“Jika pengetahuan hendak disebut ilmu, maka haruslah berobjektifitas, bermetodos, universal, dan sistematis,” (Poedjawijatna,1983: 26). Kebenaran sains adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya (Poedjawijatna, 1983: 16). Dalam filsafat ilmu, objek sains merupakan ontologis. Ada dua jenis objek sains, yaitu objek material dan objek formal. Bidang pengetahuan tertentu yang diambil sains untuk diteliti disebut objek material. Fokus pada bagian tertentu dari objek material disebut objek formal. Objek formal-lah yang membedakan antara satu sains dengan sains lainnya. Beberapa sarjana mencoba membuat rumusan objek material dan objek formal ilmu dakwah. 1. Cik Hasan Bisri (dalam Asep Muhiddin, 2002: 231) menyebutkan objek material Ilmu Dakwah adalah unsur-unsur dakwah, yaitu pendakwah, mitra dakwah, metode dakwah, pesan dakwah, dan media dakwah. Objek formalnya adalah sudut pandang tertentu yang dikaji dalam ilmu dakwah, yaitu disiplin tablig, pengembangan masyarakat Islam, dan manajemen dakwah. 2. Menurut Amrullah Ahmad (dalam Asep Muhiddin, 2002: 231), objek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam, hasil ijtihad, dan realisasinya. Objek formalnya adalah kegiatan mengajak manusia untuk kembali kepada fitrahnya sebagai Muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. 3. Asep Muhiddin (2002: 231) mengatakan objek material Ilmu Dakwah adalah semua aspek ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan al-Sunnah serta produk ijtihad. Adapun objek formalnya adalah kegiatan dakwah itu sendiri yang terkait interaksi dan analisis antar- unsur dakwah. Ada beberapa catatan mengenai pendapat para ahli di atas. Pertama, semua ahli menekankan objek formal ilmu dakwah pada proses kegiatan mengajak manusia dengan menyampaikan ajaran Islam. Kedua, dalam mengemukakan objek material ilmu dakwah, para ahli berbeda pendapat. Ilmu dakwah dipandang oleh sebagian sarjana berasal dari ilmu-ilmu keislaman dan masuk wilayah sains humaniora, tetapi para sarjana yang lain melihat ilmu dakwah sebagai kategori sains sosial. Pandangan penulis ilmu dakwah lebih tepat masuk dalam rumpun sains sosial. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan kita memerlukan kajian normatif keislaman tentang dakwah, seperti tafsir dakwah dan fikih dakwah. Ketiga, objek material ilmu dakwah yang diajukan para ahli belum dapat diabstraksikan dengan baik. Kita tidak bisa mendefinisikan secara tepat suatu konsep yang terdiri dari Al-Qur'an, al-Sunnah, dan ijtihad. Dengan demikian, objek material Ilmu Dakwah adalah manusia sebagai pendakwah maupun mitra dakwah. Objek formalnya adalah penyampaian ajaran Islam oleh pendakwah. Dengan objek kajian di atas, Ilmu Dakwah mengklaim diri sebagai bagian dari sains sosial. Ilmu Dakwah bukan kajian normatif sebagaimana ilmu tauhid, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf. B. Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah 1. Epistemologi Epistemologi merupakan kajian metode, cara memperoleh ilmu dakwah itu dari mana asal usulnya atau dari mana ilmu itu dimunculkan. Menurut pengamatan sementara pada beberapa literatur ilmu dakwah yang ada, landasan epistemologi ilmu dakwah masih mengandalkan pada sumber yang transenden dari Al-Qur'an dan al-Hadis, kurang berusaha menggali kerangka teoretisnya. Seolah-olah ada anggapan bahwa Al- Qur'an dan al-Hadis cukup memadai sebagai kerangka teoretiknya untuk langsung dioperasionalkan. Dalam hal ini, Al-Qur’an dan Hadist dijadikan sebagai aksioma, yaitu suatu pernyataan yang diterima tanpa perlu pembuktian, karena telah diyakini kebenarannya. 2. Ontologi Ontologi merupakan teori hakikat yang membicarakan asas-asas rasional dari “yang ada”, berusaha untuk mengetahui “penyelidikan tentang” esensi yang terdalam dari “yang ada”. Aspek ontologi dalam ilmu dakwah berkaitan dengan objek kajiannya pada ilmu tersebut. 3. Aksiologi Aksiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai. Aksiologi ilmu dakwah adalah nilai-nilai kebenaran teologis (ilmu tentang tuhan) yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-sunnah yang harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, sehingga nilai-nilai tersebut menjelma sebagai “rahmatan lil ‘alamin”. C. Ruang Lingkup Ilmu Dakwah Ruang lingkup atau komponen dakwah adalah sebagai berikut; 1. Pelaku Dakwah, objek kajiannya adalah perilaku sosial, latar belakang, sosiokultural, religiosity, posisi hukum. Sains terkaitnya adalah, psikologi sosial, antropologi, etnografi, sosio agama, psikologi agama dan ilmu hukum. 