Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PSIKOLOGI SOSIAL

“TEORI KEBUTUHAN UNTUK DIMILIKI”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kepribadian Kelas 4
Dosen Pengampu: Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A.

Disusun oleh:
KELOMPOK 10

1. Fadhilla Rizki 15000120120046


2. Paquita Rahmadini Putri Karseno 15000120130278
3. Annisa Marwah Dinul Ikhsan 15000120140092
4. Indira Andiningtyas 15000120140104
5. Bintan Zamzabila 15000120140110
6. Muhammad Azmii Sajid 15000120140152
7. Tria Umita 15000120140168

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO

2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah yang ditugaskan kepada kelompok kami. Makalah yang kami
buat ini berjudul “Kebutuhan untuk dimiliki”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan pihak lain yang dengan tulus memberikan saran dan kritik sehingga makalah
ini dapat terselesaikan. Makalah ini kami buat sebaik mungkin sesuai dengan kaidah
dan ketentuan penulisan dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Psikologi Sosial.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat berguna bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Semarang, Februari 2021

Penulis

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar.........................................................................................................................ii

Daftar Isi...................................................................................................................................iii

Bab I Pendahuluan....................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Tujuan.............................................................................................................................1
C. Manfaat...........................................................................................................................1

Bab II Pembahasan...................................................................................................................2

1. Pengantar.........................................................................................................................2
2. Bagaimana Proyek Dimulai............................................................................................2
3. Tantangan Dari Teori yang Ada......................................................................................3
4. Membangun Teori Dasar.................................................................................................5
5. Teori Perluasan: Harga Diri Sebagai Sosiometer............................................................8
6. Memperluas Teori: Perbedaan Gender dalam Kepemilikan.........................................11
7. Menguji Teori: Pengaruh Penolakan.............................................................................16
8. Teori Baru Tentang Emosi............................................................................................17
9. Sifat dan Budaya Manusia............................................................................................18
10. Pria, Wanita, dan Budaya..............................................................................................20
11. Aplikasi dan Implikasi..................................................................................................22

Bab III Penutup.......................................................................................................................23

A. Kesimpulan...................................................................................................................23

Daftar Pustaka.........................................................................................................................24
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia setiap harinya berinteraksi sosial. Dan jawaban simpelnya
hanya karena manusia adalah mahluk sosial. Namun, lebih maknanya
dibandingkan itu. Manusia merupakan mahluk kompleks yang memiliki
berbagai kebutuhan dan salah satu fungsi berinteraksi adalah untuk
pemenuhan kebutuhan tersebut. Manusia juga merupakan mahluk yang
kompleks karena memiliki emosi dan pikiran. Emosi ini membuat manusia
merasa hal seperti rasa cemas. Rasa cemas terhadap seseorang akan
membuatnya merasa tertekan. Oleh karena itu, untuk mengurangi kecemasan
itu, manusia berinteraksi membentuk kelompok dan hingga ada rasa untuk
memiliki.
Baik perempuan maupun laki-laki memiliki perasaan untuk berada di
kelompok dan perasaan memiliki. Meski berbeda kebutuhannya, tetapi
kebutuhan dasarnya tetap sama. Jika terjadi penolakan suatu individu dalam
suatu kelompok, terbentuklah sifat yang negatif dalam suatu individu. Oleh
karena itu, perlunya penyesuaian suatu individu agar diterima oleh suatu
kelompok dan agar tidak terbentuk sifat negatif. Sebenarnya sudah sifat
naluriah seorang manusia untuk berkumpul menjadi suatu kelompok sebagai
mahluk sosial. Selanjutnya, akan dibahas di dalam makalah ini.

B. Tujuan
 Mengetahui apakah manusia dapat puas saat berelasi sosial
 Mengetahui motivasi berelasi sosial
 Mengetahui hubungan psikologis dengan relasi sosial
 Mengetahui hubungan harga diri, gender, budaya dengan relasi sosial

C. Manfaat
Memberikan pemahaman bagaimana sifat, budaya, jenis kelamin, emosi, dan
hubungan antara proses batin dan interpersonal dalam teori kebutuhan untuk
dimiliki.

1
BAB 2

PEMBAHASAN

1. Pengantar
Manusia punya kebutuhan dasar untuk memiliki. Manusia termotivasi
untuk membentuk dan menjaga hubungan sosialnya. Ide sederhana yang
menipu ini merupakan topik dari artikel ulasan oleh Mark Leary dan Roy
yang membuat Roy sibuk untuk beberapa tahun di awal 1990-an, hingga
publikasinya (Baumeister and Leary, 1995). Ide yang sederhana ini tanpa
disangka mengarah ke banyak arah. Ide ini memengaruhi kognisi, emosi, dan
perilaku secara luas. Selain itu, ide tersebut menimbulkan pertanyaan dasar
penting tentang sifat manusia, budaya, jenis kelamin, emosi, dan bagaimana
fungsi kejiwaan manusia.

2. Bagaimana Proyek Dimulai


Langkah krusial yang membawa Roy dan Leary untuk menulis “need-
to-belong” berdasar pada beberapa percakapan dan perbincangan pada akhir
tahun 1980-an. Sekitaran tahun tersebut, Bibb Latané mengadakan konferensi
kecil setiap musim panas di sebuah properti miliknya di Nags Head, Carolina
Utara. Tema utama dari konferensi ini adalah “Kecemasan sering disebabkan
oleh ketakutan akan kematian.” Yang pasti, bukti teror dan kecemasan tidak
pernah kuat, dan pemikiran yang lebih baru telah meremehkan aspek teror,
tetapi pada awalnya itu adalah sentral. Dengan demikian, gagasan intinya
sangat individualistis: Seseorang tahu bahwa dia akan mati dan berakibat
mengalami kecemasan, oleh karena itu ia melakukan berbagai perilaku untuk
melepaskan diri dari kecemasan tersebut.
Pada suatu tahun, Leary dan Roy serta Dianne Tice hadir dan
mendengarkan presentasi manajemen teror. Mereka membahas teori
manajemen teror kecemasan dan bertanya-tanya apakah kecemasan benar-
benar didasarkan pada kematian. Mereka tidak tahu apa yang dipikirkan oleh
para peneliti, terlepas dari teori awal Freud bahwa kecemasan pada pria
berasal dari ketakutan akan pengebirian, dan dari teori selanjutnya
(dielaborasi oleh Bowlby dan lainnya) bahwa pemisahan sosial adalah akar
dari kecemasan.
Rasa keingintahuan Roy dan rekan-rekannya makin meningkat.
Mereka pun mulai meninjau literasi untuk mempelajari kecemasan. Tujuan
peninjauan ini adalah untuk mengetahui penyebab kecemasan sebenarnya.
Mereka menemukan beberapa bukti yang mendukung pandangan manajemen
terror: Beberapa orang memang memiliki kecemasan akan kemungkinan
cedera atau kematian. Tapi sejauh ini stimulus yang terbesar adalah ketakutan
akan ditolak dan ditinggalkan oleh orang lain. Orang-orang membentuk ikatan
sosial dengan sangat mudah dan secara tidak rasional enggan untuk
membiarkan ikatan sosial terputuskan, bahkan terus bertukar kartu Natal
dengan orang yang tidak mereka kenal (Kunz dan Woolcott, 1976).

