Anda di halaman 1dari 15

ATRIBUSI SOSIAL

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Dosen : Barnas

Disusun oleh:

TIKA SANTIKA ( 41032161171006 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada alloh swt, karena telah
melimpahkan Rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan dan terima kassih juga kepada
dosen mata kuliah “ PSIKOLOGI SOSIAL ” yang telah membimbing kami sehingga makalah
yang berjudul “ ATRIBUSI SOSIAL “ dapat selesai.

Terima kasih juga kepada teman-teman yang teelah berkontribusi dengan memberikan
idee-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan rapih dan baik.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan, wawasan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahmi bhwwa makalah ini msih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yng bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Atribusi Sosial


2.2 Teori-teori Atribusi Sosial
2.3 Aplikasi Teori Atribusi Sosial
2.4 Bias dalam Atribusi Sosial
2.5 Macam atribusi
2.6 Kesalahan atribusi
2.7 Kajian Teoritis menurut pandangan Islam

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kajian tentang atribusi telah banyak dilakukan oleh para ahli. Mereka mengatakan setiap
individu pada dasarnya berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan
dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan
masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang
itu selalu berusaha untuk mencari sebab kenapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu.
Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia, kita ingin
mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian. Terdapat dua fokus perhatian dalam
mencari penyebab suatu kejadian yakni sesuatu di dalam diri atau sesuatu di luar diri.
Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat dirinya yang memang suka
mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya, dia mencuri karena dipaksa situasi, misalnya
karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit keras. Bila kita
(individu) melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena sifat-
sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita (individu) tersebut melakukan atribusi internal
(internal attribution). Tetapi jika kita (individu) melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan
yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri
untuk beli obat) maka kita melakukan atribusi eksternal (external attribution).
Beragam teori dan pendapat dari tokoh psikologi yang mengamati kondisi jiwa manusia
terhadap respon yang diterima dan diamati kemudian tersimpulkan pada sebuah aksi dan
diwujudkan dalam proses belajar. Salah satu teori yang digunakan dalam proses belajar adalah
teori atribusi yang diharapkan dapat menjelaskan penyebab dari suatu kejadian. Memahami
sebuah kondisi emosional atau kejiwaan seseorang dapat bermanfaat dalam beberapa hal. Akan
tetapi hal ini hanya langkah pertama dalam pembahasan psikologi.
Biasanya kita ingin memahami hal tersebut lebih jauh agar dapat mengetahui sifat-sifat
individu yang bersifat tetap dan mengetahui penyebab di balik perilaku mereka. Dengan kata
lain, kita hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana seseorang berbuat, namun lebih jauh lagi
kita ingin mengetahui mengapa mereka berbuat demikian. Penyebab dari suatu kejadian proses
dimana kita mencari informasi ini disebut dengan atribusi (attribution). Karena atribusi adalah
proses yang kompleks, sederetan teori telah lahir demi menjelaskan berbagai proses lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian atribusi sosial?
2. Bagaimana teori-teori atribusi sosial dalam kehidupan?
3. Bagaimana aplikasi teori atribusi dalam kehidupan sosial?
4. Apa bias dalam atribusi sosial?
5. Apa macam atribusi sosial?
6. Apa kesalahan atribusi sosial?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi dari atribusi sosial


