusiannya merosot. Akibatnya manusia akan kehilangan
akhlak seperti nuraninya tertutup, egois, rakus, liar, akan saling
menindas, saling “memakan” atau saling “memeras”, melakukan
kerusakan diatas dunia, sehingga konstatasi malaikat bahwa manusia
sebagai makhluk perusak di bumi dan penumpah darah akan menjadi
kenyataan.

Tanpa adanya dakwah manusia akan kehilangan cinta kasih, rasa


keadilan, hati nurani, kepedulian sosial dan lingkungan, karena
manusia akan menjadi semakin egois, konsumeristis, dan hedonis.
Manusia hanya akan mementingkan dirinya sendiri tanpa mau
memikirkan lingkungannya dan tidak peduli terhadap kesulitan dan
penderitaan masyarakat lain. Manusia juga akan memanfaatkan apa
saja untuk memuaskan hawa nafsunya.

Kebutuhan manusia terhadap dakwah, sebagai berikut:

1. Manusia telah bersyahadat ketika di alam roh bahwa Allah


adalah Tuhan mereka. Syahadah ini disebut dengan perjanjian
ketuhanan (‘Ahd Allah) dan fitrah Allah. Namun manusia menjadi
melupakan perjanjian itu setelah ruh bersatu dengan jasad dalam
proses kejadian manusia lahir di alam dunia. 2. Dakwah Islam ini
diperlukan untuk mengaktualkan syahadah Ilahiyah dalam kehidupan
nyata
3. Dakwah Islam menjadi dasar dan alasan bagi akal untuk
melaksanakan kewajiban beriman kepada Allah, sebab sebelum
datangnya dakwah yang dibawa Rasulullah manusia tidak akan
mendapat azab.
4. Karakter agama Islam itu sendiri yang mengidentifikasi kan
dirinya sebagai penyebar kasih sayang Tuhan bagi seluruh alam, dan
wilayah kerasulan Rasul terakhir berlaku untuk seluruh jagat raya. 4
Melihat dan mengingat pentingnya dakwah bagi manusia
berdasarkan hakikat manusia, hakikat dakwah dan teori kebutuhan
manusia, maka akibat yang akan diperoleh manusia apabila manusia
tidak didakwahi atau dakwah tidak dilaksanakan adalah manusia tidak
akan dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya, yang memang sangat
penting kebutuhan itu terpenuhi. Demikian pula potensi baik pada

4
Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah, h. 11-
12.
manusia yang Allah anugrahkan tidak akan termaksimalkan, malahan
potensi keburukan lah yang akan lebih menguasai, disebabkan oleh
akal dan nafsu yang membimbingnya.

