Anda di halaman 1dari 48

Apa itu Filsafat

Kata filsafat diturunkan dari sebuah kata Yunani, yaitu filosofia. Kata tersebut
berasal dari akar kata kerja filosofein: mencintai kebijaksanaan.

Apabila makna yang terkandung di dalamnya dicermati, maka disimpulkan


bahwa mencintai kebijaksanaan belum menyingkapkan hakekat filsafat yang
sesungguhnya sebab tindakan mencintai bisa dilakukan secara pasif. Padahal di
dalam pengertian filosofein terkandung tindakan aktif untuk mendapatkan sebuah
kebijaksanaan. Seorang filsuf sejati adalah sosok yang aktif mencari, mendapatkan
dan mencernah sebuah kebijaksanaan.

Muatan kata filosofein dan tindakan aktif seorang filsuf dalam mencari sebuah
kebijaksanaan memperlihatkan bahwa kebijaksanaan itu belum diraih sehingga
harus senantiasa diperjuangkan untuk mendapatnya. Seorang filsuf adalah pencari
kebijaksanaan itu sendiri.

Mengacu pada kandungan kata filosofein ini, maka filsafat diartikan sebagai:
usaha manusia untuk memperoleh sebuah pandangan tentang dunia dan
kehidupan dengan kekuatan akalnya untuk memuaskan dambaan batinnya.
Dalam perjuangan tersebut, akal memainkan peranan sentral. Dengan kekuatan
akalnya, seorang filsuf berjuang untuk mencari dan mendapatkan sebuah pandangan
tentang dunia dan kehidupan yang memuaskan hati karena ketidakpuasannya
terhadap aneka bentuk penemuan yang ada. Seorang filsuf hanya bisa menerima
pandangan tentang dunia dan kehidupan dari orang lain apabila memuaskan dirinya.
Jika tidak, dia akan senantiasa mencari, mengoreksi dan mengeritisi pandangan
tersebut.

1
Periodisasi Filsafat Barat
Sejarah filsafat barat dibagi dalam kurun empat periode besar:

a. Filsafat Yunani Kuno


b. Filsafat Patristik dan Abad Pertengahan
c. Filsafat Modern
d. Filsafat Kontemporer

Berbicara filsafat Barat tidak terlepas dari akar sejarah munculnya filsafat, tempat
dan awal perkembangannya. Oleh sebab itu pembahasan sejarah dan
perkembangan filsafat barat secara otomatis membawa kita pada pembahasan
sejarah dan perkembangan filsafat di Yunani sebagai sejarah filsafat Barat.

A. filsafat Yunani Kuno

Filsafat Yunani kuno tidak sekali jadi seperti yang kita mengerti saat ini. Pemikiran
filsafat dalam dunia Yunani kuno melalui pelbagai proses dalam hidup manusia Yunani
dengan pelbagai latarbelakang dan situasi yang mendorong manusia Yunani untuk
mempertanyakan, memikirkan dan mencari tahu dengan menggunakan rasio.

Pelbagai latarbelakang munculnya pemikiran filsafat dalam dunia Yunani kuno


diantaranya:

1. The Greek Miracle


 Mitos : mitos kosmogonis dan mitos kosmologis
 Kesusasteraan Yunani
 Pengaruh ilmu pengetahuan (pada waktu itu sudah terdapat di Timur Kuno)
2. Dari Mythos dan Logos
3. Sifat-sifat Bangsa Yunani
 Segi geografis
 Segi politik-sosial
- Polis sebagai lembaga politik
- Polis sebagai latarbelakang untuk timbulnya filsafat
 Segi kultural
B. Perkembangan Filsafat Yunani secara historis
1. Filsafat Pra-Sokratik
a. Filsuf-filsuf pertama dari Miletos
b. Pythagoras dan Mazhab Pythagorean
c. Xenophanes
d. Herakleitos
e. Mazhab Elea: Parmenides Zeno, Melissos
f. Filsuf-filsuf Pluralis: Empedokles, Anaxagoras
g. Filsuf-filsuf atomis: Leukippos, Demokritos
2. Kaum Sofis dan Sokrates
3. Plato
4. Aristoteles

2
Filsafat Pra-Socrates

Para Filsuf dari Miletos

Para filsuf pertama berasal dari Miletos. Mereka hidup pada abad ke-6
Sebelum Masehi. Inti pemikiran mereka sangat sulit ditetapkan sebab tiada satu pun
dari antara mereka yang hasil karyanya sudah dibukukan. Pengetahuan seputar inti
pemikiran mereka diperoleh dari orang-orang yang hidup sesudah mereka.

Para filsuf dari Miletos dikenal sebagai filsuf alam. Mereka adalah ahli pikir
yang menjadikan alam dan keselarasannya sebagai sasaran pemikiran mereka.
Berawal dari keterposanaan mereka akan keanekaan alam dan pergerakannya,
mereka bertanya perihal segala sesuatu yang berada di belakang semua realitas
alamiah ini.

Sasaran penyelidikan mereka jauh lebih luas apabila dibandingkan dengan


penyelidikan filsafat zaman ini. Pemikiran mereka mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkau dan dicerna dengan nalar manusiawi mereka. Inti filsafat mereka
mencakup semua lingkup pengetahuan, yaitu Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ilmu Bintang-
bintang, Ilmu Hayat, Ilmu Kedokteran dan Ilmu Politik. Luasnya jangkauan filsafat ini
sungguh beralasan sebab pada saat itu belum ada pemisahan antara Filsafat dan
Ilmu Pengetahuan Khusus seperti yang ada saat ini.

Pusat perhatian dan pemikiran para Filsuf Miletos adalah alam, bukan
manusia. Dalam pemahaman mereka, alam itu mencakup keseluruhan realitas hidup
dan kenyataan badaniah. Berkenaan itu, fokus pemikian mereka adalah gejala-gelaja
alam dalam perseptif filsafati, bukan dalam perspektif agamawi. Pemikiran mereka
bukanlah pemikiran yang bersahaja, sebab inti perjuangan mereka adalah
menemukan asas pertama segala sesuatu; asal-dasar mutlak yang berada di
belakang semua realitas alamiah yang serbah berubah.

1. Thales (625-545 Sebelum Masehi)

Thales dijuluki sebagai salah seorang dari “Tujuh Orang Bijaksana” dari Miletos
(Thales, Bias dari Priene, Pittakos dari Mytilene, Saloon dari Athena, Kleoboulos dari
Lindos, Khiloo dari Sparta dan Periandros dari Korintos).

Menurut Thales, asas pertama dari segala sesuatu yang ada di alam ini adalah
air. Kesimpulannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa air dapat diamati dalam
aneka bentuk:

 Air berwujud halus (uap)


 Air berwujud cair (air)
 Air berwujud keras (es)
 Air ditemukan dalam aneka bahan makanan

3
 Air ditemukan dalam padas yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
 Air mengisi semua lautan luas

Berangkat dari kenyataan ini, diyakininya bahwa siapa pun dengan pasti
berkesimpulan kalau bumi keluar dari air dan terapung-apung di atasnya.

2. Anaximandros (610-540 Sebelum Masehi)

Secara garis besar, pemikiran filosofis Anaximandros terbagi atas dua, yaitu:
kritik atas pandangan Thales dan pemikiran pribadinya tentang asas pertama yang
membentuk segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

2.1. Kritis atas Pandangan Thales


Anaximandros menolak pandangan Thales bahwa asas pertama dari segala
sesuatu yang ada di alam semesta adalah air. Baginya, sangat tidak mungkin jika
disimpulkan bahwa asas pertama segala sesuatu adalah salah satu dari anasir
yang menyusun alam ini. Apabila dibuktikan kebenarannya bahwa asas pertama
segala sesuatu adalah air, maka sudah dipastikan bahwa air bisa ditemukan di mana
saja dan harus meresapi segala sesuatu, termasuk api, benda kering dan sebagainya.
Kenyataannya tidak demikian: air hanyalah anasir yang terbatas dan tidak ditemukan
dalam anasir-anasir yang lain dan ada anasir lain yang menjadi lawannya, yaitu api.

2.2. Pandangannya mengenai Asas Pertama Alam Semesta

Menurut Anaximandros, asas pertama segala sesuatu adalah anasir yang


lebih dalam dari semua anasir yang membentuk alam ini. Baginya, asas pertama itu
adalah to apeiron: yang tidak terbatas dan sifat-sifatnya tidak dikenal oleh
manusia.

Bagaimanakah “hal yang tidak terbatas” itu bisa terjadi di dunia ini? Menurut
Anaximandros, hal itu diakibatkan oleh dua kejadian mendasar:

 Akibat sebuah perceraian (ekkrisis). Akibat perceraian, maka dari to apeiron


(yang tidak terbatas) dilepaskan anasir-anasir yang saling berlawanan:
panas-dingin, basah-kering.
 Akibat adanya hukum keseimbangan: apabila anasir-anasir lain tampak
dominan, maka hukum keseimbangan akan mengembalikan segala yang ada
dalam koridornya sehingga tercipta keseimbangan.

Adapun proses terjadinya hal yang tidak terbatas di dunia ini:

 Menurut Anaximandros, akibat perceraian, maka tercipta gerakan puting


beliung sehingga anasir yang panas terpisah dari anasir yang dingin dan
akhirnya yang panas membalut yang dingin.
 Gerak puting beliung mengakibatkan terjadinya sebuah bola (roda) raksasa
sehingga yang dingin berada di tengah-tengah yang panas.
4
 Karena panas, air terpisah dari tanah dan membentuk kabut.
 Udara menekan bola itu sedemikian rupa sehingga terjadi letusan dan
membentuk sejumlah lingkaran di dalam satu titik pusat.
 Setiap lingkaran itu terdiri dari api yang dibalut udara.
 Lingkaran-lingkaran itu memiliki lubang sehingga api yang berada di
dalamnya tampak seperti bintang-bintang, bulan dan matahari.
 Anaximandros menjelaskan bahwa bumi berbentuk silinder dan berada persis
di pusat jagat raya, bukan di atas air seperti yang dikatakan Thales.

3. Anaximenes (538-480 Sebeleum Masehi)

Dengan sikap tegas, Anaximenes menolak pandangan Anaximandros. Baginya


sangat tidak masuk akal apabila hal yang tidak terbatas (to apeiron) menjadi asas
pertama alam semesta yang segala isinya.

Menurut Anaximenes, asas pertama segala sesuatu adalah hawa atau udara.
Kenyataan ini sungguh-sungguh beralasan:

 Udara meliputi seluruh jagat raya.


 Udara memberikan napas kehidupan kepada manusia. Manusia akan mati
apabila tidak ada udara.
 Seperti jiwa manusia (jiwa hanya hawa atau udara) mempersatukan semua
unsur yang membentuk manusia, demikian juga udara mempersatukan semua
yang ada di alam jagat ini.

Udara melahirkan segala sesuatu yang ada di alam ini, terutama melalui
proses pemadatan atau pengenceran udara:

 Tatkala udara memadat, maka akan terbentuk angin, air, tanah dan batu;
 Tatkala udara mencair atau mengencer, maka akan terbentuk api.

