Anda di halaman 1dari 22

KERAGUAN (DOUBT) DALAM KEAGAMAAN DAN FENOMENA

KONVERSI/PERPINDAHAN AGAMA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Psikologi Agama
Pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam 1 Semester 6
Oleh:

Kelompok 8

SYAHRIANA
NIM. 02181010

SUCI LESTARI
NIM. 02181015

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

TAHUN AKADEMIK 2021


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Keraguan (doubt) dalam keagamaan dan
fenomena konversi agama”. Makalah ini penulis susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka Penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar Penulis dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata Penulis berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bone, 17 Mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3

A. Keraguan (Doubt) dalam Keagamaan.............................................. 3


B. Konversi Agama.................................................................................. 9

BAB II PENUTUP.......................................................................................... 18

A. Kesimpulan.......................................................................................... 18
B. Sarana.................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakamg
Agama merupakan objek pembahasan yang tidak akan pernah kering untuk
dikaji dan dibahas. Ibarat samudra yang tidak akan pernah habis meskipun
diminum oleh seluruh manusia yang ada di dunia ini. Para peminumnya ada yang
merasa terpuaskan, dan ada yang malah kering dahaga hingga menistakan. Akan
tetapi, bagaimanapun samudra itu akan tetap ada.
Manusia hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari berbagai masalah
kehidupan. Ada yang bahagia, ada yang menderita, ada yang miskin dan adapula
yang kaya. Apalagi hidup di zaman yang serba modern ini,  apabila kita amati
dampak yang paling menonjol dari modernitas adalah
keterasingan (alienasi) yang dialami oleh manusia. Alienasi muncul
dari cara pandang dualisme, yaitu: jiwa-badan, makhluk-Tuhan, aku-yang lain,
kapitalis-proletar, dll. Akhirnya terjadilah gejala reifikasi atau pembedaan antar
sisi dari dualitas tersebut. Ini disebut pula objektivikasi, yaitu manusia
memandang dirinya sebagai objek, seperti layaknya sebuah benda.
Dalam filsafat kita mengenal dengan aliran materialisme. Semakin kuat
pengaruh materialisme, semakin kuat pula gejala alienasi (keterasingan) diderita
umat manusia. Anda pasti tidak menghendaki filosofi akan berdampak sedemikian
menyedihkan. Dan masyarakat dunia Barat adalah yang paling menderita karena
materialisme yang sudah berkembang biak sangat subur di sana.  Jika Anda
membayangkan bahwa Anda terasing dengan orang-orang di sekitar Anda,
mungkin Anda bisa mengalihkannya dengan sibuk dengan diri sendiri. Tetapi,
bagaimana jika Anda terasing dengan diri Anda sendiri? Degradasi moral sering
terjadi karena manusia tidak mampu mengatasi penyakit jiwa manusia modern ini.
Dari berbagai masalah yang dihadapi tersebut tidak jarang menyebabkan
seseorang mengalami goncangan batin, bahkan terkadang merasa putus asa. Untuk
itu manusia akan mencoba atau berusaha untuk mencari pegangan atau ide baru,
dimana disitu dia bisa merasakan ketenangan jiwa. Suatu keyakinan yang akan

1
2

membuat hidupnya terasa lebih berarti, hidup yang bertujuan, yaitu kembali
kepada Tuhannya. Terjadilah pembalikan arah, atau konversi. Maka dapat kita
lihat yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis
yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern.
Ketenangan jiwa, itulah yang kemudian yang menjadikan pembahasan
tentang agama menjadi sangat menarik. Terlebih jika pada kenyataannya tahap
“ketenangan jiwa” merupakan kondisi kejiwaan yang berhubungan dengan
psikologi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pernyataan sebelumnya bahwa
“tidak ada manusia yang dapat hidup tenang tanpa tuntunan sebuah agama” harus
dibedah secara lebih dalam. Mengingat ternyata banyak manusia yang sudah
memeluk sebuah agama, tetapi tidak mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan,
bukan materil, tetapi jiwa.
Fenomena yang terjadi bukan hanya saat ini, banyak orang yang mengganti
agamanya. Alasannya ada yang karena tidak merasa tenang, aman, damai, atau
apa pun itu, sampai pada alasan yang paling sederhana, ekonomi. Untuk itulah
istilah konversi agama muncul.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keraguan dalam keagamaan?
2. Bagaimana fenomena konversi Agama?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui keraguan dalam keagamaan.
2. Untuk mengetahui fenomena konversi agama.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keraguan dalam Agama


