Anda di halaman 1dari 12

MATERI KULIAH DAKWAH UNTUK PERTEMUAN I, II dan III

TUGAS:
1. Bacalah dan simak baik-baik bacaan di bawah ini, kemudian buat ringkasan
sesuai konten bacaan. Ringkasan paling banyak setengah halaman folio.
2. Kirim kembali ke WAG untuk saya periksa.

INFORMASI PENTING !!
1. Untuk absensi di aplikasi Kalam biarlah menjadi urusan saya. Saya sedang
menyelaraskan Kalam dengan dosen-dosen lain, karena aplikasi Kalam sangat
nyelimet dan penuh liku-liku.
2. Tugas ini adalah pengganti kuliah daring karena Kalam belum bisa dijadikan alat
pembelajaran daring.

TEMA EPMABAHASAN : SEJARAH DAN STRUKTUR ILMU DAKWAH

A. Pengantar
Aktivitas dakwah sebenarnya telah ada sejak adanya upaya menyampaikan
dan mengajak manusia ke jalan Allah, namun kajian akademik keilmuannya masih
tertinggal dibandingkan dengan panjangnya sejarah dakwah yang ada. Sebagai
sebuah realita, dakwah merupakan bagian yang senantiasa ada sebagai aktivitas
keagamaan umat Islam. Sementara sebagai kajian keilmuan pastinya hal ini
memerlukan spesifikasi yang berbeda dan persyaratan tertentu.
Dewasa ini terdapat beberapa fenomena yang kemudian menempatkan
kesadaran umat bahwa dakwah sebagai suatu aktivitas keagamaan memang
memiliki kekutan yang besar dalam membentuk kecendrungan masyarakat. Hal ini
sekaligus menumbuhkan secara jelas dan tegas sehingga ilmu ini dapat
memberikan inspirasi yang baik bagi kecendrungan masyarakat.
Maraknya dakwah, ternyata belum mampu menahan masuknya beberapa
ajaran atau pemahaman yang tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama secara
hedonistik, matrealistik, dan sekuleristik. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
kesalahpahaman dalam memahami dan menghayati pesan simbolis keagamaan.
Sehingga ritualitas perilaku kesalehan dalam beragama masyarakat tidak
menerangkan tentang perilaku keagamaan yang sesungguhnya di mana nilai-nilai
keagamaan menjadi pertimbangan dalam berfikir maupun bertindak oleh individu
maupun sosial.
Ilmu dakwah mengalami proses perkembangan yang positif sehinnga
semakin hari semakinestabilished sehingga semakin waktu mendapat sambutan dan
pengakuan dari masyarakat mengenai eksistensinya.