3. Tantangan dari Teori yang Ada


Seperti yang Roy kemukakan, asumsi sebuah keinginan untuk
diketahui bukanlah revolusioner. Kontribusi Roy dan rekan-rekannya
bukanlah penemuan penggerak baru, melainkan pemikiran yang
disempurnakan atas jangkauan dan kekuatannya. Namun, beberapa teori
penting memiliki posisi yang sangat relevan.
Salah satu teori motivasi paling terkenal dari abad ke-20 adalah
hierarki kebutuhan Maslow. Ia membuat daftar lima kebutuhan, dimana
kebutuhan untuk dimiliki adalah setengah dari satu (ia menggabungkannya
dengan kebutuhan akan cinta.) Dan terlebih lagi peletakkannya di tengah
hierarki. Posisi tengah berarti bahwa kebutuhan akan rasa memiliki harus
menunggu sampai kebutuhan fisiologis dan keamanan yang lebih mendasar
terpenuhi, meskipun kebutuhan tersebut akan lebih diutamakan daripada
bagian yang nantinya seperti aktualisasi diri dan harga diri. Dengan
meletakkannya di tengah pun, terdapat beberapa pertentangan dengan
argumen kami. Untungnya, sebagian besar upaya empiris untuk menguji teori
Maslow telah menyimpulkan bahwa hierarkinya tidak benar (contoh, Wahba
dan Bridwell, 1976).
Ide-ide yang bersaing tentang teori manajemen teror telah dicatat.
Pekerjaan lebih lanjut dari kelompok ahli teori menegaskan bahwa
menghindari kematian adalah motif utama dan bahwa semua motivasi lain
adalah turunan atau sekunder (Psyzczynski et al., 1997). Hal Ini menantang
pandangan kami tentang pentingnya kebutuhan untuk dimiliki. Dalam
pandangan mereka, kebutuhan untuk memiliki yang terbaik adalah turunan
dari dorongan untuk menghindari pikiran mengerikan tentang kematian.
Roy mengira terdapat banyak alasan untuk mengutamakan kebutuhan
akan dimiliki. Pertama, anak-anak takut dan memprotes jika ditinggalkan
sendirian dalam hari-hari pertama kehidupan, tetapi mereka tidak tahu bahwa
mereka akan mati sampai beberapa tahun kemudian. Serangkaian temuan
lebih lanjut telah ditinjau oleh Leary et al. (1994). Mereka menunjukkan
bahwa banyak perilaku presentasi-diri yang menyebabkan risiko bagi
kesehatan. Implikasinya adalah bahwa orang melakukan sesuatu untuk
memberi kesan yang baik pada orang lain meskipun hal tersebut
meningkatkan risiko kematian seseorang.
Roy menghadapi tantangan dari jenis berbeda yang diajukan oleh teori
keterikatan, seperti yang awalnya dikembangkan oleh John Bowlby.
Pandangannya mengenai dorongan dasar untuk terhubung cukup sesuai
dengan gagasan kami tentang kebutuhan untuk dimiliki. Pendekatannya
diturunkan dari karya Freud, dan pemahamannya tentang kecemasan
meremehkan skenario pengebirian Freud yang mendukung gagasan yang lebih
masuk akal mengenai separation anxiety.
Tetapi pada pandangan ini terdapat perbedaan yang mendasar. Sesuai
dengan akar Freud-nya, Bowlby melihat hubungan anak dengan ibunya
sebagai akar penyebab dari banyak hal yang terjadi setelahnya, termasuk
hubungan orang dewasa. Bahkan pada masa dewasa, dalam pandangan
Bowlby, melibatkan pencarian dan pembangunan hubungan seseorang untuk
menghidupkan kembali ikatan sebelumnya dengan sang ibu. Sebaliknya,
hubungan anak dengan ibunya hanyalah sebagai salah satu perwujudan awal
dan dari kebutuhan untuk dimiliki. Jadi, kebutuhan orang dewasa untuk
memiliki, dan hubungan orang dewasa, merupakan tanda lanjutan dari
dorongan mendasar yang sama, bukan sebagai konsekuensi dari hubungan
dengan sang ibu.

