Anda di halaman 1dari 30

Madah Rohani

Stanza 1
Di manakah Engkau sembunyi
Wahai kekasih, dan membiarkanku merintih?
Kau lari bagaikan rusa
Setelah Engkau melukaiku
Aku mengejar memanggil-Mu, namun Kau telah pergi

"Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan
orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh
miliknya lalu membeli ladang itu.“ (Mat. 13:44)

Menemukan harta yang tersembunyi merupakan karunia Tuhan. Pada saat kita
menemukannya, kita harus menjual seluruh milik kita untuk dapat memperolehnya. Menemukan
harta itu adalah anugerah cuma-cuma, namun kita harus membayar untuk dapat memilikinya.
Demikianlah halnya Kerajaan Surga.

I. HARTA TERPENDAM

Di manakah Engkau sembunyi

Allah Tersembunyi
Percaya atau tidak, Allah tetap tersembunyi untuk kita. Allah adalah misteri, walau Ia lebih
terang daripada matahari.

Allah memang tersembunyi, tetapi tidak pernah absen dari kita. Kita ada semata karena Ia
ada dalam kita. Berdasarkan kebenaran inilah muncul pertanyaan, “Di manakah Engkau sembunyi,
ya Allah?” Lantunan puisi di atas merupakan senandung jiwa yang terangkat mencari Allah, Sang
Cinta yang tak tergapai.

Jiwa Madah Rohani dari St. Yohanes Salib

Jiwa yang menjadi tokoh utama dalam Madah Rohani bukanlah orang asing bagi Kerajaan
Allah, juga bukan jiwa yang baru pertama kalinya mencari. Pencarian ini justru berangkat dari
adanya pertemuan dan penjualan dari harta miliknya pun sedikitnya sudah dimulai. Jika tidak
demikian, tidak mungkin jiwa menyapa Allah “Kekasih.”

Akan tetapi, masih ada banyak jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah
Tuhan tetapkan bagi kita. “Kesempurnaan dari persatuan yang penuh dalam kehidupan ilahi adalah
persatuan jiwa dengan Allah.”
St. Yohanes dari salib menyebut jiwa-jiwa yang baru mau memulai langkahnya dalam
pencarian ini sebagai principianti (pemula). Ia mengatakan status pemula ini bukan hal sederhana
biasa sebagai awal jalan pencarian. Akan tetapi, di sini pemula mulai meneliti kehidupannya, dan
menemukan dalam iman sebuah jawaban, yang mendorongnya untuk mengikuti Dia.

1
Bagaimanakah tanda-tandanya jiwa memasuki tahapan ini? Pada saat itu ia merenungkan
bahwa hidup adalah singkat, dan betapa segala sesuatu di dunia ini fana belaka, segalanya
mengalir bagaikan sungai tidak ada yang tetap abadi. Sementara di waktu yang sama jiwa juga
menyadari akan segala rahmat-rahmat Allah yang diterimanya, dan menyadari dirinya sebagai
ciptaan yang dikehendaki Allah, dan kepadanyalah saja harus diberikan seluruh afeksi dalam hati.
Beberapa kali ia berpikir mungkin ia sudah tiba di saat terakhir, dan acapkali juga berpikir bahwa
Tuhan menyembunyikan diri darinya karena ia melupakan Dia yang hadir di tengah segala ciptaan.
Jika ini semua yang mewarnai keadaan spiritualitas jiwa dan kerinduannya akan Allah, ia adalah
seorang principiante (pemula). Ia berada dalam jalan purgativa, yang memerlukan pemurnian
(purificazione), penerangan (illuminazione), dan persatuan (unione).
Akan tetapi, perlu dicamkan bahwa tidak perlu kita mencari sudah berada di manakah kita
sekarang, namun lebih penting apa yang harus kita lakukan. Berpalinglah kepada Allah. Jika engkau
mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berpalinglah kepada-Nya sebagai Kekasih dan kerinduanmu.

Jika jiwa tidak merasakan cinta-Nya dan juga sepertinya tidak merasa mencintai-Nya,
percayalah pada cintakasih-Nya, dan tegaskan bahwa ia siap meninggalkan sesuatu demi Dia, dan
betapa ia membutuhkan Dia, membutuhkan kehadiran-Nya. Yang penting adalah bahwa doa itu
merupakan doa yang sejati, asli, tulus keluar dari hati, juga sekali pun sedang menderita.

Dari doa ini, yang sesungguhnya dihembuskan oleh Roh Kudus sendiri yang bersemayam
dalam jiwa, akan lahirlah dengan lebih membara lagi kerinduan akan Allah, dan cinta berubah
menjadi menyakitkan.

Setiap saat ketika jiwa merasakan ketidakhadiran Allah, terasa sangat menyakitkan
semanis apa pun pengalaman hadirat Allah yang pernah dirasakannya. Itulah sebabnya jiwa
menoleh kepada Allah dan bertanya, “Di manakah Engkau sembunyi, ya Allah?” Jiwa selalu
berusaha mencari Dia.... dan Ia sangat rindu untuk ditemukan........

Permintaan Jiwa
Ini merupakan permintaan jiwa yang esensial. St. Yohanes dari Salib menulis:
“Ya Sabda, Mempelaiku, tunjukkan padaku di manakah Engkau sembunyi.” Dengan kata-kata ini ia
memohon manifestasi dari keberadaan ilahi-Nya, karena tempat Sang Putera sembunyi adalah di
pangkuan Bapa, yaitu, suatu keberadaan ilahi yang jauh dari penglihatan fisik manusia dan
melampaui segala pengertian.” (Madah Rohani, 1,3)

“Rupa sejati dari Allah” merupakan hal yang sering diulang dalam Madah Rohani, sebagai
kerinduan dari jiwa, yang terus mengiringinya sepanjang jalan hidupnya. Dengan melihat-Nya, ini
berarti kita mengenal-Nya dan memiliki-Nya. Pengenalan dan pemilikan akan Allah ini merupakan
hal yang unik, yang memuaskan setiap kerinduan. Ketika Tuhan memberikan kita diri-Nya sendiri,
tidak ada apa pun yang kita inginkan selain Dia untuk dicintai. Akan tetapi, “visione beatifica” itu
hanya dapat tercapai saat kita berjumpa dengan-Nya dari muka ke muka. Hingga akhirnya kita
sadari bahwa untuk mengenal dan memiliki Dia tidak akan pernah terjadi seutuhnya, Tuhan tetap
tinggal tersembunyi bagi kita.

Tuhan bagaikan sinar. Kita tidak akan dapat mengenali sang sinar jika hanya mengenali warna
biasannya. Bisa jadi pelangi dengan biasannya memuaskan minat bagi jiwa dan membangkitkan
antusias jiwa lebih daripada matahari yang bersinar di waktu siang. Akan tetapi, biasannya itu
tidak akan pernah menjadi sang warna, apalagi sang sinar. Dengan demikian kita tidak dapat
mengindentifikasi sang sinar berdasarkan warnanya.

2
Sejak awal St. Yohanes dari salib tidak pernah menuntun kita menuju warna tetapi menuju
sinar.
“Betapa pun tingginya komunikasi jiwa dengan Allah, dan pengalaman jiwa akan kehadiran-Nya,
betapa pun mulianya pengenalan seseorang akan Dia, semua itu sesungguhnya bukan Allah. Tidak
ada sesuatu pun yang dapat dibandingkan dengan-Nya, sebab, sungguh Ia adalah Allah yang
tersembunyi bagi jiwa. Karenanya, tanpa mempedulikan segala pengalaman rohani yang tinggi-
tinggi, seseorang harus memikirkan Dia sebagai yang tersembunyi, dan mencari-Nya sebagai
Allah yang tersembunyi, dengan berkata, ‘Di manakah Engkau sembunyi, ya Allah?” (no. 3)

Oleh karena itu, jika dalam hubungan dengan Allah mendapatkan penerangan apa pun, suatu
kabar baru atau sentimen apa pun, “jangan percaya bahwa itu berarti sudah melihat Tuhan dengan
sejelas-jelasnya dan memiliki Dia secara esensial, dan jangan berpikir telah menjadi ‘lebih’
bersama Dia.” Tuhan di atas segalanya. Sebaliknya,
“Dan jika semua komunikasi dan sentimen juga afeksi membuatmu merasa kehilangan, tinggal
dalam kekeringan dan kegelapan, jangan percaya bahwa engkau kehilangan Allah.” (no. 4)

Demikianlah dalam iman dan harapan, serta pengalaman di dunia ini yang menyentuh
keabadian, kemiskinan dan kegelapan jiwa terhembus ke arah kekayaan dan terang Allah.

Ketersembunyian Sang Mempelai

Jiwa bertanya di manakah tempat persembunyian Sang Mempelai saat ini dalam
kehidupannya, karena jiwa membutuhkan Dia, membutuhkan kehadiran-Nya, dan campur tangan-
Nya. Dan inilah jawaban yang keluar dari iman yang murni:
“Sang Sabda Putera Allah, bersama dengan Bapa dan Roh Kudus, hadir di kedalaman jiwa. Di
sinilah dalam kontemplasi jiwa perlu mencari-Nya dan dengan penuh cintakasih bertanya, “Di
manakah Engkau sembunyi?” (no. 6)

Inilah jawabannya. Sang Putera yang dicintai oleh jiwa berada seutuh-utuhnya di dalam jiwa
itu sendiri, yaitu di seluruh keberadaannya. Dengan perhatian sepenuhnya kepada jiwa, dengan
seluruh minat dan kerinduan, Ia bersemayam di dalam jiwa.
“Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku
di dalam kamu.” (Yoh. 14:20)

Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh St. Yohanes dari Salib


“Oh jiwa yang terindah dari segala ciptaan, yang teramat rindu untuk mengetahui tempat
persemayaman sang Kekasih, untuk menemui-Nya dan bersatu dengan-Nya. Sekarang saya
beritahukan, bahwa engkau sendirilah kediaman-Nya, ruang rahasia-Nya, tempat
persembunyian-Nya. Ini akan menjadi kesukaan besar bagimu, karena engkau melihat bahwa
seluruh kebaikan dan harapanmu ada begitu dekat, yaitu di dalam dirimu sendiri. Atau lebih
tepat lagi dikatakan, engkau tak akan dapat hidup tanpa Dia. “Lihatlah,” kata Sang Mempelai,
“Kerajaan Allah ada di antara kamu.” (Luk. 17:21) Dan St. Paulus pun menambahkan bahwa kita
adalah Bait Allah. (bdk. 2 Kor. 6:16)” (no.7-8)

Ia ada di dalam kita. Tersembunyi karena Ia berbeda dengan kita. Ia tinggal di dalam jiwa
untuk berkomunikasi dengan kita, untuk hidup di dalam kita. Dan Ia berjanji untuk menyatakan
diri-Nya kepada mereka yang mengasihi-Nya. Cintailah Dia, percayalah pada janji-janji-Nya, dan
nantikanlah penggenapannya. Ia adalah setia.
Perjalanan pencarian Allah dimulai dalam iman dan harapan.

