Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI SOSIAL DASAR

TEORI PERSEPSI, ATRIBUSI, DAN KOGNISI SOSIAL

Disusun Oleh Kelompok 7:


Alin Azmi 15000119120012
Putri Zalza Aina Ulinuha 15000119120061
Almaidha Anna 15000119140253

Dosen Pengampu:
Erin Ratna Kustanti, S. Psi, M. Si, Psikolog

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat ,
hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tanpa
masalah yang berarti.

Makalah ilmiah ini sudah selesai kami susun dengan semaksimal mungkin.Bantuan
berbagai pihak pun memperlancar penyelesaian makalah ilmiah ini,untuk itu kami
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ilmiah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu,
kami terbuka untuk menerima semua masukan dan kritik yang bersifat membangun dari
pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah sehingga menjadi makalah yang
baik dan benar.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini bisa memberikan kemanfaatan
atau inspirasi bagi para pembaca.

Semarang, 3 Maret 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................2
BAB I : LATAR BELAKANG.....................................................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................3

C. Tujuan Masalah..................................................................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................................................4
A. Persepsi Sosial.....................................................................................................................4

B. Atribusi Sosial.....................................................................................................................5

C. Kognisi Sosial....................................................................................................................17

BAB III : KESIMPULAN...........................................................................................................20


A. Kesimpulan........................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................21

2
BAB I : LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Manusia dalam hidupnya memerlukan kehadiran orang lain untuk membantunya. Oleh
karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, dimana mereka saling membutuhkan
satu sama lain. Misalnya seorang petani membutuhkan seorang distributor untuk menjual
hasil panennya. Untuk itu manusia saling melakukan komunikasi. Manusia senantiasa akan
berusaha untuk menjalin interaksi yang baik dengan yang lainnya. Dalam komunikasi
tersebut terdapat proses-proses yang nantinya saling berhubungan untuk tercapainya hasil
yang baik. Dan dalam proses-proses tersebut terdapat beberapa hal, yaitu perspektif sosial,
atribusi sosial, dan kognitif sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perspektif sosial ?
2. Apa yang dimaksud dengan atribusi sosial?
3. Apa yang dimaksud dengan kognitif sosial ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa itu perspektif sosial.
2. Mengetahui apa itu atribusi sosial.
3. Mengetahui apa yang dimaksud kognitif sosial.

3
BAB II : PEMBAHASAN

A. Persepsi Sosial

Persepsi merupakan proses penginderaan oleh individu melalui alat indera yang
nantinya akan dilanjutkan ke proses persepsi. Persepsi ini tidak dapat dipisahkan dari proses
penginderaan. Selain itu persepsi memiliki sifat subjektif.

Baron dan Bryne menjelaskan bahwa persepsi sosial adalah usaha seseorang untuk
memahami orang lain dalam kerangka memperoleh gambaran menyeluruh tentang intensi,
kepribadian, dan motif-motif yang melingkupi individu tersebut. Sedangkan menurut
Robbins, persepsi sosial adalah proses dalam diri seseorang yang menunjukkan organisasi
dan interpretasi terhadap orang lain sebagai objek persepsi. Dari pengertian tadi dapat
disimpulkan bahwa persepsi sosial adalah suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang
untuk memahami seseorang atau kelompok orang disekitarnya yang nantinya akan
diinterpretasikan sehingga menjadi berarti.

Persepsi sosial ini lebih mengarah pada persepsi terhadap manusia yang nantinya akan
mempengaruhi bagaimana individu menjalin hubungan dengan orang lain. Maksudnya adalah
seseorang akan menjadikan orang lain sebagai objek dari persepsinya. Dan nantinya orang
yang dijadikan objek juga akan mempersepsi balik seseorang yang mempersepsinya, karena
pada dasarnya manusia tidak suka dijadikan sebagai objek. Selain itu dalam persepsi sosial
manusia dijadikan objek adalah karena manusia bersifat dinamis dan aktif.

Terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi persepsi sosial, yaitu kebutuhan


pribadi, kepribadian seseorang, perbedaan pada generasi, kebudayaan, fenomena sosial, dan
kebiasaan. Komponen-komponen ini sangatlah penting, karena akan menentukan kepada
siapa saja individu akan berinteraksi. Semakin besar kesamaan dalam karakteristik maka akan
menimbulkan kesamaan perspektif yang membuat suatu interaksi menjadi baik. Namun
sebaliknya, apabila karakteristik yang terjalin antara individu tidak selaras, maka
menyebabkan interaksi tersebut tidak akan bertahan lama. Seperti halnya perbedaan dalam
kebudayaan. Individu yang budayanya sangat berbanding terbalik maka hubungan yang
terjalin diantara mereka tidak akan berjalan dengan lancar. Karena nantinya cara seseorang
dalam melakukan interaksi sosial akan berpengaruh terhadap persepsi sosial yang terjadi.

