KRISTEN
Dasar Alkitabiah, Orientasi Ideologis, dan
Implementasinya dalam Konteks Demokrasi
Pancasila Indonesia
Bab I
Pendahuluan
Sejak Soeharto berkuasa di atas bumi Indonesia (19671998), belum ada lembaga agama atau kekuatan sosial lain yang
mampu mendesak pemerintah guna mengubah tatanan atau
haluan politik Indonesia dari yang istana-sentris dan/atau
cendana-sentris ke rakyat-sentris Semua kebijakan politik
telah diatur oleh mesin politik dan mesin uang Soeharto
Kebegisan dan kekuatan intimidasi pemerintahan Orde
Baru tersebut hingga menimbulkan
phobia-politik(baca:
kemandulan suara kenabian) di kalangan rohaniwan, baik oleh
rohaniwan Islam (sebagai agama mayoritas) maupun Kristen
(Protestan dan Katolik, sebagai agama terbesar kedua penduduk
Indonesia). Memang berbagai kalangan secara pribadi maupun
melalui organisasi politik dan organisasi massa telah banyak
mengajukan protes, namun tampak seperti
lilin kecil yang bersinar
di tengah kegelapan malam rezim Soeharto. Pengaruh mereka
memang tidak boleh dinafikan; mungkin justru protes dalam
bentuk gagasan-gagasan dan aksi-aksi demo merekalah yang
memberi jalan terakumulasinya protes berskala nasional dalam
anarkhisme masa (Kerusuhan Mei 1997) dan demo nasional
mahasiswa untuk menurunkan Soeharto dari takhta
kepresidenan.
Di tengah krisis nilai-nilai luhur bangsa yang tidak
ditunjukkan oleh pemerintah dan karut-marut sosial-politik
Indonesia, justru perjuangan mahasiswalah yang tidak diberi
label-label agama mampu merubah tatanan dan haluan politik
Indonesia. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan, dan telah
tercatat dalam sejarah Indonesia.
Jauh sebelum lengsernya pemerintahan Orde Baru,
berbagai jenis organisasi mahasiswa bermunculan, termasuk
organisasi yang bernuansa agama, dan berusaha mengumpulkan
kekuatan untuk secara serentak berdemo menentang
Edisi No. 4 , September 2003. Tulisan ini secara khusus memb uktikan bahwa
para politisi Kristen menjelang dan hingga kemerdekaan Indonesia telah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kehidupan Kristen dan
kondisi politik Indonesia hingga saat ini.
6 Ibid. , hlm. 25 26).
7
Belakangan ini, suara untuk memperjuangkan syariat Islam
menjadi hukum positif di negara ini diperjuangkan dengan sangat gigih oleh
berepara partai fundamentalis Islam, antara lain: Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Parta Bintang Reformasi (PBR), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok partai fundamentalis Islam ini
menyadari bahwa penegakan Syariat Islam di Indonesia tidak mungkin
dicapai secara revolutif di seluruh Indonesia. Akhirnya, mereka menempuh
cara lain dengan menyicil satu persatu Undang-Undang dan perda-perda
bernuansa syariat Islam. Hingga saat ini ada empat daerah pada tingkat
provinsi dan kabupaten yang menerapkan Syariat Islam, yakni Nangroe Aceh
Darussalam, Serang (Banten), Cianjur (Jawa Barat), d an Makassar (Sulawesi
Selatan). Pada dasarnya, tidak ada p erbedaan signifikan setelah empat daerah
ini menerapkan Syariat Islam; yang berubah adalah nama d an Perda yang
bernuansa agama. Belum terbukti bahwa dagangan politik fundamentalis
ini memberi kontribusi dalam membenahi situasi politik, sosial, dan ekonomi
Indonesia. Justru, partai-partai fundamentalis ini menjadi ancaman bagi
sistem demo krasi politik Indonesia, karena bertujuan untuk menggantikan
Pancasila seb agai asas atau dasar negara RI.
8 Berbagai
10
11
12
13
14
15
BAB II
MORAL POLITIK KRISTEN
16
analisis dan arti dari istilah dan bahasa yang dipakai dalam diskusi, serta
corak pikiran yang dipakai untuk membenarkan suatu pernyataan etika.
15
Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan.
Persoalan-persoalan Filsafat
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 140 -141.
16
Hasan Alwi, red.,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 754755.
17
Haro ld H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Ricahrd T. Nolan,
op cit. ,
hlm. 140.
