Anda di halaman 1dari 11

[25/11 11:39] Mujiyani: MATERI PERTEMUAN 12

INTELEKTUALISME DAN SPIRITUALISME

A. INTELEKTUALISME

Intelektualisme adalah ketaatan atau kesetiaan terhadap latihan daya pikir dan pencarian sesuatu
berdasarkan ilmu. Intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan
intelegensinya atau hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Intelektualisme dekat
dengan rasionalisme. Dalam filsafat Yunani Purba, penganut intelektualisme menyangkal kebenaran
pengetahuan indra serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-
sungguh.

a. Intelektualisme dan spiritualisme pendidikan.

1). Intelektualisme Pendidikan

Pendidikan secara etimologi berasal dari kata didik yang berarti proses pengubahan tingkah laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pendidikan dan
latihan. Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa yunani, yaitu paedagogie yang berarti
bimbingan yang di berikan kepada anak. Defenisi intelektualisme adalah akal budi atau intelegensi
yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan - hubungan dari proses berpikir. Dikatakan
bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat menyesuaikan persoalan dalam tempo yang
lebih singkat, memahami masalah lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat.

(mohammada asrori, 2009 : 48)

Tugas pendidikan intelektual mempunyai dua tugas yang penting, yaitu:

1. Pembentukan fungsional

2. Pengembangan Material

[25/11 11:44] Mujiyani: 2). Perkembangan pendidikan intelektual

Agar individu mencapai kebahagiaan lahir dan batin di dunia di akhirat. Pendidikan formal dan non
formal itu sangatlah penting bagi seseorang individu atau seseorang anak di usia yang sudah
memasuki dunia pendidikan, agar perkembangan fisik dan kognitif menjadi dasar penerapan strategi
pengajar dan pendidikan yang mampu memaksimalkan potensi dengan baik dan seorang individu
atau anak ini akan mencapai kebahagiaan lahir batin dunia dan akhirat.
3). Prakiraan-Prakiraan Filosofis Fundamentalisme Pendidikan

Intelektualilisme pendidikan sama seperti ideologi lainnya. Berdasarkan pada pertimbangan-


pertimbangan tertentu di wilayah filosofi moral dan filosofi politik sementara filosofi moral yang
mengidentifikasi kebaikan paling tinggi dengan pencerahan filosofis atau didasar oleh kesempatan
penalaran, pada umumnya intelektualisme dilandasi oleh tiga prakiraan filosofis:

a. Dunia ini penuh dengan makna dalam dirinya.

b. Manusia dilahirkan dengan tidak mengetahui apapun mengenai kebenaran, maka harus ada
kesadaraan yang dapat diperoleh melalui pengalaman yang dia pelajari.

c. Hanya ada beberapa kasus pengecualian.

[25/11 11:48] Mujiyani: 1. Rasionalisme

Jika dijelaskan secara berbeda, tradisi rasionalis yang dihubungkan dengan intelektualisme
menerima anggapan bahwa individu secara rasional condong kea rah pengenalan kebenaran-
kebenaran mendasar tertentu jika kebenaran mendasar itu terjadi. Dalam tradisi arsitotelian yang
tidak hanya diketahui oleh segelintir orang saja dan kurang mistis, kebenaran-kebenaran mendasar
tersebut cenderung untuk memicu rasa yang hamper dialami sebagai jenis kepastian intuitif, karena
kecocokan inhern antara potensi individu untuk tabu dengan hakikat resionalitas yang tak terbatas
tentang apa yang diketahui.

Argumen mengenai ‘pembuktian mengenai penalaran’ yang diajukan oleh kaum intelektualis,
mengharuskan adanya sedikit komentar, karena dari sudut pandang empiris membuat dua
kesalahan:

a. Nalar atau logika tidak mengarahkan diri ke hakikat tentang kebenaran, melainkan lebih
menuju ke rujukan-rujukan yang mungkin ada, dengan dilandasi oleh prakiraan tentang yang dia
terima.

b. Prakiraan kebenaran tidak bisa dimapankan melalui logika yang murni seperti misalnya
tatacara pembuktian secara ilmiah karena tatacara pembuktian secara ilmiah semacam itu ada
hanya untuk menguji tentang kebenaran dan bukan sebagai sumber prakiraan itu dalam makna
apapun.

