Anda di halaman 1dari 10

ST THERESIA DARI LISIEUX MODEL KEPASRAHAN YANG SEMPURNA

PENGANTAR
Dalam pembahasan bab terakhir dari kursus spiritualitas ini, kita akan melihat contoh konkrit
dari spiritualitas yang dihayati oleh Santa Theresia dari Lisieux, salah seorang santa terbesar
zaman modern yang diakui Gereja Katolik. St. Theresia oleh Paus Pius X disebut sebagai orang
kudus terbesar zaman modern ini dan yang kemudian oleh Paus Yohanes Paulus II dijadikan
Pujangga Gereja. Oleh itu, sesuai dengan konsep kekudusan yang Gereja ajarkan setelah KVII
sebagai sebuah kesempurnaan cinta kasih, maka tidak ada yang lebih baik daripada mengambil
contoh konkrit dari pengalaman seorang yang telah menjadi santa sebagai teladan kita.

Bagi St. Theresia Lisieux “lift” yang mengangkatnya kepada kesempurnaan cinta kasih adalah
tangan Yesus sendiri. Dia hanya bekerjasama dengan rahmat Tuhan tersebut untuk semakin
berkembang dalam iman, harapan dan kasih. Bagaimana St. Theresia dapat mencapai
kesempurnaan cinta kasih tersebut sehingga akhirnya ia bersatu dengan Allah dalam
kebahagiaan abadi di surga meskipun banyak kelemahan, perjuangan dan tantangan dalam
perjalanan hidup rohaninya selama hidup di dunia, kiranya akan terjawab dengan mempelajari
spiritualitas dari kebajikan kepasrahan yang dihayatinya. Materi dari bab ini kebanyakan
diambil dari buku “Kasih, Kepercayaan dan Pasrah” oleh Rm Yohanes Indrakusuma dan buku
Riwayat Hidup St. Theresia dari Lisieux “Kisah Satu Jiwa” (The Story of a Soul).

PENGERTIAN PASRAH
Dalam dunia modern kata “pasrah” identik dengan pengertian gagal atau kalah, maka orang
menjadi takut dengan kata “pasrah”. Mengapa? karena orang takut menjadi seorang yang kalah.
Namun, pengertian zaman modern dan sekular dari kata “pasrah” berlawanan dengan arti kata
“pasrah” dalam Kristianitas. Pengertian kepasrahan dalam kristianitas diekspresikan sebagai
sebuah daya yang memberikan kekuatan bagi orang-orang Kristen untuk mengatasi berbagai
kesulitan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan kemungkinan akan kemartiran. Dengan kata
lain, kepasrahan berarti penyerahan penuh kepercayaan kepada kehendak Allah.

Kepasrahan adalah suatu sikap hidup yang sangat penting di zaman modern sekarang ini,
karena begitu banyak orang mengalami keputus-asaan, kehilangan pengharapan dalam hidup.
Theresia, dengan caranya sendiri, yaitu memberikan senyuman, menunjukkan kepada kita arti
pengharapan Kristiani, mewartakan secara baru tentang hidup kita sebagai manusia sebagai
rencana Allah. St. Theresia, dalam pengalamannya dan melalui spiritualitas “Jalan Kecil” nya,
telah mengajarkan kita bagaimana percaya kepada kasih dan kerahiman Allah yang
memampukan kita untuk mengatasi perasaan dan godaan keputusasaan ketika kita hidup dalam
kesengsaraan dan penderitaan yang mendalam. Dalam seluruh perjalanan hidupnya, ia selalu
menerima penderitaan dengan wajah tersenyum dan kepasrahan karena ia memiliki
kepercayaan yang besar kepada kasih Allah.

Menurut para ahli hidup rohani, sikap pasrah bukan merupakan suatu kebajikan tersendiri,
tetapi suatu gabungan dari kebajikan-kebajikan tertentu, dari iman, harapan dan kasih. Bossuet,
seorang ahli hidup rohani Perancis, mengatakan bahwa pasrah ini merupakan suatu gabungan,
suatu sintese dari faal-faal iman dan pengharapan yang paling sempurna, dan cintakasih yang
paling murni serta kesetiaan. De Caussade, seorang pengarang rohani Perancis dalam bukunya,
“Penyerahan Diri pada Penyelenggaraan Ilahi” mengatakan, bahwa penyerahan diri merupakan
campuran dari iman, harapan dan cinta kasih, dalam satu faal yang mempersatukan hati

1
manusia dengan Allah dan karya-Nya. Santo Fransiskus dari Sales melihat pasrah sebagai suatu
kebajikan dari kebajikan. Pasrah merupakan pucuk dari cinta kasih, bau harum dari kerendahan
hati, jasa-jasa dari kesabaran dan kesetiaan dari ketekunan. Namun, bila mereka diminta untuk
menunjukkan unsur paling dominan dari sikap kepasrahan ini, maka para pengarang rohani
menjadi ragu-ragu. Kadang-kadang orang melihat yang menonjol adalah pengharapan, sedang
yang lain melihat unsur cinta kasih yang dominan. Mereka berbicara tentang penyerahan atau
pasrah kepada kehendak Allah.

