Anda di halaman 1dari 28

PENUGASAN MAKALAH

PERNIKAHAN, KEPUASAN PERNIKAHAN, PERCERAIAN,


PERNIKAHAN KEMBALI, DAN KEPUTUSAN MELAJANG
MATA KULIAH:
Psikologi Perkembangan Dewasa dan Adiyuswa

Dosen Pengampu:
Dr. Yeniar Indriana, M.S.

Disusun oleh kelompok 3 :


1. Imam Nurcholis (15000119130314)
2. Raihana Dhifa (15000119130224)
3. Naning Nur Basuki (15000119110038)
4. Putri Zalza Aina Ulinuha (15000119120061)
5. Azzahra Verintan Sania (15000119120060)
6. Fitria Maulida (15000119130099)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang
hingga saat ini masih memberikan penyusun nikmat iman dan kesehatan, sehingga
penyusun diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk
menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang salah satu tahap perkembangan di
masa dewasa.
Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan tugas
mata kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa dan Adiyuswa. Pada makalah ini
akan dibahas mengenai pernikahan, perceraian, pernikahan kembali, dan
keputusan seseorang untuk melajang.
Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada
setiap pihak yang telah mendukung serta membantu penyusun selama proses
penyelesaian makalah ini hingga telah terselesaikannya makalah ini. Penyusun
juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap
pembaca.
Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, penyusun meminta kesediaan
pembaca untuk memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai
penulisan makalah ini, untuk kemudian penyusun akan merevisi kembali
pembuatan makalah ini dikesempatan berikutnya.

Semarang, 7 Maret 2020


 

i
Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 Pernikahan 2
2.1.1 Motivasi Pernikahan 2
2.1.2 Teori Pernikahan 4
2.2 Kepuasan Pernikahan 6
2.3 Perceraian 10
2.3.1 Perceraian Merupakan Sebuah Fakta 11
2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Perceraian 11
2.3.3 Tahap-Tahap Proses Perceraian 12
2.4 Remarriage 15
2.4.1 Pernikahan Kembali Pada Masa Dewasa Akhir 16
2.5 Keputusan Melajang 17

BAB III ANALISIS FENOMENA 20


3.1 Grace Kelly dan Pangeran Rainier III 20

BAB IV PENUTUP 22
4.1 Kesimpulan 22
4.2 Saran 22
Daftar Pustaka 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan
yeng telah diakui secara sah oleh negara dan agama. Pernikahan
merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa
dewasa awal. Banyak faktor yang mendorong manusia untuk melakukan
pernikahan. Akan tetapi, dalam perkembangannya tidak semua ikatan
pernikahan mampu terus bertahan. Ada beberapa ikatan pernikahan yang
harus diakhiri oleh perceraian. Setelah melakukan perceraian, ada
beberapa individu yang pada akhirnya melakukan pernikahan kembali atau
remarriage. Namun, tidak sedikit pula yang pada akhirnya lebih memilih
untuk melajang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pernikahan?
2. Motif apa saja yang mendorong individu melakukan pernikahan?
3. Faktor apa saja yang meningkatkan kepuasan pernikahan?
4. Faktor apa saja yang menyebabkan perceraian?
5. Bagaimana tahapan perceraian?
6. Apa yang membuat seseorang memutuskan untuk melajang atau tidak
menikah?
1.3 Tujuan
1. Mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan perceraian.
2. Dapat menjelaskan motif-motif yang mendorong individu untuk
menikah.
3. Mampu menjelaskan faktor-faktor penyebab kepuasan pernikahan.
4. Mampu menjelaskan faktor penyebab perceraian.
5. Mampu menjelaskan tahap-tahap perceraian.
6. Mampu menjelaskan mengapa ada individu yang memilih untuk
melajang.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pernikahan

Pernikahan adalah ikatan suci antara pasangan dari seorang laki – laki dan
seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur
yang cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan yang suci karena
hubungan ini telah diakui secara sah dalam hukum agama. Pernikahan dilakukan
agar keduanya tidak melanggar ajaran agama, seperti apabila pasangan melakukan
hubungan seks mereka tidak akan dianggap melakukan perbuatan zina.
Pernikahan juga dilakukan karena pasangan sudah memiliki kesepakatan untuk
meneruskan atau melanggengkan kehidupan cinta yang mereka jalin sejak maasa
pacaran atau cinta yang dijodohkan oleh orang tua. Ketika pernikahan telah
dilakukan, mereka sepakat untuk berkeluarga sehingga ada konsekuensi hak dan
kewajiban yang harus ditanggung bersama-sama. Mereka harus siap memerankan
diri sebagai ibu rumah tangga, kepala rumah tangga, ayah – ibu, dan suami – istri.
Ditengah – tengah kehidupan berkeluarga lalu lahirlah anak yang siap untuk
dididik dan dibimbing hingga tumbuh berkembang menjadi seorang individu yang
dewasa serta mandiri.

Orang – orang yang telah memasuki usia dewasa muda, sebagian besar
telah menyelesaikan pendidikan dan mulai bekerja membangun karier mereka.
Kemudian tidak berapa lama, mereka yang telah merasa siap secara ekonomi dan
mental akan segera menikah dengan calon pasangan hidupnya. Menurut Papalia,
Old, dan Feldman (1998), pernikahan memiliki corak yang beragam disetiap
penjuru dunia. Misalnya, dalam kebudayaan yang berkembang di wilayah
Himalaya, seorang wanita diizinkan untuk menikahi saudara kandungnya sendiri.
Sementara di Zaire, seorang suami selain melayani istrinya, ia juga harus mau
“meniduri” ibu mertuanya.