B. Eksistensi dan Objek Studi Ilmu Dakwah


Setiap ilmu pengetahuan mempunyai objek studi, karena ia merupakan salah
satu pokok syarat ilmu pengetahuan, di samping syarat-syarat lain yakni metodik,
universal, dan sistematis.
Ada dua objek kajian dalam ilmu dakwah, objek material adalah semua aspek
ajaran islam (Al Qur’an dan Sunnah), hasil ijtihat dan reaksasinya dalm sistem
pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lainnya,
khususnya kelembagaan islam. Objek material ilmu dakwah inilah yang
menunjukkan bahwa ilmu dakwah adalah satu rumpun dengan ilmu-ilmu denagn
keislaman lainnya, karena objek yang sama juga diikuti olek ilmu-ilmu keislamn
lainnya, seperti: Fiqh, Ilmu Kalam, dan lainnya. Adapun objek formal adalah bagian
dari objek material yang hanya disoroti oleh suatu ilmu tertentu, sehinnga dapat
membedakan ilmu satu denagn ilmu lainnya.
Sedangkan menurut Poedjawijadna yang dikatakan dalam bukunya; Tahu
dan Pengalaman sebagai berikut; ”jika pengetahuan hendak disebut sebagai ilmu,
maka haruslah objektifitas, bermetodos universal, dan sistematis.
Syarat-syarat dari ilmu pengetahuan adalah objektif. Syarat ini mengandung
pengertian, yaitu:
1. Bahwa ilmu pengetahuan itu harus memilki objek studi yang menjadi lapangan
penilitian. Dalam hal ini ada yang menyebutkan dengan objek materi dan objek
formal. Dalam objek yang sama maka lapangan penyelidikan itu disebut dengan
objek material sedangkan dari sudut mana objek material itu disoroti disebut
dengan objek formal. Objek formallah yang menentukan macam ilmu jika ada
beberapa ilmu yang memiliki objek meterial yang sama.
2. Objektif itu juga berarti bahwa ilmu itu harus sesuai dengan keadaan objeknya
dan persesuaian antara pengetahuan dan objeknya itulah yang disebut
kebenaran”.
Semua itu harus juga metodik, artinya untuk mencapai kebenaran tersebut
harus digunakan cara-cara tertentu atau menggunakan metode ilmiah. Metode
ilmiah tersebut oleh F. Isjawara, dikatakan sebagai: “Metode senantiasa alat yang
digunakan untuk menguji suatu kebenaran pengetahuan , alat untuk
memvarivikasikan apakah pengetahuan kita mengenai suatu hal sesuai dengan
keadaan sebenarnya. Sebagai alat metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang
melalui beberapa penyelidikan.”
3. Syarat ketiga dari ilmu pengetahuan adalah universal, artinya kebenaran yang
telah diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah itu harus merupakan
kebenaran yang bersifat umum.
Adapun objek forma dari dakwah adalah suatu jawaban terhadap pertanyaan
“bagaiman memanggil manusia untuk taat menjalnkan ajaran agama”
Imam Sayuti Farid secara lebih rinci menerangkan bahwa objek materi ilmu dakwah
adalah proses penyampaian ajaran kepada umat manusia, sedangkan objek
formanya adalah proses penyampaian ajaran islam kepada umat manusia yang
terdiri dari:
1. Proses penyampaian agama islam.
2. Hubungan antara unsur-unsur dakwah.
3. Proses keagamaan pada diri manusia.
Dakwah modern memerlukan strategi dan perencanaan yang canggih. Itu
tidak akan terwujud bila proses dakwah tidak didukung dengan wawasan teoritis
yang memadai. Ilmu dakwah de facto sudah diakui tinggal upaya meningkatkan dan
merokonstruksi diri untuk mendapatkan de yure-nya. Itu berarti mengundang para
peminat ilmu dakwah untuk bekaerja lebih luas lagi.
Selanjutnya A. Choirul Basori setelah mempelajari karya-karya ilmiah tentang
ilmu dakwah yang telah beredar di masyarakat menyebutkan adanya beberapa
pandangan terhadap ilmu dakwah:
1. Golongan yang berpendapat bahwa ilmu dakwah yang pembenarannya normatif
doktrin mengambil arti ayat-ayat Alqur’an dan Hadis sudah memadai sebagai
ilmu walaupun bukan sebagai ilmu pengetahuan. Golongan ini terlalu berlebihan
dalam mefungsikan ayat-ayat Alqur’an dan hadis. Padahal penerapan wahyu
dalam dunia empiris perlu penggunaan rasio manusia, wahyu berfungsi sebaga
penyinar, petunjuk, pembimbing, dan pengarah. Dan atas penemuannya
disusunlah teori-teori unruk mengatasi problem kehidupan.
2. Golongan yang berpendapat bahwa ilmu dakwah yang sekarang ini belum bisa
diterima sebagai sebuah disiplin ilmu, masih merupakan pengetahuan nonsains.
Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ia belum dibangun atas metode
keilmuan. Golongan ini terlalu apriori. Padahal apabila kita mau berfikir dengan
seksama, seorang penulis yang terpelajar di dalam memahami nash-nash Al
Qur’an d an Hadits, dan menjabarkannya dalam tulisan, ia tidak bekerja dengan
jiwa yang kosong seperti robot. Pengalaman demi pengalaman telah terolah
dengan logikanya, kemudian mengendap dan secara reflektif keluar berupa
pikiran-pikiran yang baru, tertuang dalam tulisan-tulisannya, namun demikian
memang perlu diadakan rekonstruksi tentang sistem penulisan buku-buku ilmu
keislaman.
3. Golongan ini berpendapat bahwa ilmu dakwah tidak lain adalah ilmu komunikasi,
mengingat yang berbeda hanyalah mengenai materi messages-nya. Golongan ini
kurang seksama dalam aspek-aspek yang berada antara ilmu dakwah dan ilmu
komunikasi. Bahkan perbedaan itu menyangkut yang paling asasi yaitu mengenai
objek forma dan dasar pembentukannya. Objek kajian ilmu komunkasi adalah
penyampaian pesan sosialisasi untuk pergaulan islamisasi untuk kebahagiaan
duniawi dan ukhrawi. Ilmu komunikasi dasar pembentukannya menggunakan
metode deduksi minus wahyu.
Sedang ilmu dakwah menggunakan metode deduksi induksi plus wahyu. Agar lebih
memahami tingkat keilmuan ilmu dakwah sejauh ini, perlu dianlisis tiga landasan:

