Anda di halaman 1dari 140

ETIKA POLITIK

KRISTEN
Dasar Alkitabiah, Orientasi Ideologis, dan
Implementasinya dalam Konteks Demokrasi
Pancasila Indonesia

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Bab I
Pendahuluan

Reformasi politik Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru


Soeharto tidak boleh dilepaskan dari perjuangan pemuda dan
mahasiswa. Sebelum dan sesudah Indonesia merdeka hingga
masa Reformasi, pemuda dan mahasiswa memberi andil yang
sangat signifikan dalam menajamkan perjuangan bangsa guna
membangun kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang lebih
baik, beradab, dan sejahtera. Sementara pada pihak lain, para
pemimpin Gereja tampak membeo dan diam seribu bahasa.
Mereka malah memilih manut-manut saja terhadap rezim begis
Soeharto. Beberapa tokoh Gereja sibuk memprakarsai doa
nasional guna mendoakan pemerintahan Soeharto supaya bisa
keluar dari krisis yang dialami bangsa Indonesia. Mereka memilih
berdoa dan tampil sebagai nabi dan imam bagi bangsa ini.
Sebelum Soeharto menyatakan diri mundur dari takhta
kepresiden Republik Indonesia, pergerakan mahasiswa dari
berbagai kalangan universitas di seluruh nusantara menyatukan
kekuatan dalam bentuk unjuk rasa (demonstrasi) secara besarbesaran. Puluhan ribu mahasiswa dari berbagai universitas turun
ke jalan-jalan protokol dan gedung MPR Senayan Jakarta. Mereka
menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden RI.
Mei 1997 menjadi tonggak sejarah dan merupakan babak awal
perjuangan demokrasi dan penegakan hak-hak politik di
Indonesia.
Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Sejak Soeharto berkuasa di atas bumi Indonesia (19671998), belum ada lembaga agama atau kekuatan sosial lain yang
mampu mendesak pemerintah guna mengubah tatanan atau
haluan politik Indonesia dari yang istana-sentris dan/atau
cendana-sentris ke rakyat-sentris Semua kebijakan politik
telah diatur oleh mesin politik dan mesin uang Soeharto
Kebegisan dan kekuatan intimidasi pemerintahan Orde
Baru tersebut hingga menimbulkan
phobia-politik(baca:
kemandulan suara kenabian) di kalangan rohaniwan, baik oleh
rohaniwan Islam (sebagai agama mayoritas) maupun Kristen
(Protestan dan Katolik, sebagai agama terbesar kedua penduduk
Indonesia). Memang berbagai kalangan secara pribadi maupun
melalui organisasi politik dan organisasi massa telah banyak
mengajukan protes, namun tampak seperti
lilin kecil yang bersinar
di tengah kegelapan malam rezim Soeharto. Pengaruh mereka
memang tidak boleh dinafikan; mungkin justru protes dalam
bentuk gagasan-gagasan dan aksi-aksi demo merekalah yang
memberi jalan terakumulasinya protes berskala nasional dalam
anarkhisme masa (Kerusuhan Mei 1997) dan demo nasional
mahasiswa untuk menurunkan Soeharto dari takhta
kepresidenan.
Di tengah krisis nilai-nilai luhur bangsa yang tidak
ditunjukkan oleh pemerintah dan karut-marut sosial-politik
Indonesia, justru perjuangan mahasiswalah yang tidak diberi
label-label agama mampu merubah tatanan dan haluan politik
Indonesia. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan, dan telah
tercatat dalam sejarah Indonesia.
Jauh sebelum lengsernya pemerintahan Orde Baru,
berbagai jenis organisasi mahasiswa bermunculan, termasuk
organisasi yang bernuansa agama, dan berusaha mengumpulkan
kekuatan untuk secara serentak berdemo menentang

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

kesewenang-wenangan pemerintah dan menuntut semua


kejahatan pemerintahannya. Situasi politik yang sedang dalam
krisis dan moral para politisi menjadi sorotan dalam pertemuan
organisasi-organisasi (baca: perkumpulan-perkumpulan)
mahasiswa. Seperti misalnya, salah satu di antaranya adalah
perkumpulan mahasiswa Kristen (PMK) UI. Selama krisis politik
pemerintahan Soeharto, mereka tertantang untuk mengkaji
hubungan antara iman dan politik, serta relevansinya dalam
konteks demokrasi Pancasila Indonesia . Topik ini menjadi bahasan
yang sangat mengemuka selama ketegangan politik Indonesia,
hingga pasca lengsernya pemerintahan Soeharto. Sekalipun PMK
Universitas Indonesia ini tidak memiliki AD/ART dalam bidang
politik, akan tetapi sebagai mahasiswa, mereka tertantang untuk
memberi manfaat dari masalah yang sedang dihadapi bangsa ini
waktu itu. Mereka pun sepakat berafiliasi dengan berbagai jenis
organisasi mahasiswa Kristen di seluruh Indonesia atas nama
suara mahasiswa Kristen, serta bekerjasama dengan organisasiorganisasi lain (non-Kristen) tanpa memandang jenis organisasi
mereka untuk menyuarakan protes atas kebrutalan moral politik
Orde Baru.
Beberapa bukti konkret kepedulian mereka terhadap
situasi dan kondisi politik Indonesia sebelum dirancangnya
tanggal demo mahasiswa secara nasional adalah protes terhadap
sikap ketua PGI, Dr. Solarso Sopater. Pada waktu ketua PGI
bersama beberapa konglomerat Kristen menyumbangkan emas
batangan ke istana sebagai tanda kepeduliaan mereka akan krisis
moneter Indonesia, GMKI mengajak semua organisasi dan
perkumpulan Kristen di kampus-kampus untuk mengecamnya,
dan merendahkan perbuatan tersebut. Pada waktu itu, mahasiswa
Kristen justru berharap lembaga oikumenis terbesar tersebut
seharusnya menunjukkan perannya sebagai lembaga agama yang

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

mampu menjadi kekuatan moral dan berani mengkritik


pemerintahan Soeharto atas kecacatan moral politik dan berbagai
tindak kekerasan lainnya yang telah dilakukan rezimnya.
1 Hal
tersebut justru membuat mereka tidak menemukan figur rohani
yang terlibat secara politis dan menjadi kekuatan moral dan
sosial guna melawan rezim Soeharto. Akhirnya, PMK UI menyurati
semua perkumpulan Kristen di kampus-kampus yang ada di
seluruh Indonesia untuk secara bersama-sama mengecam
tindakan ketua PGI (Solarso Sopater) dan dermawan Kristen
tersebut.
Hingga saat ini, tidak berlebihan dan juga tidak berusaha
untuk memojokkan elit gereja jika dikatakan bahwa gereja belum
secara utuh dan maksimal memahami peran dan tanggung
jawabnya, serta memberikan kontribusi yang signifikan untuk
menerjemahkan tugas dan panggilan Kristen dalam bentuk
kekuatan moral yang mampu menstimulir bangkitnya kekuatan
sosial guna menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
1 Pada masa ini ada kesan bahwa po litik semakin meluas maknanya,
dan umat Kristen seolah terbebas dari penyempitan politik ala partai-partai.
Tetapi saat ikhtiar perluasan politik hendak diajukan, justru ruang dan
atmosfir politik yang menyempit. Semua dipaksa berbaris rapi mendukung
otoritarianisme Orde Baru, dan malah tidak ada politik partisipatif saat itu,
yang ada hanya satu politik kekuasaan milik Bapak Pembangunan.
Patut dicatat, waktu itu jalur keterlibatan sosial yang mendukung
proyek pembangunan Orde Baru dapat dikatakan dipelopori oleh umat
Kristen. Munculnya embrio gerakan LSM semisal Dharma Cipta
mengisyaratkan bahwa partisipasi politik bukan lagi sekadar ikut menumpang
di dalam otoritarianisme Orde Baru, tetapi malah ia ikut mendorong program
konkret Orde Baru, yaitu kerja-kerja praktis (yang belakangan memang
dinilai sebagai pembangunanisme). Malah Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI) secara maraton melatih tenaga-tenaga motivator
pembangunan yang setetah dididik di Cikembar (Sukabumi) diterjunkan ke
desa-desa melatih partisipasi warga membangun dirinya sendiri.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

pemerintah. Tindakan gereja untuk mendoakan pemerintah pada


dasarnya adalah baik, karena Alkitab mengajarkan demikian.
Namun, ada yang lebih baik dari hal itu, yakni dengan mencontoh
nabi-nabi Perjanjian Lama (PL) dan Yesus sendiri yang
mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran dan pemerintahan
yang berpihak kepada kaum lemah dan tertindas. Seharusnya,
dalam keadaan seperti disebutkan di ataslah elit-elit agama dan
para politisi lainnya, khususnya dari kalangan Kristen, muncul
untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan (baca: suara
kenabian alanabi-nabi PL) dan memimpin pembebasan atas
umatnya yang berada dalam ketertindasan dan kesewenangwenangan penguasa.
Memang harus diakui bahwa kiprah keterlibatan Kristen
dalam sejarah perkembangan politik bangsa Indonesia
menunjukkan bahwa gereja belum memiliki paradigma yang jelas,
yang secara langsung diterjemahkan dalam sikap atau moral
politik para politisi, akademisi, maupun kalangan awam. Sebagai
bukti, bahwa paradigma tersebut belum diimplementasikan
secara lugas dan konsisten dalam praksis perpolitikan Kristen di
Indonesia hingga kini. Gereja belum memiliki format pendidikan
politik yang utuh secara paradigmatis . Dengan kata lain, moral
politik Kristen di Indonesia belum memiliki landasan teologis
yang kuat dan konsisten, serta dipahami oleh segenap lapisan
umat Kristen di Indonesia.
Barangkali, hal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana Injil
diterjemahkan dalam konteks kolonialisme Belanda Pada masa
kolonialisme Belanda, badan-badan dan tenaga-tenaga Zending
belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangun
landasan moral politik Gereja. 2 Boleh dikatakan, sebagian besar
2

Cukup menarik mencatat bahwa


prototipe politik Kristen dapat
dilacak jauh ke zaman kolonial, dan cukup mengagetkan bahwa ahli sejarah

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

badan-badan dan tenaga-tenaga Zending tersebut mendukung


atau membiarkan penjajahan dengan segala sistem dan akibatnya
berjalan begitu saja, sehingga pada saat yang sama tanggung
jawab teologis yang sangat menentukan kehidupan manusia juga
mereka abaikan.
Akibat ketidaksiapan badan atau tenaga Zending dalam
mendudukkan pemahaman teologis politik gereja waktu itu,
setelah Indonesia merdeka gereja bukan saja gamang terhadap
kenyataan tersebut, namun juga sekaligus tidak memiliki konsep
dan pegangan teologis mengenai politik. Ketika pemerintah
Belanda menerjemahkan sikap (baca pengakuan iman) bahwa
kolonialisasi merupakan berkat Tuhan (bnd.
Gold, Glory, Gospel
),3
gereja semisal Zakaria Ngelow menegaskan bahwa genesis politik Kristen itu
secara simbolik tampak pada diri seorang anggota Volksraad, yaitu T.S.
Gunung Mulia. Dia "berakar dalam lin gku ngan Zending/misi dan sukunya
(Batak), dan konservatif dalam sikap politik terhadap Belanda" (Ngelow,
Kekristenan dan Nasionalisme
, 1996: 277).
Malah Gerry van Klinken memahami Gunung Mulia selaku
kolaborator kolonialisme, dan karena itulah Gunung Mulia melihat bahwa
politik etis yang dijalankan Belanda kala itu adalah pencerminan iman
Kristen (van Klinken,
Minorities, Modernity an d the Emerging Nation
2003:73). Pada gilirannya Gunung Mulia mendukung kolonialisme, dan
merelakan umat Kristen berkibar dalam naungan dan perwalian Badan Misi
Gereja Belanda.
3
Ungkapan dan implementasi
Gold, Glory, Gospel
oleh negaranegara kolonial Eropa telah mengakibatkan cacatnya misi Kristen. Memang,
beb erapa negara penjajah ada yang peduli dengan perkembangan bangsa
yang dijajahnya, misalnya Inggris. Akan tetapi, negara penjajah Portugis dan
Belanda yang selama beberapa abad b ercokol dan menggaruk banyak
keuntungan dari Indonesia telah merusak citra Kristen itu sendiri. Sebagai
akibatnya, setelah penjajah Portugis dan Belanda hengkang dari Indonesia,
Kristen Indonesia dianggap sebagian besar rakyat Indonesia sebagai warisan
Belanda (baca: penjajah), bahkan disebut agama penjajah. Beberapa buku
dari kalan gan Islam memap arkan peran Islam dalam mewujudkan
kemerdekaan bangsa ini, namun dari kalangan Kristen agak sulit untuk
membuktikan perannya yang sangat signifikan dalam mewud ukan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

maka secara teologis telah dinyatakan terjadinya penggabungan


hal-hal ilahi dengan kekuasaan politik. Gereja-gereja yang hidup
dalam persepsi tersebut, sadar atau tidak, telah menempatkan
posisinya bertentangan dengan misi politik Alkitab. Memang di
beberapa daerah di Indonesia, orang Kristen menunjukkan
ketidaksetujuannya terhadap kolonialisme Belanda dalam bentuk
kekerasan (baca: perang), misalnya Pattimura dari Ambon,
Hatopan Kristen Batak
di Tapanuli. Perjuangan mereka
merupakan bentuk gerakan keagamaan yang menentang
absolutisme penguasa. Akan tetapi, kedua gerakan tersebut tidak
memperoleh kemenangan gemilang, sehingga kurang memiliki
implikasi yang strategis yang mampu menerjemahkan sikap moral
dan perjuangan politik Kristen di Indonesia. 4
Menjelang kemerdekaan Indonesia, beberapa politisi
Kristen yang cukup memberi pengaruh dan bahkan sangat
menentukan konstitusi Indonesia (sebagaimana adanya hingga
5 Menurut
kini) adalah J. Latuharrary dan Johannes Leimena.
kemerdekaan, sifatnya sangat kedaerahan. Memang, di beberapa daerah
beb erapa pemimpin Kristen memimpin rakyatnya untuk maju melawan
penjajah Belanda, namun hasilnya tidak begitu menggembirakan, yang
mampu secara signifikan menunjukkan peran dan sikap moral Kristen
Indonesia terhadap penjajah Belanda.
4
Kalau agama Kristen dituduh oleh sebagian masyarakat Indonesia
sebagai agama Londo atau agama penjajah , orang Kristen (khususnya
akademisi dan/atau mahasiswa) belum mampu memberi jawab yang
memadai untuk memisahkan kehadiran Kristen di Indonesia (yang
notabene
adalah warisan badan Zending Belanda) dengan perjuangan politik Kristen
hingga Indonesia merdeka. Beberapa kalangan Islam sangat membanggakan
perannya dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, dan fakta ini tidak bisa
dibantah oleh siapapun. Akan tetapi, menurut penulis, sangat tidak berasalan
apabila p erjuangan Islam untuk mencapai kemerdekaan Indonesia
mengesampingkan perjuangan Kristen.
5
Lih. Jan S. Aritonang, Kiprah Kristen dalam Sejarah Perpolitikan
di Indonesia dalam Marthin L. Sinaga, red.
Jurnal Teologi Proklamasi.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

penulis, wawasan dan sumbangsih mereka menentukan nasib


umat Kristen di Indonesia hingga saat ni. Mereka kerja keras
tanpa mengenal lelah memperjuangkan eksistensi Kristen. Jika
mereka tidak hadir dalam perpolitikan Indonesia, Pancasila dan
UUD 1945 yang non-agamais akan berubah menjadi Pancasila dan
UUD 1945 alaPiagam Jakarta, yang salah satu bunyinya adalah
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya 6 Memang sepintas hal ini bisa dianggap remeh. Bagi
Latuharray, sebagai konstitusi, beberapa kata ini memiliki
implikasi yang sangat luas dan serius, dan jika kata-kata tersebut
tidak dicabut dari UUD 1945, barangkali masa depan politik
Indonesia akan berubah menjadi negara yang berideologi Islam.
7

Edisi No. 4 , September 2003. Tulisan ini secara khusus memb uktikan bahwa
para politisi Kristen menjelang dan hingga kemerdekaan Indonesia telah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kehidupan Kristen dan
kondisi politik Indonesia hingga saat ini.
6 Ibid. , hlm. 25 26).
7
Belakangan ini, suara untuk memperjuangkan syariat Islam
menjadi hukum positif di negara ini diperjuangkan dengan sangat gigih oleh
berepara partai fundamentalis Islam, antara lain: Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Parta Bintang Reformasi (PBR), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok partai fundamentalis Islam ini
menyadari bahwa penegakan Syariat Islam di Indonesia tidak mungkin
dicapai secara revolutif di seluruh Indonesia. Akhirnya, mereka menempuh
cara lain dengan menyicil satu persatu Undang-Undang dan perda-perda
bernuansa syariat Islam. Hingga saat ini ada empat daerah pada tingkat
provinsi dan kabupaten yang menerapkan Syariat Islam, yakni Nangroe Aceh
Darussalam, Serang (Banten), Cianjur (Jawa Barat), d an Makassar (Sulawesi
Selatan). Pada dasarnya, tidak ada p erbedaan signifikan setelah empat daerah
ini menerapkan Syariat Islam; yang berubah adalah nama d an Perda yang
bernuansa agama. Belum terbukti bahwa dagangan politik fundamentalis
ini memberi kontribusi dalam membenahi situasi politik, sosial, dan ekonomi
Indonesia. Justru, partai-partai fundamentalis ini menjadi ancaman bagi
sistem demo krasi politik Indonesia, karena bertujuan untuk menggantikan
Pancasila seb agai asas atau dasar negara RI.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Setelah kemerdekaan Indonesia, beberapa politisi Kristen


baik yang sudah terlibat sebelum kemerdekaan maupun sejak
kemerdekaan Indonesia telah menduduki jabatan politis yang
strategis dalam pemerintahan Indonesia. Sebagai contoh, T.S.
Gunung Mulia adalah menteri pendidikan pertama di Indonesia; J.
Leimena berkali-kali menjabat sebagai menteri, bahkan pernah
menjabat sebagai pejabat perdana menteri dalam berbagai
moment penting; beberapa jenderal beragama Kristen menduduki
jabatan penting dan strategis, bahkan tercatat sebagai pahlawan
Revulosi, misalnya D.I. Panjaitan; pascarevolusi, T.B. Simatupang
pernah menduduki jabatan tertinggi TNI; masih banyak contohcontoh yang belum disebutkan. Hal yang sangat menarik dari
pribadi mereka khususnya tentang perjuangan politik adalah
bahwa mereka menganggap keterlibatan mereka dalam politik
Indonesia sebagai tugas dan panggilan Kristen. Mereka sangat
kritis terhadap sistem dan kinerja pemerintah jika hal itu
merugikan kepentingan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan, khususnya eksistensi umat Kristen. Namun, sangat
disayangkan, perjuangan mereka belum didukung sepenuhnya
oleh gereja, baik melalui program pendidikan moral politik gereja
maupun partisipasi warga gereja lainnya. Atas panggilan jiwa dan
ketulusan hati, mereka mengabdi kepada negara sebagai pejabat
dan politisi dengan menunjukkan perilaku moral politik yang
dapat dipertanggungjawabkan secara Kristen.
Dalam sejarah keterlibatan Kristen dalam pentas
perpolitikan Indonesia muncul berbagai polemik,
8 terutama

8 Berbagai

denominasi Kristen di Indonesia memiliki pemahaman


yang berbeda tentang politik, sehingga tidak memunculkan kajian moral
politik yang diru muskan secara utuh dan segera memiliki tanggapan yang
berbeda tentang aspirasi politik yang disampaikan oleh golongan tertentu.
Sebelum Pemilu 1999, kalangan Injili (termasuk Pentakosta dan Kharismatik)

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

10

tentang bagaimana seharusnya umat Kristen membela haknya


dan menjalankan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai
warga negara yang kedudukannya sama dengan warga negara
lainnya yang beragama lain. Ada yang memilih untuk berdoa saja
sembari memahami politik itu sebagai sesuatu yang kotor dan
tidak pantas untuk digeluti oleh seorang Kristen. Sikap ini disebut
apolitik . Namun, pada pihak lain ada yang menganggap bahwa
kegiatan berpolitik adalah suatu keharusan karena merupakan
bagian dari tugas dan panggilan Kristen untuk menjadi garam dan
terang bagi dunia ini. Ada kelompok Kristen tertentu yang
menganggap, gereja harus secara konkret mendukung atau
membidani partai politik yang berbasis Kristen. Akan tetapi pada
pihak lain, kelompok Kristen lainnya memilih untuk berpolitik
lewat partai politik yang sifatnya nasionalis dan secara frontal
menolak kehadiran partai politik Kristen. 9
tidak begitu men yukai politik. Mereka menempatkan diri sebagai anti-politik.
Mereka memilih berdoa saja untuk kepentingan bangsa dan negara. Akan
tetapi, sejak Pemilu 1999 hingga sekarang justru partai-partai Kristen yang
eksis hingga saat ini datang dari aliran Kristen tersebut. Eksistensi partaipartai tersebut dijustifikasi juga oleh kehadiran beberapa rohaniwan yang
terlibat dalam kep engurusan partai. Kalangan Protestanmainstrea m pun
memiliki pemahaman yang berbeda dalam menanggapi munculnya partaipartai tersebut.
9
Dalam prinsip demo krasi, kehadiran partai berbas is agama
sebenarn ya sah-sah saja, termasuk berb asis Kristen. Akan tetap i, orang
Kristen juga seharusn ya mempertimbangkan konteks politik di mana Gereja
berada. Sejarah membuktikan bahwa Gereja berad a d alam Masa Kegelapan
ketika para rohaniawan terlibat secara langsung dalam politik dunia. Dalam
konteks Indonesia, persoalan yang paling utama dan harus dijawab dengan
segera, pada dasarnya, b ukanlah masalah boleh atau tidak boleh membentuk
partai berbasis Kristen, namun apa implikasi dari pendirian partai berbasis
Kristen tersebut. Yang paling utama diperjuangkan oleh orang Kristen adalah
bagaimana terbukanya jalan bagi perluasan Kerajaan Allah di Ind onesia,
bukan menjadi tandingan secara nyata-nyata bagi partai fu ndamentalis
berbasis agama lain. Tidak berleb ihan jika dikatakan bahwa Partai Damai

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

11

Polemik tersebut di atas diringkaskan dalam beberapa


pertanyaan berikut. Adakah hubungan antara iman dan politik?
Kalau dijawab bahwa hubungan itu ada, pertanyaan lanjutannya
adalah: bagaimana hal itu diungkapkan? Apakah politik
merupakan salah satu bagian dari tugas dan panggilan
kekristenan? Di manakah ayat-ayat Alkitab yang mendukung
partisipasi orang Kristen dalam bidang politik? Bukankah politik
itu kotor? Agaknya pertanyaan ini makin mendesak untuk
dirumuskan dalam sikap atau moral politik Kristen melalui kajian
teologis, khususnya dalam konteks demokrasi Pancasila
Indonesia, setelah sekian banyak partai politik Kristen dibentuk,
di samping sekian banyak orang-orang Kristen yang aktif di dalam
partai-partrai non-Kristen (baca: nasionalis), tentu saja dengan
alasannya masing-masing. 1 0
Sejahtera (PDS partai Kristen yang eksis hingga saat ini) menjadi bahan
bakar melajunya aktivitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Yang paling
menarik dalam tubuh PDS akhir-akhir ini adalah ketegangan antara anggo ta
karena tidak meratanya pembagian jatah atau upah =suara politik mereka
dalam b eberapa Pilkada dan pengesahan RUU. Dengan berani, penulis
menyatakan bahwa PDS telah merusak konstelasi politik Indonesia, d an akan
terus-menerus mendapat reaksi yang berlebihan dari partai fu ndamentalis
berbasis Islam.
10 Fakta di lapangan menunjuk kan, ada empat kategori keterlibatan
orang Kristen dalam pentas politik Indonesia. Empat kategori keterlibatan
orang Kristen dalam pentas politik Indonesia saat ini sangat berhubung an
dengan visi dan misi mereka.
Kategori pertama maju dalam pentas politik
atas keinginan sendiri dan minat pribad i. Mereka menjadi politisi karena
memiliki bakat dan peluang menjadi politisi melalui partai-partai yang
sifatnya nasionalis.
Kategori kedua maju dalam pentas politik atas
pertimban gan untuk memberi sumbangsih yang berarti b agi perkembangan
politik Indonesia dan berkein ginan membela eksistensi gereja dan
menyuarakan aspirasi umat Kristen melalui partai politik yang nasionalis
tanpa membawa embel-embel gereja, termasuk dalam kampanya po litik
untuk mendapatkan suara. Mereka mencari dukungan massa tanpa
melibatkan label-label Kristen.
Kategori ketiga maju dalam pentas politik

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

12

Dengan mempertimbangkan fakta akan sumbangsih


mahasiswa, pemuda, dan politisi Kristen dalam kehidupan politik
Indonesia, 11 sebenarnya tidak masuk akal jika menolak kehadiran
orang Kristen dalam pentas politik. Memang, fakta lain juga
membuktikan bahwa banyak orang Kristen menyalahgunakan
kepercayaan publik akan posisinya dalam lapangan politik. Tidak
mengehrankan jika banyak politisi Kristen terlibat dalam berbagai
kasus KKN. Dengan demikian, pada dasarnya, permasalahannya
yang paling pokok adalah (1) bagaimanakah politik itu dipahami
sesuai dengan moral politik Kristen yang dikaji berdasarkan
pesan-pesan Alkitab; (2) bagaimanakah orang Kristen
berdasarkan moral politik Kristen yang alkitabiah
atas keinginan sendiri atau dimotori oleh lembaga/institusi Kristen tertentu
dengan dalil untuk membela dan menyuarakan aspirasi umat Kristen (baca:
gereja). Mereka membawa label-label Kristen dalam nama dan simbol partai
untuk mendapatkan dukungan massa.
Kategori keempat adalah rohaniwan
yang maju dalam pentas politik maju atas keinginan sendiri dan/atau
dukungan institusi gereja untuk menyuarakan kepentingan Kristen. Mereka
memberi label-lab el Kristen pada nama dan simbol partai untuk mencari
dukungan massa dan menjustufikasi jalur politik mereka. Label-label tersebut
memiliki hubungan yang erat sekali dengan AD/ART partai; bahkan nama
partai identik dengan nilai-nilai Kristen, misalnya Partai Demokrasi Kasih
Bangsa (PDKB) pada Pemilu tahun 1999 dan Partai Damai Sejahtera (PDS)
pad a Pemili tahun 2004. PDS dengan nyata-nyata membawa label-label
Kristen dalam nama ( damai sejahtera ) dan lambang partai (salib dan
burung merpati sebagai lamb ang Roh Kudus). Kategori ketiga dan keempat
menyatakan tidak puas dan tidak percaya kepada politisi nasionalis yang juga
menyuarakan aspirasi Kristen. Mereka pesimis terhadap kinerja politisi
nasionalis, bahkan menjadikan hal tersebut sebagai cara untuk mendapatkan
massa, sehingga umat Kristen mendukung mereka. Sadar atau tidak sadar
mereka merasa seperti Daniel atau Yusuf untuk membawa perubahan
dalam bangsa ini. Mereka berlaku sebagai corong umat Kristen dengan
legitimasi label-label, nilai-nilai, dan dukungan massa Kristen.
11 Misalnya J. Latuharrary , A.A. Maramis, dan J. Leimena terhadap
konstitusi Indonesia, pahlawan nasional yang beragama Kristen, serta para
politisi lainnya telah memanifestasikan citra politik Kristen yang baik.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

13

mengaktualisasikan hak dan kewajibannya sebagai bagian


integral bangsa Indonesia dalam praksis politik. Jika orang Kristen
memungkiri politik dan menganggapnya sebagai sesuatu yang
kotor atau tidak pantas berarti ia juga menolak kehadiran negara,
ideologi negara, dan sistem pemerintahannya. Karena itu, tugas
dan panggilan kekristenan untuk menjadi garam dan terang di
dunia ini seharusnya diungkapkan dalam segala dimensi
hidupnya, termasuk dalam kegiatan berpolitik. 1 2
Beberapa hal yang telah disebutkan di atas menjadi
perhatian khusus dalam pengembangan kurikulum Pendidikan
Agama Kristen (PAK) di Universitas Indonesia. Sejak
dimasukkannya kurikulum etika politik dalam pembelajaran PAK
di UI,1 3 tampak beberapa hal dalam diskusi di kelas yang sangat
menarik bagi penulis. Pertama , terjadi sikap pro dan kontra akan
keterlibatan Kristen dalam politik; beberapa mahasiswa yang
melibatkan diri dalam organisasi sosial atau organisasi pemuda
Kristen yang bernuansa politis cenderung pro terhadap kegiatan
Sangat ironis jika hingga saat ini gereja belum mamp u menjadi
kekuatan moral untuk mewujudkan pemerintahan Allah (teokrasi) di
Indonesia, yang termanifestasi melalui kehid upan umat Kristen. Gereja
belum menunjukkan p eran yang signifikan dalam bidang politik, entah
melalui suara kenabian (baca: corong p olitik gereja) maup un melalui
pendidikan moral politiknya untuk mempersiapkan warganya berkiprah
dalam politik praktis.
13
Sejak tahun 2002, terjadi peubahan mendasar dalam kurikulum
dan metode pembelajaran PAK dan juga matakuliah lainny a yang bernaung
di bawah PDPT UI. Matakuliah PAK berubah nama menjadi
Matakuliah
Pengembangan Kerpibadian (MPK) Agama Kristen
. Pend ekatan ini berusaha
untuk memaksimalkan pengetahuan mahasiswa secara teoretis untuk
mengkaji nilai-nilai moral dan etika yang mahasiswa harus putuskan sendiri
dalam pembelajaran kelo mpok di kelas. Usaha ini dianggap sebagai upaya
untuk menghindarkan indoktrinasi terhadap mahasiswa dari kecdenderungan
pemahaman dosen. Dengan demikian, mahasiswa yang berasal d ari berbagai
deno minasi gereja tidak terjebak dengan pemahaman doktrinal dosen.
12

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

14

politik dan mampu memberi argumen akan pentingnya


keterlibatan Kristen kegiatan politik.
Kedua, sikap pro dan kontra
tersebut didukung oleh pemahaman gereja (baca: pendeta)
mereka yang sifatnya denominasial;
Ketiga , sebagian besar
mahasiswa memahami politik sebagai tugas dan panggilan
Kristen. Keempat, pemahaman bahwa politik merupakan salah
satu aspek dari tugas dan panggilan Kristen dan bukti nyata
sumbangsih tokoh-tokoh Kristen dalam sejarah perpolitikan
Indonesia, dapat memotivasi mahasiswa untuk berkarir dalam
pentas politik Indonesia. Hal lain yang muncul dalam pelaksanaan
pembelajaran PAK seluruh fakultas di UI adalah bahwa fakultas
ilmu-ilmu sosial cenderung memiliki pemahaman yang berbeda
dengan fakultas ilmu-ilmu eksakta tentang politik dan peran
orang Kristen dalam praksis politik Indonesia. Dengan demikian,
sikap dan perlunya peran Kristen terhadap politik berhubungan
dengan persepsi mereka tentang politik.
Kalau politik (dalam hal ini Kristen) dipahami dengan
maknanya yang luas sebagai bagian dari
tugas dan panggilan
Kristen , maka ia adalah horison kehadiran Kristen, di mana peran
dirinya dapat mendorong transformasi seluruh kehidupan. Politik
dalam arti yang luas, tidak hanya sekadar perebutan kekuasaan,
tetapi juga penegasan arah etis kehidupan bersama karena
hadirnya komunitas religius di mana kekuasaan (power) hendak
ditawar dengan kebenaran
(truth) . Permasalahan inilah yang
membuat saya tertarik untuk mengkajinya secara lebih mendalam
dalam penelitian empiris dengan memilih studi eksplanatoris.
Tesis ini diberi judul: ETIKA POLITIK KRISTEN DALAM KONTEKS
DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