4. Membangun Teori Dasar


Ide inti dari kebutuhan yang perlu dimiliki adalah motivasi yang
mendasar, kuat, dan mendalam untuk membentuk dan mempertahankan
setidaknya sedikit relasi sosial. Kelemahan dari ide itu adalah kesederhanaan
yang menyebabkan kekurangan akan hal-hal baru. Teori lain menyebutkan
bahwa orang memiliki dorongan untuk membentuk ikatan sosial.
Oleh karena itu, kontribusi kita adalah mendokumentasikan seberapa
kuat motivasi dan tingkatan motivasi. Akan tetapi, motivasi seperti itu hanya
menjadi latar belakang, dipandang sebagai aspek yang relatif kecil dan tidak
menarik.
Relasi sosial bukanlah sebuah keinginan, melainkan sebuah
kebutuhan. Kebanyakan penyakit mental berasal dari kesepian yang berarti
minim berelasi sosial. Sebagai contoh, riset kesehatan mengatakan bahwa
orang yang kurang berelasi sosial memiliki tingkat kematian yang ebih tinggi
dari orang yang berelasi sosial.
Leary dan Roy menetapkan dua inti aspek kebutuhan untuk dimiliki.
Pertama, orang menginginkan kerangka kerja yang saling menguntungkan
bersama dan kepedulian terhadap masa lalu dan masa depan. Kedua, orang
menginginkan interaksi yang positif. Mendapatkan salah satu dari keduanya
belum memuaskan.
Relasi sosial tidak akan bisa memuaskan tanpa ikatan yang erat.
Seperti contoh seorang operator jalan tol berbicara dengan banyak orang
setiap hari, akan tetapi percakapnnya hanya sekilas, yang seperti itu tidak bisa
memuaskan kebutuhan berelasi sosial, contoh lainnya seperti pelacur yang
intim dengan banyak klien-nya setiap hari, tetapi pelacur itu tidak menemukan
kepuasan berelasi sosial meskipun berinteraksi sosial. Sementara itu pelaut
yang jauh dari istri yang bahkan enam bulan sekali bertemu, mereka hanya
sesekali berinteraksi melalui surat atau jika ada sinyal. Jadi, yang seperti itu
tidak bisa memenuhi kepuasan relasi sosial.
Akan tetapi, jika berelasi sosial secara langsung, namun bermusuhan,
kasar, kerusakan moral, maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang positif.
Lalu kami berpikir bahwa kami harus menetapkan orang butuh interaksi yang
positif dan nyaman, akan tetapi kami keberatan, karena banyak teman lama
dan pasangan yang telah lama menikah terlihat ingin kebersamaan tanpa harus
hal positif. Seperti contoh, sepasang suami istri keduanya pasangan karir,
mereka hanya ingin duduk dan menonton TV bersama, hal tersebut tidak
terlalu intim dan emosional. Alasan seperti itu mendorong Lary dan Roy
berargumen bahwa untuk sementara, interaksi tanpa kepositifan, tapi juga
tanpa kenegatifan dapat membuat kepuasan. Karenanya, kami menetapkan
istilah “non negative” untuk menjelaskan perlakuan yang berdampak pada
kebutuhan untuk terpenuhi.
Terdapat dua keunggulan dari motivasi, yaitu subtitusi dan kepuasan,
kedua hal tersebut terlihat memenuhi standar bahwa kita berpikir untuk
melihat apakah hal tersebut cocok dalam kebutuhan untuk dimiliki. Subtitusi
lebih mudah ditangani daripada kepuasan. Sebagai contoh orang yang
kelaparan perlu makanan, dan meskipun orang yang kelaparan mungkin
terstimulasi dengan gambar hamburger, tetapi sebagai gantinya orang tersebut
bisa terpuaskan dan kenyang dengan makanan lain. Mengenai logika
kebutuhan untuk dimiliki, kami mengungkapkan bahwa orang menginginkan
setidaknya sedikit koneksi sosial tertentu, dan untuk sebagian orang sampai
batas tertentu ikatan sosialnya dapat menggantikan berberapa orang yang
lainnya. Untuk memastikan, mereka akan menjaga ikatan yang mereka miliki,
tetapi jika mereka kehilangan salah satu ikatan sosialnya, mereka menjalin
ikatan sosial lagi dan puas.
Kemungkinan hubungan romatis menawarkan dasar yang paling tidak
bersahabat untuk menguji hipotesis subtitusi, karena orang merasakan bahwa
ikatan cinta itu unik dan tak tergantikan. Tetapi data perceraian menunjukkan
berkali-kali dalam kebaikan agar bercerai, kecenderungan mereka terhadap
segala hal perilaku disfungsional dan masalah kembali keatas, dan ketika
mereka menikah lagi, itu akan kembali ke bawah, menunjukkan bahwa
setidaknya dalam hal konsekuensi perilaku dan kesehatan, pernikahan kedua
adalah pengganti yang efektif dari yang pertama. Berberapa orang
meromantisasi patah hati mengatakan tidak ada pengganti untuk mengisi
hatinya, tapi pada umumnya orang menemukan pasangan yang sama baiknya,
jika tidak lebih baik.
Ide motivasi kepuasan lebih susah dibuktikan daripada motivasi
subtitusi. Kecukupan menunjukkan meskipun kamu menginginkan sesuatu,
lalu tercukupi, sehingga kamu tidak menginginkannya dan tidak
membutuhkannya lebih banyak. Ada sebuah studi pada murid yang berguna
pada sebuah koneksi atau relasi sosial, karena murid secara konstan
mengekspos ke orang lain dan bisa masuk prinsip interaksi dengan semua
orang baru setiap hari, atau dapat membentuk berberapa relasi yang stabil.
Mereka tampaknya membentuk empat sampai enam pertemanan yang
prioritas atau utama, jadi interaksi sosialnya tetap dengan sirkel
pertemanannya. Kecukupan juga disarankan di pola yang familiar bahkan
ketika orang bergabung pada relasi yang lebih dalam dan intens, khususnya
relasi romantis, mereka mengurangi interaksi sosial dengan temannya, seolah-
olah satu relasi cukup memuaskan bahkan mereka merasa tidak butuh yang
lainnya. Pada umumnya, kami merasa bahwa kamu membuat sementara kasus
untuk kecukupan, tapi hal tersebut jauh dari solid. Hipotesis kecukupan dari
teori kepemilikan mengingatkan kerelatifan yang ditujukan pada hari ini.

5. Memperluas Teori : Harga Diri Sebagai Sosiometer

Banyak orang berasumsi bahwa harga diri yang tinggi akan


menghasilkan efek yang menguntungkan. Namun, data secara bertahap gagal
untuk mendukung banyak dari asumsi positif tersebut. Hal ini membuat
semakin banyak peneliti bertanya-tanya mengapa orang begitu peduli dengan
sesuatu (harga diri) yang tampaknya memiliki begitu sedikit hasil
pragmatis (Baumeister et. al., 2003). Satu jawaban adalah, bahwasannya
emosi terikat pada harga diri. dan dengan demikian seseorang mungkin
melindungi harga diri untuk mencegah emosi yang tidak menyenangkan,

Sementara itu, manfaat harga diri meragukan dan halus, manfaat


memiliki jelas dan kuat, seperti yang telah kami temukan, meluas bahkan
hingga hidup dan mati. Jadi, jika harga diri dikaitkan dengan kepemilikan, itu
akan menjelaskan mengapa orang begitu peduli dengannya. Hubungan
tersebut telah ditetapkan dalamawal studi oleh Leary et al. (1995).
Penurunan harga diri cenderung dikaitkan dengan penurunan rasa memiliki,
seperti sosial penolakan.