C. Ilmu-ilmu Bantu Ilmu Dakwah


Ilmu dakwah selalu membutuhkan bantuan ilmu-ilmu lainnya di dalam
memahami objek studi materi dan objek studi formanya.
Ilmu dakwah dan ilmu-ilmu agama islam.
Ilmu dakwah memiliki kaitan sangat erat dengan ilmu agama islam seperti Tafsir,
Fikih, Perbandingan agama, dan sebagainya. Hal ini akan semakin dapat diketahui
hal-hal yang berkaitan dengan dakwah baik dengan cara-cara dakwah, pengaruhnya
terhadap sikap dan tingkah laku seseorang, media-media dakwah dan masalah-
masalah yang lain yang termasuk objek forma ilmu dakwah.
Ilmu-ilmu agama juga membutuhkan bantuan ilmu dakwah dalam
menyampaikan dirinya kepada umat manusia. Tanpa diterangkan dan disampikan
kepada masyarakat, ilmu-ilmu agama tersebut hanya merupakan suatu ide belaka
yang tidak bisa terwujud dalam kenyataan serta tidak diketahui orang lain.

1. Ilmu-ilmu Dakwah dengan Ilmu-ilmu Sosial Politik


Ilmu-ilmu Sosial menerangkan berbagai macam segi kehidupan individu dan sosial
secara detail dan terperinci. Ilmu ini dapat membantu ilmu dakwah dalam memahami
masyarakat tersebut, sebab penyampain ajaran Islam yang menjadi sarana ilmu
dakwah sangat komplek yang menyangkut segi struktur sosial, proses sosial,
interaksi sosial, dan perubahan sosial seperti yang dibahas dalam sosiologi; maupun
tingkah laku manusia sebagai pribadi sosial dan masalah-masalah kejiwaan lainnya
seperti yang dikaji dalm ilmu psikologi dn psikologi sosial.

2. Ilmu Dakwah dan Ilmu-ilmu Normatif dan Metodologis


Ilmu-ilmu normatif adalah ilmu-ilmu yang membicarakan bagaimana
seharusnya sesuatu itu, sebagai kebalikan dari ilmu-ilmu positif yang membicarakan
suatu menurut apa adanya. Yang termasuk ilmu normatif adalah: ilmu penelitian
(riset), ilmu logika, ilmu bimbingan, dan penyuluhan, retorika, publisistik/komunikasi,
dan sebagainya.