ST. THERESIA, ORANG KUDUS DARI KEPASRAHAN


Nampaknya, dalam ajaran Theresia, pasrah ini lebih terdapat pada garis pengharapan, namun
dibawah dorongan cinta kasih. Sehingga, pasrah pada Theresia berakar pada iman akan
Allah sebagai Bapa, yang cinta-Nya begitu maharahim, yang memelihara dan mengatur segala
sesuatu demi kebaikan anak-anak-Nya. Ajarannya tentang kepasrahan didasarkan pada
kepercayaan penuh kepada kasih Allah Bapa yang maharahim. Tetapi secara formal, pasrah
merupakan faal tertinggi dari kebajikan pengharapan, yang menemukan mahkotanya dalam
cinta kasih. Pada St. Theresia, hidup kepasrahan ini merupakan sintesis dari hidup teologalnya
dan merupakan poros dari spiritualitasnya.

Sejak semula Gereja tidak henti-hentinya mewartakan pengharapan Kristiani – “Aku


menantikan kehidupan kekal” – dalam Credo panjang. Di tengah-tengah perjuangannya sehari-
hari, Gereja merindukan perkara-perkara abadi, merindukan sukacita dan kebahagiaan abadi.
Jasa Theresia yang paling besar ialah menonjolkan suatu kebajikan yang paling dinamis,
namun justru yang paling dilupakan oleh para pengarang rohani kita, yaitu pengharapan dan
kepasrahan. Banyak pengarang rohani menekankan aspek kerendahan hati, mati raga,
kebaktian kepada Allah, pemeriksaan batin, dsb, tetapi mereka melewatkan pengharapan
begitu saja. Padahal pengharapan adalah kebajikan tertinggi dari manusia yang sedang
berziarah menuju tanah air surgawinya. Pengharapan adalah kebajikan kita sebagai peziarah,
yang melipatgandakan dorongan untuk mencapai kekudusan, dengan memberikan kepastian
setiap saat akan bantuan ilahi. Pengharapan ini menduduki tempat istimewa di atas iman dan
sangat erat berhubungan dengan cintakasih. Pengharapan memberikan kepastian bahwa surga
atau kehidupan kekal itu sungguh-sungguh ada.

Cita-cita Theresia ialah kerinduan menjadi suci dan untuk mencapai tujuan ini dia berharap
pada Kristus. Dia tidak pernah ragu-ragu sedikit pun, bahwa dia akan sampai pada kesucian.
Seperti Gereja, St. Theresia juga hidup melulu bagi surga yang baginya bukan lain daripada
Allah sendiri. Pandangan dan kerinduannya selalu terarah kepada surga, yang membuatnya
selalu rindu untuk menemukan kebaikan tertinggi. Seluruh hidupnya dikuasai oleh tujuan
akhir, yaitu perkara-perkara abadi dan memperoleh kesucian, tanpa membiarkan diri dihalangi
oleh rintangan apapun juga. Dengan bersandar kepada Allah, dia tidak pernah mundur, tetapi
sambil tersenyum dia menerima segala pencobaan yang bertubi-tubi, hambatan dalam
panggilan dan hidup religiousnya, khususnya pencobaan batin terbesar yang dialami pada akhir
hidupnya untuk memurnikan iman dan pengharapannya, tetapi bagi Theresia juga sebagai
penderitaan yang redemtif untuk keselamatan jiwa-jiwa.

St. Theresia mempersembahkan dirinya kepada cinta yang berbelas kasihan sebagai kurban
bakaran demi cinta kepada Tuhan dan demi keselamatan jiwa-jiwa pada tanggal 9 Juni sempena
pesta Tritunggal Mahakudus. Dalam doanya ia berkata kepada Yesus: “O Yesusku, semoga
saya menjadi korban yang berbahagia, korban bakaran yang hancur luluh oleh api kasih

2
ilahiMu…” Sejak menyerahkan dirinya sebagai korban bakaran demi cinta kepada Allah dan
sesama, rahmat Tuhan semakin membanjiri jiwanya secara luar biasa, dan menulis surat kepada
muder demikian:
Anda tahu, aliran atau lebih tepat samudera rahmat macam mana yang membanjiri
jiwaku…Akh, semenjak hari bahagia itu saya seakan-akan diresapi dan diliputi cinta. Seakan-
akan kerahiman cinta membaharui saya setiap saat, membesihkan jiwaku dan tidak
meninggalkan bekas dosa lagi. Saya lalu tidak dapat merasa takut sedikit pun akan api
penyucian. saya tahu bahwa dari diriku sendiri saya tidak punya apa-apa untuk memasuki
tempat penyilihan itu, sebab hanya jiwa-jiwa saleh diperkenankan masuk ke sana, tetapi saya
tahu juga bahwa Yesus tidak dapat menginginkan derita yang sia-sia untuk kita dan bahwa Dia
tidak mencurahkan keinginan yang kini kurasakan, bila Dia tidak ingin memenuhinya. “Oh
betapa jalan cinta itu penuh sukacita! …Betapa saya mau membaktikan diri untuk selalu dengan
pasrah yang ikhlas melaksanakan kehendak Allah! …”