Sementara itu, peningkatan harga diri dikaitkan dengan peningkatan


rasa memiliki, seperti diterima dalam suatu hubungan atau pekerjaan baru. Ide
intinya, kemudian, adalah bahwa harga diri berfungsi sebagai semacam
Manusia yang berevolusi menjadi makhluk sosial, dan karenanya mereka
perlu terhubung satu sama lain. Isolasi sosial membawa risiko terhadap
kesehatan dan kesejahteraan (ditambah, tentu saja, kemungkinan keberhasilan
reproduksi seseorang), dan dengan demikian jiwa manusia akan mendapat
manfaat dari semacam alarm yang berbunyi jika orang tersebut mulai
terisolasi secara sosial. Sebaliknya, penerimaan sosial akan
meningkatkan prospek seseorang untuk bertahan hidup dan bereproduksi, dan
dengan demikian pengukur dalam yang akan mencatat penerimaan sosial
secara positif akan menjadi adaptif. Harga diri dapat melayani fungsi-fungsi
ini dengan naik dan turun sebagai respons terhadap perubahan kepemilikan
sosial meteran mental untuk melacak kepemilikan.

Apa nilai tambah memiliki harga diri sebagai sosiometer?

Solusi Roy & Leary adalah menghubungkan harga diri


dengan probabilitas jangka panjang yang diantisipasi untuk dimiliki, bukan
status seseorang saat ini atau perubahan sesaat. Emosi cukup untuk
bereaksi terhadap perubahan sesaat dalam rasa memiliki. Harga diri adalah
relatif stabil evaluasi yang, bukan dari berapa banyak hubungan yang dimiliki,
tetapi seberapa memenuhi syarat Anda untuk memiliki banyak hubungan
jangka panjang danlainnya ikatan sosial. Satu indikasi persuasif adalah
bahwa item pada skala harga diri umumnya mengukur empat hal, yang
semuanya tampak cukup mendasar untuk penerimaan sosial versus
penolakan.

Pertama, semua skala harga diri menanyakan apakah Anda disukai dan
bisa bergaul dengan baik dengan orang lain, yang jelas penting untuk
diterima. Kedua, mereka memiliki item untuk menilai kompetensi yang
dirasakan, yang penting untuk dipekerjakan atau dibutuhkan oleh kelompok
yang harus melakukan tugas. Ketiga, banyak (meskipun tidak semua) skala
mengukur daya tarik fisik (egois), yang sekali lagi merupakan penentu kuat
apakah orang lain suka bersama Anda. Terakhir, beberapa berisi
beberapa item yang menilai karakter moral, yang dapat diterjemahkan
menjadi tipe orang yang akan sesuai dengan aturan kelompok seperti
kejujuran, keadilan, kepercayaan, keandalan, dan timbal balik. Dengan
demikian, kelompok dan hubungan lebih menyukai individu yang disukai,
kompeten, menarik, dan berperilaku baik secara moral. Harga diri didasarkan
padayang sama Empat kriteria.

Melihat harga diri sebagai kelayakan seseorang untuk kemungkinan


memiliki, baik ikatan sosial daripada menghitung ada ikatan yang
memungkinkan ruang teoritis untuk menipu diri sendiri. Mungkin sulit bagi
orang yang tidak memiliki teman untuk percaya bahwa dia memiliki
banyak teman, tetapi mungkin relatif lebih mudah untuk meyakinkan diri
sendiri bahwa dia mungkin akan segera memiliki teman. (Kurangnya teman
saat ini dapat dianggap karena nasib buruk, keadaan khusus, atau memang
selera buruk orang-orang di sekitar sini.) Dalam penipuan diri, orang mungkin
berkonsentrasi untuk menipu meteran, seolah-olah: mereka meyakinkan diri
sendiri mereka memiliki sifat yang menarik bagi orang lain tanpa benar-benar
harus membuktikan diri dengan dalam berteman.

Bagi Roy, implikasi terluas dari teori sosiometer adalah, bahwa proses
batin melayani fungsi interpersonal. Dalam konteks psikologi sosial beberapa
dekade terakhir, ini adalah rumusan yang radikal. Berlaku asumsi dan
pendekatan yang Roy yakini, memperlakukan peristiwa antarpribadi sebagai
produk dari peristiwa intrapsikis. Itulah mengapa begitu banyak
perhatian diberikan pada kognisi, emosi, dan bahkan otak proses: para peneliti
berasumsi bahwa ini akan memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi di
antara manusia. Roy menyarankan bahwa kebalikannya lebih penting. Orang
adalah yang terpenting. Apa yang terjadi di dalamnya pada dasarnya adalah
serangkaian adaptasi dan konsekuensi dari peristiwa interpersonal. Pandangan
bahwa proses batin melayani fungsi interpersonal jauh dari awal Roy
berasumsi dan berteori. Tetapi Roy telah memegang keyakinan bahwa itu
sebagian besar benar dan kuat, dengan cara yang kurang dihargai. Jika
kebutuhan untuk dimiliki memang merupakan salah satu dari sedikitpaling
mendasar, motivasi yangkuat, dan menyebar, maka proses dan struktur batin
mungkin telah berevolusi dan berkembang untuk melayaninya.