2.1.1 Motivasi Pernikahan

2
Menurut pandangan Turner dan Helms (1995), motivasi pernikahan
yaitu sebagai berikut :

a. Motif Cinta dan Kecocokan (conformity)


Cinta dan komitmen seringkali digunakan sebagai dasar utama bagi
pasangan seorang laki – laki dan seorang peremupuan untuk
melangsungkan pernikahan. Cinta dapat tumbuh karena adanya
kecocokan atau kesamaan diantara mereka. Banyak pasangan yang
menikah juga karena memiliki kecocokan atau kesamaan minat
diantara keduanya. Dengan kesamaan tersebut, diperkirakan mereka
akan mudah untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan berkeluarga.

b. Motif Untuk Memperoleh Legitimasi (Pengakuan Sah secara


Hukum) terhadap Pemenuhan Kebutuhan Biologis
Dengan adanya status pernikahan yang sah baik secara hukum
maupun agama, individu memperoleh pengesahan untuk melakukan
hubungan seksual dengan pasangan hidup mereka. Mereka tidak
dianggap melanggar peraturan maupun norma yang berlaku. Hal ini
berbeda jika pasangan yang tidak menikah namun sudah melakukan
hubungan seksual dengan pasangannya, perbuatan tersebut akan
dianggap sebagai perbuatan yang melanggar norma dan hukum yang
berlaku. Oleh karena itu, pernikahan merupakan cara terbaik untuk
menyalurkan kebutuhan seksual individu dengan pasangannya tanpa
melanggar norma atau peraturan apapun.

c. Motif untuk Memperoleh Legitimasi Status Anak


Anak yang lahir dari hubungn antara seorang laki – laki dan
perempuan yang terikat dalam status pernikahan tentunya memperoleh
pengakuan yang sah dihadapan ajaran agama ataupun hukum negara.
Hal ini akan berbeda jika anak yang terlahir di luar status pernikahan.
Anak itu akan memperoleh pandanggan yang negatif di masyarakat.

d. Motif karena Merasa Siap secara Mental

3
Kesiapan mental untuk menikah berati memiliki kondisi psikologis
emosional yang siap untuk menanggung berbagai risiko yang ada
selama masa pernikahan misalnya perekonomian keluarga, membiayai
pendidikan anak, membiayai kesehatan keluarga, dll. Umumnya
karakteristik individu yang siap mental untuk menikah adalah yang
berusia 20 tahun keatas bagi wanita dan berusia 25 tahun keatas bagi
laki – laki, telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, serta
memiliki status pekerjaan yang jelas dan telah mapan. Dengan
terpenuhinya kriteria tersebut memungkinkan seseorang untuk merasa
siap menikah.

2.1.2 Teori Pernikahan

Pernikahan dapat saja langgeng selamanya atau dapat pula bercerai di


tengah perjalanannya. Suatu pernikahan yang berhasil tentulah yang
diharapkan setiap pasangan. Ada beberapa kriteria yang dicetuskan para ahli
dalam mengukur keberhasilan pernikahan. Kriteria itu antara lain (a) awetnya
suatu pernikahan, (b) kebahagiaan suami dan isteri, (c) kepuasan pernikahan,
(d) penyesuaian seksual, (e) penyesuaian pernikahan, dan (f) kesatuan
pasangan (Burgess dan Locke, 1960). Dari sini kepuasan pernikahan menjadi
salah satu faktor penting dalam keberhasilan suatu pernikahan. Hal ini
tentunya sejalan dengan teori‐teori tentang pernikahan (misal Clayton, 1975;
Snyder, 1979), bahwa untuk mencapai kepuasan pernikahan manusia harus
berusaha yaitu dengan memelihara hubungan di dalam pernikahannya.

Teori yang dikemukakan Clayton (1975), antara lain: kemampuan


sosial suami istri (marriage sociability), persahabatan dalam pernikahan
(marriage companionship), urusan ekonomi (economic affair), kekuatan
pernikahan (marriage power), hubungan dengan keluarga besar (extra family
relationship), persamaan ideologi (ideological congruence), keintiman
pernikahan (marriageintimacy), dan taktik‐ taktik interaksi (interaction
tactics).

4
Menurut Stanberg, kepuasan pernikahan adanya rasa cinta dalam
individu tersebut. Stanberg menjelaskan dalam dalam teori segitiga cinta
(triangular of love), unsur cinta terdiri dari tiga jenis, yaitu :

a. Intimacy (elemen emosional: keakraban, keinginan untuk mendekat,


memahami kehangatan, menghargai kepercayaan). Intimacy
mengandung sebagai elemen afeksi yang menolong individu untuk
selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya.
Dorongan ini mengakibatkan individu bergaul lebih akrab, hangat,
menghargai, menghormati, dan mempercayai pasangan yang
dicintainya dibandingkan orang lain yang tidak dicintai.
b. Passion (elemen fisiologis: dorongan nafsu biologis atau seksual).
Passion merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan seseorang
ingin merasa dekat secara fisik, menikmati atau merasakan sentuhan,
ataupun melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya.
Adanya passion ini menyebabkan dinamika kehidupan antara pasangan
suami istri karena merasa bergairah secara seksual terhadap pasangan
hidupnya. Kebutuhan seksual merupakan salah satu unsur penting
untuk mempertahankan kelangsungan keutuhan cinta atau pernikahan.
Passion bisa berupa sentuhan fisik, membelai rambut, berpegangan
tangan, merangkul, memeluk, mencium atau berhubungan seksual.
c. Commitment (elemen kognitif: tekad untuk mempertahankan keutuhan
hubungan cinta dengan orang lain yang di cintainya). Komitmen
adalah elemen konatif yang mendorong individu tetap
mempertahankan keutuhan hubungan cinta dengan pasangan hidup
yang dicintainya. Komitmen yang sejati ialah komitmen yang berasal
dari dalam diri seseorang yang tidak pernah luntur atau pudar
walaupun menghadapi berbagai rintangan, godaaan atau ujian berat
dalam perjalanan cintanya. Dengan adanya rintangan atau godaan
justru menjadi pemicu bagi masing – masing individu untuk
membuktikan ketulusan cinta terhadap pasangan hidupnya. Dengan

5
demikian adanya komitmen yang kuat akan melanggengkan kehidupan
cinta suami istri sampai akhir hayat.

