Dosen Pengampu:
Erin Ratna Kustanti, S. Psi, M. Si, Psikolog
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat ,
hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tanpa
masalah yang berarti.
Makalah ilmiah ini sudah selesai kami susun dengan semaksimal mungkin.Bantuan
berbagai pihak pun memperlancar penyelesaian makalah ilmiah ini,untuk itu kami
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ilmiah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu,
kami terbuka untuk menerima semua masukan dan kritik yang bersifat membangun dari
pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah sehingga menjadi makalah yang
baik dan benar.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini bisa memberikan kemanfaatan
atau inspirasi bagi para pembaca.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................2
BAB I : LATAR BELAKANG.....................................................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................3
C. Tujuan Masalah..................................................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................................................4
A. Persepsi Sosial.....................................................................................................................4
B. Atribusi Sosial.....................................................................................................................5
C. Kognisi Sosial....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................21
2
BAB I : LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Manusia dalam hidupnya memerlukan kehadiran orang lain untuk membantunya. Oleh
karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, dimana mereka saling membutuhkan
satu sama lain. Misalnya seorang petani membutuhkan seorang distributor untuk menjual
hasil panennya. Untuk itu manusia saling melakukan komunikasi. Manusia senantiasa akan
berusaha untuk menjalin interaksi yang baik dengan yang lainnya. Dalam komunikasi
tersebut terdapat proses-proses yang nantinya saling berhubungan untuk tercapainya hasil
yang baik. Dan dalam proses-proses tersebut terdapat beberapa hal, yaitu perspektif sosial,
atribusi sosial, dan kognitif sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perspektif sosial ?
2. Apa yang dimaksud dengan atribusi sosial?
3. Apa yang dimaksud dengan kognitif sosial ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa itu perspektif sosial.
2. Mengetahui apa itu atribusi sosial.
3. Mengetahui apa yang dimaksud kognitif sosial.
3
BAB II : PEMBAHASAN
A. Persepsi Sosial
Persepsi merupakan proses penginderaan oleh individu melalui alat indera yang
nantinya akan dilanjutkan ke proses persepsi. Persepsi ini tidak dapat dipisahkan dari proses
penginderaan. Selain itu persepsi memiliki sifat subjektif.
Baron dan Bryne menjelaskan bahwa persepsi sosial adalah usaha seseorang untuk
memahami orang lain dalam kerangka memperoleh gambaran menyeluruh tentang intensi,
kepribadian, dan motif-motif yang melingkupi individu tersebut. Sedangkan menurut
Robbins, persepsi sosial adalah proses dalam diri seseorang yang menunjukkan organisasi
dan interpretasi terhadap orang lain sebagai objek persepsi. Dari pengertian tadi dapat
disimpulkan bahwa persepsi sosial adalah suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang
untuk memahami seseorang atau kelompok orang disekitarnya yang nantinya akan
diinterpretasikan sehingga menjadi berarti.
Persepsi sosial ini lebih mengarah pada persepsi terhadap manusia yang nantinya akan
mempengaruhi bagaimana individu menjalin hubungan dengan orang lain. Maksudnya adalah
seseorang akan menjadikan orang lain sebagai objek dari persepsinya. Dan nantinya orang
yang dijadikan objek juga akan mempersepsi balik seseorang yang mempersepsinya, karena
pada dasarnya manusia tidak suka dijadikan sebagai objek. Selain itu dalam persepsi sosial
manusia dijadikan objek adalah karena manusia bersifat dinamis dan aktif.
4
B. Atribusi Sosial
Atribusi merupakan proses dilakukan untuk mencari sebuah jawaban atau pertanyaan
mengapa atau apa sebabnya atas perilaku orang lain ataupun diri sendiri. Proses atribusi ini
sangat berguna untuk membantu pemahaman kita akan penyebab perilaku dan merupakan
mediator penting bagi reaksi kita terhadap dunia sosial. Dalam situasi sosial secara konstan
berusaha untuk memahami perilaku orang lain, dan kemudian menarik kesimpulan apa yang
mendasari atau melatarbelakangi perilaku tersebut.
Jika perilaku seseorang yang diamati disebabkan oleh factor-faktor internal, misal
sikap, sifat-sifat tertentu, ataupun aspek-aspek internal yang lain. Contoh, jika anak
memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja karena anak itu malas,
terlalu banyak main, atau bodoh.