[25/11 12:08] Mujiyani: 2. Kebenaran Mutlak

Bagi para intelektualis, kebenaran bukanlah buatan manusia, dan ia bukanlah persoalan pribadi.
Justru sebaliknya, adanya kebenaran dan nilai tertentu secara mandiri diketahui atau tidak, itu tetap
ada. Lebih dari kenyataan bahwa kualitas itu hidup atau menopang seluruh pengalaman personel.
Kualitas itu juga tidak ‘taat’ pada keberadaan sebagaimana mereka termasuk dalam keberadaan.
Inti dari dari keberadaan yang bisa dirumuskan dalam berbagai cara tentang prinsip-prinsip formal
matematika, hingga hukum-hukum mendasar fisika ini bersifat mutlak maksudnya bahwa itu tidak
memiliki konteks, tetapi justru termasuk dasar inti keberadaan
a. Prinsip-prinsip Pertama

Di balik pasang surutnya keberadaan yang sementara, ada makna dari inti kekekalan, sebuah
rangkaian yang tak bisa dipotong dari prinsip metafisis pertama yang tidak bersifat turunan dalam
arti mereka tumbuh dari pengalaman. Ada secara mandiri dari aspek-aspek kehidupan, yang
memuat titik pusat makna universal. Sesungguhnya kebenaran mutlak itu tidak hanya ada,
melainkan ada di atas dasar implusif, lantaran mereka tidak relative tidak bergantung kepada
‘diketahui’ atau ‘dibuktikan’ dalam hal-hal lain yang sudah di alami.

Kebenaran instrensik ini menolak pembuktian maupun penyangkalan, karena kebenaran itu
adalah prinsip-prinsip yang pertama yang menjadi presden bagi seluruh pengalaman, serta
menyediakan dasar yang diperlukan bagi segala macam perilaku yang cerdas. Keberadaan mereka
langgsung dikenali dan dimengerti tanpa harus dibuktikan dulu. Mereka menjadi dinamika dalam
diri, menjadi alasan pengatur dibalik segala hal yang ada. Secara mendasar dengan begitu hakikat
yang menopang apa yang bersifat fisik adalah sesuatu yang bersifat metafisis.

Filosofi metafisis yaitu tradisi intelektualis berakar yang pada puncaknya bersifat non-empirik,
maksudnya bahwa mereka menolak gagasan bahwa seluruh pengetahuan tertinggi adalah
pengetahuan personal, sesungguhnya seluruh kegiatan ‘mengetahui’ selalu tak pelak lagi bersifat
‘keterbuktian’, dan bahwa itu berakar pada pertemuan. Pengetahuan yang begitu mutlak dan
objektif bisa terjadi sebagai pengetahuan zmanen atau pengetahuan transenden. Secara sederhana,
pengetahuan iman adalah makna yang ada lebih dulu dari jenis pengetahuan personal apa pun, dan
karenanya lepas dari tindakan personal apa pun dalam hal ‘mengetahui’. Pengetahuan semacam itu
bersifat tersirat di dalam hakikat manusia sebagaimana adanya.

Pengetahuan transenden sebuah jagat metafisis yang melampaui kesadaran indvidual, namun bisa
dikomunikasikan secara langsung kepada individu, tanpa perantara personal. Dalam kasus
pewahyuan, intuisi mistis, dan sejenisnya kebenaran dikomunikasikan secara sukarela oleh
kekuasaan yang lebih tinggi yang bicara melalui individu. Dengan jagat intisari yang tak bisa dalam
cara apa pun diraih melalui proses-proses subjektif yang biasa.

Dalam pewahyuan, kebenaran diungkapkan secara langsung melalui sebuah bentuk sumber
rohaniah yang dikenal dengan Tuhan. Pengetahuan semacam itu bersifat sempurna, karena ia tidak
menjadi subjek proses yang biasa. Pada saat Tuhan berbicara dengan nabi Musa, nabi Musa
menerima Wahyu. Kebanyakan wahyu diketahui secara tidak langsung dengan cara keimanan. Iman
senantiasa melampaui nalar dan pembuktian alamiah.