15

BAB II
MORAL POLITIK KRISTEN

A. Konsepsi Moral dan EtikaPolitik


Setiap orang selalu mengadakan pertimbanganpertimbangan terhadap tingkah lakunya dan tingkah laku orang
lain. Ada tindakan yang disetujui dan dinamakan benar
(right) dan
baik (good) .1 4 Tindakan-tindakan lain dicela dan dinamakan
salah
Istilah benar
(right) dan baik (good) sering dipakai dalam etika
dan perlu dijelaskan. Kata rig ht berasal dari bahasa Latin rectus, yang berarti
lurus. Dalam pemakaian biasa, kata terseb ut mengandung arti sesuai dengan
suatu ukuran. Isitilah baik
(go od) menunjuk kepada sesuatu yang
mempunyai kualitas yang diinginkan, memuaskan suatu hajat dan bernilai
untuk manusia. Banyak filsuf yang mengatakan bahwa dalam bidang etika,
benar atau salah itu tidak dapat diperas menjadi sesuatu yang lain dan hal
tersebut dapat dimen gerti secara langsung. Teori tersebut di atas bertentangan
dengan etika yang didasarkan atas nilai dan yang menjadikan kebaikan
(goodness) sebagai basis konsep etika. Teori-teori teleologi menopang
pandangan bahwa tindakan yang benar harus memberi sumban gan kepad a
kebaikan manusia dan dunia.
Menurut Harol H. Titus, dalam bukunya
Persoalan-persolaan
Filsa fat , dalam moralitas dan etika terdapat beberapa permasalahan. Pertama,
terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif
(descriptive ethics) .
Etika jenis ini mempelajari tingkah laku pribadi-pribadi atau personal
morality; tingkah laku kelompok
(socia l morality) . Etika deskriptif
menganalisis bermacam-macam aspek dari tingkah laku manusia seperti
motif, niat, dan tindakan -tindakan terbuka. Pemeriksaan di sini hanya bersifat
deskriptif tentang apa yang terjadi; ini harus dibedakan dari etika normatif
(normative ethics) yang mendasarkan penyelidikannya atas prinsip-prinsip
yang harus dipakai dalam kehidupan manusia. Terdapat juga bidang
etika
kritik atau metaetika
(metaethics) . Metaetika memusatkan perhatian pada
14

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

16

dan jahat . Pertimbangan moral selalu berhadapan dengan


tindakan manusia, khususnya tindakan-tindakan mereka yang
bebas dari segi benar atau salah. Tindakan-tindakan yang tidak
bebas, yang pelakunya tidak dapat mengontrol, jarang
dihubungkan dengan pertimbangan moral, karena seseorang
tidak dapat dianggap bertanggung jawab tentang tindakan yang
tidak dikehendaki. 1 5
1. Istilah moral
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan istilah
moral sebagai (1) ajaran tentang baik-buruk yang diterima
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, (2) akhlak, budi pekerti,
susila; bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik-buruk,
atau memiliki akhlak yang baik. 16 Menurut Harold H. Titus,
persoalan moralitas berarti persoalan apa yang benar dan apa
yang salah. 1 7
Menurut Franz Magnis-Suseno kata moral selalu
menunjuk pada manusia sebagai manusia. 1 8 Apabila kata sifat
moral ditambahkan kepada kata benda kewajiban norma
pertimbangan dan lain sebagainya maka akan jelas pengertian
kata moral tersebut Sebagai contoh kewajiban dan norma
moral berbeda dengan kewajiban dan norma yang bukan moral.

analisis dan arti dari istilah dan bahasa yang dipakai dalam diskusi, serta
corak pikiran yang dipakai untuk membenarkan suatu pernyataan etika.
15
Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan.
Persoalan-persoalan Filsafat
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 140 -141.
16
Hasan Alwi, red.,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 754755.
17
Haro ld H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Ricahrd T. Nolan,
op cit. ,
hlm. 140.
18
Frans Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Dasar
Kenegaraa n Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 1314.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

17

Maka, kewajiban moral dibedakan kewajiban-kewajiban lain,


karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai
manusia, dan norma moral adalah norma untuk mengukur betul1 9 Dari definisi di
salahnya tindakan manusia sebagai manusia.
atas, dapat dikatakan bahwa
manusia yang bermoral adalah
manusia yang mempertimbangkan benar-salah dan baikburuknya tindakan yang ia lakukan.
2. Moral dan etika
Istilah moral dan etika mempunyai hubungan yang
erat dengan arti asalnya Istilah moral berasal dari kata Latin
mos, mores, moralis dan istilah etika (ethics) berasal dari bahasa
Yunani ethos Keduanya berarti kebiasaan atau cara hidup
Isitilah-istilah tersebut kadang-kadang dipakai sebagai sinonim.
Akan tetapi dalam perkembangannya, biasanya orang condong
untuk memakai moralitas (morality) untuk menunjukkan tingkah
laku itu sendiri, sedangkan etika
(ethics) menunjuk kepada
penyelidikan tentang tingkah laku yakni tindakan moral
(moral
act) dan kode etik (ethical code) . Dari definisi ini, sangat jelas
bahwa moraldibedakan dengan etika .
Secara sederhana, etika
(ethics) didefinisikan sebagai
refleksi kritis terhadap norma-norma moral, atau dengan kata lain
menurut Franz Magnis-Suseno sebagai pemikiran sistematis
tentang moralitas . Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran
moral, melainkan merupakan falsafah atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran atau pandangan-pandangan
moral. Karena etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran,
maka etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang

19

Ibid. , hlm. 14.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

18

sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup bukanlah


etika, melainkan ajaran moral. 2 0
Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung
jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan
hanya sebagai warga negara terhadap negara, hukum yang
berlaku, dan lain sebagainya. Dua-duanya, kebaikan manusia
sebagai manusia dan kebaikannya sebagai warga negara memang
tidak identik. Menurut Aristoteles, identitas antara manusia yang
baik dan warga negara yang baik terdapat apabila negara baik.
Apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai warga
negara yang dalam segala-galanya hidup sesuai dengan aturan
negara yang buruk itu adalah buruk, barangkali jahat sebagai
manusia. Sebaliknya, dalam negara buruk, manusia yang baik
sebagai manusia yang betul-betul bertanggung jawab akan
buruk sebagai warga negara, karena tidak hidup sesuai dengan
aturan buruk negara. 2 1
Akan tetapi, tidak demikian dengan moral, khususnya
tentang moral Kristen. Sikap moral atau moralitas Kristen bukan
sesuatu yang dikondisikan oleh waktu dan situasi. Acuan moral
Kristen bukanlah kondisi atau sistuasi tertentu dalam sebuah
negara, melainkan Alkitab sebagai satu-satunya sumber mutlak
ajaran moral yang sifatnya wahyu yang transenden dari Allah.

22

20

Frans Magnis-Suseno.
Etika Dasar: Masalah-ma salah Pokok
Filsa fat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hlm. 15. Etika mau
mengerti mengapa seseo rang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau
bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang beratanggun g jawab
berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Jadi, etika berperan sebagai wasit
dari pelbagai ajaran moral, termasuk ajaran moral agama.
21
Ibid. , hlm. 15.
22 Bernat Jody A. Siregar,
et al ., Beriman dan Berilmu: Pendidikan
Agama Kristen (PAK) untuk Perguruan Tinggi Umum
(Depok : PND
Publishers, 2008), hlm. 14.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

19

Moral Kristen juga tidak lahir dari pertimbangan konspirasif,


sekalipun ia berkembang dalam budaya secara kontekstual.
Ajaran moral dapat diibaratkan sebagai buku petunjuk bagaimana
manusia harus memperlakukan orang lain dan lingkungannya
sebagai bagian dari hidupnya. 2 3
3. Tahapan-tahana Kesadaran Moral
Lawrence Kohlberg, dalam bukunya
Moral Stages : A
Current Formulation and a Response to Critics , mengungkapkan
tahapan perkembangan moral sebagai ukuran dari tinggi
rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan
penalaran moralnya. 2 4 Teori ini berpandangan bahwa penalaran
moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam
tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti
Frans Magnis-Suseno,
op cit. , hlm. 14.
Lawrence Kohlberg; Charles Levine, Alexandra Hewer
Moral
stages : A Current Formulation and a Response to Critics
. Basel, NY:
Karger, 1983), hlm. 56. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di
University of Chicago
b erdasarkan teo ri yang ia buat setelah terinspirasi hasil
kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema
moral. Ia menulis disertasi doktoralnya pada tahun 1958 yang menjadi awal
dari apa yang sekarang disebut
tahapan -tahapan perkembangan moral
dari
Kohlberg.
Lawrence Kohlberg menyusun
Wawancara Keputusan Moral
dalam
disertasi aslinya pada tahun 1958. Selama kurang lebih 45 menit dalam
wawancara semi-terstruktur yang direkam, pewawancara menggunakan
dilema-dilema moral u ntuk menentukan penalaran moral: tahapan mana yang
digunakan partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang
menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan
moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang
sistematis, seperti ap a yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya
dilakukan, juga justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar
atau salah. Pemberian skor
(schoring) dilakukan terhadap bentuk dan struktur
dari jawaban-jawaban tersebu t dan bukan pada isinya; melalui serangkaian
dilema moral diperoleh skor secara keseluruhan.
23
24

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

20

perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia


yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan
moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.
25
Kohlberg memperluas pandangan dasar ini dengan menentukan
bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya
berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut
selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan
implikasi filosofis dari penelitiannya. 2 6
Kohlberg menggunakan keritera-keritera tentang dilema
moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orangorang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila berada
dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian
mengategorisasi dan menglasifikasi respon yang dimunculkan ke
dalam enam tahap yang berbeda. Teorinya didasarkan pada
tahapan perkembangan konstruktif di mana setiap tahapan dan
tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap
dilema-dilema moral dibanding tahap atau tingkatan
sebelumnya. 2 7
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kohlberg, yang
dijelaskan dalam bukunya
Moral Development and Behavior:
Theory, Research and Social Issues , dikelompokkan ke dalam tiga
tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. 2 8 Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget
Jean Piaget,
The Moral Judgment of the Child
(London: Kegan
Paul, Trench, Trubner and Co., 1932), hlm. 10 2.
26 Lawrence Kohlberg,
Essays on Moral Development, Vol. I: The
Philosophy o f Moral Development
. Harper & Row, 1981), hlm. 212.
27 Ibid.
28
Lawrence Ko hlberg, "Moral Stages and Moralization: The
Cognitive-Develo pmental Approach", dalam T. Lickona, ed.
Moral
Development and Behavior: Theory, Research and Social Issu es
(Basel:
Rinehart and Winston, 1976), hlm. 202. Teori
Moral Reason ing Lawrence
25

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

21

untuk suatu teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang


terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun
demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan
tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk
melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang
baru, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi
dibanding tahap sebelumnya. Keenam tahapan tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Pra-konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya
ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat
menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada
dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu
tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat prakonvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan
moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan
diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang
dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin
Kohlberg ini diadopsi oleh James W. Fawler dalam menjelaskan 6 tingkatan
perkembangan religiositas manusia, yang akrab disebut
Stages of Faith.
Moral Reasoning Ko hlberg, Fawler juga beranggapan
Berdasarkan teori
bah wa tingkah laku ro hani (baca: pertimbangan moral orang percaya) juga
berkembang sesuai dengan perkembangan nalarnya. Fawler dengan tegas
mengatakan bahwa isi iman bisa berbed a, tetapi setiap orang menunjukkan
perilaku rohani sesuai dengan tingkat kognisi dan kematangan mentalnya.
Pandangan ini, jika dibandingkan dengan Alkitab tentu bisa berseberangan,
sekalipun tidak berarti untuk menolak teori Fawler ini seutuhnya. Lih. James
W. Fawler, Stages of Faith: The Psychology of Human Development and the
Quest for Meaning (San Fransisco: Harper & Row Publoishers, 1981), hlm.
117214.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

22

keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.


Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain
berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat
sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap kedua menempati posisi apa untungnya buat
saya Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling
diminatinya. Penalaran tahap kedua kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri,
seperti kamu garuk punggungku dan akan kugaruk juga
punggungmu Dalam tahap kedua ini perhatian kepada orang lain
tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik.
Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat prakonvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab
semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri
saja. Bagi mereka dari tahap kedua ini, perspektif dunia dilihat
sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2) Konvensional
Tingkat konvensional umumnya berlaku pada seorang
remaja atau orang dewasa. Seseorang pada tahapan ini menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri
dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap ketiga, seseorang memasuki masyarakat dan
memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap ketiga ini

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

23

menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi


konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal-hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih,
dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas
dilakukan hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih
signifikan dalam penalaran pada tahap ini; 'mereka bermaksud
baik . . . .'
Tahap keempat, adalah penting untuk mematuhi hukum,
keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam
memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
keempat ini lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus
fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin
orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas
untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar
hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi
faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.
3) Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas
yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas.
Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat Akibat hakikat diri mendahului orang lain ini
membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan
perilaku pra-konvensional.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

24

Dalam tahap kelima, individu-individu dipandang sebagai


memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan
adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif
seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau
dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolut memang Anda siapa membuat keputusan kalau yang
lain tidak? Sejalan dengan itu hukum dilihat sebagai kontrak
sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya
orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas dan
kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap kelima ini. Para negarawan
berada pada tahap moral kelima ini.
Dalam tahap keenam, penalaran moral berdasar pada
penalaran abstrak dengan menggunakan prinsip etika universal.
Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen
terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak
mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak
sosial dan tidak penting untuk tindakan moral
deontis . Keputusan
dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan
bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif
kategoris dari Immanuel Kant dalam bukunya
Groundwork of the
Metaphysic of Morals ). Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama. 2 9 Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus.
Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tetapi selalu
29

John Rawls, A Theory of Justice


Harvard University Press, 1971).

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

. Cambrid ge, MA: Belkap Press of

25

menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan


bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau
sudah disetujui sebelumnya. 3 0
4. Konsepsi Politik
polis
Istilah politik berhubungan dengan dua kata Yunani
dan politeia Polis berarti benteng, kota , dan kota sendiri
selanjutnya diartikan menjadi negara. Menurut Plato, polis
adalah komunitas manusia yang telah menetap yang fungsi
ekonomisnya dibeda-bedakan dan dikhususkan agar kebutuhan
3 1 Akhirnya,
para anggota masyarakat tersebut dapat dipenuhi.
polisdiartikan sebagai
suatu bentuk Negar a tertentu. 32 Kata
politeiamemiliki bermacam-macam arti, yakni
penduduk atau
warga Negara, hak warga Negara, kewarganegaraan , namun bisa
juga diartikan sebagai tatanegara dan bentuk pemerintahan suatu
Negara.3 3 Oleh Plato, kata ini dicap sebagai istilah khusus
(terminus technicus) dalam bukunya
Politeia. Ia menguraikan
tentang prinsip-prinsip atau dasar-dasar negara, bentuk negara,
tindakan-tindakan kenegaraan, dan lain sebagainya. Dalam
perkembangan selanjutnya, arti kata
politeia inilah yang dimaksud
dengan politik.

Ibid. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa


kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara
konsisten. Tampaknya sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam
dari model Kohlberg ini.
31 David Meling,
Jejak Langkah Pemikiran Plato
(Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2002), hlm. 136.
32 V. Verkuyl.,
Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja, dan Negara
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 71.
33 Ibid.
30

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

26

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan politik


sebagai (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau
kenegaraan, dan (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat,
dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.
Secara sederhana, menurut Eddy Paimoen, politik diartikan
sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam
masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Menurut Beliau, pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang
berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu
politik. 3 6
Dalam perkembangan selanjutnya, politik juga bisa
dipahamai sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara
konstitusional maupun non-konstitusional.
3 7 Menurut Miriam

34

35

Menurut Eddy Paimoen dalam


http://www.gky.or.id/buletin1 4/paimoen.htm), istilah politik dalam
kenyataannya selalu direlasikan dengan minat pribadi, konteks dan situasi
serta kondisi kontemporer; dapat diartikan sebagai interaksi dari masyarakat
yang hid up di kota (polis), atau golongan intelektual, untuk mengatur
kehidupan bersama, demi kebaikan semua golongan yang ada dalam
masyarakat.
35
Hasan Alwi, red.
op cit. , hlm. 886.
36 Lih.: http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.
37
Memang untuk mendefinsikan politik, seseorang dapat
mengartikannya dengan atau ditilik dari sud ut pandang yang b erbeda.
Misalnya, an tara lain: (1) Politik adalah usaha yan g ditempuh warga negara
untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles); (2) Politik
adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
(Plato); (3) Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan
dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat (Cicero); (4) Politik adalah
segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelak sanaan kebijakan publik.
Dengan demikian, dalam konteks memahami politik p erlu dip ahami beberapa
kunci, antara lain:
kekuasaan politik, leg itimasi, sistem politik, perilaku
politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya
untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
34

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

27

Budiarjo, pada umumnya, politik sering dikaitkan dengan


kekuasaan (power) , namun sebenarnya politik memiliki berbagai
variasi, yang meliputi kekuasaan (power) , pengambilan keputusan
(decision making) , kebijakan (policy) , pembagian (distribution) ,
alokasi (allocation) , dan negara (state) .38 Dengan demikian, politik
secara bebas diartikan sebagai bermacam-macam kegiatan dalam
suatu Negara menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan sistem
itu dan melaksanakan tujuan itu. 3 9 Pengambilan keputusan ini
menyangkut seleksi atas berbagai alternatif dan penyusunan skala
prioritas, dan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan kebijakan umum
(public policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)
sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijakankebijakan itu diperlukan kekuasaan
(power) , kewenangan
(authority) yang dipakai dalam membina kerjasama atau pun
konflik; cara-cara yang dipakai dapat bersifat paksaan
(coercion)
atau meyakinkan (persuation) .4 0
Gerakan politik akan mendorong warga masyarakat untuk
berperan serta dalam menciptakan masyarakat yang cerdas demi
membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks
dunia modern, istilah 'politik' sering dipergunakan sebagai alat
perjuangan untuk mendapat kedudukan dan kekuasaan, dengan
tujuan membangun masyarakat sehingga anggotanya dapat
menikmati keadilan dan kemakmuran.
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep
penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut
serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam teori politik antara
38

Miriam Budiarjo,
Dasar-dasar Ilmu Politik
Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 9.
39
Dhurorudin Mashad, 2002, hlm. 84.
40 Mirian Budiarjo,
op cit. , hlm. 14.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

(Jakarta: Penerbit PT

28

lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara,


masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara,
perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dan
lain sebagainya. 4 1
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
istilah politik sangat sulit untuk didefinisikan secara tepat dan
akurat, yang dapat digunakan secara mandiri dan bersifat umum.
Para pakar politik telah berusaha membuat definisi tentang istilah
politik, namun setiap pakar selalu mempunyai penekanan yang
berbeda, karena dalam realitanya selalu dihubungkan dengan
minat pribadi, konteks, dan situasi serta kondisi yang sedang
berlaku pada waktu itu (kontemporer).
4 2 Meskipun demikian,
berdasarkan sejarah politik yang memang sangat rumit dan
kompleks, politik diartikan sebagai interaksi dari masyarakat
yang hidup di suatu negara, atau interaksi dari golongan
masyarakat intelektual, dengan maksud mengatur kehidupan
bersama, demi kebaikan dan kesejahteraan semua golongan yang
terdapat dalam masyarakat.
Dilihat dari sejarahnya, kegiatan politik tidak mengenal
golongan, karena perjuangan politik adalah demi kepentingan
semua golongan. Gerakan politik akan memberi inspirasi dan
dorongan kepada warga masyarakat agar turut berperan serta
secara aktif untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, demi
pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Politik
mempunyai posisi yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, karena keputusan dan gerak dari politik akan
memberi arah perjuangan yang jelas. Dari perjuangan politik akan
diperoleh pemerataan pendapatan, hak untuk memiliki sesuatu,
mempunyai kebebasan untuk berbicara, bersuara, berkumpul,
41
42

lih.: http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
Eddy Paimoen, http://www.gky.or.id/buletin14/paimoen.htm

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

29

beribadah, menulis, memilih, bekerja, dan mendapatkan


perlindungan bagi setiap warga negara. 4 3 Hal-hal ini sudah diatur
oleh undang-undang.
John Bennett menyatakan bahwa negara adalah sebuah
lembaga politik sebagai tempat (wadah) otoritas dan kekuasaan
dengan tugas mengatur dan memelihara ketertiban agar anggota
masyarakat dapat hidup tertib dan damai-sejahtera, berdasarkan
hukum yang dijalankan dengan adil. Di sini yang memegang
peranan adalah hukum-keadilan dan keadilan-hukum.
Tugas utama bagi abdi Negara adalah menjadikan hukum
sebagai raja atau panglima. Setiap warga negara, siapa pun dan
kapan pun, harus tunduk dan patuh kepada hukum. Apabila
hukum masih berjalan sesuai dengan eksistensi dan fungsinya,
maka gerakan politik bukan hanya perjuangan untuk berebut
kekuasaan, tetapi perjuangan untuk keadilan-sosial berdasarkan
hukum Dalam konteks ini politik mempunyai makna dan arti
yang sangat positif. Namun sangat disayangkan, karena istilah
politik seringkali telah disalahgunakan oleh golongan atau pribadi
tertentu, yaitu dijadikan sebagai alat untuk menakut-nakuti
sebagian dari warga masyarakat, sehingga mereka kehilangan hati
nurani yang jernih, dan sebagai akibat yang sangat menyedihkan
bahwa orang yang bersangkutan tidak lagi dapat mengambil
keputusan sendiri untuk pilihannya yang terbaik, karena adanya
tekanan dan ketakutan. Dengan janji atau ancaman tertentu
mereka dipaksa oleh oknum atau kelompok tertentu untuk
melakukan suatu tindakan memilih hal yang bertentangan dengan
hati nurani mereka. Dalam hal ini, politik hanya akan dinikmati
oleh para penguasa dan yang dekat dengan kekuasaan

43

Lih. Amandemen UUD 194 5 Pasal 28.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

30

Istilah negara mengandung arti masyarakat yang tertib


dan teratur karena keadilan; sedangkan pemerintah adalah
sebuah lembaga politik yang memiliki kekuasaan terbatas untuk
membuat dan memelihara perundang-undangan, hukum,
peraturan dan tata tertib untuk hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Negara mencakup pengertian para penguasa dan
yang dikuasai lebih bersifat abstrak sedangkan pemerintah
hanya berkaitan dengan kekuasaan, para penguasa, orang yang
menjalankan kekuasaan dan yang dikuasai. Interaksi dalam
pemerintahan kelihatan lebih kompleks. Dalam teorinya,
pemerintah dalam menjalankan tugasnya, harus berperan
menjadi abdi rakyat, menjadi pelayan masyarakat dan
penyambung lidah rakyat, karena telah memperoleh kepercayaan
dan kekuasan dari rakyat. Dalam hal ini, falsafah hidup Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan UUD 45 dan
Pancasila dianggap sudah final dan telah menjadi kesepakatan
bersama, untuk dijunjung bersama guna kesejahteraan bersama
rakyat Indonesia.
5. Moral Politik dalam Studi Etika Kristen
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa istilah
moral
berbeda dengan etika . Etikabukan sumber tambahan bagi ajaran
moral, melainkan merupakan falsafah atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran atau pandangan-pandangan
moral. Karena etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran,
maka etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang
sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup bukanlah
etika, melainkan ajaran moral.
Etika juga dapat disebut sebagai pemikiran kritis terhadap
suatu sistem dari nilai-nilai moral dan tanggung jawab manusia

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

31

sebagai manusia. 4 4 Hal ini berhubungan dengan karakter,


tindakan, dan tujuan hidup manusia tersebut. Bagi orang Kristen,
ukuran bagi ketiga hal di atas adalah Alkitab. Karena itu, dalam
studi Etika Kristen, semua pertimbangan moral tidak dapat
dipisahkan dari Alkitab. Secara operasional, Etika Kristen dapat
didefisikan sebagai Etika yang didasarkan pada Alkitab
(biblical
ethics) .4 5
Kompleksnya permasalahan hidup membutuhkan
pertimbangan etis-teologis yang alkitabiah. Mengapa demikian?
Karena pertimbangan moral Kristen (apa yang baik?) adalah
apa
yang dikehendaki Allah (will of God)sebagaimana tertulis dalam
firman-Nya. 4 6 Inilah yang dimaksud dengan Etika Kristen.
Mengenai apa yang baik, demikian dituliskan dengan tepat oleh
Bonhoefer, adalah masalah mengenai Yesus Kristus .4 7 Alkitab
harus menjadi yang utama dan pertama sebagai satu-satunya
48
sumber mutlak untuk pertimbangan moral seorang Kristen.
44

Bnd. Trutz Rendtroff,


Ethics (Philadelphia: Fortress Press, 1986),
hlm. 3. Rendtroff mengatakan bahwa etika ad alah teori tentang sikap moral
manusia (ethics is the theory of the conduct of huma n life)
.
45 Robertson McQu ilkin,
An Introduction to Boblical Ethics
(Wheaton, Illionis: Tyndale House Publisher, 1989), hlm. 9.
46 (Lih. J. Vekuyl,
Etika Kristen: Bagian Umum
(Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997), hlm. 9. Tentang hal ini, J. Verkuyl, seorang etikus Kristen
tersohor, mengatakan: Seperti halnya dengan Do gmatika, maka sumber yang
mutlak dari pengetahuan tentang Etika-Teologis hanyalah satu, yakni
Alkitab . Di samping Alkitab, perlu juga merpertimbangkan tradisi atau
kebiasaan p ara bapa Gereja yang baik, seperti Agustinus, John Calvin,
Marthin Luther, dll. Di sepanjang abad sejarah Gereja, jemaat Tuhan telah
bergumul dengan soal: Bagaimanakah kehendak Allah? Hasil pergumulan itu
dijumpai dalam berbagai tulisan dan ucapan yang dikeluarkan oleh gerejagereja dan tokoh-tokoh penting sejak abad pertama sampai sekarang ini.
47 Ibid.
48
Pentingnya Alkitab dipandang sebagai standar utama perilaku moral,
di samping tradisi Bapa-bapa dan tokoh-tokoh Gereja, adalah karena kita juga

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

32

Sebagai suatu ilmu, Etika Kristen memiliki dasar atau


pijakan berpikir. Karena Allah adalah pusat dan sumber dari
semua yang baik, seklaligus sebagai Hakim untuk memutuskan
apa yang baik dan apa yang benar, maka semua patokan moral
Kristen harus tunduk pada ketentuan Allah. Dengan demikian,
Etika Kristen, dalam hal ini, adalah suatu tanggapan terhadap
kasih karunia Allah sebaghai suatu cara untuk memberi syukur
dan memuliakan Allah.
Calukupan Etika Kristen sangatlah luas. Ia menelaah
peristiwa dan perbuatan manusia baik secara lahiriah (secara
langsung terlihat) maupun bersifat batiniah/rohaniah (yang
terdapat dalam motivasi terdalam manusia). Ada ungkapan: Tiada
yang lolos dalam pengamatan Etika. 4 9 Pembahasan Etika Kristen
tidak terbatas pada hal-hal personal dan yang ada di sekitar
Alkitab. Ia juga menyangkut masalah budaya, ekonomi, politik,
dan lain sebagainya. Mengapa? Karena tanggung jawab Kristen
tidak terbatas pada kehidupan personal atau sekelompok orangorang percaya saja.
Lalu, bagaimana politik dihubungkan dengan moral dan
Etika Kristen. Telah dijelaskan di atas bahwa politik adalah suatu
ilmu dan juga sebagai falsafah. Etika Kristen bermaksud
menyelidiki prinsip moral Kristen dari sudut pandang penyataan

menghadapi apa yang baik (etis) menurut agama-agama lain, menurut adatistiadat, dan juga menurut etika filosofis. Di tengah masyarakat Indonesia, di
mana gereja Kristen hidup d an melayani, adanya pengaruh moral dari agamaagama yang ada tidak dapat disangkal lagi. Misalnya, walaupun di Indonesia
tidak banyak penganut agama Hindu dan Budha, n amun masih ada
48 . Ini diakibatkan oleh karena
pengaruhnya dalam sikap dan pandangan hidup
dulunya ajaran moral Hindu-Bud ha sudah mengakar di tanah air kita.
49 Poltak Y.P Sibarani,
Bolehkah Gereja Berpolitik: Mencari Pola
Hubugan Gereja dan Negara yang relevan di Indonesia
(Jakarta; Ramos
Gospel Publisher, 2006), hlm. 62.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

33

kehendak Tuhan (Gods Will) seperti yang diberitahukan dalam


firman-Nya. 5 0
Gereja Kristen zaman dahulu telah memasuki dunia ini
Iesous Kurios (Yesus adalah Tuhan).
dengan pengakuan
Pengakuan itu adalah pengakuan politis. Pengakuan itu
mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, Dialah Raja
segala raja di bumi; kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di
bumi dan di sorga (Mat. 28). 5 1 J. Verkuyl menjelaskannya sebagai
berikut.
Etika Politika bermaksud menyelidiki apa arti pengakuan
itu untuk lapangan kenegaraan. Banyak orang yang tidak
mau tahu adanya hubungan antara politik dan etika.
Mereka berpendapat bahwa etika dan politik tidak ada
hubungannya sama sekali. Mereka mau memisahkan
politeia dari ethos Tetapi menurut sabda Tuhan Yesus
tidaklah mungkin orang mengabdi kepada dua tuan (Mat
6 24) Barangsiapa mengatakan bahwa politik tidak ada
sangkut pautnya dengan etika maka ia pun menyangkal
kekuasaan Yesus Kristus atas segenap kehidupan 5 2
Dengan demikian, sikap membenci politik adalah sikap
memungkiri eksistensi manusia. Etika Politik Kristen berusaha
membedah bagaimana politik itu sesuai dengan moral Kristen.
Jadi, moral politik Kristen adalah ajaran yang benar dan baik
tentang sikap orang Kristen dalam (memahami) kegiatan
berpolitik.
50

Bnd. J. Verkuyl,

Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja dan Negara

hlm. 71.
51
52

Ibid. , hlm. 71.


Ibid. , hlm. 71 72.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

34

Dalam tesis ini, segaja tidak dipakai istilah etika politik


Kristen karena penulis tidak hendak mengkritisasi atau
melakukan relfeksi kritis terhadap
hukum dan kekuasaan Negara
dalam suatu sistem ideologi dan ketatanegaraan sebagaimana
layaknya dalam studi etika politik namun menggunakan istilah
moral politik Kristen untuk
memaparkan bagaimana ajaran
Kristen tentang politik dan bagaimana sikap moral Kristen dalam
berpolitik. Kalau penulis memakai istilah etika politik berarti
bahasan ini berisi pilihan-pilihan moral atau analisis kritis tentang
moral politik. Dengan demikian, judul tesis ini:
Moral Politik
Kristen dalam Pendidikan Agama Kristen: Studi Eksplanatori
tentang Moral Politik Kristen yang relevan dalam Konteks
Demokrasi Pancasila Indonesia dalam Pendidikan Agama Kristen
(PAK) pada Mahasiswa Kristen Program Dasar Pendidikan Tinggi
(PDPT) Universitas Indonesia dapat dipahami sebagai ajaran atau
prinsip moral Kristen dalam memahami politik dan sikap moral
Kristen tentang kegiatan berpolitik dalam konteks demokrasi
Pancasila Indonesia yang diajarkan dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Kristen (PAK) PDPT Universitas Indonesia.
B. Moral Politik dalam Perjanjian Lama
Pendekatan teologis terhadap politik perlu dilakukan,
sehingga istilah politik tidak memiliki makna yang kurang baik
dalam perspektif sebagian orang Kristen, bahwa politik itu kotor.
Dan yang paling pokok adalah bahwa pendekatan ini menjadi
acuan untuk memahami moral politik Kristen yang alkitabiah.
Memang, istilah politik tidak pernah ditemukan dalam Alkitab,
baik dalam Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB).
1. Tradisi-tradisi politik dalam dunia PL

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

35

Suatu penelitian yang dengan tegas menyimpulkan adanya


korelasi yang utuh antara agama dengan politik dalam agamaagama kuno di sekitar Israel, termasuk bidang sosial dan ekonomi
diungkapkan oleh Arend Th. van Leeuwen. Konsepsi budaya dan
politik yang ada pada kota-kota tua, ternyata tidak terlepas dari
tradisi keagamaan, bahkan bangunan-bangunan fisik pada pusatpusat budaya dan politik merupakan pencerminan dari konsepsi
terhadap Tuhan. Penelitiannya terhadap Babilonia, misalnya,
memberi keyakinan untuk menyimpulkan korelasi yang sangat
erat antara tradisi keagamaan dengan konsepsi budaya dan
politik Keistimemewaan-keistimewaan budaya dan politik yang
membanggakan Babel sebagai pusat dunia, berakar dalam
konsepsi agama sebagai pusat bumi dan gunung kosmis sebagai
titik tumpu alam semesta 5 3
Melalui penelitiannya yang luas pada sejarah, budaya dan
konsepsi-konsepsi tua agama, Leeuwen dengan yakin menegaskan
status agama Israel yang memiliki kedaulatan tinggi di dalam
politik. Hal itu tidak terlepas dari totalitas kosmis yang sangat
keras di dalam konsepsi-konsepsi keagamaan kuno. Konsepsi
totalitas kosmis inilah yang perlu dilihat secara kritis pada bidang
politik. Ketika agama memberikan legitimasi politis kepada
kedaulatan yang diwakili negara, maka kekuasaan yang mencakup
makna segala kehidupan menjadi realitas politik itu sendiri.
Makna agama sebagai sesuatu yang memberi pengaruh di
dalam kehidupan manusia merupakan kenyataan yang tidak
terabaikan. Sejarawan dunia, Arnold Tonybee dengan tegas

53 Arend

Th. Van Leeuwen,


Agama Kristen dalam Sejarah Dunia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 13. Leeuwen memb ahas secara
lengka: budaya, politik, agama, dan akar-akar sejarah Eropa dan Asia, yang
kemudian disebut Erasia. Ia menegaskan perjalanan sejarah yang linear dan
progres.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

36

mengatakan bahwa semua peradaban yang masih berlaku, secara


mendasar berorientasi keagamaan dan karena itu berangsurangsur, tetapi sangat nyata, menyajikan pemecahan-pemecahan
keagamaan juga terhadap sejumlah masalah organisasi sosial politik. 5 4
Dalam kehidupan Israel sebagai umat Tuhan, pada waktu
mereka belum diperintah oleh raja, pemerintahan politis Allah
(teokrasi) sungguh terjadi pada bangsa itu. Sejak keluarnya umat
Israel dari perbudakan Mesir, secara politis Tuhan ditempatkan
sebagai Raja yang menguasai seluruh kehidupan Israel. Untuk
memanifestasikan kehidupan politis Kerajaan Allah tersebut,
nabi-nabi berbicara atas anama Tuhan, dan umat Israel
mendengarkannya sebagai perintah Tuhan. (lih. Keseluruhan
Pentateukh dan Kitab Yosua). Bahasan di bawah ini secara khusus
menguraikan bagaimana teokrasi itu terjadi dalam kehidupan
umat Israel.
2. Teokrasi dan Monarkhi di Israel
Pada waktu manusia diciptakan, lalu ditempatkan dalam
Taman Eden, di sana tidak dilaporkan adanya suatu negara serta
fungsinya untuk mengatur umat manusia yang niscaya akan
mengalami perkembangan. Pada waktu Allah memerintahkan
manusia untuk berkembang biak dan memenuhi bumi, Allah tidak
memerintahkan manusia untuk membangun negara bila jumlah
manusia telah cukup dan membutuhkan suatu Negara dalam
pengorganisasian manusia. Mengenai keberadaan manusia
sebelum jatuh dalam dosa yang tidak memerlukan negara, Kuyper
menjelaskan seperti berikut ini.