4. Pythagoras (580-500 Sebelum Masehi)


4.1. Ajaran tentang Ketidakmatian Jiwa

Menurut Pythagoras, jiwa manusia itu berdiri sendiri, tidak berjazad dan tidak
dapat mati. Jiwa hanya bisa terbelenggu dalam tubuh akibat hukuman.

Walaupun demikian, menurut Pythagoras, manusia mampu membebaskan jiwa


dari belenggu tubuhnya melalui laku tapa kesucian (katharsis), terutama dengan
berpantang terhadap jenis makanan tertentu: daging, kacang dan lain-lainnya. Berkat
laku tapa tersebut, manusia manusia akan mengalami kebahagiaan setelah
mengalami kematian fisik di bumi fana ini.

Bagi pribadi-pribadi manusia yang tidak berjuang untuk menyucikan dirinya


atau kurang melakukan tapa kesuciannya, setelah mengalami kematian fisik, jiwanya
akan berpindah ke alam kehidupan yang lain sesuai dengan kondisinya, entah

5
berpindah ke dalam binatang, ke dalam tumbuh-tumbuhan ataupun ke dalam diri
manusia yang lain.

4.2. Ilmu Pasti

Berkenaan dengan Ilmu Pasti, Pythagoras mengajarkan tentang bilangan


dalam bentuknya yang asali. Ajaran ini merupakan sendi dari seluruh ajarannya.

Menurut Pythagoras, asas pertama yang membentuk segala sesuatu adalah


bilangan yang mewujudkan satu kesatuan. Unsur-unsur bilangan tersebut ialah:
genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas.

Sebuah keharmonisan atau keselarasan dihasilkan oleh penggabungan antara


hal-hal yang berlawanan, yaitu bilangan ganjil dan bilangan genap. Baginya, seluruh
kenyataan di dunia ini disusun dari bilangan-bilangan. Bilangan-bilangan tersebut
membentuk keselarasan yang harmonis sehingga pelbagai hal yang berlawanan
diperdamaikan.

Menurut Pythagoras, ada sepuluh asas yang saling berlawanan, yaitu:

 Terbatas – Tidak Terbatas


 Ganjil – Genap
 Satu – Banyak
 Kanan – Kiri
 Lelaki – Perempuan
 Diam – Gerak
 Lurus – Bengkok
 Terang – Gelap
 Baik – Jahat
 Persegi – Bulat Panjang

Baginya, bilangan 10 adalah bilangan suci. Jagat raya terdiri dari sepuluh
badan langit yang beredar mengelilingi api sentral dengan kecepatan tinggi. Akibat
pergerakan tersebut, maka masing-masing badan langit mengeluarkan suara sesuai
dengan salah satu nada.
Akan tetapi, karena manusia sudah terbiasa dengan suara tersebut, maka
manusia tidak bisa mendengarkannya lagi. Kesepuluh badan langit itu adalah: kontra
bumi, bumi, bulan, matahari, kelima planet (Markurius, venus, mars, jupiter, dan
saturnus). Kesepuluh badan langit ini membentuk langit dengan bintang tetap.

5. Xenophanes dari Kolofon, Asia Kecil (570-480 Sebelum Masehi)

Menurut Xenophanes, asas segala kenyataan yang ada ialah kesatuan. Kerena
pandangan ini, maka dia dengan tegas menolak banyak ilah.

Baginya, yang ilahi adalah satu-satunya ada yang merangkum segala


sesuatu yang ada di dunia ini. Walaupun demikian, dia tidak membuat pembedaan
tegas antara pemikiran yang bersifat monotheistis dan polytheistis.

6
Xenophanes menghubungkan pandangannya tentang yang ilahi dengan
pandangan etis yang luhur. Dia menentang orang-orang yang menyamakan yang
ilahi dengan manusia yang dilahirkan, berpakaian, dan lain-lainnya. Yang ilahi tidak
berawal, kekal, esa dan universal. Walaupun demikian, inti ajarannya tidak bisa
digolongkan sebagai ajaran yang bersifat monotheistis.

6. Herakleitos dari Efesus (540-475 Sebelum Masehi)


6.1. Filsafat tentang “Menjadi”

Filsafat Herakleitos disebut “Filsafat Menjadi”. Baginya, tiada sesuatu pun


yang ada di alam semesta ini yang sifatnya sungguh-sungguh menetap. Semuanya
berada dalam proses menjadi. Segala sesuatu yang ada senantiasa bergerak dan
pergerakan itu bersifat abadi. Segala sesuatu yang ada akan senantiasa berlalu
dan tiada suatu pun yang menetap. Perubahan terjadi tiada henti. Segala
kenyataan diibaratkan dengan pergerakan arus air: semuanya berada dalam
proses menjadi dan senantiasa mengalir.

Untuk meneguhkan wawasan filosofisnya ini, Herakleitos mengangkat sebuah


contoh faktual: seseorang tidak akan mungkin turun dalam arus air yang sama sebab
arus air itu senantiasa mengalir (bergiliran, bergantian). Kenyataan yang sama terjadi
dalam realitas alamiah ini: tiada yang menetap. Hakekat segala yang ada adalah
menjadi dan senantiasa berada dalam proses menjadi.

6.2. Pertentangan antara Herakleitos dengan Anaximandros

Filsafat Menjadi Herakleitos justru bertentangan dengan filsafat


Anaximandros. Menurut Anaximandros, pertentangan atau perlawanan merupakan
kenyataan yang tidak adil sebab tidak mendukung terciptanya keseimbangan alam.
Walaupun demikian, hukum keseimbangan akan mengembalikan semua bentuk
pertentangan dalam keselarasan itu (musim panas akan mengalahkan musim dingin).

Menurut Herakleitos, pertentangan atau perlawanan sebagai kenyataan yang


adil sebab setiap kenyataan yang saling bertentangan memiliki arti tersendiri: musim
panas memiliki arti dalam dirinya sendiri, demikian juga dengan musim dingin, siang,
malam, sehat, sakit dan pelbagai bentuk pertentangan lainnya. Perlawanan dan
pertentangan justru memperlihatkan sebuah bentuk keadilan. Segala sesuatu justru
tersusun dari ketegangan dan perlawanan: dari kehidupan terjadi kematian, dari
kematian lahirlah sebuah kehidupan: dari yang mudah akan menjadi tua dan dari
yang tua akan lahir generasi muda. Segala sesuatu merupakan sintese dari aneka
kenyataan yang saling bertentangan.

6.3. Persamaan dan Perbedaan antara Herakleitos dengan para Filsuf Miletos

7
Para filsuf Miletos berusaha mencari hal yang tetap di belakang segala
sesuatu yang bergerak dan berubah; Herakleitos justru tidak percaya akan adanya
hal yang tetap di alam ini sebab semuanya berada dalam proses menjadi.

Kesejajaran pemahaman para filsuf Miletos dengan Heraklitos terletak pada


pengakuan mengenai adanya perlawanan: hidup dan mati, tua dan muda, dan
sebagainya. Setelah mengalami perubahan, realitas yang hidup akan mati; yang
muda akan menjadi tua dan yang muda akan berubah menjadi muda. Dunia
merupakan sebuah harmoni besar dalam ketegangan dan perlawanan.

6.4. Api: Azas Pertama segala sesuatu yang Ada

Herakleitos yakin akan adanya satu asas pertama pembentuk segala yang
ada. Asas itu adalah api. Segala sesuatu keluar dari api dan akan menjadi api. Api
adalah lambang perubahan. Nyala api senantiasa membakar dan menghanguskan
sehingga melahirkan sesuatu yang baru. Bahan bakar selalu berubah menjadi asap
dan debu. Walaupun demikian, api tetap menjadi api. Fakta ini menunjukan bahwa
api menjadi lambang kesatuan dan perubahan.

Bagi Herakleitos, api adalah roh sehingga menjadi asas hidup. Api adalah
logos (akal, firman, arti), yaitu hukum yang menguasai segala sesuatu, termasuk
manusia. Segala sesuatu terjadi sesuai dengan logos dan manusia pun harus hidup
sesuai dengan logos itu sendiri.

Di dalam logos, segala sesuatu menjadi satu. Dalam konteks ini terungkap
wawasanhya tentang kesatuan sebagaimana ditemukan dalam wawasan para filsuf
lainnya. Dari segala sesuatu lahirlah yang satu dan dari yang satu lahirlah segala
sesuatu. Kesatuan hanya ada dan tercipta dalam perlawanan.

Mengacu pada keyakinannya ini, Herakleitos menyimpulkan bahwa


pertentangan (perang, perlawanan) merupakan bapa segala sesuatu. Segala hal
yang bertentangan bersatu sehingga dari aneka bentuk pertentangan lahirlah
keselarasan dan keharmonisan yang indah. Hukum ini berlaku bagi alam semesta,
terutama hubungan di antara manusia dan pelbagai usaha yang saling bertentangan
antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

7. Parmenides dari Elea (540-475)

Gagasan filosofis Parmenides tertuang dalam bentuk syair tentang alam dan
isinya. Secara garis besar, gagasannya tersebut terbagia atas dua, yaitu
pendahuluan dan dua bagian penting lainnya:

7.1. Pendahuluan

Pada bagian pendahuluan, Parmenides menjelaskan beberapa hal mendasar:

8
 Bagaimana yang ilahi memberikan kebenaran kepadanya
 Dijelaskan bahwa ada dua jalan utama untuk mendapatkan pengetahuan,
yaitu jalan yang benar dan jalan yang sesat.

 Jalan yang sesat, menipu akan memberikan pengetahuan yang semu,


yaitu aneka bentuk pengetahuan yang ide dasarnya memperlihatkan
kejamakan dan perubahan. Pengetahuan tersebut merupakan penipuan
dari indera manusia.
 Jalan yang benar adalah aneka bentuk pengetahuan yang diperoleh
dengan kekuatan akal, bukan dengan indera manusia. Jalan yang benar
ini dipaparkannya pada bagian pertama syairnya.

7.2. Filsafat “Ada”

Parmenides menantang Herakleitos dengan wawasan dan argumen filosofisnya


sebagai berikut: semua kenyataan yang ada di alam ini, bukanlah menjadi (gerak,
perubahan), melainkan “menetap” (bersatu, tidak bergerak, tidak berubah).

Parmenides serentak menemukan dan merumuskan gagasannya tentang ada.


Baginya, yang ada itu ada. Inti kebenaran ini tidak bisa dipungkiri. Berkenaan
dengan yang ada, manusia bisa mengemukakan dua bentuk pengandaian: atau yang
ada itu tidak ada, atau yang ada itu serentak ada dan tidak ada.