18
Frans Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Dasar
Kenegaraa n Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 1314.
17
19
18
22
20
Frans Magnis-Suseno.
Etika Dasar: Masalah-ma salah Pokok
Filsa fat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hlm. 15. Etika mau
mengerti mengapa seseo rang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau
bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang beratanggun g jawab
berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Jadi, etika berperan sebagai wasit
dari pelbagai ajaran moral, termasuk ajaran moral agama.
21
Ibid. , hlm. 15.
22 Bernat Jody A. Siregar,
et al ., Beriman dan Berilmu: Pendidikan
Agama Kristen (PAK) untuk Perguruan Tinggi Umum
(Depok : PND
Publishers, 2008), hlm. 14.
19
20
21
22
23
24
25
26
34
35
27
Miriam Budiarjo,
Dasar-dasar Ilmu Politik
Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 9.
39
Dhurorudin Mashad, 2002, hlm. 84.
40 Mirian Budiarjo,
op cit. , hlm. 14.
(Jakarta: Penerbit PT
28
lih.: http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
Eddy Paimoen, http://www.gky.or.id/buletin14/paimoen.htm
29
43
30
31
32
menghadapi apa yang baik (etis) menurut agama-agama lain, menurut adatistiadat, dan juga menurut etika filosofis. Di tengah masyarakat Indonesia, di
mana gereja Kristen hidup d an melayani, adanya pengaruh moral dari agamaagama yang ada tidak dapat disangkal lagi. Misalnya, walaupun di Indonesia
tidak banyak penganut agama Hindu dan Budha, n amun masih ada
48 . Ini diakibatkan oleh karena
pengaruhnya dalam sikap dan pandangan hidup
dulunya ajaran moral Hindu-Bud ha sudah mengakar di tanah air kita.
49 Poltak Y.P Sibarani,
Bolehkah Gereja Berpolitik: Mencari Pola
Hubugan Gereja dan Negara yang relevan di Indonesia
(Jakarta; Ramos
Gospel Publisher, 2006), hlm. 62.
33
Bnd. J. Verkuyl,
hlm. 71.
51
52
34
35
53 Arend
36
54
37
Lecturer on Calvinism
, terj. (Jakarta:
38
39
R. Soedarmo,
1986), hlm. 106.
57
Ibid .
58 Ibid.
40
Lih. C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 2
. Cet. Ke-9 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 200 1), hlm. 58 59. C. Barth memap arkan bahwa kata
benda Ibrani untuk raja dalam PL digunakan 2500 kali lebih. Kata kerja
menjadi raja atau menjadikan raja , dan kata b enda kerajaan dugunakan
masing-masing 240 kali lebih. Kata benda
melekh raja tercatat sebagai
palking sering nomor 3, didahului oleh ben p utera (no. 1) dan elohim
Allah (no. 2). Hal ini berarti bahwa bayangan raja dalam pemerintahan
Israel termasuk dalam pokok yang sangat penting dalam Alkitab.
41
Christoph Barth,
God with Us: A Theological Introduction to the Old
Testament (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1990), hlm. 188 199.
61 Ibid. , hlm. 199.
42
43
C. Barth,
Barth,
65 C.
44
Sirait, Saut.
Mulia, 2000), hlm. 102.
45
67
46
47
69
Max Weber,
Ancient Judaism.
hlm. 133.
48
Saut Sirait,
Ibid.
op cit. , 105.
49
50
73
Ibid.
51
74
Saut Sirait,
op cit. , 111.
52
Ibid. , 113.
Max Weber,
Ancient Judaism
, 299300.
53
54
55
56
57
Oscar Culman.
The State in the New Testament
Charles Scribers Sons, 195 6), hlm. 124.
(New York:
58
dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah. Di sini, kembali
politik teokrasi dinyatakan secara implisit, sebab dengan sengaja
Yesus memberi garis yang tegas yang membedakan Allah dengan
Kaisar.
2. Dimensi politis istilah Kerajaan Allah
Tema besar mengenai Kerajaan Allah terbentang di dalam
Alkitab dari Kitab Kejadian hingga Kitab Wahyu. Tema Kerajaan
Allah inilah yang menyatukan seluruh Alkitab, yang bersifat
progresif dan menjadi program Allah kepada pemerintahan dan
kekuasaan pemerintahan sipil (baca: manusia). Allah
mendemontrasikan kebenaran-Nya melalui hukum dan
peraturan-peraturan dalam Kerajaan-Nya di muka ini.