D. Metode Pengembangan Ilmu Dakwah.


Setiap ilmu termasuk ilmu dakwah memiliki segi estetika dan segi dinamika,
Soejono Soekamto dalam hal ini menjelaskan:
…..Ilmu pengetahuan itu dikatakan memilki segi estetika yang berupa suatu sistem
tertentu yang terdiri dari pengetahuan-pengetahuan ilmiah. Sedangkan ditinjau dari
segi dinamikanya ilmu pengetahuan itu merupakan suatu usaha yang berlangsung
terus menerus untuk mencapai kebenaran ilmiah dan kebenaran umat manusia.
Pengembangan ilmu dimaksud adalah pengembangan yang terarah dan
bermetodik, artinya menggunakan metode ilmiah yang sudah ada, karena
pengembangan ilmu hanya dapat dilakukan dengan peneliti baik melalui library
research (riset kepustakaan), maupun field research (riset alpangan atau empiris).
Secara umum, metode penelitian ilmiah dalam buku Filsafat Ilmu disebutkan dua
metode, yaitu:
1. Metode siklus empiris, yaitu cara-cara penggunaan suatu objek ilmiah tertentu
yang dilakukan dalam ruangan tertutup seperti laboratirium, kamar kerja ilmiah,
dalam studio ilmiah, dan lain sebagainya.
2. Metode linear, yaitu cara-cara penengah suatu objek ilmiah tertentu yang terdapat
dan dilakukan dalam alam terbuka, khususnya yang menyangkut perikehidupan
atau tingkah laku manusia.
Dalam pengembangan ilmu dapat dilakukan penyelidikan secara historis dan
medis.
1. Penyelidikan Historis.
Imam Asy’ary mengatakan bahwa metode sejarah (historika) itu adalah
menganalisis kedudukan keadaan yang terdapat sekali berlalu dengan menyatakan
kausalitas atau sebab akibatnya. Meneliti peristiwa-peristiwa, proses-proses, dan
lembaga peradaban manusia masa silam dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran yang tepat tentang kehidupan masyarakat waktu itu.
Yang menjadi sorotan utama dalam penyelidikan historis dakwah adalah
bentuk-bentuk dakwahhya yang telah dilaksanakan di masa lampau terutama
dakwah yang telah dilakukan oleh Rasulullah, dakwah pada masa Khullafaurrasyidin
serta dakwah pada masa berikutnya baik di masa kejayaan Islam maupun
kemundurannya. Dakwah islam yang ada sekarang ini memiliki kaitan yang erat
dengan dakwah pada masa-masa silam tersebut.
2. Penyelidikan Empiris.
Penelitian empiris ini ditujukan kepada segala bentuk aktifitas dakwah islam
yang dilaksanakan pada saat sekarang ini dengan segala problematikannya. Segi
yang disoroti dalam penelitian ini adalah mengenai unsur-unsur yang harus ada
dalam setiap dakwah, yaitu mengenai subjek dakwah (da’i), penerima dakwah, isi
(materi) dakwah, saluran (media) dakwah, serta pengaruh yang ditimbulkan
terhadap sikap dan tingkah laku keagamaan individu dan masyarakat yang
menerimanya (internalisasi nilai-nilai agama).

E. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Dakwah.