Parmenides menegaskan bahwa kedua bentuk pengandaian ini salah sebab:

 Sangat mustahil jika dikatakan bahwa yang ada itu tidak ada atau yang ada
itu serentak ada dan tidak ada.
 Sangat mustahil juga jika dikatakan bahwa yang ada itu tidak ada atau yang
tidak ada itu ada.
 Yang tidak ada justru tidak ada dan yang tidak ada sangat mustahil untuk
dipikirkan dan didiskusikan.
 Yang bisa dipikirkan dan didiskusikan hanyalah yang ada.
 Dengan demikian tampak jelas bahwa yang ada itu ada dan yang tidak ada
itu tidak ada. Tidak ada jalan tengah: yang ada tidak mungkin menjadi yang
tidak ada dan yang tidak ada tidak mungkin menjadi ada.
 Oleh karena itu, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan; dan hanya yang ada
yang bisa dipikirkan.
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “berada” dan “berpikir” itu
“sama dan identik”.
 Apabila yang ada itu ada, maka yang ada itu hanya satu, tidak terbagi,
tidak berawal dan tidak berakhir serta tidak mungkin bagi yang tidak ada itu
diturunkan darinya serta tidak akan pernah menjadi yang tidak ada.
 Tiada masa lampau dan masa yang akan datang bagi ada: kedaaan yang
ada hanya sekarang semata-mata.
 Yang ada tidak bisa dibagi-bagi. Apabila yang ada bisa dibagi, maka yang
ada itu menjadi jamak dan jumlahnya tidak terhingga.

9
 Yang ada juga tidak berubah, sebab perubahan mengandaikan adanya hal
yang tidak ada di dalamnya.

Pemikiran filosofis Parmenides ini dinilai genial dan diulas secara konsekuen.
Baginya, semua kenyataan yang ada di alam ini merupakan satu kesatuan, tanpa
perbedaan antara sisi rohani dan jasmani. Akibatnya, yang ada itu disamakan
dengan sesuatu yang bulat; sesuatu yang tidak memerlukan tambahan, tetapi
mengabil (membutuhkan) ruang. Oleh karena itu, baginya, tidak ada ruang kosong,
sebab seandainya ada ruang kosong di luar yang ada, itu berarti masih ada
sesuatu yang lain.

8. Zeno dari Elea, Murid Parmenides (490 Sebelum Masehi)

Sebagai murid Parmenides, Zeno berusaha membuktikan bahwa gerak,


perubahan merupakan sebuah khayalan; tiada kejamakan dan tiada ruang kosong.
Untuk meneguhkan argumennya ini, Zeno mengemukakan beberapa bukti mendasar:

8.1. Bukti bahwa Gerak sebagai sebuah Khayalan

Akhilles, seorang pelari termasyur Yunani tidak pernah mampu mengejar seekor
kura-kura yang berjalan di depannya dalam jarak tertentu. Tatkala Akhilles sampai di
tempat kura-kura mengawali perjalanannya, kura-kura itu sudah meninggalkan
tempat startnya itu. Peristiwa itu terjadi terus-menerus sehingga Akhilles tidak mampu
mengejar kura-kura itu.

Demikian juga dengan sebuah anak panah yang dilepaskan seorang pemanah.
Sesungguhnya anak panah itu tidak bergerak, tetapi kelihatannya seperti bergerak.
Setiap saat, anak panah itu berhenti, bukan bergerak.

8.2. Bukti bahwa tidak ada Kejamakan

Menurut Zeno, seandainya ada kejamakan, sepotong garis dapat dibagi-bagi.


Setiap bagian paling sedikit terdiri dari dua titik, yaitu titik pangkal dan titik ujung.
Karena memiliki jarak di antara titik pangkal dan titik ujung, maka garis itu masih bisa
dibagi-bagi lagi. Bagian yang terbagi itu tetap membentuk garis yang terdiri dari
titik pangkal dan titik ujung.

Pembagian dan pembentukan sebuah garis yang terdiri dari titik pangkal dan
titik ujung ini akan terus terjadi sebab setiap bagian dari garis tersebut pasti memiliki
titik pangkal dan titik ujung yang dipisahkan oleh jarak. Dalam kenyataannya,
pembagian demikian tidak mungkin terjadi. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa
tidak ada kejamakan.

10
8.3. Bukti bahwa tiada Ruang yang Kosong

Menurut Zeno, seandainya ada ruang kosong, ruang itu pasti mengambil
tempatnya dalam ruang yang lain dan ruang yang lain itu juga mengambil dan
berada dalam ruang yang lain juga. Dengan demikian disimpulkan bahwa tidak ada
ruang yang kosong.

9. Empedokles dari Akragas, Sisislia (492-432 Sebelum Masehi)

Hasil pemikiran Empedokles dituangkan dalam dua bentuk syair, yaitu: Syair
tentang Alam (sebuah pemikiran filosofis tentang Alam) dan Syair tentang Penyucian
(sebuah bentuk pemikiran yang bersifat mistis-keagamaan). Kedua buah pikirannya ini
tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

9.1. Setuju dengan Pendapat Parmenides

Empedokles sependapat dengan Parmenides berkenaan dengan dua wawasan


filosofisnya, yaitu:

 Di alam semesta ini tiada suatu pun yang bisa dilahirkan sebagai hal yang
baru dan bisa dibinasakan sehingga tiada lagi.
 Di alam semesta ini tidak ada ruang kosong.

9.2. Menolak Pendapat Parmenides

Empedokles dengan tegas menolak pendapat Parmenides bahwa kesaksian


indera manusia itu palsu. Diakuinya bahwa pengamatan inderawi menunjukkan hal
yang jamak dan berubah. Namun bentuk kenyataan yang beraneka rupa itu
disebabkan oleh penggabungan dan pemisahan keempat anasir (rizomata) yang
menyusun semua kenyataan di alam ini. Keempat anasir itu ialah; air, udara, api dan
tanah.

Keempat anasir tersebut mempunyai kualitas yang sama, yaitu: tidak berubah
(misalnya, anasir tanah tidak akan pernah berubah menjadi air). Segala sesuatu yang
ada di alam ini terbentuk dan memiliki keempat anasir ini. Perbedaan yang tampak di
antara benda-benda di alam ini terjadi karena adanya campuran atau
penggabungan keempat anasir yang berbeda itu (misalnya: tulang terdiri dari anasir
tanah, anasir air dan 4 anasir api).

Proses penggabungan dan pemisahan anasir-anasir itu diatur oleh dua


kekuatan yang saling berlawanan, yaitu cinta (filetos) dan benci (neikos). Cinta
berdaya menyatukan (menggabungkan); benci berdaya memisahkan (mencereaikan).
Cinta dan benci dilihat sebagai cairan halus yang meresapi benda-benda di alam ini
sehingga segala sesuatu yang ada bersifat bendawi.

11
Keempat anasir itu digabungkan dalam satu harmoni cinta. Akan tetapi, benci
berusaha menceraiberaikannya sehingga segala sesuatu yang ada semakin jauh dari
keharmonis awal. Akibat penggabungan dan perceraian inilah, maka segala kejadian
atau peristiwa di alam ini dikelompokkan ke dalam 4 zaman yang senantiasa
berlangsung, silih berganti; yang satu terjadi sesudah yang lain, kembali ke proses
awal hingga tiada hentinya.

 Pada zaman pertama, cinta tampak dominan. Alam semesta bagaikan bola.
Semua anasir yang membentuk alam ini tercampur sempurna dan benci
tersisihkan. Walaupun demikian, benci menggerogoti alam ini secara perlahan.
 Pada zaman kedua, anasir-anasir yang tercampur dan terpadu sempurna
secara perlahan terceraiberaikan. Akibatnya, sebagian dari anasir itu masih
kuat dikuasai oleh cinta dan sebagiannya lagi dikuasai oleh benci. Makhluk-
makhluk yang hidup dapat mati. Menurut Empedokles, manusia yang ada saat
ini hidup dalam zaman kedua ini.
 Pada zaman ketiga, perceraian/pemisahan tampak sempurna. Alam
semesta didominasi dan dikuasai oleh benci. Keempat anasir pembentuk
alam ini tercerai-berai menjadi empat lapisan yang konsentris (berpusat satu),
yaitu anasir bumi berada di pusat, sedangkan anasir api berada di
permukaan. Cinta tersingkir ke titik ujung.
 Pada zaman keempat, cinta mulai meresap ke dalam kosmos. Zaman ini
sejajar dengan zaman kedua sebab diakhiri dengan dominasi cinta. Akan
tetapi, proses ini belum selesai sebab semuanya akan kembali ke zaman
pertama dan demikian terjadi ikwal alami ini selanjutnya.

Dalam proses penggabungan dan perceraian ini terbentuklah makhluk hidup.


Ada pun proses pembentukan itu:

Sebelum ada matahari, di dalam tanah sudah terkandung anasir panas


sehingga aneka tumbuhan bisa bertumbuh dan berkembang. Awalnya, tumbuh-
tumbuhan belum terbentuk. Tumbuh-tumbuhan itu hanya berbentuk embryo dalam
kandungan ibunya. Dari tumbuh-tumbuhan yang belum berbentuk ini berkembanglah
pohon-pohon yang berdaun dan berbuah.

Setelah tumbuh-tumbuhan terjadilah binatang yang awalnya hanya berwujud


anggota-anggota tubuh yang terlepas antara satu dengan yang lainnya. Dalam
perkembangannya, anggota-anggota yang terlepas itu berkembang menjadi
binatang.

Berkenaan dengan manusia dikatakan bahwa awalnya manusia memiliki bentuk


yang luar biasa besarnya. Namun dalam perkembangannya, manusia menjadi seperti
manusia ada saat ini. Hal ini terjadi karena hukum memang berlaku demikian, yaitu
yang sama menarik yang sama. Misalnya, tanah menarik tanah yang di luar, anasir
air menarik air yang di luar.

Teori pengenalan Empedokles juga didasarkan pada hukum penggabungan


ini: yang sama mengenal yang sama. Karena anasir tanah yang ada dalam diri
manusia, maka manusia mengenal tanah dan karena adanya anasir air di dalamnya,
maka manusia mengenal tanah.

12
Dalam bukunya yang kedua tentang penyucian, Empedokles mengajarkan
tentang perpindahan jiwa serta caranya untuk membebaskan diri dari perpindahan
jiwa itu, yaitu dengan cara mentakhirkan diri.

10. Anaxagoras dari Athena (499-420)


10.1. Menolak Pandangan Monistis Parmenides

Anaxragoras menolak pendapat Parmenides yang monistis. Baginya,


kenyataan bukanlah satu, tetapi terdiri dari aneka unsur. Unsur-unsur pembentuk
segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki kualitas yang sama dengan kualitas
yang ada, yaitu: tidak dijadikan, tidak berubah dan berada dalam ruang yang
kosong.

10.2. Persamaan dan Perbedaan dengan Empedokles

Anaxagoras sependapat dengan Empedokles bahwa kenyataan tidak


terbentuk dari satu unsur saja. Namun berbeda dengan Empedokles, baginya
kenyataan tidak tidak berasal dari empat unsur (air, api, udara dan tanah), tetapi
tidak terhitung jumlahnya. Baginya, unsur-unsur tersebut bukanlah rizomata (akar),
tetapi spermata (benih-benih). Benih-benih beraneka ragam dan tidak terhitung
jumlahnya. Ditegaskannya bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini terbentuk
dari benih-benih ini.

10.3. Teori Penggabungan dan Perceraian

Seperti Empedokles, Anaxagoral juga mengajarkan Teori Penggabungan dan


Perceraian. Dijelaskan bahwa: karena segala sesuatu yang ada di alam ini berasal
dari aneka benih, maka segalanya bisa ditemukan dan terdapat dalam segalanya
dan semua benih mengandung dan memiliki semua kualitas.