Istilah Kerajaan Allah 8 0 sepanjang kitab-kitab Perjanjian
Baru pada dasarnya memiliki dimensi politik yang tegas,
khususnya Kitab Matius dan ketiga Injil lainnya. Kerajaan Allah
adalah pemerintahan Allah sebagai Raja yang hendak
dilaksanakan di sorga maupun di bumi. Menurut Matius, dengan
kedatangan Yesus Kristus Kerajaan Allah sudah dekat (Mat. 4:17),
bahkan Lukas mengatakan Kerajaan Allah berada di antara
kamu (Luk 17 21) Yesus memberitakan Injil Kerajaan Allah
(mis. Luk. 4:43), demikian pula para murid-murid-Nya (Luk. 9:2).
Dalam Injil Matius terdapat istilah Kerajaan Sorga yang
searti dengan Kerajaan Allah. Penulis Injil Matius secara sengaja
memakai istilah Kerajaan Sorga, sebagai pendekataan kontekstual
terhadap keagamaan Yahudi untuk meyakinkan mereka bahwa
80
59
60
61
83
84
J. Dwight Pentecost,
op cit. , hlm. 294.
Lih. http://www.oaseonline.org/artikel/mojau-politikyesus.htm
62
85
Isu seran gan fajar telah menjadi salah satu isu penting dalam
pemilihan di Indonesia pada Pemilu tahun 1999. Hampir semua media massa
memberitakan hal ini. Juga ada bisik di sana sini di TPS-TPS.
86 Christianto Wibisono pernah merisaukan hal ini ketika menyelang
Sidang Umum MPR-RI tahun 1998. Lihat Christianto Wibisono,
"One
Dollar, One Vote"
, dalam Harian Umum Suara Pembaharuan
, 15 Desember
1998.
87 Machiavellian di sini menunjuk kepada nama Niccolo
Machiavelli, salah seorang tokoh penting yang menganjurkan cara dan sarana
kekerasan untuk mempertahankan sebuah kekuasaan. Salah satu pentignya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judu l Sang Penguasa.
88 Berbagai paham dan prinsip etika politik secara garis besar dapat
dibaca dalam Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1994).
63
64
92
65
66
67
orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat, jawaban Yesus ini juga hendak
dijadikan sebagai cara untuk menjerat Yesus.
Perjumpaan Yesus dengan otoritas politik imperium
Romawi memang lebih tragis. Yesus diserahkan ke tangan
penguasa Romawi, Pontius Pilatus dan diadili di bawah hukum
Romawi. Keputusan yang sarat nuansa dan pertimbangan politis
menggiring Yesus ke puncak tragedi: Ia harus disalibkan meski
padanya tidak ditemukan kesalahan. Dengan keputusan
penyaliban yang berdasarkan otoritas Pontius Pilatus itu, maka
kematian Yesus berada dalam tradisi dan budaya politik Romawi.
Melalui jalan salib dan kematian
(via dolorosa) , Yesus
memasuki wilayah budaya dan politik imperium Romawi. Suatu
cara yang teramat unik dan khas yang tidak mungkin terjadi atas
sejarah manusia biasa. Imperium Romawi yang merupakan
kekuatan politik nan digdaya pada masa itu kelihatannya menjadi
representasi tatanan politik dunia. Masuknya Yesus melalui jalan
kematian yang sangat unik dan khas itu, menandai suatu dimensi,
wacana, dan spektrum baru menyangkut konsepsi politik
teokratis ke seluruh dunia: supaya semua lidah menyebut dan
segala lutut bertelut! Kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus
ke sorga merupakan cara Tuhan yang sangat ampuh untuk
merubah moral politik dunia, dan pada akhirnya akan mampu
memanifestasikan Kerajaan Allah di muka bumi ini.
4. Moral politik Paulus
Nats yang paling sering mendapat perhatian mengenai
persoalan politik adalah tulisan Paulus (Rm. 13:17). Tanpa
mengabaikan adanya perspektif lain yang ada di dalam kitab-kitab
lain, teologi Paulus dalam Rm. 13:17, harus diakui telah begitu
banyak digunakan dalam perumusan-perumusan politik Kristen,
atau sikap Kristen terhadap negara (baca: pemerintah).