2. Untuk mengetahui teori-teori atribusi sosial dalam kehidupan
3. Untuk mengenal lebih jauh pengaplikasian teori atribusi sosial dalam kehidupan sosial
4. Untuk mengetahui bias dari atribusi sosial
5. Untuk mengetahui macam atribus sosial
6. Untuk mengetahui kesalahan dalam atribusi sosial
7.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Atribusi Sosial
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku
tertentu. Menurut Myers (1996), kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh
kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik
perilaku orang lain. Attribution theory (teori sifat) merupakan posisi tanpa perlu disadari pada
saat melakukan sesuatu menyebabkan orang-orang yang sedang menjalani sejumlah tes bisa
memastikan apakah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan orang lain dapat
merefleksikan sifat-sifat karakteristik yang tersembunyi dalam dirinya, atau hanya berupa reaksi-
reaksi yang dipaksakan terhadap situasi tertentu.
Atribusi merupakan sebuah proses rasional. Kehadiran atribusi dalam kehidupan sosial
tidak dapat dihindarkan. Setiap hari manusia yang hidup secara sosial akan dihadapkan pada
berbagai bentuk perilaku yang dia amati dan terjadilah atribusi. Gleitment (1999) mendefinisikan
atribusi sebagai proses dimana seseorang menentukan penyebab suatu perilaku. Penelitian
mengenai bagaimana atribusi terbentuk adalah kajian psikologi sosial.
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa atribusi di hasilkan dari
intraksi sosial individu dengan lingkungannya. Jadi, ketika kata atribusi disandingkan dengan
kata sosial akan membentuk pemahaman dalam mengidentifikasi suatu penyebab yang
melatarbelakangi perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakatnya yang dimulai dari
interaksi sosial.[1]
Perilaku terbentuk karena ditentukan oleh orang itu sendiri (actor) dan situasi yang
menyertainya. Mungkin saja perilaku ditentukan oleh orangnya sendiri dan mungkin juga karena
situasinya. Ketika seseorang mengamati, ada orang yang mengamati dan berfokus pada orangnya
(actor) saja dan ada juga yang berfokus pada kejadian yang menyertainya. Meskipun seseorang
memperhatikan kedua elemen dalam mengatribusi, tetapi orang terkadang gagal dalam
memahami mengapa sesuatu terjadi dan apa makna di baliknya. Inilah yang terkadang memicu
konflik karena terjadi kegagalan dalam memahami dan mengatribusi. Hal tersebut disebut
dengan fundamental attribution errors.
Tidak jarang terjadi bias dalam atribusi. Diantaranya terdapat actors-observer bias dimana
kehadiran actors-observer memicu perbedaan interpretasi kognitif dan persepsi, self-serving bias
dimana seseorang dalam mengatribusi cenderung menempatkan dirinya pada posisi yang
menguntungkan (menolak tanggungjawab kegagalan tetapi merasa kesuksesan karena
usahanya). Terdapat pula efek diatas rata-rata (above average effect) dimana seseorang merasa
dirinya atau kelompoknya di atas rata-rata pada hal-hal yang membanggakan menurutnya.
Atribusi yang bias dan error tanpa mencoba untuk memahami yang terjadi sebenarnya
sebagai penyebab terjadinya sebuah perilaku akan berdampak pada kecendrungan timbulnya
sebuah konflik.[2]
Contoh:
Pada sebuah pertandingan sempak bola dunia, seorang pemain ternama dari Negara
Perancis tiba-tiba menyerang pemain dari Negara lain dengan sunduran kepala tepat di dada.
Spontan pada waktu itu penonton tiba-tiba heran, ribut, dan wasit mengeluarkan kartu merah
tanda pemain asal Negara perancis tersebut di keluarkan dari lapangan.
Penjelasan contoh
Pada saat pemain dari Negara Perancis menyundur dada pemain dari Negara lawan, tiba-
tiba ribuan penonton yang hadir pada saat itu masing-masing membuat atribusinya. Ada pihak
yang langsung menyalahkan salah satu pihak, ada juga pihak yang heran dan ingin tahu apa yang
memicunnya.
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut
Heider, setiap individu pada dasarnya adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist) yang
berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan
potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang
sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha
untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita
melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui penyebab
kenapa dia sampai berbuat demikian.
Dua fokus perhatian di dalam mencari penyebab suatu kejadian, yakni sesuatu di dalam
diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat dirinya
yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya, dia mencuri karena dipaksa
situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit
keras. Bila kita melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena
sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita telah melakukan atribusi internal (internal
attribution). Tetapi jika kita melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri untuk membeli obat)
maka kita melakukan atribusi eksternal (external attribution).[3]
Proses atribusi telah menarik perhatian para pakar psikologi sosial dan telah menjadi
objek penelitian yang cukup intensif dalam beberapa dekade terakhir. Cikal bakal teori atribusi
berkembang dari tulisan Fritz Heider (1958) yang berjudul “Psychology of Interpersonal
relations). Dalam tulisan tersebut Heider menggambarkan apa yang disebutnya “native theory of
action”, yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk menafsirkan, menjelaskan,
dan meramalkan tingkah laku seseorang. Dalam kerangka kerja ini, konsep intensional (seperti
keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan) memainkan peran penting.[4]
Menurut Heider ada dua sumber atribusi tingkah laku: (1). Atribusi internal atau atribusi
disposisional. (2). Atribusi eksternal atau atribusi lingkungan. Pada atribusi internal kita
menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur
psikologis yang mendahului tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan bahwa
tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau lingkungan orang itu berada.
Dua teori yang paling menonjol dari segi konsep dan penelitian, yaitu teori inferensi
terkait (correspondence inference) dari Jones dan Davis (1965) dan teori ko-variasi Kelley
(Kelly’s covarioance Theory) yang dirumuskan oleh Harlod Kelley (1972).[5]