Baginya, walaupun sebuah benda bisa dibagi-bagi sampai tidak terhingga,


namun kualitas yang sama (semua kualitas) tetap ada di dalam benda itu.

 Salju tidak hanya berwarna putih, tetapi juga hitam, merah, hijau dan warna
lainnya.
 Tulang tidak hanya mengandung darah, tetapi juga daging, kuku dan
sebagainya.

Konsekuensinya, apabila seseorang makan sesuatu, berarti orang tersebut


sudah mendapatkan dan memiliki semuanya dari makanan itu. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa seluruh realitas yang ada merupakan perpaduan dari semua
benih dan memiliki semua benih di dalamnya. Akan tetapi, yang tampak kasat mata
hanyalah yang benih yang dominan.

13
10.4. Ajaran tentang Nous

Pokok ajaran terpenting yang lahir dari pemikiran Anaxagoras adalah


Teorinya tentang Nous (Roh, ratio). Baginya, roh itu terpisah dari segala sesuatu,
tidak tercampur dengan benih-benih. Roh adalah wujud yang terhalus dan
tersempurna dari segala sesuatu dan kekuatannya melebihi segala sesuatu.

Roh menguasai segala sesuatu yang berjiwa. Awalnya, benih-benih


mewujudkan suatu khaos, kekacauan. Akan tetapi, roh menyebabkan adanya suatu
gerak-dunia dalam kekacauan yang asali itu sehingga benih-benih yang khaos itu
terpisah dan tertimbun dalam suatu tata-tertib.

Anaxagoras membuat pembedaan tegas antara roh dengan benda. Namun


dalam uraiannya tampak bahwa roh itu sesungguhnya belum bebas dari semua
kebendaan.

11. Leukippos

Inti ajaran Leukippos sulit dilacak. Namun, dunia mencatat bahwa dia adalah
filsuf pertama yang mengajarkan tentang atom.

12. Demokritos (460-370)


12.1. Atom

Menurut Demokritos, kenyataan bukan hanya satu, tetapi terdiri dari banyak
unsur. Seperti Anaxagoras, dia menjelaskan perihal bagian-bagian terkecil dari
segala sesuatu. Namun, baginya bagian-bagian terkecil itu bukanlah benih
(spermata), melainkan atom (atomos), yaitu “yang tidak terbagi”.

Semua atom itu sama; memiliki kualitas yang sama, namun berbeda bentuk (A
dan N), urutan penempatan (AN dan NA), dan posisi (Posisi huruf N dan Z). Jumlah
atom tidak terbilang. Setiap atom tidak dijadikan, tidak termusnahkan dan tidak
berubah, tidak tampak dan tidak berwujud.

12.2. Ruang Kosong

Menurut Domokritos, atom-atom itu senantiasa bergerak karena adanya ruang


yang berisi dan ruang yang kosong. Berkenaan dengan ruang kosong, pandangan
Demokritos berbeda dengan pandangan para filsuf Elea (Parmenides dan Zeno)
sebab mereka tidak mengakui adanya ruang kosong.

Demokritos mengakui bahwa ada ruang kosong sebab yang berada bukan
hanya yang ada, melainkan juga yang tidak ada. Itu berarti, ruang kosong itu nyata.
Atom dan ruang kosong itu nyata: Atom (yang penuh) dan ruangan kosong (yang tidak
penuh) ada bersama sehingga yang penuh mengisi yang kosong. Tindakan untuk

14
mengisi yang kosong ini menyebabkan terjadinya gerak yang bersifat spontan:
dengan sendirinya, tanpa pengaruh khusus dan menuju ke semua jurusan.

Pelbagai kemungkinan yang diakibatkan oleh gerak spontan yang terarah


kepada semua jurusan ini menyebabkan atom-atom itu saling mengait sehingga terjadi
gerak puting beliung. Gerakan tersebut menarik banyak atom yang besar di pusat,
sedangkan atom yang halus disingkirkan ke tepi. Dengan demikian, terbentuklah
kosmos.

12.3. Jiwa Manusia

Menurut Demokritos, jiwa manusia terdiri dari atom yang paling halus. Atom-
atom itu berbentuk bundar sehingga tidak bisa mengait atom-atom yang lain.

12.4. Pengamatan

Pengamatan terjadi karena benda-benda memancarkan gambar kecilnya


(idola). Gambar-gambar itu terdiri dari atom-atom yang berbentuk sama dengan
bendanya. Pancaran gambar-gambar itu masuk ke dalam indera manusia, disalurkan
ke dalam jiwa dan bersentuhan dengannya.

Demikianlah pengamatan terjadi. Akan tetapi, pengamatan inderawi itu


menyesatkan. Pengetahuan yang benar hanya berasal dari akal manusiawi.

12.5. Etika

Diakui bahwa etika Demokritos belum disusun secara sistematis. Berkenaan


dengan etika ini, dia mengajarkan:

Cita-cita tertinggi dalam kehidupan manusia adalah euthymia, yaitu keadaan


batin yang sempurna. Untuk menggapai euthymia, manusia harus menciptakan dan
menemukan keseimbangan dalam semua dimensi kehidupan: kesenangan dan
kesusahan, kenikmatan dan pantangan.

Semua tindakan manusia harus dilandaskan pada prinsip keseimbangan. Orang


bijak adalah orang-orang mengejar aneka hal yang menguntungkan dan memberikan
kesenangan kepada jiwa. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk mampu meredahkan
keinginan-keinginan lahiriah serta mengembangkan pola hidup sederhana.

15
Filsafat Socrates,

Plato dan Aristoteles

Kaum Sofis dan Socrates

Sofisme bukanlah sebuah Mashab, melainkan sebuah aliran: sebuah


pergerakan intelektual. Ungkapan “sofis” mengalami perkembangan yang unik:

 Sebelum abad V Sebelum Masehi, sofis berarti sarjana, cendikiawan


 Pada abad IV Sebelum Masehi, para sarjana atau cendikiawan tidak lagi
disebut sofis, tetapi filosofos, filsuf. Sebutan sofis justru diberikan kepada para
guru yang berkeliling dari kota untuk mengajar.
 Dalam perkembangan selanjutnya, sofis menjadi sebutan yang tidak
mengharumkan sebab seorang sofis diidentikan dengan orang yang suka
menipu orang lain dengan menggunakan pelbagai alasan yang tidak sah. Para
guru dinilai sebagai penipu sebab mereka berkeliling hanya untuk
mendapatkan uang dengan menjual ajaran mereka.

1. Protagoras
1.1. Manusia sebagai Ukuran bagi Segalanya

Dalam ajaran filsafatnya, Protagoras menegaskan bahwa manusia adalah


ukuran bagi segala sesuatu, baik yang ada maupun yang tidak ada. Manusia memiliki
otoritas untuk menentukan benar-tidaknya sesuatu, atau ada-tidaknya sesuatu.

Akan tetapi, sebagai ukuran dan kriteria penentu perihal benar-tidaknya


sesuatu tergantung pada orangnya, misalnya:

 Bagi orang sehat, angin terasa menyegarkan.


 Bagi orang sakit, angin itu dingin dan membuat badan menggigil.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa benar-tidaknya sesuatu tergantung pada


orangnya. Sebuah pendirian dinilai tidak lebih benar dibandingkan dengan pendirian
yang lain, kendati berseberangan. Baik-tidaknya sebuah pendirian tergantung pada
penerima.

16
1.2. Negara

Menurut Protagoras, negara didirikan oleh manusia, bukan karena tuntutan


hukum alam. Awalnya, manusia hidup sendirian, terpisah dari yang lain. Hidup dalam
kesendirian dirasa sangat sulit tatkala manusia dihadapkan dengan aneka bentuk
kesulitan dan tantangan, terutama gangguan alam, binatang, dll. Kenyataan ini
mendorong mereka untuk berkumpul di kota-kota.

Akan tetapi hidup dalam kebersamaan dirasa tidak mudah. Untuk mengatasi
aneka kesulitan yang muncul dari kebersamaan itu, manusia menciptakan keadilan
(dike) dan hormat kepada orang lain (aidos). Semuanya ini terbentuk dan terjadi
karena kehendak manusia.

Berkenaan dengan keberadaan manusia sebagai ukuran bagi segalanya,


ditegaskannya bahwa undang-undang yang ditetapkan untuk menjamin kebersamaan
hidup tidak lebih benar dibandingkan dengan yang lain. Itu berarti, undang-undangan
bukanlah norma utama dalam kebersamaan sebab semuanya tergantung pada
penerima.

2. Gorgias
2.1. Retorika

Melalui ajarannya tentang retorika: seni meyakinkan, Gorgias menegaskan


bahwa dimensi terpenting dalam kehidupan manusia adalah meyakinkan orang lain
(seni meyakinan orang lain) agar bisa menerima pendapatnya. Baginya, bukan
kebenaran yang didahulukan, melainkan kemenangan dalam perdebatan.

2.2. Alam atau Yang Tidak Ada

Melalui ajarannya tentang alam dan yang tidak ada disimpulkan bahwa
Gorgias adalah seorang nihilis. Ditegaskannya, “Seandainya ada sesuatu, sesuatu itu
tidak bisa dikenal. Seandainya sesuatu itu dapat dikenal, pengetahuan itu tidak bisa
disampaikan kepada orang lain”.

3. Sokrates (469-399 Sebelum Masehi)


3.1. Metode Pengajaran

Metode pengajaran Socrates dilakukan dengan mendatangi pelbagai lapisan


manusia. Dia mengajukan aneka pertanyaan kepada mereka, seputar pekerjaan dan
kehidupan harian mereka.

Dia menganalisis jawaban mereka dan menyimpulkannya dalam sebuah


hipotese. Hipotese tersebut disampaikan kepada mereka dan dianalisis kembali
hingga mencapai tujuan hakikinya, yaitu: membuka kedok segala peraturan atau
hukum yang semu sehingga tampak sifatnya yang semu serta mengajak mereka untuk

17
melacak sumber-sumber hukum yang sejati. Untuk mencapai tujuan ini maka sangat
dibutuhkan pembentukan pemikiran yang murni.

3.2. Ironi

Socrates mengeritik metode pendidikan retorika yang dikembangkan kaum


Sofis sebab membentuk manusia menjadi pribadi yang angkuh/sombong. Untuk
menguji kebenaran pengetahuan yang dimiliki manusia (para pendengarnya),
Socrates mengajukan aneka bentuk pertanyaan dengan tujuan: membingungkan
mereka. Pada umumnya, jawaban atas pertanyaan tersebut saling bertentangan
sehingga mereka sering ditertawakan.

Bagi Sokrates, metode ini disebut ironi (eironeia). Sisi positif dari metode
tersebut terletak pada usahanya untuk mengupas kebenaran dari “kulit pengetahuan
semu” yang dimiliki manusia.

3.3. Dialektika

Metode pengajaran yang umumnya dikembangkan Socrates disebut dialektika


sebab di setiap pengajarannya dialog memegang peranan utama. Baginya,
dialektika diibaratkan dengan seni kebidanan (maieutika): dengan metode tersebut,
Socrates menjadi seorang bidan yang menolong kelahiran bayi, yaitu “melahirkan
pengertian yang benar dari seorang manusia”.