3
II. SEMBUNYIKANLAH PULA DIRIMU

Jika kekasih jiwa ada di dalam diri, mengapa tidak kita temukan dan tidak kita rasakan? Ini
adalah pertanyaan spontan yang wajar muncul dalam diri setiap orang. Akan tetapi, St. Yohanes
dari Salib menjawab:
“Karena Ia tinggal tetap tersembunyi, sementara engkau tidak menyembunyikan dirimu untuk
menemui-Nya dan mengalami-Nya.” (no. 9)

Untuk dapat menjumpai Dia, sedikitnya dapat juga bergantung pada langkah kita apakah
berada di arah yang benar.
“Jika engkau ingin menemukan-Nya, lupakanlah segala milikmu, segala ciptaan, dan bersembunyi
dalam ruang rahasia di dalam rohmu. Di sana, tutuplah pintu di belakangmu (kehendakmu akan
segala sesuatu) dan berdoalah di tempat tersembunyi kepada Bapamu.” (bdk. Mat. 6:6)

“Tinggallah tersembunyi bersama Dia, maka engkau akan mengalami-Nya dalam


ketersembunyian, mencintai dan menikmati-Nya dalam ketersembunyian, dan mengalami
sukacita dalam ketersembunyian.” (no. 9)

a. Bersembunyi Bersama Dia

Allah tersembunyi di dalam jiwa. Ke sanalah kita harus masuk. Sayangnya, seringkali kita
justru bersembunyi di balik segala macam hal yang duniawi, dan di sanalah kita tenggelam dan
menghilang. Kita tidak akan pernah ditemukan, kecuali jika Sang Gembala yang baik datang dan
mengangkat kita dari semak berduri.

Jika kita ingin mencari-Nya, kita harus turun ke kedalaman jiwa, melalui sebuah turunan
yang lama dan tak pernah berakhir. Ini merupakan proses seumur hidup. Di sanalah Sang
Mempelai menanti, dan Ia menginginkan kita seutuhnya bagi-Nya.
Lewat Yesaya 26:20 Ia memanggil, “Masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintumu sesudah
engkau masuk (pikiranmu terhadap segala ciptaan), bersembunyilah barang sesaat lamanya
(dalam hidup di dunia yang sementara ini). Jika dalam waktu hidup yang singkat ini engkau tekun
menjaga hatimu sebagaimana dikatakan dalam Ams. 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala
kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan,” maka Tuhan akan memberikan
kepadamu apa yang telah dijanjikan-Nya melalui Yesaya 45:3, “Aku akan memberikan kepadamu
harta yang terpendam dan harta kekayaan yang tersembunyi.” Harta yang terpendam itu tidak
lain adalah Allah sendiri, karena Allah adalah unsur utama dan konsep dari iman; dan iman adalah
hal yang rahasia dan misterius. Akan tiba harinya iman berakhir, demikian menurut St. Paulus,
dan yang rahasia diwahyukan sehingga seluruh misteri itu akan tersingkap bagi jiwa. “Tetapi jika
yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.” (1 Kor. 13:10) (no. 10)

Demikianlah kita akan menjadi serupa dengan-Nya, karena kita akan melihat Dia
sebagaimana Ia adanya. Demikianlah kita bersembunyi di kedalaman jiwa bersama Sang
Mempelai, di sanalah Ia menantikan kita, dan di sanalah kita mencintai-Nya dalam
ketersembunyian, menyembah-Nya dalam ketersembunyian.

Satu hal lagi yang penting, “bersembunyilah dalam gua-gua cadas. (Kel. 33:22-23)”
Karang/cadas merupakan lambang Kristus yang dikatakan-Nya sendiri sebagai fondasi bangunan
yang kuat dan aman, dan menurut St.Paulus sebagai sumber kehidupan (1 Kor. 10:4).
Pengenalan yang otentik akan misteri ilahi datang dari partisipasi kita dalam kehidupan-
Nya. Semakin kita mengenal Allah, semakin kita menjadi anak-anak-Nya. Namun, semua ini
pertama-tama terjadi karena “pertolongan dari sebelah kanan Bapa”.

4
b. Iman dan Kasih
Untuk menjumpai-Nya dalam persembunyian, perlu mencari dengan iman dan kasih, tanpa
keinginan untuk mencari kepuasan, atau memahami sesuatu. Mengasihi Dia sebagaimana Dia
adanya, bukan sebagaimana yang kita kenal/kita kira. Tidak akan pernah kita tidak diterima di
hadapan misteri ilahi-Nya. Iman dan kasih bagai penuntun bagi orang buta, yang akan menuntun
jiwa di sepanjang jalan yang tak dikenal, ke tempat Allah menyembunyikan diri. Iman ibarat kaki
kita yang melangkah menuju Allah dan kasihlah penuntunnya. Rahasia dari iman adalah bahwa
dengan rahmat yang istimewa, jiwa dapat bersatu dengan Allah, dan suatu hari nanti dapat
berjumpa dengan-Nya tidak dengan jalan yang tersembunyi lagi, tetapi bertemu muka dengan
muka.
Iman merupakan langkah yang tidak pernah berhenti, yang selalu membukakan bagi kita
horison-horison baru, tetapi tidak akan pernah menyingkap sama sekali misteri ketersembunyian
Allah.

c. Cinta Menggebu
Wahai kekasih, dan membiarkanku merintih?
Pencarian akan Allah ini tidak lahir terutama dari keinginan untuk mengenal Dia, melainkan
terutama dari keinginan untuk mengasihi Dia yang telah lebih dahulu mengasihi kita. Cintalah
yang mencari kehadiran-Nya, dan akhirnya kehadiran ada karena cinta.

Kita perlu senantiasa menguji cintakasih kita dan berkembang sebagaimana yang telah
Tuhan persiapkan bagi kita.
Suatu cara untuk mengujinya adalah apakah jiwa dapat sungguh-sungguh menyapa-Nya
“kekasih”. Seseorang dapat memanggil Allah sebagai kekasih jika seluruh keberadaannya
bersama-Nya, dan tidak membiarkan apa pun selain Allah memikat hatinya, dan menjadikan Dia
sebagai pusat hidupnya. Hati yang tertuju kepada-Nya ini meliputi roh, pikiran, dan afeksi.
Banyak orang memanggil-Nya “kekasih” padahal itu dusta belaka karena hati mereka tidak
seluruhnya diperuntukkan bagi-Nya. Hasilnya, doa-doa permohonan mereka tidak terlalu bernilai
dalam pandangan-Nya. Mereka tidak akan dikabulkan sampai lewat ketekunan mereka dalam doa,
mereka menjaga roh mereka terus menerus berhubungan dengan Allah dan hati mereka
seluruhnya dipenuhi kasih kepada-Nya. Dengan menjaga kerendahan hati dalam doa, kita akan
dapat menjaga kestabilan pikiran dan afeksi kita di dalam Dia, “karena tidak ada satu pun yang
dapat menjangkau Allah kecuali cinta.“ (no. 13)

Selanjutnya jiwa mengeluh, “... dan membiarkanku merintih”. Ini menunjukkan bahwa
ketidakhadiran Allah membuat jiwa merasa sakit, karena jiwa tidak mencintai apa pun selain dia,
sehingga jiwa tidak mendapatkan istirahat atau kelegaan apa pun di dalam segala sesuatu yang
lain. Di sinilah kita dapat mengenali jiwa yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, yaitu bila ia
tidak dapat dipuaskan oleh apa pun juga selain Allah. Walaupun ia memiliki segala sesuatu, ia
tidak puas, sebaliknya justru semakin banyak yang ia miliki, semakin berkurang kepuasannya.
Kepuasan hati tidak diperoleh dengan memiliki segala sesuatu, tetapi dengan melepaskan segala
sesuatu dan di dalam kemiskinan roh. Bila jiwa sudah hidup dalam kemiskinan roh, maka jiwa
dapat mencapai kepuasan dalam hidup ini, walau masih belum sempurna.
Sebagai hasilnya, damai, ketenangan, dan kepuasan yang dapat dicapai oleh jiwa dalam hidup
ini, masih belum cukup untuk mencegah jiwa merintih dalam dirinya. Walaupun keluhan ini mungkin

5
tenang dan tidak menyakitkan, tetapi mengandung harapan akan sesuatu yang masih kurang.
Keluhan berhubungan dengan harapan, “...kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan
pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” (Rm. 8:23)
Oleh karena itu, jiwa merintih di dalam dirinya. Cinta telah melukainya, dan ia menangis
karena ketidakhadiran-Nya (tidak merasakan-Nya), terutama sebab jiwa baru saja merasakan
manisnya dan sukacitanya berkomunikasi dengan Sang Kekasih. Namun, kini jiwa menderita
karena Ia tidak hadir lagi, meninggalkan jiwa kering dan sendirian. Maka jiwa pun berseru:

Kaulari bagaikan rusa


Dalam madah ini sang mempelai perempuan membandingkan kekasihnya seperti rusa atau
kambing gunung. Hal ini tidak hanya karena Ia “tidak ramah” dan meninggalkannya sendiri –lari
seperti rusa-, tetapi juga karena begitu cepat Ia menampakkan diri dan kemudian langsung
menyembunyikan diri. Allah biasanya mengunjungi jiwa yang tulus dan saleh untuk membahagiakan
mereka, namun kemudian meninggalkannya untuk menguji, mengajar, dan membuat mereka rendah
hati. Sikap-Nya menimbulkan kesedihan yang amat sangat bagi jiwa, sehingga ia pun berkata:

setelah Engkau melukaiku


Ini seperti berkata, “Kenyerian dan kesedihan yang biasa kuderita karena ketidakhadiran-
Mu belum cukup untukku, tetapi masih ditambah lagi dengan beban akibat bertambah dalamnya
luka yang disebabkan oleh panah-Mu. Kerinduanku untuk berjumpa dengan-Mu semakin
meningkat, tetapi Kau lari cepat seperti rusa, dan tidak pernah mebiarkan diri-Mu tertangkap
walau hanya sekejap.”

Allah melukai dan membangkitkan cinta dalam jiwa. Biasanya Ia melimpahkan sentuhan-
sentuhan cinta rahasia bagaikan panah api yang menembus dan melukai dan membakar seluruh
jiwa dengan api cinta. Luka-luka yang dimaksud di sini biasa disebut luka-luka cinta. Api juga
membakar keinginan-keinginan dalam afeksi dengan kobaran api cinta. Pembakaran ini begitu
hebat sehingga jiwa bagaikan bernyala dan api membuat jiwa keluar dari dirinya sendiri,
diperbaharui seluruhnya, dan diubah perilakunya.

Segala afeksi dan kelekatan diubah menjadi ilahi pada hati yang menyala dalam jiwa.
Melalui cinta, jiwa dibawa pada kekosongan dan ketidaktahuan apa-apa kecuali cinta. Dalam waktu
yang sama, perubahan ini disertai dengan semacam siksaan yang begitu besar dan kerinduan
untuk melihat Tuhan. Siksaan ini begitu kuatnya sehingga tampaknya cinta tidak tertanggungkan
lagi oleh jiwa. Bukan karena Ia telah melukainya –yang dianggapnya menolong/baik untuk
kesehatannya- tetapi karena Ia meninggalkannya, membuatnya menderita karena cinta, dan tidak
membuatnya mati sekalian agar dapat bersatu dengan-Nya dalam kehidupan cinta yang sempurna.

