Anda di halaman 1dari 3

RELIGIOSITAS MANUSIA

Yanika Judika Sihotang, 0906489662

Judul

Thinking About Religion

Pengarang

: Strenski A. Reader

Penerbit

Blacwell Publishing London: 2006

Istilah religi, secara etimologis, berarti ikatan atau pengikatan. Bereligi berarti
mengikatkan diri atau menyerahkan diri. Ikatan dan penyerahan diri ini dialami
(dirasakan) oleh manusia yang bereligi sebagai sesuatu yang mengangkat dan
membahagiakan hidupnya.Hubungan antara religi dan kebahagiaan sangat erat sekali,
sehingga kebahagiaan sering dipandang sebagai bukti dari kebenaran religi.
Religiositas lahir tidak di suatu tempat atau pada masa tertentu. Religiositas lahir
bersamaan dengan kemanusiaan karena religiositas adalah jawaban manusia atas rasa yang
sifatnya universal, yakni: rasa takut. Pengakuan akan adanya rasa takut ini menyebabkan
manusia mempunyai objek tetap tempat dia mengolah ketakutan dan pengharapannya. Jadi,
adalah salah jika mengatakan bahwa religiositas lahir dari kesadaran akan hadirnya Pribadi
Ilahi Tertinggi. Religi tidak lahir karena perasaan atau kehadiran Pribadi Ilahi. Religi terlahir
karena perasaan berhubungan dengan perasaan takut di dalam hidup. Kepercayaan kepada
Pribadi Ilahi hanyalah kesimpulan dari perasaan itu. Jadi, hal tersebut lebih merupakan idea
bukan kesan.
Religiositas merupakan salah satu hakikat manusia. Sebagai makhluk yang bereligi,
manusia berusaha mencari hakikat dan tujuan hidupnya melalui agama. Keberadaan agamaagama, entah disebut agama wahyu atau non-wahyu, menjadi bukti keberadaan manusia
sebagai makhluk yang bereligi.
Agama muncul di tengah komunitas masyarakat sebagai pengalaman personal dan
sebagai lembaga sosial. Pada tingkat personal, agama berkaitan dengan apa yang kita imani
secara pribadi, yakni bagaimana agama berfungsi dalam kehidupan kita; bagaimana pengaruh
agama pada apa yang kita pikirkan, rasakan atau lalukan. Hal ini menyangkut aspek iman dari

perilaku penganut suatu agama. Sementara pada tingkat sosial, agama dapat kita lihat pada
kegiatan kelompok-kelompok sosial keagamaan. Definisi agama akan selalu etnosentris
(subjektif dan sektarian), karena didefinisikan menurut penganutnya. Selain sangat
etnosenstris, setiap definisi agama akan selalu tidak komprehensif. Definisi hanya menangkap
sebagian dari realitas agama karena sifatnya sangat kompleks.
Pada dasarnya, istilah religi lebih luas sifatnya daripada agama. Sifat religi yang
melekat pada manusia sudah dimiliki sebelum ia menganut suatu agama tertentu, entah itu
primitif atau pun modern. Atheisme pun bisa dikatakan sebagai suatu model manusia yang
bereligi. Didalam bukunya Sastra dan Religiositas, Romo Mangun mempertentangkan agama
dan religiositas : Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau
kepada dunia atas dalam aspeknya yang resmi,yuridis,peraturan-peraturan dan hukumhukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya, yang melingkupi segisegi kemasyarakatan (gesselschaft,Jerman).
Religiositas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati. Riak getaran nurani pribadi;
sikap personal yang sedikit banyak menjadi misteri bagi orang lain, karena menafaskan
intimitas jiwa, du coeur dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas
(termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi si manusia. Oleh karena itu, pada
dasarnya religiositas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak,formal dan resmi.
Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim.
Religiositas, khususnya sebagai iman personal, diungkapkan dalam agama dan di
wujudnyatakan dalam hidup sehari-hari. Maka justru pada taraf religiositas dan iman ada
hubungan antara orang beragama, biarpun ekspresi keagamaannya, juga dalam ajaran dan
dogma, berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.
Berdasarkan paparan di atas, kita mendapat pengertian yang mendalam tentang
manusia yang memeluk religi. Secara empiris, kita melihat bahwa manusia mengalami
puncak kebahagiaan karena dan dalam penyerahan diri. Dapat dikatakan, bereligi berarti
ingin menemukan kebahagiaan.
Untuk menuju religiositas sejati, manusia tidak dapat melihat hanya dari satu dimensi
saja (dimensi vertikal atau horisontal). Religiositas

yang sejati adalah mampu

mempertanggungjawabkan agamanya dan berhubungan baik dengan sesama manusia.


Persoalan religi tidak mungkin dianggap sebagai objek netral tanpa memasukan pengalaman

religikita, karena pengalaman religi bukanlah sekadar fenomena manusia, melainkan juga
campur tangan Illahi. Jadi, niscaya bagi orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, lambat
laun akan percaya apabila telah mengalami pengalaman religius.
Pengalaman religius adalah pandangan atau visi yang secara intuitif melihatAllah
hadir dalam dunia dan nyata, yaitu dalam bahasaSt. Thomas Aquinas:

visio beatifica

(pandanganyang membahagiakan). Secaramendalam, manusia merasa hidupnya terarah pada


kenyataan Yang Luhur (Allah), sebagai jawaban terakhir atas pertanyaan manusia: Dari
manaakudatangdankemanaakupergi? Manusia mengalami Allah sebagai dasar dan tujuan
hidupnya yang terbatas ini. Ketika berhadapan dengan Yang Ilahi, manusia merasa kecil,
tidak berdaya, hanyalah debu dan abu, karena hidupnya adalah pemberian Allah.

Anda mungkin juga menyukai