54

Lih. Do nal Eugene,


Agama dan ma syarakat.
(Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. 6.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

terj. Machnun Husein

37

Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada


tatanan penguasa dan negara; tetapi kehidupan politik,
dalam keseluruhannya akan berevolusi sendiri, menurut
pola patriark, yaitu dari kehidupan keluarga. Tidak ada
system peradilan, polisi, tentara, angkatan laut, yang perlu
diberlakukan dalam dunia yang tanpa dosa; dan dengan
demikian, setiap peraturan dan hukum akan ditinggalkan,
bahkan semua kendali dan penegasan kekuasaan
penguasa akan lenyap, dan kehidupan berkembang
dengan sendirinya, secara normal dan tanpa hambatan,
dari dorongan organiknya sendiri. Siapa yang perlu
mengikat jika tidak ada perpecahan? Siapa yang
memerlukan tongkat jika tangan dan kaki bekerja dengan
sehat? 5 5
Manusia adalah mahkluk sosial, hal tersebut nyata dalam
penciptaan manusia yang tak terpisah dengan manusia lainnya,
kecuali Adam. Allah memberi mandat kepada manusia untuk
hidup dalam kebersamaan, melalui penciptaan manusia yang tak
terpisah. Setelah Adam dan Hawa diciptakan, Allah
memerintahkan mereka untuk berkembang biak dan bertambah
banyak. Perkembangan manusia terjadi dalam komunitas, dan
setiap manusia yang lahir dibesarkan dalam komunitas, berarti
manusia adalah mahkluk sosial.
Kehidupan sosial ini dapat berjalan tanpa negara, karena
Allah yang menjadi Raja. Allah yang bebas, merdeka, tidak pernah
melanggar hukum-hukum-Nya sendiri pada waktu Allah
melaksanakan kebebasan-Nya, demikian juga manusia yang total
bergantung kepada Tuhan. Namun sejak Kejatuhan, manusia tidak
55

Ab raham Kuyp er,


Momentum 2004), hlm. 9091.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Lecturer on Calvinism

, terj. (Jakarta:

38

lagi total bergantung kepada Tuhan. Manusia tidak lagi mampu


menggunakan kebebasannya tanpa mengganggu hak-hak orang
lain, bahkan sering kali membinasakan pesaingnya, khususnya
sejak pembunuhan Habel. Manusia terus bertambah jahat.
Mengenai kejahatan manusia, Alkitab mencatat demikian:
Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan
kekerasan. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar,
sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi
(Kejadian 6:11-12).
Setelah air bah Allah membuat perjanjian dengan Nuh;
Allah mendelegasikan kepada Nuh kuasa untuk memelihara
masyarakat dengan menghukum pelaku kejahatan dari setiap
manusia Aku akan menuntut nyawa sesamanya. Siapa yang
menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh
manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya
sendiri (Kejadian 9:5-6) Perintah Allah kepada Nuh ini
merupakan pemerintahan manusia yang diberikan legitimasi
ilahi. Dan perintah ini tidak dibatasi pada Nuh, tetapi juga hingga
saat ini. Karena perjanjian Allah dengan Nuh ini merupakan
perjanjian yang kekal (Kejadian 9:16), kebenaran ini harus juga
diterapkan oleh orang Kristen pada saat ini, yaitu memberikan
hukuman yang sebanding dengan tingkat kejahatan. Implikasinya,
penegakkan hukum menjadi keharusan yang tidak dapat ditolak
oleh pemerintahan negara.
Setelah tindakan Allah yang mencerai-beraikan manusia,
maka Allah melakukan intervensi dalam menciptakan negara
untuk pemeliharaan bumi. Dengan diawali oleh pemanggilan
Abraham, yang kemudian melahirkan bangsa Israel, yaitu bangsa
pilihan, untuk menjadi negara yang memuliakan Tuhan. Allah
menjanjikan Israel sebagai bangsa dan akan memiliki daerah
kekuasaan yaitu seluruh tanah Kanaan. Israel harus membaktikan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

39

hidupnya kepada Allah untuk menjadi negara yang menjalankan


mandat Allah dalam memelihara dunia ciptaan Tuhan. Sebagai
negara, Israel telah lengkap karena memiliki: Raja (Tuhan),
Rakyat (bangsa Israel), dan wilayah (Kanaan). Pemerintahan Allah
(Teokrasi) atas Israel bertujuan untuk menjadikan bangsa
dan/atau negra Israel sebagai saksi bagi bangsa-bangsa lain, Allah
Israel adalah Allah yang hidup, Pencipta langit dan Bumi. Inilah
gagasan Teokrasi Israel.
Apakah Teokrasi itu? Theokrasi berasal dari dua kata
cratein(memerintah).
Yunani theos(Allah) dan kata kerja
Theokrasi berarti pemerintahan Allah. 5 6 Dalam Perjanjian Lama,
bangsa Israel diperintah berdasarkan apa yang dikatakan oleh
Allah melalui nabi (sebagai penyambung lidah Allah) dan iman
sebagai pelaksana pemerintahan Allah tersebut dalam kehidupan
rohani (baca: ritual keagamaan) umat-Nya. Nabi dan imam
memberikan firman Allah kepada raja dan bangsa yang
melaksanakan firman itu. Dengan demikian, Teokrasi di Israel
merupakan pemerintahan Allah atas umat-Nya di mana Allah
bertindak melalui para nabi dan imam untuk menyampaikan
firman (kebenaran) Allah atas raja dan bangsa itu.
57
Ada banyak negara yang mengaku melaksanakan
pemerintahan Allah (teokrasi) atas negaranya, yakni dengan
menerapkan aturan-aturan agama atau kitab suci menjadi dasar
dan ideologi negaranya. Misalnya, beberapa negara Islam di Timur
Tengah melaksanakan hal tersebut. Di negara-negara Islam
tersebut, segala peraturan (baca: hukum) didasarkan langsung
pada al-Quran dan Hadits 5 8 Namun, dengan mengacu kepada apa
56

R. Soedarmo,
1986), hlm. 106.
57
Ibid .
58 Ibid.

Kamus Istilah Theologia

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

(Jakarta: BPK Gunung Mulia,

40

yang disebutkan di atas, teokrasi ala negara-negara Islam tersebut


bukanlah teokrasi yang sesungguhnya dalam perspektif teokrasi
Israel. Dalam teokrasi Israel diwujudkan kehadiran dan campur
tangan Allah secara langsung atas pemerintahan umat tersebut.
Dengan demikian, teokrasi tidak boleh diartikan hanya karena
menerapkan kitab suci atau sejenisnya sebagai dasar dan ideologi
negara.
Dalam perjalanannya, teokrasi model di atas tidak
bertahan lama dalam sejarah umat (baca: bangsa) Israel. Setelah
pelayanan Samuel sebagai Hakim atas bangsa itu, Tuhan
mengangkat raja 5 9 pertama untuk memerintah bangsa itu, yakni
Saul (lih. 1 Samuel 9). Dalam 1 Samueel 8 dipaparkan, hadirnya
Saul sebagai raja atas Israel merupakan permintaan umat tersebut
(8:121). Setelah pengangkatan Saul menjadi raja atas Israel,
masa ini disebut masa monarkhi di Israel.
Persoalannya adalah apakah monarkhi di Israel
sesungguhnya merupakan pergantian dari pemerintahan Allah
kepada pemerintahan sipil (baca: manusia), seperti yang terlihat
dari tindakan umat itu untuk meminta seorang raja dan sikap
kesal Samuel atas permintaan tersebut, supaya mereka sama
dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya? Banyak ahli PL memberi
argumentasi bahwa pada dasarnya monarkhi di Israel tidak
menggantikan pemerintahan Allah yang sesungguhnya. C. Barth
menjelaskan tentang hal ini sebagai berikut.
59

Lih. C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 2
. Cet. Ke-9 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 200 1), hlm. 58 59. C. Barth memap arkan bahwa kata
benda Ibrani untuk raja dalam PL digunakan 2500 kali lebih. Kata kerja
menjadi raja atau menjadikan raja , dan kata b enda kerajaan dugunakan
masing-masing 240 kali lebih. Kata benda
melekh raja tercatat sebagai
palking sering nomor 3, didahului oleh ben p utera (no. 1) dan elohim
Allah (no. 2). Hal ini berarti bahwa bayangan raja dalam pemerintahan
Israel termasuk dalam pokok yang sangat penting dalam Alkitab.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

41

For Israel however monarkhy as a political system also


had a theological dimension, for Israelites were in the
relation to the eternal kingdom in which God rules in love
and justice. The interest of Israel lay not so much in the
institution of kingship as such but in Gods use of the
institution as Rul er over his people and humanity. The
Lord, God of Israel, wants just goverment. It is to this end
that acts, raising up kings here and overthrowing the
them 6 0
Dalam penjelasan Christoph Barth selanjutnya, ia tidak
melihat bahwa keinginan umat Israel untuk meminta seorang raja
kepada Samuel sebagai
kehendak manusia.
Gods decisive steps in ruling the nations will culminate
one day in his raising up king that will fully do his will on
earth. The prophets expressed and kindled this developing
hope that usually call messianic expectation. Meantime
God allowed the institution of kingship in Israel which
began with anointing of Saul ca. 1020 B.C. and ended with
the death of Jehoiachim in Babylonian exile ca. 550 B.C . . .
6 1
Perasaan kekecewaan Samuel akan permintaan seorang
raja supaya mereka sama dengan bangsa-bangsa lain, ternyata
disangkal oleh fakta selanjutnya bahwa ternyata Allahlah yang
60

Christoph Barth,
God with Us: A Theological Introduction to the Old
Testament (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1990), hlm. 188 199.
61 Ibid. , hlm. 199.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

42

menghendakinya untuk memerintah atas bangsa itu, sebagai alat


di tangan Allah untuk mewujudkan kehendak-Nya. Banyak bukti
yang sangat signifikan yang mendukung bahwa Allahlah yang
menghendaki peristiwa tersebut. Misalnya, setelah Saul menjadi
raja, daerah-daerah pemukiman suku-suku Israel tampak lebih
aman; dalam pemerintahan Daud, peribadatan Israel semakin
maju, bahkan mengalami perkembangan pesat ia banyak
menuliskan mazmur-mazmur 62 yang dinyanyikan dalam ibadat
atau ritual keagamaan umat Israel; Allah memberkati
pembangunan sebuah Bait Allah sebagai tempat kediaman Tuhan
di Sion; 63 dan masih banyak contoh lain lagi yang belum
disebutkan.
Kehendak Allah untuk mengangkat seorang raja atas Israel
menjadi prototipe penantian Mesias dalam kepercayaan Israel. C.
Barth, dalam bukunya Theologia Perjanjian Lama 2,
menjelaskannya sebagai berikut.
Begitu besar makna tindakan-tindakan Allah di bidang
pemerintahan bangsa-bangsa itu, sehingga di atas
dasarnya Ia sendiri dikenal sebagai Dia yang telah
menetapkan hati-Nya untuk pada suatu waktu
mengangkat seorang raja menjadi pelaksana kehendakNya yang terakhir di atas bumi. Segi kegiatan ilahi ini
62 Lebih

dari separuh pasal-pasal Kitab Mazmur ditulis oleh Daud.


Keterangan tentang kepegarangan Daud atas mazmur-mazmur tersebut
terdapat di dalamnya.
63
Lih. C. Barth,
Theo logia Perjanjian Lama 3
(Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993). Dalam buku ini, C. Barth menguraikan bahwa Allah memilih
Sion sebagai tempat kediaman bagi-Nya. Selanjutnya, Sion menjadi (1)
gunung dan kota milik Tuhan, (2) tempat lahirnya masyarakat yang utuh, (3)
kota bait suci: pangkal umat yang beribadah, (4) menjadi simbol penantian
kehadiran (baca: pemerintahan) Tuhan atas dunia.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

43

semakin disadari oleh orang Israel . Penantian seorang


raja adil yang akan diangkat TUHAN memainkan peranan
yang semakin besar di dalam kepercayaan mereka;
terutama para nabi-nabi pada zaman raja-raja itulah yang
membangkitkan dan mengembangkan penantian yang
sudah bisa disebut penantian Mesias itu
64
Dengan pengangkatan raja-raja dalam sejarah Israel
dimaksudkanlah suatu tindakan kenegaraan di mana seorang
warga diserahi pangkat seorang raja, dengan cara resmi dan sah
di hadapan Tuhan, nabi, imam, dan umat Israel. Para penulis
sejarah raja-raja sering menyelibkan berita bahwa Tuhan
sendirilah yang bertindak lebih dul u memprakarsai pengangkatan
mereka, termasuk menjatuhkan raja-raja yang tidak berkenan di
hati Tuhan. 6 5
Rencana Allah yang mulia kepada Israel, tidak dapat
dinikmati oleh Israel, karena kitab Hakim-hakim melaporkan
ketidaktaatan Israel. Israel membiarkan bangsa-bangsa lain tetap
tinggal di wilayah kerajaan yang diberikan Allah. Bahkan Israel
mengijinkan bangsa-bangsa lain untuk tetap ada dan tunduk pada
kerajaan Israel. Akibatnya, mereka tidak memiliki kemampuan
untuk memiliki otoritas atas wilayah yang diberikan Allah, di
mana Allah bertakhta di tengah-tengah mereka. Setelah kegagalan
Israel mentaati Allah dalam pada nasa hakim-hakim, maka kitab
Samuel dan kitab Raja-raja, melaporkan juga kegagalan Israel
tersebut. Pembuangan bangsa Israel merupakan bukti kegagalan
Israel sebagai bangsa untuk mentaati Allah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan
dan implikasinya, bahwa (1) teokrasi tidak terbatas pada
64

C. Barth,
Barth,

65 C.

Theologia Perjanjian Lama 3


Theologia Perjanjian Lama 2

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

, op cit ., hlm. 59.


, op cit ., hlm. 67.

44

pemerintahan Allah melalui para nabi dan imam; (2) monarkhi di


Israel merupakan kelanjutan teokrasi; (3) Tuhan memakai jenis
pemerintahan sipil untuk melanjutkan penyelamatan Allah atas
dunia; (4) pemerintahan Allah diwujudkan melalui pengangkatan
manusia sebagai pemimpin yang dikehendaki Allah untuk
menyatakan hukum-hukum-Nya dan merealisasikan kehendakNya dengan adil dan bijaksana, dan membela umat-Nya dari
pendindasan bangsa lain; dan (5) Tuhan terlibat di belakang
pengangkatan seorang pemimpin dalam sistem ketatanegaraan
suatu bangsa.
3. Moral politik gerakan kenabian (prophetic movement)
Gerakan kenabian (prophetic movement) dalam Perjanjian
Lama (PL) pada dasarnya merupakan sikap koreksi terhadap
situasi dan kondisi politik Israel yang sedang menyimpang dari
kehendak Allah, atau pun teguran supaya mereka hidup dalam
ketaatan kepada Allah. 6 6 Saut Sirait, dalam bukunya Politik Kristen
di Indonesia , mengatakan bahwa gerakan kenabian
(prophetic
movement) sebenarnya sangat berorientasi politis. Dengan sangat
berani, mereka akan menentang sistem, struktur, dan
pemerintahan melalui pengajuan konsepsi ideal mengenai tatanan
sosial baru secara radikal.
Menurut sebagian ahli, banyaknya fakta-fakta yang
memperlihatkan keterlibatan nabi-nabi dalam berbagai bidang
politik, baik langsung maupun tidak langsung, menimbulkan
kecenderungan untuk mendefinisikan gerakan politik itu sebagai
karakteristik agama kenabian
(prophetic movement) , tanpa
mempersoalkan pilihan posisi yang diperankan nabi-nabi itu.
Akan tetapi, sebagian ahli justru keberatan dengan pendapat
66

Sirait, Saut.
Mulia, 2000), hlm. 102.

Politik Kristen di Indonesia.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Jakarta; BPK Gunung

45

tersebut di atas. Mereka tidak setuju apabila gerakan kenabian


duhubungkan dengan kepentingan politis. Bagi mereka,
penempatan gerakan kenabian itu dalam hubungannya dengan
kepentingan politik justru mempersempit tujuan dari gerakan
kenabian tersebut. Sebagai contoh Theodore E. Long memberi
komentar di bawah ini.
First, it reduces reli gion to its political function, thereby
diminishing the religious character of prophecy and its rich
yield in other spheres of life. Second, the assumption of such
a link between prophecy and politics disregards their multi faceted interaction, which varies according to empirical
contingency. 67
Penjelasan Long di atas tampaknya dipengaruhi oleh
pemahamannya tentang politik, sehingga ia mengusulkan
pembedaan antara tindakan sosial dan politis di dalam
keterlibatan agama dengan dunia. Baginya, politik merupakan
suatu bentuk khusus dari tindakan sosial yang berpusat pada
konflik-konflik yang disebabkan banyaknya keputusan; politik
hanya satu bagian dari bidang sosial. Padahal, dalam kerangka
yang lebih luas, bidang sosial dapat dimasukkan sebagai bagian
politik. Ruang lingkup dan tindakan-tindakan sosial bisa saja
sangat dipengaruhi oleh rekayasa atau keputusan politik.

67

Theodore E. Long, dalam b ukunya


A Theory of Prophet Religion
and Politics (New York: Paragon House, 1988), hlm. 3. Lo ng secara panjang
lebar menguraikan teo rinya dalam menjelaskan bahwa nabi -nabi PL tidak
boleh serta-merta dihubungkan dengan politik. Ia memberikan pendapat
bah wa gerakan sosial yang dipimpin oleh nabi-nabi PL tidak harus
diorientasikan secara p olitis.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

46

Akan tetapi, sekalipun Long menganggap politik sebagai


bagian dari tindakan sosial, ia tidak menolak keterlibatan gerakan
kenabian ke dalam bidang politik. Ia bahkan perlu menegaskan
bahwa keterlibatan gerakan kenabian dalam bidang politik
merupakan realitas yang sulit dihindari dan memiliki relevansi
besar. Long juga cukup banyak memberikan gambaran yang
signifikan dari keterlibatan kenabian di bidang politik itu,
terutama dalam rangka transformasi dan pembukaan ruang yang
lebih lebar. Lengkapnya Long, dalam bukunya
Prophecy, Charisma
and Politics: Reinterpreting the Weberian Theses , mengatakan
sebagai berikut.
Religious prophesy seems to become with politics almost
evitably. Unlike the administrators of established authority,
prophet stand outside existing structures making claims on
behalf of trancendent powers. Whatever their content
prophetic claim raise the issue of social authority, creating
opportunities for and stimulating action to transforms or
undermine existing regimes. By its very nature, rligious
prophecy to carry great political relevance .6 8
Identifikasi mengenai gerakan kenabian yang hendak
dinyatakan sebagai politik semata-mata atau hanya satu bagian
dari aksi sosial, sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Adalah
jauh lebih baik untuk melihat kandungan dan makna yang
diembannya di dalam setiap gerakan atau tindakannya. Persoalan
68

Lih. Theodore E. Long,


Prophecy, Charisma, and Politics:
Reinterpreting the Weberian Theses
(New York: Paragon House, 1986), hlm.
3. Long secara panjang lebar mengomentari dan mengeritik pendapat Weber
yang selalu menghubungkan gerakan kenabian dengan politik. Akan tetapi,
secara tidak sadar dalam penjelasan Long, ia juga men yetujui keterlibatan
para nabi PL tersebut dalam politik Israel.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

47

mengenai perwujudan kehendak Tuhan di dalamnya justru perlu


dikaji. Inilaj teokrasi Israel melalui kehadiran gerakan kenabian
tersebut. Kesimpulan yang diberikan Weber, dalam bukunya
Ancient Judaism , berkaitan dengan hal itu sangat baik untuk
diperhatikan, yakni:
As all indicates, according to their man ner of functioning,
the prophets were objectively political and above all, worldpolitical demagogues and publistics, however, subjectvely
they were no political partisans. Primarily they pursued no
political interests. Prophecy has never declared anything
about best state (disregarding Ezekiels hierocratic
construction in the exile) nor has it ever sought, like the
philosophical aisymnete or the academy, to help translate
into reality social ethically oriented political ideals through
advice to powerholders. The state and its doings were, by
themselves, of no interest to them . . . Their question was
absolutely religious, oriented the fulfillment of Yahwes
commandments. 6 9
Saut Sirait menjelaskan tiga ciri dasar yang dikenakan
oleh Long terhadap kenabian, semuanya memuat bobot politis
yang besar, antara lain:
a) Kenabian adalah
prototipe kewenangan dan
kepemimpinan kharismatis;
b) Kenabian muncul di luar tatanan kelembagaan rutin
sebagai tanggapan politik terhadap alienasi pada krisis
yang bersifat sosial;

69

Max Weber,

Ancient Judaism.

(Illionis, The Free Press, 1952),

hlm. 133.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

48

c) Kenabian adalah suatu kekuatan revolusioner yang


menantang kewenangan yang ada (baca: mapan) untuk
melahirkan perubahan sosio-politik yang besar.
70
Bagi Weber, kehadiran gerakan kenabian dapat juga
terjadi di dalam kelompok dan lembaga-lembaga yang mapan,
yang tidak hanya sekedar menunggu krisis sosial, tetapi juga
untuk mengedepankan solidaritas. Dalam hal ini, Amos adalah
contoh yang paling konkret. Pada masa kekuasaan Yerobeam II,
stabilitas politik, perdagangan dan hubungan dengan dunia luar
menunjukkan situasi yang aman dan mapan, bahkan
memperlihatkan suatu kemajuan perekonomian nasional yang
lumayan. Akan tetapi, justru dalam situasi yang seperti itu Amos
mengadakan gerakan untuk menunjukkan solidaritas dan pesan
moral terhadap realitas keadilan.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa gerakan kenabian
memiliki cakupan yang luas. Ia tidak dapat direduksi pada satu
bidang atau situasi tertentu. Gerakan kenabian tidak tergantung
situasi, kondisi, atau konteks krisis tertentu. Gerakan kenabian
tergantung pada ultimate concern Tuhan terhadap realitas itu
sendiri. 7 1 Jadi, adalah benar jika keprihatinan utama kenabian
berada di dalam dua dimensi yang bermuara para satu titik:
proclamation of God and His Will dan human life orientation.
Konteks sosio-politik menunjukkan perealisasian kehendak
Tuhan yang otomatis mewujud pada citra kehidupan manusia
yang adil dan beradab maka kenabian akan menjadi faktor
utama. Jika keadaan justru memperlihatkan keadaan sebaliknya,
maka kenabian akan menjadi penantang dan penentang utama.
Dengan demikian, ciri kemerdekaan, kemandirian dan
kebebasan merupakan ciri utama kenabian. Ia sama sekali tidak
70
71

Saut Sirait,
Ibid.

op cit. , 105.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

49

terikat pada kepentingan sempit umat atau pengikutnya, seperti


yang diperlihatkan Yeremia yang justru mendukung
Nebukadnezar pada saat krisis dan bertentangan dengan
kehendak umum. Kenabian juga tidak peduli pada kekuasaan
serta struktur-struktur raja yang sangat kuat tetapi membuat
keadilan menjadi ipuh seperti yang ditentang Amos Itulah
sebabnya, dalam PL, gerakan kenabian memiliki intensitas yang
tinggi dalam perubahan sosial, menjadi
agent of social changes
yang berciri pada perubahan, kemajuan dan keadilan. Di sini
memang politik tidak dapat diabaikan, bahkan sangat kuat
pengaruhnya.
Ciri revol usi kerakyatan juga jelas di dalam gerakan
kenabian. Bagi gerakan kenabian, perlawanan rakyat atau
civil
disobidience sangat bermakna teologis. Sebab, dalam peristiwa
Exodus, Tuhan sendiri yang menggerakkan Israel yang menjadi
budak di Mesir untuk hengkang dari kekuasaan Firaun. Bahkan
justru di dalam diri Salomo yang jaya itu, revolusi kerakyatan
muncul. Tuhan sendiri yang membangkitkan gerakan-gerakan
perlawananan rakyat itu (lih. 1 Raj. 1114). Gerakan kenabian
mampu melihat makna di balik peristiwa atau pemaknaan pada
pelbagai peristiwa dan visinya yang teramat jauh, tanpa disadari
dapat membuat mereka tampak menjadi
elite masyarakat.
Di samping gerakan kenabian, ciri lain yang muncul adalah
kaum imamat (priestly) . Menurut Madeley, perbedaan antara
kenabian dan imamat itu ternyata sangat mencolok. Nilai
(value)
dengan tandas diletakkan pada bahu para nabi, sedangkan
kepentingan (interest) menjadi urusan para imam yang memiliki
tanggung jawab dalam pemeliharaan institusi. Rumusan
mengenai valuedan interest oleh Madeley dijelaskan sebagai
berikut.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

50

The term interest will be used here to refer to


requirement for the emergence, survival, or growth of
particular institution or group. With respect to religious
institutions or groups, these interest will include the basic
religious freedom of belief, assembly, and worship, acces to
adequate economic resources, without which the institution
or group cannot support its existence, and what might be
called the right of conscience without which religious actors
cannot follow the ethi cal requirements of their religion.
Interest there are essentially self-regarding in the sense that
they are cherished not for their conseques for the rest of
society but for the institution or group itself 7 2
Madeley merumuskan nilai

(value) sebagai berikut:

The term value will be reserved for those desired ends


which inherently refer to the whole of society. Whether
relative or absolute they derive not from attachment to a
particullar institution or group but from essentially
disinterested of conception of the ideal or the highest
attainable end for society at large. 73
Dengan memahami perumusan Madeley mengenai
value
dan interest itu, perbedaan yang sangat kontras antara nabi
(prophet) dan imam
(priest) akan sangat tergantung pada
keserasian hubungan antara nilai-nilai, konsepsi ideal dan tujuan-

John T.S. Madeley,


Prophets, Priest and Politiy: European
Christian Democrazy in Developmental Perspective
(New York: Paragon
House, 1 986), hlm. 336.
72

73

Ibid.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

51

tujuan tertinggi kehidupan sosial dengan kepentingan lembaga


atau kelompok. Persoalan akan muncul takkala kepentingan
kelompok berbeda dengan nilai-nilai
(values) dan tujuan-tujuan
sosial itu.
Dalam praksis politik, persoalan itu tidak hanya berputarputar atau tinggal diam pada batas lingkar kontradiksi atau
paradoksi, tetapi menembus situasi yang menuntut ketegasan
sikap dan pilihan. Konflik pada derajat yang paling tinggi tidak
mungkin dielakkan, karena wilayah politik akan memobilisasi
sumber-sumber dan sekaligus menggunakannya.
Peranan imamatlah yang kemudian lebih berpengaruh
dalam penanganan jemaat-jemaat. Berhubung
pengorganisasiannya semakin mapan dalam perkembangan
agama Israel waktu itu, muncullah kebutuhan untuk membentuk
dogma dan hukum-hukumnya. Menurut Saut Sirait, di sinilah
sesungguhnya proses penentuan muatan atau isi dari suatu agama
terhadap berbagai hal, termasuk persepsinya terhadap bidang
politik. Tidak mengherankan bila dalam sejarah Israel terjadi
ketegangan antara gerakan kenabian
(prophetic movement)
dengan kelompok imam-imam
(priestly) . Serangan-serangan
Amos terhadap peribadahan, korban-korban yang menjadi ciri
imam-imam merupakan kenyataan faktual akan ketegangan atau
74
pertarungan antara kenabian dengan imamat.
Pertarungan ini bukan hal sepele, karena menyentuh
substansi yang sangat teologis. Serangan Amos mengenai rasa
aman dan tenteram yang palsu (Am. 6) merupakan tohokan tajam
terhadap imam-imam yang mengutamakan stabilitas dan
kemapanan. Hal itu sangat terlihat pada Imam Amazia lawan Nabi

74

Saut Sirait,

op cit. , 111.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

52

Amos, yang langsung memobilisasi sumber-sumber politiknya,


termasuk istana untuk menghancurkan Amos.
Pertarungan Amos dan Amazia merupakan indikator kecil,
tetapi bermakna besar untuk melihat perbedaan yang sangat
mendasar antara nilai
(value) pada nabi dan kepentingan
(interest) pada imam. Weber juga dengan tegas membedakan
antara korban bakaran yang menjadi ciri keagamaan imam dan
ketaatan pada perintah Yahweh yang menjadi jiwa keagamaan
nabi-nabi , bahkan termasuk adanya motivasi-motivasi nonreligius pada kelompok imamat.
Dengan demikian, menjadi jelas sekarang bahwa gerakan
kenabian dalam agama Israel seringkali memberi koreksi
terhadap kehidupan dan tingkah laku para imam yang tanpa sadar
menempatkan diri sebagai alat atau mesin politik penguasa atau
kekuasaan. Kaum imamat yang cukup dekat dengan kepentingan
rakyat seringkali memanfaatkannya untuk tujuan politis. Itulah
yang dikrtitik oleh nabi Amos. Gerakan kenabian memiliki
kepastian untuk menempatkan diri berdasarkan nilai
keagamaannya. Karena itu, gerakan kenabian tidak pernah terikat
dengan sistem dan kekuasaan mana pun, ia hanya melekat pada
nilai yang dianutnya. 7 5 Di dalam penentuan posisi, menurut
Weber, ketika harus memilih, gerakan kenabian akan
menempatkan posisinya di tengah-tengah rakyat.
The prophets stood in the midst of their people and were
interested in the fate of its political community. They were
interested in ethics, not in cult, in contrast to the Christian
missionaris who offered above all the lords Supper as a
means of grace 7 6
75
76

Ibid. , 113.
Max Weber,

Ancient Judaism

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

, 299300.