2.2 Teori-teori Atribusi Sosial

1. Teori Correspondent Inference (penyimpulan terkait)


Teori ini dikemukakan oleh Jones dan Davis (dalam Baron dan Byrne, 2003: 49-51).
Menurut teori ini perlunya memusatkan perhatian pada perilaku yang dapat memberikan
informasi, yaitu:
a) Perilaku yang timbul karena kemauan orang itu sendiri atau orang itu bebas memilih
kelakuannya sendiri perlu lebih diperhatikan dari pada perilaku karena peraturan atau
ketentuan atau tata cara atau perintah orang lain. Misalnya, kasir yang cemberut atau satpam
yang tersenyum lebih mencerminkan keadaan dirinya dari pada kasir yang harus tersenyum
atau satpam yang harus galak. Demikian juga mertua yang baik kepada menantu (walaupun
ia dapat saja galak) atau orang yang memberi tempat duduk pada wanita tua di bus yang
penuh sesak (walaupun ia dapat saja tetap duduk) benar-benar mencerminkan atribusinya
sendiri karena merekamempunyai pilihan sendiri.
b) Perilaku yang membuahkan hasil yang tidak lazim lebih mencerminkan atribusi pelaku dari
pada yang hasilnya yang berlaku umum. Misalnya, wanita yang mau dengan pria yang
gendut, jelek, miskin, tapi penuh perhatian, lebih dapat diandalkan cintanya dari pada wanita
yang suka kepada pria ganteng, kaya, dan berpendidikan tinggi. Contoh lainnya, seorang
lulusan SMA yang pandai dan dapat diterima di fakultas Kedokteran atau fakultas Ekonomi,
tetapi Ia justru memilih jurusan Ilmu Purbakala, lebih jelas motivasinya dari pada siswa yang
prestasinya rata-rata, tetapi bersikeras masuk ke fakultas Kedokteran atau ekonomi
c) Perilaku yang tidak biasa lebih mencerminkan atribusi dari pada perilaku yang umum.
Misalnya, seorang pelayan toko menunjukkan toko lain kepada pelanggannya yang
menanyakan barang yang tidak tersedia di toko tersebut. Contoh lainnya, seorang pria muda
yang mencintai wanita setengah baya yang belum menikah.

2. Teori sumber perhatian dalam kesadaran (conscious resources)


Teori ini menekankan proses yang terjadi dalam kognisi orang yang melakukan persepsi
(pengamatan). Gilbert dkk. (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 104-105) mengemukakan bahwa
atribusi harus melewati kognisi, dan dalam kognisi melewati tiga tahap, yaitu:
a) Kategorisasi. Dalam tahap ini, pengamat menggolongkan dulu perilaku orang yang diamati
(pelaku) dalam jenis atau golongan tertentu sesuai denggan bagan atau skema yang sudah
terekam dalam kognisi pengamat (dinamakan skema kognisi). Misalnya, dalam skema
kognisi john sudah ada golongan-golongan perilaku, yaitu ramah, bersahabat, curang, mau
menang sendiri dan sebagainya. Pada awalnya john menggolongkan perilaku Wayan dalam
ramah dan bersahabat, tapi sejak Wayan membawa kemenakannya tanpa persetujuannya,
perilaku wayan dikategorikan sebagai curang, dan tidak memperhatikan teman.
b) Karakterisasi. Pengamat membuat atribusi kepada pelaku berdasarkan kategorisasi tersebut.
Jadi, John memberi sifat baik hati dan bersahabat kepada Wayan ketika Ia berada di Bali,
sementara waktu di Jakarta John mengatribusikannya sebagai curang, dan tidak
memperhatikan teman karena membawa kemenakannya tanpa izin.
c) Koreksi. Tahap yang terakhir adalah mengubah atau memperbaiki kesimpulan yang ada pada
pengamat tentang pelaku. Dalam kasus John, ia mengoreksi simpulannya tentang Wayan dari
orang yang ramah dan bersahabat menjadi orang yang curang dan tidak memperhatikan
teman sejak John mendapat informasi baru tentang perilaku Wayan selama Ia dan
kemenakannya berada di Jakarta.