2) Atribusi Eksternal
Jika perilaku sosial yang diamati disebabkan oleh keadaan atau lingkungan di luar
diri orang yang bersangkutan. Contoh, jika anak memperoleh nilai raport yang jelek,
maka sebabnya dapat saja karena ada masalah dengan lingkungannya, orang tuanya
bercerai, hubungan yang jelek dengan orang tua, ditekan oleh teman-teman, ataupun
gurunya yang tidak menarik.
Locus Of Control adalah sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah
penentu nasib mereka sendiri. Internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan
pemegang kendali atas apa-apa pun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan eksternal
adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh
kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan.
5
dianggap oleh beberapa orang sebagai hadiah (reward) atau penguatan (reinforcement)
mungkin berbeda dirasakan dan bereaksi terhadap orang lain. Salah satu faktor penentu reaksi
ini adalah sejauh mana individu merasakan bahwa hadiah berikut dari, atau bergantung pada,
tingkah lakunya sendiri atau atribut versus sejauh mana ia merasa reward dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan diluar dirinya dan dapat terjadi secara independen dari tindakannya
sendiri.
Ketika penguatan yang dirasakan oleh subjek tidak sepenuhnya bergantung pada
tindakannya, kemudian, dalam budaya kita, itu biasanya dianggap sebagai hasil dari
keberuntungan, kebetulan, nasib, seperti di bawah kendali orang lain yang kuat, atau sebagai
tak terduga karena kompleksitas besar kekuatan di sekitarnya. Ketika acara ini ditafsirkan
dengan cara ini oleh seorang individu, kami telah diberi label ini kepercayaan dalam kontrol
eksternal. Jika seseorang merasakan bahwa acara ini bergantung pada perilaku sendiri atau
karakteristik yang relatif permanen, kami telah disebut ini keyakinan dalam pengendalian
internal.”
Klasifikasi individu ke dalam internal dan eksternal menjadi fokus dominan dalam
psikologi. Sejumlah perbedaan selanjutnya dipandu oleh kontras antara persepsi internal
versus kontrol eksternal. Paling erat kaitannya dengan kontribusi Rotter adalah tipologi
ditawarkan oleh de Charms (1968), yang mengelompokkan individu sebagai asal (diarahkan
secara internal) atau mengendalikan (externally driven). Selain klasifikasi ini orang,
lingkungan juga telah dikategorikan dengan konsep-konsep yang terkait seperti yang
mempromosikan kebebasan terhadap kendala (Brehm, 1966; Steiner, 1970), atau membina
intrinsik sebagai lawan motivasi ekstrinsik (Deci, 1975; Lepper, Greene, & Nisbett, 1972).
2) Teori Expectancy
6
Teori ini dikemukakan oleh Victor H. Vroom yang memotivasi seseorang untuk
bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara
apa yang diinginkan dan dibutuhkan dari hasil pekerjaan itu.
❖ Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena
perilaku.
❖ Nilai (Valence), adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai/martabat
tertentu (daya/nilai motivasi) bagi setiap individu yang bersangkutan.
❖ Pertautan (Instrumentality), adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama.
Ekspektansi merupakan sesuatu yang terjadi karena adanya keinginan untuk mencapai
hasil sesuai dengan tujuan. Ekspektansi merupakan salah satu penggerak yang mendasari
seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Karena dengan adanya usaha yang keras tersebut,
maka hasil yang didapat akan sesuai dengan tujuan. Dalam teori ini disebutkan bahwa
seseorang akan memaksimalkan usaha dan meminimalkan segala yang menghalangi
pencapaian hasil maksimal.
● Harga diri
● Keberhasilan waktu melaksanakan tugas
● Bantuan yang dicapai diri seseorang supervisor dan pihak bawahan
● Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas
● Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja
7
Teori harapan ini memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut :
● Teori harapan tampaknya terlalu idealis karena hanya individu tertentu saja
yang memandang korelasi tingkat tinggi antara kinerja dan penghargaan
● Penerapan teori ini terbatas sebab tidak langsung berkorelasi dengan kinerja di
banyak organisasi. Hal ini terkait juga dengan parameter lain juga seperti
posisi, tanggung jawab usaha, pendidikan, dan lain-lain.