53

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan


bahwa konfederasi Israel memiliki isi politik keagamaan yang
sangat tegas: tidak ada yang absolut dan yang sakral selain
Yahweh. Pada masanya, muatan agama Israel itu merupakan
revolusi dalam segala bidang, terutama di bidang politik yang
menyangkut kukuasaan dan status raja. Hal itu juga yang menjadi
tugas utama yang harus dilakukan.
Israel sebagai satuan politik dalam pengertian negara dan
bangsa tetap berada di dalam kerangka revolusi penghancuran
absolutisme dan kesakralan. Di dalam bingkai itulah kekhususan
(partikularisme) Israel akan senantiasa berkait erat dengan
universalismenya. Sebagai umat
(Am) , Israel menempati posisi
sentral di tengah-tengah bangsa-bangsa lain
(Goyim). Artinya,
Goyimitu harus ditarik masuk ke dalam lingkaran atau bingkai
yang di dalamnya Yahweh memerintah. Mereka tidak boleh
dibiarkan berada dalam kungkungan mitos dan totalitas
kosmologi yang mematikan kemanusiaan dan citra Yahweh.
Dalam perspektif universalisme itulah, Israel
sesungguhnya merupakan revolusi raksasa yang pada akhirnya
harus diakui dapat melanda dunia. Ketika kesakralan alam dan
raja dihancurkan, makna modernitas dan sejarah
progress
menjadi terbuka dan di dalam pengertian yang paling murni,
seluruhnya berada dalam dekapan Israel. Di sini, Israel tidak lagi
dalam pengertian bangsa atau sebagai satuan agama dan politik,
tetapi telah menjadi nilai, prinsip, dan inspirasi. Pengilahian atau
pendewaan kaisar, sebagaimana masih terdapat dalam agamaagama atau bangsa-bangsa di sekitar Israel, dirubah total oleh
pemerintah Allah yang berdaulat atas hidup bangsa Israel.
Israel sebagai satuan agama dan satuan politik, pada
akhirnya mengalami kemunduran dan kehancuran. Tetapi sebagai

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

54

nilai, tidak tersangkal bahwa ia berjalan memasuki segala


gelombang dan angin kehidupan secara berkesinambungan. Kota
Sion sebagai perlambang monoteisme agama dan peringatan
terhadap kekuasaan absolut, baik pada alam maupun manusia
telah menjadi simbol yang memainkan peranannya sendiri.
C. Moral politik dalam Perjanjian Baru
Israel pada zaman PL sangat berbeda dengan orang
Kristen pada zaman PB. Pada zaman PB, Palestina berada di
bawah kekuasaan Roma. Kalau Yesus dan Rasul-rasul PB
berbicara tentang penguasa atau pemerintah, hal itu berarti
menyebutkan penguasa kekaisaran Roma. Di bawah ini, penulis
hanya menguraikan sikap Yesus dan Paulus terhadap politik, yang
darinya penulis mendapatkan pemahaman PB tentang moral
politik Kristen pada masa itu.
1. Yesus dan politik
Untuk memahami politik dalam perspektif Injil, orang
Kristen sering menggunakan percakapan Yesus dengan kalangan
Farisi dan Herodian Berikan kepada Kaisar (Lih Mrk
12:1317; Mat. 22:1522; Luk. 20:2226). Jawaban Yesus
tersebut sangat mempengaruhi rumusan-rumusan politik orang
Kristen, khususnya menyangkut hubungan gereja dan negara.
Situasi sosial-kemasyarakatan Palestina pada zaman Yesus
adalah sebagai berikut: adanya kelompok elit-feodal, kebobrokan
mental para pejabat, golongan agamawan yang buta Di pihak
lain terdapat kelompok-kelompok orang miskin dan
terpinggirkan, krisis ekonomi, ketidakpastian situasi politik,
kelompok-kelompok eksklusif dan nasionalis. Kesemuanya itu
menciptakan kebingungan dari banyak orang, terutama rakyat
jelata Mereka menantikan datangnya Sang Mesias (istilah

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

55

Indonesia Ratu Adil) dari kalangan atas yang peduli atas


kompleksitas persoalan tersbeut, namun tak kunjung datang.
Berbagai penilaian dan anggapan tentang Yesus muncul
dari berbagai pihak, mulai dari yang bersifat relegius hingga
politis (Mark. 8:28-29; Mat. 16:13-20; Luk. 9:18-21), misalnya
sebagai: Nabi yang membawa pesan Allah, Guru etika-moral bagi
pengikut dan pendengarNya, Tabib bagi orang yang sakit, Sahabat
bagi orang terbuang, Pejuang, dan Transformator ke arah sebuah
paradigma baru Hal ini terjadi karena profesi yang dijalankan
Yesus menyentuh segala persoalan di atas mencakup segala
aspek kehidupan yang menggemparkan bumi Palestina. Profesi
yang dijalankan-Nya, sampai-sampai terkadang tidak ada waktu
untuk makan (Mark. 3:20; 6:31), menjadikan diri-Nya sebagai
seorang tokoh yang berpengaruh, walaupun Ia tidak mencari
popularitas dan nama. Pengaruh-Nya pada rakyat inilah sehingga
kehadiran-Nya mempunyai dampak politik.
Muncul pertanyaan: apa yang dilakukan-Nya? Apakah
Yesus seorang politikus? Pertanyaan ini juga muncul dalam benak
para murid-Nya, bahkan sebagian dari mereka mengikuti-Nya
karena harapan tersebut. Misalnya, Simon orang Zelot dan Yudas
Iskariot, Petrus (bnd. Mark. 8:31-33), dan murid-murid-Nya yang
mengundurkan diri di Galilea (Yoh. 6:66). Banyak orang yang
sudah mengidolakan-Nya, di tengah-tengah pengharapan
mesianik yang akan membebaskan mereka dari penjajahan politis
Romawi, bermaksud menjadikan Dia sebagai raja (Yoh. 6:15).
Ironisnya lagi, yang menjadi alasan penyaliban-Nya, tidak dapat
dipungkiri adalah alasan politik (lih. Mat. 27:37; Mark.15:26, Luk.
23:28; Yoh. !9:19-22).

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

56

Keterlibatan Yesus dalam politik, menurut S.G.F. Brandon,


dihubungkan dengan kaum Zelot, 7 7 suatu kelompok masyarakat
Yahudi yang memiliki dimensi dan keterlibatan yang sangat kuat
dalam politik. 7 8 Namun, menurut penulis, agak gegabah jika Yesus
dihubungkan dengan kaum pemberontak tersebut. Karena itu,
jalan terbaik untuk melihat hubungan Zelot dengan keterlibatan
Yesus dalam bidang politik adalah melalui penelitian terhadap
nilai, prinsip, dan cara-cara yang dipakai kaum Zelot dalam
perjuangan politiknya, termasuk dasar-dasar keagamaan atau
keyahudian yang menjadi legitimasi gerakan-gerakan perlawanan
politik mereka.
Kelompok Zelot yang didominasi orang-orang Galilea
memiliki nasionalisme yang kuat yang didasarkan pada
pemahaman agama yang fanatis. Kelompok ini secara terangterangan mengumumkan perang suci
(holy war) terhadap
pemerintahan penjajah. Nasionalisme Zelot berangkat dari
pemahaman mesianis mengenai bangsa yang dipilih Yahweh.
Mereka adalah bangsa yang gagah perkasa, yang tidak rela dijajah
bangsa mana pun. Pembebasan dari Mesir merupakan sejarah
keselamatan mereka yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
Kata Zealot b erasal zelos atau zeal dan disamakan dengan
zealous ,
yang berarti setia atau penuh semangat, atau fanatik. Kata ini juga sering
dihubungkan dengan Kanaan yang berasal dari kata benda semitis
kana , yang
berarti zeal (bnd. Oscar Culman.
The State in the New Testament.
New York:
Charles Scribers So ns, 1956. Dalam bahasa Latin orang-orang Roma, yang
berarti bandit. Di dalam Alkitab, istilah zealot tidak pernah dikaitkan dengan
suatu kelomp ok atau partai. Kata itu hanya sekali muncul dan dikenakan pada
Simon (Luk. 6:15), untuk membed akannya dari Petrus (Luk. 6:14 ). Menurut
Brando n, pendiri zealot adalah Yudas dari Galilea yang cukup aktif dalam
masa Yesus (hlm. 154) dan mengaitkannya dengan Yudas Iskariot.
Menurutnya, Iskario t adalah kata yang dikorupsi dari
Sicaris (hlm. 204).
78
S.G.F. Brandon,
Jesus and the Zea lots
(London: Manchester
University Press, 1967), hlm. 14.
77

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

57

Bagi mereka akan hadir seorang Mesias yang akan memerintah


dan membawa bangsa itu pada kejayaan. Oscar Culman dengan
singkat merumuskan inti mesianisme Yahudi itu; To be sure, the
genuine Jewish Messiah is a victorious national commander-in-chief
who conques all heathen peaples and rulers over the world . . . .
79
Konsepsi mesianis Zelot dan cara pemberontakan mereka sangat
sulit jika dihubungkan dengan cara hidup dan ajaran-ajaran Yesus.
Para ahli memang tidak menemukan ajaran-ajaran Yesus
yang secara frontal menentang penguasa Roma. Jawaban tentang
membayar pajak justru menempatkan Yesus pada sikap politik
yang mendua, tidak seperti orang Zelot yang secara radikal
menentang penjajah Roma. Mengapa Yesus tidak secara terangterangan melawan Roma? Menurut penulis, Yesus sangat
konsisten dengan misi-Nya, karena kedatangan Yesus bukan
untuk itu. Kehadiran Yesus di bumi sangatlah jelas, yakni
melakukan karya penebusan dan penyelamatan seluruh tatanan
semesta alam, termasuk negara dan rakyat.
Paradigma penebusan dan penyelamatan yang mampu
menjelaskan hubungan Yesus dengan politik, bukan persoalan
eksistensi suatu negara dan sistem-sistemnya yang telah berdosa.
Hanya dengan paradigma seperti itulah kehadiran Yesus dapat
dimengerti dan disimpulkan dan hal itu sangat terang di dalam
dialog Yakobus-Yohanes dengan Yesus (Mrk. 10:3545). Jawaban
supaya menjadi hamba sangat menjelaskan inti pemahaman Yesus
mengenai negara atau politik itu. Ia adalah Hamba yang melayani,
berkorban, menebus demi penyelamatan.
Hal yang lebih tandas memaknai konsepsi politik Yesus
dalam hubungannya dengan negara dan penguasa adalah jawaban
untuk memberikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar
79

Oscar Culman.
The State in the New Testament
Charles Scribers Sons, 195 6), hlm. 124.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

(New York:

58

dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah. Di sini, kembali
politik teokrasi dinyatakan secara implisit, sebab dengan sengaja
Yesus memberi garis yang tegas yang membedakan Allah dengan
Kaisar.
2. Dimensi politis istilah Kerajaan Allah
Tema besar mengenai Kerajaan Allah terbentang di dalam
Alkitab dari Kitab Kejadian hingga Kitab Wahyu. Tema Kerajaan
Allah inilah yang menyatukan seluruh Alkitab, yang bersifat
progresif dan menjadi program Allah kepada pemerintahan dan
kekuasaan pemerintahan sipil (baca: manusia). Allah
mendemontrasikan kebenaran-Nya melalui hukum dan
peraturan-peraturan dalam Kerajaan-Nya di muka ini.
Istilah Kerajaan Allah 8 0 sepanjang kitab-kitab Perjanjian
Baru pada dasarnya memiliki dimensi politik yang tegas,
khususnya Kitab Matius dan ketiga Injil lainnya. Kerajaan Allah
adalah pemerintahan Allah sebagai Raja yang hendak
dilaksanakan di sorga maupun di bumi. Menurut Matius, dengan
kedatangan Yesus Kristus Kerajaan Allah sudah dekat (Mat. 4:17),
bahkan Lukas mengatakan Kerajaan Allah berada di antara
kamu (Luk 17 21) Yesus memberitakan Injil Kerajaan Allah
(mis. Luk. 4:43), demikian pula para murid-murid-Nya (Luk. 9:2).
Dalam Injil Matius terdapat istilah Kerajaan Sorga yang
searti dengan Kerajaan Allah. Penulis Injil Matius secara sengaja
memakai istilah Kerajaan Sorga, sebagai pendekataan kontekstual
terhadap keagamaan Yahudi untuk meyakinkan mereka bahwa
80

J. Dwight Penteco st,


Thy Kingdom Come (Canada, USA. Victor
Books, 1990), hlm. 11. Ada dua pulu h empat istilah 'Kerajaan Allah' di dalam
Kitab Kejadian sampai Wahyu. Istilah-istilah ini akan dapat dipahami dengan
arti yang berbeda-bed a dari bagaimana Kerajaan Allah itu beroperasi di muka
bumi.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

59

pelayanan Yesus berusaha untuk memperkenalkan Kerajaan Allah


yang sesungguhnya, yang sama sekali berbeda dengan
pengharapan mesianis Yahudi. Injil Matius menyampaikan Kabar
Baik bahwa Yesus adalah Raja Penyelamat yang dijanjikan oleh
Allah. Melalui Yesus itulah Allah menepati apa yang telah
dijanjikan-Nya (baca: dinubuatkan) di dalam Perjanjian Lama
kepada umat-Nya. Satu-satunya tujuan inkarnasi Yesus adalah
untuk mewujudkan Kerajaan Allah di bumi sebagai bayangan dari
Kerajaan Allah yang sesunguhnya kelak. Kedatangan Yesus
81
semata-mata adalah untuk memanifestasikan Kerajaan-Nya.
Seperti yang diberitakan Yohanes bahwa Yesus datang
memproklamirkan Teokrasi (pemerintahan Allah) dalam segala
bidang kehidupan agar semuanya berada dalam ruang lingkup
Kerajaan itu. Apakah Teokrasi itu? Teokrasi bukanlah sebuah
sistem politik totaliter yang mengatasnamakan agama, melainkan
bagaimana pemerintahan Allah atas segala aspek kehidupan
terwujud melalui moral dan politik manusia yang memberi
ruang bagi realisasi kehendak Allah. Allah itu sering diidentikkan
sebagai sifat kasih, adil, dan benar. Allah itu tidak egois. Ia
membuktikan diri-Nya mengasihi manusia dengan cara
megorbankan nyawa-Nya demi keselamatan banyak orang.
Dengan demikian, Kerajaan Allah adalah suatu kondisi atau
keadaan di mana terwujudnya pemerintahan Allah berdasarkan
kasih, keadilan, kebenaran, dan kebahagiaan orang lain.
Istilah Kerajaan Allah juga memiliki makna kekinian (di
sini) dan keakaan (di sana). Menurut R.E. Nixon, kedatangan
Kerajaan itu berarti membawa pemerintahan kekal Allah ke dalam
kehidupan manusia. Sebagaimana telah dijekaskan di atas,
J. Sidlo w Baxter,
Menggali Isi Alkitab: Matius s/d Kisah Para
Rasul. Cet. Ke-5 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1988),
hlm. 134.
81

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

60

Kerajaan Allah itu sudah dekat pada waktu tugas pelayanan


Yesus dimulai (4:17) dan setiap kejadian penting dalam
perkejaan-Nya adalah langkah memperdekat kedatangan
82
Kerajaan itu hingga pada penyempurnaannya yang terakhir.
Dengan demikian, Kerajaan Allah mengandung arti kekinian dan
di sini (baca: bumi).
Yohanes Pembaptis dan Tuhan Yesus memulai
pengajaran-Nya dengan amanat bahwa Kerajaan Sorga sudah
dekat, tetapi mereka sendiri tidak menerangkan apa arti dan sifat
Kerajaan Sorga tersebut. Jika ditilik apa yang dinubuatkan oleh PL
tentang pemerintahan Mesias, tampak dengan jelas sekali bahwa
Kerajaan tersebut adalah sesuatu yang kelihatan dan sungguhsungguh terjadi di muka bumi.
Realisasi Kerajaan Allah di masa kini menurut Perjanjian
Baru ada tiga hal, antara lain: (1) pemerintahan sipil, (2) lembaga
keluarga, dan (3) Gereja. Pemerintahan Allah pertama secara
kenyataan adalah melalui pemerintahan sipil. Hal ini dijelaskan
oleh Rasul Paulus dalam Roma 13:1-7 dan Rasul Petrus dalam I
Petrus 2:13-14. Prinsip universal dari pemerintahan manusia
adalah di dalam subjek otoritas pemerintahan sipil yang berlaku
di dalam negara-negara atau bangsa-bangsa di sel uruh dunia.
Karena itu, Paulus mengajak orang percaya untuk tunduk dan
melakukan dengan taat peraturan dan otoritas kepada
pemerintah yang sah (Roma 13:4). Karena pemerintah yang ada
adalah pelayan Allah di muka bumi. Apapun jenis dan bentuk
pemerintahannya baik yang menerapkan sistem kepresidenan,
kerajaan, republik, perserikatan, dan lain-lain. Karena itu,
pemerintah diberikan otoritas oleh Allah untuk bertanggung
R.E. Nixon, Injil Matius dalam Donald Guthrie, et al.,
Tafsiran
Alkitab Masa Kini 3: Matius Wahyu.
Cet. Ke-9 (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996), hlm.75.
82

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

61

jawab menghukum yang jahat, memberikan penghargaan kepada


yang taat pada hukum dan menciptakan atmosfir yang kondusif di
mana kebenaran dapat dinikmati oleh manusia. Pendek kata
manusia dapat hidup adil dan makmur. Karena itu, Alkitab
berkata: "tidak percuma pemerintah menyandang pedang". Ada
otoritas Allah atas pemerintahan sipil. Sebab itu, orang percaya
harus hormat kepada pemerintah karena mereka ditentukan oleh
Allah untuk menjalankan administrasi di dalam Kerajaan-Nya.
83
3. Moral politik Yesus
Studi tentang panggilan profetik Yesus di bidang politik
harus dibandingkan dengan perwatakan praktik perpolitikkan
pada zaman-Nya dan juga politik pada konteks zaman sekarang.
Yesus sendiri sebenarnya melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat politis. Pelayanan-Nya terhadap orang-orang miskin,
lapar, orang-orang yang mengalami diskriminasi baik etnis
maupun agama merupakan tindakan politik. Hanya saja
perwatakan tindakan politik Yesus tersebut berbeda dengan
perwatakan tindakan politik para politisi pada zaman itu, dan juga
berbeda dengan perwatakan tindakan politik para politisi dewasa
ini.84
Melalui pemberitaan media massa tampak bahwa
perwatakan praktik perpolitikan di Indonesia dewasa ini telah
menjadikan manusia sebagai bahan komoditas. Dagang manusia
di Indonesia sangat laku dan murah. Mereka yang mempunyai
banyak uang dapat membeli manusia. Perhatikanlah bagaimana
isu tentang "politik uang" (money politics) baik itu pada tingkat
grass-root dalam bentuk "serangan fajar menjelang hari H-nya

83
84

J. Dwight Pentecost,
op cit. , hlm. 294.
Lih. http://www.oaseonline.org/artikel/mojau-politikyesus.htm

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

62

pemelihan umum" 8 5 maupun pada tingkat


elite politik
dalam
bentuk apa yang disebut oleh Christianto Wibisono dengan
"one dolar, one vote 8 6 sudah merupakan hal yang lumrah. Model
politik seperti ini (untuk sementara) disebut
politik
machiavellian .8 7 Politik seperti ini tidak mempersoalkan apakah
cara-cara yang dipakai itu sehat secara moral atau tidak; tidak
mempersoalkan apakah cara-cara seperti itu merendahkan
martabat kemanusian atau tidak. Pokoknya, asalkan tujuanku
tercapai. Cara tidak penting. Yang penting adalah hasilnya. Titik.
Tujuan menghalalkan cara. Tampaknya berbagai kerusuhan
dewasa ini dapat dikatakan sebagai manifestasi dari praktik
perpolitikan model machiavellian. Dalam politik machiavellian
kerusuhan dan kematian adalah modal politik dalam sebuah
market politik.; semakin banyak terjadi kerusuhan dan semakin
banyak orang yang mati, semakin kuat modal politik para politisi.
Dalam politik
machiavellian berlakulah prinsip apa yang
dikatakan Thomas Hobbes: homo homini lupus. 8 8

85

Isu seran gan fajar telah menjadi salah satu isu penting dalam
pemilihan di Indonesia pada Pemilu tahun 1999. Hampir semua media massa
memberitakan hal ini. Juga ada bisik di sana sini di TPS-TPS.
86 Christianto Wibisono pernah merisaukan hal ini ketika menyelang
Sidang Umum MPR-RI tahun 1998. Lihat Christianto Wibisono,
"One
Dollar, One Vote"
, dalam Harian Umum Suara Pembaharuan
, 15 Desember
1998.
87 Machiavellian di sini menunjuk kepada nama Niccolo
Machiavelli, salah seorang tokoh penting yang menganjurkan cara dan sarana
kekerasan untuk mempertahankan sebuah kekuasaan. Salah satu pentignya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judu l Sang Penguasa.
88 Berbagai paham dan prinsip etika politik secara garis besar dapat
dibaca dalam Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1994).

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

63

Hal ini berbeda dengan politik Yesus. Politik Yesus adalah


politik hati nurani. 8 9 Politik Yesus ini dinyatakan dengan melayani
mereka yang lemah dan tidak berdaya. 9 0 Politik Yesus adalah
politik pelayanan; politik yang melayani mereka yang
membutuhkan untuk dipulihkannya harkat dan martabat mereka
9 1 Hal ini
karena kemiskinan dan ketidakadilan sosial dan politik.
dijelaskan oleh Richard Daulay, sebagai berikut.
Yesus adalah seorang aktivis dan pembaharu politik.
Walau Yesus tidak pernah membentuk Gereja atau Partai
Politik, tetapi Yesus aktif melakukan gerakan moral untuk
membaharui, memperbaiki, bahkan dengan cara
menggoyang kemapanan dan status quo pada zamannya.
Selama hidup dan pelayanannya di dunia ini, tiga setengah
tahun, Ia berjuang tanpa kenal takut menentang
penjajahan Romawi dan pemerintahan boneka Romawi
Di sini kami memperoleh inspirasi dari dua rohaniawan penting di
Indonesia. Masing-masing Romo Y.B. Mangun wijaya (alm.) dalam sebuah
Kumpulan Karangannya yang berjudul:
Politik Hati Nurani (Jakarta: Grafiti
Mukti1997) dan K.H.M. Cholil Bisri dalam sebuah Kumpulan Karangannya
yang berjudul: Ketika Nurani Bicara, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).
90
Hal pertama menjadi pokok perhatian Yesus adalah nasib orang
miskin (menyampaikan kab ar baik kep ada orang -orang miskin). Dalam
seluruh pelayanan dan pen gajaran Yesus, orang miskin menjadi fo kus. Ingat
ucapan-ucapannya: Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Matius 5:3). Juallah
segala yang kau miliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang -orang miskin,
maka engkau akan beroleh harta d i sorga . . . (Matius 18:22). Yesus
mengungkapkan bahwa pada hari penghakiman nanti, sikap terhadap orang
miskinlah yang menentukan masu k tidaknya seseorang ke dalam hidup kekal
(Matius 25 :31:46).
91
Yesus bukanlah seorang politikus seperti layaknya politikus saat
ini, tetapi dapat mempengaruhi politik dengan bela rasa -Nya pada orang
bawah. Ia melihat dan mendekati dimensi politik, sebagaimana juga aspek aspek kehidupan lainnya, dari segi etis.
89

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

64

yakni Sanhedrin dan Imam Kepala yang diberikan


wewenang terbatas memerintah Yahudi di Palestina

92

Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang merupakan


cerita yang bersifat politis (bdk.Mrk. 6:30-43). Yesus memberi
makan lima ribu orang dalam konteks Injil Markus, menurut
hemat penulis, harus dipahami sebagai tindakan politik Yesus
pada saat itu. Apalagi pada saat itu orang-orang yang mengikuti
Yesus adalah orang-orang kebanyakan; mereka lemah secara
ekonomi, sosial dan politik, atau dalam lain perkataan: mereka
adalah kelompok masyarakat yang termarjinalkan.
Karena itu, gerakan Yesus bisa dipahami sebagai gerakan
politis. 9 3 Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan misi utama Yesus
yaitu: mewartakan Injil Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang
diberitakan oleh Yesus itu mengandung aspek politis.
94
Politik Yesus bukanlah politik manipulatif. Politik Yesus
tidak untuk memanipulasi kelemahan dan penderitaan orang
banyak demi untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Politik Yesus adalah politik pengabdian dan pelayanan bagi
kemanusiaan, bukan dalam bentuk retorika belaka, tetapi dalam
bentuk tindakan nyata. Ia justru mengorbankan diri-Nya sendiri
bagi mereka, yaitu dengan jalan rela disalibkan. Jadi, kematian
Yesus merupakan sebuah kematian politis. 9 5 Bagi Yesus, lebih baik
http://www.pgi.or.id/artikel.php?news_id=64
Band. Richard A. Horsley,
Sociology and the Jesus Mo vement
(New York: The Crossro ad, 1989).
92
93

Band. George V. Pixley,


Kerajaan Allah: Arti bagi Kehidupan
Politis, Ideologis dan Kemasyarakatan,
terj. Aleks Tabe (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 19 90).
95
Tafsiran pietis selalu memandang bahwa kematian Yesus secara
rohani. Padahal kematian Yesus sebenarnya memp unyai alasan -alasan politis.
94

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

65

berkorban daripada mengorbankan orang lain. (bnd. Mrk. 10:45).


Inilah politik salib itu sendiri. 9 6
Dalam paparan di atas, dapat kita ketahui dengan jelas
bahwa Yesus adalah seorang politisi yang berhati nurani. Ia juga
seorang politisi yang menghendaki perdamaian dan pulihnya
harkat dan martabat manusia. Itulah sebabnya Ia menolak untuk
mendendam mereka yang menyalibkan-Nya. Malahan Yesus
berdoa kepada Bapa-Nya agar mereka diberi pengampunan: "Ya
Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang
mereka perbuat." (Luk. 23:34).
Yesus memproklamirkan agenda politik pembaharuannya,
seperti terdapat dalam Lukas 4:18-19:
Roh Tuhan ada pada-Ku oleh sebab Ia telah mengurapi
Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang
miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan
penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan
orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun
rahmat Tuhan telah datang
Yesus sangat memahami bahwa akar utama kemiskinan
adalah korupsi dan manipulasi yang merajalela pada semua
lapisan masyarakat terutama pada birokrasi pemerintahan yang
berpusat di Bait Allah. Dengan berani Yesus melakukan demo
besar-besaran untuk mereformasi Bait Allah. Ketika Yesus
Yesus yang dalam pelayanan d an pengabdian-Nya bagi kemanusiaan harus
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan poltik yang tidak
manusiawi pada saat itu.
96 Bnd. C.S. Song,
Sebutkalah Nama-Nama Kami: Teologi Cerita
dari Perspektif Asia , terj. Ny. Yohanna Sidarta (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989), hlm. 215-238.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

66

mengusir para pedagang dari Bait Allah di Yerusalem, Ia


melakukan penyerangan terhadap jantung kekuasaan yang ada
pada waktu itu. Pada waktu itu, Bait Allah berfungsi sebagai
Kantor Imam Besar (Eksekutif), Kantor Sanhedrin (Legislatif) ,
Pusat Peradilan
(Yudikatif) , dan Bank Sentral yang sudah
dijadikan sebagai sarang penyamun Imam-imam kepala dan
Ahli-ahli Taurat yang mendengar peristiwa itu bermaksud
membinasakan Yesus, tetapi mereka takut karena Yesus
berdemonstrasi bersama orang banyak. Tetapi peristiwa itu
menjadi alasan utama untuk menjadikan Yesus sebagai musuh
utama kekuasaan. Karena itu, bagi orang Farisi dan ahli-ahli
taurat, Ia harus dilenyapkan. Karena gerakan itulah Yesus
terancam hukuman mati, seperti tertulis dalam Yohanes 2:17:
Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku
Yesus juga menentang pendewaan Kaisar. Pada zaman itu,
Kaisar dianggap Tuhan yang harus dimuliakan dan diagungkan
Karena itulah Yesus mengajar murid-murid-Nya berdoa Bapa
kami yang di sorga; dikuduskanlah Nama-Mu; Datanglah
Kerajaan-Mu; Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga
Murid-murid diajar untuk mengucapkan doa yang menentang
sikap mengkultuskan (mensakralkan) Kaisar. Kaisar hanayalah
manusia biasa yang tidak pantas dikultuskan dan menjadi
harapan politis yang utana. Tuhanlah yang harus dikultuskan. Jadi,
Doa Bapak Kamiyang diajarkan oleh Yesus dalam Injil Matius ini
sarat dengan perjuangan politik.
Ketika Yesus ditanya tentang pajak kepada Kaisar
(Negara), Ia mengatakan prinsip pemisahan Gereja dengan
Negara secara lugas dan tajam Berikanlah kepada Kaisar apa
yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan berikanlah kepada
Allah yang wajib kamu berikan kepada Allah (Matius 22 21) Oleh

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

67

orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat, jawaban Yesus ini juga hendak
dijadikan sebagai cara untuk menjerat Yesus.
Perjumpaan Yesus dengan otoritas politik imperium
Romawi memang lebih tragis. Yesus diserahkan ke tangan
penguasa Romawi, Pontius Pilatus dan diadili di bawah hukum
Romawi. Keputusan yang sarat nuansa dan pertimbangan politis
menggiring Yesus ke puncak tragedi: Ia harus disalibkan meski
padanya tidak ditemukan kesalahan. Dengan keputusan
penyaliban yang berdasarkan otoritas Pontius Pilatus itu, maka
kematian Yesus berada dalam tradisi dan budaya politik Romawi.
Melalui jalan salib dan kematian
(via dolorosa) , Yesus
memasuki wilayah budaya dan politik imperium Romawi. Suatu
cara yang teramat unik dan khas yang tidak mungkin terjadi atas
sejarah manusia biasa. Imperium Romawi yang merupakan
kekuatan politik nan digdaya pada masa itu kelihatannya menjadi
representasi tatanan politik dunia. Masuknya Yesus melalui jalan
kematian yang sangat unik dan khas itu, menandai suatu dimensi,
wacana, dan spektrum baru menyangkut konsepsi politik
teokratis ke seluruh dunia: supaya semua lidah menyebut dan
segala lutut bertelut! Kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus
ke sorga merupakan cara Tuhan yang sangat ampuh untuk
merubah moral politik dunia, dan pada akhirnya akan mampu
memanifestasikan Kerajaan Allah di muka bumi ini.
4. Moral politik Paulus
Nats yang paling sering mendapat perhatian mengenai
persoalan politik adalah tulisan Paulus (Rm. 13:17). Tanpa
mengabaikan adanya perspektif lain yang ada di dalam kitab-kitab
lain, teologi Paulus dalam Rm. 13:17, harus diakui telah begitu
banyak digunakan dalam perumusan-perumusan politik Kristen,
atau sikap Kristen terhadap negara (baca: pemerintah).

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

68

Teologi politik Paulus dalam Rm. 13-17 merupakan


tema sentral teologi politik kekristenan selama berabad-abad
dalam merespons kehadiran Negara. Di tengah perputaran politik,
terutama bila muncul ketegangan hubungan umat Kristen dengan
Negara, tulisan Paulus tersebut sering menjadi acuan. Parahnya,
banyak kalangan yang memperlakukannya sebagai doktrin yang
menuntut kepatuhan, tanpa daya kritisi sama sekali. Hal seperti
itu tentu akan menimbulkan persoalan, bila makna dan tujuan
dari surat Paulus kepada jemaat di Roma itu tidak ditangkap
secara benar dan utuh.
Pada zaman Paulus, orang Kristen merupakan sekte
minoritas, yang status politiknya tidak jelas dan peran politiknya
tidak ada. Bahkan, orang Kristen dianggap sebagai pengacau,
karena mereka adalah pengikut Yesus yang belum lama
dieksekusi penguasa Roma dengan hukuman mati (salib) dengan
tuduhan subersi karena Yesus menyatakan diri sebagai Raja
(Markus 15:26).
Kekaisaran Romawi pada zaman itu bukanlah
pemerintahan demokratis, di mana hak-hak sipil ditonjolkan.
Kaisar-kaisar memposisikan diri sebagai dewa yang
mengharuskan segenap rakyat sujud dan menyembah, kalau tidak
taat akan dihukum. Ketika Paulus menulis suratnya, Nero adalah
kaisar yang berkuasa, yang menganiaya orang Kristen, karena
mereka menolak menyembah Kaisar. Ternyata, kekristenan
semakin dihambat, namun ia semakin merambat. Justru dalam
konteks sosial-politik yang amat memprihatinkan bagi umat
Kristen itulah Paulus meletakkan landasan teologis sikap politik
umat Kristen.
Sebagai kelompok minoritas yang lemah orang Kristen
pada saat itu tidak mempunyai kekuatan yang berarti, kecuali
kekuatan iman, untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan dan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

69

proses politik. Tetapi Paulus justru mengingatkan orang Kristen di


Roma agar tidak terpancing ke dalam dua sikap ekstrim, yang
sering terjadi saat itu, yaitu: (1) gerakan radikal (gerakan politik
bawah tanah) seperti dilakukan kaum Zelot yang melakukan
perlawanan dengan cara-cara kekerasan, terorisme, untuk
memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Romawi, dan
merebut kekuasaan. (2) gerakan askese
(apolitik) yang menarik
diri (ke gurun pasir) dari realitas sosial-kemasyarakatan atas
dasar iman vertikal, yang menganggap segala yang berbau
duniawi adalah dosa yang harus dihindari. Sikap Paulus adalah
sikap moderat.
Bagi Paulus negara adalah institusi illahi
(a divine
institution) dengan kuasa yang datang dari Allah. Negara
diciptakan Tuhan untuk menjalankan fungsi menciptakan
keadilan, perlindungan, dan pelayanan publik. Negara berfungsi
mencegah terjadinya hukum rimba (yang kuat menelan yang
lemah). Negara menjaga dunia ini agar tidak
khaos (baca:
anarkhi). Karena itu, Gereja juga dipanggil mengupayakan
terciptanya damai (kesejahteraan) di dalam negara, karena dalam
negara yang makmur dan damai, gereja dapat hidup lebih baik
(bnd. Yeremia 29:7).
Di Indonesia (dalam Pembukaan UUD 45) tugas
pemerintah adalah melindungi Negara dan masyarakat,
meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan turut memperjuangkan perdamaian dunia.
Paulus menegaskan kepada pemerintah yang menjadi pelayanpelayan dan hamba-hamba Allah setiap orang harus takluk,
hormat dan loyal (bdk. 1 Petrus 2:17). Untuk pemerintah seperti
itu orang Kristen harus taat, seperti dalam hal membayar pajak
(pribadi, bumi, kekayaan dll).