68
69
70
71
(Jakarta:
72
73
Saut Sirait,
99
74
semua jemaat Kristen di mana saja. Jika diperhatikan beberapa ayat berijkut:
1:1 2 dan 5:1214, maka dapat diterima kalau dikatakan bahwa 1 Petrus
adalah surat yang dikirim kepada alamat (penerima) yang jelas dan
pengirimnya pu n jelas, walaupun dengan perantaraan Silwanus. Menurut 1
Petrus 1:3, Rasul Petrus menuliskan surat kepada o rang -orang pendatang,
yaitu orang-orang yang dipilih dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat
kepada Kristus. Tetapi penerima (baca: pembaca) Surat 1 Petrus adalah
orang-orang Kristen non-Yahudi (1:14, 18; 2:29; 4:3) yang berad a di bagian
selatan propinsi Galatia (Iko nium, Listra, Derbe). Di sana terdapat juga
orang-orang Yahudi (Kis. 13, 14).
100
75
76
77
78
79
80
81
82
83
Bab III
Demokrasi Pancasila dan
Konteks Sosial Politik Indonesia
107
James W. Skillen,
International Politics and Demand for Global
Justice (Burlington: G.R Welch Co., 1981), hlm. 16 dst.
84
Dalam hal ini, sikap orang Kristen menjadi acuh tak acuh,
karena alasan tidak ada urusan dengan masyarakat dan
pemerintah. Memang tugas gereja berlainan dengan pemerintah,
tetapi anggota gereja adalah penduduk dunia yang ditempatkan
Kristus di dalamnya. Selain kesaksian rohani, mereka juga harus
1 0 8 Dalam
berjuang secara kenabian atas masalah ketidakadilan.
pandangan Alkitab adalah bahwa esensi negara adalah keadilan
. ., sementara itu, tidak ada masyarakat di bumi ini yang secara
penuh mengekpresikan keadilan ( Dalam kaitannya dengan itu
tokoh Injili John Stott menyarankan pentingnya doktrin yang
lebih genap (complete) yang seharusnya dihubungkan dengan
keterlibatan orang Kristen di dalam masyarakat. 1 0 9 Oleh karena
itu, bagian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana prinsipprinsip demokrasi dapat dimengerti dan dipakai oleh orang
Kristen sebagai cara yang baik dalam kaitannya dengan
keberadaannya secara politis.
A. Demokrasi Pancasila
1. Akar-akar konsep demokrasi
Demokrasi adalah satu prinsip beradab yang selama ini
diperjuangkan oleh manusia modern, walaupun konsep
demokrasi yang sekarang dikenal ini berasal dari masyarakat dan
pemikiran Yunani pada abad ke-4 sM. Pada waktu itu
pemikirannya masih sangat sederhana, di mana sistem
108
85
, terj.
86
111
J. Budziszewaki,
Written on the Heart: The Case for Natural
Law (Downers Grove: InterVarsity Press, 1997), hlm. 16 17.
87
112
Ibid.
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
Negara yang ditetapkan MPR. Presiden mengangkat menterimenteri dan kepala lembaga non departemen (TNI/Polri/Jaksa
Agung) setingkat menteri untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
Dalam UUD 1945 (versi sebelum amandemen) disebutkan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang
terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
mselama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali
oleh rakyat melalui Pemilu.
e. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (MA) adalah pelaksana fungsi yudikatif,
yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya.
MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam
menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski
penunjukan para hakim agung dilakukan Presiden.
f.
99
g. Pemerintah Daerah
Di tingkat daerah, sebuah provinsi dikepalai oleh seorang
gubernur sedangkan kabupaten/kotamadya dikepalai oleh
seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 33 provinsi dan 360
kabupaten/kotamadya. Sejak diberlakukannya UU Nomor
22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1
Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke
Kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi. Hubungan
lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama
halnya dengan hubungan antarlembaga di tingkat nasional.
Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi jalannya
pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan
Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di
tingkat daerah diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri.
B. Konteks Sosial-Politik Indonesia
1. Kemajemukan sebagai realitas sosial bangsa Indonesia
Suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri dalam
masyarakat Indonesia adalah keberagaman latar belakang suku,
bahasa, agama, dan aliran kepercayaan. Artinya, kalau mau
berbicara tentang masyarakat Indonesia, harus juga memahami
bahwa yang disebut bangsa Indonesia ialah bangsa yang majemuk
dalam berbagai dimensi.