4
B. Atribusi Sosial

Atribusi merupakan proses dilakukan untuk mencari sebuah jawaban atau pertanyaan
mengapa atau apa sebabnya atas perilaku orang lain ataupun diri sendiri. Proses atribusi ini
sangat berguna untuk membantu pemahaman kita akan penyebab perilaku dan merupakan
mediator penting bagi reaksi kita terhadap dunia sosial. Dalam situasi sosial secara konstan
berusaha untuk memahami perilaku orang lain, dan kemudian menarik kesimpulan apa yang
mendasari atau melatarbelakangi perilaku tersebut.

I. Adapun macam-macam atribusi sosial menurut Heider (dalam Sarlito


Wirawan, 1999: 102) sebagai berikut :
1) Atribusi Internal

Jika perilaku seseorang yang diamati disebabkan oleh factor-faktor internal, misal
sikap, sifat-sifat tertentu, ataupun aspek-aspek internal yang lain. Contoh, jika anak
memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja karena anak itu malas,
terlalu banyak main, atau bodoh.

2) Atribusi Eksternal

Jika perilaku sosial yang diamati disebabkan oleh keadaan atau lingkungan di luar
diri orang yang bersangkutan. Contoh, jika anak memperoleh nilai raport yang jelek,
maka sebabnya dapat saja karena ada masalah dengan lingkungannya, orang tuanya
bercerai, hubungan yang jelek dengan orang tua, ditekan oleh teman-teman, ataupun
gurunya yang tidak menarik.

II. Teori-teori Atribusi Sosial


1) Teori Locus of Control

Locus Of Control adalah sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah
penentu nasib mereka sendiri. Internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan
pemegang kendali atas apa-apa pun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan eksternal
adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh
kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan.

Dominasi perbedaan internal-eksternal tiba dalam psikologi dengan karya Rotter


(1966), yang prihatin dengan keyakinan kausal. Rotter (1966) menyatakan: “Sebuah kejadian

5
dianggap oleh beberapa orang sebagai hadiah (reward) atau penguatan (reinforcement)
mungkin berbeda dirasakan dan bereaksi terhadap orang lain. Salah satu faktor penentu reaksi
ini adalah sejauh mana individu merasakan bahwa hadiah berikut dari, atau bergantung pada,
tingkah lakunya sendiri atau atribut versus sejauh mana ia merasa reward dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan diluar dirinya dan dapat terjadi secara independen dari tindakannya
sendiri.

Ketika penguatan yang dirasakan oleh subjek tidak sepenuhnya bergantung pada
tindakannya, kemudian, dalam budaya kita, itu biasanya dianggap sebagai hasil dari
keberuntungan, kebetulan, nasib, seperti di bawah kendali orang lain yang kuat, atau sebagai
tak terduga karena kompleksitas besar kekuatan di sekitarnya. Ketika acara ini ditafsirkan
dengan cara ini oleh seorang individu, kami telah diberi label ini kepercayaan dalam kontrol
eksternal. Jika seseorang merasakan bahwa acara ini bergantung pada perilaku sendiri atau
karakteristik yang relatif permanen, kami telah disebut ini keyakinan dalam pengendalian
internal.”

Klasifikasi individu ke dalam internal dan eksternal menjadi fokus dominan dalam
psikologi. Sejumlah perbedaan selanjutnya dipandu oleh kontras antara persepsi internal
versus kontrol eksternal. Paling erat kaitannya dengan kontribusi Rotter adalah tipologi
ditawarkan oleh de Charms (1968), yang mengelompokkan individu sebagai asal (diarahkan
secara internal) atau mengendalikan (externally driven). Selain klasifikasi ini orang,
lingkungan juga telah dikategorikan dengan konsep-konsep yang terkait seperti yang
mempromosikan kebebasan terhadap kendala (Brehm, 1966; Steiner, 1970), atau membina
intrinsik sebagai lawan motivasi ekstrinsik (Deci, 1975; Lepper, Greene, & Nisbett, 1972).

Pembahasan Rotter (1966) berlabel locus of control diberikan untuk membenarkan


pernyataan bahwa analisis logis dari struktur kausalitas dimulai dengan dimensi internal-
eksternal. Rotter (1966) telah mendefinisikan pengendalian internal sebagai persepsi bahwa
hadiah ditentukan oleh skill (kemampuan), sedangkan orientasi eksternal di bagian
menunjukkan bahwa reinforcement diputuskan oleh keberuntungan atau nasib.

2) Teori Expectancy

6
Teori ini dikemukakan oleh Victor H. Vroom yang memotivasi seseorang untuk
bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara
apa yang diinginkan dan dibutuhkan dari hasil pekerjaan itu.

Teori ini berdasarkan pada :

❖ Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena
perilaku.
❖ Nilai (Valence), adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai/martabat
tertentu (daya/nilai motivasi) bagi setiap individu yang bersangkutan.
❖ Pertautan (Instrumentality), adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama.