Aku mengejar memanggil-Mu, namun Kau telah pergi


Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan luka cinta ini selain dari Dia yang
menyebabkannya. Oleh karena itu, jiwa yang terluka dikuatkan oleh api yang telah membakar
cintanya, berlari mengejar Sang Kekasih yang telah melukainya. Jiwa berseru memanggil-Nya,
berharap Ia mau menyembuhkan lukanya.

„Jiwa berlari mengejar Sang Kekasih.“ Keberangkatan rohani ini melambangkan dua hal,
yaitu:

6
❑ Jiwa meninggalkan segala sesuatu yang bukan Allah
❑ Jiwa melupakan dirinya sendiri
Ketika cintakasih Allah telah sungguh-sungguh menyentuh jiwa, maka tidak saja jiwa menjadi
otomatis keluar dari diri sendiri, tetapi juga dibuatnya jiwa berseru kepada Allah dan
meninggalkan perilaku dan keinginan-keinginan pribadinya.

Singkatnya, kalimat ini hendak mengungkapkan bahwa sentuhan cintakasih Allah yang telah
melukai jiwa, tidak hanya membawa jiwa pergi dari segala sesuatu yang fana tetapi juga
membawa jiwa keluar dari dirinya sendiri. Tampaknya seperti Allah menarik jiwa keluar dari
tubuh, dan dibawa mendekat kepada diri-Nya sendiri. Kini jiwa secara total terlepas dari segala
yang fana dan melekat pada Allah saja.
Namun Kau telah pergi. Di saat jiwa merindukan untuk bertemu dengan Allah, jiwa tidak
dapat menemukan-Nya, dan keterpisahan jiwa dari segala sesuatu yang fana telah membuat jiwa
menderita, seolah-olah menggantung di langit tanpa dukungan dari Allah maupun dari dirinya
sendiri.
Yang dimaksud dengan „mengejar memanggil-Mu“ dalam mencari Sang Kekasih dapat
dipakai kata „bangun“.
„Aku hendak bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia,
jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia.“ (Kid. 3:2)

Bangunnya jiwa dipahami sebagai jiwa yang terangkat dari keadaannya yang rendah ke
dalam kemuliaan, pada cinta Allah yang mulia. Jiwa mengatakan ia terluka karena belum menemui-
Nya. Jiwa berkata ia terluka karena cinta dan lalu Ia meninggalkannya. Jiwa yang mencinta
tinggal dalam penderitaan yang konstan karena ketidakhadiran-Nya. Padahal jiwa telah
menyerahkan diri kepada-Nya dan mengharapkan balasan, yaitu penyerahan Diri-Nya kepadanya.
Namun, Ia belum melakukannya. Kini setelah ia lepas dari dirnya sendiri dan segala sesuatu demi
Allah, ia belum mendapatkan apa-apa karena jiwa belum memiliki-Nya.
Penderitaan dan sakit akibat ketidakhadiran Allah biasanya semakin terasa oleh mereka
yang telah mendekati kesempurnaan. Pada saat mereka terluka secara ilahi ini, mereka bisa mati
jika Allah tidak hadir. Mereka mengalami penderitaan yang tidak terukur karena kehendak
mereka yang sehat dan roh mereka yang bersih untuk Allah, mendambakan kemanisan cinta ilahi.
Kesakitan dan siksaan yang mereka alami tidak terkatakan.

7
Stanza 2
Wahai para gembala
Kamu yang pergi mendaki bukit
Lewat kandang domba
Apabila engkau melihat
Dia yang sangat kucinta
Katakan pada-Nya aku sakit, menderita, dan hampir mati
Pada stanza ini jiwa memohon kepada para perantara untuk membawa kata-kata kesedihan
dan luka hatinya kepada-Nya. Ini adalah ciri khas orang yang jatuh cinta. Karena jiwa tidak dapat
berbicara dengan Sang Kekasih, maka ia melakukan sedapat mungkin yang terbaik yang bisa
dilakukannya. Jiwa ingin para perantara dapat menyampaikan perasaan-perasaannya, keluhannya,
dan segala rahasia hatinya kepada Sang Kekasih.

Wahai para gembala


Jiwa menyebut segala kerinduannya, afeksinya, dan keluhannya sebagai para gembala,
karena merekalah yang memberi makan jiwanya. Allah mengkomunikasikan diri-Nya sendiri
dengan memberikan jiwa padang rumput ilahi. Tanpa padang rumput ini komunikasi Allah menjadi
hampa/kering.

„Kau pergi“ menyatakan jiwa ingin pergi keluar melalui cinta yang murni, tidak dengan
seluruh afeksi atau hasrat, tetapi pergi kepada-Nya dengan cinta yang tulus dan murni.

Kamu yang pergi mendaki bukit lewat kandang domba


Jiwa menyebut para malaikat sebagai kandang domba. Melalui mereka, dari paduan suara ke
paduan suara para malaikat, doa dan rintihan jiwa sampai kepada Allah. Jiwa melambangkan Allah
dengan bukit, yang dapat melihat segala sesuatu dari ketinggian, termasuk paduan suara malaikat
dari berbagai tingkatan. Doa-doa kita naik kepada-Nya melalui para malaikat yang
mempersembahkan doa-doa kita kepada-Nya.
„Berkata malaikat Rafael, „Makanya, ketika engkau dan Sara berdoa maka ingatan akan doamu
itu kusampaikan ke hadapan kemuliaan Tuhan.“ (Tb. 12:12)

Para malaikat ini disebutnya juga sebagai gembala, yang tidak saja hanya menghantar pesan
Tuhan kepada kita, tetapi juga pesan kita kepada-Nya. Para malaikat ini memberi jiwa makanan
seperti layaknya seorang gembala yang baik, dengan inspirasi dan komunikasi yang manis dari
Allah. Para malaikat ini juga melindungi kita dari srigala yaitu si jahat.

Jiwa menantikan pertolongan dari para malaikat, dan mengharapkan para malaikat dapat
menjadi perantara dengan kekasihnya. Oleh karena itu, jiwa memohon,

Jika engkau melihat


Kalimat ini artinya, “jika karena keberuntunganku engkau mencapai hadirat-Nya sehingga
Ia melihat dan mendengarkanmu.”

8
Walaupun Allah mempunyai segala pengetahuan dan mengerti segala sesuatu, namun
dikatakan, ketika Ia mengobati kebutuhan kita saat itulah Ia melihat kita, dan ketika Ia
menjawab doa kita, saat itulah doa kita didengarkan.
Tidak semua kebutuhan dan permohonan kita mencapai saat Tuhan sedang mendengarkan
dan mengabulkannya. Kita harus menunggu sampai mata-Nya tiba di saat yang cocok. Maka tepat
saat itulah biasa orang mengatakan Tuhan melihat dan mendengarkan kita. Ini tampak jelas
dalam Kel. Sesudah 400 tahun bangsa Israel menderita akibat penindasan Mesir, Tuhan berkata
kepada Musa,
Dan TUHAN berfirman: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di
tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-
pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka.” (Kel. 3:7)

Tuhan mengatakan “Aku telah memperhatikan, mendengar,..” padahal sebetulnya Ia selalu


mendengar dan memperhatikan.

St. Gabriel juga mengatakan kepada Zakharia, bahwa Tuhan telah mendengarkan doanya
dan akan menganugerahinya anak. Padahal sesungguhnya Allah selalu mendengar doa Zakharia
selama bertahun-tahun.
Setiap jiwa harus mengerti bahwa walaupun Allah tidak segera menjawab doa-doa mereka,
tetapi Ia tidak akan terlambat untuk menjawab tepat pada waktunya, asal jiwa tidak putus asa
moemohon pada-Nya.
Maksud jiwa mengatakan „Apabila engkau melihat“, adalah bila tiba waktunya permohonan
jiwa didengar oleh:

Dia yang sangat kucinta


Jiwa mencintai Dia lebih dari segalanya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mengancamnya
untuk berhenti bekerja melayani-Nya dan menderita demi cinta. Tak heran jiwa menyuarakan
seluruh cintanya dengan berkata,

Aku sakit, menderita, dan hampir mati


Jiwa mengungkapkan 3 hal kebutuhannya, sakit, menderita, dan hampir mati. Jiwa yang
sungguh mencintai Allah biasanya menderita akibat ketidakhadiran-Nya dalam 3 jalan, yaitu
pikiran, kehendak, dan ingatan.
Jiwa berkata ia sakit melalui pikirannya karena ia tidak dapat melihat Allah, yang menjadi
kesehatan budi pikirannya.

Jiwa mengeluh menderita dalam kehendak karena jiwa tidak memiliki-Nya yang diperlukan
menjadi kesegaran dan kesukaan kehendak-Nya.
Jiwa juga berkata ia hampir mati melalui ingatannya karena dalam mengingat hal itu jiwa
kekurangan segala sesuatu baik dari pikiran (melihat Allah) dan kesukaan kehendak (dengan
memiliki Allah). Maka di tengah bahaya dan kedosaan-kedosaan dunia, tanpa Dia selamanya, jiwa
seolah-olah sudah mati. Bagi jiwa, “Dialah kehidupanku” sebagaimana yang diucapkan Musa.
“....dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab
hal itu berarti hidupmu...” (Kel. 30:20)

9
Yeremia juga mengindikasikan ada 3 jenis kebutuhan dalam ratapan, “Ingatlah akan
sengsaraku, dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”
Kesengsaraan berkaitan dengan akal budi/pikiran, karena pikiranlah yang ingin mencapai
kebijaksanaan dari Sang Putera Allah,
“Sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan.” (Kol. 2:3)

Pengembaraan atau kepahitan berkaitan dengan kehendak, karena kehendak menginginkan


kemanisan untuk memiliki Allah. Namun, karena hasrat tidak terpenuhi, kehendak tinggal dalam
kepahitan. Kepahitan ini dimengerti secara rohani dalam wahyu ketika malaikat menyuruh Yohanes
makan gulungan kitab, membuat perut terasa pahit. (Why. 10:10)

10
Stanza 3
Mencari kekasihku,
aku naik gunung, menyusur pantai
bunga tidak kupetik
hewan buas tidak kutakuti
puri dan batas tidak mencegah aku

Jiwa sadar bahwa pandangan dan doanya, juga para perantara yang dibicarakannya di Stanza
2, tidak dapat memuaskannya untuk menemui Sang Kekasih. Karena kerinduannya untuk berjumpa
dengan-Nya otentik, dan cintanya sangat dalam, ia tidak mau meninggalkan segala kemungkinan
yang dapat membuatnya berhasil menemui-Nya. Jiwa yang amat mencintai Allah rela melakukan
apa saja agar dapat berjumpa dengan-Nya. Namun, walaupun ia telah melakukan segala sesuatu,
hatinya belum juga puas dan bahkan merasa belum melakukan apa-apa.

Jiwa rindu untuk mencari Dia lewat usaha keras dan ia menggambarkan metode usahanya
untuk menggapai Dia. Ia harus berlatih dalam kebajikan dan menggabungkan latihan rohani baik
aktif maupun kontemplatif. Akibatnya, jiwa tidak ada toleransi terhadap kesenangan maupun
kenyamanan, dan terhadap kekuatan dan jerat ketiga musuhnya, yaitu dunia, daging, dan setan.