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

70

Politik Paulus cenderung akomodatif dan moderat.


Soalnya Paulus adalah seorang warga Roma, berbeda dengan
Yesus, yang warga Yahudi, jajahan Roma. Tak heran jika politik
Yesus berbeda dengan politik Paulus.
Mengapa Paulus mengajarkan bahwa tiap-tiap orang
harus takhluk kepada pemerintah (legitimasi teologis yang
dengan kuat diberikan Paulus kepada pemerintah.
Pertama ,
pernyataan Tiap-tiap orang harus takhluk Tiap-tiap orang
diterjemahkan dari pasa psuke yang arti harfiahnya setiap jiwa
Jadi, berlaku umum, Kristen dan bukan Kristen. Tetapi, meskipun
demikian, maksud Paulus hanya terbatas pada jemaat Kristen,
khususnya di Roma Mengenai istilah takhluk diambil dari kata
kerja hupotassesthai yang arti harfiahnya adalah
menempatkan
diri di bawah . Dengan demikian, sikap takhluk merupakan bentuk
aktif yang berangkat dari diri sendiri. Takhluk itu berdasarkan
pilihan sadar dari orang yang bersangkutan, bukan sesuatu yang
dipaksakan dari luar. Hal itu diperkuat pada ayat 5 yang dengan
eskplisit menyebutkan pemakaian hati nurani. Makna yang dapat
diambil adalah: orang-orang Kristen harus memiliki kesadaran
bahwa dirinya memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap
pemerintah. Meskipun sudah diselamatkan Yesus, bukan berarti
orang Kristen berdiri di atas atau di luar hukum dan di atas
penguasa-penguasa.
Kedua pemerintah yang di atasnya yang diterjemahkan
dari exousia. Istilah yang lebih tepat dan konkret adalah penguasapenguasa yang dapat dipadankan dengan lurah, camat, koramil,
kapolsek, dan seterusnya. Penjelasan yang cukup baik mengenai
pengertian yang diberikan oleh Thomas van den End dalam
bukunya Tafsiran Alkitab: Surat Roma , sebagai berikut.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

71

Menurut beberapa ahli penguasa-penguasa di sini


mempunyai arti ganda. Sebab di belakang insan-insan
penguasa bersembunyi kuasa-kuasa yaitu malaikatmalaikat. Mereka inilah yang memerintah dunia, dan para
penguasa duniawi hanyalah alat di tangan mereka. Oleh
karena itu, orang Kristen harus lebih taat lagi kepada
penguasa-penguasa duniawi. Dalam hubungan dengan
teori ini perlu dicatat, bahwa dalam PB, istilah exousia,
memang dipakai sebagai sebutan malaikat-malaikat (1
Kor. 15:24;, Ef. 1;21, 3:10, 6:12; Kol. 1:16 dan 2:10, 15).
Akan tetapi tidak pernah orang-orang Kristen disuruh
takhluk kepada kuasa-kuasa itu; sebaliknya kuasa-kuasa
itu ditakhlukkan Kristus. (1 Kor. 15:24; Kol. 2;15). Maka, di
sini dan dalam 1 Kor. 2:8 dan Tit. 3:1 yang dimaksud
adalah penguasa-penguasa semata 9 7
Ketiga berasal dan ditetapkan oleh Allah dari
hupo
theou (berasal) lebih tepat diterjemahkan oleh Allah dan
tetagmenoi yang artinya ditetapkan merupakan legitimasi
teologis yang sangat kuat terhadap pemerintah. Tidak hanya itu,
barang siapa melawan ia melawan ketetapan Allah Masih juga
ditambah istilah hamba dari kata
diakonos. Pemerintah menjadi
institusi yang mahahebat dan hal ini memang kelihatannya tidak
ditolak Paulus. Jadi, pemerintah di mata Paulus adalah pemerintah
yang baik, sebab tidak mungkin Allah memberi, menetapkan yang
jahat dan juga hamba Allah pasti bukan hamba yang jahat.
Klaim teologis bahwa pemerintah itu berasal ditetapkan
dan hamba Allah sesunguhnya mnegandung konsepsi politik
yang luar biasa. Justru di situlah totalitas dan inti makna politik
97

Thomas van den End,


BPK Gunung Mulia, 1997 ), hlm. 600.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Tafsiran Alkitab: Surat Roma

(Jakarta:

72

teokrasi tetap merupakan garis konsisten para rasul. Bahkan


Paulus seperti mengulang gerak Israel untuk memasuki wilayah
politik dengan segala perangkatnya yang sudah ada dan mapan,
tetapi kemudian mematahkan tulang punggung substansi dan
prinsip dasarnya Pengenaan istilah berasal ditetapkan dan
hamba Allah merupakan pengulangan dari tradisi Israel (yang
teokratis) bahwa Yahweh adalah Tuhan dan Raja.
Keempat , pemahaman eskatologis Paulus, telah salah
ditanggapi jemaat, termasuk di Roma. Bagi beberapa jemaat dunia
yang temporal ini tidak perlu, karena itu mereka mementingkan
kedatangan Kristus yang kedua kali. Paulus hendak
mengembalikan mereka kepada etika Kristen, termasuk etika
politik. Paulus menegaskan, bahwa meskipun orang Kristen
menantikan kedatangan Yesus untuk kedua kalinya
(Second
Coming), bukan berarti dunia ini harus diabaikan, disangkal dan
ditentang, tetapi justru harus dilayani.
Menurut Saut Sirait, orang Kristen harus memahami betul
makna Rm. 13:17 secara sungguh-sungguh. Surat Paulus
tersebut bukan menjadi suatu landasan teologis kepatuhan orang
Kristen kepada pemerintah dalam kondisi bagaimana pun, sebagai
berikut.
Banyak kalangan yang mempertanyakan dan
mempersoalkan pemerintah yang bobrok dan jahat dalam
hubungannya dengan legitimasi teologis di dalam Rm.
13:17 itu. Salah kaprah terjadi karena surat tersebut
dijadikan doktrin politik baku, terutama dalam hubungan
agama dan negara. Bukan saja akan timpang sebelah,
melainkan menyesatkan iman orang-orang Kristen sendiri.
Paulus berangkat dari pandangan yang positif, untuk
tujuan yang positif dan berjuang bagi lahirnya sikap

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

73

Kristen yang positif, bagi adanya penguasa-penguasa yang


positif. Karena itu, setiap usaha menjadikan Rm. 13:17
sebagai doktrin politik, akan membuat hubungan agama
dengan negara kacau balau, mendatangkan bencana dan
mengundang kembalinya bentuk ontokratisme politik
98
Dengan demikian, pada dasarnya, sikap politik Paulus ini tidak
bertentangan dengan sikap politik Yesus. Perbedaannya adalah
Yesus dan Paulus menghadapi kasus politik yang berbeda dan
mereka hidup pada situasi politik yang berbeda juga.
5. Moral politik dalam kepemimpinan Gereja mula-mula
Kekuasaan dan politik pun juga bisa ditemukan dalam
kehidupan bergereja jemaat mula-mula Perjanjian Baru. Gereja
sebagai organisasi memungkinkan di dalamnya terdapat
pengaturan dan pembagian kekuasaan. Berkenaan dengan hal ini
sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang konsepsi politik
perlu juga disadari bahwa politik bukanlah kegiatan yang terjadi
hanya di luar gereja saja. Politik merupakan kegiatan yang bisa
terjadi dalam komunitas mana pun, besar maupun kecil, karena
secara sederhana politik adalah sebuah upaya pengaturan
kehidupan bersama. Dengan landasan ini, maka gereja pun dapat
disebut sebuah realitas politik. Itu berarti bahwa di dalam gereja
juga bisa ditemukan sebuah bentuk dan kegiatan politik.
Kepedulian akan masalah-masalah di atas bisa ditemukan
dalam Surat Petrus. 9 9 1 Petrus 5:14 merupakan kepedulian
98

Saut Sirait,

op cit. , hlm. 132133.

99

Surat 1 Petrus dalam penggolongannya dimasukkan dalam


kategori surat-surat
am . Surat ini dimaksudkan untuk umum, artinya untuk

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

74

Rasul Petrus terhadap masalah pengaturan dan kekuasaan dalam


kehidupan berjemaat Petrus mengatakan Aku menasihatkan
kamu para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua
dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian
dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak (1 Petrus 5 1)
1 0 0 baca:
Kata
parakaloo ) oleh TB LAI
diterjemahkan dengan menasihatkan
1 0 1 Kata menasehatkan
bukan hanya menunjukkan aktivitas verbal saja, seperti seorang
atasan memberikan petunjuk kepada bawahannya.
Konteks menasihatkan tersebut memposisikan penulis
surat (Rasul Petrus) dalam dua fungsi.
Pertama , sebagai teman
penatua . Para penatua (Yun.: presbyteroi) dari mulanya telah
diangkat untuk melaksanakan pemeliharaan rohani di gerejagereja yang belum dewasa yang tumbuh berkat pekabaran Injil
(bnd. Kis. 14:23; 20:17).
teman penatua (Yun.:
1 0 2 Frase

semua jemaat Kristen di mana saja. Jika diperhatikan beberapa ayat berijkut:
1:1 2 dan 5:1214, maka dapat diterima kalau dikatakan bahwa 1 Petrus
adalah surat yang dikirim kepada alamat (penerima) yang jelas dan
pengirimnya pu n jelas, walaupun dengan perantaraan Silwanus. Menurut 1
Petrus 1:3, Rasul Petrus menuliskan surat kepada o rang -orang pendatang,
yaitu orang-orang yang dipilih dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat
kepada Kristus. Tetapi penerima (baca: pembaca) Surat 1 Petrus adalah
orang-orang Kristen non-Yahudi (1:14, 18; 2:29; 4:3) yang berad a di bagian
selatan propinsi Galatia (Iko nium, Listra, Derbe). Di sana terdapat juga
orang-orang Yahudi (Kis. 13, 14).
100

Kata kerja orang pertama tunggal:


present active indikative
pertama tunggal
101
Kata ini bisa juga diterjemahkan dengan bermacam pengertian
antara lain:
memohon, meminta, mendesak, memberikan semangat,
mengundang, menuntut.
102 David H. Wheaton, 1 Petrus dalam Donald Guthrie, et al.,
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius Wahyu.
Cet. Ke-9. (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996), hlm. 832.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

75

presbyterous oun en humin


) ini menunjukkan bahwa ia
memposisikan diri setara/sederajat dengan para penatua
103
tersebut, sehingga menasihatkan tersebut tidaklah bersifat
subordinasi: dari atasan kepada bawahan atau dari senior kepada
yunior , melainkan dari seseorang yang mempunyai kedudukan
yang sama. Dengan menyebut teman penatua, yakni
menempatkan diri setara dengan mereka, Petrus mementingkan
kerinduan kesatuan dengan orang-orang yang diajaknya.
104
Tindakan ini adalah tindakan (baca: kebijakan) politis.
Kedua, Petrus menyebutkan dirinya sebagai
saksi
penderitaan Kristus (martus toon tou patheematoon). Istilah ini
lebih menunjuk pada otoritas dari nasihat itu, walaupun dalam
kedudukannya yang setara sebagai sesama penatua, tetapi Petrus
memposisikan diri sebagai saksi dari penderitaan Kristus.
105
Sebagai saksi (mata) penderitaan Kristus, Petrus berwibawa
menegur para penatua dan mengatur jabatan mereka. Jadi
setidaknya walaupun dalam kedudukannya yang setara (sebagai
penatua), tetapi Petrus bukannya tanpa otoritas tertentu;
103

Jabatan penatua bukanlah suatu jabatan yang baru muncul dalam


kalangan orang percaya. Posisi penatua sudah terdap at di kalangan bangsa
Israel, di mana mereka bekerja di segala bidang kehidupan masyarakat (mis.
Bil 11:16-30, 1 Raj. 20:8; 2 1:11, Ul. 25:7). Penatua adalah suatu jabatan yang
menunjukkan imamat istimewa selain imamat umum. Tugas utama mereka
adalah penggembalaan. Karena itu, pada permulaan gereja mereka bukan
hanya disebut penatua yang menunjukkan kedudukan mereka, tetapi juga
episkopoi (usk up -uskup, penilik-penilik) u ntuk menyatakan jabatannya.
104
David H. Wheaton,
op cit. , hlm. 832.
105 Saksi merupakan istilah yurid is dalam suatu proses pengadilan,
dalam upaya pengumpulan bahan pertimbangan untuk pengamb ilan
keputusan yang seadil-adilnya, maka hakim mengundang dan pen yu mpah
sejumlah orang sebagai saksi, sehingga kesaksian merupakan bagian yang
penting dalam proses pengadilan dan berberan dalam menentukan kep utusan
akhir. Begitulah istilah yang semula digunakan di ruang pengadilan telah
berkembang menjadi sebuah konsep yang sentral dalam iman Kristen.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

76

seseorang yang akan mendapatkan bagian dalam kemuliaan,


sebagai saksi penderitaan atau lebih tepat
sebagai saksi yang turut
merasakan penderitaan Kristus.
Hal ini berkaitan dengan
kemuliaan (Yun.: doksa ). Penderitaan dan kemuliaan setidaknya
juga menunjukkan pada pengharapan di tengah situasi jemaat di
Pontus, Galatia, Kapodokia, Asia Kecil dan Bitinia, dimana surat
Petrus ini ditujukan. Kepada mereka, Petrus hendak memotivasi
warga jemaat untuk hidup dalam pengharapan akan masa depan
kehidupan gereja yang lebih baik.
Sebagai para pemimpin atau golongan yang berkuasa
dalam kehidupan jemaat, Petrus menasihatkan, atau lebih tepat
memerintahkan mereka untuk menggembalakan. Gambaran
tentang gembala merupakan gambaran yang tidak asing lagi bagi
orang Kristen Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan
digambarkan sebagai sosok gembala (l ih. Mazmur 23), yang
merupakan gambaran. Dalam 2 Samuel 5:2, sosok gembala
dipakai untuk menunjuk pada kedudukan raja (Daud). Perintah
untuk menggembalakan adalah suatu gambaran aktivitas dalam
rangka menuntun domba-domba supaya tidak tersesat, melainkan
membimbing mereka ke padang rumput yang hijau di mana
domba-domba tersebut tercukupi kebutuhannya. Selain itu,
gembala juga berkewajiban melindungi domba-dombanya dari
serangan pemangsa, misalnya dari serigala. Perintah ini juga
pernah diucapkan Tuhan Yesus kepada Petrus Gembalakanlah
domba-domba-Ku (Yohanes 21 15-17). Perintah ini memiliki
kaitan yang sangat erat dengan mengasihi Yesus Kristus.
Gembala tidak memerintah
1 0 6 dengan tangan paksa.
Petrus mengatakan Gembalakanlah kawanan domba Allah yang
Memerinta h menyatakan sikap yang lazim pada seorang atasan
kepada bawahanhya dalam kekuasaan duniawi (bnd. Mrk. 10:42; di mana
kata kerja yang sama dipakai), tetapi pemimpin Kristen bukannya
106

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

77

ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai


dengan kehendak Allah, dan jangan karena kamu mencari
keuntungan, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak
Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan
pengabdian diri Anjuran (baca perintah) jangan dengan paksa
agaknya lebih tepat jika diterjemahkan dengan jangan dengan
terpaksa (terjemahan ini dekat dengan NRS
not under
compulsion) ini dimungkinkan melihat kondisi sosial jemaat
tersebut, di tengah situasi penderitaan, setidaknya sedikit yang
bersedia untuk menjadi pemimpin jemaat, selain beresiko jabatan
tersebut setidaknya mungkin malah menambah penderitaan dan
akan terjadi bahwa di kemudian hari jabatan ini terasa
membebankan. Karena itu, yang dituntut adalah kesukarelaan
dari mereka, yakni pelaksanaan kewajiban dengan gembira dan
atas keinginan sendiri. Ini semua ditunjukkan hanya kepada Allah
saja.
Petrus juga mengingatkan akan kemungkinan bahaya
materi, yang terwujud dalam keserakahan. Jabatan sebagai
pemimpin setidaknya membuat mereka dekat dengan akses
keuangan yang terkumpul dari kantong jemaat tersebut. Untuk
menghindari hal tersebut dituntut moral pengabdian diri dari
para pemimpin tersebut.
Petrus juga mengingatkan akan bahaya lain dari
kekuasaan yang mereka pegang Janganlah kamu berbuat seolaholah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan
kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan
domba itu (1 Petrus 5 3) Hal ini lebih menggambarkan suatu
mempunyai wewenang tanpa batas dan memeras orang-orang yang
dipercayakan kepadanya. Seorang pemimp in Kristen wajib menjadi teladan
yang memberikan kep ada mereka segala sesuatu yang dapat dilayankannya
dalam bidang p engajaran, pembinaan rohani dsb.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

78

upaya seseorang yang secara berlebihan menunjukkan kuasa yang


dimilikinya (otoriter).
Apakah ini merupakan gejala yang sudah terjadi di tengahtengah jemaat atau merupakan antisipasi Rasul Petrus akan
situasi yang mungkin saja akan terjadi? Secara psikologis ada
kemungkinan bahwa seseorang yang hidup dalam kondisi yang
tertindas dan menderita bisa mengidentifikasikan dirinya
sebagaimana penindas. Sebagai contoh, Indonesia merupakan
negara bekas jajahan Belanda, dan dalam banyak hukum
tatanegara Indonesia banyak mengadopsi (baca mengkopi)
sistem hukum Belanda yang diterapkannya selama menjadi
penjajah, sehingga justru ada banyak deskriminasi dalam sistem
adopsi tersebut. Sebagaimana dalam ilmu etika dikenal bahwa
mentalitas seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan/kondisi
sosial di mana dia hidup, maka setidaknya Petrus hendak
mengantisipasi hal tersebut.
Keadaan yang terjadi pada jemaat adalah penderitaan
(bahkan mungkin sampai kepada penyiksaan), sehingga dapat
dimengerti apabila mereka dihinggapi oleh suatu ketakutan lalu
mempunyai suatu mentalitas orang-orang yang tidak berdaya;
orang-orang yang dibenci oleh dunia sekitarnya, orang-orang
yang beranggapan dan berperasaan selalu dalam bahaya dan
penderitaan, orang-orang yang selalu didiskriminasi. Singkatnya,
sikap ini disebut persecuted mentalitas . Mentalitas seperti inilah
yang hendak ditolak dengan suatu ekklesiologi yang jelas dari 1
Petrus, yang diharapkan dapat menjadi suatu
counter atas realitas
sosio-historis yang tidak menguntungkan saat itu.
Para penatua harus memberi suatu teladan kepada umat
dalam pelaksanaan tugas yang mereka emban. Sama seperti
Kristus, mereka pun harus berjalan di depan kawanan dombadomba yang mereka pelihara, memberikan contoh, dan jejak

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

79

langkah sebagai petunjuk terbaik kepada mereka. Hal ini


diungkapkan oleh Petrus sebagaimana yang diungkapkan 1
Petrus 2:21 sebagai berikut Sebab untuk itulah kamu
dipanggil, karena Kristus pun telah menderita dan telah
meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya
Supaya seseorang dapat memimpin orang-orang bawahan dengan
baik, maka seseorang itu harus selalu memberi contoh tentang
pelaksanaan tugasnya setiap hari. Tentunya juga harus didasari
oleh perintah Yesus sendiri untuk menjadi pemimpin yang berhati
hamba Barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara
kamu hendaklah ia menjadi hamba untuk semua (Markus 10 44)
Rasul Petrus tidak bermaksud untuk menolak sistem
hirarki yang ada dalam kehidupan jemaat, walaupun ada bahayabahaya dari sistem tersebut. Petrus ingin memberikan dasar yang
kuat dan tepat dari cara berpolitik tersebut. Petrus menghendaki
jemaat untuk meninggalkan kepentingan diri sendiri
(selfinterest) . Ini merupakan politik alternatif atas realitas sosiokultural yang tidak menguntungkan saat itu. Dalam penderitaan
dan penindasan yang dialami oleh gereja, diharapkan terciptanya
suatu kehidupan berjemaat yang kondusif. Semua ini tentunya
sangat dipengaruhi dari pola kepemimpinan yang ada dalam
jemaat. Petrus sangat menyayangkan sistem pemerintahan
(gereja) yang otoriter, sebagaimana sering ditunjukkan oleh
lembaga-lembaga pemerintahan duniawi. Kekuasaan justru
merupakan kesempatan di mana seseorang bias menjadi pelayan
bagi orang lain. Keberadaan bagi orang lain untuk membantu dan
melayani merupakan bagian dari hakikat gereja.
Pada dasarnya, nasihat Petrus tersebut di atas tidak hanya
berlaku dalam kehidupan gereja. Dalam penataan politik, yakni
pengaturan dan pembagian kekuasaan dalam Negara
(sebagaimana layaknya dalam negara demokratis), orang Kristen

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

80

seharusnya menunjukkan sikap moral seperti nasihat Petrus


tersebut. Dengan demikian, moral politik harus didasarkan pada
pemahaman bahwa kekuasaan yang ada bukanlah untuk
menguasai atau memaksa orang lain, melainkan untuk melayani
orang-per-orang dengan keadilan, kebenaran, dan pelayanan yang
rela menjadi hamba masyarakat, atau pelayanan yang
berbela
rasa.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas tentang kajian politik dalam PL
dan PB, dapat disimpulkan bahwa moral politik Kristen yang
didasarkan pada perspektif Alkitab adalah moral politik Kerajaan
Allah di mana terwujudnya suatu tatatan kehidupan yang
memungkinkan seluruh masyarakat manusia hidup dalam
kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan. Penulis
mengambil beberapa pokok kesimpulan yang dapat menjadi
acuan membangun pemahaman moral politik Kristen yang
alkitabiah, sebagai berikut.
Pertama , bahwa politik bukanlah
sesuatu pantas untuk dianggap kotor, sekalipun banyak politisi
menunjukkan sikap moral yang kotor. Dalam sejarah Israel,
ternyata banyak juga ditemukan raja yang memerintah dengan
baik. Rasul Paulus juga memuji pemerintah, bahkan meminta
orang percaya untuk mendoakan mereka supaya memerintah
dengan baik. Hal ini memiliki maksud positif bahwa politik yang
dijalankan oleh pemerintah bukanlah sesuatu yang kotor dan
tidak pantas untuk orang pecaya. Dalam PL, gerakan kenabian
justru memiliki tendensi politis sebagai koreksi terhadap kinerja
pemerintah yang corrupt , kehidupan para imam, bahkan sikap
umat Israel yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Jadi, atas
prakarsa ilahi Allah menggerakkan para nabi untuk

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

81

menyampaikan nilai-nilai yang pantas dihidupi oleh umat-Nya.


Gerakan kenabian merupakan gerakan politis.
Kedua, adalah sikap yang tidak pantas menurut moral
kristiani jika orang percaya menolak politik. Jika orang percaya
menolak politik, hal itu berarti ia menolak negara dan pemerintah.
Rasul Paulus malah dengan tegas mengatakan bahwa negara dan
pemerintah adalah lembaga yang didirikan oleh Allah untuk
merealisasikan kehendak-Nya.
Ketiga, mengacu pada yang disebutkan pada bagian
pertama di atas, politik itu tidak terbatas pada pengaturan dan
pembagian kekuasaan pada suatu negara, misalnya melalui
kehadiran partai-partai politik, melainkan memiliki cakupan yang
sangat luas. Kritik terhadap pemerintah juga sebagaimana
ditunjukkan oleh nabi-nabi PL merupakan tindakan politis.
Menjadi warga negara yang baik, pada dasarnya, juga merupakan
sikap politis. Politik tidak hanya berbicara tentang pemerintahan,
negara, dan kegiatan memerintah, atau kekuasaan untuk
menjalankan pemerintahan, melainkan juga semua usaha dan
kepedualian untuk kesejahteraan bersama (baca: negara).
Keempat , gerakan kenabian dalam PL dibangkitkan oleh
Allah untuk membela rakyat yang tertindas atas kesewenangwenangan raja atau penguasa tertentu, dan ia selalu membela
mereka yang tertindas berdasarkan nilai-nilai yang ditentukan
oleh Allah sendiri. Oleh karena itu, jika pemerintah salah atau
corrupt dalam menjalankan tugasnya, adalah tugas rakyat untuk
mengoreksinya melalui aspirasi politik (dalam konteks modern
sekarang ini) atau ketidaksetujuan terhadap tindakan pemerintah.
Misalnya, dalam konteks Indonesia, melalui lembaga atau partai
politik. Bentuk yang lain, demonstrasi merupakan salah satu
tindakan protes politis, hanya perlu dilakukan secara bermartabat

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

82

dan tidak melukai nilai-nilai kemanusian. Yesus Kristus pun


terlibat dalam demonstrasi di Bait Allah Yerusalem.
Kelima, moral politik yang telah ditunjukkan oleh nabinabi PL, Yesus, dan Paulus dalam PB, menunjukkan bahwa mereka
tidak kompromi atas kekuasaan pemerintah dan mereka tidak
takut menghadapi bahaya yang mengancam nyawa mereka demi
kebenaran Allah yang mereka pertaruhkan. Mereka menyuarakan
suara kebenaran (baca: suara kenabian) tidak untuk kepentingan
tertentu atau demi politik konspirasi tertentu. Mereka berpihak
kepada orang lemah, tertindas, dan termarjinalkan atas panggilan
perwujudan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Dalam kisah-kisah Alkitab hal ini justru diberi muatan teologis,
yakni bahwa Allahlah yang menggerakkan hal itu.
Keenam , pemerintah dan negara harus dipandang sebagai
institusi yang didirikan oleh Allah yang bertujuan untuk
merealisasikan kehendak-Nya, yakni menyatakan hukum-hukumNya dan mengusahakan kesejahteraan rakyat. Orang Kristen
harus tunduk kepada pemerintah yang dikehendaki Allah untuk
memerintah. Dalam sejarah bangsa-bangsa, memang belum
ditemukan sistem pemerintahan yang paling ideal. Allah memakai
setiap jenis atau model pemerintahan untuk mewujudkan
pemerintahan Allah yang termanifestasi melalui kehidupan umatNya.
Ketujuh , jika orang Kristen dipercayakan untuk kedudukan
dan tugas politis, ia harus memandangnya sebagai panggilan dan
pelayanan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ia harus
memerintah dengan nurani dan ketaatan terhadap hukum-hukum
Allah. Ia harus memahami, sekalipun ia bertugas dalam
kedudukannya sebagai pemerintah, ia harus melayani dengan
kebenaran dan kasih. Ia harus menunjukkan pembelaan terhadap
kaum lemah dan jaminan akan penegakan hukum yang

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

83

berkeadilan atas hak azasi manusia (HAM) sesuai dengan


keberadaannya sebagai manusia yang dicipta menurut gambar
dan rupa Allah. Politik Kristen adalah kekuasaan yang
menunjukkan mentalitas pelayan, bukan memerintah dengan
paksaan.

Bab III
Demokrasi Pancasila dan
Konteks Sosial Politik Indonesia

Krisis global ketidakadilan negara modern terletak pada praktik


kekuasaannya. Dilema antara kuasa dan ketidakadilan adalah
fakta universal yang dilakukan oleh para penguasa di seluruh
dunia. 1 0 7 Ditambah lagi, secara khusus dalam konteks keagamaan,
tirani mayoritas atas nama Tuhan dan legitimasi berdasarkan
konstitusi dan hukum, kelihatannya sering didukung (atau
sedikitnya dibiarkan) oleh pemerintah. Di sinilah negara dengan
segala macam pranata sosial-politiknya semakin melanggar HAM.
Untuk itulah demokrasi adalah suatu jalan yang niscaya,
walaupun tidak sempurna dan mutlak, tetapi dapat dianggap
gagasan ideal dalam konteks pluralitas dari masyarakat modern.

107

James W. Skillen,
International Politics and Demand for Global
Justice (Burlington: G.R Welch Co., 1981), hlm. 16 dst.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

84

Dalam hal ini, sikap orang Kristen menjadi acuh tak acuh,
karena alasan tidak ada urusan dengan masyarakat dan
pemerintah. Memang tugas gereja berlainan dengan pemerintah,
tetapi anggota gereja adalah penduduk dunia yang ditempatkan
Kristus di dalamnya. Selain kesaksian rohani, mereka juga harus
1 0 8 Dalam
berjuang secara kenabian atas masalah ketidakadilan.
pandangan Alkitab adalah bahwa esensi negara adalah keadilan
. ., sementara itu, tidak ada masyarakat di bumi ini yang secara
penuh mengekpresikan keadilan ( Dalam kaitannya dengan itu
tokoh Injili John Stott menyarankan pentingnya doktrin yang
lebih genap (complete) yang seharusnya dihubungkan dengan
keterlibatan orang Kristen di dalam masyarakat. 1 0 9 Oleh karena
itu, bagian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana prinsipprinsip demokrasi dapat dimengerti dan dipakai oleh orang
Kristen sebagai cara yang baik dalam kaitannya dengan
keberadaannya secara politis.
A. Demokrasi Pancasila
1. Akar-akar konsep demokrasi
Demokrasi adalah satu prinsip beradab yang selama ini
diperjuangkan oleh manusia modern, walaupun konsep
demokrasi yang sekarang dikenal ini berasal dari masyarakat dan
pemikiran Yunani pada abad ke-4 sM. Pada waktu itu
pemikirannya masih sangat sederhana, di mana sistem
108

Rob ert E. Webber,


The Secular Saint: A Case for Evangelical
Social Responsibility (Grand Rapids: Zo ndervan Publishing House, 1979),
hlm. 140.
109 John Stott,
Isu-isu Global Menantang Kepemimp inan Kristiani:
Penilaian Atas Masalah dan Sosial Kontemporer
, terj. (Jakarta:
YKBKB/OMF, 1984), hlm. 2. Menurutnya terlalu banyak orang Kristen
meredam suara hati nurani nya untuk menolak keterlibatan di dalam
masyarakat berdasarkan hikmat gadungan .

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

85

pengaturan (pemerintahan) masyarakat dalam kerangka negara


kota (polis), yang monolitik dan sederhana dalam bermasyarakat.
Kata demokrasi itu sendiri berasal dari kata benda
Yunani demos yang berarti penduduk atau masyarakat, dan kata
kerja Yunani kratein yang berarti memerintah atau mengatur.
Dalam pengertian modern, secara umum bermakna:
kekuasan ada
di tangan rakyat di dalam tiga dimensi (dari, oleh, untuk rakyat).
Pada waktu itu konsepnya adalah partisipasi yang bersifat
langsung dalam perkembangan suatu negara dan kompleksitas
penduduk serta perluasan geografis, khususnya di dalam
kekaisaran Romawi yang memunculkan prinsip perwakilan atau
perwalian. Pada situasi inilah terjadi pergeseran dan perluasan
wacana dari negara polis menjadi negara bangsa
(nation-state)
Sebenarnya, konsep demokrasi itu sendiri diolah secara
tidak langsung dari para pengkritiknya. 1 1 0 Persepsinya, di dalam
situasi pengaturan suatu negara harus mengingat dan memfokus
pada kepentingan penduduk atau kesejahteraan rakyat. Prinsip
demokrasi dibicarakan sebagai konsep ikutan di antara dua
sistem pemerintahan yang pada waktu itu sudah lebih umum dan
baku, yaitu otokrasi-monarkhi (kerajaan) dan aristokrasi (para
bangsawan) Perlu dicatat juga bahwa sebutan pengkritik bukan
berarti penentang tapi lebih berarti penantang ide/konsep
tentang demokrasi. Walau demikian, bukan berarti kedua konsep
kekuasaan yang lain tidak mendapat kritik atau tantangan dari
para filsuf.
Penulis akan menyebut dua orang filsuf besar yang
memikirkan tentang keadaan masyarakat, yaitu Plato dan
Aristoteles. Plato yang anti demokrasi menggumuli pertanyaan
manakah yang paling tidak baik antara monarkhi dan aristokrasi?
110

Lih. Robert A. Dahl,


(Jakarta: Yayasan Obor, 1992), hlm. 6.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

Demokrasi dan Para Pengkritiknya

, terj.