Ekspektansi merupakan sesuatu yang terjadi karena adanya keinginan untuk mencapai
hasil sesuai dengan tujuan. Ekspektansi merupakan salah satu penggerak yang mendasari
seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Karena dengan adanya usaha yang keras tersebut,
maka hasil yang didapat akan sesuai dengan tujuan. Dalam teori ini disebutkan bahwa
seseorang akan memaksimalkan usaha dan meminimalkan segala yang menghalangi
pencapaian hasil maksimal.

Teori ekspektansi berasumsi bahwa seseorang mempunyai keinginan untuk


menghasilkan suatu karya pada waktu tertentu tergantung pada tujuan-tujuan khusus orang
yang bersangkutan dan juga pemahaman seseorang tersebut tentang nilai suatu prestasi kerja
sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Ekspektansi menekankan pada hasil yang akan
dicapai. Hasil yang diinginkan dipengaruhi oleh tujuan pribadi seseorang dalam mencakup
kebutuhan. Dalam teori ini, seseorang akan memaksimalkan sesuatu yang menguntungkan
dan meminimalkan sesuatu yang merugikan bagi pencapaian tujuan akhirnya.

Sehubungan dengan tingkat ekspektansi seseorang Craig C. Pinder (1948) dalam


bukunya “Work Motivation” berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat harapan seseorang yaitu :

● Harga diri
● Keberhasilan waktu melaksanakan tugas
● Bantuan yang dicapai diri seseorang supervisor dan pihak bawahan
● Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas
● Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja

7
Teori harapan ini memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut :

● Teori harapan mendasarkan diri pada kepentingan individu yang ingin


mencapai kepuasan maksimal dan ingin meminimalkan ketidakpuasan
● Teori ini menekankan pada harapan dan persepsi, apa yang nyata dan aktual
● Teori harapan menekankan pada imbalan pay-off
● Teori harapan sangat fokus terhadap kondisi psikologis individu dimana
tujuan akhir dari individu untuk mencapai kesenangan maksimal dan
menghindari kesulitan

Selain itu teori harapan juga memiliki keterbatasan, yaitu :

● Teori harapan tampaknya terlalu idealis karena hanya individu tertentu saja
yang memandang korelasi tingkat tinggi antara kinerja dan penghargaan
● Penerapan teori ini terbatas sebab tidak langsung berkorelasi dengan kinerja di
banyak organisasi. Hal ini terkait juga dengan parameter lain juga seperti
posisi, tanggung jawab usaha, pendidikan, dan lain-lain.

Adapun contoh implikasi dari teori harapan ini yaitu :

● Para manajer dapat mengkorelasikan hasil yang lebih disukai untuk tingkat
kinerja yang ditujukan
● Para manajer harus memastikan bahwa karyawan dapat mencapai tingkat
kinerja yang ditujukan
● Karyawan layak harus dihargai untuk kinerja luar biasa mereka
● Sistem imbalan harus berlaku jujur dan adil dalam suatu organisasi
● Organisasi harus merancang pekerjaan yang dinamis dan menantang
● Tingkat motivasi karyawan harus terus dikaji melalui berbagai teknik seperti
kuesioner, wawancara personal, dan lain-lain.
❖ Motivasi

Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan


seseorang individu untuk mencapai tujuannya. Empat area utama motivasi manusia
adalah makanan, cinta seks dan pencapaian. Tujuan-tujuan yang mendasari motivasi
ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya, individu dianggap tergerak
untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik (keinginan beraktivitas atau meraih
pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan

8
aktivitas tersebut), atau karena motivasi ekstrinsik (keinginan untuk mengejar suatu
tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal).

❖ Harapan

Mengacu pada peda pendapat Victor H. Vroom, Cut Zurnali (2004)


mengemukakan bahwa ekspektansi adalah adanya kekuatan dari kecenderungan untuk
bekerja secara benar tergantung pada kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan
diikuti dengan pemberian jaminan, fasilitas dan lingkungan atau outcome yang
menarik. RL. kahn dan NC. Morce (1951 : 264) secara singkat mengemukakan
pendapat mereka tentang ekspektasi merupakan kemungkinan bahwa dengan
perbuatan akan mencapai tujuan.

Dengan merumuskan beberapa pendapat para ahli, Cut Zurnali (2004)


menyatakan bahwa terdapat dua sumber besar yang dapat mempengaruhi kelakuan
individu yakni: sumber-sumber harapan yang berkenaan dengan perannya antara lain,
tuntutan formal dari pihak pekerjaan yang terperinci dalam tugas yang seharusnya
dilakukan dan tuntutan informal yang dituntut oleh kelompok-kepompok yang
ditemui individu dalam lingkungan kerja.