Bangsa Indonesia bukanlah negara agama. Ideologi
dan/atau hukum positif yang berlaku di Indonesia bukanlah
1 2 4 Bangsa
implementasi dari satu hukum agama tertentu.
124
100
Penerbit Universitas Trisaksi, 2004), hlm. 177 181. Menurut H.A. Prayitno
dan Trubus, dalam bukunya
Etika Kemajemukan: Solusi Strategis Merenda
Kebersamaa n dalam Bingkai Masyarakat Majemuk
, jika seseorang hendak
menco ba mengindentifikasikan realitas agama dan kepercayaan yang ada
dalam masyarakat Indonesia, sekurang-kurangnya dapat dikategorikan secara
ilmiah dan objektif sebagai berikut.
Pertama , agama masyarakat daerah,
yaitu agama yang dianut oleh penduduk lo kal di suatu daerah tertentu di
Indonesia. Agama masyarakat daerah ini disebut agama primitif atau agama
suku, misalnya Pelbegu (si Pele Begu) pada masyarakat Batak,
Kaharingan
pad a masyarakat Dayak, dll.
Kedua , agama Hindu d an Budha beserta aliran alirannya. Misalnya, agama Hindu terdiri dari Hind u Dharma, Mazhab Siwa,
Mazhab Wisnu, dan Mazhab Sakta. Aliran-aliran dalam agama Budha terdiri
dari Mahayana, Hinayana, Teravada, Tantrayana, dan lain sebagainya.
Ketiga , aliran Islam serta aliran-aliran dan mazhab-mazhabnya. Aliran-aliran
dalam Islam dibedakan berdasarkan bidang teologis, bidang fikih, dan bidang
tasawuf. Keempa t , agama Kristen terdiri dari Katolik Roma dan Kristen
Protestan. Di kalangan pemeluk Kato lik Roma, terdapat tarekat-tarekat yang
mengkhususkan diri pada bidang peribad atan dan pelayanan tertentu,
misalnya Sareket Jesuit dan Ordo Fransiscan. Pada agama Kristen Protestan
terdapat berbagai macam aliran teologi atau deno minasi gerejawi, misalnya
Calvinisme, Lutheranisme, Armenianisme, Karismatikisme, dan
Pentakostaisme, Bala Keselamatan, Advent, Methodis, Mormon, Saksi
Yehuwa, Ortodoks Yunani, Ortodoks Siria, dan lain sebagainya.
Kelima ,
Agama Konghucu dan Taoisme. Kedua agama ini berasal dari dataran
Tiongkok. Pada zaman Orde Baru, kedua agama ini dimasukkan dalam
golongan agama Budha, namun pada masa pemerintahan Gus Dur, Konghucu
mendapat tempat sebagai agama yang sah secara hukum.
Keenam , agamaagama campuran, yakni agama yang dipeluk oleh suatu masyarakat yang di
dalamnya terdapat penggabungan kepercayaan agama yang bermacamamacam (sinkretisme), misalnya agama Jawa Sunda di daerah perbatasan
Jawa Barat dan Jawa Tengah, agama Madraisme di kabupaten Kuningan, dan
agama Kejawen yang berkembang di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa
Timur.
101
Ibid. , 256257
102
103
129
104
130
105
106
107
132
108
109
110
W.B. Sidjabat,
Partisipasi Kristen dalam Nation Bu ilding di
Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit, 1968), hlm. 4950.
111
112
113
114
propinsi, di kabupaten-kabupaten, di kota-kota, dan di kecamatankecamatan. Akibatnya, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
semakin bertumbuh dan berkembang luar biasa. Karena sesama
pelaku sehingga sulit dilacak kebenarannya.
Check and balances
juga tidak jalan. Target utama dalam upaya pemberantasan
korupsi bukan menangkap atau menjebloskan pelaku ke penjara,
tetapi bagaimana berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Dengan sistim pemerintahan seperti ini penderitaan
rakyat semakin bertambah besar.
Salah satu akibat yang sangat serius dari Otonomi Daerah
adalah lahirnya Perda-Perda yang bertentangan dengan peraturan
Pemerintah Pusat yang dibungkus dengan nilai-nilai agamaagama dan kurang menempatkan aspirasi sosial, ekonomi, politik
yang berbasis pada kebangsaan dan nasionalisme. Secara ekstrim
dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah menjadi kuda
tunggangan Perda-Perda yang bernuansa agama. Bil amana
diteruskan dengan tidak bijak bisa mengakibatkan desintegrasi di
mana-mana yang sulit direkonsiliasi. Yang harus diantisipasi dan
yang dicarikan jalan keluarnya adalah kesamaan konsep
Peraturan Daerah dan Peraturan Pusat.