Mencari kekasihku
Ditegaskan di sini bahwa untuk menggapai Sang Kekasih, tidak cukup hanya berdoa dengan
hati dan lidah, serta menerima kebaikan diri lainnya. Akan tetapi, bersama dengan itu jiwa juga
harus berjuang keras. Allah biasanya menghargai usaha setiap orang. “Carilah, maka kamu akan
mendapat,” (Luk. 11:9) Maka jiwa memutuskan untuk pergi mencari-Nya di jalan yang telah
disebutkan, mencari Dia melalui usaha yang membuat jiwa tidak dapat tinggal tanpa menemukan-
Nya.

Ada banyak kerinduan yang oleh Allah dipandang tidak lebih dari sekedar kata-kata, itu pun
kata-kata kosong yang diucapkan dengan jelek. Kerinduan mereka tidaklah cukup dalam untuk
dapat membuat diri mereka berarti. Beberapa orang bahkan tidak mau meninggalkan kegemaran-
kegemaran lamanya. Dengan demikian, jiwa mereka lebih-lebih tidak mendapatkan kesukaan ilahi
pada bibir dan hati mereka. Mereka juga bahkan tidak mau mengambil langkah untuk mematikan
diri sendiri dan kehilangan kepuasan-kepuasan, kenyamanan, dan hasrat-hasrat tidak berguna.
Akibatnya, walaupun mereka mencari Allah, mereka tidak akan menemukan-Nya, betapa pun
mereka menangis untuk itu. Sang mempelai rohani menangisi Dia, tetapi tidak juga menemukan Dia
sampai ia keluar untuk mencari-Nya. (Kid. 3:1-5)

Jiwa juga mencari Allah dan menginginkan kepuasan dan ketenangannya sendiri, mencari
Allah di malam hari sehingga tidak menemukan-Nya. Jiwa yang mencari Dia lewat latihan dan
perbuatan-perbuatan kebajikan, bangun dari tidurnya yang merupakan tempat kenyamanannya,
mencari Dia dari hari ke hari hingga akhirnya menemukan-Nya. Mempelai Pria mengatakan kepada
jiwa,
“Kebijaksanaan bersinar dan tak dapat layu, mudah dipandang oleh yang kasih kepadanya, dan
ditemukan oleh mereka yang mencarinya. Ia mendahului memperkenalkan diri kepada yang ingin
kepadanya. Barangsiapa pagi-pagi bangun demi kebijaksanaan tidak perlu bersusah payah, sebab
ditemukannya duduk di dekat pintu.” (Keb. 6:12-14)

11
Ayat-ayat ini hendak menunjukkan bahwa jika jiwa mau beranjak dari rumah kehendak
pribadinya, tempat tidur kepuasannya sendiri, ia akan berjumpa dengan kebijaksanaan ilahi, Putera
Allah, pasangan hidupnya.

Aku naik gunung, menyusuri pantai


Gunung yang tinggi melambangkan kebajikan. Pertama karena tingginya, kedua karena
kesulitan dan tenaga yang dibutuhkan untuk mendakinya. Ia berkata akan melatih hidup
kontemplatif dengan kebajikan-kebajikan ini.
Pantai yang rendah melambangkan penyangkalan diri (mematikan indera-indera), silih, latihan
rohani. Ia berkata ia akan melatih hidup aktif dan kontemplatif bersama-sama. Untuk mencari
Allah kedua hal ini dibutuhkan.
Singkatnya, maksud dari kalimat di atas adalah, “Mencari Kekasih dengan latihan kebajikan-
kebajikan dan merendahkan diri dengan penyangkalan diri dan latihan-latihan kerendahan hati.”

Bunga tidak kupetik


Untuk mencari Allah dibutuhkan hati yang murni, kuat, dan bebas dari segala yang jahat dan
barang-barang yang tidak murni. Ia berkata tidak akan memetik bunga sepanjang jalan. Bunga
adalah segala kesenangan, kepuasan, dan kenikmatan yang ditawarkan dunia dan yang akan
menghambatnya jika ia memetik dan mengumpulkan bunga-bunga itu.
Ada 3 jenis “bunga” yang dapat memenuhi hati sehingga menghambat kemurnian hati yang
dibutuhkan untuk memasuki jalan yang sempit menuju Kristus. Ketiga “bunga” itu adalah:
❑ Hal-hal yang fana
❑ Indera-indera
❑ Rohani
Oleh karena itu, ia berkata „Aku tidak akan memberikan hatiku pada kekayaan dan barang-barang
yang ditawarkan dunia, juga tidak ada toleransi terhadap kenikmatan dan kesenangan daging, juga
tidak akan saya perhatikan kepuasan dan penghiburan rohani yang dapat menghambat saya dalam
mencari Sang Kekasih di gunung kebajikan dan latihan-latihan rohani.“

Perlu diperhatikan tidak hanya barang-barang sementara dan kenikmatan badani yang
merintangi jalan menuju Allah, namun juga penghiburan rohani akan menjadi rintangan menuju
salib Kristus jika kita lekat. Mereka yang ingin maju tidak boleh memetik dan mengumpulkan
bunga-bunga ini. Dan lebih dari itu, dengan penuh semangat ia harus berani berkata,

hewan buas tidak kutakuti, puri dan batas tidak mencegah aku
Ada tiga musuh utama jiwa, yaitu:
❑ Dunia: hewan buas
❑ Setan: puri/benteng
❑ Daging: batas-batas/perbatasan

12
Dunia

Dunia dilambangkan binatang buas karena dunia bagaikan binatang buas yang menakuti-
nakuti jiwa yang melangkah menuju Allah. Dunia menakut-nakuti dengan 3 cara:
Yang pertama dunia akan membuat jiwa berpikir bahwa ia harus hidup tanpa kesenangan dan
kehilangan semua teman-temannya, reputasi, kepentingan, dan bahkan hartanya.

Kedua lewat binatang buas lainnya, yang tidak kurang ganasnya, membuat jiwa kuatir
bagaimana ia harus bisa bertahan dalam kekurangannya yang permanen terhadap segala kepuasan
dan kesenangan dunia serta segala kenikmatannya.

Yang ketiga lebih buruk, dunia membuat jiwa berpikir bahwa lidahnya sendiri akan bersuara
melawan dia, dan mencemooh dia. Akan ada banyak komentar dan cemooh yang membuat dia
berpikir dirinya tidaklah berharga.
Ketakutan-ketakutan ini dihadapkan pada jiwa, yang tidak saja menjadi kesulitan bagi jiwa
untuk bertekun melawan binatang-binatang buas ini, tetapi bahkan rasanya untuk berlayar di jalan
ini pun menjadi sulit sekali.
Sementara itu, jiwa juga masih harus menghadapi binatang-binatang buas lainnya, yang lebih
rohani sifatnya, seperti kesulitan, godaan, berbagai macam pencobaan. Semua ini harus dilewati
oleh jiwa. Tuhan mengirim semua ini kepada mereka yang ingin Ia tingkatkan kesempurnaannya,
untuk menempa mereka seperti emas dalam api.
Jiwa yang sungguh mengasihi, menghargai kekasihnya di atas segala sesuatu, percaya pada
kasih-Nya dan persahabatan-Nya. Oleh karena itu, tidaklah sulit bagi dia untuk berkata, “Hewan
buas tidak kutakuti, puri dan batas tidak mencegah aku.”

Setan
Jiwa menyebut setan sebagai musuhnya kedua, dilambangkan dengan puri-puri (benteng)
karena setan selalu berusaha keras mengintai jiwa di jalannya. Selain itu karena godaan mereka
lebih kuat dan kebuasan mereka lebih menakjubkan daripada dunia dan daging. Dan akhirnya,
dilambangkan demikian karena setan senantiasa memperkuat dirinya dengan dua musuh lainnya,
yaitu dunia dan daging untuk melancarkan peperangan yang tangguh.

Daud mengatakan setan ini bagaikan memakan habis manusia seperti makan roti. (Mz. 53:5b)
Dalam komentarnya Ayub mengatakan setan tidak ada taranya di atas bumi dan tidak mengenal
takut. (Ay. 41:24) Oleh karena itu, tidak ada kekuatan manusia di dunia ini yang dapat
mengalahkan dia. Hanya kekuatan ilahi yang bisa menandinginya, dan hanya cahaya ilahi yang dapat
menyingkapkan kegelapannya.
Seseorang yang ingin mengalahkan kekuatan setan tidak akan mampu tanpa doa, dan
kelicikannya tidak akan kita mengerti jika tanpa penyangkalan diri dan kerendahan hati.
“Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu
muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan
pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang
gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Ef. 6:11-12)

Darah yang dimaksudkannya adalah dunia. Baju zirah ilahi merupakan doa dan salib Kristus,
yang kita temukan dalam kerendahan hati dan penyangkalan diri sebagaimana yang telah
disebutkan.

13
Daging

Jiwa meneguhkan dirinya bahwa ia akan melewati batas-batas, merujuk pemberontakan


alami daging melawan roh.
“Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan
keinginan daging” (Gal. 5:17)

Keinginan daging melawan Roh, sehingga daging membuat dirinya sebagai benteng
perbatasan untuk menghambat perjalanan rohani. Jiwa harus melalui benteng ini dengan
memecahkan kesulitan dan melepaskan dengan segenap hati semua keinginan inderawi dan afeksi
natural.
Kita dapat mengukur apakah hal-hal itu ada dalam diri kita, yaitu dengan melihat apakah jiwa
kita jadi terhambat oleh hal-hal tersebut sehingga tidak dapat pergi kepada hidup sejati dan
cahaya rohani. St. Paulus menjelaskan,
“Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan
perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” (Rm. 8:13)

Lewat stanza ini hendak diungkapkan, jiwa harus mencari Sang Kekasih lewat jalan yang
tidak lain terdiri dari:
❑ Keteguhan dan kebutalan tekad untuk berhenti/tidak memetik bunga-bunga
❑ Keberanian terhadap binatang-binatang buas
❑ Kekuatan melalui puri dan batas-batas
❑ Menapaki gunung dan pantai kebajikan

14
Stanza 4
Oh hutan dan belukar,
Tertanam oleh tangan kekasihku
Oh padang subur, hijau
Berwarna ragam bunga
Katakan padaku, lewatkan Dia di sini?

Jiwa mulai mengerti sikap apa yang diperlukan untuk memulai perjalanan ini, yaitu dengan
tidak lagi mengejar kesenangan dan kenikmatan, dan mengatasi godaan-godaan dan kesulitan-
kesulitan lewat ketabahan. Ini adalah latihan pengenalan diri, syarat pertama yang dibutuhkan
untuk lebih maju dalam pengenalan akan Allah. Sekarang dalam stanza ini, jiwa mulai berjalan
sepanjang jalan pengenalannya seraya memperhatikan alam ciptaan yang akan membimbingnya ke
dalam pengenalan akan Sang Pencipta, kekasihnya.