Hidup pasrah merupakan sintesis dari hidup teologalnya dan merupakan poros dari
spiritualitasnya. Oleh karena itu, penyerahan diri adalah kerinduan terdalam St. Theresia
sehingga ia selalu taat dan setia melakukan kehendak Allah, bukan kehendaknya sendiri.
Imannya yang besar kepada kasih abadi Allah adalah dasar dari keberaniannya untuk berserah
kepada kehendak Allah. Kepasrahannya kepada kehendak Allah jelas terlihat dalam kata-
katanya sendiri yang mengumpamakan dirinya sebagai bola kecil milik Yesus. Ia berkata:
“Sungguh besar pencobaan saya, tetapi saya adalah sebuah bola kecil milik Yesus; jika Ia
menghendaki untuk merusakkan mainan-Nya hingga berkeping-keping Ia sangat bebas untuk
melakukannya. Ya, saya hanya menginginkan apa yang Ia inginkan.” Kata-kata ini adalah
ungkapan penyerahan dirinya kepada kehendak Allah. Ia merendahkan dirinya untuk
menyenangkan Yesus dengan menyamakan dirinya sebagai sebuah bola kecil. Ia mengatakan:
“…saya ingin menderita semua yang akan menyenangkan Yesus; membiarkan Dia melakukan
apa pun yang Ia kehendaki dengan bola kecil-Nya.” Kalimat ini menunjukkan kepada kita
kerendahan hatinya, kepasrahan yang besar kepada kehendak Allah.

Semua yang ia inginkan adalah menyenangkan Yesus sendiri dengan cintanya. Oleh karena itu,
ia tidak pernah mengeluh bahkan jika ia menderita dalam berbagai hal dalam kehidupan sehari-
harinya atau juga dalam komunitasnya. Ia tetap tersenyum dan memancarkan wajah ceria
kepada semua orang di sekitarnya tanpa seorang pun memerhatikan penderitaan batinnya yang
mendalam. Apa pun yang ia alami dalam kehidupan sehari-hari, ia lakukan untuk
menyenangkan Yesus karena ia telah membaktikan dirinya menjadi sebuah bola kecil bagi
Yesus. Maka, ia menggunakan setiap kesempatan untuk mencintai Allah, baik dalam keadaan
yang baik maupun yang buruk. Ia belajar dari kata-kata St. Paulus yang mengatakan: “Kita
tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan
bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana
Allah” (Rm. 8:28). Kepasrahannya kepada kehendak Allah membawa damai dalam kedalaman
hatinya karena motivasinya semata-mata hanya untuk melakukan kehendak Allah demi
cintanya kepada Yesus. St. Theresia mengatakan, “Semakin senang sebuah jiwa melakukan
kehendak-Nya, semakin sempurnalah jiwanya.”

Daya dari kepasrahan kepada kehendak Allah dialami dengan kuat oleh St. Theresia ketika ia
sangat kecewa karena permintaannya untuk masuk biara pada usianya yang masih sangat muda
tidak disetujui oleh Bapa Suci. Dalam ziarahnya ke Roma, ia mendapatkan jawaban bahwa ia
tidak diizinkan untuk masuk Biara Karmel karena ia masih berumur lima belas tahun.
Walaupun ia mengalami kekecewaan, tetapi ia tidak putus asa, ia tetap berdoa dan berharap
kepada kasih Allah. Ia pasrah kepada kehendak Allah dan percaya bahwa Allah memiliki waktu
yang tepat untuk mengabulkan doanya. Ia menjadi terhibur dan kuat karena Bapa Suci

3
mengatakan, “… engkau akan masuk bila itu kehendak Allah.” Kata-kata Puas ini memberikan
pengharapan kepadanya.

Ia terus berdoa dan pasrah kepada kehendak Allah. Ia tidak pernah menyerah, sebaliknya
berserah kepada kehendak Allah dengan pengharapan karena ia mengingat doanya untuk
menjadi bola kecil milik Yesus. Penyerahan dirinya kepada Yesus sebagai sebuah bola kecil
adalah tanda kerendahan hatinya. Sebagai bola kecil mainan kanak-kanak Yesus, ia pasrah
apapun yang diperlakukan olehnya, asal Ia senang. Kerelaannya diperlakukan apa saja adalah
karakteristik dari kepasrahannya yang sempurna. Ia mengatakan dalam otobiografinya:
Saya mengatakan kepada-Nya untuk tidak memperlakukan saya seperti sebuah mainan
yang mahal yang dilihat oleh anak-anak tetapi tidak berani disentuh oleh mereka. Saya
adalah sebuah bola kecil yang murah yang Ia dapat lemparkan ke tanah atau
menendangnya atau menusuknya atau membiarkannya tergeletak di sebuah sudut atau
bahkan menekannya pada dada-Nya jika itu menyenangkan Dia. Singkatnya, saya rindu
untuk menghibur Yesus kecil dan memersembahkan diri saya kepada keinginan kanak-
kanak-Nya. Ia mengabulkan doa saya… Anda dapat mengerti, Muder, betapa sedih bola
kecil itu melihat dirinya tergeletak di tanah, tetapi ia akan tetap berharap melebihi segala
harapan.