Keraguan (Doubt) adalah keadaan gelisah dan tidak puas dari mana kita
berjuang untuk membebaskan diri dan menjadi yakin, sedangkan yang keyakinan
adalah keadaan tenang dan puas yang mana kita tidak ingin menghindari atau
untuk mengubah suatu kepercayaan apa pun. Sebaliknya, kita berpegang teguh,
bukan hanya untuk percaya, tetapi untuk percaya apa yang kita percaya.1
Dalam kehidupan beragama, mengalami keragu-raguan adalah hal yang tidak
dipungkiri akan terjadi dalam diri manusia. Subandi menjelaskan bahwa fase yang
paling mungkin timbul adanya keraguan beragama dalam perkembangan agama
manusia ialah pada masa remaja.
Dimana kondisi psikologi remaja ternyata mempunyai pengaruh yang cukup
besar dalam kehidupan mereka. Kemampuan berfikir abstrak, teoritik dan kritis
telah mewarnai kehidupan beragama remaja. Ia tidak lagi meniru begitu saja
ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh orang tuanya, bahkan pelajaran agama
yang telah mereka dapatkan sewaktu masih kanak-kanak mulai dipertanyakan,
sehingga kerap sekali menimbulkan keraguan beragama.2
Clark melihat bahwa keragu-raguan beragama (religius doubt) memang
merupakan karakteristik kehidupan beragama pada masa remaja yang sangat
menonjol. Hal-hal yang meragukan dapat menyangkut ibadah ritual, bahkan tak
jarang ia meragukan esensi Tuhan sendiri. Sikap keraguan beragama ini selain
dipacu oleh perkembangan kognitif, adanya masukan informasi pengetahuan, juga
karena penjelasan ilmiah. Ilmu pengetahuan dipersepsikan oleh remaja sebagai hal
yang kontradiktif.
Contoh yang sering terjadi adalah pertentangan antara teori evolusi Charles
Darwin yang menyatakan bahwa asal usul manusia adalah dari kera dengan ajaran
agama (tradisi Semitis) yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam yang menyatakan
1
Afga Sidiq Rifai, Kebenaran dan Keraguan dalam Studi Keislaman, JPA Vol. 20 No 1
Januari-Juni 2019, h. 99-100.
2
Subandi, Perkembangan Kehidupan Beragama, Buletin Psikologi, Tahun III No. 1
Agustus 1995,h. 13-14 .

3
4

bahwa manusia pertama adalah Adam. Menurut Alfred Binet, sebagaimana


diungkap oleh Zakiah Daradjat, 60 kemampuan untuk mengerti masalah-masalah
yang abstrak tidak sempurna perkembangannya sebelum mencapai usia 12 tahun.
Dan kemampuan untuk mengambil kesimpulan yang abstrak dan fakta-fakta yang
ada baru tampak pada usia 14 tahun.
Oleh karena itu pada usia 14 tahun telah dapat menolak saran-saran yang
tidak dimengertinya dan mengkritik pendapat-pendapat tertentu yang berlawanan
dengan kesimpulan yang diambilnya. Keragu-raguan dan konflik keagamaan pada
lain pihak juga dipicu oleh adanya perbedaan antara ajaran agama yang satu
dengan lainnya. Apalagi jika ditambah oleh adanya perbedaan antara ajaran
agama yang selalu mengajarkan kebaikan, namun kenyataan menunjukkan
pemandangan yang berbeda.3
Jerslld, dkk (1978) menyatakan bahwa biasanya anak beragama karena
orangtuanya beragama, atau menirukan orangtuanya yang beragama. Ungkapan
ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh ldrus (1998) yang
menemukan bahwa seorang remaja beragama karena "warts an" dari orangtuanya.
Hal senada sekali lagi sesuai penelitian Artanto (2006) bahwa seorang anak
memiliki gagasan tentang Tuhan berdasarkan pengajaran orangtuanya. Namun,
kepercayaan anak terhadap Tuhan, bersifat dinamis. la bergerak melalui
serangkaian proses yang dinamis.4
Dalam tulisannya Tambunan (2001) mengungkap bahwa masa remaja sering
kali ditandai dengan mulainya mereka meragukan konsep dan keyakinan akan
agamanya di masa kanak-kanak, sehingga periode ini disebut sebagai periode
keraguan religius (religious doubt). Penelitian al-Maligy (Nizar, 1992)
menemukan bahwa keraguan remaja akan agamanya mutai ban yak dialami
remaja yang berusia 17 tahun, dan kemudian menurun pada usia 21 tahun. Hasil
penelitian yang dilakukan Hutsebaut dan Verhoeven . (1991) menyimpulkan
bahwa persentase subjek yang tidak percaya pada Tuhan semakin meningkat pada