Skema Teori Segitiga Cinta menurut Sternberg,

Commitment

Cinta Feteus Cinta


Persahabatan

Cinta
Romantis
Intimacy Passion

Keterangan :

 Cinta feteus adalah cinta yang didasari unsur pasion dan komitmen, tanpa
unsur intimasi.
 Cinta romantis adalah cinta yang didasari unsur intimasi dan pasion, tanpa
unsur komitmen.

 Cinta persahabatan adaalah cinta yang didasari unsur intimasi saja, tanpa
adanya unsur pasion dan komitmen.

2.2 Kepuasan Pernikahan

Menurut Gullota, Adams dan Alexander (Aqmalia, 2009) mengatakan


bahwa kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya
mengenai hubungan pernikahannya. Hal ini berkaitan dengan perasaan bahagia

6
yang pasangan rasakan dari hubungan yang dijalani. Adapun kepuasan pernikahan
menurut Pinson dan Lebow (Rini dan Retnaningsih, 2008) merupakan suatu
pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku, dan suatu sikap dimana semua
itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang
dirasakan dari interaksi dalam pernikahan. Hal tersebut sejalan dengan pengertian
Chapel dan Leigh (Sumpani, 2008) yang menyebut kepuasan pernikahan sebagai
evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Arti kepuasan
pernikahan menurut Clayton (Ardhianita dan Andayani, 2004) merupakan
evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi
pernikahan. Evaluasi tersebut bersifat dari dalam diri seseorang (subyektif) dan
memiliki tingkatan lebih khusus dibanding perasaan kebahagiaan pernikahan.
Berdasarkan pengertian para tokoh diatas, peneliti menyimpulkan bahwa
kepuasan pernikahan adalah evaluasi subyektif seseorang terhadap kualitas
pernikahannya yang berhubungan erat dengan perasaan bahagia terhadap
pernikahaannya.

Aspek-aspek yang digunakan dalam menentukan gambaran kepuasan


pernikahan subyek, mengacu pada teori Robinson dan Blanton (2003) yang
mengemukakan beberapa faktor terpenting dalam sebuah pernikahan yang
memuaskan, antara lain :

a. Keintiman

Keintiman antara pasangan di dalam pernikahan mencakup aspek


fisik, emosional, dan spiritual. Hal-hal yang terkandung dalam
keintiman adalah saling berbagi baik dalam minat, aktivitas, pemikiran,
perasaan, nilai serta suka dan duka. Keintiman akan tercipta melalui
keterlibatan pasangan satu sama lain baik dalam situasi yang
menyenangkan maupun menyedihkan. Selain itu, keintiman dapat
ditingkatkan melalui kebersamaan, saling ketergantungan atau
interindependensi, dukungan dan perhatian. Meskipun pasangan
memiliki keintiman yang sangat tinggi, bukan berarti pasangan selalu

7
melakukan berbagai hal bersama. Suami atau istri juga berhak
melakukan aktivitas dan minat yang berbeda dengan pasangannya.

b. Komitmen

Salah satu karakteristik pernikahan yang memuskan adalah


komitmen yang tidak hanya ditujukan terhadap pernikahan sebagai
sebuah intuisi, tetapi juga terhadap pasangannya. Beberapa pasangan
berkomitmen terhadap perkembangan hubungan pernikahannya, antara
lain kematangan hubungan, penyesuaian diri dengan pasangan,
perkembangan pasangan, serta terhadap pengalaman dan situasi baru
yang dialami pasangan.

c. Komunikasi

Kemampuan berkomunikasi yang baik mencakup berbagi pikiran


dan perasaan, mendiskusikan masalah bersama-sama, dan
mendengarkan sudut pandang satu sama lain. Pasangan yang mampu
berkomunikasi secara konstruktif, mereka dapat mengantisipasi
kemungkinan terjadi konflik dan dapat menyesuaikan kesulitan yang
dialaminya.

d. Kongruensi

Untuk dapat mencapat pernikahan yang memuaskan, pasangan


harus memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam mempersepsi
kekuatan dan kelemahan dari hubungan pernikahannya. Pasangan yang
mempersepsikan hubungan pernikahannya kuat, cenderung merasa
lebih nyaman dengan pernikahannya.

e. Keyakinan Beragama

Sebagian besar pasangan meyakini bahwa keyakinan beragama


merupakan komponen penting dalam pernikahan. pasangan yang dapat
berbagi dalam nilai-nilai agama yang dianutnya dan beribadah secara

8
bersama-sama dapat menciptakan ikatan kuat dan nyaman diantara
mereka serta berpengaruh positif bagi kepuasan pernikahan pasangan
memperoleh dukungan sosial, emosional, dan spiritual melalui agama
yang dianutnya.