II. TEORI-TEORI KEILMUAN DAKWAH

A.Sejarah Keilmuan Dakwah


Dakwah sebagai fenomena keilmuan telah menjadi kajian
ilmiah dari para ulama dan cendekiawan muslim sejak periode
klasik yang dipelopori oleh Al-Gazali, Ibnu Katsir, Ibnu
Taimiyah sampai abad modern melalui penulis orientalis
Thomas W. Arnold. Kemudian dikaji dalam dunia kademis
pada tahun 1942 dengan terbitnya karya Syekh Ali Muhfudz
yang kemudian menjadi dasar diakuinya ilmu dakwah dalam
dunia akademik pada universitas Al Azhar, Mesir. Sejak itulah
karya ilmiah dalam bidang dakwah terus mengalir yang
dipelopori oleh para pakar dakwah di Universitas Al Azhar
dan kemudian dikembangkan dipelbagai universitas
(perguruan tinggi islam) yang ada di dunia islam. Di samping
itu karya ilmiyah juga ditulis oleh para dai terkenal di dunia
Islam seperti Sayyid Quthub dan Yusuf Qardhawi sampai
Muhammad Natsir. Sejarah pemikiran dakwah sebagai ilmu
dapat dibagi menjadi 4 tahap:
1. Tahap Penumbuhan Pemikiran (zaman klasik)
Tahap ini dipelopori oleh Al-Gazali, Ibnu Katsir dan
Ibnu Tamiyah. Ketiga tokoh ini banyak menulis tentang
dakwah Islam dalam berbagai pendekatan. Tahap ini
disebut tahap penumbuhan pemikiran sebab dakwah belum
dijelaskan secara sistematis dan komprehensif sebagai
sebuah bangunan ilmu. Pada tahap ini dakwah hanya
dipandang sebagai aktivitas yang harus dilakukan oleh
umat Islam.
2. Tahap Pemikiran Dakwah sebagai Fenomena Tauhid, Sosial
dan Sejarah (1896-1941)
Pada tahap ini dakwah Islam dikaji dalam perspektif
tauhid, social dan sejarah. Dakwah dalam perspektif tauhid
berarti dakwah Islam merupakan manifestai nilai-nilai
tauhid yang diaktualisasikan dalam bentuk dakwah.
Dakwah dalam perspektif sosial berarti dakwah merupakan
aktivitas umat Islam yang menjadi bagia dinamika sosial
kemasyarakatan. Bahkan lebih jauh, dakwah diharapkan
dapat mewarnai dinamika sosial tersebut berdasarkan
ajaran Islam. Dakwah dalam perspektif sejarah berarti
dakwah Islam telah dilakukan umat Islam dalam kurun
waktu yang cukup panjang sejak Islam pertama kali
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dalam
kaitan ini, muncul seorang orientalis bernama Thomaw W.
Arnold menulis tentang dakwah Islam dengan judul The
Preatiacting of Islam. Buku ini menjelaskan sejarah proses
Islamisasi melalui aktivitas dakwah diberbagai belahan
dunia.
3. Tahap Pemikiran Dakwah sebagai Kajian Akademik di
Perguruan Tinggi (1942-1980)
Pada tahun 1942 terbit buku yang membahas tentang
dakwah Islam berjudul Hidayah al-Mursyidin Ila al- Thuruk
al-Wa’dzi al-Khitabah. Buku ini ditulis oleh Syeikh Ali
Mahfudz. Buku ini menjadi dasar diakuinya ilmu dakwah
dalam dunia akademik di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Mengingat Univirsitas Al-Azhar merupakan salah satu
kiblat pendidikan Islam di seluruh dunia, maka perguruan-
perguruan tinngi Islam di berbagai penjuru dunia juga
mengakui keberadaan ilmu dakwah sebagai salah satu
disiplin ilmu keislaman yang harus dikembangkan.
Selanjutnya dibukalah jurusan dan fakultas yang secara
khusus mempelajari keilmuan dakwah.
Di samping buku di atas, pada tahap ini juga terbit
beberapa buku tentang dakwah yang ditulis oleh para dai
terkenal (praktisi dakwah), seperti Sayyib Quthub dan
Yusuf Qardhawi. Di Indonesia muncul berbagai tulisan
tentang dakwah yang ditulis oleh Muhammad Natsir.
Meskipun dakwah telah diakui di perguruan-perguruan
tinggi Islam, namun pada tahap ini dakwah Islam belum
dikaji secara mendasar sebagai sebuah disiplin ilmu yang
telah memenuhi prinsip-prinsip keilmuan yang sistematis.
4. Tahap Pemikiran Dakwah secara Sistematis melalui
Pendekatan Epistemologi dan Sistem Analisis (1981-
sekarang)
Pada tahap ini dakwah Islam sudah mulai dikaji
berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan yang sistematis
dengan menggunakan pendekatan: ontology, epistemologi
dan aksiologi. Pendekatan sistem analisis ini dirintis oleh
Amrullah Ahmad. Tokoh ini merupakan orang yang sangat
berjasa mengembangkan ilmu dakwah sebagai slaah satu
disiplin ilmu keislaman dan diakui secara akademik di
berbagai perguruan tinggi Islam. Ada beberapa jasanya
dalam bidang pengembangan keilmuan dakwah yaitu:
1) Dia menulis buku dengan judul Dakwah Islam dan
Perubahan Sosial. Buku ini merupakan buku yang
pertama kali membahas masalah dakwah dengan
pendekatan keilmuan yang jelas. Buku ini merupakan
kumpulan tulisan dari beberapa cendekiawan yang
menulis tentang dakwah dalam berbagai sudut pandang