Endang Kartikowati, Psikologi Agama & Psikologi Islami, (Jakarta: Kencana, 2016), h.
3

26-27.
Muhammad Idrus, Keraguan Kepada Tuhan pada Remaja, Psikologika, No.21 Tahun XI
4

Januari 2006, h.32


5

usia akhir remaja, sedangkan persentase mereka yang sangat percaya menurun
pada usia yang sama.5
Menurut Ramayulis keraguan dan kebimbangan remaja terhadap agama yang
dianutnya dapat dibagi menjadi dua bentuk,

a. Keraguan disebabkan adanya kegoncangan dalam jiwanya karena


terjadinya proses perubhan dalam diri pribadinya, maka keraguan sepereti
ini dianggap suatu kewajaran

b. Keraguan yang disebabkan adanya kontradiksi antara kenyataan-kenyataan


yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya sesuai dengan pengetahuan
yang dimiliki.

Keraguan tersebut antara lain karena adanya pertentangan ajaran agama


dengan ilmu pengetahuan, antara nilai-nilai moral dengan kelakuan manusia
dalam realitas kehidupan, antara nilai-nilai agama dengan perilaku tokoh-tokoh
agama, seperti guru, ulama, pemimpin, dan orang tua. Zakiah Daradjat dalam
bukunya Ilmu Jiwa Agama menulis bahwa: Suatu hal yang tak boleh dilupakan,
ialah, bahwa kebimbangan itu tergantug kepada dua faktor penting, yaitu keadaan
jiwa orang yang bersangkutan dan keadaan sosial serta kebudayan yang
melingkupi remaja tersebut.6

Timbulnya konflik/keraguan terhadap agamanya merupakan gambaran dari


keadaan masyarakat, yang dipenuhi oleh penderitaan, kemorosotan moral,
penyimpangan-penyimpangan dan korupsi pada setiap aspek kehidupan, seolah-
olah agama atau oraganisiasi tertentu tidak mampu membimbing anggotanya ke
arah yang baik.

Selanjutnya Salamini mengemukan hasil analisis penelitian W. Starbuck


bahwa timbulnya keraguan manusia terhadap agama disebabkan beberapa faktor,
diantaranya yaitu 1) Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir terhadap konsep
keagamaan dan jenis kelamin individu; 2) Kesalahan organisasi dan pemuka
Muhammad Idrus,Keraguan Kepada Tuhan pada Remaja,h.32
5

Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama, Al-
6

Adyan vol.VIII No. 1 januari-juni 2013 h.32-33.


6

agama; 3) Naluriah; 4) Lingkungan masyarakat dan pendidikan 5).


Percampuradukan antara agama dan mistik.7

Secara umum, konflik atau keraguan keagamaan yang terjadi pada individu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Intelegensia (intelegence)

Ramayulis mengemukan istilah intelegensia menurut Crow dan Crow


bahwa intelegensi berarti kapasitas umum dan seorang individu yang dapat
dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan
kebutuhankebutuhan baru, keadaan rohaniah secara umum yang dapat
disesuaikan dengan problem-problem dan kondisi-kondisi yang baru didalam
kehidupan. 8

Dalam konteks ini, timbulnya konflik keagamaan disebabkan manusia


sebagai makhluk berfikir, dengan berfikir seseorang dapat menghadapi
masalah-masalah kehidupannya. Dan bila seseorang tidak memiliki
kemampuan berfikir yang logis niscaya tidak dapat memahami konsep-
konsep agama, hidup, dan sosial dengan baik dan benar, Kondisi itu akan
menimbulkan konflik, kebimbingan atau keraguan dalam diri mereka. Misal,
manusia yang mengindentifikasikan bahwa Tuhan iu sama dengan manusia,
hal ini menunjukkan bahwa intelegensianya belum berfikir dengan logis
karena mereka menyamakan kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan yang
dimiliki manusia.