2. Pesan Dakwah, objek kajiannya adalah struktur, isi, appeals. Sains terkaitnya adalah, sosiolinguistik, psikologi komunikasi, retorika (logika dan argumentasi). 3. Sasaran Dakwah, objek kajiannya adalah perilaku sosial, latar belakang sosiokultural, religiosity, proses difusi/sosialisasi nilai, masalah sosial. Sains terkaitnya adalah, psikologi sosial, sosiologi, social planning, social change, etnografi, psikologi agama, sosiologi agama, ilmu politik. 4. Media Dakwah, objek kajiannya adalah accessability, effectiveness, ownership, economy. Sains terkaitnya adalah ilmu komunikasi (media analysis), ilmu ekonomi. 5. Efek Dakwah, objek kajiannya adalah perilaku individual, perubahan sosial. Sains terkaitnya adalah psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu politik. 6. Metode Dakwah, objek kajiannya adalah persuasi, edukasi, koersi. Sains terkaitnya adalah komunikasi, ilmu pendidikan, social planning. D. Hubungan Ilmu Dakwah dengan Ilmu Lainnya 1. Ilmu dakwah dan ilmu-ilmu keislaman Bila ilmu dakwah diletakkan pada kelompok paradigma logis normatif seperti sekarang, ilmu dakwah harus dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu tradisional Islam. Karena ilmu dakwah ditarik dari Al-Qur'an, maka ilmu tafsir menjadi sangat erat kaitannya. Karena ditarik dari al-Hadis, ilmu Hadis menjadi sangat relevan. Berasal dari Al-Quran dan al-sunnah, pemikiran dakwah dikembangkan dengan ilmu tauhid, perilakunya dengan ilmu fikih, dan kalbunya dengan ilmu akhlak. Ilmu dakwah juga memerlukan kajian filsafat untuk mengetahui hakikat dakwah. Ilmu fikih : Ilmu fikih membahas tetang dakwah dinamakan fikih dakwah. Yang di dalamnya terdapat pembahasan hukum dakwah, hubungan muslim dan non muslim, dakwah politik, jihad dan sebagainya. Fikih dakwah dibutuhkan tidak hanya mengartikan istilah, tetapi juga mengemukakan diskursus para ulama tentang istilah tersebut. Ilmu akhlak : ilmu akhlak dalam kegiatan berdakwah bertumpu pada pendakwah dan mitra pendakwah. Keduanya adalah manusia yang memililiki hati. Isi hati atau jiwa tidak dapat diketahui orang lain. Inti ilmu dakwah tersebut adalah ilmu keislaman, bantuan lainnya adalah sains sosial. Sebaliknya, yang dikembangkan dengan sains sosial memandang ilmu keislaman sebagai ilmu bantu saja. 2. Ilmu Dakwah dan Sains Sosial Bila ilmu dakwah dikaji secara empiris, maka ilmu dakwah harus diletakkan dalam kelompok sains perilaku (behavioral sciences) atau sains sosial (social sciences). Semua disiplin sains sosial dapat membantu pengembangan Ilmu Dakwah. Ini adalah keharusan dalam sains sosial. Sains sosial menerangkan berbagai jenis segi kehidupan individu dan masyarakat secara detail dan terperinci. Dalam proses penyampaian ajaran Islam, ilmu dakwah menghadapi masalah ekonomis, sosiologis, antropologis, politis, manajerial, hukum, dan psikologis. Di antara masalah ekonomis dalam dakwah adalah logistik dakwah, kemiskinan, dan dakwah ekonomi syariah. Masalah politis dalam dakwah antara lain: dakwah struktural, dakwah kepada penguasa, dan partai politik bermisi dakwah. Selama ini, teori-teori dakwah yang berkembang di Fakultas Dakwah juga dengan teori sains sosial, antara lain: teori dakwah konseling dengan teori psikologi, teori dakwah kelembagaan dengan teori ilmu manajemen, teori dakwah partisipatif dengan teori sosiologi, teori retorika dakwah dan teori jurnalistik dakwah dengan teori ilmu komunikasi. 3. Ilmu Dakwah dan Metodologi Sains Metodologi sains adalah disiplin ilmu yang membahas cara pengembangan sains. Ada dua metodologi yang dapat membantu pengembangan ilmu dakwah, yaitu ilmu penelitian dan ilmu logika. Ilmu penelitian digunakan untuk objek yang empiris, sedangkan ilmu logika dipakai untuk objek rasional. Ilmu fikih misalnya, hanya memerlukan ilmu logika yang diolah menjadi ushul fiqh, tetapi objeknya sulit ditelaah secara empiris dengan ilmu penelitian. Oleh karena itu, sains sosial keberatan memasukkan disiplin ilmu yang hanya bisa memakai ilmu logika, tanpa ilmu penelitian. Untuk dapat memakai ilmu penelitian dan ilmu logika, ilmu dakwah harus dipisahkan dari kelompok ilmu keislaman. Kompetensi utama dari seorang sarjana ilmu dakwah adalah kemampuan dalam penelitian empiris serta dapat berpikir secara rasional dan logis.