86

Kedua prinsip tersebut memang bertendensi terjatuh ke dalam


ekses negatifnya sendiri-sendiri, di mana monarkhi akan jatuh ke
dalam tirani; dan aristokrasi dapat gagal karena oligarkhi. Dalam
keadaan demikian kelas rakyat akan menjadi korban dan
terabaikan. Sedangkan Aristoteles mengisyaratkan bahwa
demokrasi adalah yang paling ideal namun belum tentu paling
baik. Karena baginya, yang paling baik adalah aristokrasi, asalkan
dijalankan oleh orang-orang yang berkompeten, dalam hal ini
para filsuf. Keragu-raguan akan demokrasi oleh karena
kebanyakkan rakyat adalah miskin, bodoh, dan tidak cakap untuk
memikirkan hal-hal kependudukan dan Negara serta cenderung
jatuh ke dalam anarkhisme. Singkatnya, premis tentang
demokrasi yang terpenting adalah
konsepsi kebaikan bersama di antara penduduk walau pada
waktu itu belum terumuskan secara jelas (sistematis dan formal).
Jadi, hal-hal politik sejak semula adalah masalah etika dan hakikat
moral lebih dari kekuasaan semata, seperti zaman sekarang.
Sebagai ciptaan yang berbeda, manusia bukan sekedar hidup,
tetapi hidup dengan baik sesuai hakikat dan kebutuhan sebagai
manusia artinya di luar komunitas politisnya manusia menjadi
makhluk hidup yang tidak sempurna 1 11 Inilah gagasan kuno dari
Aritoteles.
2. Demokrasi sebagai sistem politik modern
Di kemudian hari, John Lock menegaskan kembali, bahwa
politik adalah sesuatu yang alamiah yang didasarkan pada
kontrak sosial di dalam masyarakat demi kebaikan umum dan
jaminan atas hak-hak individual secara bersama-sama sebagai

111

J. Budziszewaki,
Written on the Heart: The Case for Natural
Law (Downers Grove: InterVarsity Press, 1997), hlm. 16 17.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

87

kebutuhan alamiah manusia. 1 1 2 Di zaman modern, demokrasi


menjadi sistem politik tertentu di dalam cara hidup manusia yang
modern untuk membatasi despotisme pada pemerintah atau
mencegah negara tirani.
Prinsip demokrasi yang modern berkembang di dalam
pola negara-bangsa (nation-state) . Di mana suatu negara yang
penduduknya sudah sangat pluralistik, teritorial kekuasaannya
lebih luas, masyarakatnya lebih plural yang meliputi agama,
ekonomi, pendidikan, etnik, tujuan, dll. Dalam hal ini, demokrasi
didasari oleh pembicaraan tentang kemanusiaan itu sendiri,
dalam arti martabatnya. Tepatnya adalah pembelaan hak-haknya
sebagai warga negara Hal ini merupakan pemikiran para tokoh
kemasyarakatan khususnya dalam tema kontrak sosial
masyarakat dan lebih khusus lagi dalam politik kekuasaan
negara. Jadi, dalam hal ini demokrasi sudah diperjuangkan dan
dibela secara terbuka dan sistematis (ideologi).
Khusus dalam kepentingan bagian ini, penulis mencatat
dua peristiwa besar di dalam sejarah perjuangan kemanusiaan di
dunia yang berkaitan dengan demokrasi. Pertama, revolusi
Amerika (1779) dengan pentingnya nilai-nilai individual yang
harus dimengerti sebagai penghargaan atas martabat individu di
dalam hak-haknya. Pada dasarnya prinsip tersebut sangat
dipengaruhi oleh kebajikan Kristen tentang kemuliaan akan
manusia yang diciptakan dalam imago Dei. Walaupun demokrasi
liberal di negara Amerika sekarang ini telah disapu oleh
sekularisme, namun masih teridentifikasi pengaruh iman Kristen
di antara para pendirinya dan kemudian hari dipertegas oleh
A Nation under God akibat tradisi
Lincoln dengan prinsip

112

Ibid.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

88

puritan. 1 1 3 Walau sekarang prinsip tersebut sedang diperdebatkan


lagi oleh para sarjana Kristen, dalam kaitannya dengan konstitusi
dalam dua pilihan yang berbeda, apakah
the treatment of
religious beliefs of the constitutions texts, or the role of religion in
the political theory of the Constitution. 1 1 4
Kedua, revolusi Perancis (1789) yang menumbangkan
tirani monarkhisme dan oligarkhi sekelompok pangeran kaya.
Gerakan ini menghasilkan tiga prinsip penting:
liberte, egalite dan
fraternite , yang dikenal sebagai dasar konseptual hak-hak azasi
manusia. Namun di kemudian hari teridentifikasi suatu
kedaulatan rakyat yang bersifat ateistik karena prinsip tersebut
telah lari dari Pemberi hak-hak dan tidak mengakui Sumber
kedaulatan rakyat adalah Allah yang otonom; yang pada
gilirannya akan berubah menjadi kedaulatan negara juga
115
Walau demikian, konsep sekular ini kemudian dikenali sebagai
kebebasan mengemukakan hak -haknya, perjuangan
persaudaraan antar manusia secara universal, dan kesadaran
persamaan derajat manusia
Terlepas dari ekses negatifnya individualisme
1 1 6 adalah
prinsip dasar pengakuan akan hak-hak azasi manusia secara
G.E. Gullivan, ed.,
A Nation Under God?
(Texas: Word Bo ok,
1976), hlm.27. Para penulis esai dalam buku ini mempertanyakan kembali
religiusitas Amerika saat ini.
114
John G. West, Jr., Religion and Constitution dalam Corwin E.
Smidth, ed. In God We Trust?: Religion & American Politcal Life
(Grand
Rapids: Baker Book, 2001), hlm. 39.
115 Hal ini diungkapkan Abraham Kuyper dalam bukunya
Lecturer
on Calvinism , terj. (Surabaya: Momentum, 2004), hl. 97-101, menurutnya
revolusi Perancis berlainan dengan revolusi Amerika, Inggris dan Belanda
yang mempertimbangkan faktor kedaulatan Allah, yang dipengaruhi
Calvinisme.
116
Ekses inilah yang pernah diantisipasi oleh Bun g Karno dalam
proses pembidanan negara Indonesia, di mana praktik kebebasan individu al
113

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

89

konseptual sedangkan universal adalah postulat bagi demokrasi


sekarang ini. Lebih jauh lagi, dalam proses demokratisasi, konsep
HAM adalah inti keadilan yang harus dijamin dan dilindungi oleh
negara dalam suatu hak-hak sipil dari warga negara, yaitu
berdasarkan konstitusi dan di dalam hukum yang berlaku. Dalam
perjalanan selanjutnya, sistem politik demokrasi melebur dengan
sistem ekonomi kapitalisme dan bahkan merangkul juga
sosialisme; selanjutnya dalam perpolitikan negara muncul konsep
liberal yang akhirnya di dalam konteks Barat demokrasi identik
dengan liberalisme dan sekaligus sebagai lawan abadi terhadap
sistem totaliter komunisme (juga fasisme)
Singkatnya, premis sosial dalam konsep demokrasi adalah
individualisme dalam masyarakat dengan penghargaan jaminan
dan perjuangan hak-hak dan martabat individu. Hal tersebut
terkandung dalam postulat logika kebersamaan secara eksplisit
yaitu suatu perjuangan hak-hak secara bersama-sama oleh warga
negara dalam kerangka kontrak sosial, dengan prinsip
musyawarah untuk mufakat dalam kepentingan bersama atau
orang banyak, di atas kepentingan golongan dan individu; yang
oleh Soekarno disebut gotong royong Namun prinsip tersebut
di dalam reformasi yang kebablasan sekarang ini, telah diabaikan
dengan dominasi voting suara mayoritas atau anarkisme massa.
Walaupun patut dikemukakan, bahwa suara terbanyak adalah sah
dan legal di dalam demokrasi, tetapi sejarah membuktikan
pendapat J J Rousseau bahwa suara terbanyak tidak berarti

yang kebablasan dan membuat anarkhisme serta kekacauan di dalam


masyarakat. Hal tersebut tentu tidak sesuai den gan nuansa keindonesiaan
yang pluralistik. Bahkan di negeri barat, individualisme berkaitan dengan
penolakan segala macam otoritas termasuk ag ama atau Allah, sehingga
menjadi ateisme dan sekularisme.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

90

pendapat umum 1 17 karena ekses politik uang dan


penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh primordialisme yang
dapat membengkokkan proses Pemilu, khususnya di tengah
11 8 Pendapat
kemiskinan dan ketidakterdidikan masyarakat.
umum yang intrinsik akan keluar kalau ada kebebasan keadilan
dan kesejahteraan (ekonomi dan politik). Jadi bukan karena
terpaksa atau karena ketidakacuhan masyarakat.
1 19 Munculnya
ide gelombang ketiga arus demokrasi mulai di Portugal tahun
1974 yang eksistensinya sangat berkaitan dengan keadaan
demokrasi di Indonesia. Sedikitnya saya melihat ada tiga fakta
yang dapat ditangkap dari gagasan di atas: 1) dalam konteks
globalisasi dan globalisme 2) keruntuhan kuasa tirani atau
diktator modern baik liberal maupun komunis, 3) dan realitas
fase transisi 1 20 Selain itu, dipentingkan juga peran oposisi dan
maraknya anarkhisme brutal yang sangat mewarnai situasi
demokratisasi di masyarakat. Jadi dalam hal ini, demokrasi telah
menjadi suatu sistem politik di mana dikaitkan secara khusus
sebagai cara pengambilan keputusan untuk pemerintahan yang
tadinya berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat
(kesepakatan) dan kepentingan orang banyak di atas golongan
dan pribadi yang sekarang sangat dipers empit maknanya dengan
voting saja Oleh karena itu apapun warna politiknya orang
=Pendapat umum pada mulanya dikemukakan oleh Machiavelli,
sebagai sesuatu kebaikan yang niscaya di dalam pikiran dan hati manusia,
lalu dikembangkan oleh Ro usseau dengan membagi dua cara secara internal
(tersembunyi) dan secara eksternal (terungkap). Dari cara yang kedua inilah
lahir kategori =suara terbanyak melalui pemilu (voting) di dalam demokrasi
modern ini.
118 Bernard Hennessy,
Pendapat Umum , terj. (Jakarta: Erlangga,
1989), hlm. 6.
119 John Stott,
op cit. , hlm. 46.
120
Lih. Samuel P. Huntington,
Demokratisasi Gelomb ang Ketiga
terj. (Jakarta: Grafiti, 1997).
117

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

91

Kristen cenderung memihak demokrasi daripada sistem politik


teokrasi, aristokrasi apalagi otokrasi; walaupun demokrasi
bukanlah sesuatu yang mutlak sempurna di dalam kehidupan
politik negara. 1 2 1 Khusus tentang sistem (politik) teokrasi pada
fenomena sekarang, penulis menunjuk pada kesetaraannya
dengan prinsip negara agama
Dalam kaitannya dengan proses demokratisasi Indonesia,
khususnya dalam suburnya fenomena partai politik yang berbasis
keagamaan termasuk Kristen Fakta bahwa parpol keagamaan
sebagai wadah koalisi (atau aliansi?) sangat menjamur untuk
menampung aspirasi rakyat tertentu yang tidak terpenuhi selama
ini. Namun bagi kekristenan secara keseluruhan, ternyata parpol
Kristen bukanlah suatu jalan keluar yang baik (menguntungkan)
baik dari segi ajaran dan praktis. 1 22 Hal ini berbeda dengan partai
Kristen di Jerman, yang sebenarnya adalah perjuangan humanissekular dari perspektif sosialis atau demokrat.
3. Karakteristik dan indikator sistem politik yang
demokratis
Sejak semula, pemahaman demokrasi dikaitkan pada
kemanusiaan, khususnya dalam hak-hak manusia yang mendasar
yang disebut hak azasi manusia Konsep HAM tersebut
mendasari kedaulatan rakyat
(demos) , sehingga konsep
demokrasi harus diaplikasikan secara universal, artinya di segala
121

John Stott, op cit. , hlm. 46.


Hal ini dikatakan bukan karena takut kekuatan politik Kristen
terpecah-pecah, tetapi politik apapun harus diperjuangkan secara general dan
tidak memp eralat faktor agama. Masyarakat harus diperjuangkan berdasarkan
kemanusiaannnya. Faktanya =politisasi agama dan =agamisasi politik sangat
meru sak sendi-sendi kemasyarakatan dan negara Indonesia. Kekristenan
bernilai Kerajaan Allah yang rohani dan tidak dapat dijalankan secara politis
atau memperalatkan politik apalagi dikendarai oleh partai politik.
122

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

92

tempat, setiap orang, dan segala waktu. Konsep tersebut


sebenarnya hadir di dalam pikiran manusia (normal) secara
universal, sehingga pada orang masa kini, prinsip ini dikatakan
niscaya di dalam kehidupan manusia modern dan beradab. Orang
Kristen harus memahami bahwa perjuangan demokrasinya
berdasarkan hak-hak dasar kemanusiaan yang universal dan hakhak sipilnya sebagai penduduk negara. Jadi, perjuangan keadilan
untuk semua orang yang dirampas hak-haknya sebagai manusia,
di manapun, kapanpun dan siapapun juga. Banyak penjelasan
telah dibuat dan dapat dirangkum menjadi 10 prinsip demokrasi
yang universal, antara lain sebagai berikut.
1. Kedaulatan Rakyat: kekuasaan ada di tangan rakyat (dari,
oleh dan untuk rakyat).
2. Pemerintahan berdasarkan konsensus: berdasarkan
kontrak sosial dan konstitusi Negara.
3. Kekuasaan mayoritas: berdasarkan Pemilu yang jujur dan
adil.
4. Perjuangan hak-hak minoritas: pembelaan pemerintah &
mayoritas.
5. Jaminan HAM: Konsensus hukum dan UU mejadi hak-hak
sipil.
6. Pemilu adil dan jujur: serta langsung bebas (rahasia?).
7. Persamaan hak di depan hukum: keadilan berdasarkan
kebenaran.
8. Proses hukum yang wajar: menolak campur tangan
penguasa, termasuk pengaruh mayoritas.
9. Pluralisme sosial ekonomi, sosial (dan agama?): mencari
kebaikan bersama dan titik equilibrium di antara ekstrimekstrim yang ada.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

93

10. Nilai-nilai toleransi, dialog, inklusif, sekularistik,


pragmatisme, kesepakatan dan kerjasama: karena faktor
kemajemukan dunia.
Secara umum suatu negara dikatakan demokratis karena
pemerintahnya mengakui dan berusaha melakukannya dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Penyelenggaraan
negara harus dilakukan dengan mengingat kesejahteraan rakyat
dalam seluruh lapangan kehidupan rakyat: ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, hankam, pendidikan, agama. Singkatnya,
sistem politik demokrasinya dengan menyadari aksioma
dari,
oleh, dan untuk rakyat serta aspirasi dan peran rakyatnya sebagai
warga negara. Dalam hal ini, visi dan misi suatu pemerintahan
yang demokratis dapat disarikan sebagai berikut..
1. Pemerintahan konstitusional: berdasarkan konsensus
yang diundangkan dalam UUD.
2. Pemilu jujur dan adil : bukan hanya langsung, umum,
bebas dan rahasia tetapi juga ada transparansi.
3. Disentralisasi kekuasaan: otonomi daerah untuk
mencegah otoriterianisme pusat.
4. Transparansi parlemen dalam proses RUU: harapan rakyat
sebagai konstituen
5. Sistem peradilan yang independen: bebas dari intervensi
penguasa eksekutif dan kekuasaan lainya.
6. Pembatasan waktu lembaga kepresidenan: kuasa presiden
dengan bawahannya adalah abdi masyarakat dan untuk
mencegah munculnya penguasa diktatorisme.
7. Media yang bebas: sarana kontrol sosial terhadap
pemerintah dan katalisator perjuangan masyarakat.
8. Perkembangan kelompok-kelompok kepentingan di
masyarakat: munculnya banyak organisasi non

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

94

pemerintah (LSM) dalam rangka dialog dan kontrol sosial


juga.
9. Perlindungan atas hak-hak minoritas: agama dan etnik
dari kaum mayoritas yang berpengaruh atau pihak
berkuasa atas oposisi.
10. Jaminan hak informasi: transparansi dan hak untuk tahu
bagi masyarakat dan bebas untuk mencari tahu sesuai
hukum yang berlaku.
11. Kontrol sipil atas militer: mencegah militerisme akibat
diperalat oleh pemerintah sehingga terjadi pelanggaran
HAM; militer sebagai alat negara bukan alat pemerintah
dengan segala implikasinya bagi kesejahteraan rakyat
secara keseluruhan.
Saat ini konon bangsa Indonesia sedang menghadapi
reformasi yang kebablasan, sehingga banyak masyarakat yang
mengeluh kapan masa transisi rejim lama kepada rejim yang lebih
demokratis berakhir. Orde Baru memang sudah runtuh, tapi
tatanan politik demokrasi Pancasila Indonesia masih berada
dalam bayang-bayang penguasa Orde Baru, karena orang-orang
yang berada dalam pemerintahan Reformasi sekarang juga masih
diisi oleh orang-orang Orde Baru Soeharto.
4. Sistem politik Indonesia

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

95

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di


mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana
Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang
meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah
tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka
sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku
bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar
dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

96

Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal


di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27
Desember 1949 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk
pemerintahan republik. Setelah jatuhnya Orde Baru (1996
1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap
sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan
menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan
desentralisasi kekuasaan.
a. Undang-Undang Dasar (UUD)1945
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar
(UUD) 1945,1 2 3 yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab
penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara
lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD
1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara.
Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga tertinggi negara dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga Eksekutif terdiri atas
Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang
wakil presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan
provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di
pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang
bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai
lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman
lain yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan

Rumusan Pancasila termuat dalam UUD 1945, yang menjadi


dasar negara Indonesia. Pancasila memiliki ked udu kan dan fungsi sebagai (1)
pandangan hidup bangsa, (2 ) dasar negara, dan (3) ideologi. Lih. Penjelasan
Kaelan dalam bukunya Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Penerbit
PARADIGMA , 2004).
123

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

97

pengadilan, pengawasan, pengaturan, memberi nasehat, dan


fungsi adminsitrasi. Saat ini UUD 1945 dalam proses amandemen,
yang telah memasuki tahap amandemen keempat. Amandemen
konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap
tugas dan hubungan lembaga-lembaga negara.
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Fungsi pokok MPR selaku lembaga tertinggi negara adalah
menyusun konstitusi negara; mengangkat dan memberhentikan
presiden/wakil presiden; dan menyusun Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Fungsi pokok MPR yang disebut di atas dapat
berubah bergantung pada proses amandemen UUD 1945 yang
sedang berlangsung. Jumlah anggota MPR adalah 700 orang, yang
terdiri atas 500 anggota DPR dan 200 anggota Utusan Golongan
dan Utusan Daerah, dengan masa jabatan lima tahun.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Selaku lembaga legislatif, DPR berfungsi mengawasi
jalannya pemerintahan dan bersama-sama dengan pemerintah
menyusun undang-undang. Jumlah anggota DPR adalah 500
orang, yang dipilih melalui Pemilihan Umum setiap lima tahun
sekali.
d. Presiden dan Wakil Presiden
Presiden Republik Indonesia memegang pemerintahan
menurut UUD 1945 dan dalam melaksanakan kewajibannya,
presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam sistem
politik Indonesia, Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala
Pemerintahan yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi
negara lainnya. Presiden juga berkedudukan selaku mandataris
MPR, yang berkewajiban menjalankan Garis-garis Besar Haluan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

98

Negara yang ditetapkan MPR. Presiden mengangkat menterimenteri dan kepala lembaga non departemen (TNI/Polri/Jaksa
Agung) setingkat menteri untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
Dalam UUD 1945 (versi sebelum amandemen) disebutkan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang
terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
mselama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali
oleh rakyat melalui Pemilu.
e. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (MA) adalah pelaksana fungsi yudikatif,
yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya.
MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam
menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski
penunjukan para hakim agung dilakukan Presiden.
f.

Lembaga Tinggi Negara lainnya


Lembaga tinggi negara lainnya adalah Badan Pengawas
Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Fungsi
utama BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan pemerintah.
Temuan-temuan BPK dilaporkan ke DPR, selaku badan yang
menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). DPA
berfungsi untuk memberi jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan Presiden yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara, termasuk dalam masalah politik, ekonomi, social budaya,
dan militer. DPA juga dapat memberi nasehat atau saran atau
rekomendasi terhadap masalah yang berkaitan dengan
kepentingan negara. Anggota DPA diusulkan oleh DPR dan
diangkat oleh Presiden untuk masa bakti lima tahun. Jumlah
anggota DPA adalah 45 orang.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

99

g. Pemerintah Daerah
Di tingkat daerah, sebuah provinsi dikepalai oleh seorang
gubernur sedangkan kabupaten/kotamadya dikepalai oleh
seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 33 provinsi dan 360
kabupaten/kotamadya. Sejak diberlakukannya UU Nomor
22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1
Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke
Kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi. Hubungan
lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama
halnya dengan hubungan antarlembaga di tingkat nasional.
Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi jalannya
pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan
Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di
tingkat daerah diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri.
B. Konteks Sosial-Politik Indonesia
1. Kemajemukan sebagai realitas sosial bangsa Indonesia
Suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri dalam
masyarakat Indonesia adalah keberagaman latar belakang suku,
bahasa, agama, dan aliran kepercayaan. Artinya, kalau mau
berbicara tentang masyarakat Indonesia, harus juga memahami
bahwa yang disebut bangsa Indonesia ialah bangsa yang majemuk
dalam berbagai dimensi.
Bangsa Indonesia bukanlah negara agama. Ideologi
dan/atau hukum positif yang berlaku di Indonesia bukanlah
1 2 4 Bangsa
implementasi dari satu hukum agama tertentu.
124

H.A. Prayitno dan Trubus,


Etika Kemajemukan: Solusi Strategis
Merenda Kebersamaan d alam Bingkai Masyaraka t Majemuk
(Jakarta:

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

100

Indonesia ialah negara yang memiliki semboyan


Bhinneka
Tunggal Ika dan ideologi serta dasar negaranya adalah Pancasila
dan UUD 1945.

Penerbit Universitas Trisaksi, 2004), hlm. 177 181. Menurut H.A. Prayitno
dan Trubus, dalam bukunya
Etika Kemajemukan: Solusi Strategis Merenda
Kebersamaa n dalam Bingkai Masyarakat Majemuk
, jika seseorang hendak
menco ba mengindentifikasikan realitas agama dan kepercayaan yang ada
dalam masyarakat Indonesia, sekurang-kurangnya dapat dikategorikan secara
ilmiah dan objektif sebagai berikut.
Pertama , agama masyarakat daerah,
yaitu agama yang dianut oleh penduduk lo kal di suatu daerah tertentu di
Indonesia. Agama masyarakat daerah ini disebut agama primitif atau agama
suku, misalnya Pelbegu (si Pele Begu) pada masyarakat Batak,
Kaharingan
pad a masyarakat Dayak, dll.
Kedua , agama Hindu d an Budha beserta aliran alirannya. Misalnya, agama Hindu terdiri dari Hind u Dharma, Mazhab Siwa,
Mazhab Wisnu, dan Mazhab Sakta. Aliran-aliran dalam agama Budha terdiri
dari Mahayana, Hinayana, Teravada, Tantrayana, dan lain sebagainya.
Ketiga , aliran Islam serta aliran-aliran dan mazhab-mazhabnya. Aliran-aliran
dalam Islam dibedakan berdasarkan bidang teologis, bidang fikih, dan bidang
tasawuf. Keempa t , agama Kristen terdiri dari Katolik Roma dan Kristen
Protestan. Di kalangan pemeluk Kato lik Roma, terdapat tarekat-tarekat yang
mengkhususkan diri pada bidang peribad atan dan pelayanan tertentu,
misalnya Sareket Jesuit dan Ordo Fransiscan. Pada agama Kristen Protestan
terdapat berbagai macam aliran teologi atau deno minasi gerejawi, misalnya
Calvinisme, Lutheranisme, Armenianisme, Karismatikisme, dan
Pentakostaisme, Bala Keselamatan, Advent, Methodis, Mormon, Saksi
Yehuwa, Ortodoks Yunani, Ortodoks Siria, dan lain sebagainya.
Kelima ,
Agama Konghucu dan Taoisme. Kedua agama ini berasal dari dataran
Tiongkok. Pada zaman Orde Baru, kedua agama ini dimasukkan dalam
golongan agama Budha, namun pada masa pemerintahan Gus Dur, Konghucu
mendapat tempat sebagai agama yang sah secara hukum.
Keenam , agamaagama campuran, yakni agama yang dipeluk oleh suatu masyarakat yang di
dalamnya terdapat penggabungan kepercayaan agama yang bermacamamacam (sinkretisme), misalnya agama Jawa Sunda di daerah perbatasan
Jawa Barat dan Jawa Tengah, agama Madraisme di kabupaten Kuningan, dan
agama Kejawen yang berkembang di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa
Timur.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

101

Secara teoretis-konseptual, menurut Richard J. Mouw dan


Sander Griffioen, sebagaimana yang dikutip oleh H.A. Prayitno dan
Trubus, dalam memahami kemajemukan diperlukan pembedaan
antara pemahaman yang bersifat normatif dan deskriptif.

dalam memahami kemajemukan diperlukan pembedaan


antara pemahaman yang bersifat normatif, yang ingin
menganjurkan
(advocating) keanekaragaman, dengan
pemahaman yang lebih bersifat deskriptif, sebagai bentuk
pengakuan
(acknowledging) atas keanekaragaman
masyarakat modern. Dalam pengertian deskriptif,
kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak
terhindarkan sebagai konsekuensi dari proses modernitas
itu sendiri. Namun, bila dipahami secara normatif
setidaknya ada tiga tataran pluralisme yang patut dicermati,
yakni kemajemukan pada tataran konteks budaya
(contextual pluralism)
, tataran asosiasi-asosiasi
kelembagaan (associational pluralism) dan tataran sistem
nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia
(directional pluralism) 1 2 5

Etika kemajemukan atau etika multikulturalisme,


pertamatama , harus didasarkan pada kesadaran bahwa setiap sub-budaya,
ras dan etnik, dan agama adalah sederajat, karenanya setiap orang
memiliki hak hidup yang sama.
Kedua, semangat kebangsaan
(integrasi bangsa) perlu diterjemahkan ke dalam empat nilai
eksistensial, yakni (1) integrasi bangsa menuntut perlakukan
persamaan hak bagi semua dan setiap warga negara di seluruh
125

Ibid. , 256257

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

102

kepulauan Nusantara; (2) integrasi bangsa menuntut jaminan


keadilan bagi semua dan setiap warga negara dan berlaku baik
secara vertikal maupun horisontal;
1 2 6 (3) integrasi bangsa
menuntut partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
negara; 1 2 7 (4) integrasi bangsa menuntut sikap keterbukaan yang
membuka perspektif luas serta mampu membedah jalan untuk
berkesempatan belajar lebih banyak dan mengembangkan potensi
dan kekuatan bangsa. 1 2 8 Ketiga, membuang
stereotipe atau
prasangka yang tidak baik (negatif) tentang agama lain, misalnya
agama Kristen sering disebut sebagai agama penjajah (agama
Londo) oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Keempat , pokokpokok ajaran agama yang universal seperti kejujuran, tolongmenolong, saling mengasihi, dan perlindungan terhadap hak azasi
manusia harus lebih dikedepankan, ketimbang hal -hal yang
parsial, eksklusif, dan pandangan yang sempit.
Dalam pemaparan H.A. Prayitno dan Trubus, agenda krusial
bagi suatu paradigma baru etika kemajemukan agama di masa
depan adalah sebagai berikut.
Pertama , mengembangkan
pemahaman yang komprehensif atas ajaran-ajaran keagamaan
dan membuka ruang yang lebih komprehensif dari kritik-diri atas
paham-paham keagamaan yang selama ini diwarisi dan diyakini
bersama. Kedua, mengembangkan penghayatan keagamaan yang
lebih bersifat individual (sebagai lawan atas organisasi formal)
Sampai sekarang, keadilan bagi setiap warga negara dalam
mengakui keberagaman agama di Indonesia belumlah maksimal. Salah satu
contoh, di daerah yang minoritas Kristen masih sulit untuk mendirikan
gereja. Ijin pendirian gereja pun berbelit-belit; harus ada ijin penduduk di
samping ijin dari pemda setempat, dan dalam hal ini dalam banyak fakta
pemerintah pun tampaknya enggan untuk menyelesaikan kasus seperti ini.
127 Dalam hal ini prinsip demokrasi harus dihidupkan kembali dalam
semua bidang kehidupan masyarakat.
128 H.A. Prayitno dan Trubus, op cit., hlm. 257258.
126

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

103

dan lebih ke arah substansi nilai-nilai keagamaan (sebagai lawan


atas dominannya simbol/ritus).
Ketiga, pemahaman atas misi atau
dakwah yang lebih diorientasikan kepada pengembangan nilainilai spiritualitas dalam menghadapi tantangan sosial yang
konkrit. Keempat , membangun kerjasama antar agama untuk
menghadapi musuh bersama dan demi kemaslahatan umum
seperti kemiskinan, pembodohan, penindasan, dan lain
sebagainya. Kelima, sosialisasi keagamaan yang melibatkan dan
mempertimbangkan tradisi keagamaan dan kepercayaan lain
melalui kurikulum bersama, terutama dalam jalur pendidikan
formal dengan mengajarkan matakuliah lintas agama agar dapat
menghargai agama lain. Kelima, membangun sikap toleran yang
aktif, yakni toleransi yang didasarkan pada humanitas dan
keprihatinan sosial. 1 2 9
2. Politik Islam dan wacana pemberlakuan Syariat Islam
Wacana pemberlakukan syariat Islam oleh kaum
fundamentalis Islam telah menciptakan ketegangan politik, baik
bagi masyarakat Indonesia non-Islam maupun di kalangan Islam
sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa bagaimana
Indonesia hingga saat ini memiliki UUD dan Pancasila sebagai
konstitusi atau dasar Negara tidak dapat dilepaskan dari
sumbangsih politisi-politisi Kristen untuk memperjuangkannya
tanpa mengenal lelah dan kata menyerah Satu hari setelah
kemerdekaan Indonesia, mereka bekerja keras untuk mencari
dukungan dari politisi nasionalis untuk menarik kalimat
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya

129

Ibid. , hlm. 303304.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

104

Sebenarnya secara sepintas, kalimat ini tidak begitu


membahayakan, namun kecenderungan politik yang sarat dengan
kepentingan-kepentingan membuatnya menakutkan. Penggalan
kalimat ini bisa berimplikasi lebih luas dan sangat merugikan
pihak lain. UUD 1945 dan Pancasila sebagai sumber hukum dari
segala sumber hukum Indonesia memiliki isi dan makna yang
bebas dari politisasi agama atau agamanisasi politik baik secara
eksplisit maupun implisit.
Isu penegakan syariat Islam 1 30 di Indonesia tidak hanya
terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia. Isu tersebut terusmenerus mengalami pasang surut hingga sekarang ini. Di
Indonesia muncul tiga aliran ideologis besar sebagaimana
dirumuskan dengan baik dan cermat oleh Soekarno, yaitu
nasionalisme, agama, dan sosialisme. Sesudah itu, di masa
kemerdekaan muncul fenomena sejarah, seol ah-olah apa yang
dipikirkan Soekarno muncul ke permukaan, yaitu dengan
peristiwa Sekar Marijan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Kahar
Muzakar (Sulawesi Selatan), dan Daud Beureuh (Aceh) yang
mendirikan Negara Islam versi mereka Pada dasarnya
fenomena munculnya DI/TII yang ditonjolkan adalah kekecewaan
para pejuang kemerdekaan terhadap pembagian jabatan status
1 3 1 Untuk membendung
dan kedudukan setelah kemerdekaan.