Dengan metode tersebut, Socrates menemukan suatu cara berpikir yang disebut
cara berpikir induksi: sebuah cara berpikir yang bertujuan untuk menuntun manusia
agar mampu menyimpulkan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal
dari aneka pengetahuan yang khusus.

Bagi Socrates, definisi umum sangat diperlukan dalam dunia etika, bukan dunia
ilmu pengetahuan: Etika membutuhkan pengertian etis, seperti keadilan, kebenaran,
persahabatan, dll.

3.4. Jiwa Manusia

Bagi Socrates, jiwa manusia bukan napas semata, melainkan asas hidup
manusia. Jiwa merupakan inti sari manusia; hakekat manusia sebagai pribadi yang
bertanggung-jawab.

Karena jiwa merupakan inti sari manusia, maka manusia dituntut untuk
memperjuangkan dan mengutamakan kebahagiaan jiwa (eudaimonia: memiliki daimon
atau jiwa yang baik) melebihi kebahagiaan tubuh. Manusia harus membuat jiwanya
menjadi jiwa yang baik. Apabila manusia hanya menjalani hidup, maka hidup itu
tiada artinya. Manusia harus menjalani dan mengusahakan hidup yang baik. Itu
berarti, inti persoalan yang harus dihadapi manusia adalah bagaimana caranya
memperjuangkan dan menggapai kebahagiaan.
18
3.5. Jalan menuju Kebahagiaan

Menurut Socrates, alat atau jalan menuju kebahagiaan adalah kebajikan atau
keutamaan (arete). Namun, baginya, keutamaan bukanlah keutamaan moral,
melainkan keutamaan dalam arti luas. Keutamaan seorang tukang sepatu adalah
menjadi tukang sepatu yang baik: tahu pekerjaannya dengan baik dan sungguh-
sungguh ahli dalam bidangnya.

Berkenaan dengan keutamaan ini, Socrates menegaskan bahwa keutamaan


adalah pengetahuan. Keutamaan yang dimiliki seseorang tentang hidup yang baik,
menuntut orang tersebut untuk menjadi manusia yang baik. Perihal baik dan jahat
tergantung pada pengetahuan, bukan kemauan manusia. Oleh karena itu,
ditegaskannya bahwa tidak mungkin seseorang sengaja melakukan hal yang
salah. Apabila seseorang melakukan kesalahan, faktor penyebabnya adalah orang
tersebut tidak memiliki pengetahuan.

Karena keutamaan merupakan pengetahuan tentang yang baik; sementara


kebaikan itu hanya satu, maka keutamaan itu hanya satu dan menyeluruh.
Konsekuensinya, memiliki satu keutamaan berarti memiliki segala keutamaan.
Misalnya, orang yang berani, pasti bertindak adil dan menaruh belas kasih, dll. Jika
tidak demikian, orang tersebut tidak memiliki kebajikan sejati. Yang baik untuk Athena
berarti juga baik untuk Sparta dan untuk orang Barbar. Memiliki arete, (keutamaan)
berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.

3.6. Negara

Berkenaan dengan negara, Socrates memaparkan perihal asas-asas etika


kenegaraan. Baginya, negara berkewajiban untuk mewujudkan kebahagiaan
warganya, terutama membuat jiwa warganya menjadi baik dan sebaik mungkin.

Karena tuntutan kewajiban ini, maka para pejabat negara harus tahu tentang
“apa yang baik”. Dalam pemerintahan negara, dimensi terpenting bukanlah
demokrasi atau suara rakyat, melainkan keahlian khusus, yaitu pengenalan atau
pengetahuan tentang yang baik.

4. Antisthenes

Sebagai murid Socrates, Antisthenes mengembangkan ajarannya tentang etika.


Ditegaskannya bahwa manusia harus melepaskan diri dari segala sesuatu. Tiada
sesuatu pun yang boleh menjadikan dirinya bergirang atau bersusah. Seseorang harus
merasa puas atas dirinya sendiri. Satu-satunya asas hidup adalah secara mutlak
bebas terhadap semua anggapan orang banyak dan hukum-hukum mereka.

19
5. Aristtipos

Berbeda dengan Antisthense, Aristtipos justru menegaskan bahwa satu-satunya


tujuan perbuatan manusia adalah kenikmatan (hedone). Namun, baginya, manusia
yang bijak adalah pribadi-pribadi yang tidak dikuasai oleh kenikmatan, tetapi
menguasai kenikmatan itu sendiri.

Plato

1. Gagasan mengenai “Idea”

Sebagai seorang filsuf, Plato berusaha menjembatani pertentangan antara


Herakleitos (mengakui adanya gerak dan perubahan; menolak gagasan mengenai
perhentian atau ketetapan) dan Parmenides (mengakui adanya unsur-unsur yang
tetap, perhentian dan menolak semua gagasan mengenai gerak dan perubahan).

Menurut Plato, di samping adanya aneka hal yang dikuasai oleh gerak dan
perubahan, ada hal yang tetap, tidak berubah; di samping adanya hal “yang baik”
(sepatu yang baik, kelakuan yang baik, dll), tentu ada “yang baik” yang berlaku
umum, bukan hanya untuk sepatu, atau kelakuan saja. Di samping ada hal “yang
benar” (perkataan yang benar, kelakuan yang benar, dll), tentu ada “yang benar”
yang berlaku umum dan untuk semuanya. Apa yang sungguh-sungguh baik, benar,
indah, dll; tentu baik, benar dan indah bagi siapa pun, kapan pun dan di mana pun
juga.

Patut diakui bahwa ada hal yang berubah dan tidak berubah. Kedua realitas
ini tidak bisa bisa disangkal. Persoalannya, apakah kedua realitas ini diakui
kebenarannya? Di manakah letak kenyataan atau realitas yang sesungguhnya?
Apakah kebenaran itu ditemukan dalam realitas yang berubah atau yang tidak
berubah?

Plato menegaskan bahwa tidaklah mungkin mengakui yang satu dan


mengucilkan yang lain. Dan juga tidak mungkin kalau kedua-duanya berdiri sendiri,
yang satu terlepas dari yang lain. Plato mempertahankan serta memberikan hak
berada kepada kedua-duanya.

Jalan pemecahan yang diberikan Plato adalah sebagai berikut: realitas yang
berubah dikenal melalui pengamatan; realitas yang tetap, tidak berubah dikenal
melalui akal.

Melalui pengamatan, kita mengenal aneka bentuk segitiga (segitiga sama


kaki, segitiga siku-siku, segitiga besar, segitiga kecil, dll. Namun, dengan akal,
kita akan sampai kepada segitiga dalam wujud yang sebenarnya, yang tetap,
tidak berubah, yang kekal dan tidak tergantung pada segitiga yang bisa
dipandang mata. Demikian juga dengan yang baik, yang benar, yang indah.
Dengan akal, kita akan mengenal yang baik, yang benar dan yang indah yang
tetap, tidak berubah dan kekal. Bagi Plato, yang tetap, yang tidak berubah

20
dan yang kekal itulah yang disebut dengan idea. Inilah cara khas Plato
menjembatani pertentangan antara Herakleitos dan Parmenides.

Bagi Plato, idea bukanlah gagasan yang tersekat dalam pikiran dan bersifat
subyektif semata. Idea bukanlah gagasan yang diciptakan manusia, sebab idea
bersifat obyektif, berdiri sendiri, lepas dari subyek yang berpikir, tidak tergantung
pada pemikiran manusia. Idea justru membentuk dan memimpin pikiran manusia.

Setiap manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tiada dua orang
pun yang persis sama. Walaupun demikian, kedua-duanya adalah manusia. Hal ini
terjadi karena setiap manusia merupakan bagian dari idea manusia itu sendiri.
Dengan cara yang khas, setiap manusia mengungkapkan dan mewujudkan idea umum
tentang manusia, yaitu idea tentang manusia yang bersifat kekal, tidak berubah.
Walaupun demikian, idea tentang manusia itu sendiri tidak bisa diungkapkan secara
sempurna dalam diri setiap manusia. Segala sesuatu yang dikenal melalui
pengamatan (beraneka ragam dan serba berubah) hanyalah sebuah wujud
pengungkapan dari idea-idea yang kekal dan tidak berubah, yaitu idea yang asali.
Itu berarti setiap pengamatan serentak mengingatkan kita akan idea-idea dari
realitas yang diamati. Idea-idea itu nyata ada di dalam dunia idea.

2. Dua macam Dunia

Menurut Plato, dunia ini terbedakan atas dua, yaitu dunia ini: dunia yang serba
berubah, serba jamak; tiada hal yang sempurna, dunia yang bisa diamati dengan
panca indera, bersifat inderawi dan dunia idea: dunia yang tidak berubah, tidak ada
kejamakan dan bersifat kekal.

Hubungan antara dunia nyata dan dunia idea dapat dilukiskan sebagai
berikut: idea-idea dari dunia atas hadir dalam benda-benda yang konkret (idea
manusia hadir secara konkret dalam rupa manusia); sedangkan benda-benda yang
ada di dunia nyata ini berpartisipasi dalam idea-ideanya – mengambil bagian dalam
idea-ideanya, bukan hanya satu idea saja, melainkan lebih (bunga yang indah
berpartisipasi dalam idea bunga dan idea indah). Idea-idea berfungsi sebagai
model, contoh bagi benda-benda yang ada di dunia ini.

3. Koinonia

Di dalam dunia idea tidak ada kejamakan: hanya ada satu “yang baik” dan
tidak ada aneka bentuk “yang baik” lainnya. Walaupun demikian, tidak bisa
disimpulkan bahwa dunia idea hanya terdiri dari satu idea saja. Ada banyak idea:
idea manusia, idea binatang. Idea yang satu dihubungkan dengan idea yang lain:
idea bunga dihubungkan dengan idea indah, idea api dihubungkan dengan idea
panas. Hubungan antara idea-idea disebut koinonia (persekutuan).

Di dalam dunia idea juga ada hierarki. Idea anjing termasuk dalam idea
binatang menyusui, termasuk idea binatang, termasuk idea makhluk. Apabila disusun

21
secara hierarkis, idea-idea itu memiliki “idea yang baik”: Idea “yang baik”
merupakan puncak dari dan menyinari semua idea.

4. Jiwa

Bagi Plato, jiwa dan tubuh merupakan dua kenyataan yang berbeda (harus
dibedakan dan dipisahkan). Jiwa berada dan berdiri sendiri, bersifat adikodrati,
berasal dari dunia idea, kekal dan tidak bisa mati. Jiwa memiliki tiga bagian/fungsi:
bagian rasional (dihubungkan dengan kebijaksanaan), bagian kehendak atau
keberanian (dihubungkan dengan kegagahan) dan bagian keinginan atau nafsu
(dihubungkan dengan pengendalian diri).

Karena hukuman, jiwa terpenjara dalam tubuh. Dilukiskan: jiwa diibaratkan


dengan sebuah kereta bersais (fungsi rasional) yang ditarik oleh dua kuda bersayap,
yaitu kuda kebenaran (lari ke atas, dunia idea) dan kuda keinginan atau nafsu (lari ke
bawah, ke dunia gejala). Dalam proses tarik menarik, nafsu mengalahkan kebenaran
sehingga kereta itu jatuh ke dalam dunia gejala.

