Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Apa yang menjadi kebahagiaan anda? Mungkin ada orang yang secara spontan mengatakan: saya
bahagia kalau punya banyak uang, bisa makan yang enak, atau punya pasangan yang keren. Atau
mungkin ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan dicapai dengan kedudukan dan pendidikan yang
tinggi, kesehatan yang prima, dan penampilan yang OK. Setidak-tidaknya itulah gambaran yang
umum dipropagandakan melalui iklan dan film-film di televisi. Benarkah kebahagiaan kita dapat
dicapai dengan hal-hal tersebut di atas?

Semua orang ingin bahagia


Semua orang, baik dewasa maupun anak-anak, ingin bahagia. Kebahagiaan diartikan sebagai
pemenuhan semua keinginan hati kita. Jika kita perhatikan, pemenuhan kebahagiaan itu bergeser
terus, manusia cenderung menginginkan sesuatu yang ‘lebih’: ingin lebih pandai, lebih sukses, lebih
baik. Semua itu disebabkan karena di dalam diri kita ada keinginan untuk mencapai kesempurnaan
akhir seperti halnya seorang atlet yang terus berjuang mencapai garis finish. Nah, masalahnya apa
yang dicapai setelah garis akhir itu? Memang bagi kita yang masih hidup di dunia, titik akhir itu tidak
dapat kita gambarkan secara persis. Tak heran, walaupun semua orang ingin bahagia, umumnya
orang tidak tahu secara persis macam kehidupan seperti apa yang dapat menghantar kita ke sana.
Akibatnya tiap-tiap orang mengejar hal yang berbeda-beda untuk mencapai kebahagiaan itu.

Apakah kebahagiaan ada di dalam uang?


Banyak orang ingin mencari uang sebanyak-banyaknya agar bahagia. Namun jika kita renungkan,
uang dan kekayaan merupakan sesuatu yang lebih rendah daripada manusia itu sendiri. Uang dan
kekayaan bersifat sementara: dapat mudah diperoleh, tetapi juga mudah hilang. Uang bukan tujuan,
karena ia hanya alat untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Uang memang diperlukan untuk
membeli kebutuhan sehari-hari yang kita perlukan, namun semua kebutuhan kita itu ada umurnya.
Tidak ada yang tetap selamanya.

Selama saya tinggal di Amerika ini saya sering sekilas melihat berita para selebriti yang cerita dan
fotonya terpampang di aneka majalah dan surat kabar. Mereka sangat kaya, keren, terkenal, seolah
tak ada yang kurang. Tapi banyak dari mereka yang terlibat masalah kehidupan, entah perceraian,
ketergantungan obat, putus asa bahkan mau bunuh diri. Dari sini kita melihat bahwa uang tidak
mungkin dapat menjadi tujuan akhir kebahagiaan kita. Demikian juga dengan kesehatan, kecantikan,
dan kepandaian, karena pada suatu saat semuanya itu akan berkurang atau hilang.

Apakah kebahagiaan ada di dalam kehormatan?


Kardinal Henry Newman pernah berkata bahwa kehormatan/kemasyuran merupakan hal kedua
yang dikejar orang setelah kekayaan. Namun jika kita renungkan, kehormatan atau tepatnya
penghormatan dari orang lain merupakan sesuatu yang berubah-ubah/ tidak tetap, dan dapat pula
salah. Lagipula, kata St. Thomas Aquinas, kehormatan itu diperoleh sebagai akibat dari sesuatu yang
baik yang ada pada kita, tetapi bukan yang menjadi intisari dari diri kita. Misalnya, Mother Teresa
dihormati karena menerima hadiah Nobel, namun hadiah itu hanya merupakan akibat dari segala
kebaikan dan perbuatan kasih yang menjadi jati dirinya. Jadi penghormatan tidak pernah menjadi
lebih penting daripada kebaikan yang terkandung dalam diri kita.

Apakah kebahagiaan ada di dalam kekuasaan?