Dalam perjalanan rohani ini, memperhatikan alam adalah hal pertama yang harus dilakukan
setelah pengenalan diri. Dengan demikian jiwa akan semakin maju dalam pengenalan akan Allah
dengan mengamati kebesaran dan perwujudan kemuliaan-Nya dalam ciptaan sebagaimana yang
dikatakan St. Paulus,
“Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya,
dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak
dapat berdalih.” (Rm. 1:20)

Jiwa mengarahkan perhatiannya kepada ciptaan alam dan dalam stanza ini menanyakan
kepada mereka tentang kekasihnya. St. Agustinus mengatakan percakapan jiwa dengan alam
terjadi karena memikirkan Sang Pencipta yang lewat di balik alam tersebut.

Stanza ini mewakili meditasi pada unsur-unsur ciptaan yang berada di atas bumi, langit, dan
segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di dalamnya, juga pada roh-roh surgawi.

Oh hutan dan belukar


Jiwa memanggil unsur-unsur alam seperti bumi/tanah, air, udara, api, sebagai “hutan” karena
bagaikan hutan lebat mereka memenuhi ciptaan. Jiwa menyebut alam ciptaan sebagai “belukar”
karena jumlahnya yang besar dan masing-masing berbeda memadati setiap unsur. Di atas bumi tak
terhitung jumlah ragamnya binatang dan tumbuhan. Dalam air ada tak terhingga jenis ikan, dan di
udara ada begitu banyak burung. Dan unsur api bersamaan dengan lainnya menghidupkan dan
mengawetkan ciptaan-ciptaan ini.
Setiap jenis hewan hidup dalam habitatnya, ditempatkan dan diatur bagaikan hutan dan
wilayah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Sungguh, Allah memerintahkan demikian ketika
Ia menciptakan unsur-unsur ini. Ia menyuruh bumi untuk menghasilkan tanaman dan hewan, laut
dan air melahirkan ikan-ikan, dan Ia membuat udara sebagai tempat untuk burung-burung.
Melihat segala sesuatu terjadi sebagaimana yang diperintahkan-Nya, jiwa pun melanjutkan,

15
Tertanam oleh tangan kekasihku
Kalimat ini mengandung refleksi berikut: “hanya tangan Tuhan, kekasihnya, yang mampu
menciptakan begitu banyak keanekaragaman dan keindahan yang mengagungkan.” Jiwa dengan
penuh tekanan mengatakan, “tertanam oleh tangan kekasihku,” walaupun seringkali Allah berkarya
lewat tangan ciptaan-Nya, baik tangan manusia atau malaikat.

Allah tidak pernah menciptakan atau merawat alam ciptaan ini lewat tangan lain selain
tangan-Nya sendiri. Renungan terhadap alam ini, yang menunjukkan semua adalah hasil karya
Allah, membangkitkan jiwa untuk mencintai Allah dengan semakin kuat lagi. Maka jiwa pun
melanjutkan,

Oh padang subur, hijau


Kalimat ini merupakan hasil permenungan terhadap angkasa raya. Jiwa menyebut langit
sebagai padang subur dan hijau karena segala ciptaan yang ada di angkasa abadi, tidak lekang oleh
waktu. Di dalam ciptaan yang tampak tenang itu, justru terpancar keceriaan dan “keasyikan”.
Beraneka ragam bintang yang indah, juga planet-planet di seantero jagad, semuanya ini termasuk
dalam meditasinya.
Gereja juga sering memakai kata “hijau” untuk mengungkapkan hal-hal surgawi. Misalnya bila
mendoakan arwah, “Semoga Tuhan mengistirahatkan di tempat yang nyaman dan hijau.”

Berwarna ragam bunga


Bunga-bunga ini dimengerti jiwa sebagai para malaikat dan jiwa para kudus yang menghiasi
dan mempercantik surga bagai lapisan perak mahal pada jambangan bunga yang terbuat dari emas
halus.

Katakan padaku, lewatkah Dia di sini?


Pertanyaan ini merupakan refleksi dari yang sudah disebutkan di atas. Hal ini sama dengan
menyatakan, “Katakan padaku mengenai segala keindahan yang telah Ia ciptakan di dalam engkau.”

16
Stanza 5
Keelokan melimpah
Dilewati-Nya dengan cepat padang ini
Seraya menatapnya
Dan hanya karena itu
Ditinggalkan-Nya berhiaskan permai

Pada stanza ini alam menjawab jiwa. Sebagaimana dikatakan oleh St. Agustinus, alam
memberikan kesaksian kepaa jiwa akan kemuliaan dan kemahakuasaan Allah. Jiwa bermeditasi
alam, dan mendapatkan intinya dalam stanza ini, yaitu” Allah menciptakan segala sesuatunya luar
biasa secara bebas dan cepat. Dan Ia meninggalkan jejak-Nya di dalam setiap ciptaan-Nya yang
menunjukkan siapa Dia.
Ia tidak saja sekedar mencipta dari ketiadaan menjadi ada, tetapi juga menganugerahi
ciptaan-Nya dengan rahmat yang tidak terhingga, menjadikannya indah dan saling bergantung satu
sama lain. Semua ini dilakukan-Nya lewat kebijaksanaan-Nya, Firman-Nya, Putera-Nya yang
terkasih yang di dalam-Nya Ia menciptakan segala sesuatu.

Keelokan melimpah
Jiwa melihat betapa Allah melimpahkan anugerah yang tidak terhingga ke atas setiap
ciptaan. Jiwa menyebutnya keelokan karena ada begitu banyak keindahan dan rahmat dalam setiap
ciptaan. “melimpah” karena memenuhi dunia.

Dilewati-Nya cepat padang ini


Melewati padang artinya menciptakan unsur-unsur alam seperti bumi, udara, dan air, yang
dalam hal ini disebutnya padang. Jiwa melihat bahwa Allah berlalu seraya menaburkan ribuan
keelokan karena Ia menghiasi padang dengan segala ciptaan yang diperindah dengan segala
keelokan. Dalam hal ini, Ia menaburkan atas mereka ribuan rahmat seraya memberi mereka
kekuatan untuk berkembang dan lestari.
Jiwa mengatakan, “Ia lewat” karena seluruh alam bagaikan jejak Allah yang baru saja lalu.
Lewat alam, jiwa dapat melihat kemuliaan, keagungan, dan segala keilahian-Nya.
Jiwa berkata Allah lewat dengan cepat. Alam adalah pekerjaan Allah yang lebih ringan
sehingga digambarkan Allah berlalu dengan cepat. Karya Allah yang lebih besar, yang lebih
menampakkan Diri-Nya dan yang menarik lebih besar perhatian-Nya tidak lain adalah peristiwa
inkarnasi Sang Sabda, misteri iman kristiani. Dibandingkan dengan pekerjaan ini, pekerjaan Allah
lainnya seolah tampak dilakukan-Nya sambil lalu dengan cepat.

Seraya menatapnya, dan hanya karena itu, ditinggalkan-Nya berhiaskan permai


“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.” (Ibr. 1:3) Perlu diketahui bahwa
hanya lewat Putera-Nya yang merupakan gambar wujud-Nya, Allah melihat segala sesuatu dan
melimpahi seluruh alam ciptaan dengan karunia dan rahmat yang melengkapi dan menyempurnakan
mereka, sebagaimana yang dikatakan dalam Kej. 1:31

17
“Allah melihat segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”

Untuk melihat mereka sungguh amat baik, adalah dengan membuat mereka sungguh amat baik di
dalam Putera-Nya, Sang Sabda.

Bahkan lebih dari itu, dengan citra dari Putera-Nya sendiri, Allah melimpahi segala
keindahan-Nya dengan memberikan kepada manusia dan segala ciptaan rahmat-rahmat adikodrati.
Ini dilakukan-Nya ketika Yesus menjadi manusia yang mengangkat keberadaan manusia ke dalam
keelokan ilahi, dan dengan demikian seluruh alam pun mendapatkannya karena sebagai manusia,
Yesus menyatu dengan alam semesta.
“Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku." (Yoh. 12:32)

Di dalam pengangkatan segala makhluk ini, lewat inkarnasi Sang Putera dan lewat kemuliaan
kebangkitan Sang Putera, Allah Bapa tidak sekedar memperindah alam sebagian-sebagian, tetapi
lebih daripada itu, bisa dikatakan Allah Bapa menyelimuti seluruh alam dengan keindahan dan
martabat yang luhur.

18
Stanza 6
Siapakah yang kuasa menyembuhkan aku?
Sudilah kini menyerahkan diri
Jangan utus lagi
Bentara-Mu belaka
Mereka tidak mampu memberikanku
Apa yang aku rindukan

Oleh karena alam ciptaan memberi jiwa tanda-tanda Sang Kekasih dan menunjukkan dalam
mereka sendiri jejak-jejak keelokan dan keutamaan-Nya, cinta meningkat di dalam jiwa dan
akibatnya menjadi sedih karena ketidakhadiran-Nya. Ketika ia sadar bahwa tidak ada satu pun
yang dapat memulihkan luka cintanya kecuali kehadiran Sang Kekasih, ia mulai tidak percaya lagi
dengan segala obat lainnya. Lewat stanza ini jiwa memohon kehadiran Sang Kekasih.
Jiwa memohon agar tidak lagi memperoleh yang lain-lain. Ia tidak menginginkan sekedar
tanda-tanda Allah, atau komunikasi dan jejak-jejak keindahan-Nya, karena semua itu bukanlah
Allah sendiri, sehingga hanya membuat hatinya bertambah gelisah dan sakit, daripada memuaskan
keinginan dan kerinduannya. Hasratnya tidak akan pernah terpuaskan selain hanya dengan
pandangan dan kehadiran Sang Kekasih. Kerinduan inilah yang kemudian membuat berseru dengan
penuh cinta

Siapakah yang kuasa menyembuhkan aku?


Di antara segala kesenangan di dunia ini, kepuasan inderawi, kesukaan dan kemanisan roh,
tidak ada satu pun yang dapat menyembuhkan dan memuaskannya. Itulah sebabnya ia memohon,

Sudilah kini menyerahkan diri


Jiwa yang sungguh-sungguh mencintai, tidak akan dapat dipuaskan oleh apa pun hingga ia
sungguh-sungguh memiliki Allah. Segala macam hal lainnya, bukan sekedar tidak memuaskannya,
bahkan semakin meningkatkan kerinduannya untuk melihat Allah. Oleh sebab itu, setiap visiun
tentang Sang Kekasih, yang diperolehnya dari pengetahuannya atau perasaannya, atau dari
komunikasi apa pun, hanya merupakan utusan yang membawa kepada jiwa berita-berita tentang
Dia. Semua ini bagaikan remah-remah saja, yang justru membangkitkan dan meningkatkan nafsu
makan orang yang sangat lapar.
Pengetahuan apa pun tentang Allah yang bisa diperoleh dalam hidup ini, setinggi apa pun
pengenalan itu, tetap saja itu bukan pengetahuan yang sejati. Sebab sesungguhnya itu hanya
sebagian kecil saja dan sangat tipis. Mengenal Dia dalam hadirat-Nya dan keberadaan-Nya,
barulah itu pengenalan yang sejati. Itulah sebabnya jiwa tak terpuaskan oleh hal lain-lain dan
memohon

Jangan utus lagi, bentara-Mu belaka


Lewat kalimat ini jiwa hendak mengatakan, „Tak ingin aku mengenal-Mu demikian terbatas
lewat para utusan itu. Baik lewat pengetahuan maupun perasaan, yang memberiku tentang Engkau,
begitu jauh dan berbeda dari yang dirindukan jiwaku. Engkau tahu benar, Kekasihku, betapa