Agar jiwa bisa dibebaskan dari kurungan tubuh, maka manusia harus
mendapatkan pengetahuan. Dengan pengatahuan yang dimiliki, manusia bisa melihat
idea-idea (melihat ke atas). Apabila di dalam hidup, jiwa itu berjuang untuk
mendapatkan pengetahuan, maka setelah manusia mengalami kematian tubuh, jiwa
akan mengalami kebahagiaan melihat idea-idea (seperti sebelum jiwa dipenjarakan
dalam tubuh).

Berkat pemahaman demikian, Plato sampai kepada pemahaman mengenai


pra-eksistensi jiwa dan menegaskan bahwa jiwa tidak bisa mati. Hidup di dunia ini
hanya bersifat sementara. Walaupun demikian, manusia lebih terpikat pada gejala-
gejala dunia yang diamati sehingga tidak tergerak untuk naik ke dunia idea. Akan
tetapi, hanya orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang yang akan meraih
keberhasilan. Pada umumnya, hanya sedikit orang yang berhasil, karena kurang
mengerti perbuatan bijak yang berusaha keras mencari kebenaran sehingga mereka
menahan orang bijak di dunia gejala.

Sikap masyarakat demikian diuraikan Plato dalam Mite tentang Gua.


Keberadaan manusia dilukiskan dengan para tawanan yang terbelenggu (berderet-
deret) di tengah-tengah sebuah gua. Mereka membelakangi lubang masuk menuju
gua. Di belakang mereka ada api unggun dan di antara api unggun dan tawanan
ada banyak budak yang berjalan hilir-mudik sembari memikul beban berat.
Bayangan para budak itu tampak di dinding gua. Para tawanan melihat semua
bayangan itu.

Karena selama hidupnya, para tawanan itu hanya melihat bayangan budak itu
di dinding, maka mereka mengira bahwa itulah kenyataan hidup yang sesungguhnya.
Tatkala mereka dilepaskan dari tawanan serta diperkenankan melihat ke belakang
dan di luar gua, mereka tahu bahwa yang mereka lihat selama ini hanyalah
bayangan belaka, bukan kenyataan hidup. Mereka mengakui bahwa kenyataan
hidup itu jauh lebih indah dari bayangan.
22
Plato menekankan bahwa kebenaran berada di luar dunia yang konkret.
Dengan penekanan ini, Plato tidak bermaksud untuk melarikan diri dari dunia ini.
Dunia real, konkret sangat penting. Hanya saja, semua yang sempurna tidak mungkin
dicapai di dunia ini. oleh karena itu, manusia harus berjuang untuk mengembangkan
hidup sesempurna mungkin.

5. Negara

Menurut Plato, tujuan tertinggi hidup manusia adalah eudaimonia atau hidup
yang baik. Mengawali ajarannya tentang negara dan tujuan hidup manusia ini, Plato
terlebih dahulu mengulas perihal jiwa.

Plato membagi jiwa manusia atas tiga bagian, yaitu:

Pertama, bagian tertinggi (bagian rasional: bagian ini berfungsi untuk


mengarahkan manusia agar melihat idea-idea, memimpin seluruh aktivitas manusia;

Kedua, bagian tengah (bagian kehendak: alat bagi akal untuk mengadakan
tata tertib dalam bagian jiwa yang terendah, tempat perasaan-perasaan yang lebih
tinggi, seperti keberanian, gila hormat, kemarahan yang adil;

Ketiga, bagian yang terendah (tempat nafsu-nafsu, baik nafsu seksual maupun
nafsu lain yang tidak teratur dan yang harus diatur oleh bagian yang rasional).

Untuk memperoleh kehidupan yang baik, manusia harus berjuang untuk


mendapatkan pendidikan (pengetahuan). Pendidikan yang dimaksud tidak hanya
menyentuh soal akal, tetapi perihal membimbing dan mengarahkan manusia kepada
perasaan-perasaan yang lebih tinggi sehingga manusia mampu mengarahkan seluruh
dirinya kepada akal dan mampu mempergunakan akalnya untuk mengatur nafsu-
nafsu manusiawinya. Akal sendiri tidak berdaya sehingga membutuhkan dukungan
perasaan yang lebih tinggi yang sudah diarahkan secara baik dan benar. Alat untuk
mencapai tujuan ini ialah: mengusahakan kesenian, persajakkan, musik dan
sebagainya.

Namun, pendidikan baru tercapai apabila ada negara yang baik. Sebagai
makhluk sosial, manusia memerlukan negara. Bagi Plato, persoalan pokok di dalam
negara adalah keselamatan orang-orang yang diperintahkan, bukan orang-orang
yang memerintah. Orang-orang yang berkuasa untuk memerintah harus
mempersembahkan hidup demi pemerintahan dengan mengorbankan kepentingan
pribadi.

Plato membagi golongan-golongan manusia di negara ideal dalam tiga


bagian, yaitu:

 Golongan tertinggi: golongan ini terdiri dari yang berkuasa untuk memerintah,
yaitu para filsuf (orang bijak, orang-orang yang mengetahui tentang apa yang
baik). Mereka bertindak sebagai penjaga. Kebajikan golongan ini adalah
kebijaksanaan.

23
 Golongan pembantu: golongan ini terdiri dari para prajurit. Mereka adalah
penjamin keamanaan dan ketaatan warga negara kepada pimpinan para
penjaga. Kebajikan mereka adalah keberanian.
 Golongan terendah: golongan ini terdiri dari rakyat biasa, para petani, tukang
dan pedagang. Mereka bertugas untuk menanggung kehidupan ekonomi
negara. Kebajikan mereka adalah pengendalian diri.

Orang-orang yang memiliki kuasa untuk memerintah dituntut untuk memiliki


pendidikan melebihi golongan lain. Mereka harus belajar kesenian, sajak dan musik;
setelah berusia 20 hingga 30 tahun mereka harus belajar filsafat yang mencakup
semua disiplin ilmu (latihan untuk berpikir). Sesudah itu, mereka belajar dialektika
sehingga mampu memandang idea-idea, terutama idea kebaikan. Lima belas tahun
kemudian, mereka harus menjalankan pelbagai tugas negara dan tatkala berusia 50
tahun, mereka diperkenankan untuk menjadi pemimpin yang bertugas untuk
memerintah.

Orang-orang yang bertugas untuk memimpin dan memerintah tidak


diperkenankan memiliki harta pribadi. Sebab baginya, harta pribadi menggoda
pemimpin tersebut untuk mengistimewakan keluarga dan mengutamakan dirinya
sendiri.

Tugas utama yang diemban seorang negarawan adalah menciptakan


keselarasan di antara semua keahlian supaya terjamin keharmonisan (jendelal harus
pandai berperang, negarawan harus pandai dan bijak mengambil sebuah keputusan
bisa harus berperang, hakim harus pandai mengadili).

Ditegaskannya bahwa bentuk pemerintahan yang baik harus disesuaikan


dengan keadaan. Negara harus berperan sebagai dokter untuk memberikan obat
dan mengobati pasiennya. Apabila sebuah negara sudah memiliki undang-undang
dasar, maka bentuk pemerintahan yang paling baik adalah monarkhi dan yang
terjelek adalah demokrasi. Jika sebuah negara belum memiliki undang-undang dasar,
maka bentuk pemerintahan yang terbaik adalah demokrasi dan yang terjelek adalah
monarkhi sebab demokrasi bisa mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

24
Aristoteles
1. Pengelompokan Karya-karya Aristoteles

Hasil karya Aristoteles sangat banyak dan sangat sulit untuk menyusun semua
karyanya itu secara sistematis. Di satu pihak, karya-karyanya tersebut terbagi dalam
8 bagian, yaitu:

 Logika
 Filsafat Alam
 Psikologi
 Biologi
 Metafisika
 Etika
 Politik
 Ekonomi

Di lain pihak, mengacu pada perkembangan pemikirannya, maka karya-karya


dibagi atas tiga tahap:
 Tahap Akademi: Karya-karya yang ditulis tatkala Aristoteles masih setia
berguru pada Plato, gurunya, termasuk ajaran Plato tentang Idea.
 Tahap di Assos: Karya-karya yang ditulis tatkala Aristoles berbalik dari Plato.
Dia mengeritik Plato tentang Idea-idea serta menemukan dan merumuskan
Filsafatnya sendiri.
 Tahap di Athena: Karya-karya yang ditulis tatkala Aristoteles beralih dari
dunia spekulasi ke dalam dunia penyelidikan empiris (mengindahkan yang
empiris dan individual).

2. Logika

Logika merupakan inti ajaran Aristoteles tentang cara berpikir secara ilmiah.
Dalam inti ajaran ini, Aristoles berbicara tentang bentuk-bentuk pikiran itu sendiri,
terutama pengertian, pertimbangan dan penalaran serta hukum-hukum yang
menguasai pemikiran.

2.1. Pengertian

Menurut Aristoteles, berpikir merupakan aktivitas manusia yang dilakukan


dengan pengantaraan nalar (buah penalaran) dan setiap bentuk pengertian
bertautan erat dengan benda tertentu (meja, kursi, dll).

Mengacu pada pemahamannya ini, ditegaskannya bahwa setiap pengetahuan


merupakan karya nalar untuk melukiskan sebuah kenyataan. Berkenaan dengan karya
tersebut, semua pengertian tentang sebuah kenyataan bisa dihubungkan antara satu
dengan yang lainnya menurut tertib dan sifat-sifatnya yang umum.

25
 Secara konkret, ada anjingku, anjingmu, anjingnya. Anjing-anjing ini merupakan
bagian dari anjing dalam pengertian umum, seperti anjing kampung, anjing
herder, anjing kikik, dll.
 Akan tetapi, golongan atau jenis anjing dalam pengertian umum ini bisa
dikelompokkan ke dalam pengertian anjing yang lebih umum lagi, yaitu
golongan binatang menyusui.
 Penggolongan ini juga masih dikategorikan ke ciri yang lebih umum lagi sebab
binatang menyusui bukan hanya anjing, tetapi masih ada jenis binatang yang
lain.
 Binatang menyusui hanya salah satu jenis dari binatang menyusui yang lain
sehingga anjing dikelompokkan ke dalam pengertian yang lebih umum yaitu
binatang.
 Akhirnya, pengelompokkan anjing sebagai binatang dikategorikan ke dalam
sifat yang lebih umum, yaitu makhluk hidup.

Penggolongan menurut sifat hingga menemukan sifat yang lebih umum akan
senantiasa diperluas hingga tidak bisa diturunkan dari kelompok tertinggi dan
terumum, yaitu kelompok yang mencakup segala-galanya dan bisa mengungkapkan
kenyataan tentang segala sesuatu. Kelompok pengertian yang sifatnya paling umum,
mencakup segalanya ini disebut kategori.

Menurut Aristotels, ada sepuluh kategori, yaitu:

 Substansi (manusia, binatang, dll)


 Kuantitas (dua, tiga, sepuluh, dll)
 Kualitas (putih, busuk)
 Relasi (rangkap, sebagian)
 Tempat (di pasar, di rumah)
 Waktu (kemarin, sekarang, besok)
 Keadaan (duduk, berdiri)
 Mempunyai (bersepatu, bersuami)
 Berbuat (mengiris, membakar)
 Menderita (terbakar, terpotong)

Terkadang Aristoteles hanya menyebut delapan kategori. Akan tetapi, hanya


empat kategori pertama yang merupakan kategori terpenting, yaitu: substansi,
kuantitas, kualitas dan relasi.