Sama seperti uang, kekuasaan hanya merupakan alat untuk mencapai sesuatu. Jadi kekuasaan juga
bukan inti dari dari kebahagiaan. Lagipula kekuasaan dapat disalahgunakan untuk melakukan
sesuatu yang jahat, seperti yang kita lihat pada para pemimpin yang kurang bijaksana. Maka
kekuasaan bukanlah inti dari kebahagiaan itu sendiri, karena kebahagiaan haruslah merupakan
sesuatu yang benar-benar baik, dan tidak dapat berubah menjadi kejahatan.
Apakah kebahagiaan ada di dalam kesenangan?
Kesenangan dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kesenangan jasmani dan
kesenangan rohani. Kesenangan jasmani umumnya tidak membedakan kita dari hewan, maka
sesungguhnya tidak mungkin menjadi inti kebahagiaan kita. Kedua, kesenangan jasmani juga bersifat
sementara, seperti kenyang setelah makan tidak bertahan selamanya. Setelah beberapa saat,
datanglah perasaan lapar kembali. Ketiga, kesenangan jasmani itu terbatas. Misalnya, sebanyak-
banyaknya kita makan, tidak dapat sampai melewati batas. Padahal manusia pada dasarnya mencari
sesuatu yang tidak terbatas. Keempat, tidak semua kesenangan jasmani adalah sesuatu yang baik.
Misalnya makan terlalu enak ataupun berlebihan dapat menyebabkan kita menjadi kurang sehat.

Pada tingkatan rohani, kesenangan juga bukan merupakan tujuan akhir. Kesenangan hanya
merupakan akibat dari tercapainya sesuatu, misalnya, rasa senang karena bercanda bersama teman
atau ber-rekreasi bersama keluarga, dst. Jadi jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan keadaan
tercapainya sesuatu yang baik, daripada merupakan kesenangan yang menjadi akibat dari
tercapainya hal itu. Contohnya, orang yang tulus tidak mengatakan bahwa kebahagiaannya dicapai
dari kesenangan/ keuntungan yang diperoleh dari persahabatan, melainkan dari persahabatan itu
sendiri.

Apakah kebahagiaan ada di dalam kebajikan?


Filsuf kuno (Stoa) menganggap bahwa kebahagiaan manusia ada dalam pencapaian kebajikan moral
dan intelektual. Kelihatannya hal ini lebih mulia dari hal-hal di atas, namun jika kita teliti, kebajikan
juga bersifat sementara -misalnya hari ini kita bisa sabar, besok tidak demikian- dan karenanya tidak
sempurna. Padahal, manusia selalu mencari sesuatu yang tetap dan sempurna. Kebajikan hanya
merupakan alat bagi manusia untuk mencapai tujuan yang lebih mulia, yaitu: dikasihi secara
sempurna dan mengasihi dengan sempurna. Selanjutnya, pertanyaannya adalah: siapa yang dapat
mengasihi kita dengan sempurna dan dapat kita kasihi dengan sempurna?

Kebahagiaan kita adalah persatuan dengan Tuhan


Saya pernah mendengar jika pasangan yang telah lama menikah, lama-kelamaan wajah dan sifatnya
menjadi semakin mirip satu dengan yang lain. Walaupun itu belum terjadi pada saya dan suami saya,
namun saya percaya untuk beberapa pasangan, inilah yang terjadi. Hal demikianlah yang juga
diinginkan Kristus bagi kita anggota Gereja yang adalah mempelai-Nya, yaitu agar kita bertumbuh
semakin menyerupai Dia. Sehingga, jika saatnya nanti kita kembali bertemu denganNya, Ia dapat
melihat cerminan DiriNya dalam diri kita. Kini pertanyaannya, sudahkah kita menyerupai Dia?