seperti: komunikasi, sosiologi, antropologi dan filsafat.
Buku ini menggambarkan awal digulirkannya pemikiran
mengenai perlunya membangun sistem keilmuan dakwah
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
akademik.
2) Setelah menulis buku ini, Amrullah Ahmad gencar
menyesosialisasikan pikiran-pikirannya tentang keilmuan
dakwah dengan menggunakan pendekatan ontology,
epistemologi dan aksiologi melalui makalah dan tulisan
ilmiah lainnya. Dari hasil sosialisai tersebut mulai digelar
berbagai seminar, diskusi, simposium, lokakarya dan
pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya untuk membahas
ilmu dakwah sebagai sebuah ilmu.
3) Setelah ditetapkan secara formal dakwah Islam sebagai
salah satu bidang ilmu agama Islam, ditetapkan dalam
keputusan Menteri Agam RI nomor 110 tahun 1982.
Maka pada tahun 1995, Amrullah Ahmad dipercayakan
untuk merancang kurikulum Fakultas Dakwah yang akan
berlaku secara nasional di perguruan tinggi Islam negeri
maupun swasta. Setelah kurikulum nasional ini terbit
dengan Surat Keputusan Menteri Agama RI nomor 27
tahun 1995, alumni Fakultas Dakwah hampir tidak ada
bedanya dengan alumni fakultas lain dalam pengetahuan
tentang dakwah sebab mereka belum dibekali secara
teoritis dan praktis dakwah Islam yang sesungguhnya.
Dakwah telah membuka peluang yang lebih besar untuk
mengembangkan struktur dan klasifikasi keilmuan
dakwah. Saat ini Fakultas Dakwah memiliki empat
jurusan yaitu: Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI),
Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI), Pengembangan
Masyarakat Islam (PMI) dan Manajemen Dakwah (MD).
Dari keempat jurusan tersebut, terlihat bahwa keahlian
yang ingin dikembangkan berdasarkan kurikulum 1995,
bukan saja di bidang tablig (bil-lisan) tetapi juga bil-
qalam dan dakwah bil-haal. Karena itu, dalam rangka
perumusan epistemology dan struktur keilmuan dakwah,
telah diadakan pertemuan para pakar yang dipelopori
Amrullah Ahmad dan dekan Fakultas Dakwah IAIN se
Indonesia yang diselenggarakan di Parapat, Sumatera
Utara pada tanggal 18 s/d 20 Juni 1996, berdasarkan
surat Dirjen Bimbaga Islam Nomor E
III/H.M.01/B/1132/96 tanggal 30 Mei 1996, di mana IAIN
Sumatera Utara dipercayakan sebagai penyelenggara.
Pertemuan ini menghasilkan “Kesepakatan Parapat”
yang mencakup tiga rumusan penting yang berkaitan
dengan epistemologi dan struktur keilmuan dakwah,
klasifikasi ilmu dakwah dan beberapa rekomendasi.
4) Salah satu terobosan pengembangan dakwah Islam baik
secara teoritis maupun secara praktis yang cukup
penting adalah “Laboratorium Dakwah” (LABDA) dan
“Desa Binaan” melalui LABDA ini dapat dilakukan
berbagai uji coba untuk mengembangkan dakwah Islam
baik sebagai sebuah ilmu maupun sebagai aktivitas di
tengah masyarakat. Salah satu yang dapat dihasilkan dari
Labda ini adalah “peta dakwah” yang berisi kondisi
mad’u dalam berbagai aspek seperti: tingkat pendidikan,
corak perilaku keagamaan, status ekonomi, tingkat
intensitas permasalahan yang dihadapi, corak budaya,
pola pemahaman keagamaan dan sebagainya.
Berdasarkan “peta dakwah” ini dapat dirancangan
strategi dakwah yang relevan dengan kebutuhan umat. 5
Dari tahapan-tahapan di atas, harus membedakan
pemikiran dakwah sebagai ilmu dan dakwah sebagai kegiatan.
Dakwah sebagai kegiatan, mendiskusikan pesan-pesan
dakwah. Pesan itu dibagi berdasarkan topik atau berdasarkan
sasaran dakwah.
Memasuki awal abad ke-20 pemikiran dakwah mulai
dirintis menjadi ilmu pengetahuan, yaitu pada tahun 1912, di
Kaiora tepatnya didirikannya sebuah lembaga bernama Dar al
dakwah wa al-Irsyad untuk menghalangi gerakan kristenisasi.
Lembaga ini kemudian ditutup karena terjadinya perang
dunia ke II. Tahun 1918, Syekh Ali Mahfud disebut sebagai
peletak dasar tercipatanya ilmu dakwah. 6 Sedangkan di
Indonesia sendiri sesuai pengetahuan penulis, pertama kali
dakwah hanya berkembang di pesantren-pesantren saja,
itupun bukan sebagai ilmu tapi melainkan menciptakan para
dai, yang mana dengan banyaknya para dai maka akan
semakin banyak orang masuk Islam. Setelah masa itu ilmu
dakwah mulai menjadi bahan diskusi.
Diskusi ilmiah tentang ilmu dakwah yang mulai menjadi
ilmu yang diakui yaitu ketika Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) dibentuk pemerintah pada tanggal 26
September 1951, dan dakwah menjadi salah satu jurusannya,
selain jurusan tarbiah dan jurusan Qadla, yang mana PTAIN
merupakan dari Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).