● Para manajer dapat mengkorelasikan hasil yang lebih disukai untuk tingkat
kinerja yang ditujukan
● Para manajer harus memastikan bahwa karyawan dapat mencapai tingkat
kinerja yang ditujukan
● Karyawan layak harus dihargai untuk kinerja luar biasa mereka
● Sistem imbalan harus berlaku jujur dan adil dalam suatu organisasi
● Organisasi harus merancang pekerjaan yang dinamis dan menantang
● Tingkat motivasi karyawan harus terus dikaji melalui berbagai teknik seperti
kuesioner, wawancara personal, dan lain-lain.
❖ Motivasi
8
aktivitas tersebut), atau karena motivasi ekstrinsik (keinginan untuk mengejar suatu
tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal).
❖ Harapan
M = P(s) x I(s)
Keterangangan : M = Motivasi
9
I = Nilai Insentif keberhasilan
Rumus itu disebut model harapan atau model variasi harapan (expectancy
valency model). Teori ini memiliki implikasi bahwa motivasi orang untuk mencapai
sesuatu bergantung kepada hasil kali estimasi peluang berhasil mereka (P) dan nilai
penghargaan yang akan mereka terima atas keberhasilan (I).
Atkinson (1964) menambahkan satu aspek penting pada teori harapan ialah bahwa
di bawah kondisi kemungkinan akan sukses begitu besar akan merusak motivasi.
Implikasi yang paling penting dari teori ekspektansi untuk pendidikan adalah
pendapat yang masuk akal bahwa tugas-tugas untuk siswa seharusnya tidak begitu
mudah dan tidak juga begitu sulit. Atau dapat dikatakan sistem penilaian harus
dimulai dengan tepat sehingga mendapatkan nilai A sulit (tetapi mungkin) untuk
dapat dikerjakan bagi sebanyak mungkin siswa dan mendapatkan nilai rendah bagi
siswa yang sedikit berusaha. Sukses harus berada dalam jangkauan, namun tidak
mudah dicapai oleh seluruh siswa.
3) Teori Naif
Pembuatan teori tentang atribusi dimulai oleh Fritz Heider (1958). Ia merasa tertarik
akan cara oeang menggambarkan dalam angan-angan apa yang mengakibatkan sesuatu dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana lazimnya tradisi kognitif dalam psikologi sosial, ia
mengemukakan dua motif kuat dalam diri semua manusia, yakni: kebutuhan membentuk
pengertian mengenai jagad raya yang terpadu, dan kebutuhan untuk mengendalikan
lingkungan.
Salah satu pokok untuk memenuhi kedua motif tersebut adalah kemampuan untuk
meramalkan bagaimana manusia akan berperilaku. Jika kita tidak mampu meramalkan
bagaimana orang lain akan berperilaku, maka kita akan memandang dunia secara acak,
memberikan kejutan, dan tidak terpadu. Kita tidak akan tahu apakah kita harus mengharapkan
pujian atau hukuman untuk prestasi kerja kita, sebuah ciuman atau sebuah tinju di dagu dari
seorang sahabat.
10
Begitu pula, kita harus mampu meramalkan perilaku orang lain agar dapat
memperoleh kendali yang memuaskan atas lingkungan kita. Untuk menghindari kecelakaan,
kita harus mampu meramalkan bahwa truk besar itu tidak akan berbelok secara tiba-tiba pada
tikungan huruf U di depan kita. Untuk mengendalikan diet yang kita lakukan, kita harus
mampu untuk tetap bertahan makan sepotong roti meskipun kita diberi hidangan kambing
guling.
Untuk dapat meramalkan bagaimana orang lain akan berperilaku, kita harus
mempunyai sedikit teori dasar mengenai perilaku manusia. Menurut Heider, setiap orang, dan
bukan hanya para psikolog saja, mencari pekerjaan atas perilaku orang lain. Hasilnya ia
namakan Psikologi Naif - yaitu teori umum mengenai perilaku manusia, yang dianut oleh
orang awam.
Weiner percaya bahwa hal ini dibuat berdasarkan pada tiga area : locus, dimana dapat
bersifat internal atau eksternal (lihat kembali teori dari Rotten diatas); stabilitas baik itu stabil
atau berubah berdasarkan waktu; dan dapat dikontrol (controllability).