Ternyata kelompok karyawan sendiri dapat juga mempengaruhi harapan-


harapan yang akan dicapainya. Dan dengan adanya keyakinan atau pengharapan
untuk sukses dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan atau menggerakkan
usahanya (gary Dessler, 1983 : 66)

❖ Motivasi dan Teori Harapan

Edward (1954) dan kemudian Atkinson (1964) mengembangkan teori motivasi


berdasarkan pada rumus berikut ini:

M = P(s) x I(s)

Keterangangan : M = Motivasi

P = Peluang untuk berhasil yang di persepsi

9
I = Nilai Insentif keberhasilan

Rumus itu disebut model harapan atau model variasi harapan (expectancy
valency model). Teori ini memiliki implikasi bahwa motivasi orang untuk mencapai
sesuatu bergantung kepada hasil kali estimasi peluang berhasil mereka (P) dan nilai
penghargaan yang akan mereka terima atas keberhasilan (I).

Atkinson (1964) menambahkan satu aspek penting pada teori harapan ialah bahwa
di bawah kondisi kemungkinan akan sukses begitu besar akan merusak motivasi.
Implikasi yang paling penting dari teori ekspektansi untuk pendidikan adalah
pendapat yang masuk akal bahwa tugas-tugas untuk siswa seharusnya tidak begitu
mudah dan tidak juga begitu sulit. Atau dapat dikatakan sistem penilaian harus
dimulai dengan tepat sehingga mendapatkan nilai A sulit (tetapi mungkin) untuk
dapat dikerjakan bagi sebanyak mungkin siswa dan mendapatkan nilai rendah bagi
siswa yang sedikit berusaha. Sukses harus berada dalam jangkauan, namun tidak
mudah dicapai oleh seluruh siswa.

3) Teori Naif

Pembuatan teori tentang atribusi dimulai oleh Fritz Heider (1958). Ia merasa tertarik
akan cara oeang menggambarkan dalam angan-angan apa yang mengakibatkan sesuatu dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana lazimnya tradisi kognitif dalam psikologi sosial, ia
mengemukakan dua motif kuat dalam diri semua manusia, yakni: kebutuhan membentuk
pengertian mengenai jagad raya yang terpadu, dan kebutuhan untuk mengendalikan
lingkungan.

Salah satu pokok untuk memenuhi kedua motif tersebut adalah kemampuan untuk
meramalkan bagaimana manusia akan berperilaku. Jika kita tidak mampu meramalkan
bagaimana orang lain akan berperilaku, maka kita akan memandang dunia secara acak,
memberikan kejutan, dan tidak terpadu. Kita tidak akan tahu apakah kita harus mengharapkan
pujian atau hukuman untuk prestasi kerja kita, sebuah ciuman atau sebuah tinju di dagu dari
seorang sahabat.

10
Begitu pula, kita harus mampu meramalkan perilaku orang lain agar dapat
memperoleh kendali yang memuaskan atas lingkungan kita. Untuk menghindari kecelakaan,
kita harus mampu meramalkan bahwa truk besar itu tidak akan berbelok secara tiba-tiba pada
tikungan huruf U di depan kita. Untuk mengendalikan diet yang kita lakukan, kita harus
mampu untuk tetap bertahan makan sepotong roti meskipun kita diberi hidangan kambing
guling.

Untuk dapat meramalkan bagaimana orang lain akan berperilaku, kita harus
mempunyai sedikit teori dasar mengenai perilaku manusia. Menurut Heider, setiap orang, dan
bukan hanya para psikolog saja, mencari pekerjaan atas perilaku orang lain. Hasilnya ia
namakan Psikologi Naif - yaitu teori umum mengenai perilaku manusia, yang dianut oleh
orang awam.

4) Teori Atribusi Weiner

Weiner percaya bahwa hal ini dibuat berdasarkan pada tiga area : locus, dimana dapat
bersifat internal atau eksternal (lihat kembali teori dari Rotten diatas); stabilitas baik itu stabil
atau berubah berdasarkan waktu; dan dapat dikontrol (controllability).

➢ Tempat Sebab-Akibat

Heider mengatakan bahwa kita mengorganisasikan pikiran-pikiran kita dalam


kerangka ”sebab dan akibat”. Masalah pokok paling umum dalam persepsi sebab-akibat
adalah menentukkan apakah suatu tindakan tertentu menurut kesimpulan Anda
disebabkan keadaan intern atau kekuatan ekstern. Maksudnya, apakah ”tempat sebab-
akibat?” Misalnya Anda minta kepada wanita muda yang duduk disamping Anda di
ruang kuliah untuk nonton bersama akhir minggu ini, tetapi ia menolak karena minggu
ini ia sibuk sekali. Apakah inti ”sebenarnya” dari penolakannya tersebut? Hal itu
mungkin disebabkan karena beberapa keadaan intern, seperti misalnya dia tidak tertarik
kepada Anda, atau dia lebih tertarik mengerjakan hal lain. Atau bisa juga dikarenakan
faktor ekstern seperti, misalnya dia memang benar-benar mempunyai tugas lain.