B. LANDASAN ILMIAH ILMU DAKWAH


1. Kedudukan dakwah sebagai ilmu
Ilmu dakwah adalah seperangkat teori, teks, proposisi,
dalil, asumsi dasar postulat dan sebagainya yang tertata
5
Kesepakatan Parapat, Hasil Pertemuan Para Pakar dan Dekan Indonesia, Epistemologi
dan Struktur Keilmuan Dakwah (Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, 1996)
6
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
secara sisitimatis dengan menggunakan alur pikirdam
netodologi tertentu untuk menelaah fenomena dakwah,
sehingga menghasilkan sebuah konstruksi keilmuan yang
menjadi penuntun dalam kegiatan dakwah.
Karena itu ilmu dakwah berperan untuk:
a. Menyediakan stok teori baik teori dasar maupun teori
aplikatif bagi pengembangan aktifitas dakwah. Dalam
menghadapi hambatan, tantangan dan problematika
dakwah yang serius para praktisi dakwah mengakses
berbagai teori keilmuan dakwah dalam mengatasi
problema dakwah yang di hadapi.
b. Dalam aktivitasnya, ilmu dakwah mengembangkan diri
dengan berdialog dengan disiplin ilmu lain. Ilmu
dakwah mengadopsi teori keilmuan yang lain yang
dapat berperan bagi pengembangan kontruksi
keilmuan dakwah. Langkah ekstensifikasi keilmuan ini
dimaksudkan agar teori yang dihasilkan senantiasa
relevan dengan kebutuhan actual dakwah dan mampu
membuat pragnosa-pragnosa dakwah ke depan.
Dari pengertian dan peran ilmu dakwah tersebut di
atas terlihat berapa besar urgensi ilmu dakwah bagi
aktivitas dalam pelaksanaan dakwah. Ativitas dakwah
yang tidak di dukung teori-teori produk ilmu dakwah,
maka dakwah akan kehabisan mata air sebagai sumber
inspirasi dan paradigma dalam aktivitas dakwah.
Obyek kajian ilmu dakwah kita mengenal adanya
obyek material dan obyek formal.
Adapun obyek material ilmu dakwah adalah
semua aspek ajaran Islam berdasarkan al-Al’-
Qur’an dan Sunnah, sejarah dan peradaban Islam
serta hasil ijtihad dan realisasinya dalam system
pengetahuan, teknologi, social budaya, khususnya
kelembagaan Islam.
Dengan demikian obyek material ilmu dakwah
adalah ajaran pokok islam (al-Al-Qur’an dan Sunnah)
manifestasinya dalam semua aspek kegiatan dam
kehidupan umat islam dalam sepanjang sejarah islam.
Obyek material ini termanifestasi dalam disiplin-
disiplin ilmu keislaman lainnya yang kemudian
berfungsi sebagai ilmu bantu disiplin dakwah islam.
Sedangkan obyek formal ilmu dakwah adalah
mengkaji salah satu sisi obyek material tersebut,
yakni kegiatan mengajak umat manusia supaya
masuk ke jalan Allah (system Islam) dalam semua
segi kehidupan. Bentuk kegiatan mengajak terdiri
dari : mengajak dengan lisan dan tulisan (dakwah
bil-lisan dan bil-qalam), mengajak dengan
perbuatan (dakwah bil-hal), aksi social Islam dan
mengoranisir serta mengolah kegiatan mengajak
(bil-lisan, bil-qalam, dan bil-hal) dan mengolah
hasil-hasil dakwah dalam bentuk lembaga-
lembaga Islam sebagai lembaga dakwah secara
efisien dan efektif dengan melakukan
sistematisasi tindakan, koordinasi, sinkronisasi,
dan integrasi program dan kegiatan dengan
sumber daya dan waktu yang tersedia untuk
mencapai sasaran dan tujuan dakwah Islam.
Dapat dikatakan bahwa obyek formal dakwah
adalah segala yang berkenaan dengan petama; proses
transmisi dakwah, kedua; pengenalan subyek dan
obyek dakwah, ketiga; strategi dan proses
pencapaian tujuan dakwah, keempat; masalah feed
back dan kendala dakwah.
1. Analisis Obyek Formal
Berdasar obyek formal maka setiap bidang dakwah
yang dikaji memiliki unsur-unsur kegiatan. Hubungan
dan interaksi antar unsur-unsur dalam masing-masing
bidang itulah yang secara khusus dikaji ilmu dakwah.
Penelitian dan pengembangan ilmu dakwah mengkaji
masalah yang ditimbulkan dari interaksi hubungan
unsur-unsur yang di maksud.
Unsur pokok dakwah Islam terdiri dari 4 unsur
pokok yakni; Doktrin Islam (al-Al-Qur’an, unnah, dan