3. Teori atribusi internal dan eksternal dari Kelly (1972; Kelly & Michela, 1980)
Menurut teori ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah perilaku
beratribusi internal atau eksternal, yaitu:
 Konsensus. Consensus merupakan derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau
peristiwa tertentu dengan orang yang sedang kita observasi. Apakah suatu perilaku
cenderung dilakukan oleh semua orang pada situasi yang sama. Makin banyak yang
melakukannya, makin tinggi consensus, dan sebaliknya.
 Konsistensi. Konsisten adalah derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap stimulus atau
peristiwa yang sama pada waktu yang berbeda. Apakah pelaku yang bersangkutan cenderung
melakukan perilaku yang sama di masa lalu dalam situasi yang sama. Kalau “ya”,
konsistensinya tinggi, kalau “tidak”, konsistensinya rendah
 Distingsi atau kekhususan. Distingsi merupakan derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap
berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-beda. Apakah pelaku yang bersangkutan
cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dalam situasi yang berbeda-beda. Bila
seseorang memberikan reaksi yang sama terhadap stimulus yang berbeda-beda, maka dapat
dikatakan orang yang bersangkutan memiliki distingsi yang rendah

4. Atribusi karena faktor lain (Baron & Byrne, 1994)


Kalau seorang ibu marah-marah kepada anaknya, atribusi yang mungkin diberikan oleh orang
yang menyaksikan (pengamat) adalah bahwa ibu itu (pelaku) galak kepada anaknya. Apalagi,
jika marah-marah itu dilakukan di depan orang lain yang seharusnya tidak menyaksikan perilaku
seperti itu (misalnya di hadapan guru anaknya), kesan atribusi internal (ibu itu memang galak)
akan lebih kuat lagi. Akan tetapi, jika ibu itu marah karena tiba-tiba anaknya menyeberang jalan
sekenanya dan hampir tertabrak mobil, simpulan pengamat cenderung pada atribusi eksternal
dari pada internal (pantas ibu itu marah-marah karena anaknya nakal, melakukan hal yang
berbahaya).[6]

2.3 Aplikasi Teori Atribusi Sosial

1. Atribusi dan Depresi


Depresi adalah gangguan psikologi yang hampir dialami setiap manusia. Individu yang
depresi cenderung mempunyai pikiran yang bertentangan dengan bias mengutamakan diri
sendiri. Kalau hasilnya bagus, maka itu merupakan keberhasilan yang didapat dari intervensi
orang lain. Namun, jika kegagalan yang terjadi hal itu merupakan kesalahan mutlak dari dirinya
sendiri sehingga orang akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki arti dan akhirnya mudah
menyerah dalam hidupnya.
2. Atribusi dan Prasangka
Harga sosial yang mesti dibayar ketika mempertanyakan diskriminasi. Misalnya seseorang
pada ras minoritas tidak menerima tidak diterima dalam pekerjaan, dia berprasangka bahwa tidak
diterimanya dia karena dia berasal dari minoritas. Tetapi, setelah dipikir-pikir lagi, maka akan
muncul bahwa dia memang tidak cocok dengan pekerjaan itu dan dia hanya mengeluh saja, dan
justru muncul pemikiran negatif kita terhadap orang tersebut.[7]

2.4 Bias dalam Atribusi Sosial


Seringkali proses atribusi menjadi bias karena faktor pengamat sebagai ilmuwan naïf
menggunakan konsep dirinya ke dalam proses tersebut dan juga karena faktor-faktor yang
berhubungan dengan orientasi pengamatan. Beberapa bias yang dikenal dalam atribusi adalah :
1. Bias Fundamental Attribution
Dalam memberikan atribusi pada pelaku, pengamat sering terlalu banyak menekankan factor
disposisi daripada factor situasi. Penekanan yang tidak seimbang dari dua sisi akan menyebabkan
bias dalam kesimpulan. Di sisi lain focus pengamatan memang lebih banyak pada perilaku, tetapi
bukan berarti factor situasional kurang berperan. Bias atribusi fundamental ini pertama kali
dikemukakan oleh Lee Ross.

2. Bias Self-Serving
Ada kecenderungan umum pada setiap orang untuk menghindari celaan karena
kesalahannya. Sayangnya cara yang dipilih untuk menghindari keadaan itu sering tidak tepat,
yaitu dengan menimpakan pada situasi di luar dirinya. Seorang yang gagal menjadi juara sering
menimpakan kesalahan pada panitia atau arena. Sedangkan bila mendapat keberhasilan dia lebih
menekankan bahwa hal itu adalah karena kemampuannya.