Kata-kata tersebut menunjukkan kepada kita bahwa St. Theresia memiliki kepercayaan yang
besar kepada kasih Allah dan ia selalu meletakkan pengharapannya kepada Allah, sehingga ia
mempu berpasrah kepadaNya secara total. Ia tidak pernah menyerah walaupun tampaknya
tidak ada jalan untuk mewujudkan kerinduannya untuk masuk Biara Karmel pada usia lima
belas tahun. Namun, dengan mengandalkan rahmat Allah, ia tidak berputus asa, tetapi
menerima semua pencobaan dengan penuh kepercayaan akan kasih Allah.

Sepanjang kehidupan membiaranya ia sangat menderita baik secara fisik maupun rohani; dan
tiga tahun terakhir hidupnya ia lewati dengan kekeringan rohani yang tanpa henti (kekeringan
rohani adalah sebuah tanda malam gelap roh). Karena imannya yang teguh pada kasih Bapa
yang baik, ia dapat melewati semua tantangan dengan iman dan harapan. Ia tidak berputus asa
karena ia tahu dengan sangat baik kepada Siapa ia percaya. Ia tetap setia untuk memberikan
dirinya kepada Tuhan bahkan ketika mengalami penderitaan yang besar: “Pada saat saya
mengalami pencobaan terbesar, ketika giliran saya menyanyikan Mazmur dalam koor, jika saja
Anda tahu bagaimana saya berserah, saya akan mengatakan dengan keras ayat ini: Dalam
Engkau, oh Tuhan, aku telah berharap.”

Di tengah-tengah segala kesulitan dan pencobaan yang besar, ia selalu tampak bergembira dan
tersenyum dan ia tampak tidak menderita apa pun. Condrad De Meester, dalam buku “With
Empty Hand” menjelaskan bahwa sumber penderitaan terbesar yang diungkapkan oleh St.
Theresia ialah mengenai relasinya dengan sesamanya dalam hidup membiara. Menurutnya,
tidaklah selalu mudah untuk hidup terus menerus dengan yang lain dalam ruang yang terbatas.
Sebaliknya, bersinggungan siku dengan orang yang sama dan melihat wajah-wajah yang sama
dari hari ke hari sepanjang hidup jaranglah dapat menyenangkan. Untuk memilih hanya satu
dari banyak contoh peristiwa kita dapat melihat betapa sulitnya Theresia untuk dapat
mengungkapkan isi hati kepada pembimbing novisnya, Suster Marie dari Agnes. Walaupun Sr.
Marie memiliki sikap alamiah yang manis dan selalu siap untuk memberikan nasihat yang baik,
Theresia tidak dapat mengungkapkan isi hati terdalam jiwanya dengan dia, sekeras apa pun
usaha Theresia untuk melakukannya. Kemudian, ada Suster Martha, salah seorang novis yang
dibimbing oleh Theresia, yang pada awalnya sangat sulit untuk menyesuaikan diri dan
tampaknya ia suka menentangnya di setiap kesempatan. Berkenaan dengan dua saudarinya,
Pauline dan Marie, kita melihat pencobaan yang berbeda macamnya; Theresia sangat mencintai

4
mereka tetapi ia harus menyangkal diri untuk tidak mempertahankan relasi keluarga dengan
mereka sebab seringkali ia dianggap anak kecil yang masuk Karmel karena ingin hidup
bersama saudara perempuannya. Ia harus menyangkal diri dan berjuang. Ia mengatakan dalam
dirinya sendiri begini: “Saya tidak datang ke Karmel untuk hidup bersama saudara perempuan
saya tetapi untuk menjawab panggilan Yesus. Ah! Saya benar-benar sudah merasa sebelumnya
bahwa hidup bersama dengan saudara perempuan sendiri akan menjadi penyebab penderitaan
terus-menerus …”