Sejarah Islam), dai, baik sebagai pribadi maupun
secara berjamaah, mad’u, (masyarakat dalam arti luas
atau umt manusia) dan tujuan dakwah. Keempat unsur
tersebut secara bersama-sama membentuk system
dakwah yang saling berinteraksi, saling berhubungan
dan saling bergantung dalam mencapai tujuan. Dari
kegiatan tersebut, merupakan kegiatan dakwah islam.
Dalam kegiatan dakwah, keempat unsur pokok ini
saling berinteraksi dan selanjutnya memunculkan
beberapa problem penelitian dakwah dalam bentuk
makro (ordinat) dan makro (sub-ordinat).
Unsur-unsur itu merupakan unsur yang tidak bias
dapat dipisahkan satu sama lainnya, oleh karena unsur
mempengaruhi unsur lain. Untuk mentransformasikan
Islam dalam realitas empiric maka haruslah
memperhitungkan unsur-unsur diatas sebagai dasar
pijakan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
dakwah. Hal ini amatlah penting oleh karena aplikasi
dakwah islam dalam masyarakat yang bagaimanapun
sejak dari yang primitif sampai yang krpada yang
paling modern selalu saja terpaut erat dengan unsur-
unsur yang ada itu. Pemahaman tepat terhadap
problem yang nantinya muncul dari interaksi keempat
unsur tersebut dapat menjadikan pesan-pesan dakwah
Islam membumi dan menjaman di tengah kehidupan
masyarakat. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam
dakwah Islam ada yang bersifat universal dan
particular. Pesan universal dakwah adalah doktrin
Islam yang terdiri dari al-Qur’an dan Sunnah. Dakwah
bersifat particular oleh karena untuk menympiakan
pesan-pesan universal selalu mempertimbangkan
kondisi obyektif sasaran dakwah sehingga tercipta
suasana dialogis antara Islam dengan kecenderungan
dan kebutuhan umat pada saat itu.
Keempat komponen pokok/unsur pokok dakwah
dalam pelaksanaan dakwah yaitu:
1. Unsur pertama yaitu doktrin Islam/
meteri dakwah, yaitu (A)
2. Unsur kedua yaitu dai/pelaksanaan
dakwah, yaitu (B)
3. Unsur ketiga yaitu Mad’u/obyek
dakwah yaitu (C)
4. Ideologi dakwah/tujuan dakwah, yaitu
(D)
Dari unsur pokok tersebut, saling menjalin
interaksi dan akan menghasilkan problem sebagai
berikut:
Pertama, E. adalah hasil interaksi antara doktrin islam
(A) dengan dai, (B) akan menghasilkan pemahaman
hakekat dakwah serta esensi pesan Islam apa dan
bagaimana yang harus di sampaikan ini dapat juga
disebut problem epistimologi struktur keilmuan
dakwah.
Kedua, F. adalah hasil interaksi antara unsur dai (B)
dengan unsur mad’u (C) melahirkan masalah
kemungkinan diterima atau di tolaknya materi (pesan)
dakwah oleh mad’u yang dapat disebut problem
silaturrahmi (komunikasi), termasuk problem
psikologis, sosiologis, intelektual, politis dan ekonomik.
Dimensi dapat disebut juga dakwah bil lisan dan bil-
qalam atau secara lebih khusus sebagai problem tablig
Islam.
Ketiga, G. adalah hasil interaksi antara mad’u (C)
dengan unsur tujuan dakwah (D) melahirkan masalah
model (uswah) yang dapat diamati secara empiric oleh
mad’u yang berkaitan bentuk nyata perilaku individual
(syahsiyah), dan kolektif (jamaah) yang dikategorikan
sebagai dalam dimensi amal saleh. Masalah ini dapat
disebut sebagai problem dakwah dengan tindakan
nyata atau problem pengembangan masyarakat Islam.
Masalah ini disebut juga disebut sebagai problem
dakwah dengan tindakan nyata atau problem
pengembangan masyarakat Islam.
Keempat, H. adalah hasil interaksi antara dai (B) dengan
tujuan dakwah (D) melahirkan masalah efisiensi dan
efektivitas dalam menggunakan sumber daya dakwah (SDD)
untuk mencapai tujuan dakwah. Dalam masalah ini terdiri dari
ikhtiar mencapai tujuan dan sasaran/mad’u dengan sumber
daya yang ada secara efisien dan efektif dalam system
pengelolaan terpadu. Problem ini disebut problem
organisasional dan manajerial dakwah Islam atau problem
manajemen dakwah.

Anda mungkin juga menyukai