19
bentara-Mu itu hanya menambah sakit penderitaan karena ketidakhadiran-Mu. Lebih-lebih,
karena mereka membuka kembali luka ini dengan berita-berita mereka, dan membuat tampak
semakin tertunda lagi kedatangan-Mu. Sekarang ini, jangan Kau utus lagi bentara-Mu belaka, yaitu
pengenalan dan pengetahuan yang tipis akan Engkau. Sebab, jika hanya dengan itu aku sudah
dipuaskan, itu berarti aku tak terlalu mengenal-Mu dan mengasihi-Mu. Saat ini, cintaku yang besar
tak dapat lagi dipuaskan hanya dengan utusan-utusan-Mu. Sudilah Engkau menyerahkan diri. Ingin
kukatakan dengan lebih jelas, oh Tuhan dan Kekasihku, yang menjadi bagian dari jiwaku,
serahkanlah diri padaku seluruhnya. Apa yang kini tampak sedikit saja, singkapkanlah bagiku
seluruhnya. Dan apa yang dikomunikasikan lewat para perantara, komunikasikanlah kini diri-Mu
sendiri padaku. Dalam lawatan-Mu, ketika ada kesan sukacita karena memiliki-Mu, tiba-tiba semua
bagai olok-olok belaka, karena ketika jiwa mencoba memeriksa, didapati Engkau telah tiada,
tersembunyi. Sudilah menyerahkan diri, berikanlah diri-Mu seutuhnya kepada jiwa, dan jangan
utus lagi bentara-Mu belaka, karena

Mereka tidak mampu memberikanku, apa yang aku rindukan


Dengan kata lain, aku menginginkan-Mu sepenuhnya. Sementara para bentara itu tidak bisa
memberikanku Engkau sepenuhnya. Tidak satu hal pun di dunia dan di surga, yang mampu memberi
jiwa yang rindu memiliki Engkau suatu pengenalan yang sejati. Itu sebabnya, para utusan itu tidak
mempu memberikanku apa yang aku rindukan. Engkau sendirilah sebetulnya, pembawa pesan dan
pesan itu.”

20
Stanza 7
Semua yang lepas bebas
Menceritakan beribu keindahan
Sampai melukai lagi meninggalkan aku sekarat
Karena aku tinggal tak mengerti
apa yang mereka gagapkan

Dalam stanza sebelumnya, jiwa digambarkan sakit dan terluka karena cinta untuk Sang
Kekasih, yang dikenalnya lewat alam ciptaan-Nya yang irasional. Stanza ini bermaksud mengatakan
bahwa luka cinta karena pengenalan lewat ciptaan yang rasional (memiliki akal budi) seperti
manusia dan para malaikat, ciptaan yang lebih mulia dari lainnya. Jiwa mengatakan bahwa ia sedang
menderita karena alam menyingkapkan tentang Dia secara luas sekali tanpa membuatnya dapat
menemukan Dia. Semuanya itu membuatnya hampir mati karena cinta.

Berangkat dari semua ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada tiga bentuk penderitaan
untuk Sang Kekasih, berdasarkan tiga bentuk pengenalan tentang Dia yang bisa dimiliki oleh jiwa.
❑ Yang pertama disebut luka (ferita, wound). Ini yang paling dangkal dan paling mudah
disembuhkan dengan cepat, seperti sebuah luka pada umumnya. Sebab luka lahir dari
pengetahuan bahwa jiwa menerima dari ciptaan, karya-karya Allah yang rendah. Mengenai
luka ini, yang bisa juga disebut sakit, kita temukan dalam Kidung Agung untuk puteri-puteri
Yerusalem yang berarti alam ciptaan.
„Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem: bila kamu menemukan kekasihku, apakah
yang akan kamu katakan kepadanya? Katakanlah, bahwa sakit asmara aku!“ (Kid. 5:8)

❑ Yang kedua, kita sebut luka yang lebih parah (piaga, sore). Luka yang lebih parah ini
menyakiti jiwa lebih parah daripada luka yang pertama. Luka yang pertama kini telah berubah
menjadi luka yang lebih parah, sehingga jiwa sungguh-sungguh merasa terluka karena cinta.
Luka yang lebih parah ini terbentuk dalam jiwa lewat pengetahuan akan karya inkarnasi Sang
Sabda dan misteri iman. Ini merupakan karya-karya besar Allah, yang mengungkapkan cinta-
Nya yang jauh lebih besar daripada yang bisa ditampakkan oleh alam ciptaan. Pengetahuan ini
menimbulkan Luka yang lebih parah, bagaikan luka yang terbuka dan lama. Mengenai luka jenis
ini, Sang Kekasih berkata kepada jiwa dalam Kidung Agung
„Engkau mendebarkan hatiku, dinda, pengantinku, engkau mendebarkan hati dengan
satu kejapan mata, dengan seuntai kalung dari perhiasan lehermu.“ (Kid. 4:9)

❑ Yang ketiga merupakan suatu bentuk penderitaan karena cinta yang hampir sama dengan mati
(sekarat), bagaikan sebuah luka yang sulit terobati dalam jiwa. Akhirnya seluruhnya berubah
menjadi luka yang sangat menyakitkan dan membuatnya sekarat. Jiwa hidup dalam keadaan
hampir mati hingga akhirnya cinta membunuhnya, membuatnya hidup dalam kehidupan
cintakasih, dan mentransformasikannya dalam cinta. Kematian cinta ini datang ke dalam jiwa
lewat sentuhan pengenalan yang mendalam dan mulia akan Allah, yaitu –suatu ketidaktahuan-.
Dalam stanza ini dikatakan „mereka“ menggagap. Sentuhan ini tidak terjadi terus menerus,
karena jiwa bisa terpisah dari tubuhnya, namun berlangsung singkat sekali. Dalam hal ini, jiwa
selalu selalu berada di titik sekarat, dan semakin ia sekarat semakin ia melihat bahwa ia
belum juga mati karena cinta. Ini disebut “cinta yang tak sabar”. Hal semacam ini bisa kita
temukan dalam kisah Rahel

21
“Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, cemburulah ia
kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: "Berikanlah kepadaku anak; kalau
tidak, aku akan mati." (Kej. 30:1)

Menurut stanza ini, kedua bentuk penderitaan cinta yaitu luka dan sekarat, dihasilkan oleh
ciptaan rasional. Luka parah, terjadi karena rasa syukur yang tak terhingga bagi Sang Kekasih
atas misteri dan kebijaksanaan ilahi yang diajarkan oleh iman. Sedangkan sekarat, sebagaimana
yang dikatakan dalam stanza, “mereka menggagap”, yaitu perasaan dan pikiran ilahi yang seringkali
dirasakan jiwa sedang bercerita tentang Allah. Itulah sebabnya ia berkata,

Semua yang lepas bebas


Yang dimaksudkan di sini adalah para ciptaan rasional sepeti malaikat dan manusia, karena
hanya merekalah dari segala ciptaan, yang menyembah dan menaruh perhatian kepada-Nya.
Semuanya memperhatikan Dia, mengkontemplasikan di surga dan menikmati-Nya sebagaimana para
malaikat, sementara yang lainnya mencintai dan merindukan-Nya dari atas bumi, sebagaimana para
manusia.
Lepas bebas berasal dari kata latin “vacant” yang artinya kosong. Mis: vacant sede artinya
tahta kosong. Dari sini pula lahir istilah terkenal bagi para karmelit, yaitu Vacare Deo, yang
artinya mengosongkan diri untuk hidup di hadirat Allah. Jadi semua yang lepas bebas di sini adalah
mereka yang telah mengosongkan dirinya dan hidup melulu bagi Allah.
Melalui ciptaan rasional ini jiwa mengenal Allah lebih jelas, baik karena kemuliaannya yang
melebihi segala ciptaan lainnya, juga karena yang diajarkan mereka tentang Allah. Para malaikat
mengajarkan dari dalam lewat inspirasi manusia, sedangkan manusia mengajarkan lewat kebenaran
Kitab Suci. Bisa kotbah, kaset pengajaran, buku-buku, dsb.

Menceritakan beribu keindahan


Lewat kalimat ini jiwa berkata, “Mereka membuatku menyadari keindahan rahmat-Mu dan
kemaharahiman-Mu lewat karya-karya inkarnasi dan kebenaran iman. Semua itu bercerita banyak
kepadaku dan membuatku selalu terarah kepada-Mu. Semakin mereka bercerita tentang Engkau,
semakin besar rasa syukur yang mereka ungkapkan tentang Engkau.”

Sampai melukai lagi


Jiwa mengeluh, “Semakin para malaikat menginspirasikanku tentang Engkau, dan semakin
orang-orang mengajarkanku tentang-Mu, semakin mereka membuatku jatuh cinta. Mereka semua
melukaiku dalam cinta.”

Karena aku tinggal tak mengerti, apa yang mereka gagapkan


“Semua ciptaan itu melukaiku dengan nyanyian syukur mereka yang tak henti, dan
membuatku mengerti, untuk tetap tinggal “tidak mengerti.” Suatu yang tak terucapkan, yang tak
terungkapkan. Suatu jejak mulia Allah yang tersingkap bagi jiwa, namun belum tersibak total
seluruhnya. Sebuah pengenalan yang luhur tentang Allah yang tidak dapat dilukiskan oleh jiwa dan
jiwa menyebutnya “tinggal tidak mengerti”. Jika yang kumengerti saja sudah membuatku terluka
karena cinta, lebih-lebih yang melampaui pengertian ini, kemuliaan-Nya akan membunuhku.”

22
Hal ini biasanya terjadi bagi jiwa yang sudah mulai berkembang. Allah berkenan agar jiwa
tersebut dapat mengenal dan merasakan lebih baik, kemuliaan dan kebesaran-Nya, melalui apa
yang mereka rasakan, lihat, dan inginkan. Dalam pengalaman ilahi ini, jiwa merasakan kemuliaan
Allah yang besar dan melampaui pengertian. Pengenalan dan pengalaman ilahi ini begitu dalamnya
sehingga tak dapat dimengerti seluruhnya. Ini adalah suatu bentuk pengenalan yang sangat luhur.
Salah satu anugerah Allah bagi kita yang fana dalam kehidupan ini adalah mengenal dan mengalami
Dia dengan suatu cara yang amat mulia, namun betapa pun juga kita menyadari dengan jelas bahwa
kita tidak akan pernah dapat mengenal dan mengalami Dia sepenuhnya.