[25/11 15:34] Mujiyani: RESOOMER

←Kembali

Teks dikurangi menjadi 85% ( 88 kata / 104 )

Intuisi mistis, sebagaimana diterapkan pada anggapan-anggapan mengenai kebenaran transenden,


dalam kenyataannya merupakan sejenis ‘wahyu tidak jelas’ Orang bisa langsung tahu seketika, dan ia
bisa tahu tanpa ragu sedikitpun. Penalaran, dipandang sebagai pendekatan terhadap pengetahuan
transenden atau pengetahuan metafisis yang pada intinya merupakan sebuah pendekatan
‘rasionalis’ terhadap nalar dan karenanya cukup berbeda dari apa yang kita pandang sebagai ‘nalar
sebagai penerapan logika’ yang lebih merupakan ciri sudut pandang empirik dalam filosofi berisi
keyakinan bahwa cara terbaik untuk menemukan makna yang termuat dalam keberadaan adalah
melalui perenungan dan analisis logis.

Anggapan filosof metafisis bahwa kebenaran secara tidak langsung dapat diraih dan dimengerti
lewat penalaran adalah anggapan yang kontroversial karena berbagai alasan. Secara umum, jalur
penalarannya yang fundamental akan tertangkap dalam tiga gagasan dasar berikut ini:

1. Manusia, sebuah gagasan yang rasional, menemukan kebanyakan jawaban ‘yang rasional’
yang tak terhindarkan lagi bersifat meyakinkan.

2. Jawaban-jawaban yang paling ‘rasional’ adalah jawaban yang paling logis dan paling
tertata/koheren dalam ranah hal-hal tersebut umpamanya: kehendak bebas, keberadaan sosok
Tuhan yang personal, dan semacam itu yang sudah diketahu sebagai benar dengan dasar terbukti
dengan sendirinya.

3. Karena itu, Kebenaran dapat diakseskan secara langsung melalui penalaran, karena hal-hal
tertentu sudah benar dengan sendirinya sejak awal, dan mewakili pengetahuan imanen ataupun
transenden

intelektualisme, seperti fundamentalisme, cenderung untuk mengawinkan cara-cara otoriter dengan


tujuan-tujuan otoritarian. Dalam kebanyakan kasus, konsep tentang kenyataan menurut seorang
intelektualis, seperti konsep menurut seorang fundamentalis; yakni secara relatif bersifat pasti, dan
menawarkan sebuah konsep secara umum untuk pemikiran dan tindakan tertentu. Sifat hakiki yang
tetap dan pasti dari sistem politik yang diperlukan bagi intelektualis adalah sifat-sifat yang sebagian
besar ditentukan oleh pertimbangan tentang seberapa mampukah, potensi orang-orang kebanyakan
untuk mendapatkan pencerahan. Lantaran kebanyakan intelektualis memandang penalaran sebagai
ciri keunggulan manusia secara alamiah, maka kebanyakan intelektualis cenderung untuk secara
relatif bersikap optimis mengenai kemampuan rata-rata manusia untuk mencapai pencerahan
melalui pelatihan dan pendidikan yang tepat.

Bagaimanapun, dalam kasus intelektual yang pertama maupun yang kedua, gagasan intelektualis
mengenai pendidikan cenderung untuk mengalir secara logis dan filosofi moral dan politiknya secara
menyeluruh.

Sekolah-sekolah musti diadakan untuk membawa setiap orang kepada potensi mereka masing-
masing.

[25/11 15:37] Mujiyani: 2. Intelektualisme Sekuler Dan Ketuhanan (Testik)

Di dalam tradisi intelektualis, yang meletakkan nilai tertinggi pada pencerahan filosofis atau religius,
ada dua sudut pandang yang mendasar; satu bersifat ketuhanan atau teistik, dan yang satu lagi
sekular. Orientasi Ilahiah memuat posisi yang menganggap bahwa keberadaan sosok Tuhan yang
bersifat personal dapat dicirikan melalui empat hal:

1) Ia adalah sebuah kekuatan aktif yang menentukan peristiwa-peristiwa kontemporer.


2) Ia memiliki kepribadian, yakni, ia seperti sebuah pribadi’ berpikir dan merasakan dalam cara
yang sangat mirip dengan manusia.

3) Ia bisa dihubungi atau diajak berkomunikasi.

4) Ia bisa, kadang-kadang, dirayu atau dibujuk untuk campur tangan dalam atau menengahi
persoalan-persoalan manusia.

Di sisi lain, sudut pandang sekular diwakili oleh seluruh filosofi yang memiliki salah satu dari kedua
anggapan tersebut:

1) Tidak ada sosok Tuhan yang personal (ateisme).

2) Tidak ada cara untuk menentukan apakah sosok Tuhan yang personal itu ada ataukah tidak
ada (agnotisisrne).