St. Theresia berusaha menunjukkan kepasrahannya seperti seorang anak kepada kasih Allah
Bapa dan karenanya ia selalu bergantung kepada kehendak Allah bahkan dalam perjuangan-
perjuangannya. Saat mengalami satu pencobaan yang besar, yaitu penyakit ayahnya yang
mengakibatkan ia harus masuk rumah sakit jiwa, secara manusiawi akan menghancurkan
kepercayaan Theresia kepada penyelenggaraan Allah. Tetapi sebaliknya hal itu merupakan
suatu kesempatan bagi Theresia untuk memelihara kepercayaannya dengan diam dalam
keheningan dan dalam heroisme yang besar. Salah seorang dari saudarinya mengatakan:
“Selama masa pencobaan yang menyakitkan ini, Theresialah yang selalu menjadi topangan
kami melalui kepasrahannya yang tidak terkalahkan.” Teristimewa kepercayaannya diuji pada
akhir hidupnya, sehingga percobaan-percobaan ini merupakan pemurnian yang dahsyat dalam
pengharapan. Dan pencobaan itu membawa Theresia semakin serupa dengan Kristus sendiri.
Santa Theresia sendiri dalam riwayat hidupnya melukiskan secara sederhana, sekaligus sangat
dramatis, mengenai malam gelap yang harus dialaminya. Setelah bertahun-tahun mengalami
iman yang tenang, pada malam Paskah segala-galanya menjadi gelap gulita. Dalam keadaan
seperti itu, dia mengalami godaan-godaan. Dalam riwayat hidupnya diungkapkan bahwa dia
mendengar suara-suara menggoda yang berkata:
Engkau bermimpi tentang suatu tanah air yang lebih baik, di mana engkau akan memiliki Sang
Pencipta dengan segala keajaibannya dan bahwa suatu saat engkau akan ke luar dari kabut tebal
ini. Bergegaslah, cepatlah engkau ke sana! Bersukacitalah karena kematianmu! Karena
kematian itu tidak akan memberikan terang kepadamu, sebaliknya suatu malam yang lebih
kelam, yaitu malam ketiadaan.
Theresia tidak berani melanjutkan tulisannya karena takut dia akan menghujat Allah. Dari
kesaksian saudarinya, khususnya pada akhir hidupnya, bagaimana pada perjuangan maut yang
paling dahsyat, dia justru mengalami penderitaan seperti Tuhan Yesus sendiri. Theresia
menulis pada bukunya: “Para martir pergi ke tempat hukuman dengan bernyanyi, tapi Raja
para martir menjalani hukumanNya dalam ketakutan, mengalami ditinggalkan Allah”. Di sini
kita melihat penderitaan Theresia yang sangat besar, namun kepercayaannya kepada Allah
tidak pernah goyah seperti yang dikatakannya: “Sebelumnya saya tidak pernah mengerti bahwa
orang dapat menderita sebanyak ini”. Lalu pada saudari yang menjaganya dia berkata:
“Apakah pialaku sudah penuh?” Dan dia menjawab: “Bukan sudah penuh lagi tapi sudah
melimpah”.
Bisa kita bandingkan dengan keadaan Yesus di kayu salib yang berseru: “Allahku, Allahku
mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Di atas salib Dia tidak berani menyebut Bapa, tetapi
Allah. Jiwa Kristus sebagai manusia mengalami penderitaan sebesar itu. Theresia tentu saja
masih jauh dari Kristus, karena setiap mahluk tidak dapat dibandingkan dengan Penciptanya
sendiri. Tapi Theresia sangat mendekatinya, sehingga dia merupakan salah seorang kudus yang
terbesar dalam Gereja. Kita melihat bagaimana kepercayaan Theresia yang tidak terbatas pada
Allah, sehingga pada saat-saat yang paling mengerikan dia masih bisa berkata: “Kalau Engkau
menghendaki, saya masih siap untuk menanggungnya”. Dengan demikian dia
menyempurnakan kebajikan pengharapannya. Saat-saat terakhir hidupnya bukan hanya
merupakan pemurnian bagi diri sendiri, tetapi memiliki nilai redemtif, penderitaan yang
membawa keselamatan bagi orang lain. Santa Theresia sendiri mengakui bahwa selama