b. Faktor Jenis Kelamin

Faktor ini termasuk salah satu data dan fakta yang cukup mempengaruhi
terjadinya kebimbangan individu terhadap agama yang disebabkan perbedaan
jenis kelamin. Dimana jenis kelamin perempuan sedikit sekali mengalami
kebimbangan dalam beragama, sedangkan jenis kelamin laki-laki lebih
banyak terjadinya kebimbangan dalam beragama. Disebabkan laki-laki lebih
7
Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama, h.29
8
Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama, h.34
7

banyak menganalisa ajaran-ajaran agama yang akan dianutnya dengan


pemikiran. Sedangkan wanita kebanyakkan menerima jaran-ajaran agama
tanpa kritik.9

c. Tradisi Agama

Faktor lain yang mendorong timbulnya kebimbangan dalam beragama


adalah tradisi keagamaan (religious tradition). Keluarga yang hidup
dilingkungan masyarakat yang keras dan ketat dalam memegang nilai-nilai
dan ajaran agamanya akan menimbulkan keraguan (kebimbangan) terhadap
agama yang memiliki tradisi keagamaan, Sebaliknya, orang-orang yang
melaksanaan tradisi-tradisi yang telah mereka terima secara turun temurun,
akan turut membentuk sikap keagamaan indiividu. Dalam sosiologi tradisi
keagamaan itu termasuk kedalam pranata primer..yang sulit untuk dirobah
karena menyangkut dengan kepercayaan, agama dan jati diri individu.10

d. Konflik Sosial

Konflik sosial adalah konflik atau kebimbangan yang terjadi dalam


masyarakat, bersumber dari masalah-masalah agama. Hal ini didasarkan atas
pengamatan ahli sosiologi agama bahwa terjadinya pertentangan bathin atau
kebimbangan ada yang disebabkan masalah-masalah agama dan ada pula
yang bersumber pada masalah sosial. Kendatipun fungsi agama tak dapat
dibuktikan dengan fakta yang ada, baik dalam bentuk positif maupun dalam
bentuk negatif. Sebagaimana terjadinya perpecahan diantara manusia yang
bersumberkan pada agama, perpecahan itu tidak akan terjadi bila tidak
diawali oleh konflik (pertentangan) dalam masyarakat. Masyarakat itu bukan
hanya sekedar sebuah struktur sosial, tetapi juga merupakan suatu proses
sosial yang kompleks. Hubungan nilai, dan tujuan masyarakat hanya relatif
stabil pada setiap momet tertentu saja.11

e. Konflik Budaya
9
Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama, h.35
10
Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama, h.35
11
Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama, h.37
8

Dadang Kahmat dalam bukunya Sosiologi agama (Potret Agama dalam


Dimanika Konflik, Pluiralisme dan Modernitas menjelaskan bahwa
perbedaan tingkat kebudayaan pemeluk agama menjadi penyebab munculnya
konflik antara agama. Masyarakat yang telah mengalami modernisasi
mempunyai visi tersendiri dengan hubungan antar pemeluk agama. Berbeda
dengan masyarakat yang masih tradisional, yang selalu curiga pada hal baru
atau terhadap sesuatu yang asing.

Dalam antropologi agama terdapat agama budaya dan budaya agama.


Menurut Hilman Hadikusuma bahwa timbulnya agama budaya dalam alam
pikiran manusia adalah dikarenakan adanya getaran jiwa yang disebut emosi
keagamaan atau religious emotion. Selanjutnya Hilman menjelaskan karena
adanya emosi keagamaan maka timbullah pemikiran, pendapat, perilaku
kepecayaan terhadap sesuatu benda nyang dianggap sesuatu benda yang
dianggap mempunyai kekuatan luar biasa, dinggap keramat atau
dikeramatkan dan dianggap suci, serta disayangi atau ditakuti. Sedangkan
budaya agama adalah hasilhasil pemikiran dan perilaku budaya yang
menyangkut keagamaan. Budaya agama tersebut sesuai dengan ajaran agama
dan kepercayaan masing-masing, ada yang muncul dalam benak manusia
berdasarkan kehendak yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi, dan ada
yang muncul dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi
manusia sendiri. Perbedaan budaya itu memicu timbulnya beragai bentuk
dalam masyarakat.12

Dengan demikian, agama budaya dan budaya agama melahirkan berbagai


bentuk kebudayaan. kebudayaan itu diwariskan secara turun temurun,
sehingga menjadi menjadi acuan bagi masyarakat dalam bersikap, dan
bertindak akhirnya menjadi sebuat tradisi keagamaan, dari tradisi keagamaan
yang telah mengkristal dalam masyarakat maka lahirlah sikap keagamaan,
kemudian dari sikap keagamaan yang berbedabeda itu menimbulkan konflik
dan keraguan.