[26/11 00:32] Mujiyani: Panteisme adalah posisi yang menganggap Tuhan bisa ditemukan dalam
segala hal, bahwa Tuhan adalah sesuatu yang imanen di dalam semua Keberadaan. Deisme adalah
sudut pandang yang menerima adanya Tuhan hanya sebagai sebuah agen kesejarahan, sebuah
kekuatan yang aslinya menciptakan alam semesta, namun sesudah penciptaan itu Ia tidak aktif lagi,
tidak lagi terlibat dalam pengoperasian ciptaanNya itu.

Ia meyakini bahwa Tuhan tidaklah lebih dari kesalingterkaitan aktif prinsip-prinsip penentu. ]adi
Tuhan dengan begitu, merupakan semacam ‘gagasan gestalt’ yang bersifat transenden dan tidak
mempribadi atau semacam ‘kesadaran kosmis’.

Pada dasarnya, ketiga sudut pandang di atas meski secara dangkal tampaknya religius, tapi
sebenarnya tidak, jika dilihat dari arti tradisionalnya. Singkatnya, apa pun kata yang mereka pakai
untuk menghormati gagasan tentang adanya Tuhan, seluruh orientasi tersebut nyatanya berfungsi
sebagai sudut pandang sekular, karena ketiganya menolak keberadaan kepribadian Tuhan,
kepedulian-Nya terhadap individu, ataupun campur tangan yang mungkin dilakukanNya dalam
urusan-urusan manusia.

[26/11 00:36] Mujiyani: 3. Pandangan Sekuler

Tradisi sekular berbeda dari tradisi ketuhanan/teistik, terutama dalam hal bagaimana ia
merumuskan Kebenaran tertinggi. Ia tidak musti bersifat adikodrati dalam arti ada di sebuah jagad
yang terpisah dari dunia fisik sebagaimana adanya. Intuisi seperti itu adalah penalaran yang
menuntun pikiran, langkah demi langkah, ke arah titik perubahan pandangan di mana nalar itu
sendiri mampu menyatukan seluruh pengetahuan yang sudah diraih sebelumnya ke dalam
pandangan global tertentu yang meliputi sebuah kepastian dalam arti yang supra-rasional, yang
terentang melampaui batas-batas penalaran alamiah. Kita disuguhi jalur penalaran yang bisa
disimpulkan secara kasar sebagai berikut:

1) Semua manusia bersifat rasional.

2) Seorang manusia yang rasional secara alamiah menginginkan dan mencari Kebenaran lewat
penerapan nalar, dan menemukan jawaban yang paling rasional yang secara inheren meyakinkan,
melampaui segala keraguan yang beralasan.

3) Kesepakatan intelektual mengenai hakikat. Kebenaran tersirat di dalam penalaran itu


sendiri.
[26/11 00:44] Mujiyani: 4. Pandangan Religius

Dari sudut pandang rasionalis religius, secara ideal iman menda'i hului nalar, dan adalah nalar yang
membenarkan atau meneguhkan iman dengan cara menurunkan sebuah kepastian intuitif dalam
pewahyuan Kebenaran. Maka iman sejati pada puncaknya merupakan jawaban yang paling rasional
terhadap problema-problema kehidupan yang paling penting. Posisi rasionalis religius barangkali
paling terwakili dalam filosofi Santo Thomas Aquinas, yang dapat dirangkum secara kasar sebagai
berikut:

1) Kenyataan bersifat alamiah maupun adikodrati.

2) Kebenaran Alamiah dapat dipahami dengan menggunakan nalar.

3) Nalar adalah sebuah syarat yang perlu tapi tidak mencukupi untuk memahami Kebenaran.

5. Beberapa Tradisi Katolik Roma

Haruslah ditambahkan di sini, khususnya dalam pandangan pendiskusian perbedaan di dalam


sebagian kelompok fundamentalis non-Katolik juga dalam kaitannya dengan diskusi lanjutan tentang
orientasi-orientasi Kristen yang non-Katolik, bahwa tidak seluruh Katolikisme Roma didasarkan pada
filosofi Thomistik yang kita bahas tadi.