3. Efek Pelaku – Pengamat


Bias ini terutama muncul pada hubungan antara perilaku dan pengamat yang sudah
terjalin baik. Pertama kali, teori ini dikemukakan oleh Jones dan Nisbet. Pelaku akan
menekankan pada faktor situasional. Sedangkan menurut pengamat, perubahan perilaku lebih
banyak dipengaruhi faktor disposisi. Contohnya adalah hubungan antara seorang guru dengan
siswa. Ketika suatu saat guru memberi nilai jelek pada hasil karangan murid, kedua orang ini
memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menilai kegagalan. Bagi murid kegagalan tersebut
disebabkan oleh kesibukannya, gangguan dari teman, ruang yang panas, atau yang lain.
Sedangkan guru cenderung menimpakan keadaan ini kepada kondisi murid itu sendiri, misalnya
kurang membaca bahan, kurang teliti, kurang ada kemauan dan sebagainya.

4. Menyalahkan diri sendiri


Tidak jarang pula ditemui seorang yang terlalu menyalahkan diri sendiri, terutama bila
mengalami kegagalan. Orang yang sering menyalahkan diri sendiri, akan sulit untuk secara
objektif memberi penilaian, sehingga dalam proses atribusi juga sering menyebabkan kebiasaan.
5. Hedonic Relevance
Pengamat sering kurang objektif dalam memberikan penilaian terhadap peristiwa yang
menyangkut dirinya. Apabila peristiwa itu menguntungkannya, maka akan menyebabkan
penilaian lebih positif. Sebaliknya bila peristwa tersebut kurang menguntungkan dirinya,
penilaian menjadi condong negatif.

6. Bias Egosentris
Sering dijumpai pula bahwa orang menilai dengan menggunakan dirinya sebagai
referensi, atau beranggapan bahwa orang pada umumnya akan berbuat seperti dirinya. Apabila
standar diri ini diterapkan dalam memberi atribusi, maka bias sulit untuk dihindarkan.[8]

2.5 Macam Atribusi Sosial


Menurut Heider (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 102), Atribusi dapat dibedakan menjadi:
1. Atribusi Internal
Jika perilaku seseorang yang diamati disebabkan oleh factor-faktor internal, misal sikap,
sifat-sifat tertentu, ataupun aspek-aspek internal yang lain. Contoh, jika anak memperoleh nilai
raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja karena anak itu malas, terlalu banyak main, atau
bodoh.

2. Atribusi Eksternal
Jika perilaku sosial yang diamati disebabkan oleh keadaan atau lingkungan di luar diri orang
yang bersangkutan. Contoh, jika anak memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya dapat
saja karena ada masalah dengan lingkungannya, orang tuanya bercerai, hubungan yang jelek
dengan orang tua, ditekan oleh teman-teman, ataupun gurunya yang tidak menarik.[9]

2.6 Kesalahan Atribusi


Bagaimanapun juga, pemberian atribusi bisa salah. Kesalahan itu menurut Baron &
Byrne (dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1999: 109-112) dapat bersumber dari beberapa hal,
yaitu:
1. Kesalahan atribusi yang mendasar (fundamental error)
Yaitu kecenderungan untuk selalu memberi atribusi internal. Menurut Robert A. Baron
dan Donn Byrne (2003: 58) kesalahan atribusi fundamental merupakan kecenderungan yang
terlalu berlebihan dalam memperhitungkan pengaruh faktor disposisi pada perilaku seseorang.
Padahal ada kemungkinan besar pula perilaku perilaku disebabkan oleh faktor eksternal (adat,
tradisi, kebiasaan masyarakat, dan sebagainya).

2. Efek pelaku pengamat


Kesalahan ini adalah kecenderungan mengatribusi perilaku kita yang disebabkan oleh
faktor eksternal, sedangkan perilaku orang lain disebabkan oleh faktor internal. Misalnya, jika
ada orang lain yang jatuh terpeleset, kita katakana dia tidak hati-hati. Akan tetapi, jika kita
sendiri yang terpeleset dan jatuh, kita katakan bahwa lantainya yang licin. Hal ini disebabkan
karena kita memang cenderung lebih sadar pada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku kita dari pada yang mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh karena itu kita cenderung
menilai perilaku kita disebabkan faktor eksternal dari pada internal. Proses persepsi dan atribusi
sosial tidak hanya berlaku dalam hubungan antar pribadi, melainkan juga terjadi dalam hubungan
antar kelompok, karena pada hakikatnya prinsip-prinsip yang terjadi di tingkat individu dapat
digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.