Agar bisa meneruskan kegiatan kita dan mencocokkannya dengan orang-orang


disekitar kita, kita menafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku kita dan
orang lain. Heider memperkenalkan konsep ”Causal Attribution” – proses penjelasan

11
tentang penyebab suatu perilaku. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis
penyebab, yaitu :

1) Penyebab Internal ( Internal Causality )

Merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal seperti
tekanan orang lain, uang, sifat situasi sosial, cuaca dan seterusnya.

2) Penyebab Eksternal ( External Causality)

Terdapat dalam lingkungan atau situasi seperti keadaan hati, sikap, ciri kepribadian,
kemampuan, kesehatan, preferensi, atau keinginan.

Jadi, apakah wanita muda tadi benar-benar sibuk (atribusi eksternal), atau apakah dia baru
saja memutuskan bahwa dia tidak tertarik berkencan dengan Anda (atribusi intern)?. Dan
yang jadi masalah utama ialah apakah harus dibuat kesimpulan intern atau kesimpulan
ekstern terhadap perilaku pemberi stimulus. Pengambilan kesimpulan ekstern
menguraikan sebab-akibat kepada segala sesuatu yang berada di luar orang tersebut
seperti lingkungan umum, orang yang diajak berinteraksi, peranan yang dipaksakan,
kemungkinan mendapat hadiah atau hukuman, keberuntungan, sifat khusus tugas, dan
selanjutnya. Penyebab intern mencakup ciri kepribadian, motif, emosi, keadaan hati,
sikap, kemampuan, dan usaha.

➢ Stabilitas atau Instabilitas

Dimensi sebab-akibat (Kausalitas) kedua ialah apakah penyebabnya stabil atau tidak
stabil. Maksudnya, kita harus tau apakah penyebab tersebut merupakan bagian menarik
yang relatif permanen dari lingkungan eksternal atau pembawaan internal orang itu. Ada
beberapa penyebab ekstern yang cukup stabil seperti peraturan dan undang-undang
(larangan untuk menjalankan kendaraan pada waktu lampu merah menyala,m atau
larangan menyakiti lengan pelempar bola baseball yang bagus di pihak lawan).

Beberapa penyebab ekstern bersifat tidak stabil : cuaca banyak sekali mempengaruhi
apakah kita akan berbelanja di malam minggu atau tinggal dirumah membaca buku,
namun cuaca itu banyak sekali ragamnya. Adakalanya tendangan bola dapat
dikendalikan, namun ada kalanya lebih mudah menendang tanpa arah. Itu berarti bahwa
keberhasilan seorang pemain bola tergantung dari penyebab ekstern yang tidak stabil dan

12
penyebab intern dapat bersifat stabil maupun tidak stabil. Dengan kata lain, penyebab
dapat terdiri atas berbagai kombinasi dari kedua dimensi tersebut. Sebuah gambar
tipologi Weiner mengenai penugasan hasil sederhana, dapat dilihat pada tabel dibawah
ini. Bahwa keberhasilan atau kegagalan seorang mahasiswa dalam melakukan tugas
tertentu dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari empat kemungkinan penyebab, yaitu :
kemampuan, usaha, nasib baik, dan kesulitan tugas. Dan keempat penyebab itu masuk
secara serasi dalam keempat kategori, seperti ditunjukkan dalam tabel ini.

TEMPAT KENDALI SEBENARNYA


STABILITAS
INTERNAL EKSTERNAL

STABIL KEMAMPUAN KESULITAN TUGAS

TIDAK STABIL USAHA BERHASIL

➢ Kemampuan Mengendalikan

Menurut Weiner (1982), dimensi umum ketiga atribusi adalah kemampuan


mengendalikan. Kita mengamati adanya beberapa kasus yang dapat dikendalikan seorang
individu, sedangkan lainnya berada di luar kemampuannya. Kemampuan mengendalikan
atau ketidakmampuan mengendalikan itu dapat berada- bersama dengan kombinasi
tempat dari kendali dan stabilitas. Contohnya:

1. Penyebab internal yang tidak stabil seperti usaha, biasanya dipandang sebagai
dapat dikendalikan. Contoh, seorang mahasiswa dapat berusaha untuk belajar
giat, atau memutuskan untuk tidak belajar giat.
2. Penyebab intern yang stabil seperti kemampuan jarang dilihat sebagai dapat
dikendalikan seseorang. Contoh, seorang yang ”dilahirkan sebagai jenius” atau
seseorang ”dikaruniai” dan memiliki ”bakat sejak lahir” dipandang tidak

13
menguasai kemampuannya tersebut. Kadangkala, kemampuan dipandang
dapat dikendalikan. Beberapa orang yang sangat sukses dipandang bahwa ia
telah mengembangkan kemampuannya melalui kerja keras dalam jangka
waktu yang lama. Di samping itu, keberhasilan adakalanya dipandang dapat
dikendalikan meskipun sering kali dianggap tidak dapat dikuasai.