Ada yang mengatakan bahwa sejarah dakwah secara umum dimulai
semanjak filosofi Yunani sebelum masehi. Tetapi sebenarnya jauh lebih tua dari itu.
Sejarahnya dimulai sejak iblis mempengaruhi adam dan hawa dengan
propogandanya yang sangat menarik dan memikat hati kedua nenek moyang itu
untuk memakan buah khuldi yang terlarang itu, sebagaiman yang dikisahkan di
dalam Al Qur’an surat Thaha ayat 120-121:
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai
Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi[948] dan kerajaan yang
tidak akan binasa?”
Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi
keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun
(yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia Sejarah
perkembangan ilmu dakwah tidak dapat dilepaskan dari sejarah dakwah itu sendiri.
Sejauh ini sejarah perkembangan ilmu dakwah belum pernah dibahas oleh literatur-
literatur ilmu dakwah. Karena ilmu dakwah tergolong kedalam ilmu yang masih baru.
Secara garis besar perkembangan ilmu dakwah adalah:
1. Tahap Konvensional
Pada tahap ini dakwah masih merupakan kegiatan kemanusiaan berupa seruan
atau ajakan untuk menganut dan mengamalkan ajaran Islam yang dilakukan
secara konvensional, artinya dalam pelaksanaan secara operasional belum
mendasar pada metode-metode ilmiah, akan tetapi berdasarkan pengalaman
orang perorangan. Oleh karena itu, tahapan ini juga disebut dengan tahapan
tradisional.
2. Tahapan Sistematis
Tahap ini merupakan tahap pertengahan, pada tahap ini dakwah juga
ditandai dengan adanya perhatian masyarakat yang lebih luas terhadap
pelaksanaan dakwah islam sehingga memunculkan seminar, diskusi sarasehan, dan
pertemuaan-pertemuan ilmiah lainnya, yang secara khusus membicarakan masalah
yang berkenaan dengan dakwah. Tahap ini merupakan tahap yang sangat
menetukan dalam tahap atau pengembagan selanjutnya sebab tahap-tahap gejala
ilmu dakwah mulia kelihatan.
3. Tahapan Ilmiah
Pada tahap ini dakwah telah berhasil tersusun sebagai ilmu pengetahuan setelah
melalui tahap sebelumya dan memenuhi syarat-syaratnya yang objektif, metodik,
sistematik, sebagaimana telah disinggung pada pembahasan-pembahasan
sebelumnya. Ini adalah berkat jasa para Ulama’ yang telah banyak berupaya untuk
menyusun dan mengembangkannya dengan jalan mengadakan pembahasan dan
penelitian kepustakaan maupun secara lapangan tentang fenomena-fenomena
dakwah yang dianalisis lebih jauh dan telah melahirkan beberapa teori dakwah.
Walaupun demikian tidak berarti ilmu ini lepas dari keraguan tentang eksistensi
keilmuannya.
Ilmu dakwah mengalami proses perkembangan yang positif sehinnga
semakin hari semakin estabilishedsehingga semakin waktu mendapat sambutan dan
pengakuan dari masyarakat mengenai eksistensinya.
Khusus untuk Indonesia, pengakuan ilmu dakwah ini pertama kali dapat
dilihat dengan dibukanya jurusan dakwah pada fakultas yang ada di IAIN yang ada
di sseluruh Indonesia dan ditambah dengan program pascasarjananya baik di S2
maupun S3 di seanatero Indonesia. Pengakuan masyarakat ilmiah tentang ilmu
dakwah di atas juga diperkuat dengan hasil diskusi pembidangan ilmu agama Islam
yang dilakukan oleh proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama Jakarta setelah
mendapatkan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bahwa dakwah
Islamiah telah memiliki disiplin ilmu dakwah, bimbingan Islam, dll,