6. Memperluas Teori: Perbedaan Gender Dalam Kepemilikan


Tidak lama setelah menerbitkan makalah pertama tentang kebutuhan
untuk dimiliki, Roy diminta untuk meninjau naskah oleh Cross dan Madson.
Mereka menerapkan teori konstruktif diri pada perbedaan gender. Perbedaan
budaya yang penting telah diidentifikasi oleh Markus dan Kitayama, hal
tersebut berkaitan dengan konstruktif diri. Konstruktif diri merupakan istilah
lain dari pengetahuan diri atau konsep diri. Seperti yang telah dinyatakan,
orang Asia cenderung menganggap diri mereka saling bergantung, yang
artinya keyakinan mereka tentang diri mereka sendiri berfokus pada
bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain, sedangkan orang barat
memiliki pemahaman diri yang lebih mandiri, yaitu menekankan bagaimana
individu itu berbeda dari yang lain dan berdiri sendiri. Cross dan Madson
telah mengemukakan bahwa perbedaan yang sama dapat diterapkan pada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam budaya Barat. Laki-laki
relatif mandiri sedangkan perempuan cenderung bergantung.
Maka dari itu, telah didokumentasikan dan diperdebatkan dengan baik,
namun ketika Roy membacanya, Roy menyadari bahwa dorongan argumen
tersebut merupakan tantangan mendasar bagi teori tentang kebutuhan untuk
memiliki. Dalam praktiknya, Cross dan Madson menyatakan bahwa laki-laki
memiliki kebutuhan untuk dimiliki tidak sebanyak perempuan atau bahkan
laki-laki tidak memilikinya. Cross dan Madson konsisten dengan stereotip
budaya baru yang menggambarkan perempuan lebih sosial daripada laki-laki.
Misalnya, Gottman dan yang lainnya telah menyatakan bahwa perempuan ahli
dalam menjalin hubungan bahkan jika laki-laki ingin memiliki hubungan yang
baik, mereka harus memperhatikan nasehat dan bimbingan dari pasangan
mereka, karena laki-laki umumnya tidak memiliki keterampilan dan
pengetahuan untuk membuat hubungan berhasil.
Cross dan Madson berargumen mengenai perbedaan dalam penafsiran
diri serta motivasi yang mendasari bersosialisasi, hal tersebut terlihat jelas
pada perbedaan gender dalam agresi. Secara singkatnya, argumen Cross dan
Madson yaitu perempuan menghindari agresi karena bisa merusak hubungan.
Misalnya saja, jika anda memukul atau menyakiti seseorang, orang tersebut
mungkin tidak ingin melanjutkan hubungan dengan anda. Sebaliknya, laki-
laki mempunyai lebih sedikit keinginan dan bakat untuk hubungan, sehingga
mereka bersedia untuk menjadi agresif dan juga tidak terlalu memikirkan
tentang kerusakan hubungan. Pernyataan bahwa laki-laki tidak mempunyai
kebutuhan untuk memiliki merupakan tantangan yang menarik bagi
keumuman teori kebutuhan untuk memiliki.
Secara umum, ketika Roy mengulas sebuah makalah yang menantang
pekerjaannya, Roy mencoba memberikan manfaat dari keraguan yang timbul
untuk mengkompensasi serangan prasangka negatif yang mungkin datang dari
perasaan diri Roy. Roy merasa Cross dan Madson telah membuat kasus
mereka cukup baik meskipun Roy sendiri tidak setuju dengan kesimpulannya.
Oleh karena itu, Roy merekomendasikan penerbitan koran. Akan tetapi Roy
menghubungi editornya secara terpisah, dan memberi saran dari sudut
pandang Roy, temuan Cross dan Madson dapat ditafsirkan dengan cara yang
berbeda. Editor, Nancy Eisenberg, mendorong Roy untuk menulis komentar
tentang naskah mereka. Kristin Sommer dan Roy mulai meninjau ulang surat-
surat yang dikutip Cross dan Madson, serta mencari bukti lebih lanjut.
Teori yang telah dikembangkan Cross dan Madson mengenai
penjelasan tentang perbedaan gender mengusulkan bahwa ada dua bidang
kepemilikan yang berbeda, yang mencerminkan dua cara berbeda untuk
bersosialisasi (Baumeister dan Sommer, 1997). Kebanyakan psikolog dan
orang awam memprioritaskan hubungan dekat dan intim, serta perempuan
yang memang lebih ahli dalam hal ini. Namun, untuk bersosialisasi dalam
kelompok dan jaringan yang lebih besar, laki-laki tampak lebih sosial. Dengan
demikian, laki-laki dapat dipandang sebagai makhluk sosial yang mempunyai
kebutuhan untuk dimiliki, bahkan secara menyeluruh dan fundamental sama
seperti perempuan, hanya saja dengan cara yang berbeda.
Kembali sejenak ke masalah perbedaan gender dalam agresi. Tidak
ada yang memperdebatkan temuan dasar, yang telah berulang kali direplikasi,
yaitu bahwa laki-laki umumnya lebih agresif daripada perempuan. Tetapi,
apakah ini benar-benar mencerminkan ketidakpedulian laki-laki terhadap
hubungan intim? Banyak bukti yang muncul bahwa dalam hubungan dekat,
perempuan sama agresifnya dengan laki-laki (Archer, 2000). Dengan
demikian, perempuan mungkin lebih sedikit menyerang fisik terhadap
pasangannya dibandingkan laki-laki. Perempuan juga melakukan lebih banyak
pelecehan pada anak, meskipun hal ini sulit untuk diperbaiki secara statistik
karena jumlah waktu yang mereka habiskan bersama anak-anak jauh lebih
besar. Namun, pandangan bahwa perempuan menahan diri dari kekerasan
karena takut merusak ikatan intim tidak dapat dipertahankan. Kekerasan laki-
laki dominan tidak ditemukan dalam hubungan keluarga dan cinta, melainkan
antara orang yang relatif tidak dikenal atau kenalan jauh. Dalam jaringan
besar, laki-laki jauh lebih mungkin dibandingkan perempuan.
Oleh karena itu, Cross dan Madson berpendapat bahwa perbedaan
gender dalam agresi tidak mencerminkan ketidakpedulian, namun perhatian
pada hubungan sosial. Perempuan peduli dengan hubungan dekat sehingga
mereka agresif saat merasa perlu, sama seperti laki-laki. Tetapi, perempuan
tidak terlalu peduli dengan ikatan yang relatif jauh dalam kelompok dan
jaringan besar, sedangkan laki-laki agresif dan peduli dengan hal tersebut.
Cross dan Madson telah mengenali data ekstensif yang menunjukkan
bahwa laki-laki lebih membantu dibandingkan perempuan. Ini merupakan
tantangan bagi pandangan mereka tentang perempuan sebagai makhluk yang
lebih sosial. Sehingga mereka berjuang untuk menyesuaikannya dengan teori
mereka. Akhirnya, mereka merasa perlu untuk memunculkan klise feminis
bahwa perempuan tidak membantu karena perempuan tidak disosialisasikan
untuk membantu. Dalam tanggapan Sommer dan Roy mencatat bahwa bukti
sifat membantu pada laki-laki terutama berasal dari penelitian dengan orang
asing dan kelompok besar. Dalam keluarga atau hubungan dekat, perempuan
sangat membantu. Dengan demikian, pola menolong (perilaku prososial
utama) sama seperti agresi (perilaku antisosial utama): Baik laki-laki maupun
perempuan melakukannya dalam hubungan dekat, karena keduanya peduli
tentang ini, namun laki-laki melakukannya di lingkungan sosial yang lebih
besar dan jaringan karena pria lebih peduli tentang ini.
Momen lucu terjadi ketika Sommer dan Roy sedang menyelesaikan
naskah Cross dan madson, saat menghadiri konferensi di mana Leary juga
menghadirinya. Roy memberinya draf naskah Cross dan Madson lalu
meminta pendapatnya. Keesokan harinya, Leary memberi tahu Roy bahwa
Leary telah membaca halaman pertama koran, dan mengusulkan bahwa ada
dua bidang kepemilikan yang terpisah, dan Lary bereaksi bahwa ini
sepenuhnya salah, ternyata Roy membawa teori cross dan Madson ke arah
yang tidak menguntungkan, sesat, dan mungkin bodoh. Dan kemudian Lary
berkata bahwa dia telah membaca sisa makalah Cross dan Madson sehingga
sekarang Cross dan madson menjadi yakin karena banyak bukti yang berkata
bahwa naskah ini benar.
Kedua makalah itu diterbitkan bersama, adanya interpretasi yang
kontras mendorong cukup banyak penelitian selanjutnya. Dalam kasus ini,
terdapat bukti yang mendukung teori kebutuhan untuk dimiliki yaitu motivasi
sosial laki-laki meluas pada kelompok dan jaringan besar sedangkan
perempuan lebih mengarah pada keintiman hubungan dekat (misalnya,
Benenson dan Heath, 2006; Gabriel dan Gardner, 1999).
Perbedaan cara-cara bersosialisasi, memang perbedaan persyaratan
dari dua bidang kepemilikan, dapat menawarkan dasar yang kuat untuk
menjelaskan banyak perbedaan gender dalam kepribadian. Misalnya, secara
luas diterima bahwa perempuan lebih ekspresif secara emosional daripada
laki-laki. Berbagi perasaan sangat membantu dalam hubungan dekat yang
ditandai dengan perhatian timbal balik, kepedulian, dan dukungan, karena
semakin baik dua orang memahami perasaan satu sama lain, makan akan
semakin baik pula mereka saling memperhatikan. Tetapi dalam kelompok
besar, seseorang mungkin memiliki saingan dan musuh, ketika seseorang
tersebut menunjukkan semua perasaannya maka dapat menimbulkan risiko.
Demikian pula, jaringan besar seperti contohnya hubungan pertukaran
ekonomi, pembeli atau penjual yang menunjukkan perasaan terlalu sigap
mungkin tidak bisa mendapatkan kesepakatan sebaik orang yang
menyembunyikan perasaan secara strategis.
Dengan demikian, pola cadangan emosi pada laki-laki lebih cocok
untuk kelompok besar, sedangkan pola ekspresi emosi pada perempuan lebih
cocok untuk kelompok kecil. Argumen yang serupa dapat dibuat mengenai
banyaknya perbedaan gender lainnya, seperti agensi versus persekutuan,
egotisme laki-laki, penekanan pada kompetensi, daya saing, hierarki versus
sentimen egaliter, kesetaraan versus kesetaraan sebagai bentuk keadilan yang
disukai, dan moralitas berbasis aturan versus etika kepedulian.
Karena tidak terlalu tertarik pada gender, Roy tidak tahu pada saat itu
bahwa ide-ide ini akan muncul lagi nantinya yang mengarah pada reformulasi
lebih lanjut yang substansial. Namun, ini akan bergantung pada garis ide yang
sangat berbeda yang diturunkan dari teori kepemilikan.