➢ Tempat Sebab-Akibat
11
tentang penyebab suatu perilaku. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis
penyebab, yaitu :
Merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal seperti
tekanan orang lain, uang, sifat situasi sosial, cuaca dan seterusnya.
Terdapat dalam lingkungan atau situasi seperti keadaan hati, sikap, ciri kepribadian,
kemampuan, kesehatan, preferensi, atau keinginan.
Jadi, apakah wanita muda tadi benar-benar sibuk (atribusi eksternal), atau apakah dia baru
saja memutuskan bahwa dia tidak tertarik berkencan dengan Anda (atribusi intern)?. Dan
yang jadi masalah utama ialah apakah harus dibuat kesimpulan intern atau kesimpulan
ekstern terhadap perilaku pemberi stimulus. Pengambilan kesimpulan ekstern
menguraikan sebab-akibat kepada segala sesuatu yang berada di luar orang tersebut
seperti lingkungan umum, orang yang diajak berinteraksi, peranan yang dipaksakan,
kemungkinan mendapat hadiah atau hukuman, keberuntungan, sifat khusus tugas, dan
selanjutnya. Penyebab intern mencakup ciri kepribadian, motif, emosi, keadaan hati,
sikap, kemampuan, dan usaha.
Dimensi sebab-akibat (Kausalitas) kedua ialah apakah penyebabnya stabil atau tidak
stabil. Maksudnya, kita harus tau apakah penyebab tersebut merupakan bagian menarik
yang relatif permanen dari lingkungan eksternal atau pembawaan internal orang itu. Ada
beberapa penyebab ekstern yang cukup stabil seperti peraturan dan undang-undang
(larangan untuk menjalankan kendaraan pada waktu lampu merah menyala,m atau
larangan menyakiti lengan pelempar bola baseball yang bagus di pihak lawan).
Beberapa penyebab ekstern bersifat tidak stabil : cuaca banyak sekali mempengaruhi
apakah kita akan berbelanja di malam minggu atau tinggal dirumah membaca buku,
namun cuaca itu banyak sekali ragamnya. Adakalanya tendangan bola dapat
dikendalikan, namun ada kalanya lebih mudah menendang tanpa arah. Itu berarti bahwa
keberhasilan seorang pemain bola tergantung dari penyebab ekstern yang tidak stabil dan
12
penyebab intern dapat bersifat stabil maupun tidak stabil. Dengan kata lain, penyebab
dapat terdiri atas berbagai kombinasi dari kedua dimensi tersebut. Sebuah gambar
tipologi Weiner mengenai penugasan hasil sederhana, dapat dilihat pada tabel dibawah
ini. Bahwa keberhasilan atau kegagalan seorang mahasiswa dalam melakukan tugas
tertentu dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari empat kemungkinan penyebab, yaitu :
kemampuan, usaha, nasib baik, dan kesulitan tugas. Dan keempat penyebab itu masuk
secara serasi dalam keempat kategori, seperti ditunjukkan dalam tabel ini.
➢ Kemampuan Mengendalikan
1. Penyebab internal yang tidak stabil seperti usaha, biasanya dipandang sebagai
dapat dikendalikan. Contoh, seorang mahasiswa dapat berusaha untuk belajar
giat, atau memutuskan untuk tidak belajar giat.
2. Penyebab intern yang stabil seperti kemampuan jarang dilihat sebagai dapat
dikendalikan seseorang. Contoh, seorang yang ”dilahirkan sebagai jenius” atau
seseorang ”dikaruniai” dan memiliki ”bakat sejak lahir” dipandang tidak
13
menguasai kemampuannya tersebut. Kadangkala, kemampuan dipandang
dapat dikendalikan. Beberapa orang yang sangat sukses dipandang bahwa ia
telah mengembangkan kemampuannya melalui kerja keras dalam jangka
waktu yang lama. Di samping itu, keberhasilan adakalanya dipandang dapat
dikendalikan meskipun sering kali dianggap tidak dapat dikuasai.