F. STRUKTUR ILMU DAKWAH


Dakwah sebagai sebuah realitas, eksistensinya tidak dapat dipungkiri oleh
siapa pun. Aktivitas dakwah pada hakikatnya sebagai proses penyelamatan umat
manusia dari berbagai persoalan yang merugikan, karenanya kegiatan dakwah
merupakan kerja dan karya besar manusia -baik secara individual maupun
kelompok- yang dipersembahkan untuk Tuhan dan sesamanya dalam rangka
menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persaudaraan
dan kebersamaan, serta mencapai kebahagiaan baik di dunia kini maupun di akhirat
kelak.
Bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab dakwah, Sunnah Nabi sebagai
penjelasnya, serta produk ijtihad para waratsah al-anbiyâ, dakwah dipahami sebagai
kewajiban setiap muslim dalam upaya transmisi, transformasi, difusi dan internalisasi
ajaran Islam kepada umat manusia. Proses kerja dan karya besar manusia (dakwah)
ini dalam implementasinya melibatkan unsur subyek (da’i), pesan (maudhû), metode
(ushlûb), media (washîlah), dan obyek (mad’u) bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan individu dan kelompok yang adil, sejahtera, persaduaraan, kebersamaan,
selamat dan bahagia serta memperoleh ridha Allah SWT.
Terkait dengan al-Qur’an sebagai kitab dakwah, dijelaskan oleh Abu al-A’la
al-Mawdudi menerangkan bahwa: ‫ة‬JJ‫وة ومنهج حرك‬JJ‫اب دع‬JJ‫رآن كت‬JJ‫ الق‬dalam al-Mabâdi al-
Asâsiyyah li Fahm al-Qurân, dan Yusuf Musa, yang menjelaskan: “Kendatipun
diturunkan dalam kalangan bangsa Arab dan dengan Bahasa Arab, al-Quran
merupakan kitab dakwah yang ditujukan kepada segenap umat manusia, termasuk
bangsa Arab dan non-Arab serta seluruh umat lainnya”. Sedangkan dakwah sebagai
proses internalisasi dalam dakwah adalah proses tahu-kenal dan amal ajaran Islam
pada tingkat intraindividu muslim (nafsiyyah) berupa dzikr al-Lâh, du’â, wiqâyah ‘al-
nafs, tazkiiyyah al-nafs, shalat, dan shaum. Proses internalisasi ini pada dasarnya
sebagai proses penguatan ilhâm taqwâ dan meminimaliasi ilhâm fujûr pada setiap
pribadi muslim yang di dalam dirinya memiliki potensi ilhâm fujûr dan ilhâm taqwâ.
Dengan demikian, dakwah merupakan proses peningkatan potensi ilhâm taqwâ dan
mengurangi potensi ilhâm fujûr.
Penggunaan istilah internalisasi di istinbâth dari isyarat ayat al-Quran, antara
lain didasarkan QS. al-Muzamil [73]:1-8, yang menguraikan apa yang dilakukan Nabi
Muhammad saw sebelum melaksanakan dakwah kepada orang lain, juga
didasarkan pada QS. al-Tahrîm [66]:6, Al-Syams [91]:7-9.
Artinya:
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.
Sesungguhnya kamu hanya diberi Balasan menurut apa yang kamu kerjakan.
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan
Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah
seburuk-buruknya tempat kembali.

Kemudian penafsiran Ibn Katsir ketika menafsirkan al-Qur’an surat Fushilat


(41) ayat 33 yang berbunyi ‫ وقال إننى من المسلمين‬, ia menjelaskan:

‫أى هو فى نفسه مهتد بما يقوله فنفعه لنفسه ولغيره الزم ومتعد وليس هو من الذين يأمرون بالمعروف‬
‫واليأتونه وينهون عن المنكر ويأتونه‬

Pemaknaan dakwah sebagai proses internalisasi juga di istinbâth dari isyarat Q.S.
:Hud (11)
23, dan al-Hajj (22):34, 55, yang artinya
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan
merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni
syurga; mereka kekal di dalamnya.(QS. Hud [11]: 23).