130

Kebanyakan aktivis Syariat Islam tidak siap meletakkan syariat


Islam dalam diskusi publik yang rasional. Statemen -statemen semacam
syariat tak bisa divoting, syariat lebih unggul daripada konstitusi sekuler
misalnya, selalu mewarnai sidang-sidang tahunan di MPR belakangan ini.
Ruang pergumulan untuk mengisi cetak biru (blue print) konstitusi, terutama
di negara-negara Muslim, sering diramaikan oleh aspirasi religius sebagian
kelompok untuk memberi visi Islami pada ko nstitusi.
131 Th. Sumartana dalam Eddy Kristianto, ed.,
Etika Politik dalam
Konteks Indonesia: Pesta 65 Tahun Romo Magnis.
(Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2001), hlm. 134.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

105

pergolokan politik Daud Beureuh (DI-TII Aceh) pada awal


kemerdekaan, presiden Soekarno akhirnya menghadiahi Aceh
menjadi daerah istimewa.
Pada masa pemerintahan Soeharto, golongan
fundamentalis Islam tidak sempat menarik nafas karena sejak ia
dikukuhkan menjadi presiden, Soeharto memahami bahwa
mereka sebagai bahaya politiknya dan memakai ABRI sebagai alat
politik untuk membendung perkembangannya. Akan tetapi,
setelah Soeharto lengser ke prabon, terjadi
euphori a politik di
kalangan fundamentalis Islam. Beberapa partai berbasis dan
berhaluan Islam (misalnya PKS, Partai Bintang Reformasi, Partai
Bulan Bintang, dsb.) muncul dan memberikan pengaruh yang
signifikan dalam penggodokan beberapa Undang-Undang. Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai salah satu partai Islam
fundamentalis berhasil memenangkan Pemilu 2004 untuk DPRD
DKI Jakarta, dan juga di kantong-kantong Islam lainnya. Hingga
tahun 2008 ini banyak Pilkada yang sudah dimenangkan oleh PKS
dan kroninya PAN.
Pada masa pemerintahan Megawati-Hamsah, sesuai
dengan perkembangan Otonomi Daerah, beberapa daerah seperti
Aceh, Makassar, Banten, dan Cianjur telah menerapkan syariat
Islam, sekalipun Hamsah Haz menjelaskan dalam pidatonya
sebelum diundangkannya bahwa Perda Syariat Islam tersebut,
bahwa hal itu belumlah sesuatu yang final, tetapi masih masa
transisi percobaan. Menurut penulis, ditetapkannya beberapa
daerah menerapkan syariat Islam, hal bisa menjadi pertanda
buruk bagi masa depan politik Indonesia. Memang bagi beberapa
pihak, double standard dalam hukum ini tidak menjadi
permasalahan. Pertanyaan penulis, daerah yang telah
menerapkan syariat Islam apakah benar-benar telah menerapkan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

106

syariat Islam? Atau hanya untuk tujuan kemenangan (baca:


dagangan) politik saja?
Salah satu contoh, saat ini Serang (Banten) menerapkan
syariat Islam sebagai hukum positifnya. Kalau sekarang Serang
adalah mayoritas Islam, apakah 50 atau 100 tahun ke depan
Serang akan tetap sebagai daerah mayoritas Islam? Menurut
pandangan penulis, penerapan syariat Islam ini akan berimplikasi
secara luas dan satu implikasi akan menyebabkan implikasi yang
lebih luas lagi. Penerapan syariat Islam hanyalah kemenangan
politik saja. Sebagai bukti, daerah yang menerapkan syariat Islam
tersebut tidak lebih baik dari daerah lain yang tidak menerapkan
syariat Islam. Contoh lain, akhir-akhir ini Makassar terus mengisi
lembaran berita kekerasan dan anarkhisme yang diberitakan oleh
berbagai media massa. Perdagangan ganja tidak pernah surut dari
Aceh, dan tidak ada penyelesaian hukum menurut syariat Islam.
Belakangan ini, wacana pembentukan Negara berdasarkan
syariat Islam agak mereda, namun memilih wajah lain sebagai
langkah dinamis dan progresif menuju ke sana. Satu per satu
bagian dari syariat Islam makin lama makin bertambah dalam
butir-butir Undang-Undang RI. Misalnya, pilihan Syariah dalam
sistem perbankan dan asuransi Undang-Undang Pendidikan
Nasional, Implementasi Syariat Islam di beberapa daerah, dll.
Pemberlakukan syariat Islam dalam beberapa hal di atas tampak
seperti serentetan keberhasilan golongan fundamentaslis Islam
tersebut. Kalau makin lama makin bertambah dalam bidang lain,
tinggal hanya menunggu waktu yang tepat untuk secara berani
menerapkannya. Satu hal yang sangat penting diingat, prinsip
demokrasi memberi peluang pemberlakuan syariat Islam di
Indonesia.
2. Kiprah Kristen dan perpolitikan Indonesia

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

107

Sebagai warga gereja dan bagian integral pembentuk


bangsa NKRI, orang Kristen telah membuktikan kiprahnya dalam
sejarah perpolitikan NKRI baik sebelum Indonesia merdeka
maupun setelahnya hingga era Reformasi sekarang ini, namun
belum mendapat tempat dalam misi politik Kristen. Beberapa
tokoh atau politisi Kristen tahun 1940-an telah turut menentukan
perubahan yang mendasar dalam sejarah kebangsaan Indonesia
hingga disahkannya Pancasila sebagai falsafah hidup, ideologi, dan
dasar berdirinya NKRI.
Dokumen Museum Nasional mencatat beberapa pahlawan
nasional yang telah gugur demi mengusir penjajah dari muka
bumi Indonesia ini. Nama-nama mereka tertera lengkap dalam
batu nisan Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia. Nama
dan jasa-jasanya menghiasai catatan sejarah nasional. Hal ini
menandakan bahwa kontribusi orang Kristen tidak boleh
diabaikan sejarah perjuangan kemerdekaan dan politik
Indonesia. 13 2
Pada masa pendudukan Jepang hingga sebelum Indonesia
merdeka, partisipasi politik orang Kristen nyata dalam tiga
bentuk, yakni (1) orang-orang Kristen yang menjalankan
partisipasi mereka melalui perkumpulan yang bersifat nasionalis
(tidak bersifat Kristen), (2) perkumpulan yang bersifat dan
memberi identitas Kristen, dan (3) gereja yang berhubungan
dengan bidang politik. 1 33 Sebelum periode tahun 1940-an,
organisasi-organisasi Kristen yang bersifat kedaerahan atau
kesukuan 1 3 4 (namun juga memiliki semangat nasionalisme),

132

Poltak Y.P. Siabarani,


op cit. , hlm. 185.
Ibid ., hlm. 187.
134
Bersifat kesukuan atau kedaerahan bukan berarti
memperjuangkan suku atau daerahnya dan mengesampingkan kepentingan
133

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

108

seperti CEP/CSP, PKC, dan PMI/PKMI , sudah memuncukkan


pemahaman teologis mengenai politik. Dalam pemaparan Poltak
Y.P.Sibarani, beberapa nama yang dapat disebut pada masa
tersebut adalah A. Latumahia dan I. Siagian. Kemudian muncul
pula pandangan politik dari tokoh-tokoh Kristen nasionalis,
seperti G.S.S.J. Ratulangie, dan T.S.Gunung Mulia. Beberapa tahun
selanjutnya tampillah pemuda-pemuda Kristen, seperti P.A.
Tiendas dan J. Leimena. Perjuangan-perjuangan awal yang
dilakukan generasi ini membawa hasil yang sangat
menggembirakan yang ditandai dengan pembentukan CSV dan
konferensi WSCF di Citeurep tahun 1933, serta berdirinya HTS
pada tahun 1934. 1 3 5
Menjelang pendudukan Jepang, pada tahun 1941,
beberapa tokoh-tokoh Kristen seperti T.S.Gunung Mulia, J.
Leimena, Abednego, Suwidji, dan Amir Syarifuddin mengikuti
konferensi Nederlandesch Indische Zendingsbond (NIZB), yang
diprakarsai oleh orang-orang Belanda yang mencintai dan
menginginkan kemerdekaan Indonesia, sebagai antisipasi
terhadap kedatangan Jepang. Berikutnya setelah Konferensi
Karang Pandan tahun 1941, perjuangan politik Kristen didukung
oleh lembaga Zending Belanda. Setelah konferensi ini, kehadiran
Amir Syaripuddin memiliki arti yang sangat penting dalam
pergerakan politik Kristen. Amir berasal dari kalangan pemuda
nasionalis yang turut mencetuskan Sumpah Pemuda tahun 1928.
Ia banyak terlibat dalam pergerakan politik yang bersifat
nasionalis hingga membentuk Partindo bersama Sukarno dan
Sartono pada tahun 1933. Tahun 1937, Amir dan kawan-kawan
membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Lalu bersama
suku atau daerah lain, tetapi lebih tepat diartikan bahwa pergerakannya itu
dimulai atau dilakukan pad a tingkat suku atau daerah.
135 Poltak Y.P. Sibarani,
op cit. , hlm. 187.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

109

Thamrin (Parindra) dan Abikusuno (PSII), Amir (Gerindo)


membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939
yang menjadi gabungan semua kekuatan politik nasionalis. Sejak
Oktober 1940, Amir lebih banyak memikirkan pergerakan politik
Kristen. Ia dituduh memiliki hubungan dengan komunis sehingga
karirnya dalam politik nasional menurun. Tetapi tahun 1943,
bersama Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya, ia membentuk
Pusat Tenaga Rakyat (Putera). 1 3 6
Sekalipun Amir Syarifuddin ikut memikirkan pergerakan
politik Kristen, sejak awal ia tidak setuju dengan dibentuknya
partai politik Kristen. Ia lebih memilih jalur politik nasioalis,
karena dalam pertimbangannya politik Kristen akan menjadi
ancaman bagi nasionalisme. Baginya, harus ada pemisahan antara
mimbar gereja dan kegiatan berpolitik. Ia sangat konsisten dalam
pendiriannya sebagai seorang sosialis-nasionalis dalam
perjuangan kebangsaan. Menurut kesaksian orang-orang yang
dekat dengannya, seperti T.S.Gunung Mulia, A.L. Fransz, J. Verkuyl,
Surjono, J.M.J. Schepper, Abu Hanipah, dan F.K.N. Harahap, ia
adalah seorang Kristen yang setia dan konsisten dalam
perjuangan politik. Sikap hidupnya memperlihatkan mutu dan
kesalehan hidupnya yang mendalam. 1 3 7
Pada masa pendudukan Jepang, tokoh-tokoh Kristen yang
sangat penting adalah J. Leimena, T.S. Gunung Mulia, A.L. Fransz. J.
Leimena adalah ketua CSV op Java, perkumpulan mahasiswa
Kristen yang bersifat nasional Jawa. Tokoh-tokoh lainnya yang
memberi perhatian kepada gereja adalah G.S.S. Ratulangie, A.A.
Maramis, J. Latuharrary, R. Tobing, dll. Mereka memberi tempat
untuk pertemuan mahasiswa dan pemuda Kristen untuk
menumbuhkan inspirasi-inspirasi bagi semangat kemerdekaan
136
137

Ibid. , hlm. 188199.


Ibid. , hlm. 190.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

110

Indonesia. 13 8 Para rohaniawan turut menumbuhkan semangat


kemerdekaan dan perlawanan kepada pendudukan Jepang. Ketika
Jepang masuk ke Maluku, 90 orang pendeta mati terbunuh dengan
sangat kejam karena tidak mau menaikkan bendera Jepang. Masih
banyak tokoh lainnya yang belum disebutkan namanya, yang
menjadi korban perlawanan terhadap pendudukan Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, pemuda-pemuda
Kristen di Jakarta menghadiri Proklamasi Kemerdekaan RI oleh
Soekarno-Hatta. Mereka dengan semangat menghadiri upacara
proklamasi tersebut, seperti misalnya Frans Pattiasina, Siddharta,
dan Joel Therik. Sebelum disiapkannya naskah proklamasi,
beberapa tokoh Kristen yang ikut menjadi anggota PPKI untuk
menggodok Pancasila dan UUD 1945 adalah G.S.S.J. Ratulangie, J.
Latuharrary, Yap Tjwan Bing, dan A.A. Maramis. Mereka berjuang
ketika rancangan UUD yang mewajibkan pemeluk Islam menaati
Syariat Islam dan bahwa presiden RI haruslah seorang Islam.
Tentang Presiden yang mengharuskan seorang Islam, J.B. Sitanala
bangkit dan memberikan protes yang sangat tajam.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Indonesia
dihadapkan dengan perjuangan bersenjata untuk
mempertahankan kemerdekaan. Beberapa tokoh tersohor di
antaranya adalah Kolonel Kawilarang, Laksamana Muda John Lie,
M. Panggabean, D.I. Panjaitan, dan T.B. Simatupang, yang hingga
masa Revolusi masih hidup. Perang mempertahankan
kemerdekaan juga dilakukan oleh tentara-tentara Kristen baik
dalam daerah Kristen (salah satu contoh Robert Wolter
Mongonsidi) maupun di daerah non Kristen bersama tentara
lainnya yang beragama lain. Nama-nama orang Kristen yang turut
menjadi pahlawan nasional tercatat dalam Taman Makan
138

W.B. Sidjabat,
Partisipasi Kristen dalam Nation Bu ilding di
Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit, 1968), hlm. 4950.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

111

Pahlawan di seluruh Indonesia bersamaan dengan pahlawanpahlawan penganut agama lain.


Melihat perkembangan terkini, sikap politik orang Kristen
dapat dibagi atas tiga kelompok. Pertama , mereka yang apolitik ,
yang menganggap politik sebagai urusan duniawi yang kotor yang
tidak perlu dicampuri gereja yang dianggap sebagai lembaga yang
mengurusi sorga saja. Walau sudah banyak Gereja dan warga
Kristen Indonesia yang meninggalkan persepsi (warisan Pietisme)
ini, namun dalam batas tertentu masih banyak warga yang
menganut pandangan demikian. Masih banyak tokoh dan warga
gereja yang apolitik. Walau gereja bukanlah kekuatan politik,
tetapi kekuatan moral, namun sikap
apolitik terlalu ekstrim.
Kedua, adalah kelompok yang ingin merebut kekuasaan politik
(paling sedikit mempunyai kekuatan signifikan dalam struktur
pemerintahan) agar dapat menentukan jalannya negeri ini
Kelahiran berbagai partai politik Kristen belakangan ini mungkin
sebagian termasuk pada kategori yang kedua ini. Para pendiri
partai Kristen itu barangkali ingin masuk dalam sistem
kenegaraan melalui semangat beriman dan berharap kepada
Kristus Jika tidak sekarang kapan lagi? Demikian menurut
penganut pandangan ini. Agaknya, sikap seperti ini lahir dari
pengalaman pahit penganut pandangan ini di mana orang Kristen
di Indonesia dianggap sedang dimarginalkan bahkan dianiaya.
Untuk membela nasib orang Kristen di Indonesia penganut
pandangan ini bermimpi untuk masuk dalam struktur
kekuasaan dalam rangka menentukan arah pemerintahan.
Dari manakah konsep seperti ini masuk ke dalam gerejagereja di Indonesia? Pengaruh kelompok fundamentalisChristian
konservatif Kristen di Amerika khususnya yang disebut
Right(Kristen Kanan) sangat besar dalam pembentukan
wawasan seperti itu. Kelompok ini sangat berpengaruh besar

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

112

terhadap seluruh kebijakan Presiden Bush, khususnya kebijakan


luar negeri.
Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa orang Kristen di
Indonesia terpanggil sebagai garam dan terang dunia yang melalui
iman kristianinya dapat melakukan transformasi politik secara
positif, kritis, kreatif, dan realistis. Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI) ada dalam posisi ini. PGI dan gereja-gereja arus
utama, sebagaimana diperankan oleh
World Council of Churches
(WCC), dewan gereja-gereja di berbagai negara lain adalah
menjadi kekuatan moral yang dapat melakukan transformasi dan
perubahan sosial melalui konsep, pemikiran, gagasan dan
berbagai gerakan. Politik Yesus tergolong kepada sikap ini. Gerejagereja harus dapat menjadi pengkritik pemerintah apabila
pemerintah tidak menjalankan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang adil. Gereja tidak dapat berdiam diri
dalam dinamika sosial-kemasyarakatan. Gereja harus ikut
mengusahakan kesejahteraan kota (bangsa) karena kesejahteraan
kota (bangsa) adalah kesejahteraannya juga (Yeremia 29:7).
Dalam kaitan ini gereja tidak boleh terkooptasi oleh kekuatankekuatan yang ada, termasuk kekuatan uang, kekuatan politik,
kekuatan ideologi, atau kekuatan dalam bentuk apapun.
139
3. Otonomi daerah dan persoalan Perda-Perda bernuasa
agama
Program otonomi daerah dinilai belum efektif untuk
pemerataan pembangunan di Indonesia. Saat ini hanya 24 persen
dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan untuk daerah tertinggal. Akibatnya masih terjadi
Dalam kaitan ini perlu direnungkan pernyataan Desmon Tutu:
To be neutral in a situation of injustice is to have chosen sides already. It is
to support the status qua.
139

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

113

kesenjangan pembangunan, terutama antardaerah di Pulau Jawa


dan luar Pulau Jawa. Idealnya, sektor-sektor yang ada
menyalurkan 60 persen dari anggarannya supaya bisa diserap
oleh daerah tertinggal sehingga bisa mengangkat kesejajaran
daerah tertinggal.
Otonomi daerah masih belum mampu menjawab
persoalan kesenjangan tersebut. Pemerintah provinsi terbuai
dengan otonomi daerah. Mereka tidak menjadikan daerah
tertinggal sebagai lokus untuk membangun kota dan infrastruktur
perkotaan. Pembangunan hanya terpusat di perkotaan, sedangkan
daerah tertinggal tidak kebagian program. Ke depannnya,
Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal
harus berupaya berkoordinasi lintas sektoral dengan pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota untuk menjadikan
daerah tertinggal sebagai lokus pembangunan. Masalah utama
yang dihadapi pemerintah pusat berkaitan erat dengan belum
dijadikannya daerah tertinggal sebagai lokus pembangunan.
Akibatnya, banyak sektor yang tidak memberikan
perhatian bagi daerah tertinggal. Pembangunan di luar Jawa lebih
banyak tertinggal karena kesalahan dalam arah pembangunan
yang telah dilakukan. Pemerintah seharusnya berfokus pada
pembangunan infrastruktur dasar di daerah terutama berupa
pembangunan jalan, jembatan, dermaga, energi listrik, dan air.
Kabinet Indonesia Bersatu menargetkan sebanyak 40 kabupaten
dan kota bisa terentaskan pada akhir masa jabatannya. Hal
tersebut dilakukan dengan menggandeng swasta untuk turut
berkontribusi dalam pembangunan daerah tertinggal. Selain itu,
pemerintah provinsi juga harus mulai aktif menjadikan daerah
tertinggal sebagai lokus pembangunan.
Masalah lain yang ditimbulkan oleh Otonomi Daerah
adalah lahirnya raja-raja kecil yang sangat kuat di propinsi-

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

114

propinsi, di kabupaten-kabupaten, di kota-kota, dan di kecamatankecamatan. Akibatnya, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
semakin bertumbuh dan berkembang luar biasa. Karena sesama
pelaku sehingga sulit dilacak kebenarannya.
Check and balances
juga tidak jalan. Target utama dalam upaya pemberantasan
korupsi bukan menangkap atau menjebloskan pelaku ke penjara,
tetapi bagaimana berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Dengan sistim pemerintahan seperti ini penderitaan
rakyat semakin bertambah besar.
Salah satu akibat yang sangat serius dari Otonomi Daerah
adalah lahirnya Perda-Perda yang bertentangan dengan peraturan
Pemerintah Pusat yang dibungkus dengan nilai-nilai agamaagama dan kurang menempatkan aspirasi sosial, ekonomi, politik
yang berbasis pada kebangsaan dan nasionalisme. Secara ekstrim
dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah menjadi kuda
tunggangan Perda-Perda yang bernuansa agama. Bil amana
diteruskan dengan tidak bijak bisa mengakibatkan desintegrasi di
mana-mana yang sulit direkonsiliasi. Yang harus diantisipasi dan
yang dicarikan jalan keluarnya adalah kesamaan konsep
Peraturan Daerah dan Peraturan Pusat.
Telah muncul polemik tentang pemberlakuan peraturan
daerah (Perda) syariat Islam di berbagai daerah. Tak kurang dari
56 anggota DPR dari berbagai fraksi yang mengemukakan
ketidaksetujuannya atas pemberlakuan Perda tersebut di
berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi: UUD
1945 dan ideologi negara: Pancasila.
Menyikapi pemberlakuan Perda syariat Islam di berbagai
daerah muncul pendapat yang setuju dan tidak setuju. Kalangan
yang setuju, terutama dari kelompok fundamentalis Islam (elite
politik), menganggap adanya Perda tersebut bisa menjadi media
sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

115

kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh


masyarakat kecil. Mereka memiliki argumentasi bahwa
keberadaan Perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral
bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui
gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan
Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan Perda
syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan
dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya.
Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena
wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam
suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka
anut. Ada realitas sosial di balik pemberlakuan Perda syariat
Islam di berbagai daerah. Ternyata Perda syariat Islam tidak bisa
menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan,
kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa
demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para
pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti pedagang
kaki lima, perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya
"taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan,
penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para
tokoh organisasi pendukung Perda syariat Islam. Pemberlakuan
syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum
maling-penjudi-penzinah kelas teri.
Perda syariat Islam juga memiliki dimensi "pembalikan"
terhadap nilai moralitas yang hakiki, karena menyerahkan
kebenaran moral kepada para pemegang tafsir kebenaran agama
yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan kekuasaan.
Dalam realitas politik, tokoh-tokoh Islam pendukung Perda
syariat Islam, di masa Orde Baru mereka menjadi bagian dari
relasi politik "mutualistik" Soeharto dengan ulama. Sementara

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

116

berbagai organisasi radikal keagamaan selama ini hanya diam


seribu bahasa terhadap perjuangan melawan ketidakadilan dan
kezaliman kekuasaan. Baru setelah rezim Soeharto lengser,
mereka berani bergerak memperjuangkan prinsip ideologi
mereka. Demikian juga MUI yang selama kekuasaan ORBA tidak
konsisten dalam memperjuangkan kepentingan mayoritas umat
Muslim yang berprofesi sebagai buruh dan petani dalam
menghadapi himpitan sistem kapitalisme kroni ORBA.
Perda syariat Islam sendiri sesungguhnya bukan
merupakan solusi krisis ekonomi dan multidimensional bangsa
ini. Kasus korupsi kelas kakap yang ditengarai juga menjangkiti
institusi keagamaan semacam Depag ternyata tidak bisa
diberantas dengan Perda syariat Islam, karena banyak pelaku
korupsi yang justru memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan
di pusat dan daerah. Krisis ekonomi nasional yang diakibatkan
oleh implementasi sistem kapitalisme kroni ORBA dan berlanjut
sistem neo-liberalisme pemerintahan transisi semenjak Habibie
hingga SBY-JK tidak akan bisa diselesaikan dengan syariat Islam.
Hal itu disebabkan oleh banyaknya kelompok pendukung syariat
Islam yang mendukung hadirnya kekuatan borjuasi ekonomi
dengan label borjuasi Muslim atau pribumi.
Perda syariat Islam secara realitas, seperti tampak dan
dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan
politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan
moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi
pemegang kebenaran moral syariat agama.
Perda syariat Islam belum tentu menjamin turunnya
angka kejahatan dan penyakit masyarakat, dan juga belum tentu
sanggup menurunkan kejahatan politik para elite politik dan
birokrasi pemerintahan Indonesia. Justru dari pengalaman
negara-negara yang mempraktikkan syariat Islam secara

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

117

ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan hak rakyat, dan prestasi


Ipteknya sangat rendah. Afghanistan, Somalia, dan Sudan
barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang
menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China,
Vietnam, Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis, dan
sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga
Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat
pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju.
Jika memang logika berpikir kelompok politik Islam ingin
mengembangkan pelaksanaan Perda Syariat Islam lebih banyak di
berbagai daerah, seharusnya mereka mampu merumuskan
derivasi Perda syariat Islam yang mampu menjawab krisis multidimensional bangsa. Misalnya, dengan tegas berani menghukum
mati koruptor kelas kakap, pelaku
illegal loggingdan penjahat
HAM. Perda yang diperlukan di daerah bukanlah Perda yang
memunculkan ketakutan-represi bagi masyarakat kecil, namun
mampu menekan para elite pemimpin yang perilakunya merusak
keadaban publik. Jangan sampai Perda syariat Islam justru
dijadikan tameng bagi para pejabat untuk berbuat korupsi dan
sekaligus menyisihkan hasil korupsi untuk mendanai kegiatan
kelompok-kelompok pendukung Perda syariat Islam. Namun
apabila seluruh masyarakat setia pada konsensus nasional,
sebenarnyalah Perda syariat Islam tidak diperlukan di Indonesia.
Pancasila telah menjadi ideologi dan falsafah hidup bangsa
Indonesia. Pancasila telah menjamin terjadinya pluralisme di
bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada falsafah lain
yang lebih baik dari Pancasila untuk konteks Indonesia, karen ia
adalah nilai dan jatidiri bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Bilamana prinsip-prinsip agama yang ditekankan oleh para
pemimpin agama maka akan terjadi konflik agama yang lebih
parah. Bagaimana supaya para pemimpin agama duduk bersama

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

118

membicarakan kerja sama yang kondusif agar dapat membangun


bangsa ini lebih baik? Harus diakui bahwa kerusuhan-kerusuhan
yang terjadi sering kali dipicu oleh sentimen agama. Dengan
demikian, Peraturan Pusat dan Perda harus didasarkan pada
Pancasila dan bukanlah Perda bernuasa agama.
Perda syariat Islam hanyalah romantisme politik pascajatuhnya rezim kekuasaan Orba saja. Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) menilai pemerintah daerah tidak perlu membuat
Peraturan Daerah (Perda) dengan menerapkan syariat Islam
untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Pasalnya, jika Perda
tersebut dibuat dan di kemudian hari justru menimbulkan
ketegangan dan kerawanan sosial politik di tengah masyarakat
maka yang akan dirugikan adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. "Karena itu kami menilai tidak perlu Perda syariat
seperti itu," ujar Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim
Muzadi dalam jumpa pers persiapan akan digelarnya
International
Conference of Islamic Scholars (IC IS) IIdi Jakarta. Menurut Hasyim,
pemberlakuan syariat Islam melalui Perda-Perda di sejumlah
daerah, tidak lebih dari pengulangan dari pada hukum yang sudah
ada. "Perda-Perda itu tidak lebih dari pengulangan terhadap
hukum yang sudah ada, seperti KUHP atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana," ujarnya. 14 0
Peraturan Daerah bernuansa syariat Islam tak dapat
dilepaskan dari
euforia otonomi daerah guna memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pemerintah di daerah masingmasing. Perda Syariah telah diberlakukan di 37 kabupaten/kota di
Indonesia. Data ini belum termasuk 56 daerah lain yang juga
menghendaki penerapan perda serupa yang kini rancangannya
tengah digodok oleh eksekutif daerah. Sekalipun mendapatkan

140

http://www.nu.or.id/

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

119

dukungan elite politik dan eksekutif daerah, fenomena penerapan


Perda Syariah tetap saja memicu pendapat pro-kontra di kalangan
masyarakat dikaitkan dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara dan bingkai kebhinekaan di Indonesia.
Masyarakat yang pro menganggap penerapan Perda
tersebut sebagai sarana memperbaiki moral bangsa di dalam
pemberantasan berbagai penyakit masyarakat. Sedangkan
kalangan yang menolak, pemberlakuan Perda Syariat Islam
bertentangan dengan Pancasila dan subtansi peraturan
perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi
melahirkan perpecahan bangsa.
Terlepas dari masalah isi perda tersebut baik atau tidak untuk
diterapkan di setiap daerah, pada akhirnya perjalanan waktu yang
akan membuktikannya. Tulisan ini untuk menempatkan polemik
yang berkembang secara proposional seiring dengan dinamika
zaman reformasi.
Hukum hakikatnya adalah produk politik, sehingga
karakter isi setiap produk sangat dipengaruhi oleh konfigurasi
politik yang melahirkannya. Maraknya Perda bernuansa syariah di
sejumlah daerah dipahami sebagai gejala dominannya kekuatan
politik agama dalam konfigurasi Islam pada parlemen pusat
maupun lokal.
Realitas historis keberadaan pluralisme di Indonesia
hakikatnya merupakan keniscayaan yang tak mungkin ditolak
sebagai kenyataan. Pluraisme merupakan sebuah realita yang
harus diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Hal itu pun telah
digarisbawahi oleh motto Bhineka Tunggal Ika Dalam konteks
ini, sebenarnya tidak ada lagi daerah ini wilayah Kristen dan
daerah ini adalah wilayah Islam. Berdasarkan realitas ini,
pengembangan paradigma agama dan sikap umat Kristen
hendaknya menempatkan pandangan pluralisme sebagai pijakan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

120

bersama di dalam beragama. Prinsip pluralisme jelas


mengandaikan adanya kesetaraan antar pemeluk agama di
hadapan Tuhan Sang Pencipta.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia seiring
perkembangan zaman pun mengalami dinamika pembaruan dan
pembauran, sehingga membentuk konfigurasi yang bervariasi dari
kelompok militan, politisasi, borjuasi, reformasi,
retradisionalisasi, progresif, dan moderat. Yang dialami oleh
agama lain pun sama.
Kelompok militan Islam telah memaknai Kitab Suci atau
wahyu Tuhan secara harafiah, sehingga mengharamkan
hermeneutik, pluralisme dan sekularisme dalam Islam. Hal ini pun
telah terjadi dalam kelompok lain, seperti Kristen, Budha, Hindu,
dan Konghucu di belahan dunia lain.
Agama Islam menurut kelompok ini sifatnya sempurna,
tinggal diyakini dan dilaksanakan serta dijauhi apa yang menjadi
larang-larangan-Nya tanpa perlu penafsiran lain yang bermacammacam. Kelompok ini merupakan kelompok yang menghendaki
zaman ideal sebagaimana dahulu zaman para Nabi.
Kelompok Politisasi Islam, atau lebih tepat sebenarnya Islam
Politik, memiliki ideologi pragmatis, yakni kekuasaan politik
sebagai tujuan akhirnya. Mereka sering memakai simbol Islam
sebagai isu-isu sentralnya, seperti syariat Islam, partai Islam, dan
kekhalifahan Islam.
Meskipun kelompok ini tergolong sedikit, namun
gerakannya seakan-akan menjadi mayoritas di Indonesia.
Kelompok ini memperoleh tempatnya tesendiri dalam tubuh
partai Islam. Sekalipun partai tersebut mengklaim sebagai partai
terbuka tetapi sesungguhnya bukan sebagai partai pluralis,
misalnya Partai Amanat Nasional (PAN). Orang Kristen kini
menyaksikan betapa politisasi Islam di Indonesia menemukan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

121

tempat secara maksimal, sehingga Perda-Perda syariah Islam


menyeruak sebagai produknya.
Kelompok Islam Borjuasi, lazim disebut sebagai escapism
dalam bentuk sufisme perkotaan. Kelompok ini merupakan
kelompok Islam fenomenal dan temporer sifatnya, marak tatkala
tahun 1990-an awal sejak Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) berdiri. Ketika itu jilbab merupakan fenomena lazim di
sekolah negeri. Sampai saat ini di kalangan kelas menengah ke
atas, pejabat dan selibritis melakukan pengajian bersama dengan
pimpinan dan bawahan di kantor, berbuka bersama di hotel
berbintang, berzikir bersama ustad musiman yang kondang, dan
lain-lain. Akibat lain menguatnya fenomena borjuasi Islam
demikian itu berdampak pula pada pembuatan sinetron religius
Islami. Kelompok Islam Reformasi mengusung pemikiran
penggunaan akal sebagai salah satu jalan menerjemahkan Islam.
Agama Islam tidak dilihat sebagai entitas yang kosong dalam
ruang dan waktu, melainkan sebagai sesuatu yang aktual dan
dinamis sesuai dengan konteks sosial yang berkembang.
Kelompok Islam Pribumi, bergerak dalam wilayah agama
dan kebudayaan. Menurut kelompok ini budaya tidak sepenuhnya
memberikan warna yang jelek atas agama Islam di Indonesia.
Melakukan akulturasi budaya dalam agama merupakan sesuatu
yang wajar, sebab agama dianut oleh masyarakat yang
berkembang dalam kebudayaan setempat, sehingga
dimungkinkan adanya perbedaan cara berislam di tanah air.
Meskipun demikian rasa toleransi beragama dirasakan masih jauh
dari yang diharapkan. Contohnya demonstrasi yang terjadi di
Lembah Karmel. Mereka terlihat begitu ketakutan terhadap
kelompok non-Islam. Hal itu nampak dalam ucapan dan tindakan
mereka terhapap umat Katolik yang sedang mengadakan reuni.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

122

Apakah agama menghilangkan akal sehat manusia. Terlebih lagi


kalau dikaitkan dengan Perda Syariat Islam di Cianjur.
Menyikapi perkembangan tersebut masyarakat Kristen
harus melihat permasalahan secara utuh dan juga mencoba
mengadakan refleksi terhadap tindakan-tindakan yang telah
dilakukan dalam konteks kehidupan bergereja, bermasyarakat
dan bernegara. Karena kenyataannya perda yang bernuansa
Syariat Islam berdampak langsung kepada komunitas Kristen.
Perda-Perda yang bernuansa Syariat Islam membendung
perkembangan kekristenan di Indonesia ini. Memang harus diakui
bahwa banyak kelompok yang merasa terancam dengan
perluasan komunitas Kristen di Indonesia sekarang ini. Dan di
kalangan umat Kristen sendiri juga dirasakan terjadinya
desintegrasi dalam komunitas Kristen karena persaingan yang
tidak sehat di antara denominasi yang ada di bumi Indonesia ini.
Alasan klasik terus-menerus diusung yaitu kelompok Injili dan
kelompok Liberal. Apakah yang harus dilakukan oleh umat
Kristen untuk mengatasi masalah yang sedang berkembang
sekarang ini. Para pimpinan gereja harus berpikir ulang secara
terpadu yang melibatkan bidang agama, sosial, ekonomi dan
politik secara seimbang.
4. Partai politik Kristen dalam konstelasi politik Indonesia
dan tantangan hegemoni agama
Di Indonesia khususnya politik identitas mendapatkan
ruang secara hukum, kebebasan dalam membangun partai agama
diklaim sebagai perwujudan kebebasan yang tidak boleh
diberangus. Tetapi, jika kebebasan tersebut akhirnya akan
membawa Indonesia pada jurang kehancuran, yaitu terciptanya
pemerintahan yang absolutis dan membelenggu kebebasan, maka
bisa jadi kebebasan tidak lagi menjadi kebebasan, karena ia akan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

123

menjerumuskan manusia ke dalam jurang yang jauh dari


kebebasan Dan jika kriteria di atas dipadukan dengan hegemoni
agama maka akan menjadi suatu ancaman bagi kesatuan suatu
bangsa yang majemuk, NKRI.
Hegemoni agama merupakan sesuatu yang berbahaya bagi
demokrasi, sebagaimana terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika
agama dan negara mengalami penyatuan dan melahirkan negara
yang tunduk kepada gereja lalu lahirlah pemerintahan despotis
Dan jika kriteria di atas dipadukan, maka akan menjadi suatu
ancaman bagi kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk ini.
Munculnya partai-partai politik Kristen di Era Reformasi,
di satu sisi menunjukan kegairahan orang Kristen untuk
memberikan kontribusinya bagi pembangunan bangsa, setelah
sekian lama dibelenggu rezim yang otoriter. Di sisi lain munculnya
partai-partai Kristen ini tampaknya tidak boleh dipisahkan begitu
saja dengan munculnya partai-partai yang bernafaskan Islam yang
1 41 Kemudian timbullah
ingin menunjukkan hegemoninya.
kekuatiran, bahwa kehadiran partai-partai yang berbasis agama
tersebut bisa menjadi kontra produktif bagi pelestarian negara
Pancasila yang menghargai keberagaman Oleh karena itu politik
identitas yang ditandai munculnya partai-partai bernuansa
agama tersebut, dapat juga mengindikasikan adanya penguatan
komunalisme agama yang niscaya akan menelan nasionalisme
warga negara, serta mengurung Indonesia menuju desintegrasi
bangsa.
Pernyataan ini tidak hendak untuk melebih-lebihkan atau
menambah kekuatiran Kristen dalam kancah perpolitikan Indonesia. Karena,
sejak Indonesia merdeka, golongan fundamentalis Islam ini menjadi
tantangan yan g serius dalam pembentukan dasar dan ideology Negara.
Setelah Indonesia merdekat dan menetapkan d asar Negara dan ideo loginya,
golongan fundamentalis Islam tampil dengan kekuatan militer, yang
dinamakan DI/TII, antara lain di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DI Aceh.
141

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

124

Memang harus diakui, bahwa sebagian di antara orangorang Kristen yang ingin memberikan kontribusinya bagi
pembangunan bangsa dengan terlibat dalam partai Kristen
didorong oleh keinginan luhur untuk menjadi terang atau saksi
Kristus. Keinginan untuk membangun negara yang didominasi
oleh kekristenan tersebut bukan lahir dari dorongan untuk
menjajah agama-agama lain, tetapi semangat untuk
memerdekakan manusia di dalam damai Kristus. Apalagi
kemudian, teokrasi Perjanjian Lama (PL) dipakai sebagai
pembenaran keharusan adanya partai Kristen, meskipun
pengertian tersebut tidak tepat. Dengan dasar itu mereka
berkesimpulan, keselamatan Indonesia berada di tangan partai
Kristen. Artinya semangat untuk memamerkan dominasi suatu
partai Kristen mungkin merupakan semangat yang tulus tanpa
berpikir bahwa semangat itu lahir dari eksklusivisme yang
berlebihan, dan pada pihak lain, tidak mustahil dapat
menimbulkan benturan antar partai-partai yang berbasis agama
1 4 2 Akan tetapi harus
yang lain, yang superior darinya.
diperhatikan juga, dengan prinsip suara terbanyak demokrasi,
yang superior wajar menelan yang lebih inferior. Partai-partai
Kristen jelas salah kaprah dalam hal ini. Karena politik sarat
dengan kekuasaan, maka kekuasaan dari tandingan lain perlu
diperhatikan secara serius pula.