Ringkasnya, mudah bagi kita untuk memikirkan kombinasi apapun dari ketiga
dimensi dasar atribusi sebab-akibat.Ketiga dimensi itu merupakan dimensi yang
paling masuk akal di antara berbagai atribusi sebab-akibat. Mereka juga amat sering
dipergunakan untuk menjelaskan hasil. Dari telaah yang menanyakan penilaian
mahasiswa terhadap prestasi rekan-rekannya, atau atas pengalaman nilai sekolah yang
dicapainya ketika berada di SMA, terlihat bahwa penjelasan terhadap sebab-akibat
cenderung terletak pada dimensi yang mendasarinya ini. (menurut analisis faktor yang
dilakukan Meyer, 1980; dan Meyer & Koebl, 1982).
Teori ini dikemukakan oleh Jones dan Davis (dalam Baron dan Byrne, 2003: 49-Menurut
teori ini perlunya memusatkan perhatian pada perilaku yang dapat memberikan informasi,
yaitu:
a) Perilaku yang timbul karena kemauan orang itu sendiri atau orang itu bebas memilih
kelakuannya sendiri perlu lebih diperhatikan daripada perilaku karena peraturan atau
ketentuan atau tata cara atau perintah orang lain. Misalnya, kasir yang cemberut atau
satpam yang tersenyum lebih mencerminkan keadaan dirinya dari pada kasir yang
harus tersenyum atau satpam yang harus galak. Demikian juga mertua yang baik
kepada menantu (walaupun ia dapat saja galak) atau orang yang memberi tempat
duduk pada wanita tua di bus yang penuh sesak (walaupun ia dapat saja tetap duduk)
benar-benar mencerminkan atribusinya sendiri karena mereka mempunyai pilihan
sendiri.
b) Perilaku yang membuahkan hasil yang tidak lazim lebih mencerminkan atribusi
pelaku dari pada yang hasilnya yang berlaku umum. Misalnya, wanita yang mau
dengan pria yang gendut, jelek, miskin, tapi penuh perhatian, lebih dapat diandalkan
cintanya dari pada wanita yang suka kepada pria ganteng, kaya, dan berpendidikan
tinggi. Contoh lainnya, seorang lulusan SMA yang pandai dan dapat diterima di
14
fakultas Kedokteran atau fakultas Ekonomi, tetapi Ia justru memilih jurusan Ilmu
Purbakala, lebih jelas motivasinya dari pada siswa yang prestasinya rata-rata, tetapi
bersikeras masuk ke fakultas Kedokteran atau ekonomi
c) Perilaku yang tidak biasa lebih mencerminkan atribusi dari pada perilaku yang umum.
Misalnya, seorang pelayan toko menunjukkan toko lain kepada pelanggannya yang
menanyakan barang yang tidak tersedia di toko tersebut. Contoh lainnya, seorang pria
muda yang mencintai wanita setengah baya yang belum menikah.
Teori ini menekankan proses yang terjadi dalam kognisi orang yang melakukan
persepsi (pengamatan). Gilbert dkk. (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 104-105) mengemukakan
bahwa atribusi harus melewati kognisi, dan dalam kognisi melewati tiga tahap, yaitu:
15
informasi baru tentang perilaku Wayan selama Ia dan kemenakannya berada di
Jakarta.
7) Teori Atribusi Internal dan Eksternal dari Kelly (1972; Kelly & Michela,
1980)
Menurut teori ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah
perilaku beratribusi internal atau eksternal, yaitu:
Kalau seorang ibu marah-marah kepada anaknya, atribusi yang mungkin diberikan
oleh orang yang menyaksikan (pengamat) adalah bahwa ibu itu (pelaku) galak kepada
anaknya. Apalagi, jika marah-marah itu dilakukan di depan orang lain yang seharusnya tidak
menyaksikan perilaku seperti itu (misalnya di hadapan guru anaknya), kesan atribusi internal
(ibu itu memang galak) akan lebih kuat lagi. Akan tetapi, jika ibu itu marah karena tiba-tiba
anaknya menyeberang jalan sekenanya dan hampir tertabrak mobil, simpulan pengamat
cenderung pada atribusi eksternal dari pada internal (pantas ibu itu marah-marah karena
anaknya nakal, melakukan hal yang berbahaya).
Bagaimanapun juga, pemberian atribusi bisa salah. Kesalahan itu menurut Baron &
Byrne (dalam Baron 2010) dapat bersumber pada beberapa hal:
16
3) Pengutamaan Diri Sendiri Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri
sendiri dan menyalahkan orang lain.
4) Menyalahkan diri (self-blame) Menyalahkan diri (self blame) adalah
kecenderungan seseorang untuk secara berlebihan menyalahkan diri sendiri,
terutama bila mengalami kegagalan.