12
Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama, h.41-42
9

Keraguan dalam agama adalah kondisi yang tidak bisa terelakkan terjadi
dalam ruang lingkup kehidupan beragama manusia. Padahal agama adalah salah
satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Untuk bisa terhindar dari keragu-
raguan ini ialah dengan senantiasa terus mengkaji agama yang dianut, memahami
dan meyakininya sebagai pegangan hidup yang tidak boleh dilepaskan.

B. Konversi Agama
1. Pengertian Konversi Agama
Secara bahasa (etimologi) kata konversi berasal dari kata Latin “conversio”
yang berarti tobat, pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai
dalam kata Inggris “conversion” yang mengandung pengertian: berubah dari suatu
keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one
religion, to another).13 Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat di simpulkan
bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama,
berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam
agama baru.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama antara lain:
Menurut Thouless dalam bukunya yang berjudul The Psycholgy of Religion
konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang
menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara
berangsur-angsur atau secara tiba-tiba.14
William James dalam buku The Varieties of Religious of Experience
mengatakan konversi agama adalah: To be converted, to be regenerated, to recive
grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which
denote to the process, gradual or sudden, by which a self hitherro divide, and
consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right
superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities.
(Berubah, membangkitkan, menerima rahmat, mengalami pengalaman
keagamaan, mencapai ketenangan, merupakan keragaman ungkapan yang
digunakan pada proses tersebut, baik terjadi secara berangsur-angsur atau tibatiba,

13
Masganti Sit, Psikologi Agama, (Medan: Perdana Publishing, 2014), h. 91.
14
Masganti Sit, Psikologi Agama, h. 91.
10

dimana perasaan seseorang terbagi antara menyadari kesalahan dan merasa tidak
bahagia menjadi perasaan perasaan benar dan bahagia. Konsekuensi akhirnya
seseorang memegangkan keyakinan agama dengan kokoh).15
Clark dalam bukunya The Psychology of Religion mendefinisikan konversi
agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang
mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan
tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan
bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah
SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau
dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.
Heirich sebagaimana dikutip Ramayulis mengatakan bahwa konversi agama
adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang
masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan
dengan kepercayaan sebelumnya.16
Berdasakan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
konversi agama adalah perubahan keyakinan seseorang terhadap agama yang
dianutnya, perubahan tersebut dapat bersifat intern seperti tetap dalam agama
yang telah dianutnya tetapi dengan ketaatan yang lebih baik atau pindah ke agama
lain dengan keyakinan yang lebih baik. Proses perubahan sikap beragama tersebut
dapat terjadi secara mendadak atau melalui proses yang bertahap. Konversi agama
dapat terjadi dalam berbagai usia.
Dimulai dari usia 14 tahun sampai seumur hidup. Menurut Spilka konversi
agama yang terjadi dalam satu agama selalu terjadi pada usia remaja dan usia
lanjut, sedangkan konversi agama dalam bentuk pindah agama cenderung terjadi
pada masa dewasa awal.
2. Faktor-faktor Penyebab Konversi Agama
Menurut Mukti Ali, faktor-laktor yang mempengaruhi terjadinya konversi
agama menackup lima faktor17 sebagai berikut:
15
Masganti Sit, Psikologi Agama, h. 91.
16
Masganti Sit, Psikologi Agama, h. 92.
17
Kurnial Ilahi, dkk., Konversi Agama (Kajian Teoritis dan Empiris terhadap Fenomena,
Faktor, dan Dampak Sosial di Minangkabau), (Malang: Kalimetro Inteligensia Media, 2017), h.
11.
11

1) Faktor keluarga; keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama,


kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum
kerabat lainnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan
mengalami tekanan batin yang menimpa dirinya,
2) Faktor lingkungan tempat tinggal; orang yang merasa terlempar dari
lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat
merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian
menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat
untuk bergantung hingga kegelisahan batinnya hilang,
3) Faktor perubahan status; perubahan status terutama yang berlangsung
secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama,
misalnya; perceraian, keluar dari sekolah ataupun perkumpulan,
perubahan pekerjaan, kawin dengan orang yang berlainan agama dan
sebagainya,
4) Faktor kemiskinan; kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan
faktor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
Masyarakat awam yang miskin cenderung untuk memeluk agama yang
menjanjikan kehidupan dunia yang lebih baik. Kebutuhan mendesak akan
sandang dan pangan dapat mempengaruhi, dan
5) Faktor pendidikan; dalam hal ini literatur ilmu sosial menampilkan
argumentasi bahwa pendidikan memainkan peranan lebih kuat atas
terbentuknya disposisi religius yang lebih kuat bagai kaum wanita dari
pada kaum pria. Lebih lanjut ditemukan fakta dari pendirian sekolah-
sekolah keagamaan yang dipimpin oleh Yayasan-yayasan berbagai
agama. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian kecil saja dari seluruh
jumlah anak didik dari sekolah tersebut masuk agama yang dipeluk
pendirinya. Hanya sejauh itu dapat dibenarkan sistem pendidikan lewat
persekolahan termasuk faktor pendorong masuk agama.
Menurut Zakiyah Daradjat, ada lima faktor yang mempengaruhi terjadinya
konversi agama yaitu: ketegangan perasaan, pengaruh hubungan dengan tradisi
12

