Apa yang menjadi kebahagiaan anda? Mungkin ada orang yang secara spontan mengatakan: saya
bahagia kalau punya banyak uang, bisa makan yang enak, atau punya pasangan yang keren. Atau
mungkin ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan dicapai dengan kedudukan dan pendidikan yang
tinggi, kesehatan yang prima, dan penampilan yang OK. Setidak-tidaknya itulah gambaran yang
umum dipropagandakan melalui iklan dan film-film di televisi. Benarkah kebahagiaan kita dapat
dicapai dengan hal-hal tersebut di atas?
Selama saya tinggal di Amerika ini saya sering sekilas melihat berita para selebriti yang cerita dan
fotonya terpampang di aneka majalah dan surat kabar. Mereka sangat kaya, keren, terkenal, seolah
tak ada yang kurang. Tapi banyak dari mereka yang terlibat masalah kehidupan, entah perceraian,
ketergantungan obat, putus asa bahkan mau bunuh diri. Dari sini kita melihat bahwa uang tidak
mungkin dapat menjadi tujuan akhir kebahagiaan kita. Demikian juga dengan kesehatan, kecantikan,
dan kepandaian, karena pada suatu saat semuanya itu akan berkurang atau hilang.
Pada tingkatan rohani, kesenangan juga bukan merupakan tujuan akhir. Kesenangan hanya
merupakan akibat dari tercapainya sesuatu, misalnya, rasa senang karena bercanda bersama teman
atau ber-rekreasi bersama keluarga, dst. Jadi jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan keadaan
tercapainya sesuatu yang baik, daripada merupakan kesenangan yang menjadi akibat dari
tercapainya hal itu. Contohnya, orang yang tulus tidak mengatakan bahwa kebahagiaannya dicapai
dari kesenangan/ keuntungan yang diperoleh dari persahabatan, melainkan dari persahabatan itu
sendiri.
Pertanyaan demikian menghantar kita pada suatu kebenaran yang lain, yaitu bahwa manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Ini membawa suatu akibat yang sangat luar
biasa, manusia sebagai gambaran Allah (imago Dei) ini menjadi mampu untuk menerima rahmat
Allah yang terbesar, yaitu Allah sendiri (capax Dei). Maka, walaupun ‘gambaran Allah’ dalam diri kita
dirusak oleh dosa, tidak berarti bahwa kita sama sekali tidak berharga. Malah sebaliknya, Allah
mengangkat kita dengan mengutus Kristus Putera-Nya ke dunia. Rasul Yohanes mengatakan,
“Karena besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”
(Yoh 3:16). Tuhan mengutus Kristus, agar kita dapat kembali bersahabat dengan Allah, dan
kemuliaan ‘gambaran-Nya’ di dalam kita dapat dipulihkan seperti keadaan aslinya. Jadi untuk
persahabatan dengan Allah ini, kita diciptakan olehNya.
Mari kita berhenti sejenak dan merenungkan hal ini. Untuk kebahagiaan inilah Allah menciptakan
kita: yaitu agar kita menerima DiriNya dan agar kita memberikan diri kita seutuhnya kepadaNya,
sehingga tidak ada lagi jarak antara kita dengan Dia. Allah ingin sungguh bersahabat dan bersatu
dengan kita! Inilah kasih Agape, kasih persahabatan yang membuat persatuan yang erat tak
terpisahkan, yang kita terima melalui Kristus yang telah menjelma menjadi manusia.
Mungkin kita bertanya, bagaimana mungkin pengorbanan dapat membuat kita bahagia? Ini memang
merupakan misteri kasih Allah yang dinyatakan oleh Kristus kepada kita, dan kitapun diundang untuk
melakukan yang sama, karena memang hakekat kasih adalah pengorbanan. Walaupun tentu saja,
pengorbanan kita tidak dapat dibandingkan dengan pengorbanan Yesus, namun, Tuhan
menghendaki kita untuk belajar berkorban dan ‘memberikan diri’ dalam kehidupan kita sehari-hari.
Segala usaha untuk menghindari pengorbanan dalam mencari kesenangan, akan berakhir pada
kebahagiaan semu. Dewasa ini, contoh yang dapat kita lihat begitu nyata. Mereka yang mencari
kelimpahan harta duniawi tanpa pernah berpikir untuk membagi akan mengalami kekosongan
hidup. Mereka yang mencari kesenangan dalam seks bebas tanpa mempedulikan tanggung jawab
membentuk keluarga, pada satu titik akan mengalami kesedihan dan kehilangan jati diri. Mereka
yang mencari kehormatan dan kekuasaan tanpa memperhatikan yang lemah, juga pada akhirnya
tidak dihormati. Mungkin justru pada titik ter-rendah ini, manusia akhirnya dapat melihat bahwa
kebahagiaan bukan berarti hanya ‘mengumpulkan’ tetapi ‘membagikan’; bukan hanya ‘menerima’,
tetapi lebih dari itu: ‘memberi’. Sebab dengan memberi, kita menerima, seperti perkataan St.