5
bertahun-tahun dia harus berjuang dalam batinnya untuk bisa sampai pada kepercayaan yang
begitu tinggi: “Saya sendiri harus dimurnikan dalam dapur api seperti seorang tukang emas
menyepuh emasnya, sehingga akhirnya saya bisa mencapai pantai seberang yang penuh
kedamaian dan menikmati buah-buah kedamaian serta pasrah dan cinta kasih yang sempurna.”
Kepercayaan yang demikian itu jelas datangnya dari Allah. Segala usaha manusia itu tidak ada
artinya dalam hal ini. Bagaimana Theresia dapat melupakan hal ini? Dia memang tidak pernah
melupakannya, sebab Theresia menyadari kelemahannya sebagai seorang anak kecil untuk
tidak bersandar pada kekuatannya sendiri. Theresia semata-mata mengharapkan dan bersandar
pada rahmat dan bantuan Allah. Ini yang dikatakan olehnya: “Saya merasakan diri saya sangat
lemah tetapi kepercayaan saya tidak berkurang karenanya, sebaliknya kepercayaan itu semakin
meningkat, dengan bertambah kelemahanku”.
Inilah ciri kerendahan hati yang sangat mendalam. Kerendahan hati yang dari satu pihak
menyadari ketidak berdayaannya yang mutlak, tetapi di pihak lain kepercayaan yang tidak
terbatas kepada Allah. Theresia mengatakan: “Oleh karena rahmat-rahmat Allah, saya menjadi
kaya”. Pengharapannya pada Allah tidak pernah berkurang, bahkan saat jiwanya tenggelam
dalam kegelapan yang paling pekat, yaitu bila doa-doanya seolah-olah tidak didengarkan, bila
segala sesuatu yang diinginkannya mendapat tantangan, dia mengatakan: “Mungkin Allah akan
menjadi cepat jemu dalam mencobai saya, daripada saya bisa meragukan kebaikan-Nya.
Bahkan seandainya, bila Dia membunuh saya, sayapun masih akan tetap berharap kepada-
Nya”.
Bila setelah Theresia berdoa dengan sungguh-sungguh pada Allah atau pada orang-orang kudus
dan merasa bahwa doa-doanya tidak didengarkan, dia masih bisa mengucap syukur dan
berkata: “Mereka mau melihat sampai sejauh mana saya bisa berharap. Saya bisa merendam
diri dalam pengharapan akan Allah yang baik, yang menghendaki saya menyerahkan diri
sebagai seorang anak kecil yang tidak kuatir akan apapun, tentang apa yang mau dilakukan
terhadapnya”.
Allah mengukur karunia-karunia yang diberikan-Nya sesuai dengan kepercayaan kita. Seperti
yang dikutip oleh Santo Yohanes Salib: “Kita memperoleh dari Allah sebanding dengan
kepercayaan dan pengharapan kita”. Injil tentang perumpamaan para pekerja di kebun anggur
sangat mempesonakan-nya. Inilah komentar Theresia: “Lihatlah, bila kita sungguh-sungguh
pasrah dan meletakkan seluruh pengharapan dan kepercayaan kita kepada Allah, sambil kita
berusaha menjalankan tugas dengan usaha-usaha kita yang lemah dan mengharapkan segala-
galanya dari kerahiman-Nya, maka kita akan diberi upah dan diperkaya sama seperti para
kudus yang paling besar”.
Theresia juga mengagumi sikap Bunda Maria ketika pesta di Kana, yang dengan sederhana
membisikkan kepada Putranya: ‘Mereka tidak punya anggur lagi.’ Dan kemudian
menyerahkan segala-galanya kepada keputusan Putranya. Inilah suatu teladan kepercayaan
yang tak ada bandingannya. Dalam diri Theresia akhirnya pengharapan dan kepercayaan yang
tidak pernah goyah menjadi nyata dan mencapai kepenuhannya yang besar, yang tidak
bersandar pada jasa-jasanya sendiri, tetapi bersandar semata-mata kepada Allah yang maha
kuasa dan kepada penyelenggaraan-Nya yang besar, seperti yang dikatakannya: “Saya tidak
bersandar pada pikiran dan kekuatan saya, tetapi semata-mata pada Allah. Saya sungguh sadar
betapa lemahnya saya ini”.
Di sini kita jumpai paradoks Santa Theresia. Di satu pihak dia sadar akan kelemahannya, tetapi
di pihak lain dia menganjurkan untuk tidak takut mengharapkan banyak dari Allah dan
memohon banyak dariNya. Dia mengajarkan supaya kita berdoa pada Allah secara demikian:
“Saya tahu bahwa saya tidak akan pernah layak untuk menerima apa yang saya harapkan, tetapi

6
sebagai seorang pengemis yang kecil saya mengulurkan tangan saya kepada-Mu. Saya yakin
Engkau akan mendengarkan saya sepenuhnya karena Engkau maha baik.”
Kenyataan seperti itu menyebabkan dia menjadi besar karena di antara kebajikan pengharapan
dan kebajikan-kebajikan lain terdapat suatu ikatan yang sangat kuat.
Saya tidak takut akan perjuangan terakhir, juga tidak untuk kesakitan yang disebabkan
oleh penyakit saya ini, betapapun hebatnya. Sejak masa kanak-kanak saya, Tuhan telah
menolong dan membimbing tangan saya. Saya akan bisa menderita banyak sekali, tetapi
saya tidak akan menderita terlalu banyak. Karena semakin banyak penderitaan, Tuhan
akan memberikan kekuatan yang sebanding.
Pada akhir hidupnya, pandangan Theresia sudah berubah mengenai arti penderitaan. Ketika
Theresia mengalami kegairahan yang menggebu-gebu, yaitu saat ia mulai tersentuh oleh kasih
Allah, dia merasa Tuhan telah memberikan banyak sekali, maka ia ingin membalasnya dengan
menderita bagi Allah. Tetapi setelah mencapai kesempurnaan dalam kasih, dia melihat bahwa
keinginan menderita masih memiliki “ego” dan mengubah pandangannya ke dalam penyerahan
diri pada kehendak Allah. Meskipun dalam kenyataan menunjukkan bahwa di akhir hidupnya
Theresia menderita, tetapi dia tidak melekat pada penderitaan itu. Apa yang dikehendaki
Tuhan, itulah yang diinginkan Theresia dan ini merupakan kebahagiaannya. Dia berkata:
Saya tidak lagi meminta penderitaan, karena saya tahu, bila saya minta penderitaan, saya
harus menanggungnya sendiri. Tapi saya pasrah kepada Allah. Kalau Tuhan memberikan
penderitaan, saya terima dengan segenap hati dan saya tidak takut menerimanya. Karena
bila terdapat penderitaan, maka Tuhan akan memberikan rahmat untuk menanggungnya.