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam


perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Clayton (1975). Adapun aspek-
aspek tersebut antara lain :

a. Kemampuan Sosial Suami Istri

Kemampuan sosial suami istri, yaitu kemampuan suami istri dalam


bergaul dengan lingkungan sosial. Meskipun bukan indikasi yang
menentukan, bisa diasumsikan bahwa dengan terciptanya kenyamanan
dalam rumah tangga akan memunculkan sikap-sikap positif dalam
pasangan suami istri tersebut bergaul dengan masyarakat.

b. Persahabatan Dalam Perkawinan

Persahabatan dalam perkawinan, artinya suami istri harus bisa


menjalin komunikasi, merasakan kegembiraan, kebahagiaan dan
pergaulan yang menyenangkan. Jadi ketika suami ataupun istri mampu
merasakan kegembiraan, kebahagiaan, ataupun perasaan menyenangkan
dari pergaulan antar keduanya, bisa menggambarkan adanya rasa puas
dalam perkawinannya.

c. Urusan Ekonomi

Urusan ekonomi yaitu segala urusan ekonomi dan keuangan dalam


rumah tangga yang meliputi penggunaan uang untuk kebutuhan
keluarga, pribadi, rekreasi serta pekerjaan suami maupun istri. Pasangan
suami istri yang memiliki manajemen keuangan yang baik, tidak akan
dipusingkan dengan persoalan-persoalan sepele yang berkaitan dengan
pengeluaran rumah tangga. Kondisi seperti ini tidak akan terwujud
tanpa adanya suasana yang nyaman dalam keluarga.

9
d. Kekuatan Perkawinan

Kekuatan perkawinan yaitu kelekatan suami istri terhadap


perkawinan yang dijalani, pengaruh suami terhadap istri atau
sebaliknya, adanya rasa ketertarikan dan ekspresi suami istri. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa salah satu hal yang mampu menandai
diperolehnya kepuasan dalam perkawinan seseorang yaitu fondasi
perkawinan yang kokoh.

e. Hubungan Dengan Keluarga Besar

Hubungan dengan keluarga besar yaitu hubungan dengan keluarga


yang ada di luar keluarga inti. Pasangan suami istri yang mampu
menciptakan kepuasan dalam perkawinannya akan memiliki hubungan
yang baik dengan keluarga besar. Hal ini dikarenakan mereka tidak
disibukkan dengan persoalan-persoalan dalam rumah tangganya
sehingga mampu menjalin kedekatan dengan anggota keluarga besar
yang lain.

f. Persamaan Ideologi

Persamaan ideologi yaitu kesamaan tujuan dan pandangan hidup


yang mencangkup kesamaan pandangan tentang perilaku yang baik dan
benar. Semakin banyak kesamaan yang dimiliki oleh pasangan suami
istri dalam hal tujuan serta pandangan hidup, bisa dikatakan bahwa
suami ataupun istri cukup puas dengan pasangannya.

g. Keintiman Perkawinan

Keintiman perkawinan yaitu keintiman antara suami istri yang


meliputi ekspresi kasih sayang dalam hubungan seksual. Pasangan
suami istri yang berhasil membangun kepuasan dalam perkawinannya
bisa ditandai dengan munculnya keintiman dari keduanya.

h. Taktik Interaksi

10
Taktik interaksi yaitu cara suami dalam berinteraksi dan
menyelesaikan masalah dalam perkawinan diantara penyatuan
perbedaan, kerjasama, dan pembagian tugas dalam rumah tangga.
Ketika sebuah keluarga mampu mewujudkan interaksi yang sehat, dapat
diyakini bahwa pasangan tersebut mampu menciptakan perkawinan
yang memuaskan.

2.3 Perceraian

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi


antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan
tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal
serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi. Mereka yang telah bercerai
tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak
traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah memiliki
keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi
anak-anak (Amato, 2000; Olson & DeFrain, 2003). Di sisi lain, mungkin saja
anak-anak yang dilahirkan selama mereka hidup sebagai suami-istri, akan
diikutsertakan kepada salah satu orang tuanya apakah mengikuti ayah atau ibunya
(Olson & DeFrain, 2003).

2.3.1 Perceraian Merupakan Sebuah Fakta

Baik suka maupun tidak suka, perceraian merupakan sebuah fakta


yang terjadi antara pasangan suami istri. Akibat perbedaan-perbedaan
prinsip yang tidak dapat dipersatukan lagi melalui berbagai cara dalam
kehidupan keluarga. Masing-masing tetap mempertahankan pendirian,
keinginan dan kehendak sendiri, tanpa berupaya untuk mengalah demi
tercapainya keutuhan keluarga. Ketidakmauan dan ketidakmampuan
untuk mengakui kekurangan diri sendiri dan atau orang lain,
menyebabkan suatu masalah yang sepele menjadi besar, sehingga
berakhir dengan sebuah perceraian. Walaupun ajaran agama melarang
untuk bercerai, akan tetapi kenyataan seringkali tak dapat dipungkiri

11
bahwa perceraian selalu terjadi pada pasanganpasangan yang telah
menikah secara resmi. Tidak peduli apakah sebelumnya mereka
menjalin hubungan percintaan cukup lama atau tidak, romantis atau
tidak, dan menikah secara megah atau tidak, perceraian dianggap
menjadi jalan terbaik bagi pasangan tertentu yang tidak mampu
menghadapi masalah konflik rumah tangga atau konflik perkawinan.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, perceraian tidak dapat
dihentikan dan terus terjadi, sehingga banyak orang merasa trauma,
sakit hati, kecewa, depressi dan mungkin mengalami gangguan jiwa
akibat perceraian tersebut.

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Perceraian

Perceraian sebagai sebuah cara yang harus ditempuh oleh pasangan


suami-istri ketika ada masalah-masalah daiam huhungan perkawinan
mereka tak dapat diselesaikan dengan baik. Perceraian bukanlah tujuan
akhir dari suatu perkawinan, akan tetapi sebuah bencana yang melanda
mahligai perkawinan antara pasangan suami-istri. Menurut para ahli,
seperti Nakamura (1989), Turner & Helms (1995), Lusiana Sudarto &
Henny E. Wirawan (2001), ada beberapa faktor penyebab perceraian
yaitu a) kekerasan verbal, b) masalah atau kekerasan ekonomi, c)
keterlibatan dalam perjudian, d) keterlibatan dalam penyalahgunaan
minuman keras, e) perselingkuhan. Namun demikian, mereka tidak
memerinci secara jelas faktor-faktor penyebab tersebut.