Ringkasnya, mudah bagi kita untuk memikirkan kombinasi apapun dari ketiga
dimensi dasar atribusi sebab-akibat.Ketiga dimensi itu merupakan dimensi yang
paling masuk akal di antara berbagai atribusi sebab-akibat. Mereka juga amat sering
dipergunakan untuk menjelaskan hasil. Dari telaah yang menanyakan penilaian
mahasiswa terhadap prestasi rekan-rekannya, atau atas pengalaman nilai sekolah yang
dicapainya ketika berada di SMA, terlihat bahwa penjelasan terhadap sebab-akibat
cenderung terletak pada dimensi yang mendasarinya ini. (menurut analisis faktor yang
dilakukan Meyer, 1980; dan Meyer & Koebl, 1982).

5) Teori Correspondent Inference ( Penyimpulan Terkait )

Teori ini dikemukakan oleh Jones dan Davis (dalam Baron dan Byrne, 2003: 49-Menurut
teori ini perlunya memusatkan perhatian pada perilaku yang dapat memberikan informasi,
yaitu:

a) Perilaku yang timbul karena kemauan orang itu sendiri atau orang itu bebas memilih
kelakuannya sendiri perlu lebih diperhatikan daripada perilaku karena peraturan atau
ketentuan atau tata cara atau perintah orang lain. Misalnya, kasir yang cemberut atau
satpam yang tersenyum lebih mencerminkan keadaan dirinya dari pada kasir yang
harus tersenyum atau satpam yang harus galak. Demikian juga mertua yang baik
kepada menantu (walaupun ia dapat saja galak) atau orang yang memberi tempat
duduk pada wanita tua di bus yang penuh sesak (walaupun ia dapat saja tetap duduk)
benar-benar mencerminkan atribusinya sendiri karena mereka mempunyai pilihan
sendiri.
b) Perilaku yang membuahkan hasil yang tidak lazim lebih mencerminkan atribusi
pelaku dari pada yang hasilnya yang berlaku umum. Misalnya, wanita yang mau
dengan pria yang gendut, jelek, miskin, tapi penuh perhatian, lebih dapat diandalkan
cintanya dari pada wanita yang suka kepada pria ganteng, kaya, dan berpendidikan
tinggi. Contoh lainnya, seorang lulusan SMA yang pandai dan dapat diterima di

14
fakultas Kedokteran atau fakultas Ekonomi, tetapi Ia justru memilih jurusan Ilmu
Purbakala, lebih jelas motivasinya dari pada siswa yang prestasinya rata-rata, tetapi
bersikeras masuk ke fakultas Kedokteran atau ekonomi
c) Perilaku yang tidak biasa lebih mencerminkan atribusi dari pada perilaku yang umum.
Misalnya, seorang pelayan toko menunjukkan toko lain kepada pelanggannya yang
menanyakan barang yang tidak tersedia di toko tersebut. Contoh lainnya, seorang pria
muda yang mencintai wanita setengah baya yang belum menikah.

6) Teori Conscious Resources ( Sumber Perhatian dalam Kesadaran )

Teori ini menekankan proses yang terjadi dalam kognisi orang yang melakukan
persepsi (pengamatan). Gilbert dkk. (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 104-105) mengemukakan
bahwa atribusi harus melewati kognisi, dan dalam kognisi melewati tiga tahap, yaitu:

a) Kategorisasi. Dalam tahap ini, pengamat menggolongkan dulu perilaku orang


yang diamati (pelaku) dalam jenis atau golongan tertentu sesuai denggan
bagan atau skema yang sudah terekam dalam kognisi pengamat (dinamakan
skema kognisi). Misalnya, dalam skema kognisi john sudah ada golongan-
golongan perilaku, yaitu ramah, bersahabat, curang, mau menang sendiri dan
sebagainya. Pada awalnya john menggolongkan perilaku Wayan dalam ramah
dan bersahabat, tapi sejak Wayan membawa kemenakannya tanpa
persetujuannya, perilaku wayan dikategorikan sebagai curang, dan tidak
memperhatikan teman.
b) Karakterisasi. Pengamat membuat atribusi kepada pelaku berdasarkan
kategorisasi tersebut. Jadi, John memberi sifat baik hati dan bersahabat kepada
Wayan ketika Ia berada di Bali, sementara waktu di Jakarta John
mengatribusikannya sebagai curang, dan tidak memperhatikan teman karena
membawa kemenakannya tanpa izin.
c) Koreksi. Tahap yang terakhir adalah mengubah atau memperbaiki kesimpulan
yang ada pada pengamat tentang pelaku. Dalam kasus John, ia mengoreksi
kesimpulannya tentang Wayan dari orang yang ramah dan bersahabat menjadi
orang yang curang dan tidak memperhatikan teman sejak John mendapat

15
informasi baru tentang perilaku Wayan selama Ia dan kemenakannya berada di
Jakarta.