2.2. Pertimbangan

Menurut Aristoteles, semua pengertian bisa dipadukan satu dengan yang


lainnya sehingga membentuk sebuah pertimbangan.

 Manusia itu fana: pengertian umum tentang manusia disatukan dengan


pengertian fana. Penyatuan kedua pengertian tersebut membentuk sebuah
pertimbangan

26
 Ada aneka bentuk pertimbangan: ada pertimbangan yang sifatnya
meneguhkan, menyangkal dan ada pertimbangan khusus atau umum.

2.3. Penyimpulan – Penalaran - Syllogisme

Aristoleles menegaskan bahwa sebagaimana pengertian, sebuah


pertimbangan bisa dipadukan antara satu dengan yang lainnya. Penyatuan antara
sebuah pertimbangan dengan pertimbangan yang lainnya akhirnya menghasilkan
sebuah penyimpulan.

Baginya, penyimpulan merupakan sebuah bentuk penalaran sebab dengan dan


melalui penalaran, maka dari dua bentuk pertimbangan yang disatukan akan
melahirkan pertimbangan yang ketiga atau pertimbangan yang baru. Pertimbangan
yang ketiga ini berbeda dengan kedua pertimbangan sebelumnya.

 Manusia itu fana


 Gayus adalah manusia
 Gayus itu fana.

Model penyimpulan demikian disebut syllogisme (uraian penutup). patut


ditegaskan bahwa syllogisme serentak mewujudkan dan menjadi puncak logika
Aristoteles. Dijelaskannya bahwa sebuah syillogisme terdiri dari tiga bagian:

 Dalil umum : Mayor (Manusia itu fana)


 Dalil khusus : Minor (Gayus adalah manusia)
 Kesimpulan : Gayus itu fana

3. Fisika dan Metafisika

Sebutan metafisika dan fisika tidak bisa dibedakan secara jelas. Metafisika
bukan sebutan yang berasal dari Aristoles, melainkan dari Andronikos tatkala dia
menyusun kembali karya-karya Aristoles tentang Filsafat Pertama: filsafat yang
berbicara tentang hal-hal gaib. Karya tersebut ditempatkan sesudah karya-karya
Aristoteles tentang fisika sehingga dinamakan meta ta fusika.

Kata meta bermakna ganda: sesudah dan di belakang. Judul meta ta fusika
dipandang sebagai judul yang tepat untuk mengungkapan wawasan Aristoteles
mengenai hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala fisik.

4. Yang Ada

Ajaran Aristoteles tentang yang ada berakar pada ajaran Plato, gurunya,
terutama tatkala Plato berusaha memecahkan persoalan yang dihadapi Herakleitos
dan Parmenides berdasarkan perspektif keberadaan manusia. Namun, pemecahan
Plato bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan titik persoalan tersebut, sebab
baik Herakleitos maupun Parmenides diperhadapkan pada pokok persoalan yang

27
sulit: apakah kenyataan itu berada dalam ada yang tidak berubah atau di dalam
gejala yang senantiasa berubah?

4.1. Solusi Plato

Herakleitos hanya mengakui adanya gerak dan perubahan semata serta


menolak semua gagasan mengenai perhentian atau ketetapan; sedangkan
Parmenides hanya mengakui perhentian atau ketetapan serta menolak semua
gagasan mengenai gerak dan perubahan. Plato menengahi pertentangan tersebut
dengan gagasannya sebagai berikut:

 Yang serba bergerak dan berubah diakui keberadaannya dan dikenal melalui
pengamatan;
 yang tetap dan tidak berubah, yaitu idea-idea dikenal dengan akal.
 Dengan demikian, Plato mengakui adanya dua bentuk yang ada, yaitu:

 Bentuk yang diamati, yang senantiasa berubah dan,


 Bentuk yang tidak bisa diamati, tidak kasat mata, yang tidak berubah.

Hubungan antara kedua bentuk yang ada itu dijelaskannya sebagai berikut:
ada yang tampak, yang berubah merupakan pengungkapan dari ada yang
tidak tampak, yaitu idea-idea.

4.2. Solusi Aristoteles

Aristoteles tidak setuju dengan solusi yang diberikan Plato. Baginya, ada atau
ousia (hanya dimiliki oleh benda-benda yang konkrit) artinya yang sungguh-sungguh
nyata, ada dalam wujud benda yang konkrit. Di luar benda-benda yang konkrit
atau pun yang berada di sampingnya dinyatakan tidak ada. Ada yang bersifat
umum, yang mengungkapkan jenis sesuatu ditemukan di dalam benda yang konkrit
dan bersama-sama dengan benda yang konkrit itu.

Baginya, pengertian-pengertian umum (manusia, binatang) hanya


mengungkapkan apa yang dimiliki bersama oleh sekelompok benda. Pengertian umum
hanya sebutan saja, bukan benda, kendati yang dimaksudkan dengan benda itu
adalah hal yang gaib, seperti yang diajarkan Plato.

Yang sungguh-sungguh ada hanyalah benda-benda yang konkrit. Manusia atau


Sang Manusia dalam lingkup pengertian umum dinyatakan tidak ada sebab tidak
nyata dalam kenyataan. Manusia dalam pengertiam umum hanya berada dalam
pikiran semata.

Dari paparan ini tampak bahwa bagi Aristoteles, yang sungguh-sungguh ada
terarah kepada dunia empiris, dunia pengalaman. Sasaran pengetahuan ilmiah
adalah hal yang umum yang ada di dalam benda-benda yang konkrit.

28
5. Potensi dan Aksi

Inti ajaran Aristoteles tentang fisika dan metafisika ditemukan dalam


pandangannya tentang dunamis atau potensi dan aksi atau energeia. Awalnya inti
ajarannya ini dipergunakan untuk memberikan solusi atas persoalan seputar gerak
dan perubahan.

Menurut para filsuf Elea (Parmenides, Zeno), gerak dan perubahan merupakan
khayalan. Aristoteles menolak pandangan tersebut. Ditegaskannya bahwa yang ada
dalam arti yang mutlak adalah segala sesuatu yang berwujud. Yang tidak ada
hanya bisa menjadi ada secara mutlak atau menjadi ada yang berwujud konkrit
hanya jika melalui sesuatu. Di antara yang ada dan yang tidak ada secara mutlak
itu terdapat ada yang nyata-nyata mungkin atau yang ada sebagai kemungkinan,
sebagai bakat, sebagai potensi, sebagai dunamis.

Yang ada sebagai potensi pada dirinya sendiri bukanlah sesuatu, walaupun
memiliki kemungkinan untuk menjadi sesuatu. Yang ada sebagai potensi cenderung
menjadi ada yang berwujud sehingga yang ada sebagai potensi bisa dilihat
sebagai perealisasian dari ada yang berwujud. Pada prinsipnya, keduanya harus
dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan.

Dalam lingkup pengertian yang lebih luas, gerak dan perubahan mencakup hal
menjadi dan binasa serta segala perubahan lainnya, baik dalam lingkup bilangan
maupun dalam lingkup mutu dan ruang. Sesungguhnya, setiap gerak mewujudkan
sebuah perubahan dari apa yang ada sebagai potensi ke ada yang berwujud. Oleh
karena itu, setiap gerak mewujudkan suatu perpindahan dari apa yang ada sebagai
potensi ke ada yang berwujud.

Menurut Aristoteles, ada yang berwujud dari dirinya sendiri tidak memiliki
potensi untuk mengubah dirinya sendiri. Untuk itu diperlukan suatu penggerak yang
dari dirinya sendiri memiliki kesempurnaan dan tidak perlu disempurnakan lagi.
Penggerak pertama yang tidak bisa digerakan oleh penggerak yang lain ini tidak
bisa dibagi-bagi, tidak memiliki keluasan serta bersifat fisik. Kuasanya tidak
terhingga dan kekal. Penggerak pertama tidak berasal dari dunia, sebab di alam
jagat ini tiap gerak digerakan oleh sesuatu yang lain. Penggerak pertama adalah
Allah. Dia adalah penyebab gerak abadi, yaitu penggerak yang tidak bisa
digerakkan, karena bebas dari materi. Allah adalah Actus Purus, Aktus Murni.

6. Materi (hule) dan Bentuk (morfe)

Pada prinsipnya, inti ajaran Aristoteles tentang gerak dihubungkan dengan


dunia gejala yang senantiasa berubah. Ditegaskannya bahwa di dunia ini, kita
berhadapan dengan dua pengertian hakiki, yaitu: yang ada sebagai potensi dan
ada yang berwujud.

Menurut Aristoteles, kedua pengertian tersebut melambangkan materi (hule)


dan bentuk (eidos, morfe). Baginya, materi pertama merupakan dasar terakhir bagi
semua bentuk perubahan dari pelbagai unsur yang berdiri sendiri dan unsur-unsur

29
yang dimiliki bersama oleh segala sesuatu yang menjadi dan binasa. Dari dan
melalui materi pertama, bentuk segala sesuatu disempurnakan.

Pengertian materi dan bentuk, asas gerak dan tujuan dipergunakan untuk
mengembalikan segala sesuatu kepada dasar atau asasnya yang terakhir. Bentuk ada
atau asas ada (eidos, morfe) sudah digagaskan Plato dalam ajarannya tentang idea.
Namun, bentuk dalam konsep Aristoteles sangat berbeda dengan bentuk dalam
pemahaman Plato.

 Bagi Plato, bentuk, eidos atau idea adalah pola bagi segala sesuatu yang ada
di dunia ini dan tempatnya berada di luar dunia nyata ini, berdiri sendiri,
terpisah dari benda-benda yang konkrit.
 Bagi Aristoteles, bentuk, eidos merupakan asas imanen atau asas yang berada
di dalam benda yang konkrit dan secara sempurna menentukan jenis benda itu
serta menjadikan benda yang berwujud konkrit disebut dengan nama sesuatu
(meja, kayu, dll).
 Baginya, semua pengertian yang terkonsep dalam pemikiran manusia (meja,
kursi, dll) tidak sesuai dengan realitas idea yang berada di dunia idea, tetapi
sesuai dengan jenis benda yang konkrit. Kesatuan benda-benda yang ada
(konkret, nyata) bukan berada di luar benda tersebut, melainkan di dalam
benda itu sendiri.