agama, ajakan/ seruan dan sugesti, emosi dan faktor kemauan. 18 Secara rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Pertentangan batin dan ketegangan perasaan; orang-orang yang mengalami
konversi agama dimana dalam dirinya terjadi kegelisahan, gejolak
berbagai persoalan yang kadang-kadang tidak mampu dihadapinya sendiri.
Di antara yang menyebabkan ketegangan dan kegoncangan dalam dirinya,
karena ia tidak mempunyai seseorang dalam menguasai nilai-nilai moral
dan agama dalam hidupnya. Sebenarnya orang tersebut mengetahui mana
yang benar untuk dilakukan, akan tetapi tidak mampu untuk berbuat
sehingga mengakibatkan segala yang dilakukannya serba salah, namun
tetap tidak mau melakukan yang benar. Dapat dikatakan, dalam semua
peristiwa konversi agama mempunyai latar belakang yang terpokok adalah
konflik jiwa (pertentangan batin) dan ketegangan perasaan, yang
disebabkan oleh berbagai keadaan. Kepanikan atau kegoncangan jiwa itu
kadang-kadang membuat orang tiba-tiba mudah terangsang melihat
aktivitas keagamaan seseorang, atau kebetulan mendengar uraian agama
yang mampu menggoyahkan keyakinan sebelumnya, karena yang baru itu
dianggapnya dapat memberi ketenangan dan kepuasan batin serta mampu
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
b. Pengertian hubungan dengan tradisi agama; di antara pengaruh yang
terpenting sehingga terjadi konversi agama adalah faktor pendidikan yang
diberikan oleh orang tuanya di waktu kecil, dan keadaan orang tua itu
sendiri apakah termasuk orang yang kuat dan tekun beragama atau tidak.
Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya dalam konversi agama adalah
lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gereja-gereja. Aktivitas
lembaga keagamaan itu mempunyai pengaruh besar, terutama lembaga
keagamaan sosialnya. Kebiasaan sewaktu kecil melalui
bimbinganbimbingan di lembaga keagamaan, itulah termasuk salah satu
faktor yang memudahkan terjadinya konversi agama, jika pada usia

18
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 246.
13

dewasanya mengalami acuh tak acuh pada agama dan mengalami konflik
jiwa dan ketegangan batin yang tidak teratasi.
c. Ajakan/seruan dan sugesti; peristiwa konversi agama terjadi karena ajakan
dan sugesti, yang pada mulanya hanya bersifat dangkal saja atau tidak
mendalam tidak sampai pada perubahan kepribadian, namun jika orang
yang mengalami konversi dapat merasakan ketenangan dan kedamaian
batin dalam keyakinan itu dalam kepribadiannya. Orang-orang yang
sedang gelisah mengalami keguncangan batin akan mudah menerima
ajakan dan sugesti atau bujukan dari orang lain, apalagi sugesti tersebut
menjanjikan harapan akan terlepas dari kesengsaraan batin yang sedang
dihadapinya. Karena orang yang sedang gelisah atau guncang batinnya itu
inginnya hanya segera terlepas dari penderitaannya. Sementara itu ada
pemimpin agama yang mendatangi orang-orang yang mulai
memperlihatkan kegoyahan keyakinannya yang disebabkan beberapa hal;
karena keadaan ekonomi, rumah tangga, persoalan pribadi dan moral.
Dengan datang membawa nasihat, bujukan dan hadiah-hadiah yang
menarik akan menambah simpatik hati orang-orang yang sedang
mengalami kegoncangan tersebut yang sedang membutuhkan pedoman
baru yang dijadikan pedoman dalam hidupnya.
d. Faktor emosional; salah satu faktor yang mendorong terjadinya konversi
agama adalah pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam
kaitannya dengan agama mereka. Berdasarkan penelitian George A. Cob
terhadap orang-orang yang mengalami konversi agama lebih banyak
terjadi pada orang-orang yang dikuasai emosinya, terutama orang yang
sedang mengalami kekecewaan akan mudah kena sugesti, terutama bagi
orang emosional. Dalam pengalaman emosional ini akan mengakibatkan
berkembangnya keyakinan keagamaan atau bisa juga suatu corak
pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan yang
mungkin memperkuat, memperkaya atau justru malah memodifikasi
kepercayaan keagamaan yang sudah diikuti sebelumnya.
14