5) Efek relevansi dengan keuntungan pribadi (hedonic relevance) kecenderungan
seseorang untuk menilai lebih positif perilaku orang lain yang menguntungkan
dirinya pribadi, dan menilai lebih negatif perilaku yang merugikan dirinya
6) Bias egosentrisme kecenderungan seseorang untuk menilai orang dengan
menggunakan diri sendiri sebagai referensi, atau dengan kata lain beranggapan
orang lain juga melakukan hal yang sama.
C. Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan suatu proses yang melibatkan persepsi, evaluasi, dan
mengkategorikan orang lain (Dayaksini, 2001). Banyaknya informasi sosial yang masuk
dalam kognisi seseorang, maka diperlukan organizer kognitif sosial yang yang disebut skema.
Fungsi dari skema ini adalah untuk menggambarkan bagaimana informasi sosial di persepsi
dan diorganisasikan secara selektif dalam ingatan. Dengan adanya skema maka setiap orang
akan lebih mudah dan efisien karena dalam skema tercangkup juga kategorisasi. Diantara
keuntungan pemrosesan secara skematis adalah:
❖ Membantu ingatan
❖ Kecepatan pemrosesan meningkat
❖ Membantu mengisi informasi yang tercecer
❖ Memberikan harapan normatif mengenai apa yang akan terjadi.
17
Hubungan yang ideal dalam struktur kognisi manusia adalah kondisi konsonan
dimana dua elemen memiliki hubungan yang relevan dan tidak saling bertentangan. Adapun
upaya untuk mencapai hubungan yang konsonan sebagai berikut :
Selain itu terdapat jalan pintas mental (Heuristics) yang digunakan untuk membuat
kesimpulan atau atribusi. Dalam heuristics ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
yaitu:
● Representasi
● Pengutamaan ( Priming )
● Pengabaian rata-rata ( Base rate fallacy )
● Ketersediaan informasi ( Availability heuristics )
Didalam kognisi terdapat berpikir ilusi ( Illusory thinking ) terdiri dari tiga bentuk
yaitu :
Dalam kognisi sosial terdapat pula aspek-aspek yang mempengaruhi sebagai berikut :
❖ Pembuatan Keputusan
Terdapat fungsi penting dalam proses kognisi sosial yaitu Pembuatan Keputusan.
Teori prospek dapat digunakan dalam meramalkan perilaku secara lebih tepat serta dapat
18
menyarankan kepada seseorang untuk mengambil pilihan yang paling tepat. Berdasarkan
teori prospek, sebuah keputusan diambil setelah melewati tahap editing dan tahap evaluasi.
Pada proses evaluasi individu mempertimbangkan beberapa hal :
1) Jika suatu peristiwa termasuk golongan tertentu dalam skema kognisi maka
afek timbul sesuai dengan penggolongan tersebut.
2) Simpulan dalam kognisi juga dipengaruhi afek.
3) Kognisi mempengaruhi afek karena adanya harapan tertentu
19
4) Pikiran-pikiran yang coba diredam untuk menghindari emosi negatif sewaktu-
waktu akan muncul di permukaan.
20
BAB III : KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa perspektif sosial, atribusi sosial, dan
kognitif sosial sangatlah berpengaruh pada interaksi sosial individu terhadap orang dan
lingkungan disekitarnya. Tiga hal ini saling berkesinambungan untuk menciptakan hubungan
yang baik dalam menjalin interaksi. Perspektif berguna untuk menentukan dengan siapa
manusia akan berinteraksi, atribusi berguna untuk menjawab pertanyaan yang hadir dalam
pikiran individu tentang dirinya dan orang lain, dan kognisi sosial berguna untuk melatih
individu dalam bagaimana mereka akan bertindak dalam proses interaksinya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, sarlito wirawan. 2006, teori-teori psikologi sosial, Jakarta: rajawali pers
Sarwono, Sarlito W., dan Meinarno,Eko A. 2009., Psikologi Sosial, Jakarta: Salemba
Humanika,
Weary, G., Stanley, M. A. & Harvey, J. H. (1989). Attribution. New York: Springer-
Verlag.
Indrawati, Endang Sri. 2017. Buku Ajar Psikolog Sosial. Yogyakarta: Psikosains.
22