7. Menguji Teori: Efek Penolakan

Percobaan dilakukan dengan melontarkan ide penolakan (Sommer dan


Baumeister, 2002), mencoba studi interaksi langsung di mana orang-orang
akan memilih pasangan dan satu orang mungkin diberi tahu bahwa tidak ada
seorang pun dari kelompok yang memilihnya, yang tampaknya cukup untuk
membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan dan mungkin beberapa
reaksi perilaku.

Orang yang ditolak akan merasa kesal, dan pengaruh negatif ini akan
menghasilkan agresi yang lebih tinggi. Berkowitz (1989) meninjau kembali
teori agresi-frustrasi, salah satu pilar teori dalam agresi menyimpulkan bahwa
semua pengaruh negatif (bukan hanya frustrasi) dapat mendorong agresi.
Tidak jelas persis emosi negatif mana yang akan muncul karena ditolak
(frustrasi, kekecewaan, kecemasan, kesedihan, kemarahan, kecemburuan).
Manipulasi perilaku dan tindakan agresi sering bergumul dengan dampak
yang tidak pasti, efek kecil yang tersembunyi oleh varians yang besar.
Namun, orang yang ditolak jauh lebih agresif bahkan terhadap orang-orang
selain mereka yang menolaknya.

Ada dua aspek dari temuan ini. Salah satunya adalah kurangnya emosi.
Alasan untuk menggagalkan motivasi yang kuat seperti kebutuhan untuk
dimiliki akan menimbulkan tekanan emosional, yang akan mendorong efek
perilaku. Dalam penelitian ini, menemukan efek perilaku yang besar dan
dapat diandalkan, tetapi emosi itu tidak ada. Peserta menolak untuk
mengatakan bahwa mereka kesal dengan tindakan penolakan yang diberikan.
Jika memang mendapatkan perbedaan yang signifikan antara kondisi yang
jarang terjadi, itu karena yang diterima secara sosial sedikit senang dan
positif, sedangkan yang ditolak netral.

Aspek lain adalah mengapa orang yang ditolak harus agresif, terutama
jika mereka tidak terbawa oleh perasaan buruk. Orang yang mungkin ditolak
seharusnya ingin menemukan koneksi baru dengan orang lain. Menjadi
agresif adalah sikap kontraproduktif, karena orang tidak menyukai orang yang
agresif. Respons yang optimal, rasional, adaptif terhadap penolakan
seharusnya tampak berusaha menjadi lebih baik.