Thomisme memang merupakan filosofi resmi Gereja Katolik Roma, namun katolikisme Roma itu
sendiri, sebagaimana semua agama yang besar dan kompleks, mencakup beragam sudut pandang
yang berbeda-beda, yang cukup penting tingkat perbedaannya dengan fisosoii resmi. Jadi. supaya
lengkap dan adil, barangkali lebih bijak jika kita sejenak mengamati agama Katolik sebagai sebagai
sebuah lingkaran tak berujung dari sebuah keyakinan.

[26/11 00:57] Mujiyani: 6. Nilai-Nilai

Pembedaan antara sudut pandang sekular dan teistik dalam keseluruhan pola orientasi
intelektualisme khususnya memiliki arti penting di wilayah nilai. Unsur-unsur pembentuk
intelektualisme cenderung terbelah menjadi dua kelompok besar berdasarkan orientasi religius,
yaitu:

1) Persoalan mengenai nilai pada dasarnya adalah persoalan perilaku efektif di dalam dunia
almiah, atau kemampuan untuk bertahan hidup secara selaras dengan apa yang ada, mampu untuk
menyesuaikan diri dengan kenyataan yang tak bisa tidak bersifat sementara.

2) Secara umum, panduan terbaik kearah perilaku efektif adalah pandangan ke dalam hakikat
pengetahuan tentang apa yang secara objektif yang baik dan benar.

Dengan begitu, ada sebuah penjenjangan alamiah dari nilai-nilai yang dapat diringkas sebagai
berikut:
1) Nilai-nilai Adikodrati, yang Segera atau yang langsung diturunkan ke dunia dalam bentuk
nilai yang harus langsung ditaati pula oleh manusia contoh: menaati Sepuluh Perintah Tuhan,

2) Nilai-nilai Adikodrati Tertinggi.

7. Intelektualisme Politik Dan Pendidikan

Di tingkat filosofi politik, pendirian moral intelektualis pada umumnya diterjemahkan ke dalam apa
yang bisa diistilahkan sebagai konservatisme filosofis. Konservatisme filosofis meliputi semua
ungkapan konservatisme politik yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atas teologis
otoritarian , dan yang menganggap bahwa ‘nalar yang benar’ akan menuntun ke arah kesimpulan-
kesimpulan yang benar.

Secara umum, konservatisme filosofis ingin mengubah praktik-praktik politis dan pendidikan yang
ada demi menjadikannya lebih sesuai secara sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah
yang sudah mapan.

Dalam pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan dirinya terutama sebagai


intelektualisme pendidikan, yang mencakup dua variasi dasar: 1). Intelektualisme filosofis, dan 2).
Intelektualisme teologis.

Barangkali corak intelektualisme teologis yang paling terkenal dan paling berpengaruh adalah sudut
pandang Thomas Aquinas, yang mendominasi pendekatan Gereja Katolik Roma terhadap pendidikan
sejak Abad Pertengahan. Tetapi ada dua macam intelektualisme teologis lain yang kurang begitu
dikenal, meskipun sama pentingnya dengan Thomisme:

1. Tradisi intelektualis Yahudi, yang mungkin paling terwakili dalam tulisan Moses Maimonides,
yang masih bersifat fundamental dalam Yudaisme terorganisir.

2. Intelektualisme Kristen yang pada intinya bersifat non-aliran. Lembaga yang terentang dari
zaman permulaan iman Kristiani, hingga ke pemikiran para teolog kontemporer seperti Paul Tillich
dan Reinhold Niebuhr.

[26/11 00:59] Mujiyani: 8. Filosofi Empirik dan Pendidikan

Filosofi empirik yang baru paling sering dihubungkan dengan ideologi-ideologi yang lebih liberal. Di
sisi lain asosiasi itu lebih sebentuk hubungan timbal-balik dari pada sebab-akibat, dan dalam
prinsipnya adalah mungkin bagi seorang individu yang menerima satu dari sekian filosofi empirik.
Misalnya berkembang melalui jalur penalaran dibawah ini kea rah ideologi konservatisme
pendidikan:

1. Sasaran kehidupan adalah perilaku efektif.

2. Perilaku efektif berdasarkan pada pemikiran efektif

3. Seluruh pemikiran efektif adalah pemecah masalah secara efektif


Dalam cara yang mirip dengan dengan itu, pada umumnya mustahil bagi seorang eksperimentalis
filosofis untuk berjalan ke arah intelektualisme pendidikan dari jenis yang teologis dengan cara
mengejar sesuatu yang mendekati jalur penalaran sebagai berikut:

1. Sasaran kehidupan adalah perilaku efektif.

2. Perilaku efektif didasarkan pada pemikiran efektif.

3. Seluruh pemikiran efektif adalah pemecahan masalah secara efektif.

[26/11 01:01] Mujiyani: 9. Intelektualisme Dalam Pendidikan: Sebuah Rangkuman

Sejenak abaikan perbedaan antara sudut pandang sekuler dan religius. Ideologi dasar
Intelektualisme pendidikan dapat dirangkum:

1) Tujuan Pendidikan secara menyeluruh

2) Sasaran-sasaran Sekolah

3)Administrasi dan Kontrol

4) Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil belajar.