e. Faktor kemauan; beberapa kasus konversi agama terbukti dari hasil suatu
perjuangan batin dan kemauan yang ingin mengalami konversi, dengan
kemauan yang kuat seseorang akan mampu mencapai puncaknya yaitu
dalam dirinya mengalami konversi. Hal ini dapat diikuti dari riwayat hidup
al-Ghazali yang mengalaminya, bahwa pekerjaan dan buku-buku yang
dikarang bukanlah datang dari keyakinan tapi datang dari keinginan untuk
mencari nama dan pangkat.
3. Proses Terjadinya Konversi Agama
Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran
sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan
bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
Demikian pula seseorang atau sekelompok orang yang mengalami konversi
agama. Segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola
tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya (agama), maka setelah
terjadi konversi agama pada dirinya secara spontan pula lama ditinggalkan sama
sekali. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama, seperti harapan,
rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi berlawanan arah.
Timbullah gejala-gejala baru berupa perasaan serba tidak lengkap dan tidak
sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk merenung,
timbulnya tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa
depan, dan perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan.
Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin,
sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya.
Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami oleh seseorang atau sekelompok
orang maka dirinya menjadi lemah dan pasrah ataupun timbul semacam peledakan
perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan batin itu. Ketenangan batin
akan terjadi dengan sendirinya bila yang bersangkutan telah mampu memilih
pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan
petaruh bagi masa depannya, sehingga ia merupakan pegangan baru dalam
kehidupan selanjutnya.
15

Konversi terjadi melalui proses yang singkat maupun bertahap. H. Carrier


membagi proses tersebut dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:19
a) Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari
krisis yang dialami.
b) Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru. Dengan
adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan
dengan struktur lama.
c) Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut
oleh agamanya.
d) Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan
suci petunjuk Tuhan.
Zakiah Dardajat, memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan
yang terjadi melalui lima tahap,20 yaitu:
a) Masa tenang Disaat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan
tenang, karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Dimana
segala sikap, tingkah laku dan sifatsifatnya acuh tak acuh.
b) Masa ketidaktenangan Tahap ini barlangsung jika masalah agama telah
memengaruhi batinnya. Konflik dan pertentanganbatin berkecamuk dalam
hatinya, gelisah, putus asa, tegang, panik. Baik disebabkan oleh moralnya,
kekecewaan atau oleh apapun juga.
c) Masa konversi Tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami
keredaan, karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan
menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun
timbulnya rasa pasrah. Atau dimana masa konversi itu sendiri setelah
masa goncang itu mencapai puncaknya, maka terjadilah peristiwa
konversi itu sendiri. Orang tibatiba mendapatkan petunjuk Tuhan,
mendapatkan kekuatan dan semangat.

19
Mulyadi, “Konversi Agama”, Jurnal Tarbiyah Al-Awlad Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan, h. 32.
20
Mulyadi, “Konversi Agama”, Jurnal Tarbiyah Al-Awlad Fakultas Tarbiyah, h. 32.
16