Hal ini sama dengan mereka yang memandang Allah di surga. Mereka yang lebih mengenal-
Nya, mengerti jelas bahwa Dia tak dapat dimengerti sepenuhnya. Sebaliknya mereka yang
memandang sedikit, tidak melihat ada jarak yang jauh.
Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah mengalami-Nya, tidak akan pernah dapat
mengenal-Nya. Sebaliknya jiwa yang mengalami Allah, melihat adanya jarak yang besar untuk
dapat sampai kepada pengertian yang penuh tentang-Nya. Jiwa menyebutnya “tinggal tak
mengerti” sebab sebagaimana Ia tak dapat dimengerti, tak dapat pula Ia dialami, sekalipun dapat
dirasakan. Itu sebabnya jiwa mengatakan ciptaan menggagap, terutama karena mereka tidak
mampu untuk mengerti Dia sejelas-jelasnya. Menggagap, ciri khas anak kecil, menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengalami Dia dalam cara yang bisa dimengerti, yaitu yang bisa dijelaskan
dengan kata-kata.
Demikian pula ciptaan lainnya memberikan kepada jiwa penerangan seperti yang diuraikan di
atas, walaupun tidak selalu semulia itu (yang di atas). Tampak bahwa penerangan-penerangan ini
membuat jiwa semakin mengenal Sang Kekasih, namun tetap saja tidak seluruhnya. Betapa pun
jiwa ingin mengenal namun tetap tak mampu. Ini semua merupakan “tinggal tak mengerti/mereka
menggagap.” Itulah sebabnya jiwa mengeluh,

23
Stanza 8
Bagaimanakah kau dapat tahan
Oh hidup yang tak berada di mana engkau hidup
Dan dibawa mendekati ajal
Oleh panah-panah yang kauterima

Jiwa merasa sekarat karena cinta, namun belum juga mati untuk dapat menikmati kebebasan
dalam cinta. Ia mengeluh karena terpaksa masih harus hidup dalam tubuhnya yang fana, yang
menunda kehidupan bakanya.

Stanza ini jadi, berbicara tentang kehidupan jiwa dalam tubuh yang fana, sebagai penyebab
penderitaannya. “Kehidupan jiwaku, bagaimana engkau dapat bertahan dalam kehidupan daging ini,
yang bagimu adalah kematian dan pencabutan dari kehidupan rohani ilahi? Padahal demi inti, cinta,
dan kerinduan, engkau sungguh-sungguh hidup, lebih daripada di dalam tubuh?”
“Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm. 7:24)

“Bagaimana engkau dapat tinggal di dalam tubuh yang begitu lemah, tak cukupkah ia memberimu
luka-luka cinta yang kauterima lewat kebesaran komunikasi Sang Kekasih? Ia (tubuh) telah
meninggalkan luka cinta yang sangat dalam bagimu. Apa yang ia (tubuh) rasakan dan ia mengerti,
bagimu (jiwa) hanyalah sentuhan dan luka-luka cinta yang mematikan.”

Bagaimanakah kau dapat tahan


Untuk mengerti kalimat ini, perlu diketahui bahwa jiwa jauh lebih hidup di saat ia mencintai
daripada sekedar menjiwai tubuh, sebab ia tak mempunyai kehidupan di dalam tubuh, tetapi ialah
yang mengkomunikasikan kepada tubuh, dan hidup demi cinta di dalam Dia yang dicintainya.

Jiwa merasa sekarat karena cinta namun belum juga mati untuk menikmati kebebasan dalam
cinta. Ia mengeluh karena masih harus hidup dalam tubuhnya yang fana dan menunda kehidupannya
yang baka. “Jiwaku, bagaimanakah engkau dapat hidup dalam daging yang berarti adalah
kematian?” (bdk. Rm. 7:24) Jiwa jauh lebih hidup di saat ia mencintai daripada sekedar menjiwai
tubuh, ia hidup demi cinta di dalam Dia yang dicintainya.

Bila Tuhan memberikan kepada jiwa-jiwa tertentu suatu pengenalan rohani maka Tuhan juga
memberikan terang sehingga ia mempunyai pengertian yang lebih mendalam tentang berbagai
ciptaan. Demikian pula ciptaan-ciptaan itu memberikan kepada jiwa pengertian baru tentang Allah.
Sebetulnya Allah yang memberikan lewat ciptaan itu. Mis lewat sekuntum bunga jelek, atau semut
kecil, orang bisa melihat keluhuran dan kuasa Tuhan.
Zaman dulu banyak pertapa yang tinggal dalam kemiskinan dan sebagainya, mereka masih
tahan. Dan masih banyak pula kelompok dalam Gereja yang seumur hidup tidak pernah
meninggalkan biaranya. Ini bisa tahan karena mengalami kasih Tuhan. Biara-biara menjadi penjara,
tapi dengan pengalaman kasih Allah ini, penjara menjadi surga. Semua tergantung bagaimana
imannya menghayati semuanya itu.

Bagaimana kau dapat tahan oh hidup yang tak berada di mana kau hidup
Harus kita ketahui bahwa jiwa hidup di mana ia mencintai. Kalau ia mencintai Tuhan, maka ia
akan hidup dalam Tuhan. Jadi sebetulnya jiwa tidak hidup dalam tubuhnya, tetapi lebih dalam

24
objek yang dicintai. Hatinya, kerinduannya, semuanya itu berada dalam yang dicintainya. Jadi jiwa
yang cinta Tuhan, hidup di dalam Tuhan, secara radikal dan alami terpusat pada Tuhan, dan apa
pun yang dilakukan semua demi Tuhan. Kis. 17:28: di dalam dia kita hidup, bergerak, dan ada. “Di
mana hartamu, di situ hatimu,” sabda Yesus.
“Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada…” (Kis. 17:28)

Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. (Mat. 6:21)

Kita bisa menguji hati kita, apa atau siapa yang menjadi harta kita. Kalau misalnya selalu
ingat anjing kecil, bisa-bisa itu jadi tuhannya. Sebaliknya kalau hati kita sungguh-sungguh
mencintai Tuhan, kita akan lebih sering ingat kepada Tuhan. Kalau misalnya kita selalu ingat
kepada musuh/orang yang dibenci, artinya kita dikuasainya. Apa yang sering timbul di hati, dalam
keinginan, itulah harta kita.

Dan dibawa mendekati ajal, oleh panah-panah yang kauterima


“Bagaimana engkau masih bisa tahan hidup dalam tubuh ini?” Karena sentuhan-sentuhan
kasih yang dilambangkan panah, sebetulnya sudah cukup untuk membuat orang keluar dari dirinya
sendiri, bahkan bisa membuat jiwa keluar dari tubuh jika Tuhan tidak memberikan rahmat khusus.
Bagi orang-orang tertentu bisa mengalami ekstase, yang tidak lain merupakan sentuhan rahmat
Allah, di lain pihak sekaligus juga menjadi tanda kelemahan manusia yang tidak tahan akan
sentuhan Allah. Dalam pengalaman kontemporer, bisa kita lihat orang-orang yang resting in the
spirit, tapi ini tidak tepat sama seperti ekstase yang diceritakan para penulis rohani. Kelasnya
sedikit lebih rendah.

25
Stanza 9
Karena engkau telah melukai hati ini
Mengapa tidak engkau sembuhkan sekali
Mengapa setelah mencurinya dariku
Kautinggalkan begitu saja
dan tidak kaubawa
Apa yang telah kaucuri

Bahasa ini hanya bisa dimengerti jika orang telah sedikit banyak mengalami sentuhan
cintakasih Allah. Seperti seekor rusa, yang terpanah dengan panah beracun, tidak akan bisa
istirahat sebelum menghilangkan pengaruh derita panah itu. Ia berlari, berusaha berendam di air,
berguling di rumput, dan sebagainya. Demikian pula jiwa yang terpanah oleh cintakasih Allah,
seperti rusa, yang tak bisa tidur, duduk, gelisah terus sepanjang hari. Jiwa lebih senang dibunuh
dengan kasih, yang artinya diangkat dari tubuh ini sehingga dipuaskan karena persatuan dengan
Sang Kekasih.
Maka keluhan jiwa di sini lebih ditekankan kepada, “Karena Engkau sudah melukai aku,
sembuhkanlah secara sempurna.” Luka-luka cinta itu begitu manisnya dan nikmatnya, sehingga bila
tidak membawa kepada kematian, tidak bisa dibebaskan. Jiwa bertanya mengapa hanya melukai
tidak sekalian saja membunuhnya.
Dalam stanza ini jiwa mengeluh kepada Sang Kekasih. “Cinta tak sabar” yang ada dalam
hatinya membuatnya gelisah dan terbakar oleh kerinduan dalam yang tak terobati sampai ia
menemukan yang didambakannya.

Menyadari bahwa dirinya terluka dan sendirian tanpa obat apa pun dari Sang Kekasih yang
telah melukai dia untuk menyembuhkannya, jiwa pun bertanya mengapa Ia tidak
menyembuhkannya dengan visiun akan kehadiran-Nya karena Ia telah melukai jiwa lewat
pengetahuan akan Dia? Jiwa juga bertanya karena Ia telah mencuri hatinya lewat cinta yang telah
menawan hatinya, dan membuatnya seolah tak bertenaga lagi, mengapa Ia meninggalkannya lemas
begitu saja? (Karena jiwa merasa sudah tak memiliki hatinya lagi karena sudah diberikan
sepenuhnya kepada Sang Kekasih) Mengapa Sang Kekasih tidak membawa jiwa ke tempat-Nya
sendiri sehingga terjadilah transformasi cintakasih dalam kemuliaan?

Kematian para kudus tidak disebabkan karena defeksi pada tubuh, tetapi karena direnggut
sentuhan cinta yang besar. Jika orang sudah tiba waktunya untuk dibawa ke hadirat Allah,
sentuhan cintakasih ini ditambah “dosisnya”. Jadi para kudus ini mati karena “overdosis
cintakasih.” Kematian orang bijak sangat berharga di mata Tuhan.

Karena Engkau telah melukai hati ini, mengapa tak Kausembuhkan sekali
Keluhan jiwa yang terutama dalam hal ini bukanlah mengapa Sang Kekasih telah mencuri
hatinya, -karena semakin jiwa dilukai oleh cinta semakin ia merasakan kemanisannya-, melainkan
lebih-lebih adalah mengapa Ia tak membunuhnya sekali. Luka ini begitu manis dan nikmat sehingga
selamanya jiwa tak dapat terpuaskan sebelum mencapai kematian. Kenikmatan luka cinta ini
membuat jiwa ingin agar ia dilukai secara lebih lagi hingga akhirnya ia mati karena luka cinta yang
tak tertanggungkan. Itulah sebabnya jiwa mengeluh, “Karena Engkau telah melukai hati ini,
mengapa tak Kausembuhkan sekali?”

26
Ini sama dengan hendak mengatakan, “Mengapa setelah Engkau melukai hati ini hingga
terluka parah, tak Kausembuhkan dengan membuatnya mati sama sekali karena cinta? Karena
Engkau telah menyebabkannya terluka parah karena sakit cinta, sehatkanlah juga dengan
membuatnya mati karena cinta. Sebagai akibatnya, hati yang terluka akibat ketidakhadiran-Mu
akan pulih karena kemanisan dan kemuliaan kehadiran-Mu. Jiwa menambahkan,

Mengapa setelah mencurinya dariku, Kautinggalkan begitu saja


Mencuri berarti mengambil dari pemiliknya. Jiwa mengeluh terhadap Sang Kekasih yang
telah mencuri hatinya, mengapa setelah itu ditinggalkan, bukan dibawa pergi sekalian, ke surga
bersama-Nya. Ini karena memang belum waktunya.
Jiwa yang sedang jatuh cinta dikatakan hatinya tercuri oleh objek yang dicintainya. Ini
berarti hatinya keluar dari dirinya sendiri dan tinggal dalam objek yang dicintainya. Hatinya dan
cintanya bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk yang dicintainya. Dari sini, jiwa dapat
melihat apakah ia sungguh-sungguh mencintai Allah dengan murni atau tidak. Jika jiwa mencintai
Dia, hati dan cintanya tidak akan terpuaskan dengan mengejar kepentingan sendiri, tetapi jika
dapat menyenangkan Tuhan dan memberinya segala hormat dan kemuliaan. Orang yang semakin
mencintai dirinya sendiri semakin kurang mencintai Allah.