Pertanyaan demikian menghantar kita pada suatu kebenaran yang lain, yaitu bahwa manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Ini membawa suatu akibat yang sangat luar
biasa, manusia sebagai gambaran Allah (imago Dei) ini menjadi mampu untuk menerima rahmat
Allah yang terbesar, yaitu Allah sendiri (capax Dei). Maka, walaupun ‘gambaran Allah’ dalam diri kita
dirusak oleh dosa, tidak berarti bahwa kita sama sekali tidak berharga. Malah sebaliknya, Allah
mengangkat kita dengan mengutus Kristus Putera-Nya ke dunia. Rasul Yohanes mengatakan,
“Karena besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”
(Yoh 3:16). Tuhan mengutus Kristus, agar kita dapat kembali bersahabat dengan Allah, dan
kemuliaan ‘gambaran-Nya’ di dalam kita dapat dipulihkan seperti keadaan aslinya. Jadi untuk
persahabatan dengan Allah ini, kita diciptakan olehNya.

Mari kita berhenti sejenak dan merenungkan hal ini. Untuk kebahagiaan inilah Allah menciptakan
kita: yaitu agar kita menerima DiriNya dan agar kita memberikan diri kita seutuhnya kepadaNya,
sehingga tidak ada lagi jarak antara kita dengan Dia. Allah ingin sungguh bersahabat dan bersatu
dengan kita! Inilah kasih Agape, kasih persahabatan yang membuat persatuan yang erat tak
terpisahkan, yang kita terima melalui Kristus yang telah menjelma menjadi manusia.

Kebahagiaan dicapai dengan memberikan diri kita (self-giving)


Namun, bukan itu saja: Penjelmaan Yesus menjadi manusia juga menunjukkan kepada kita
bagaimana caranya hidup agar kita bahagia. Yesus mengajarkan kita Delapan Sabda Bahagia (Mat 5:
1-12), dan hidupNya sendiri adalah pemenuhan Sabda Bahagia tersebut. Dan semasa hidupNya di
dunia, Ia adalah manusia yang paling berbahagia, karena satu hal ini: Ia memberikan Diri-Nya
seutuhnya kepada Allah Bapa dan kepada manusia. Salib Kristus adalah puncak dan bukti yang
sungguh nyata akan hal ini. Pandanglah salib Kristus, dan kita akan menemukan jawaban akan
pertanyaan, “apa yang harus kulakukan agar hidup bahagia?” Sebab di sana, di dalam keheningan
Kristus akan menjawab kita, “Mari, ikutlah Aku… berikanlah dirimu kepada Tuhan dan sesama….”

Mungkin kita bertanya, bagaimana mungkin pengorbanan dapat membuat kita bahagia? Ini memang
merupakan misteri kasih Allah yang dinyatakan oleh Kristus kepada kita, dan kitapun diundang untuk
melakukan yang sama, karena memang hakekat kasih adalah pengorbanan. Walaupun tentu saja,
pengorbanan kita tidak dapat dibandingkan dengan pengorbanan Yesus, namun, Tuhan
menghendaki kita untuk belajar berkorban dan ‘memberikan diri’ dalam kehidupan kita sehari-hari.
Segala usaha untuk menghindari pengorbanan dalam mencari kesenangan, akan berakhir pada
kebahagiaan semu. Dewasa ini, contoh yang dapat kita lihat begitu nyata. Mereka yang mencari
kelimpahan harta duniawi tanpa pernah berpikir untuk membagi akan mengalami kekosongan
hidup. Mereka yang mencari kesenangan dalam seks bebas tanpa mempedulikan tanggung jawab
membentuk keluarga, pada satu titik akan mengalami kesedihan dan kehilangan jati diri. Mereka
yang mencari kehormatan dan kekuasaan tanpa memperhatikan yang lemah, juga pada akhirnya
tidak dihormati. Mungkin justru pada titik ter-rendah ini, manusia akhirnya dapat melihat bahwa
kebahagiaan bukan berarti hanya ‘mengumpulkan’ tetapi ‘membagikan’; bukan hanya ‘menerima’,
tetapi lebih dari itu: ‘memberi’. Sebab dengan memberi, kita menerima, seperti perkataan St.
Franciskus dari Asisi.

Marilah kita mengingat sabda Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6). Maka dengan
melihat dan mengikuti Yesus, kita percaya kita akan sampai kepada Bapa. Singkatnya, hanya dengan
meniru Yesus, kita dapat hidup bahagia. Lihatlah pada Yesus yang dengan kehendak bebas-Nya
selalu memberi. Yesus memberikan Diri-Nya secara total kepada Allah Bapa untuk melaksanakan
rencana Bapa menyelamatkan dunia. Yesus memberikan Diri-Nya secara total kepada kita manusia,
untuk mengampuni kita dan mempersatukan kita kembali dengan Allah.