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban),


supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa,
karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (al-Hajj [22]:34).
Di antara makna kata “mukhbitîn” dalam ayat 34 surat al-Hajj tersebut adalah
orang yang berhati tenang dipenuhi keimanan, ia selalu berdzikir kepada Allah SWT,
ia santun kepada Allah, khusyu dalam menjalankan ibadah mahdhah, dan ia selalu
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai peruntukannya. Internalisasi
juga bagian dari makna irsyâd atau al-rusyd, yaitu: ‫ق‬JJ‫ق الح‬JJ‫تقامة على طري‬JJ‫ االس‬, artinya
“melaksanakan ajaran Islam sepenuh hati”.
Sedangkan pemaknaan dakwah sebagai proses transmisi, karena dakwah
merupakan proses memberitahu-kenalkan dan membimbing pengamalan ajaran
Islam terhadap seorang individu, dua orang individu, tiga orang individu, dan
kelompok kecil (ta’lîm, taujîh, mau’izhah, dan nashîhah) dan mensolusi problem
psikologisnya (istisyfâ). Selain itu, transmisi juga berupa ta’lîm jumhûr, yaitu proses
penyampaian ajaran Islam melalui bahasa lisan kepada kelompok besar dalam
suasana tatap-muka dan satu arah, baik berupa khithâbah dîniyyah (khutbah jum’ah,
idul fitri, Idul Adha, Istisqa, Gerhana matahari, Gerhana bulan, dan wukuf di Arafah),
maupun khithâbah ta’tsîriyyah (ceramah dalam keagamaan baik dalam hari-hari
beasar Islam, maupun dalam upacara syukuran, siyâsah, dan lain-lain). Proses
transmisi dalam dakwah seperti itu disebut tablîgh (da’wah bi ahsan al-qaul).
Transmisi di istinbâth dari bagian lain makna pelaku irsyâd atau rusyd, yaitu “al-
muhtadi” artinya yang memberikan petunjuk dan bimbingan terhadap umat manusia
dengan menjadikan dirinya sebagai uswah hasanah. Sedangkan bentuk dakwah
berupa tablîgh didasarkan pada al-Quran yang mengungkapkan al-balâgh al-mubîn
dan balîgh. Hal ini disarikan dari Abdullah Sahatah dalam tulisannya al-Da’wah al-
Islâmiyah wa al-I’lâm al-Dînî, (1978) dan tulisan Muhammad Abd al-Aziz al-Khuli
dalam Ishlâh al-Wa’zh al-Dînî (1969.) Kata ‫ اإلعالم‬muradif dengan kata ‫التبليغ‬, yaitu
penyiaran dan penyebarluasan ajaran Islam dengan mengunakan bahasa lisan yang
disampaikan kepada kelompok besar atau publik (mustami).
Dakwah disebut juga sebagai proses difusi atau i’lâm al-Islâm, yaitu proses
penyiaran dan penyebarluasan ajaran Islam, baik secara lisan maupun tulisan
dengan cara menggunakan media (cetak dan atau elektronik) yang disampaikan
kepada internal umat Islam atau kepada komunitas tertentu yang non-muslin
(futûhât). Oleh sebab itu, difusi (i’lâm) merupakan bagian dari tablîgh, yaitu
penyiaran dan penyebarluasan ajaran Islam melalui media elektronik dan media
cetak.
Pemaknaan i’lâm ini disarikan dari Abd al-Lathîf Hamzah dalam tulisannya al-
I’lâm fi al-Shadr al-Islâm (1970), dan Aminah al-Shâwi dan ‘Abd al-‘Azîz Syarf dalam
tulisannya Nazhariyah al-I’lâm fi al-Da’wah al-Islâmiyah, serta dalam tulisan Abdullah
Nâshih ‘Ulwân, Hukm al-Islâm fî Wasâil al-I’lâm (1986). Selain itu, difusi juga
merupakan bagian dari makna kata futûhât sebagai merupakan bagian dari kegiatan
tablîgh Islam, yaitu menyiarkan, menyebarluaskan, dan menghadirkan Islam kepada
manusia non-Muslim di tempat tertentu.
Selain itu dakwah juga disebut sebagai transformasi, yaitu poses pengamalan
ajaran Islam (bi ahsan al-’amal) berupa pelembagaan dan pengelolaan
kelembagaan Islam. Transformasi ini disebut juga sebagai tadbîr (ahsan ‘amal),
yaitu sebagai proses pengamalan ajaran berupa pemberdayaan (taghyîr, tamkîn),
baik sumber daya insani (muslim), lingkungan hidup, dan ekonomi umat. Akan tetapi
pada aspek lain, transformasi yang dimaksudkan disebut juga sebagai proses
tathwîr atau tamkîn Islam.
Pemaknaan dakwah sebagai proses transformasi di istinbâth dari makna
tadbîr dan tamkîn dalam al-Quran. Kata ‫( يدبر‬tadbîr) tersurat dalam QS. Yunus: 31,
al-Ra’d:2, dan al-Sajdah: 5. Sedangkan kata tamkîn beerasalal dari kata ‫مكن‬
sebagaimana tersurat dalam al-Quran surat al-A’raf [7]: 10 dan al-Quran surat al-
Kahf [18]: 84. Pengertian tadbîr dan tamkîn diformulasikan sebagai bentuk
transformasi, hal ini didasarkan dan mengacu pada penjelasan dari kata yudabbiru
dan makkana.
Berdasarkan pada beberapa uraian di atas, baik terkait dengan pengertian
dakwah secara etimologis maupun secara terminologis, serta hakikat dakwah Islam
maka dapatlah kita dikategorikan beberapa ragam dakwah (Bentuk utama dakwah
ini di istinbâth dari Q.S. Fushilat (41): 33 dan pendapat Jum’ah Amin ‘Abd a’-‘Azîz,
bahwa:
‫ريعته‬JJ‫ذ ش‬JJ‫ه وتنفي‬JJ‫اق عقيدت‬JJ‫ه واعتن‬JJ‫بيق منهج‬JJ‫الم والى تط‬JJ‫ل الى االس‬JJ‫القول والعم‬JJ‫اس ب‬JJ‫وة الن‬JJ‫)فالداعى الى هللا يحاول دع‬