Jiwa yang hatinya sungguh-sungguh tercuri oleh Allah akan tampak dari dua tanda khasnya.
Tanda pertama yaitu jiwa merindukan Allah. Sedangkan yang kedua jiwa tak menemukan kepuasan
apa pun di luar Allah. Alasannya adalah karena hati tak menemukan damai dan istirahat sebelum
memiliki Dia sepenuhnya. Hal ini akhirnya membuat jiwa terbeban karena kuatir masih bisa
kehilangan Dia. Sebelum memiliki Sang Kekasih sepenuhnya, jiwa merasakan adanya suatu
kekosongan yang perlu diisi, bagai orang lapar yang membutuhkan makanan, atau bagai orang sakit
yang mendambakan kesehatan. „Mengapa Kautinggalkan begitu saja menunjukkan jiwa yang merasa
hampa, lapar, sendirian, terluka dan sakit karena cinta.

Semua ini adalah suatu perjalanan jiwa yang mulai jatuh cinta dan kita lihat keindahan cinta
itu, bahwa akhirnya segala sesuatu tidak ada artinya tanpa cintakasih. Oleh sebab itu, seseorang
yang mempunyai Allah penuh cinta, memiliki segala sesuatu. Apa gunanya memiliki semua tetapi
tidak punya cintakasih? Ayub: „Aku lahir telanjang dan aku akan kembali juga dengan telanjang.“
Lahir dan mati tidak membawa apa-apa. Kecuali satu, yaitu cintakasih kepada Tuhan. Segala
sesuatu sia-sia kecuali mencintai Allah dan melayani Dia, itu satu-satunya yang berharga baik di
dunia maupun di surga kelak. Yang lainnya hanyalah sarana yang diberikan Tuhan untuk semakin
mengasihi dan melayani Dia. Tujuan kita adalah persatuan dengan Allah dalam cintakasih supaya
kita perlahan-lahan diubah semakin serupa dengan Dia, hingga “Aku hidup tetapi bukan aku lagi
melainkan Yesus yang hidup dalam diriku.” Berpikir seperti Kristus, berharap, menghendaki, dan di
atas segalanya mencintai seperti Kristus.

....dan tidak kaubawa apa yang telah kaucuri


Mengapa Engkau gagal membawa hatiku ini yang telah Kaucuri? Mengapa Kau gagal
memenuhinya dengan cintamu, memuaskannya, dan menyembuhkannya?

Jiwa yang mencinta, sebesar apa pun penghiburan Tuhan tidak akan dapat menahan
kerinduan hatinya untuk semakin mengabdi dalam persatuan dengan-Nya. Jika tidak demikian, itu
bukanlah cinta sejati karena cinta tak menginginkan apa pun lagi. Cinta hanya dapat dibayar
dengan cinta, terus menerus hingga akhirnya tercapailah kesempurnaan cinta.

27
Seperti kepada seorang budak yang merindukan naungan, seperti kepada orang upahan yang
menanti-nantikan upahnya, demikianlah dibagikan kepadaku bulan-bulan yang sia-sia, dan
ditentukan kepadaku malam-malam penuh kesusahan. Bila aku pergi tidur, maka pikirku: Bilakah
aku akan bangun? Tetapi malam merentang panjang, dan aku dicekam oleh gelisah sampai dinihari.
(Ay. 7&:24)

Jiwa yang dibakar oleh api cintakasih ilahi merindukan kepenuhan dan kesempurnaan dari
cintakasih karena hanya itulah yang dapat memuaskannya. Bagai seorang hamba yang letih karena
teriknya matahari merindukan keteduhan bayangan yang dapat menyejukkannya, atau bagai
seorang pekerja yang menantikan upahnya, demikianlah jiwa menantikan saat akhir kehidupannya.
Perlu dicatat di sini bahwa Ayub bukan menekankan si pekerja menantikan pekerjaannya
berakhir tetapi menantikan upahnya. Demikianlah jiwa yang menantikan upah dari pekerjaannya.
Pekerjaannya adalah mencinta dan upahnya tidak lain adalah kesempurnaan dan kepenuhan dari
cintakasih. Sebelum pekerjaan ini mencapai puncaknya, jiwa masih terus dalam kondisi
sebagaimana yang digambarkan Ayub. Jiwa terus menghitung hari-hari dan bulan-bulan yang
terasa kosong dan malam-malamnya terasa panjang dan menjemukan.

Demikianlah jiwa yang sungguh mencintai Allah tidak menginginkan atau mengharapkan apa
pun selain kasih ilahi yang sempurna.

28
Stanza 10
Padamkan derita ini
Karena tak seorang pun dapat menghalaunya
Biarlah mataku memandangmu
Sebab kaulah cahaya mereka
Dan kuingin membukanya bagimu saja

Dalam kondisi ini jiwa bagaikan orang sakit yang teramat lelah, kehilangan selera, dan
mendapakan segala macam makanan membosankan dan memualkannya. Yang diinginkannya hanya
satu, yaitu kesehatannya. Segala sesuatu yang tidak membawanya kepada kesembuhan
dianggapnya sebagai gangguan dan beban baginya. Dia merasakan banyak hal yang dulunya menarik
sekarang tidak menarik sama sekali, kehilangan selera. Jiwa yang sudah mengalami sakit karena
cinta kepada Allah, ada 3 sifat:

Pertama-tama dalam segala sesuatu yang diberikan kepadanya, selalu yang ada di hatinya
bagaimana bisa menjadi sehat. Ini artinya pikiran dan hatinya selalu terarah kepada Sang Kekasih.
Sifat yang kedua adalah, kehilangan selera atas banyak hal yang dulu sangat digandrunginya. Yang
ketiga ada tipe-tipe tertentu yang kalau terkena panah cinta Tuhan ini maka juga urusan-urusan
yang biasa dilakukannya sehari-hari, terasa menjadi beban, lebih-lebih jika berurusan dengan
orang lain. Inginnya tinggal sendirian saja. Ada kerinduan untuk selalu hadir pada sang kekasih.
Oleh karena mulutnya ingin mengecap makanan cintakasih ilahi, kehendaknya segera mendaki
untuk mencari dan menikmati Kekasihnya di dalam segala sesuatu yang terjadi dan dalam
kegiatannya sehari-hari, tanpa mencari kepuasan apa pun untuk dirinya sendiri.
Demikian pula tepatnya yang dilakukan Maria Magdalena. Dengan cinta yang membara ia
mencari Yesus yang sudah wafat di kebun. Menyangka bahwa Ia yang dijumpainya adalah tukang
kebun, tanpa berpikir dan menimbang apa-apa lagi langsung bertanya, "Tuan, jikalau tuan yang
mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-
Nya." (Yoh. 20:15) Demikianlah jiwa yang rindu untuk menemui Dia dalam segala hal, tidak dapat
segera menjumpai Dia sebagaimana yang diinginkannya, tetapi bahkan justru berlawanan dari yang
dibayangkannya seperti Magdalena yang menyangka Yesus sebagai tukang kebun. Ini semua
membuat jiwa semakin menderita. Banyak orang yang mengasihi Tuhan akhirnya merasa menderita
jika harus kontak dengan banyak orang atau terjun di dunia bisnis, karena seolah-olah baginya itu
semua menghalanginya untuk mencapai tujuan hidupnya.
Kekasihku kubukakan pintu, tetapi kekasihku sudah pergi, lenyap. Seperti pingsan aku ketika ia
menghilang. Kucari dia, tetapi tak kutemui, kupanggil, tetapi tak disahutnya. Aku ditemui peronda-
peronda kota, dipukulinya aku, dilukainya, selendangku dirampas oleh penjaga-penjaga tembok.
(Kid. 5:6-7)

Pengantin yang pergi „ke kota“ menunjukkan jiwa yang berkancah ke tengah dunia. Ketika
dunia menemukan jiwa yang mencari Allah, dunia menghunjamnya dengan berbagai penderitaan,
ketidaknyamanan, dan kesulitan, sehingga jiwa bukan saja gagal menemukan apa yang dicarinya
melainkan juga merasa tertekan oleh dunia. Peronda-peronda kota yang menghalangi jiwa untuk
masuk adalah setan dan nilai-nilai duniawi yang merampas selendang kedamaian dan ketenangan
kontemplasi cinta.
Jiwa yang mengasihi Allah merasakan ribuan ketidaknyamanan dan kejemuan akan semuanya
ini.

29
Padamkan derita ini
Ciri dari kerinduan cinta adalah bahwa segala perbuatan, kata-kata, dan tindakan yang tidak
sesuai dengan cinta itu melelahkan, membosankan, dan tidak menyenangkan jiwa, karena ia melihat
kerinduannya belum terpenuhi. Dan ia mengatakan bahwa kelelahan dan kebosanan dilihat sebagai
suatu kesengsaraan. Dalam arti tertentu ia sengsara karena masih terpisah dari Sang Kekasih.

Karena tak seorang pun dapat menghalaunya


Jiwa mau mendesak Sang Kekasih supaya memberikan apa yang dimintanya. Bagi dia tidak
ada satu pun yang memuaskan kecuali kehadiran Sang Kekasih. Sebaliknya, Ia saja cukup, solo
Dios basta! Karena itu banyak pertapa yang hidup di hutan, seperti St. Seraphim dari Sarov yang
hidup sendirian di tengah hutan bertahun-tahun. Untuk orang yang tidak mengerti tentunya ini
konyol. Setelah St. Seraphim disempurnakan kasihnya, ia menjadi pembimbing rohani yang ulung
sampai akhir hayatnya.

Biarlah mataku memandangmu


Jiwa ingin melihat Tuhan dari muka ke muka. Maka pada saat seperti ini, orang merasa ingin
mati karena ini hanya bisa terjadi kalau kita sudah mati. Mati bukan karena bosan hidup, tapi mati
karena rindu. Jadi ada persamaan tertentu hubungan Allah dan manusia dengan pemuda/pemudi.

Sebab engkaulah cahaya mereka


Tuhan sendiri sudah mengatakan bahwa Ia adalah cahaya kehidupan. Jiwa dengan sengaja
mengatakan Engkaulah cahaya mataku, seperti pemuda merayu engkaulah biji mataku pada
seorang pemudi. Dia adalah kasih, dan mengharapkan agar kita juga mengasihi Dia. Dalam arti
tertentu, Tuhan membutuhkan cinta kita. Walaupun sebagai Allah yang mahakuasa, kalau kita
tidak mencintai Dia Ia tidak akan kekurangan apa-apa, tapi Ia akan menderita karena cinta-Nya
bagi kita, karena jika menolak Dia, manusia hancur.

Aku akan membukanya bagimu saja


Jiwa hanya ingin hidup bagi Tuhan saja.

30

Anda mungkin juga menyukai