3. Pengutamaan diri sendiri (self-serving biss)


Kesalahan mengutamakan diri sendiri adalah kecenderungan mengatribusi perilaku kita
yang positif pada faktor-faktor internal, dan mengatribusi perilaku yang negative pada faktor-
faktor eksternal. Misalnya, jika kita mengerjakan tugas dan mendapatkan pujian “tugas yang luar
biasa” mungkin kita akan menjabarkan dengan faktor-faktor internal (kita berbakat, kita
mengerjakannya dengan serius, dan lain sebagainya), tetapi jika sebaliknya, tugas kita mendapat
celaan “tugas yang sangat buruk” maka kemungkinan besar kita akan mengatakan bahwa
penyebabnya adalah faktor-faktor eksternal (dosen tidak adil dalam memberi nilai, kita tidak
punya cukup waktu untuk mengerjakan, dan lain-lain). Setiap orang cenderung untuk
membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Dalam hubungan antarpribadi,
kecenderungan untuk memberi atribusi internal maupun eksternal pada hal-hal yang negatif ini
dipengaruhi oleh kepribadian pengamat.

2.6 Kajian Teoritis menurut pandangan Islam


Teori atribusi adalah teori tentang bagaimana manusia menerangkan perilaku orang lain
maupun perilakunya sendiri dan akibat dari perilakunya, seperti dalam al-Qur’an surat an-Najm
ayat 39-40 :
Artinya:
“39. dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, 40. dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).” (Q.S. An-
najm : 39-40).
Bahwa setiap manusia terlahir sebagai makhluk sosial yang setiap tingkah dan lakonnya
memenuhi sela waktu hidupnya sehingga dibalik apa yang mereka lakukan terdapat alasan-
alasan yang menyertainya. Dari alasan-alasan yang melatarbelakangi (usaha dalam kalimah tafsir
ayat diatas) maka terjadi prilaku yang ditampakan oleh individu.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku
tertentu. Menurut Myers (1996), kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh
kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik
perilaku orang lain. Attribution theory (teori sifat) merupakan posisi tanpa perlu disadari pada
saat melakukan sesuatu menyebabkan orang-orang yang sedang menjalani sejumlah tes bisa
memastikan apakah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan orang lain dapat
merefleksikan sifat-sifat karakteristik yang tersembunyi dalam dirinya, atau hanya berupa reaksi-
reaksi yang dipaksakan terhadap situasi tertentu.
Teori-teori atribusi diantaranya:
1. Teori Correspondent Inference (penyimpulan terkait)
2. Teori sumber perhatian dalam kesadaran (conscious resources)
Aplikasi teori atribusi meliputi:
1. Atribusi dan Depresi
2. Atribusi dan Prasangka
Bias atribusi diantaranya:
1. Bias Fundamental Attribution
2. Bias Self-Serving
3. Efek Pelaku – Pengamat
4. Bias Egosentris
Atribusi terbagi menjadi dua macam antara lain:
1. Atribusi Internal
2. Atribusi Eksternal
Kesalahan dalam atribusi yaitu:
1. Kesalahan atribusi yang mendasar (fundamental error)
2. Efek pelaku pengamat
3. Pengutamaan diri sendiri (self-serving biss).
DAFTAR PUSTAKA

Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.


Gurungan, W. A., Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2004.
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/07/atrbusi/
http://solehamini.blogspot.com/2010/05/atribusi-memahami-penyebab-perilaku.html
Irwanto dkk., Psikologi Umum, Gramedia, Jakarta, 1991.
Sarwono, Sarlito W., Teori-teori Psikologi Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Sears, David O., Freedman, Jonathan L., Peplau, L. Anne, Psikologi Sosial, Erlangga, Jakarta,
1985.
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/07/atrbusi/
http://solehamini.blogspot.com/2010/05/atribusi-memahami-penyebab-perilaku.html
Gurungan, W. A., Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2004. Hal. 83
Ibid. hal. 167
Gurungan, W. A., Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2004. Hal. 57
Gurungan, W. A., Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2004. Hal. 34
Sears, David O., Freedman, Jonathan L., Peplau, L. Anne, Psikologi Sosial, Erlangga, Jakarta,
1985. Hal.125
Sarwono, Sarlito W., Teori-teori Psikologi Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010. Hal. 23
Irwanto dkk., Psikologi Umum, Gramedia, Jakarta, 1991. Hal.34

Anda mungkin juga menyukai