BUAH TERINDAH DARI KEPASRAHAN


Salah satu buah terindah dari sikap pasrah adalah pengudusan saat ini atau hidup saat ini.
Apa arti pengudusan saat ini? bahwa kita hidup saat ini dalam hadirat Tuhan,
mempersembahkan kurban2 kecil yang kita temui dalam kehidupan setiap saat untuk
keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian, untuk pertobatan orang berdosa atau sebagai silih atas
dosa-dosa kita sendiri. Dengan demikian penderitaan atau perjuangan-perjuangan kita tidak
sia-sia karena memiliki nilai penebusan, nilai keabadian yang membawa kekudusan. Dengan
Tindakan cinta kasih seperti ini tentunya membawa kebahagiaan karena kita sadar bahwa
perjuangan kita tidak sia2, melainkan melahirkan berkat yang berlimpah.
Selain dari pada itu jiwa akan mengalami kebebasan damai dan sukacita. Jiwa yang telah
memiliki kebebasan, hidup berdamai dengan Allah dalam suatu kepercayaan yang total
terhadap penyelenggaraan-Nya, tidak lagi sibuk memikirkan diri sendiri dan tidak
menguatirkan masa mendatang. Apa yang penting baginya adalah selalu menyatukan
kehendaknya dengan kehendak Allah. Sebenarnya inilah kebahagiaan yang tertinggi di surga
kelak, yaitu hanya ada satu kehendak, di mana kita akan mengamini kehendak Allah secara
sempurna.
Betapa banyaknya manusia yang berada dalam perjalanan menuju Allah dilumpuhkan oleh
kenangan masa lampau ataupun kekuatiran masa depan. Banyak orang yang diganggu oleh
masa lampaunya (ingat akan dosa) dan kekuatiran akan masa depan (apakah akan tetap
bertahan dalam kesetiaan, atau takut tentang apa yang mungkin akan terjadi atau dialami).
Begitu banyak kekuatiran dan kecemasan yang sia-sia yang merampas kedamaian batin kita.
Hal ini karena kita cenderung terlalu berpusat pada diri sendiri daripada menyerahkan segala
kekuatiran pada penyelenggaraan Allah.

7
Santa Theresia hidup semata-mata pada saat ini dan tidak mau menengok masa lampau atau
melihat masa depan dengan kekuatiran. Maka dalam hidupnya Theresia sungguh-sungguh
hidup pada saat ini. Dikatakannya: “Kita yang menempuh jalan cinta kasih, tidak boleh kuatir
akan apapun juga. Seandainya saya tidak menderita dari saat ke saat, maka saya tidak akan
mampu tetap bersabar. Saya hanya melihat masa sekarang ini. Saya melupakan masa lampau
dan saya juga tidak mau melihat masa depan dengan segala kekuatiran”. Oleh karena itu Santa
Theresia juga hanya mau hidup sekarang ini dalam penderitaannya. Dia mengatakan:
Saya menderita dari satu saat ke saat yang lain. Kebanyakan orang melihat masa lampau atau
berpikir tentang masa depan, sehingga mereka kehilangan keberanian dan menjadi putus asa.
Tiap-tiap saat Tuhan memberikan kepadaku penderitaan yang dapat kutanggung, tidak lebih.
Saya bersyukur tidak meminta penderitaan kepada Allah, sebab kalau saya minta, maka Tuhan
wajib seolah-olah memberi saya keberanian. Dan Tuhan memberikan kepadaku keberanian
sebanding dengan penderitaan yang harus kutanggung. Saya merasa bahwa pada saat ini saya
tidak akan mampu menanggung lebih banyak lagi, tetapi saya juga tidak takut. Bila
penderitaanku bertambah, Allah akan memberikan keberanian lebih besar kepadaku. Tuhan
tidak memberikan kepadaku intuisi mengenai kematian yang dekat, tetapi tentang penderitaan
yang lebih besar. Walaupun demikian saya tidak kuatir. Saya mau hidup pada saat ini karena
saya yakin, bahwa pada saat inilah Allah memenuhi kehendakNya.
Dalam hal ini Theresia berpegang pada sabda Yesus: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan
hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah
untuk sehari" (Mat 6: 34). Theresia mengungkapkan pandangannya ini dalam suatu puisi yang
indah :

HANYA UNTUK HARI INI


Puisi ini ditulis Theresia pada saat-saat terakhir hidupnya. Dia mengungkapkan
kepercayaannya kepada Allah hanya untuk hidup hari ini saja.

Hidupku adalah satu saat, satu jam yang berlalu.


Hidupku adalah satu saat yang tak terpegang dan tak kukuasai.
Engkau tahu, ya Tuhan,
Untuk mencintai-Mu di dunia ini,
Aku hanya punya hari ini.

Peduli amat Tuhan, bila masa depan tampak kelabu.


Berdoa untuk esok, tidak! Aku tak mampu….
Jagalah hatiku murni.
Tudungi aku dengan bayang-bayang-Mu,
Hanya untuk hari ini.

Jika aku berpikir tentang hari esok,


Aku takut goyah.
Dalam hati kurasakan munculnya kesedihan dan kebosanan,

8
Tapi saya rela menerimanya, Tuhan, penderitaan, pencobaan,
Hanya untuk hari ini.

Segera ku kan terbang untuk memuji-Nya,


Bila hari tanpa malam,
Akan bersinar atas jiwaku.
Maka kan kunyanyikan dengan kecapi pra malaikat,
Hari ini yang abadi .