Hati kita ‘menginginkan’ Tuhan


Kita menyadari bahwa untuk tujuan persatuan dengan Allah ini, manusia dikaruniai akal budi dan
kehendak bebas yang membedakannya dengan binatang. Cara kerja akal dan kehendak/ keinginan
manusia umumnya adalah: apa yang ditangkap oleh akal itulah yang diinginkan, contohnya, jika kita
melihat sesuatu yang kita pandang baik, kita lalu menginginkannya. Nah, berbeda dengan hewan,
akal budi manusia ini tidak saja hanya dapat menangkap benda-benda jasmani dan sementara,
melainkan juga dapat menangkap sesuatu yang bersifat tak terbatas, misalnya bagaimana sampai
akal budi kita menangkap keberadaan Tuhan. (silakan membaca: Bagaimana Membuktikan bahwa
Tuhan itu Ada?). Maka, setelah akal budi kita ‘menangkap’ keberadaan Tuhan yang Maha segalanya,
sangat wajar jika kemudian kita ‘menginginkan’ Tuhan. Artinya kita ingin mengenal dan mengasihi
Tuhan yang sempurna dan tidak terbatas. Hal ini pula yang menyebabkan kita akhirnya tidak
mungkin lagi dipuaskan oleh benda- benda jasmani dan sementara. Ya, sebab kita menginginkan
sesuatu tetap selamanya. Kita menginginkan Kesempurnaan dalam hal Kebaikan, Keindahan,
Kebenaran, Kasih yang tertinggi. Dan itu hanya dapat dipenuhi oleh Tuhan!
Tak mengherankan jika Santo Agustinus pernah berkata, “Hatiku tidak akan pernah beristirahat
sampai aku beristirahat dalam Tuhan.” Santo Yohanes Salib menggambarkan peristirahatan dalam
Tuhan ini sebagai persatuan atau “perkawinan mistik” dengan Allah. Apa yang terjadi di dalam
persatuan dengan Allah ini? Alkitab mengatakan kita akan melihat Allah, seperti yang dijanjikan
Yesus, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (Mat 5: 8). Kita
akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya, sehingga kita akan menjadi sama seperti Dia
(1 Yoh 3:2). Kita akan sungguh mengenal Allah seperti halnya kita sendiri dikenal oleh Allah (lih. 1 Kor
13:9-12). Pengenalan Allah ini dicapai melalui Kristus, sabda-Nya yang sempurna.

Kemudian, pengenalan akan Allah ini serta merta diikuti oleh kasih. Kita terdorong untuk mengasihi
Allah tanpa syarat, oleh karena kita telah mengenal Allah yang demikian mengasihi kita tanpa batas.
Oleh kasih persahabatan dengan Allah ini kita akan memiliki kesamaan keinginan dengan Dia.
Setelah menerima kasih Tuhan yang begitu besar, kita akan menyerahkan diri kita kepada Tuhan
dengan mengembalikan kasihNya yang telah kita terima. Artinya kita mengasihi Tuhan dengan
kasihNya sendiri. Dengan demikian kita ikut mengambil bagian di dalam kehidupan kasih Allah
antara Allah Bapa dan Allah Putera, yang mendatangkan Roh Kudus. Inilah yang dimaksud dengan
persatuan sempurna dengan Tuhan, yaitu saat kita dapat “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan
Allah” (Ef 3:19).

Persatuan dengan Allah ini mengubah kita seutuhnya menjadi ilahi. Ini adalah sesuatu yang sangat
mulia, agung, dan mendalam, sehingga tidak dapat digambarkan dengan perkataan, dan dilukiskan
di dalam pikiran. Rasul Petrus mengatakan, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak
pernah didengar oleh telinga dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang
disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.”(1 Kor 2: 9) Dan rahmat yang tersembunyi ini
adalah Allah sendiri.