7) Teori Atribusi Internal dan Eksternal dari Kelly (1972; Kelly & Michela,
1980)

Menurut teori ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah
perilaku beratribusi internal atau eksternal, yaitu:

8) Teori Atribusi karena faktor lain ( Baron & Byrne, 1994 )

Kalau seorang ibu marah-marah kepada anaknya, atribusi yang mungkin diberikan
oleh orang yang menyaksikan (pengamat) adalah bahwa ibu itu (pelaku) galak kepada
anaknya. Apalagi, jika marah-marah itu dilakukan di depan orang lain yang seharusnya tidak
menyaksikan perilaku seperti itu (misalnya di hadapan guru anaknya), kesan atribusi internal
(ibu itu memang galak) akan lebih kuat lagi. Akan tetapi, jika ibu itu marah karena tiba-tiba
anaknya menyeberang jalan sekenanya dan hampir tertabrak mobil, simpulan pengamat
cenderung pada atribusi eksternal dari pada internal (pantas ibu itu marah-marah karena
anaknya nakal, melakukan hal yang berbahaya).

III. Kesalahan dalam Atribusi

Bagaimanapun juga, pemberian atribusi bisa salah. Kesalahan itu menurut Baron &
Byrne (dalam Baron 2010) dapat bersumber pada beberapa hal:

1) Kesalahan Atribusi yang Mendasar ( Fundamental Error )

Ini adalah kecenderungan untuk melebih-lebihkan pengaruh disposisi pada


perilaku orang lain. Anda cenderung untuk menganggap bahwa perilaku orang
lain disebabkan oleh sikap, kepribadian, perasaan, emosi, kemampuan, kesehatan,
keinginan, niat, kesukaan, dan usaha. Individu kurang memperhatikan situasi
dimana perilaku itu timbul

2) Efek Pelaku-Pengamat Kecenderungan si pengamat untuk selalu memberi


atribut internal pada orang lain dan sebagai pelaku cenderung memberikan
atribut eksternal.

16
3) Pengutamaan Diri Sendiri Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri
sendiri dan menyalahkan orang lain.
4) Menyalahkan diri (self-blame) Menyalahkan diri (self blame) adalah
kecenderungan seseorang untuk secara berlebihan menyalahkan diri sendiri,
terutama bila mengalami kegagalan.
5) Efek relevansi dengan keuntungan pribadi (hedonic relevance) kecenderungan
seseorang untuk menilai lebih positif perilaku orang lain yang menguntungkan
dirinya pribadi, dan menilai lebih negatif perilaku yang merugikan dirinya
6) Bias egosentrisme kecenderungan seseorang untuk menilai orang dengan
menggunakan diri sendiri sebagai referensi, atau dengan kata lain beranggapan
orang lain juga melakukan hal yang sama.
C. Kognisi Sosial

Kognisi sosial merupakan suatu proses yang melibatkan persepsi, evaluasi, dan
mengkategorikan orang lain (Dayaksini, 2001). Banyaknya informasi sosial yang masuk
dalam kognisi seseorang, maka diperlukan organizer kognitif sosial yang yang disebut skema.
Fungsi dari skema ini adalah untuk menggambarkan bagaimana informasi sosial di persepsi
dan diorganisasikan secara selektif dalam ingatan. Dengan adanya skema maka setiap orang
akan lebih mudah dan efisien karena dalam skema tercangkup juga kategorisasi. Diantara
keuntungan pemrosesan secara skematis adalah:

❖ Membantu ingatan
❖ Kecepatan pemrosesan meningkat
❖ Membantu mengisi informasi yang tercecer
❖ Memberikan harapan normatif mengenai apa yang akan terjadi.

Skema sendiri dibagi menjadi 4, yaitu :

1) Self schemas, yang berisi tentang karakteristik diri sendiri


2) Person schemas, yang berisi tentang jenis manusia atau kelompok, seperti
stereotip.
3) Role schemas, yang berisi tentang kategori seseorang dalam peran sosialnya.
4) Events schemas or scrips, yang berisi tentang pengetahuan tentang tipe urutan
kejadian atau situasi sosial (Dayaksini, 2001).

17
Hubungan yang ideal dalam struktur kognisi manusia adalah kondisi konsonan
dimana dua elemen memiliki hubungan yang relevan dan tidak saling bertentangan. Adapun
upaya untuk mencapai hubungan yang konsonan sebagai berikut :

● Mengubah elemen perilaku


● Mengubah elemen kognisi lingkungan
● Menambah elemen kognisi baru

Selain itu terdapat jalan pintas mental (Heuristics) yang digunakan untuk membuat
kesimpulan atau atribusi. Dalam heuristics ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
yaitu:

● Representasi
● Pengutamaan ( Priming )
● Pengabaian rata-rata ( Base rate fallacy )
● Ketersediaan informasi ( Availability heuristics )

Didalam kognisi terdapat berpikir ilusi ( Illusory thinking ) terdiri dari tiga bentuk
yaitu :