2.3.3 Tahap-Tahap Proses Perceraian

Paul Bahanon (dalam Turner & Helms, 1995; Dariyo, 2003;


Soesmaliyah Soewondo, 2001), seorang ahli psikologi keluarga
mengungkapkan bahwa perceraian itu terjadi melalui sebuah proses.
Perceraian yang dialami oleh pasangan suami-istri terjadi melalui
beberapa tahap. Ini artinya perceraian merupakan sebuah akhir dari
proses yang didahului dengan peristiwaperistiwa tertentu sesuai dengan

12
kondisi hubungan pasangan suami-istri, seperti adanya perselingkuhan,
apakah perselingkuhan dimulai oleh pasangan lakilaki atau wanita,
maka proses perceraian sedang terjadi, sehingga masing-masing
pasangan siap untuk berpisah antara satu dengan yang lain (Satiadarma,
2001). Lebih lanjut, Paul Bahanon menyatakan bahwa ada beberapa
tahap dalam proses perceraian.

a. Perceraian financial
Perpisahan antara pasangan suamiistri signifikan dalam hal
keuangan (financial divorce), untuk memberi uang belanja keluarga
kepada istrinya. Demikian pula, istri tidak memiliki hak untuk
meminta jatah uang belanja keluarqa, kecuali masalah keuangan
yang dipergunakan untuk memelihara anakanaknya. Walaupun
sudah bercerai, namun sebagai ayah, ia tetap berkewajiban untuk
merawat, membiayai dan mendidik anakanak.

b. Perceraian koparental

Setelah bercerai, masing-masing btkas pasangan suami-istri


tidak lagi memiliki kebersamaan dalam mendidik anak-anak
mereka, karena mereka telah hidup terpisah dan sendiri lagi, seperti
sebelum menikah. Perceraian koparental (coparental divorce) tidak
mempengaruhi fungsi mereka sebagai orangtua yang tetap harus
berkewajiban untuk mendidik, membina dan memelihara anak-anak
mereka. Mereka tetap berkewajiban untuk mengajak komunikasi
dan memberi kasihsayang kepada anak-anak, walaupun tidak secara
utuh. Untuk melaksanakan tugas pengasuhan pasangan yang sudah
bercerai, maka mereka akan melakukan perjanjian-perjanjian yang
disepakati bersama, agar anak-anak benar-benar merasakan kasih
sayang dan perhatian dari orangtuanya.

c. Perceraian Hukum

13
Perceraian secara resmi ditandai dengan sebuah keputusan
hukum melalui pengadilan (law divorce). Bagi mereka yang
beragama muslim, pengadilan agama akan mengeluarkan keputusan
talak I, II dan III sebagai landasan hukum perceraian antara
pasangan suami-istri. Sedangkan pasangan yang non-muslim;
seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu maupun Budha),
pengadilan umum negara atau kantor catatan sipil berperan untuk
memutuskan dan mengesyahkan perceraian mereka. Dengan
keluarnya keputusan resmi tersebut, maka masingmasing individu
bekas pasangan suamiistri, memiliki hak yang sama untuk
menentukan masa depan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh
pihak lain. Kini mereka memiliki status yang baru yaitu sebagai
janda atau sebagai duda.

d. Perceraian Komunitas
Menikah merupakan upaya untuk mengikatkan 2 (dua)
komunitas budaya, adat-kebiasaan, sistem sosial-kekerabatan
maupun kepribadian yang berbeda agar menjadi satu. Mereka bukan
lagi sebagai dua orang individu yang berbeda tetapi telah
menganggap dirinya sebagai satukesatuan yang utuh dalam
keluarga. Apa yang mereka miliki akan menjadi milik bersama.
Namun ketika mereka telah resmi bercerai, maka masing-masing
individu akan kembali pada komunitas sebelumnya. Jadi mereka
mengalami perpisahan komunitas (community divorce). Mereka
tidak lagi akan berkomunikasi, berhubungan atau mengadakan
kerja-sama dengan bekas pasangan hidupnya, mertua, atau
komunitas masyarakat sebelumnya.

e. Perceraian secara psiko-emosional


Sebelum bercerai secara resmi, adakalanya masing-masing
individu merasa jauh secara emosional dengan pasangan hidupnya
(psycho-emotional divorce), walaupun mungkin mereka masih

14
tinggal dalam satu rumah. Pertemuan secara fisik, tatap muka,
berpapasan atau hidup serumah; bukan. tolok ukur sebagai tanda
keutuhan hubungan suami-istri. Masing-masing mungkin tidak
bertegur-sapa, berkomunikasi, acuh tak acuh, “cuek”, tidak saling
memperhatikan dan tidak memberi kasih-sayang. Kehidupan
mereka terasa hambar, kaku, tidak nyaman, dan tidak bahagia.
Dengan demikian, dapat dikatakan walaupun secara fisik
berdekatan, akan tetapi mereka merasa jauh dan tidak ada ikatan
emosional sebagai pasangan suami-istri.

f. Perpisahan secara fisik


Perpisahan secara fisik (physical divorce) ialah suatu kondisi
di mana masing-masing individu tidak lagi tinggal dalam satu
rumah dan telah menjauhkan diri dari bekas pasangan hidupnya.
Masing-masing tinggal di rumah atau tempat yang berbeda. Mereka
benar-benar tidak bertemu secara fisik dan tidak lagi berkomunikasi
secara intensif. Dengan demikian, mereka tidak memperoleh
kesempatan untuk melakukan hubungan sexual lagi dengan bekas
pasangan hidupnya. Oleh karena itu, mereka harus menahan diri
untuk tidak menyalurkan libido sexual dengan siapa pun.
Perpisahan fisik terjadi setelah mereka berpisah secara hukum
melalui pengadilan.