Kebahagiaan dapat mulai kita kecap di dunia


Begitu indah tak terselami kebahagiaan kekal ini, sehingga Tuhan mempersiapkan kita dengan
memberikan sedikit pengalaman percikan kebahagiaan ini selagi kita masih hidup di dunia. Kita
menyembah Sakramen Maha Kudus di dalam Adorasi sebagai persiapan kita memandang Allah di
surga nanti. Kita menerima Kristus dalam Ekaristi sebagai persiapan bagi kita untuk menyambut
Kristus di surga. Kristus yang kita terima dalam Ekaristi ini menjadi sumber kasih kita, baik kepada
Tuhan dan sesama. Jika kita memberikan diri kita kepada sesama sesuai dengan panggilan hidup
kita, kita sudah dapat menikmati kebahagiaan di dunia. Jadi, kebahagiaan kita di dunia ini tergantung
dari seberapa banyak kita berpegang dan meniru teladan Kristus, dan mengambil bagian di dalam
kehidupan-Nya, dan ketaatan-Nya akan kehendak Bapa.

Dalam banyak kesempatan, Tuhan memberikan kepada kita ‘latihan’ agar sedikit demi sedikit, kita
dapat belajar memberikan diri kita dan meniru Kristus, sesuai dengan maksudNya dalam
menciptakan kita. Tentu, ‘latihan’ ini sangat penting, agar kita dapat memberikan diri kita seutuhnya
pada Tuhan dan menyambut kesempurnaan ‘kepenuhan Allah’ di surga kelak. Sebab, jika kita tidak
terbiasa ‘memberikan diri’ dan ‘menginginkan Tuhan’, bagaimana kita dapat mengharapkan bahwa
kita dapat mencapai kebahagiaan surgawi yang mensyaratkan demikian? Sebab pada akhirnya nanti,
yang ada tinggal Satu, yaitu hanya Tuhan saja meraja di dalam semua (lih.1 Kor 15:28), dan kita
tergabung di dalam Kesatuan yang mulia itu, bersama-sama dengan semua orang pilihan-Nya. Inilah
Gereja yang berjaya di surga. Di dalam kemuliaan Tuhan ini tiada lagi tangis dan air mata (lih. Why
21:4)), yang ada hanyalah Kasih, dan sungguh, hanya di dalam Sang Kasih ini kita menemukan
kebahagiaan tanpa akhir.

Penutup
Allah menciptakan kita sesuai dengan citra-Nya dan telah menanamkan di dalam hati kita keinginan
untuk mengenal dan mengasihi Dia. Maka, kebahagiaan sejati manusia hanya ada di dalam Tuhan,
sebab manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Allah, sehingga mampu menerima kehidupan
ilahi yang dikurniakan Allah kepadanya sebagai sumber kebahagiaan sejati. Namun demikian,
betapapun kita menyadari bahwa kebahagiaan kita ada di dalam Tuhan, kalau kita tidak
mengarahkan hidup kita ke sana, itu belum berguna bagi kita. Ibaratnya kita tahu tujuan perjalanan
kita, tetapi kita memilih untuk tidak bergerak ke sana. Maka, mari, jangan sia-siakan hidup yang
Tuhan berikan kepada kita. Kita arahkan segala karunia yang telah kita terima, untuk mencapai
kebahagiaan kita di dalam Tuhan. Artinya, berkat kesehatan, rejeki, kepandaian, bakat, keluarga, dst
kita arahkan untuk kemuliaan Tuhan. Di atas segalanya, marilah kita berusaha agar ‘gambaran Allah’
yang ada pada diri kita tidak dirusak oleh dosa. Singkatnya, kita berusaha hidup kudus, memberikan
diri kita kepada Tuhan dan sesama(silakan baca: Apa itu kekudusan? dan Semua Orang Dipanggil
untuk Hidup Kudus). Jangan lupa, bahwa hanya dengan kekudusan kita dapat ‘melihat’ Allah dan
masuk ke dalam Kebahagiaan Surgawi.

Anda mungkin juga menyukai