10.

[26/11 01:28] Mujiyani: B. PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PENDIDIKAN DAN INTELEKTUALISME

1) Pengertian

Intelektual berasal dari bahasa Inggris intellect yang artinya pandai, pintar, cardas. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual adalah cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasrkan
ilmu pengetahuan. Adapun dalam Kamus Filsafat kata intelektual diterjemahkan dengan sebuah
kemampuan kognitif yaitu mengetahui dan dilawankan dengan kemampuan menghendaki dan
kemampuan merasa. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa intelektualisme adalah
sebuah pandangan yang menganggap ilmu adalah sebagai satu-satunya jalan meraih harapan atau
keinginan.

2) Urgensi ilmu dan pendidikan

Dalam Al-Qur’an maupun Sunnah banyak sekali di singgung mengenai ilmu maupun akal,
diantaranya:

*AD COPY PASTE DWORD*


Berangkat dari dalil-dalil di atas dapat kita simpulkan bahwasanya agama Islam sangat menganjurkan
umatnya untuk menuntut ilmu, karena dengan adanya umat yang berilmu maka sudah pasti sebuah
negara akan maju. Kebodohan suatu umat merupakan kejahatan yang terselubung, lebih dari itu hal
ini juga sebagai bom waktu yang suatu saat bisa meledak.

[26/11 01:42] Mujiyani: C. INTELECTUALISME KUNO

Intelektualisme mengacu pada perspektif mental terkait yang menekankan penggunaan,


pengembangan, dan latihan intelek dan juga mengidentifikasi kehidupan pikiran orang intelektual.
Dalam bidang filsafat, "intelektualisme" identik dengan rasionalisme, pengetahuan yang bersumber
dari akal. Kehidupan Pikiran: pelopor filosofis, Socrates (sekitar 469–399 SM)

Intelektualisme moral kuno.

Filsuf Yunani Socrates mengusulkan bahwa intelektualisme memungkinkan "seseorang akan


melakukan apa yang benar atau terbaik segera setelah ia benar-benar memahami apa yang benar
atau terbaik", bahwa kebajikan adalah masalah intelektual murni, karena moralitas dan
pengetahuan adalah kualitas terkait yang diperoleh, dimiliki, dan ditingkatkan seseorang melalui
dedikasi pada akal. Didefinisikan, intelektualisme Socrates adalah komponen filosofis penting dari
Stoicisme di mana konsekuensi problematis dari perspektif seperti itu adalah "paradoks Socrates",
seperti tidak ada kelemahan kemauan yang tidak ada yang secara sadar melakukannya, atau
berusaha untuk melakukan, kejahatan, bahwa siapa pun yang melakukan, atau berusaha melakukan,
kesalahan moral melakukannya tanpa sengaja; dan kebajikan itu adalah pengetahuan, bahwa tidak
banyak kebajikan, tetapi semua kebajikan adalah satu.

Dengan demikian, Michel Foucault mendemonstrasikan, dengan studi sejarah yang rinci, bahwa
dalam Classical Antiquity, "mengetahui kebenaran" mirip dengan "pengetahuan spiritual", dalam
pemahaman konsep yang sezaman; oleh karena itu, tanpa secara eksklusif mengenai intelek
rasional, pengetahuan spiritual merupakan bagian integral dari prinsip yang lebih luas dari "merawat
diri".

Biasanya, perawatan latihan pertapaan khusus yang melibatkan diri semacam itu dimaksudkan
untuk memastikan bahwa tidak hanya pengetahuan tentang kebenaran yang dihafal, tetapi juga
dipelajari, dan kemudian diintegrasikan ke dalam diri, dalam proses mengubah diri menjadi orang
yang baik. Oleh karena itu, memahami kebenaran berarti "pengetahuan intelektual" yang
membutuhkan integrasi seseorang dengan kebenaran, dan secara otentik menghayati dalam
ucapan, hati, dan perilaku seseorang. Perspektif filosofis moral Sokrates kuno ini bertentangan
dengan pemahaman kontemporer tentang kebenaran dan pengetahuan sebagai suatu usaha.