● Ilusi tentang korelasi ( Illusory correlation )


● Ilusi kontrol ( Illusory control )
● Penilaian yang tak terlalu percaya diri ( Overconfidence judgement )

Dalam kognisi sosial terdapat pula aspek-aspek yang mempengaruhi sebagai berikut :

● Memperhatikan yang konsisten


● Memperhatikan yang negatif
● Keraguan karena motivasi
● Berpikir kontrafaktual
● Pribadi anda adalah apa yang anda miliki

❖ Pembuatan Keputusan

Terdapat fungsi penting dalam proses kognisi sosial yaitu Pembuatan Keputusan.
Teori prospek dapat digunakan dalam meramalkan perilaku secara lebih tepat serta dapat

18
menyarankan kepada seseorang untuk mengambil pilihan yang paling tepat. Berdasarkan
teori prospek, sebuah keputusan diambil setelah melewati tahap editing dan tahap evaluasi.
Pada proses evaluasi individu mempertimbangkan beberapa hal :

1) Konsekuensi ( Keuntungan, kekurangan, atau netral)


2) Menilai besar keuntungan atau kerugian berdasarkan sistem psikofisik, dimana
perbedaan nilai subjektif lebih dari nilai objektif. Respon terhadap kerugian
jauh lebih ekstrim daripada respon terhadap keuntungan.

❖ Afek dan Kognisi

Afek merupakan perasaan (Sedih,gembira, cemas, kagum, dkk). Ketika afek


berlangsung lebih lama dan intensif maka disebut emosi. Afek dapat dipengaruhi oleh
stimulus internal maupun stimulus eksternal. Terdapat beberapa teori mengenai afek, yakni :

1) Hakikat emosi ada hubungan antara penginderaan-emosi-perilaku. Respon


terhadap kerugian jauh lebih ekstrim daripada keuntungan.
2) Teori Cannon Bard - Emosi ( Pengalaman Subjektif Psikologi ) timbul
bersama-sama dengan reaksi fisiologik (Jantung berdebar, tekanan darah
tinggi, nafas memburu, dsb).
3) Teori yang berorientasi pada rangsang - Reaksi fisiologik dapat sama saja
(Hati berdebar, tekanan darah naik, dsb), tetapi jika rangsangannya
menyenangkan disebut emosi senang, sebaliknya disebut takut).
4) Teori James Lange - Emosi timbul setelah menjadi reaksi psikologi, contoh :
kita takut karena kita karena kita lari setelah melihat ular.

Afek dapat mempengaruhi kognisi individu, dimana afek mampu mempengaruhi


memori (ingatan) seseorang. Begitu pula sebaliknya, kognisi seseorang mempengaruhi efek
melalui skema kognitif. Adapun pengaruh kognisi terhadap afek sebagai berikut :

1) Jika suatu peristiwa termasuk golongan tertentu dalam skema kognisi maka
afek timbul sesuai dengan penggolongan tersebut.
2) Simpulan dalam kognisi juga dipengaruhi afek.
3) Kognisi mempengaruhi afek karena adanya harapan tertentu

19
4) Pikiran-pikiran yang coba diredam untuk menghindari emosi negatif sewaktu-
waktu akan muncul di permukaan.

20
BAB III : KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa perspektif sosial, atribusi sosial, dan
kognitif sosial sangatlah berpengaruh pada interaksi sosial individu terhadap orang dan
lingkungan disekitarnya. Tiga hal ini saling berkesinambungan untuk menciptakan hubungan
yang baik dalam menjalin interaksi. Perspektif berguna untuk menentukan dengan siapa
manusia akan berinteraksi, atribusi berguna untuk menjawab pertanyaan yang hadir dalam
pikiran individu tentang dirinya dan orang lain, dan kognisi sosial berguna untuk melatih
individu dalam bagaimana mereka akan bertindak dalam proses interaksinya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Johan Wahyudi, dkk. 2017. PERSEPSI KEADILAN SOSIAL DAN KEPERCAYAAN


INTERPERSONAL SEBAGAI PREDIKTOR KEPERCAYAAN POLITIK PADA
MAHASISWA DI INDONESIA. Jurnal Psikologi Sosial. Vol 15 No. 01.

Sarwono, sarlito wirawan. 2006, teori-teori psikologi sosial, Jakarta: rajawali pers

Sarwono, Sarlito W., dan Meinarno,Eko A. 2009., Psikologi Sosial, Jakarta: Salemba
Humanika,

Weiner, B. (1986). An attributional theory of motivation and emotion. New York:


Springer. In-depth coverage of this theory.

Weary, G., Stanley, M. A. & Harvey, J. H. (1989). Attribution. New York: Springer-
Verlag.

Brown, C. (2006). Social psychology. (hal, 40). London: SAGE Publications

Indrawati, Endang Sri. 2017. Buku Ajar Psikolog Sosial. Yogyakarta: Psikosains.

22

Anda mungkin juga menyukai