142

Umat Kristen seharusnya mendorong umat beragama lain untuk


menyumbangkan nilai-nilai yang inklusif dalam transformasi Pancasila.
Nilai-nilai inklusif agama-agama ini akan menjadi landasan moral bagi
bangsa Indonesia. Bagi umat Kristen moralitas merupakan sesuatu yang
bersifat universal, karena itu penciptaan undang-undang yang berlandaskan
moral yang bersifat u niversal menjadi semangat kekristenan dalam partisipasi
pambangunan bangsa.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

125

Persoalan di atas tidak perlu terjadi, jika gereja memahami


dengan baik moral politik Alkitab dan hubungan antara negara
dan agama secara komprehensi dalam PL dan kontekstual dengan
demokrasi Pancasila Indonesia. Menurut penulis timbulnya
keberagaman pandangan pola hubungan agama dan negara
tersebut tidak produktif bagi peran Kristen di Indonesia, apalagi
jika kemudian menjadi saling bertentangan. Penafsiran tentang
hubungan agama dan negara yang hanya didasarkan atas
beberapa ayat Alkitab dalam Perjanjian Baru (PB) bisa sangat
berbahaya, apalagi tanpa pemahaman PL yang baik, sebagaimana
penulis telah jelaskan di atas. Di sini pemahaman agama menurut
Perjanjian Lama menjadi suatu kebutuhan, dan kemudian
menawarkan hubungan yang lebih tepat antara negara dan agama
serta bagaimana aplikasinya dalam konteks Indonesia.
Kenyataan bahwa orang Kristen sekarang hidup dalam
negara tetapi tanpa nasionalisme, bahkan cenderung menjadi
kosmopolitanisme, yang menganggap semua manusia adalah
sama dan tidak perlu ada negara yang terpecah-pecah, cukup satu
negara. Kondisi ini akan membuat kesaksian Kristen menjadi
tidak produktif dan tidak menyentuh persoalan-persoalan
masyarakat dalam suatu negara. Hal ini sejalan dengan klaim
Kristen sebagai musafir di bumi penafsiran secara biblisistis
biasanya membuat orang Kristen menjauhi hubungan dengan
negara, karena negara mereka bukan di bumi, tetapi di sorga;
segala yang berbau keduniaan dianggap tidak lebih mulia dari
sorgawi; orang Kristen harus mengarahkan matanya bukan pada
pekerjaan pembangunan negara di bumi, tetapi pembangunan
kerajaan surga.
Di sisi lain, pada saat ini terjadi suatu kebangkitan
kesadaran baru akan pentingnya dunia politik. Mereka yang mulai
menyadari keharusan ini kemudian mencari pembenaran Alkitab.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

126

Karena Perjanjian Baru tidak secara detail melaporkan mengenai


peran orang Kristen dalam negara, secara khusus dalam
pemikiran kaum biblisistis, maka PL menjadi pijakan mereka.
Teokrasi PL kemudian diartikan sebagai kekuasaan gereja atas
Negara. Semua yang tertulis didalam Alkitab harus diterapkan
dalam negara barulah negara tersebut dapat mencapai tujuan
yang dicita-citakan. Pandangan itu tidak diterima oleh semua
orang Kristen. Walaupun sebenarnya hubungan agama dan negara
bagi orang Kristen sudah tuntas, namun euforia yang
membangkitkan kesadaran baru tersebut melahirkan
kemajemukan pola hubungan agama dan negara.
Apabila agama tetap berada dalam kodratnya maka agama
dalam dunia publik akan sangat berperan bagi terciptanya negara
yang berjalan sesuai dengan kodratnya. Mengenai peran agama
dalam Negara, Martin Lukito Sinaga mengutip rumusan Jose
Casanova sebagai berikut. Pertama , agama memasuki dunia-dunia
publik haruslah membela, tidak hanya kebebasannya, tetapi juga
kebebasan kelompok agama yang lain (jadi agama dihayati secara
majemuk); dengan demikian agama-agama akan mencegah juga
lahirnya absolutisme negara. Kedua, agama-agama tersebut secara
aktif mempersoalkan absolutisme otonomi sekuler, namun kali ini
tidak dengan keinginan menggantikan atau pun menetukan
jalannya negara sedemikian (sebab nanti ia akan menjadi absolut
lagi), tetapi menggugat realitas secara etis.
Ketiga, dalam ia
membela traditional life world terhadap penetrasi atau pun
kolonialisasi dunia teknis dan administrasi negara modern (yang
anonim itu), ia tidak perlu melamun, mengimpikan suatu
gemeinschaft negeri ideal agamanya yang mau dibawa hadir saat
ini, tetapi menjadikan dunia kehidupan tradisi yang khas agamis
itu sebagai sebuah wacana yang terbuka dan didebatkan secara

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

127

publik: dan menjadikannya suatu semangat dalam


religious social
movement. 1 4 3
Apabila agama-agama (khususnya umat kristiani) dapat
berperan seperti yang dijelaskan di atas, maka terbentuklah
masyarakat sipil yang kuat yang mempunyai daerah
kekuasaannya sendiri. Pandangan Perjanjian Lama tentang
hubungan agama dan negara sebagaimana telah dijelaskan di
atas baik untuk semua, karena dalam masyarakat sipil yang
terbentuk ini diperjuangkan yang namanya kedaulatan publik
(public sphere) . Di sini, opini yang berasal dari berbagai agama
dibentuk dan kemudian menimbulkan kedaulatan baru, yaitu
daerah kedaulatan masyarakat sipil yang merupakan syarat
penting untuk adanya negara demokrasi.
Dengan adanya peran agama-agama dalam memberikan
arah moral dan etika bagi negara melalui pembentukan opini yang
merupakan sumbangsih agama-agama, maka agama-agama tidak
akan melepaskan kontrolnya dari pemerintah. Pemerintah secara
bersamaan juga harus menjaga proses pembentukan masyarakat
sipil tersebut berjalan dengan baik melalui proteksi terhadap hakhak sipil. Kemudian politisasi agama yang timbul karena
diskriminasi agama dapat ditekan. Pemakaian agama untuk
mendapatkan kekuasaan pribadi juga akan menjadi sulit karena
agama-agama telah turut berperan dalam pembangunan bangsa.
Jadi agama-agama menjadi agama publik yang terbuka.
5. Peran dan Tanggung Jawab Kristen dalam Membangun
NKRI
Jumlah orang Kristen walaupun sangat minoritas, tetapi
bukan berarti menjadi warganegara kelas kedua
(the second
143

Viktor Silaen, (ed.)


Pikiran-pikiran Reformasi yang Terabaikan
(Jakarta: Sinar Harapan, 2003), hlm. 176.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

128

class). Orang Kristen lahir di bumi Indonesia berarti juga


mengandaikannya sebagai pemilik negara ini. Sebagai warga
negara yang bertanggung jawab, harus mencintai tanah airnya
dan juga siap berjuang untuk pembangunan bangsanya.
Sejarah membuktikan, untuk lahirnya Republik Indonesia,
tidak sedikit andil perjuangan orang-orang Kristen. Banyak
pejuang Kristen yang telah gugur sebagai kusuma bangsa,
meskipun nama-nama mereka tidak ditemukan di makam-makam
pahlawan, tetapi pengorbanan mereka telah mengharumkan ibu
pertiwi. Sejak dari 1900-1945, banyak orang Kristen yang
berjuang dengan gigih bersama bangsa Indonesia lainnya untuk
memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Perjuangan itu adalah
bagian dari iman mereka kepada Yesus Kristus. Sejak tahun 1945
sampai sekarang, orang Kristen tidak pernah absen dalam
perjuangan pembangunan bangsa. Perjuangan itu tidak terbatas di
kursi-kursi MPR, DPR, MK, BPK, KPK, MA, KABINET, dan kantorkantor birokrasi pemerintahan, tetapi dapat dilakukan di semua
sektor dan lapangan hidup manusia.
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, orang
Kristen tetap berusaha untuk memelihara iman dan berjuang
untuk menegakkan keadilan seperti yang dimandatkan oleh Yesus
Kristus sendiri. Panggilan orang Kristen sebagai warga Kerajaan
Allah harus dibuktikan dalam kehadirannya sebagai pelaku firman
dan tidak berkompromi dengan kejahatan. Sebagai murid Yesus,
bagaimana pun sulitnya, orang Kristen harus tetap berusaha
menjadi garam yang masih asin rasanya dan menjadi terang yang
bersinar di tengah-tengah kegelapan.
Sebagai warga negara, ia juga harus bertanggung jawab
terhadap maju dan mundurnya negara Indonesia. Sebagai garam,
political
orang Kristen tidak hanya berjuang untuk mendapatkan
poweratau governmental power yang hanya menyebabkan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

129

post power syndrom, tetapi perjuangan untuk melaksanakan


intellectual revolution untuk mendapatkan
intellectual power
dalam semua disiplin ilmu agar mampu berperan serta dalam
membangun masyarakat baru, sebagai wujud Kerajaan Allah di
bumi yang berazaskan kebenaran, keadilan, kekudusan, dan
pengampunan. Dengan memiliki intellectual power umat Kristen
akan dapat menjadi garam yang akan menggarami bangsa ini dan
akan menjadi terang yang akan menerangi bangsa ini, menjadi
bangsa yang solidberdiri di atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Meskipun, Indonesia memiliki masyarakat yang sangat
Bhinneka Tunggal Ika ,
pluralistik, namun dengan falsafah
masyarakat Indonesia akan mampu duduk berdampingan dan
berjalan seiring serta bergandengan tangan dalam membangun
Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur. Kenyataan ini
memang masih jauh, tetapi harus dimulai sekarang oleh orangorang muda yang, yang mampu berpikir secara rasional dan tidak
mudah sakit hati serta menyimpan luka-luka batin, serta berusaha
dengan gigih menegakkan keadilan sehingga kesenjangan sosial
antara si kaya dan si miskin semakin hari semakin dipersempit.
Perjuangan ini membutuhkan waktu yang panjang dan
pengorbanan spiritual dan material.
Cita-cita leluhur bangsa yang mewujudkan Indonesia
menjadi negara kesatuan yang berazaskan Pancasila dan UUD
1945 harus menjadi prioritas dan dijunjung tinggi oleh siapapun
untuk menghindari terjadinya perpecahan yang hanya didorong
oleh budaya primordialisme tertentu. Banyak hal yang dapat
dilakukan oleh orang Kristen dalam membangun dan memajukan
bangsa Indonesia, seperti disebutkan di bawah ini
1. Dalam sektor sosial-politik. Meskipun tidak terlibat dalam
politik praktis, orang Kristen masih harus mempunyai
komitmen untuk menyukseskan pembangunan politik

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

130

bangsa, khususnya dalam pelaksanaan


Pemilihan Umum
(pada tahun 2009) dan beberapa Pilkada. Bila diperlukan,
ia harus siap menjadi wakil rakyat, menyuarakan amanat
penderitaan rakyat melalui MPR, DPR dan LembagaLembaga Tinggi Negara lainnya. Orang Kristen harus tetap
berusaha menegakkan keadilan meskipun sulitnya seperti
menegakkan benang basah.
2. Dalam sektor ekonomi. Orang Kristen harus tetap
berjuang untuk pemerataan pendapatan rakyat,
mempersempit kesenjangan sosial yang terjadi di
masyarakat, serta memberantas kolusi, manipulasi dan
korupsi di semua bidang dan lapangan hidup. Orang
Kristen juga harus berusaha meningkatkan ekonomi
masyarakat kecil dan memberikan kesempatan kerja yang
sebanyak-banyaknya bagi mereka yang belum memiliki
lapangan kerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
3. Dalam sektor pendidikan. Orang Kristen terpanggil untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Masa depan Indonesia
tergantung sepenuhnya kepada kualitas bangsa Indonesia.
Kualitas bangsa Indonesia akan ditentukan oleh
kecerdasan masyarakatnya. Kecerdasan bangsa Indonesia
juga akan ditentukan oleh mutu pendidikan yang
diberikan kepada mereka. Pada Abad Ke-21 ini
dibutuhkan orang-orang yang berkualitas tinggi. Dalam
sektor ini, partisipasi Kristen akan sangat menentukan,
bukan hanya untuk pendidikan di kota-kota besar, tetapi
juga di desa-desa yang terpencil di seluruh Indonesia.
4. Dalam sektor pengembangan masyarakat. Salah satu tugas
panggilan gereja adalah mengembangkan ketrampilan
masyarakat agar mereka mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri, dan juga mampu menolong orang

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

131

yang membutuhkannya. Orang Kristen sebagai warga


gereja dan juga sebagai warga negara bertanggung jawab
untuk merubah masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat modern yang ber-Pancasila. Sebagai agen dari
Kerajaan Allah, gereja harus memperkenalkan masyarakat
baru, yang bercirikan kebenaran, keadilan, kesalehan, dan
ketulusan. Orang Kristen harus mengembangkan
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat baru yang
berlandaskan Pancasila, yang mampu bergandengan
tangan dengan kelompok lain yang memiliki latar
belakang berbeda, dengan semangat tinggi membangun
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkualitas tinggi.
Dengan pengembangan bangsa, seluruh lapisan
masyarakat Indonesia memiliki kesempatan menikmati
kekayaan bumi pertiwi, dengan demikian akan
menghindarkan kekayaan bumi pertiwi ini hanya akan
dinikmati oleh segelintir manusia saja.
5. Dalam sektor penegakan hak azasi manusia (HAM). Di
bawah terang prinsip harkat dan martabat manusia, gereja
dan orang Kristen harus melindungi dan mengakui
manusia sebagai ciptaan yang diberikan kebebasan untuk
memilih, bersekutu, dan beribadah. Setiap orang diberikan
hak untuk dilindungi oleh hukum, hak memilih agamanya,
dan juga memilih pekerjaannya. Setiap orang juga
mempunyai hak untuk berbicara dan bersuara. Hak yang
lain adalah hak untuk menentukan pilihan politiknya.
Anugerah Allah yang tertinggi dalam hidup manusia
adalah hak untuk memilih agamanya dan beribadah
menurut peraturan agamanya.
6. Dalam sektor agama. Indonesia adalah suatu negara yang
mempunyai masyarakat yang sangat pluralistik. Pluralistik

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

132

dalam agama, kebudayaan, kesukuan, tingkat sosial, dan


pendidikan. Dalam bidang agama, Indonesia mempunyai
warisan iman yang bervariasi. Dalam konteks ini,
meskipun berbeda agama tetapi dituntut untuk hidup
harmonis dengan sesamanya. Hal ini bukan
menghilangkan panggilan untuk bersaksi. Orang Kristen
masih harus menggunakan hak dan kewajibannya untuk
memberi kesaksian iman kepada orang lain dalam bentuk
dialog. Dalam dialog tidak ada unsur pemaksaan untuk
menerima iman orang lain. Menjadi orang Kristen adalah
keputusan pribadi tanpa tekanan dan pengaruh oleh
seseorang, tetapi oleh proses perenungan yang
membutuhkan waktu yang cukup lama, yang
menyebabkan mengambil keputusan pribadi setelah
memahami dengan apa yang dimaksudkan dengan iman.
7. Dalam sektor komunikasi. Abad ini disebut sebagai abad
globalisasi, transformasi, dan komunikasi. Perubahan
sosial terjadi sangat cepat karena pengaruh komunikasi,
baik melalui media cetak, telivisi, radio, dan elektronik
lainnya. Media-media ini dapat dipergunakan untuk
penyebaran agama, ideologi, ilmu, teknologi dan informasi
pasar. Ada yang berdampak positif tetapi juga banyak
yang berdampak negatif, dengan prinsip banyak yang
ditawarkan dan sedikit yang dipilih. Masyarakat perlu
dipersiapkan untuk dapat berpikir matang agar mampu
memilih apa yang diperlukan dengan bertanggung jawab
dari apa yang dilihat dan didengar, bukan memilih yang
menjadi kesenangannya. Dengan alat canggih yang serba
modern ini, sebuah produk baru dapat ditawarkan secara
serentak ke seluruh penjuru tanah air. Tanggung jawab
orang Kristen adalah menolong masyarakat untuk

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

133

membeli yang sangat diperlukan sesuai dengan


kemampuan finansialnya. Menghindarkan Indonesia
menjadi bangsa yang konsumeris juga menjadi tanggung
jawab orang Kristen.
Banyak tugas dan tanggung jawab yang diemban orang
Kristen untuk membangun bangsa Indonesia; tinggal pilih yang
mana sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing. Dari
semua pilihan tersebut, yang perlu diberikan prioritas adalah
mempromosikan kebenaran dan keadilan, karena bangsa ini
sedang dilanda banjir kolusi, manipulasi, nepotisme, dan korupsi.
Untuk hal ini diperlukan alat bedah masalah yang tepat. Setelah
mengadakan analisis kritis dan observasi tentang permasalahan
dan masalah yang menyebabkan bangsa ini tenggelam dalam
kebiasaan buruk yang sangat menyedihkan, yakni: manipulasi,
kolusi, nepotisme, dan korupsi dalam semua aspek hidup. Maka
dapat disimpulkan bahwa pisau bedah masalah sosial yang paling
cocok untuk membedah masalah yang sudah kronis dan akut ini
adalah perkataan politis Tuhan Yesus sendiri Berikan kepada
Kaisar yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan berikanlah
kepada Allah yang wajib kamu berikan kepada Allah Dengan lain
perkataan Berikan kepada seseorang yang berhak menerima
Dengan kata lain, Yesus tidak mengizinkan para pengikut-Nya
untuk melakukan tindakan manipulasi, berkolusi dengan
kejahatan yang akan berakhir pada tindakan korupsi yang akan
merugikan masyarakat, pemerintah, dan juga gereja Tuhan
sendiri.
Hal-hal inilah yang telah menjadi akar dari masalah dan
kejahatan yang harus dibedah dan diangkat dari kehidupan
bangsa ini secara menyeluruh, dan diganti dengan moral politik
Kerajaan Allah yang berlandaskan kebenaran, keadilan, kejujuran,
ketulusan, dan kesejahteraan bersama. Meskipun akan (dan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

134

harus) memakan waktu yang cukup lama, akan terjadi suatu


pemerintah yang bersih dan berwibawa masyarakat baru yang
bertanggung jawab yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945
dan tegaknya kebenaran dan keadilan Allah (baca: teokrasi) di
bumi Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, demokrasi Pancasila dan
konteks sosial-politik Indonesia, dapat diringkaskan beberapa
pokok kesimpulan dan sekaligus sebagai rumusan moral politik
Kristen akibat keberadaannya sebagai bagian integral bangsa
Indonesia. Pertama , sistem demokrasi Pancasila adalah sistem
demokrasi yang diangkat berdasarkan nilai-nilai yang melekat
dalam sistem sosial-budaya Indonesia secara
ontologis . Sekalipun
Pancasila dikategorikan sebagai sistem ideologi terbuka, namun
fakta membuktikan dalam beberapa kali kali pergantian sistem
pemerintahan, belum ada sistem politik yang lebih baik bagi
Republik Indonesia, kecuali Pancasila. Pancasila terbukti
merupakan jatidiri dan nilai-nilai yang terkandung dari
masyarakat Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika. Oleh
karena itu, setiap orang Kristen perlu menyadari bahwa Pancasila
tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai
yang ada pada semua agama dan kepercayaan penduduk
Indonesia. Pancasila juga tidak diadopsi atau diakomodasi dari
suatu agama tertentu.
Kedua, penyelenggaraan demokrasi Pancasila diwujudkan
melalui Pemilu dan Pilkada dan piranti-piranti demokrasi yang
ada di dalamnya. Setiap warga negara memiliki hak yang sama
untuk duduk dalam sistem pemerintahan yang diatur menurut
Undang-Undang. Warga negara yang baik akan mendukung
demokrasi Pancasila Indonesia dengan menyukseskan Pemilu dan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

135

Pilkada dengan cara ikut memilih dan dipilih, bila ia itu bersedia
dan mau mencalonkan diri.
Ketiga, dengan sistem dan piranti demokrasi yang
disebutkan di atas, untuk memajukan bangsa dan negara
Indonesia, kehadiran partai politik sebagai media aspirasi politik
sangat diperlukan. Sebenarnya sah-sah saja jika protes politik
dimanifestasikan melalui demonstrasi; yang penting dilakukan
dengan tertib dan bermartabat. Namun, alangkah lebih baik jika
setiap warga negara menyampaikan aspirasi politik melalui partai
politik. Adalah anggapan yang salah jika orang Kristen memahami
politik sebagai antitesis dari Injil, dan karenanya memiilih sikap
apolitik . Orang Kristen dalam konteks Indonesia harus
menyampaikan aspirasi politiknya melalui partai politik yang ada,
atau mendirikan partai politik baru untuk ikut berpartisipasi
membangun Indonesia yang lebih baik.
Keempat , dengan mempertimbangkan ketegangan politik yang
terjadi, khususnya menyangkut tentang dasar dan ideologi negara
sebagaimana harapan Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri
setiap warga negara, khususnya orang Kristen, harus tetap
berjuang menjaga dan meningkatkan ketahanan nasional (NKRI)
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sekalipun dalam
perjalanannya Pancasila terbukti sakti, hal itu bukan berarti
bahwa ke depan Pancasila akan tetap diminati oleh seluruh rakyat
Indonesia sebagai dasar dan ideologi negara. Karena itu, orang
Kristen harus secara sadar menyosialisasikan Pancasila dan UUD
1945 sebagai lambang ketahanan nasional, dan menjadi lambang
pergaulan dengan orang lain yang berbeda agama, suku, bahasa,
daerah, budaya, dan lain sebagainya.
D. Refleksi Teologis

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

136

Sejak awal berdirinya gereja di dunia ini hingga saat ini,


orang Kristen terus bergumul untuk merumuskan pemahaman
tentang moral politik Kristen yang alkitabiah dan kontekstual
dengan negara tempat ia hidup. Sebagai contoh konkret, sejak
zaman Zending pada masa kolonialisme Belanda hingga saat ini
gereja-gereja di Indonesia memiliki pemahaman dan sikap yang
berbeda-beda dalam menanggapi politik dan segala hal yang
terkait dengannya. Sekalipun keberadaan Kristen di Indonesia
tidak boleh dikatakan sebagai warisan Belanda, gereja hasil
Zending Belanda tersebut belum memiliki pemahaman yang utuh
dan komprehensif tentang politik, sehingga setiap kali ganti
pemerintah dan model politik di Indonesia, orang Kristen (baca:
gereja) terus-menerus gamang dan tidak mengambil sikap yang
konsisten dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Sebagai akibatnya, mahasiswa sebagai generasi penerus
bangsa (baca juga: gereja) juga memiliki kegamangan dan
kekurangyakinan akan pemahaman mereka tentang moral politik
karena tidak diimbangi oleh pendidikan moral politik Kristen
melalui mimbar dan program-program gereja. Sebagian besar
anggota Gereja cenderung memahami politik sebagai sesuatu yang
kotor dan penuh dengan kepentingan-kepentingan
(interests)
duniawi, sehingga orang Kristen tidak memiliki kekuatan moral
dan mental yang dibarengi oleh kekuatan spiritual.
Dalam konteks demokrasi Pancasila Indonesia, mahasiswa
Kristen seharusnya memiliki pemahaman moral politik Kristen
yang utuh dan komprehensif, yang merupakan terjemahan dari
hakikat dan tugas gereja, sehingga orang Kristen mampu menjadi
garam dan terang dalam gelanggang perpolitikan Indonesia.
Politik harus dimaknai secara benar, dengan pemahaman
yang alkitabiah dan relevan dengan konteks demokrasi Pancasila
Indonesia. Berdasarkan definisi politik dalam pembahasan di atas,

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

137

bahwa politik diartikan sebagai kemampuan untuk hidup bersama


dalam dan membangun polis (kota) di mana manusia hidup di
dalamnya dengan siapa pun.
Dalam konteks demokrasi Pancasila Indonesia, setiap
partai politik tentu merumuskan tujuan politiknya, yaitu
mewujudkan kesejahteraan bersama (baca: dan juga
kesejahteraan anggota-anggotanya). Untuk mencapai tujuan ini,
maka program politik dirumuskan di mana kekuasaan dipakai
untuk mencapainya. Diharapkan partisipasi masyarakat dalam
pencapaian tujuan itu yang diindikasikan melalui persetujuan di
dalam pemilihan umum (Pemilu dan Pilkada).
Bagaimana orang Kristen menginterpretasikan program
politik yang ditawarkan oleh partai-partai politik? Andaikata
program politik itu ditafsirkan sebagai ungkapan kasih terhadap
sesama, di mana keadilan dan kesejahteraan bersama
diperlihatkan, sehingga gereja bisa memahaminya sebagai juga
ungkapan dari imannya? Maka, terhadap program politik seperti
ini, pantaslah orang Kristen berpartisipasi di dalamnya. Program
politik itu sekaligus merupakan ukuran untuk menilai apakah
suatu pemegang kekuasaan masih bertindak atas dasar itu, atau
sudah menyimpang. Kalau menyimpang, maka orang Kristen
dengan suara kenabian (baca: Injil Kerajaan Allahnnya) mesti
memberikan teguran. Dan kalau pemerintah bertindak sewenangwenang dalam menunaikan tugasnya, orang Kristen harus
berperan memberi pencerahan atau mengatasinya melalui
aspirasi politik partai.
Apa yang dikatakan ini kedengarannya sederhana, tetapi
di dalam praktiknya tidak sesederhana itu. Mengapa? Karena
berpolitik membutuhkan seni yang tidak jarang bisa ke luar dari
koridor moral dan etika (Kristen dan Politik). Sebuah ungkapan
terkenal mengatakan: "Tidak ada kawan dan atau seteru abadi

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

138

dalam (ber)politik. Hari ini kawan, besok bisa menjadi lawan;"


atau sebaliknya Hari ini lawan besok bisa menjadi teman
Dalam dunia politik terdapat dictrum yang terkenal yaitu
power tends to corrupt
, di mana ada kekuasaan maka
kecenderungan untuk menyalahgunakan atau pun
menyelewengkan kekuasaan tersebut selalu membayangi. Tetapi,
dictrum ini bukan berarti bahwa orang Kristen harus menjauhi
kekuasaan dan bersikap a-politik. Iman Kristen harus menjadi
terang dalam kepentingan politik seperti ini. Politik Kristen tidak
boleh hanyut dalam kepentingan duniawi, melainkan harus
menunjukkan moral Kerajaan Allah yang didasarkan atas
kebenaran, keadilan, ketulusan batin, dan kepentingan bersama.
Dalam berpolitik, paling tidak dibutuhkan (1) prinsipprinsip berpolitik, (2) analisis terhadap situasi di mana prinsip itu
dioperasionalisasikan, dan (3) dugaan (prediksi) mengenai akibat
dari operasionalisasi prinsip tersebut. Karena itu, tidak jarang jika
prinsip-prinsip itu dikompromikan dengan pihak lain yang
belum tentu selalu sejalan dengan apa yang dipikirkan semula
(ideologi). Bukan tidak mungkin pula apa yang dijanjikan dalam
pemilu tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya karena berbagai
alasan. Maka dalam keadaan seperti ini, orang Kristen mesti
sungguh-sungguh jeli menyiasati, apakah yang sedang berjalan itu
sesuai dengan imannya atau tidak. Panggilan seorang politisi
Kristen, dengan demikian tidaklah mudah dalam hal ini.
Dalam ketegangan politik dan konteks demokrasi
Pancasila Indonesia, orang Kristen harus berpegang teguh pada
imannya dan menjadikannya sebagai landasan moral politik yang
sungguh-sungguh. Moral politik Kristen yang didasarkan pada
perspektif Alkitab dan relevan dengan konteks demokrasi
Pancasila Indonesia adalah moral politik Kerajaan Allah di mana
terwujudnya suatu tatatan kehidupan yang memungkinkan

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

139

seluruh masyarakat Indonesia hidup dalam kebenaran, keadilan,


kejujuran, dan kesejahteraan bersama. Hal ini akan terlihat dalam
10 indikator berikut, antara lain adalah (1) menerima keberadaan
negara, sistem pemerintahan, dan pemerintah Indonesia sebagai
institusi yang didirikan oleh Allah; (2) tunduk kepada negara dan
pemerintah yang dipercayakan Allah untuk memerintah dan
menyatakan hukum-hukum-Nya; (3) kritis terhadap kinerja
pemerintah apabila lalai dalam menunaikan hak, tugas, dan
tanggung jawabnya; (4) memahami kedudukan dan jabatan politis
sebagai panggilan dan pelayanan kekristenan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat; (5) berpihak kepada kaum lemah, tertindas
dan termarjinalkan; (6) menjamin penegakan hukum yang
berkeadilan atas harkat dan martabat kemanusiaan; (7)
memahami Pancasila sebagai dasar dan UUD 1945 sebagai
konstitusi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kristen; (8)
menyukseskan Pemilu dan Pilkada sebagai perwujudan
demokrasi dengan cara ikut memilih dan dipilih; (9)
menyampaikan aspirasi politik melalui partai politik yang ada;
dan (10) menjaga dan memelihara NKRI berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.

Bernat Siregar, M.Hum, M.Th

140

Anda mungkin juga menyukai