Franciskus dari Asisi.
Marilah kita mengingat sabda Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6). Maka dengan
melihat dan mengikuti Yesus, kita percaya kita akan sampai kepada Bapa. Singkatnya, hanya dengan
meniru Yesus, kita dapat hidup bahagia. Lihatlah pada Yesus yang dengan kehendak bebas-Nya
selalu memberi. Yesus memberikan Diri-Nya secara total kepada Allah Bapa untuk melaksanakan
rencana Bapa menyelamatkan dunia. Yesus memberikan Diri-Nya secara total kepada kita manusia,
untuk mengampuni kita dan mempersatukan kita kembali dengan Allah.
Kemudian, pengenalan akan Allah ini serta merta diikuti oleh kasih. Kita terdorong untuk mengasihi
Allah tanpa syarat, oleh karena kita telah mengenal Allah yang demikian mengasihi kita tanpa batas.
Oleh kasih persahabatan dengan Allah ini kita akan memiliki kesamaan keinginan dengan Dia.
Setelah menerima kasih Tuhan yang begitu besar, kita akan menyerahkan diri kita kepada Tuhan
dengan mengembalikan kasihNya yang telah kita terima. Artinya kita mengasihi Tuhan dengan
kasihNya sendiri. Dengan demikian kita ikut mengambil bagian di dalam kehidupan kasih Allah
antara Allah Bapa dan Allah Putera, yang mendatangkan Roh Kudus. Inilah yang dimaksud dengan
persatuan sempurna dengan Tuhan, yaitu saat kita dapat “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan
Allah” (Ef 3:19).
Persatuan dengan Allah ini mengubah kita seutuhnya menjadi ilahi. Ini adalah sesuatu yang sangat
mulia, agung, dan mendalam, sehingga tidak dapat digambarkan dengan perkataan, dan dilukiskan
di dalam pikiran. Rasul Petrus mengatakan, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak
pernah didengar oleh telinga dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang
disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.”(1 Kor 2: 9) Dan rahmat yang tersembunyi ini
adalah Allah sendiri.
Dalam banyak kesempatan, Tuhan memberikan kepada kita ‘latihan’ agar sedikit demi sedikit, kita
dapat belajar memberikan diri kita dan meniru Kristus, sesuai dengan maksudNya dalam
menciptakan kita. Tentu, ‘latihan’ ini sangat penting, agar kita dapat memberikan diri kita seutuhnya
pada Tuhan dan menyambut kesempurnaan ‘kepenuhan Allah’ di surga kelak. Sebab, jika kita tidak
terbiasa ‘memberikan diri’ dan ‘menginginkan Tuhan’, bagaimana kita dapat mengharapkan bahwa
kita dapat mencapai kebahagiaan surgawi yang mensyaratkan demikian? Sebab pada akhirnya nanti,
yang ada tinggal Satu, yaitu hanya Tuhan saja meraja di dalam semua (lih.1 Kor 15:28), dan kita
tergabung di dalam Kesatuan yang mulia itu, bersama-sama dengan semua orang pilihan-Nya. Inilah
Gereja yang berjaya di surga. Di dalam kemuliaan Tuhan ini tiada lagi tangis dan air mata (lih. Why
21:4)), yang ada hanyalah Kasih, dan sungguh, hanya di dalam Sang Kasih ini kita menemukan
kebahagiaan tanpa akhir.
Penutup
Allah menciptakan kita sesuai dengan citra-Nya dan telah menanamkan di dalam hati kita keinginan
untuk mengenal dan mengasihi Dia. Maka, kebahagiaan sejati manusia hanya ada di dalam Tuhan,
sebab manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Allah, sehingga mampu menerima kehidupan
ilahi yang dikurniakan Allah kepadanya sebagai sumber kebahagiaan sejati. Namun demikian,
betapapun kita menyadari bahwa kebahagiaan kita ada di dalam Tuhan, kalau kita tidak
mengarahkan hidup kita ke sana, itu belum berguna bagi kita. Ibaratnya kita tahu tujuan perjalanan
kita, tetapi kita memilih untuk tidak bergerak ke sana. Maka, mari, jangan sia-siakan hidup yang
Tuhan berikan kepada kita. Kita arahkan segala karunia yang telah kita terima, untuk mencapai
kebahagiaan kita di dalam Tuhan. Artinya, berkat kesehatan, rejeki, kepandaian, bakat, keluarga, dst
kita arahkan untuk kemuliaan Tuhan. Di atas segalanya, marilah kita berusaha agar ‘gambaran Allah’
yang ada pada diri kita tidak dirusak oleh dosa. Singkatnya, kita berusaha hidup kudus, memberikan
diri kita kepada Tuhan dan sesama(silakan baca: Apa itu kekudusan? dan Semua Orang Dipanggil
untuk Hidup Kudus). Jangan lupa, bahwa hanya dengan kekudusan kita dapat ‘melihat’ Allah dan
masuk ke dalam Kebahagiaan Surgawi.