2.4 Remarriage

Menurut pendapat Olson & Defrain, menikah kembali atau remarried


merupakan perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan sebelumnya berakhir
akibat kematian pasangan atau perceraian. Kebanyakan pasangan yang bercerai
menikah lagi. Trauma perceraian tidak menghalangi orang untuk memulai
hubungan baru. Biasanya, pria dan wanita menunggu sekitar 3 ½ tahun sebelum
mereka menikah kembali (Biro Sensus A.S., 2007a). Sekitar 50% Orang dewasa
yang menikah kembali dalam waktu tiga tahun setelah perceraian mereka
(Sweeney, 2009, 2010). Pria menikah lagi lebih cepat dari wanita. Laki-laki

15
dengan pendapatan lebih tinggi lebih mungkin untuk menikah kembali daripada
rekan-rekan mereka dengan pendapatan lebih rendah. Pernikahan kembali terjadi
lebih cepat pada pasangan yang memulai perceraian (terutama pada beberapa
tahun pertama setelah perceraian).

Keluarga yang menikah kembali lebih mungkin tidak stabil daripada


pernikahan pertama dan perceraian lebih mungkin terjadi (Waite, 2009).
Mengadaptasi hubungan baru dalam pernikahan kembali sangat menegangkan.
Misalnya, pasangan mungkin memiliki masalah yang belum terselesaikan dari
pernikahan sebelumnya yang dapat mengganggu kepuasan dengan pernikahan
baru (Faber, 2004). Pernikahan kembali sangat rentan terhadap stres jika pasangan
harus menyesuaikan untuk memiliki anak tiri. Orang dewasa yang menikah
kembali memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah (tingkat depresi
yang lebih tinggi misalnya) daripada orang dewasa dalam pernikahan pertama,
tetapi pernikahan kembali sering meningkatkan status keuangan orang dewasa
yang menikah lagi, terutama wanita (Waite, 2009).

Para peneliti telah menemukan bahwa hubungan perkawinan orang dewasa


yang menikah kembali lebih egaliter dan lebih mungkin ditandai dengan
pengambilan keputusan bersama daripada pernikahan pertama (Waite, 2009). Istri
yang menikah lagi juga melaporkan bahwa mereka memiliki lebih banyak
pengaruh pada masalah keuangan dalam keluarga baru mereka daripada dalam
pernikahan pertama (Waite, 2009).

Meskipun kehadiran anak tiri dari pernikahan sebelumnya mengurangi


kemungkinan melahirkan anak dari suami yang baru, sekitar 50 persen wanita
yang menikah lagi melahirkan anak-anak dalam keluarga baru mereka (Waite,
2009). Orang dewasa yang menikah lagi seringkali merasa sulit untuk
mempertahankan pernikahan mereka. Mengapa? Untuk satu hal, banyak yang
menikah kembali bukan karena cinta tetapi karena alasan keuangan, perlunya
bantuan dalam membesarkan anak-anak, dan untuk mengurangi kesepian. Mereka
juga mungkin membawa pola negatif yang menyebabkan kegagalan dalam
pernikahan sebelumnya ke dalam keluarga baru mereka. Pasangan yang sudah

16
menikah juga mengalami lebih banyak stres dalam membesarkan anak-anak
daripada orang tua dalam keluarga yang tidak pernah bercerai (Ganong,
Coleman,& Hans, 2006).

Pernikahan kedua yang melibatkan anak tiri memiliki risiko perceraian


sekitar tiga kali lebih tinggi. Meskipun wanita lebih mungkin untuk memulai
perceraian, mereka cenderung tidak menikah kembali (Buckle, Gallup, & Rodd,
1996) kecuali mereka miskin (Schmiege, Richards, & Zvonkovic, 2001). Namun,
wanita pada umumnya cenderung mendapat manfaat lebih dari menikah lagi
daripada pria, terutama jika mereka memiliki anak (Ozawa & Yoon, 2002).

Meski banyak yang percaya bahwa individu yang bercerai harus


menunggu sebelum menikah kembali untuk menghindari apa yang disebut "efek
rebound," tidak ada bukti bahwa mereka yang menikah kembali lebih cepat akan
kurang berhasil dalam pernikahan kembali daripada mereka yang menunggu lebih
lama (Wolffger, 2007).

2.4.1 Pernikahan Kembali (Remarriage) Pada Masa Dewasa Akhir


Tingkat pernikahan kembali adalah rendah pada masa dewasa akhir.
Peluang pria pada masa dewasa akhir untuk menikah kembali jauh lebih besar
daripada wanita. Kemudian wanita pada masa dewasa akhir yang bercerai
mungkin lebih termotivasi untuk menikah lagi karena keadaan ekonomi
mereka yang lebih ekstrem.
Dibandingkan dengan orang pada masa dewasa awal atau madya yang
menikah kembali, orang pada masa dewasa akhir yang menikah kembali
hubungannya lebih stabil. Tingkat perceraian pada usia mereka jauh lebih
rendah. Dalam kasus Louie dan Rachella, perkawinan kedua mereka
berlangsung selama 32 tahun. Mungkin pernikahan ulang usia lanjut lebih
sukses karena melibatkan lebih banyak kedewasaan, kesabaran, dan
keseimbangan romantis yang lebih baik. (Kemp & Kemp, 2002).