Telah muncul polemik tentang pemberlakuan peraturan
daerah (Perda) syariat Islam di berbagai daerah. Tak kurang dari
56 anggota DPR dari berbagai fraksi yang mengemukakan
ketidaksetujuannya atas pemberlakuan Perda tersebut di
berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi: UUD
1945 dan ideologi negara: Pancasila.
Menyikapi pemberlakuan Perda syariat Islam di berbagai
daerah muncul pendapat yang setuju dan tidak setuju. Kalangan
yang setuju, terutama dari kelompok fundamentalis Islam (elite
politik), menganggap adanya Perda tersebut bisa menjadi media
sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti
115
116
117
118
140
http://www.nu.or.id/
119
120
121
122
123
124
Memang harus diakui, bahwa sebagian di antara orangorang Kristen yang ingin memberikan kontribusinya bagi
pembangunan bangsa dengan terlibat dalam partai Kristen
didorong oleh keinginan luhur untuk menjadi terang atau saksi
Kristus. Keinginan untuk membangun negara yang didominasi
oleh kekristenan tersebut bukan lahir dari dorongan untuk
menjajah agama-agama lain, tetapi semangat untuk
memerdekakan manusia di dalam damai Kristus. Apalagi
kemudian, teokrasi Perjanjian Lama (PL) dipakai sebagai
pembenaran keharusan adanya partai Kristen, meskipun
pengertian tersebut tidak tepat. Dengan dasar itu mereka
berkesimpulan, keselamatan Indonesia berada di tangan partai
Kristen. Artinya semangat untuk memamerkan dominasi suatu
partai Kristen mungkin merupakan semangat yang tulus tanpa
berpikir bahwa semangat itu lahir dari eksklusivisme yang
berlebihan, dan pada pihak lain, tidak mustahil dapat
menimbulkan benturan antar partai-partai yang berbasis agama
1 4 2 Akan tetapi harus
yang lain, yang superior darinya.
diperhatikan juga, dengan prinsip suara terbanyak demokrasi,
yang superior wajar menelan yang lebih inferior. Partai-partai
Kristen jelas salah kaprah dalam hal ini. Karena politik sarat
dengan kekuasaan, maka kekuasaan dari tandingan lain perlu
diperhatikan secara serius pula.
142
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
Pilkada dengan cara ikut memilih dan dipilih, bila ia itu bersedia
dan mau mencalonkan diri.
Ketiga, dengan sistem dan piranti demokrasi yang
disebutkan di atas, untuk memajukan bangsa dan negara
Indonesia, kehadiran partai politik sebagai media aspirasi politik
sangat diperlukan. Sebenarnya sah-sah saja jika protes politik
dimanifestasikan melalui demonstrasi; yang penting dilakukan
dengan tertib dan bermartabat. Namun, alangkah lebih baik jika
setiap warga negara menyampaikan aspirasi politik melalui partai
politik. Adalah anggapan yang salah jika orang Kristen memahami
politik sebagai antitesis dari Injil, dan karenanya memiilih sikap
apolitik . Orang Kristen dalam konteks Indonesia harus
menyampaikan aspirasi politiknya melalui partai politik yang ada,
atau mendirikan partai politik baru untuk ikut berpartisipasi
membangun Indonesia yang lebih baik.
Keempat , dengan mempertimbangkan ketegangan politik yang
terjadi, khususnya menyangkut tentang dasar dan ideologi negara
sebagaimana harapan Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri
setiap warga negara, khususnya orang Kristen, harus tetap
berjuang menjaga dan meningkatkan ketahanan nasional (NKRI)
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sekalipun dalam
perjalanannya Pancasila terbukti sakti, hal itu bukan berarti
bahwa ke depan Pancasila akan tetap diminati oleh seluruh rakyat
Indonesia sebagai dasar dan ideologi negara. Karena itu, orang
Kristen harus secara sadar menyosialisasikan Pancasila dan UUD
1945 sebagai lambang ketahanan nasional, dan menjadi lambang
pergaulan dengan orang lain yang berbeda agama, suku, bahasa,
daerah, budaya, dan lain sebagainya.
D. Refleksi Teologis
136
137
138
139
140