8. Teori Baru Tentang Emosi

Sebuah meta analisis dari hampir 200 penelitian menyimpulkan bahwa


kondisi penolakan umumnya menghasilkan perubahan emosi yang signifikan
meskipun cukup kecil, menjauh dari positif dan menuju negatif tetapi
biasanya berakhir dalam keadaan netral (Blackhart et al.). Orang yang ditolak
mengatakan bahwa mereka merasa tidak baik atau buruk. Dan, perubahan
kecil dalam emosi itu gagal mendorong perilaku.

Gagasan bahwa emosi adalah penyebab langsung dari perilaku. Dalam


literatur tentang emosi, ditemukan penggambaran berulang dari teori yang
secara intuitif memaksa bahwa ketakutan membuat seseorang melarikan diri,
mendorong kelangsungan hidup, dan dengan demikian penyebab langsung
dari perilaku oleh emosi pasti telah melayani tujuan adaptif. Namun, relatif
sedikit penelitian yang menunjukkan efek langsung emosi pada perilaku

Hasil akhirnya adalah rekonseptualisasi tentang bagaimana emosi


dikaitkan dengan perilaku. Alih-alih penyebab langsung, emosi tampaknya
beroperasi sebagai sistem umpan balik. Setelah fakta, emosi sadar merangsang
refleksi, pertimbangan, pemutaran ulang kontrafaktual, dan pemrosesan
kognitif lain yang dapat mendorong pembelajaran untuk masa depan. Ketika
orang bertindak berdasarkan keadaan emosi saat ini, hasilnya seringkali
merugikan diri sendiri dan maladaptif (Baumeister dan Scher, 1988; Leith dan
Baumeister, 1996).

Panksepp (1998, 2005) berkata bahwa hewan mulai berevolusi ke arah


sosial. Evolusi yang mendukung adanya pencatatan kesenangan dan
kesakitan. Kemungkinan besar trauma sosial dapat menghasilkan efek yang
menyerupai trauma fisik, termasuk mati rasa singkat dalam keadaan shock.
Hewan tampak mati rasa terhadap rasa sakit fisik akibat dikucilkan oleh
kelompok sosial. Misalnya, anak tikus yang dikeluarkan menjadi relatif tidak
sensitif terhadap rasa sakit.

Selain hewan, orang akan bereaksi terhadap pengucilan dengan secara


aktif menekan emosi mereka, sehingga mereka tidak akan melaporkan emosi,
tetapi reaksi implisit mereka akan menunjukkan tekanan yang cukup besar.
Pengucilan sosial tidak meningkatkan tekanan tidak sadar. Namun, hal itu
meningkatkan emosi positif yang tidak disadari. Pikiran dan asosiasi negatif
tidak berbeda antara kondisi penolakan dan kontrol (Twenge et al., 2007).

Ketika hal buruk terjadi, jiwa manusia berupaya untuk menciptakan


mati rasa sehingga reaksi emosional segera diredam dan dicegah. Sementara
itu, pikiran bawah sadar mulai mencari pikiran dan asosiasi bahagia. Jadi,
ketika mati rasa mereda dan emosi mulai dirasakan, itu agak berkurang oleh
pikiran positif yang telah terseret dalam waktu yang bersamaan.

9. Sifat dan Budaya Manusia

Teori sosiometer menyatakan bahwa proses batin melayani fungsi


interpersonal. Mungkin dari bagian utama jiwa manusia, memiliki bagian
manusia yang unik, terutama manusia memang dirancang untuk
memungkinkan orang berinteraksi satu sama lain. Fakta dasar keberadaan
manusia bukanlah sebuah konflik melainkan kerjasama antara individu dan
masyarakat.

Menurut Baumeister (2005), mernyatakan bahwa manusia adalah


hewan sosial hal tersebut telah dilontarkan oleh para filsuf dari Aristoteles
hingga Aronson, dan frasa “hewan sosial” telah menjadi standar dalam
psikologi sosial. Memang benar bahwa manusia adalah makhluk sosial, tetapi
tidak cukup jauh dengan hewan sosial. Perbedaan yang membedakan manusia
adalah bentuk kehidupan sosial yang sangat maju yang telah kita
kembangkan, khususnya budaya.

Menurut De Waal (2001), para ahli etologi mulai mengemukakan


pendapat bahwa bentuk-bentuk budaya yang belum sempurna dapat diamati
pada berbagai spesies lain. Logikanya jika budaya muncul sebelum manusia,
maka budaya mungkin dengan mudah menjadi bagian dari lingkungan seleksi
tempat manusia berevolusi. Itu berarti bahwa budaya bisa saja membentuk
evolusi kemampuan manusia dan budaya bisa saja membentuk alam.

Program penelitian yang luar biasa oleh Dunbar (1993, 1998) telah
menghasilkan ide-ide revolusioner tentang kecerdasan manusia. Ia
menemukan bahwa ukuran otak terkait dengan ukuran dan kompleksitas
jaringan sosial, yang ia sebut sebagai hipotesis "otak sosial". Meskipun dia
tidak memasukkan manusia dalam studinya, implikasinya ada dalam sekop.
Menurutnya, kecerdasan kita tidak dikembangkan untuk mengakali beruang
dan kelinci, tetapi untuk saling memahami. Semua ini menunjukkan
kebutuhan untuk memiliki pandangan yang baru. Banyak hewan memiliki
semacam insting kawanan untuk bersama. Tetapi bagi manusia, interaksi
sosial melampaui naluri kawanan. Interaksi sosial (termasuk budaya)
merupakan strategi biologis manusia. Manusia membentuk hubungan, tidak
hanya ikatan intim tetapi struktur sosial yang lebih besar dengan peran yang
beragam, informasi bersama, dan bahkan ekonomi pasar.

Budaya dengan demikian merupakan cara baru untuk bersosialisasi.


Kebutuhan manusia untuk memiliki lebih dari sekadar ingin dekat dengan
orang lain biasanya dikombinasikan dengan peningkatan kapasitas
pemrosesan informasi, hal tersebut memungkinkan orang untuk membuat
budaya. Dan tentu saja kapasitas pemrosesan informasi itu sendiri terutama
digunakan untuk menangani informasi sosial juga, terutama pekerjaan.