d) Masa tenang dan tenteram Masa tenang dan tenteram yang kedua ini
berbeda dengan tahap sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu
dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan
ketenteraman pada tahap ini ditimbulkan oleh kepuasan terhadap
keputusan yang sudah diambil.Setelah krisis konversi lewat dan masa
menyerah dilalui, maka timbullah perasaan atau kondisi jiwa yang baru,
rasa aman di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni tuhan, tiada
kesalahan yang patut disesali, semuanya teah lewat, segala persoalan
menjadi enteng dan terselesaikan.
e) Masa ekspresi konversi Sebagai ungkapan dari menerima terhadap konsep
baru dalam ajaran agama yang diyakini tadi, maka tindak tanduk dan
sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang
dipilihnya tersebut.
Dengan demikian, konversi agama itu sebenarnya melalui tahapan-tahapan
yang agak panjang. Namun apabila tidak diperhatikan dengan teliti, tahapan-
tahapan itu tidak begitu kelihatan. Bahkan sekilas dipandang tidak menunjukan
adanya perubahanperubahan pada diri seseorang, tiba-tiba ia sudah menyatakan
secara terbuka telah pindah agama, sehingga terkesan kejadiannya begitu tiba-tiba
atau mendadak. Padahal sebenarnya kalau diamati, ia telah lebih dahulu
mengalami kegoncangan spritual yang amat dahsyat sehingga ia terpaksa
mengalami konversi agama.
4. Dampak Konversi Agama dalam Kehidupan Sosial
Ketika seseorang telah memilih untuk melakukan konversi agama pasti akan
menerima dampak sosial dari yang talah menjadi pilihan mereka, dampak tersebut
bisa berupa perlakuan tidak adil, diskriminasi, dan tekanan batin pelaku konversi,
namun hal itu merukapan konsekeunsi dari apa yang sudah menjadi pilihan orang
tersebut dan tentunya para pelaku konversi sebelum memilih melakukan tindakan
tersebut pastilah sudah mengetahui dan siapa atas apa yang terjadi dengan
kehidupannya pasca konversi agama nantinya.21

21
Machrus Hakim, Skripsi Dampak Sosial Konversi Agama, (Surabaya: UIN Surabaya,
2017), h. 34.
17

Meskipun fenomena konversi agama kebanyakan berdampak negatif namun


bukan berarti dampak dari konversi agama ini tidak memiliki dampak positif,
buktinya banyak konversi agama memiliki dampak positif bagi pelakunya seperti
menciptakan keharmonisan dalam keluarga. Dengan kata lain dampak dari
konversi agama akan menjadi nilai positif atau negatif tergantung dari pribadi
pelaku itu sendiri dan juga tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosial keagamaan
yang ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keraguan (Doubt) adalah keadaan gelisah dan tidak puas dari mana kita
berjuang untuk membebaskan diri dan menjadi yakin, sedangkan yang
keyakinan adalah keadaan tenang dan puas yang mana kita tidak ingin
menghindari atau untuk mengubah suatu kepercayaan apa pun.
Sebaliknya, kita berpegang teguh, bukan hanya untuk percaya, tetapi
untuk percaya apa yang kita percaya.
Dalam kehidupan beragama, mengalami keragu-raguan adalah hal yang
tidak dipungkiri akan terjadi dalam diri manusia. Subandi menjelaskan
bahwa fase yang paling mungkin timbul adanya keraguan beragama
dalam perkembangan agama manusia ialah pada masa remaja.
2. Konversi agama adalah perubahan keyakinan seseorang terhadap agama
yang dianutnya, perubahan tersebut dapat bersifat intern seperti tetap
dalam agama yang telah dianutnya tetapi dengan ketaatan yang lebih baik
atau pindah ke agama lain dengan keyakinan yang lebih baik. Proses
perubahan sikap beragama tersebut dapat terjadi secara mendadak atau
melalui proses yang bertahap. Konversi agama dapat terjadi dalam
berbagai usia.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan
saran  yang bersifat membangun sangatlah diharapkan terutama dari Ibu dosen
Pengajar dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini dimasa
mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah
wawasan kita.

18
DAFTAR PUSTAKA
Afga Sidiq Rifai. Kebenaran dan Keraguan dalam Studi Keislaman. JPA Vol. 20
No 1 Januari-Juni 2019.
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2005.
Hakim, Machrus. Skripsi Dampak Sosial Konversi Agama. Surabaya: UIN
Surabaya. 2017.
Ilahi, Kurnial dkk. Konversi Agama (Kajian Teoritis dan Empiris terhadap
Fenomena, Faktor, dan Dampak Sosial di Minangkabau). Malang:
Kalimetro Inteligensia Media. 2017.
Kartikowati, Endang. Psikologi Agama & Psikologi Islami. Jakarta: Kencana.
2016.
Muhammad Idrus. Keraguan Kepada Tuhan pada Remaja. Psikologika, No. 21
Tahun XI Januari 2006.
Mulyadi. Konversi Agama. Jurnal Tarbiyah Al-Awlad Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan.
Sit, Masganti. Psikologi Agama. Medan: Perdana Publishing. 2014.
Subandi. Perkembangan Kehidupan Beragama. Buletin Psikologi. Tahun III No.
1 Agustus 1995.
Syaiful Hamali, konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama,
Al-Adyan vol.VIII No. 1 januari-juni 2013.

19

Anda mungkin juga menyukai