Kemudian hakikat dakwah sebagaimana yang telah dikemukakan


sebelumnya, jika dilihat dari proses interaksi antara da’i dengan mad’u (Kategorisasi
mad’u dan macamnya ini di istinbâth dari “kata-kata” dalam al-Quran, yaitu nafsiyah
(Q.S. al-Baqarah: 48, 233), fardiyah (Q.S. Maryam: 80, 95), fi’ah qalîlah (Q.S. al-
Baqarah: 249), fi’ah katsîrah (Q.S. al-Baqarah: 249), jamâ’ah/hizbiyyah (Q.S. al-
Mujâdalah: 29), ummah (Q.S. Yunus: 47), dan syu’ûbiyah dan qabâiliyah (Q.S. al-
Hujurat: 13), secara kuantitatif membentuk “konteks dakwah Islam” dan dapat
disebut pula “bidang atau level dakwah Islam”.
Bertolak dari beberapa penjelasan secara obyektif proporsional, maka
kategori bentuk dakwah terdiri atas: irsyâd, tablîgh, tadbîr, dan tamkîn/tathwîr. Lebih
rinci macam-macam bentuk dakwah adalah sebagai berikut:
1. Irsyâd, didalamnya berisikan ibtidâ bi al-nafs, ta’lîm, tawjîh, mau’izhah, nashîhah,
dan istisyfâ, kemudian disebut pula sebagai Bimbingan dan Penyuluhan Islam
(BPI).
2. Tablîgh Islam, didalamnya berisikan khithâbah dîniyyah, khithâbah ta’tsîriyyah,
kitâbah, seni Islam, dan futûhât, disebut pula sebagai Komunikasi dan Penyiaran
Islam (KPI).
3. Tadbîr Islam, didalamanya berisikan pelembagaan dan pengelolaan kelembagaan
Islam, yaitu majelis ta’lim, ta’mir masjid, organisasi kemasyarakatan Islam,
organisasi siyasah Islami, wisata religius Islam (haji, umrah, dan ziarah), dan
sumber dana Islam berupa ZIS, disebut pula sebagai ilmu Manajemen Dakwah
(MD).
4. Tamkîn/tathwîr Islam, didalamnya berisikan pemberdayaan SDI (Sumber Daya
Insani), lingkungan hidup, dan ekonomi umat, disebut pula sebagai ilmu
Pengembangan Masyarakat Islam (PMI).

Anda mungkin juga menyukai