Perspektif budaya hewan sekali lagi membuat Baumeister tidak sejalan


dengan tren yang berlaku di bidang ini, jadi ia tampaknya dikutuk untuk tetap
menjadi kontra. Saat ini, dorongan baru terbesar dari penelitian adalah
menjelajahi otak. Menurut Baumeister, Otak secara bertahap akan terungkap
sebagai switchboard belaka, bukan penyebab utama. Penyebab utamanya
terletak pada interaksi sosial, dan otak berevolusi seperti yang dilakukannya
untuk memfasilitasi interaksi tersebut. Otak adalah perangkat keras untuk
proses batin, dan proses batin melayani fungsi interpersonal. Kita harus
melihat lagi bagaimana perilaku sosial untuk memahami mengapa otak seperti
itu. Hubungan tidak diciptakan oleh otak, sebaliknya otak diciptakan untuk
melayani hubungan.

10. Pria, Wanita, dan Budaya

Dalam beberapa dekade terakhir telah didominasi oleh pandangan


bahwa laki-laki menindas perempuan sebagai tema utama sejarah dunia.
Sebelumnya Baumeister membuat sketsa teori dan bukti tentang dua bidang
kepemilikan. Ide intinya adalah bahwa jiwa laki-laki dan perempuan memiliki
versi yang sedikit berbeda tentang kebutuhan untuk memiliki, dengan
perempuan berfokus terutama pada hubungan dekat dan intim dan laki-laki
lebih berorientasi pada jaringan hubungan dangkal yang lebih besar.

Meninjau Baumeister (2005), kemajuan budaya bergantung pada


jaringan besar hubungan dangkal, karena ini menawarkan peluang subur
untuk berbagi informasi, menyebarkan inovasi, dan menciptakan kekayaan
melalui perdagangan ekonomi. Manusia prasejarah membagi dunia sosial
mereka sampai batas tertentu menjadi bidang laki-laki dan perempuan
(pemburu dan pengumpul) dan bahwa dunia sosial yang terpisah mengambil
bentuk yang disukai oleh kebanyakan orang di dalamnya. Lingkungan
perempuan akan menjadi salah satu hubungan yang dekat dan intim dan ikatan
pasangan, sedangkan lingkungan laki-laki akan mengembangkan jaringan
hubungan dangkal yang lebih besar. Dengan demikian, lingkungan laki-laki
akan menawarkan landasan yang lebih layak daripada lingkungan perempuan
untuk mengembangkan budaya.

Kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan sebagian besar diciptakan di


lingkungan laki-laki. Inilah yang menyebabkan munculnya ketidaksetaraan
gender. Bukan karena laki-laki memiliki bakat dan kemampuan yang lebih
tinggi, atau laki-laki yang bersatu untuk bersekongkol menindas perempuan.
Secara sederhana, lingkungan laki-laki membuat kemajuan sementara
lingkungan perempuan pada dasarnya tetap statis, karena berbagai jenis
hubungan sosial yang disukai oleh masing-masing jenis kelamin

Berdasarkan teori kebutuhan untuk memiliki, seseorang dapat


merumuskan penjelasan politik gender yang lebih ramah dan lebih lembut.
Alih-alih melihat pria sebagai penindas dan wanita sebagai korban, orang
dapat memahami gender sebagai kerja sama. Hubungan pria mungkin kurang
memelihara secara emosional dan secara intim memuaskan sebagai hubungan
wanita, tetapi mereka memberikan keuntungan alternatif. Mungkin yang
paling penting dari keuntungan ini adalah bahwa mereka mendorong jenis
interaksi dan pertukaran yang memungkinkan budaya dan memungkinkannya
untuk membuat kemajuan.

10. Aplikasi dan Implikasi

Meskipun tujuan Roy dalam teori ini dan teori lainnya adalah untuk
memahami orang daripada mengubah dunia, ada berbagai implikasi dan
penerapan potensial. Berakar dari penindasan laki-laki dan bisa
disembuhkan dengan memanfaatkan perempuan juga akan berujung pada
kekecewaan. Sementara itu, Masyarakat berupaya untuk mengubah segalanya
untuk kepentingan perempuan dan anak perempuan. Hal ini mungkin mulai
berdampak buruk pada anak laki-laki dan laki-laki. Seperti yang sudah
terbukti di sekolah-sekolah Amerika. Alih-alih melihat pria dan wanita
sebagai makhluk yang pada dasarnya identik dan merupakan musuh politik,
Mungkin akan lebih baik jika menganggap mereka sebagai makhluk yang
sedikit berbeda, dan bisa menjadi pasangan yang baik.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori kebutuhan untuk memiliki telah berkembang dari wawasan


sederhana tentang keinginan kebersamaan menjadi kompleks besar saling
terkait ide. Ini membahas pertanyaan mendasar tentang sifat manusia, budaya,
jenis kelamin, emosi, dan hubungan antarabatin dan proses antar pribadi.
Pekerjaan masih jauh dari selesai, dan lebih lanjut kemajuan tampaknya
mungkin terjadi. Beberapa aspek dari teori dasar, seperti apakah orang
menjadi telah terpenuhi ketika mereka memiliki hubungan yang cukup, tetap
menjadi pertanyaan terbuka untuk selanjutnya pekerjaan. Tetapi mengingat
bagaimana teori itu berkembang dari koneksi relatif tidak terduga, dan temuan
yang tampaknya sembrono untuk memprediksi ke mana ia akan pergi
selanjutnya. Pada akhirnya, tampaknya penting bagi psikologi untuk
menemukan kembali apresiasi atas apa yang terjadi di antara orang-orang
sekitar. Apa yang terjadi di dalamnya juga tak kalah penting. Akan tetapi,
sering kali terjadi karena hal apa saja yang telah terjadi di antara mereka.
Proses batin melayani fungsi interpersonal. Kebutuhan untuk dimiliki adalah
fundamental fakta dan kuat tentang sifat manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Lange, Paul A. M. Van, dkk. (2012). Handbook of Theories of Social Psychology.


(2nd ed). SAGE Publications.

Anda mungkin juga menyukai