Daripada menikah lagi, saat ini lebih banyak orang pada masa dewasa
akhir yang memiliki hubungan memilih untuk hidup bersama tanpa ikatan

17
pernikahan (cohabitation). Hidup bersama pada akhir masa dewasa
menghasilkan hubungan yang lebih stabil dan kualitas hubungan yang lebih
tinggi daripada dilakukan di masa dewasa awal atau madya. Tetapi
dibandingkan dengan orang pada masa dewasa awal dan madya, sedikit orang
pada masa dewasa akhir yang hidup bersama memiliki rencana untuk
menikah. Alasan yang sering diberikan adalah kekhawatiran tentang
penerimaan anak-anak yang sudah dewasa mengenai pasangan baru mereka
dan konsekuensi negatif mengenai keuangan sehubungan dengan pajak,
jaminan sosial atau manfaat pensiun, dan warisan. (King & Scott, 2005; Kemp
& Kemp 2002). Selain itu, wanita pada masa dewasa akhir yang bercerai dan
janda sering menyebutkan keengganan untuk melepaskan kebebasan mereka.
(Lopata, 1996).

2.5 Keputusan Melajang

Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan yang signifikan


dalam persentase orang dewasa lajang (belum menikah). Pada 2016, 45,2 persen
orang yang berusia 18 tahun ke atas dilaporkan melajang (Biro Sensus A.S.,
2017). Meningkatnya jumlah orang dewasa lajang adalah hasil dari meningkatnya
tingkat hidup bersama dan tren menunda pernikahan. Amerika Serikat memiliki
persentase orang dewasa lajang yang lebih rendah daripada lakukan banyak
negara lain seperti Inggris, Jerman, dan Jepang. Juga, pertumbuhan cepat jumlah
orang yang mengadopsi gaya hidup dewasa lajang terjadi di negara-negara yang
berkembang pesat seperti Cina, India, dan Brasil (Klinenberg, 2012, 2013).

Meski orang yang melajang menikmati gaya hidup mereka dan merupakan
individu yang sangat kompeten, terdapat banyak stereotipe mengenai mereka
(Schwartz & Scott, 2012). Stereotip yang terkait seperti "swinging single" hingga
kesepian dan suicidal. Tantangan umum yang dihadapi oleh orang dewasa lajang
mungkin termasuk membentuk hubungan intim dengan orang lain, menghadapi
kesepian, dan menemukan ceruk dalam masyarakat yang berorientasi pada
pernikahan.

18
Bella DePaulo (2006, 2011) berpendapat bahwa masyarakat memiliki bias
yang luas terhadap orang dewasa yang belum menikah yang terlihat dalam segala
hal, mulai dari tidak memanfaatkan tunjangan dalam pekerjaan hingga prasangka
sosial dan keuangan yang mendalam.

Keuntungan menjadi lajang termasuk memiliki waktu untuk membuat


keputusan tentang jalan hidup seseorang, waktu untuk mengembangkan sumber
daya pribadi untuk memenuhi tujuan, kebebasan untuk membuat keputusan
otonom dan mengejar jadwal dan minat seseorang, peluang untuk menjelajahi
tempat-tempat baru, dan mencoba hal-hal baru. Dibandingkan dengan orang
dewasa yang sudah menikah, orang yang melajang lebih cenderung menghabiskan
waktu dengan teman-teman dan tetangga, makan di restoran, dan menghadiri
kelas seni dan kuliah (Klinenberg, 2012, 2013).

Begitu orang dewasa mencapai usia 30 tahun, mereka mungkin


menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menetap dan menikah. Inilah saat
banyak orang dewasa lajang membuat keputusan sadar untuk menikah atau tetap
melajang.

Menurut perspektif evolusioner, terdapat tiga alasan mengapa seseorang


memutuskan untuk melajang. Pertama adalah fitness-increasing strategy di mana
individu merasa dirinya lebih baik jika melajang. Mereka mengorbankan situasi
untuk jadi tetap lajang mendapatkan kesuksesan reproduksi di masa depan.
Memiliki pasangan dianggap mengungkung dan melibatkan investasi sumber daya
yang substansial, termasuk waktu dan uang. Individu lebih memilih untuk
mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki untuk mengembangkan diri
sendiri. Semakin sukses mereka, semakin sukses pula pasangan yang didapat
masa depan. Yang kedua adalah the mismatch problem di mana individu tidak
dapat menemukan pasangan dengan apa yang mereka punya (fisik dan material).
Individu memilih untuk melajang sampai ia dapat beradaptasi dengan
lingkungannya dan menemukan pasangan yang cocok. Yang ketiga adalah
contingency, bahwa terdapat faktor-faktor kemungkinan yang membuat individu

19
memilih melajang. Termasuk adalah jenis kelamin, seksualitas, karir, usia, dan
status sosial.

BAB III
ANALISIS FENOMENA

3.1 Grace Kelly dan Pangeran Rainier III

Grace Kelly adalah seorang aktris Hollywood yang sangat sukses di


tahun 1950-an. Ia membintangi sejumlah film termasuk buatan sutradara
terkenal Alfred Hitchcock. Karirnya sebagai seorang aktris memang menarik,