BAGAIMANA AGAR KITA BERANI PASRAH


Seperti yang kita ketahui bahwa dasar kepasrahan Theresia adalah karena adanya kepercayaan
atau iman yang teguh kepada kerahiman dan kebaikan Bapa Surgawi. Yesus bagi dia adalah
Bapa yang mahabaik yang begitu mengasihi dan mencintai dia. Kebaikan Bapa yang tidak
terbatas itu sentiasa menyelenggarakan yang terbaik untuknya, selalu memelihara dan tidak
pernah meninggalkannya dalam apapun keadaan. Meneladani sikap pasrah Theresia yang
bersumber pada iman kepercayaannya yang teguh kepada belas kasihan Bapa maka kita juga
bisa belajar daripadanya. Theresia percaya Allah Bapa itu bagitu mengasihinya, mencintainya,
mengetahui segala sesuatu dan menghendaki yang terbaik pada dirinya. Maka dari keyakinan
ini timbul suatu kepasrahan atau penyerahan total kepada kehendak Allah karena Allah tahu
apa yang terbaik untuk kita anak-anak-Nya. Sampai akhirnya kita hanya menghendaki apa yang
dikehendaki Allah dalam hidup kita. Inilah yang dinamakan dengan persatuan kehendak
dengan Allah dalam cinta kasih.
Yesus adalah teladan dan Guru sejati Theresia bagaimana menyerahkan seluruh kehendaknya
kepada kehendak Allah. Yesus berkata: “Aku datang ya Allah untuk melakukan kehendak-Mu.
Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku. Putera tidak melakukan
sesuatupun kecuali yang dilihatNya pada Bapa” (Ibr. 10:9; Yoh 4:34; 5:19). Yesus juga
memberi kesaksian, bahwa Allah mengasihi Putera, karena Dia tidak mencari lain kecuali
kehendak Bapa. Sebenarnya inilah kebahagiaan yang tertinggi di surga kelak, yaitu hanya ada
satu kehendak, di mana kita akan mengamini kehendak Allah secara sempurna.
Dalam diri santa Theresia kita melihat sikap pasrah yang penuh kepercayaan bermuara dalam
kesatuan kehendak dengan Allah. Apa yang disebut “Jalan Kecil” tentang pasrah dan cinta
kasih, pada dasarnya sama dengan ajaran injil yang mendalam, yaitu kehendak Allah sendiri.
Di atas salib Yesus mengungkapkan kepasrahan-Nya yang total pada Bapa: “Bapa ke dalam
tanganMu, kuserahkan Roh-Ku.” Selama hidup-Nya Yesus tidak mencari hal lain, kecuali
melakukan kehendak Bapa-Nya. Oleh sebab itu jalan pasrah ini membawa kita kepada
penyerahan diri yang total kepada Allah: Masa lampau, masa sekarang, masa yang akan datang
kita serahkan kepada Allah.

PENUTUP
• Paus Benediktus XV menyatakan bahwa St. Theresia telah membawakan kepada
dunia sebuah "rahasia kekudusan." Kemudian Paus Pius XI menyatakan bahwa ia
adalah "sabda Allah yang turun dari Surga untuk menyatakan kepada kita jalan

9
rohani seorang anak kecil," dan bahwa dia "memberikan jejak yang pasti bagi kita
jalan keselamatan.“
• Bagi Gereja, Theresia telah mewujudkan suatu kekudusan besar melalui hal-hal
yang biasa, telah mewujudkan sikap heroic dalam perkara-perkara kecil. Dia
melakukan perkara-perkara kecil dengan cinta yang besar, atau bisa juga
dikatakan dia melakukan hal-hal biasa dengan cara yang luar biasa, karena segala
perbuatannya dijiwai dengan cinta kasih yang besar. Kepasrahannya pada
kehendak Allah juga semata-mata demi cinta dan kepercayaannya yang besar pada
kasih kerahiman Allah, yang telah terlebih dahulu mengasihinya.
• St. Theresia termasuk dalam kategori orang kudus yang patut dikagumi sekaligus
juga bisa diteladani oleh semua orang, tanpa kecuali. Tentu saja hal ini bukan soal
mudah, tetapi bisa dilakukan oleh setiap orang yang sungguh mau mencobanya.
Rahmat selalu tersedia bagi orang yang mau berusaha. Dengan demikian setiap
orang dapat mencapai kekudusan dan itulah sebabnya Gereja telah mengangkat
Theresia menjadi Pujangga Gereja.
• Marilah kita belajar menjadi semakin kecil dan kecil di hadapan Allah yang maha baik,
marilah kita semakin rendah hati dan berani pasrah pada setiap kehendak Allah, karena
Dia tau yang terbaik bagi kita. Marilah kita mengubah tindakan kita yang biasa menjadi
luar biasa dengan menjadikan cinta kasih sebagai pendorong utamanya. Janganlah kita
putus asa dengan kelemahan, kekecilan dan ketakberdayaan kita tetapi hendaklah
semuanya itu dijadikan persembahan yang harum mewangi yang membumbung ke
hadapan Allah. Dengan menerima ketakberdayaan kita dengan penuh cinta dan
mengharapkan segalanya dari Bapa yang baik justeru kita memuliakan Allah.

10

Anda mungkin juga menyukai