[26/11 01:54] Mujiyani: D. SPIRITUALISME PENDIDIKAN

Pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan manusia dari
generasi ke generasi. Spiritualisme berasal dari kata spirit yang berarti jiwa atau suma atau roh.
spritualisme berarti kejiwaan, rohani, batin, mental atau moral. Sejarah membuktikan bahwa
keduanya memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam penyucian jiwa dan ke sanggupan yang
sangat dalam memperbaiki hati.

a. Fungsi spiritualisme pendidikan

1). Mengungkapkan segi perenial dalam struktur kecerdasan manusia

2). Menumbuhkan kesehatan spiritualisme

3). Menciptakan kedamaian spiritualisme

4). Meraih ke damaian spiritualisme

5). Merahih kearifah spiritualisme

b. Aspek-aspek kecerdasan spiritualisme

Khalil A. Khavari yng di kutip oleh novan ardy wiyani menyebut bahwa:

1). Sudut pandang spiritualisme keagamaan.

2). Sudut pandang relasi sosial keagamaan.

3). Sudut pandang etik sosial.

1. Filsafat Dalam Kurikulum 2013

Secara eksplist kurikulum 2013 berdasarkan berbagai fondasi aliran filsafat dan aliran filsafat
pendidikan. hal yang positif dari berbagai aliran filsafat dan aliran filsafat pendidikan.

2. Muatan Pendidikan Atas Problema kehidupan.

Pedidikan sebagai suatu sistem pembuka tidak lepas dari masalah baik mikro dan makro. Masalah
mikro yaitu masalah yang timbul dalam komponen yang terdapat dalam pendidikan itu sendiri.
Berkait dengan masalah yang sering terjadi di Indonesia, guru di anggap di anggap sebagai sumber
dari permasalahan tersebut sehingga dengan mengidentifikasi permasalahan pendidikan kita
mengetahui letak permasalahan yang sebenarnya dan berusaha untuk memberikan solusi dari
permasalahan tersebut. Yang paling jelas, ini berlaku untuk semua filsafat yang menerima gagasan
tentang Tuhan yang tak terbatas dan pribadi, keabadian jiwa, atau ketidakmaterialan kecerdasan
dan kehendak itu termasuk kepercayaan pada ide-ide seperti kekuatan kosmik yang terbatas atau
pikiran universal, asalkan mereka melampaui batas-batas interpretasi Materialistis yang kasar.

Filsafat Pikiran Spiritualistik bermula pada gagasan Idealisme Platonik. Filsafat Pikiran Spiritualistik
atau idealistic mengatakan bahwa apapun namanya, pikiran memiliki tingkat independensi atau
realitas yang tidak disinggung dalam teori pikiran yang lain. Filsafat Pikiran Spiritualistik menurut
Henri Bergson , dengan keyakinannya pada kekuatan kosmis spiritual.

Rene Le Senne [1882-1954], secara khusus dikenal sebagai spiritualis, meluncurkan publikasi
Philosophie de l'esprit dan pada tahun 1934 untuk memastikan roh diberi perhatian yang tepat
dalam filsafat modern. Semua bentuk personalisme menekankan posisi sentral realitas diri atau
kepribadian.

RESOOMER

←Kembali

Teks dikurangi menjadi 54% ( 80 kata / 153 )

Tokoh-tokoh aliran ini adalah Plato dengan ajarannya tentang idea atau cita dan jiwa yang
merupakan gambaran asli segala benda. Semua yang ada di dalam dunia hanyalah merupakan
penjelmaan atau bayangan saja. Idea atau cita tidak dapat ditangkap oleh indera, tetapi dapat
dipikirkan. Sedangkan yang dapat ditangkap oleh indera manusia hanyalah bayang-bayang. Leibniz
dengan teorinya tentang monade. monade adalah sesuatu yang bersahaja, sederhana, tidak
menempati ruang, tidak berbentuk. Sifatnya yang terutama adalah gerak, menaggap, dan berpikir.
Setiap monade bersifat otonom mutlak.

Anda mungkin juga menyukai