20
namun yang membuatnya paling dikenal adalah pernikahannya dengan
Pangeran Rainier III dari Monako.
Dikatakan bahwa pernikahan mereka bersifat sangat politikal. Pada
masa itu Monako mengalami kesulitan secara ekonomi. Publikasi mengenai
pernikahan pangeran mereka dengan seorang bintang dari Amerika
meringankan keadaan ini—Monako menjadi destinasi turis karenanya, dan
memulihkan ekonomi mereka.
Pada April 1955, Grace Kelly diminta memimpin delegasi AS
ke Festival Film Cannes. Di Monako, ia diundang untuk ikut serta dalam
kesempatan berfoto di Istana Monako dengan pemimpin Monako saat
itu, Pangeran Rainier III. Setelah serangkaian masalah dan penundaan, Grace
akhirnya bisa sampai di Monako dan bertemu sang pangeran.
Sekembalinya di Amerika, Grace memulai film berikutnya, The Swan,
dan kebetulan berperan sebagai seorang Putri. Secara pribadi, Grace mulai
bersurat-suratan dengan Pangeran Rainier. Bulan Desember 1955, Rainier
melakukan perjalanan ke Amerika yang dimaksudkan sebagai kunjungan
resmi
Dalam konferensi pers di AS, ketika ditanya apakah dirinya sedang
mencari istri, Rainier menjawabnya, "Tidak." Pertanyaan kedua berupa
pengandaian, "'Andaikan' Anda sedang mencari istri, wanita seperti apa yang
Anda sukai?" Rainier tersenyum dan menjawab, "Saya tidak tahu - yang
terbaik." Rainier menemui Grace dan keluarganya, dan 3 hari kemudian
melamarnya. Grace menerima, dan keluarganya memulai persiapan
pernikahan yang menurut media massa waktu itu "Pernikahan Terbesar Abad
Ini" ("The Wedding of the Century"). Tanggal pernikahan ditetapkan 19
April 1959.
Berita pertunangan Grace-Rainier merupakan sensasi besar, walaupun
karier film Grace Kelly mungkin segera berakhir. Istana Monako dicat dan
dihias ulang sebagai persiapan pernikahan. Di Monako, lebih dari 20 ribu
orang berada di jalan untuk menyambut kedatangan sang Putri.

21
Pernikahan dilakukan dalam dua upacara. Upacara pertama dilakukan
di Palace Throne Room berupa upacara catatan sipil sepanjang 40 menit, dan
dipancarkan secara luas di Eropa. Sebagai penutup upacara, dibacakan 142
gelar resmi yang dianugerahkan kepada Putri Grace sebagai istri Pangeran
Rainier. Pangeran Rainier dan Putri Grace dikaruniai 3 anak: Caroline, Albert,
dan Stephanie.
Yang menarik dari pernikahan mereka, meskipun diliputi desas-desus
mengenai motivasi politik, setelah Putri Grace meninggal pada 1982,
Pangeran Rainier tidak pernah menikah lagi. Ia aktif sebagai pemimpin
Monako hingga akhir hayatnya di tahun 2005. Dikatakan oleh Albert,
anaknya, bahwa ia tidak pernah sama lagi setelah kematian Grace.
Kesibukannya sebagai pemimpin negara bisa jadi adalah alasan
Pangeran Rainier tidak menikah lagi, namun mengingat posisinya tersebut, ia
memiliki banyak peluang untuk memulai lagi. Boleh jadi, menurut Pangeran
Rainier, Grace adalah yang satu-satunya.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

22
Pernikahan adalah sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan
yang diakui secara sah oleh agama dan negara. Menurut Papalia, Old, dan
Feldman (1998), pernikahan memiliki corak yang beragam disetiap penjuru dunia.
Terdapat 4 motivasi utama yang mendasari pernikahan. Yaitu, motif cinta dan
kecocokan, motif untuk mendapatkan legitimasi terhadap pemenuhan kebutuhan
biologis, motif untuk memperoleh legitimasi status anak, serta motif karena sudah
merasa siap secara mental.
Setelah melakukan pernikahan, pasangan suami istri tentunya akan
berusaha untuk mencapai kepuasan dalam pernikahannya. Menurut Gullota,
Adams dan Alexander (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan
pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya. Apabila
pasangan suami istri gagal dalam memenuhi kepuasan pernikahan, maka
ditakutkan akan terjadi ketidakharmonisan bahkan perceraian dalam hubungan
mereka.
Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi
antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan
tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Terdapat banyak faktor mengapa
pasangan suami istri memilih untuk melakukan perceraian. Beberapa faktor
diantaranya yaitu karena perselingkungan, dan kekerasan dalam rumah tangga,
masalah ekonomi. Setelah terjadi perceraian, beberapa individu akhirnya memilih
untuk melakukan pernikahan kembali dengan pasangan yang baru. Namun, tak
sedikit pula yang akhirnya memilih untuk melajang setelah melakukan perceraian.

4.2 Saran

Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian
bahan maupun dalam segi penulisan. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat berguna bagi pendidikan di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

23
Kail, R. V., & Cavanaugh, J. C. (2010). Human development: a life-span view.
California: Wadsworth Cengage Learning.

Santrock, J. W. (2011). Life-span development. New York: McGraw-Hill.

Dariyo, A. (2008). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo.

Dariyo, A., & Esa, D. F. P. U. I. (2004). Memahami psikologi perceraian dalam


kehidupan keluarga. Jurnal Psikologi, 2(2), 94-100.

Muslimah, A. I. (2014). Kepuasan pernikahan ditinjau dari keterampilan


komunikasi interpersonal. SOUL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Psikologi, 7(2), 1-8.

Sumpani, D. (2008). Kepuasan pernikahan ditinjau dari kematangan pribadi dan


kualitas komunikasi (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

Ardhianita, I., & Andayani, B. (2005). Kepuasan pernikahan ditinjau dari


berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal psikologi, 32(2), 101-111.

Apostolou, M. (2017). Why people stay single: An evolutionary


perspective. Personality and Individual Differences, 111, 263-271.

Hill, Erin. 2017. Prince Albert on His Dad's Heartbreak After Princess Grace's
Death. https://people.com/royals/prince-albert-dad-prince-rainier-handled-
princess-graces-death/. Diakses 22 Maret 2020

24

Anda mungkin juga menyukai