Secara mutlak, materi adalah asas atau lapisan bawah yang paling umum dan
terakhir. Setiap benda konkret tersusun dari materi: materi mutlak perlu untuk
membentuk segala sesuatu.
 Materi in se (pada dirinya sendiri) berarti: terlepas dari segala bentuk, tidak
memiliki kenyataan, tetapi tidak berdiri sendiri.
 Materi bukanlah hal yang sama sekali tidak ada. Materi adalah kenyataan
yang belum terwujud, belum ditentukan, tetapi memiliki potensi, bakat untuk
menjadi terwujud dan ditentukan oleh bentuk.
 Di dalam materi, ada potensi, kemungkinan untuk menjadi nyata karena
kekuatan yang membentuknya.
 Bentuk bisa menjadikan materi sebagai sesuatu yang nyata. Walaupun
demikian, bentuk bukanlah pola kekal dari segala sesuatu yang nyata dan
bukan hanya idea.
 Bentuk merupakan tujuan yang kelak dicapai oleh materi serta kekuatan yang
menjadikan materi sebagai sesuatu yang nyata.
 Walaupun demikian, materi dan bentuk tidak bisa dipisahkan. Materi tidak
bisa ada tanpa bentuk dan bentuk tidak bisa ada tanpa materi. Setiap benda
yang konkret tersusun dari bentuk dan materi.
 Materi adalah rangkuman dari segala sesuatu yang belum ditentukan dan
belum berwujud; bentuk memberikan kesatuan kepada benda tersebut.
 Walaupun materi baru berwujud apabila dibentuk, namun materi tidak pasif.
Materi bisa menentang kekuatan yang membentuknya. Akibatnya, materi tidak
pernah mendapatkan bentuknya yang sempurna seperti yang ada pada
jenisnya (setiap benda adalah penampakkan yang kurang sempurna dari
jenisnya).

30
Setiap benda yang sudah berbentuk bisa menjadi materi bagi benda yang
lain: sepotong kayu terbentuk dari materi dan bentuk. Kayu tersebut bisa dipahat
menjadi sebuah patung. Potongan kayu berfungsi sebagai materi, sedangkan patung
menjadi bentuknya.

Gagasan mengenai bentuk dan materi tidak hanya berlaku bagi benda-benda
buatan manusia, tetapi juga bagi hal-hal alamiah yang di dalam dirinya memiliki
potensi, atau kemungkinan untuk berkembang atau memiliki sumber gerak: biji memiliki
potensi untuk bertumbuh dan berkembang menjadi sebatang pohon.

7. Gerak dan Tujuan

Menurut Aritoteles, setiap gerak memiliki tujuan. Dunia ini memiliki dan
bergerak menuju tujuan tertentu. Perkembangan dunia tergantung pada tujuannya itu.

Segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki tujuan dan setiap benda yang
berwujud konkrit di alam ini memiliki potensi untuk merealisasikan dirinya sesuai
dengan tujuannya itu. Tujuan setiap pergerakan adalah menyempurnakan bentuknya.

Namun, tujuan final dari pergerakan semua badan jagat raya ini bukan untuk
mencapai kesempuranaan, melainkan terarah pada Penggerak yang Tidak bisa
Digerakkan (tidak berada di dalam ruang yang terbatas, tidak bersifat bendani),
bentuk atau Aktus Purus, yaitu Allah sendiri. Dia adalah Penggerak segala badan
jagat ini.

8. Manusia

Ajaran Aristoteles tentang manusia terbagi dalam dua tahap perkembangan, di


antaranya: Pada tahap pertama, gagasan Aristoteles tentang manusia masih
dipengaruhi oleh pendapat Plato sehingga seperti Plato, gurunya, dia mengajarkan
dualisme antara jiwa dan tubuh.

Pada perkembangan selanjutnya, dia merevisi kembali pandangannya dan


berusaha menjembatani jurang antara jiwa dan tubuh. Baginya, jiwa dan tubuh
merupakan dua aspek yang dari substansi yang satu dan sama sehingga saling
berhubungan serta memiliki nisbah yang sama seperti nisbah antara materi dan
bentuk, atau potensi dan aktus.

Tubuh adalah materi, jiwa adalah bentuk; tubuh adalah potensi, jiwa adalah
aktus. Jiwa adalah aktus pertama (aktus yang paling asasi). Karena jiwa, maka tubuh
menjadi tubuh yang hidup. Jiwa adalah asas hidup, asas segala arah hidup yang
menggerakan tubuh dan memimpin semua perbuatan manusia menuju tujuannya.
Terjadinya jiwa dihubungkan dengan pengembangan tubuh. Tatkala manusia mati,
jiwa pun binasa sehingga tiada pra-eksistensi jiwa dan tiada jiwa yang tidak dapat
mati.

31
9. Pengenalan

Aristoteles membedakan pengenalan manusia atas dua model, yaitu:

 Pengenalan Inderawi
 Pengenalan inderawi memberikan pengetahuan tentang bentuk benda,
tanpa materi. Hal ini terjadi karena di dalam benda itu sendiri sudah
terkandung kualitasnya (bunga merah: kualitas merah sudah terkandung
di dalam bunga itu sendiri).
 Pengenalan atau pengetahuan inderawi hanya bertautan dengan
kenyataan konkrit dari sebuah benda.

 Pengenalan rasional
 Pengenalan rasional menyentuh dan mengenal hakikat dan jenis sesuatu.
 Pengenalan rasional menuntun manusia kepada pengetahuan rasional,
dan tidak bertautan dengan pengetahuan tentang hal-hal yang konkrit.
 Pengenalan rasional hanya bersentuhan dengan hal-hal yang umum.
 Jalan menuju pengenalan atau pengetahuan rasional adalah abstraksi:
tatkala melihat sebuah meja, hakekat meja yang berbentuk tertentu
dilepaskan sebab akal tidak memiliki idea bawaan. Dengan akalnya,
manusia harus melepaskan atau mengabstraksikan ideanya berdasarkan
benda-benda konkret itu.

10. Etika

Di dalam filsafat Aristoteles, etika dan hukum-hukumnya tidak diarahkan


kepada cita-cita yang kekal, mutlak dan tanpa syarat di dunia sehingga melampaui
indera manusia. Etika dan hukum-hukumnya diarahkan ke dunia nyata ini. Hukum-
hukum kesusilaan diturunkan dari dan berdasarkan pada pengamatan atas
perbuatan-perbuatan kesusilaan dan pengalaman dari setiap generasi manusia.

Tujuan tertinggi dari etika dan hukum-hukumnya adalah kebahagiaan. Akan


tetapi, kebahagiaan tersebut bukanlah kebahagiaan subyektif, melainkan keadaan
yang diciptakan sedemikian rupa sehingga manusia bisa memiliki segala sesuatu yang
membahagiakan.

Tujuan yang ingin dikejar dan digapai adalah diri sendiri, bukan kepentingan
orang lain. Isi kebahagiaan setiap manusia yang bertindak atau berbuat
menghasilkan sesuatu adalah: kesempurnaan tindakan atau perbuatan itu sendiri.

Itu berarti, inti kebahagiaan manusia terletak pada kesempurnaan aktivitas


seseorang (khas miliknya) sebagai manusia. Akan tetapi, karena kekhasan manusia
adalah makhluk yang rasional, maka puncak tindakan kesusilaan seorang manusia itu
terletak dan ditentukan oleh pikiran yang murni. Kebahagiaan tertinggi yang dikejar
dan digapai manusia adalah berpikir murni. Dan puncak kebahagiaan itu hanya bisa
digapai oleh para dewa. Manusia hanya mampu mendekatinya dengan mengatur
keinginannya.

32
11. Negara

Ajaran Aristoteles tentang negara dihubungkan secara ketat dengan inti


ajarannya tentang etika dan serentak merupakan lanjut dari inti ajarannya tentang
etika itu sendiri.

Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politikon, makhluk sosial, makhluk


hidup yang membentuk masyarakat. Demi kesempurnaan hidup pribadi, manusia
membutuhkan persekutuan dengan sesama yang lain. Untuk itu, manusia membutuhkan
negara sehingga bisa menjalani dan menggapai hidup yang baik.

33
FILSAFAT HELENISME dan ROMAWI

1. Pengantar

Helenisme (Hellenizein berarti berbahasa Yunani; menjadikan Yunani) adalah


roh dan kebudayaan Yunani yang memberikan ciri khusus bagi bangsa non Yunani di
seputar Laut Tengah untuk melakukan aneka perubahan di bidang kesusasteraan,
agama dan keadaan bangsa-bangsa.
Pada zaman ini terjadi perubahan dalam pemikiran filosofis, yaitu dari
pemikiran teoritis kepada pemikiran praktis. Filsafat menjadi sebuah seni hidup.
Banyak aliran filsafat yang muncul pada zaman ini, baik yang beraliran etis maupun
religius.

2. Filsafat yang Beraliran Religius


2.1. Epikuros

Landasan pemikiran filosofis Epikuros terorientasi pada satu tujuan hakiki, yaitu
menjamin kebahagiaan manusia. Itu berarti, inti pemikiran filosofisnya berintikan
ajaran tentang Etika, sedangkan Fisika dan Teori Pengenalan hanya berfungsi
sebagai persiapan menuju ajarannya tentang Etika.

2.1.1. Atom

Menurut Epikuros, tiada suatu pun yang ada yang berasal dari yang tidak ada
dan tiada suatu pun yang ada dan kemudian menjadi tidak ada. Alam semesta itu
kekal dan tidak terbatas. Alam ini dibentuk dari benda-benda yang bisa diamati dan
oleh ruang kosong yang ditempati benda-benda tersebut.

Benda-benda itu terbentuk dari atom yang sudah ada sejak kekal bersamaan
dengan adanya ruang kosong. Semua atom tidak bisa dibagi dan tidak bisa binasa;
memiliki bentuk, berat dan besarnya, kendati bentuknya berbeda-beda; sangat kecil
sehingga tidak bisa diamati.

Semua atom bergerak. Pada awalnya, karena terlalu berat, maka atom-atom
itu bergerak dari atas ke bawah ibarat hujan atom. Akan tetapi, ada beberapa atom
yang menyimpang sehingga terjadi tabrakkan dan penimbunan atom. Karena
peristiwa tabrakan ini, maka atom-atom itu berputar: yang berat bergerak ke tengah;
yang ringan ke tepi.

Di dalam dan melalui gerak dan tabrakan atom-atom inilah alam raya
terbentuk. Para dewa tidak campur tangan dalam pembentukan dan perkembangan
alam ini.

2.1.2. Jiwa

Menurut Epikuros, jiwa itu adalah atom yang berbentuk bulat dan licin.
Sesungguhya, hakekat jiwa adalah: tubuh halus di dalam tubuh. Jiwa itu tidak akan

34
pernah ada apabila tidak ada tubuh yang kasar. Setelah hidup fisik (tubuh kasar) di
dunia ini berakhir, jiwa dilarutkan kembali ke dalam atom sehingga tiada lagi.

2.1.3. Pengenalan

Pengenalan diperoleh dari dan melalui sebuah pengamatan. Sesuatu itu


dikatakan benar, apabila diamati dengan indera pada saat tertentu.

Adapun proses terjadinya sebuah pengamatan: benda-benda yang berada di


luar diri manusia memancarkan gambaran-gambaran yang halus. Gambaran-
gambaran itu masuk ke dalam indera sehingga di dalam diri manusia terbentuk
konsep mengenai pola atau gambaran dari benda tersebut.

2.1.4. Etika

Etika Epikuros dimaksudkan untuk menciptakan ketenangan batin/jiwa bagi


manusia. Adapun latar belakang pemikiran Epikuros ini:

Ketenangan jiwa manusia diancam oleh ketakutan atas murka para dewa, maut
dan nasib. Baginya, ketakutan itu tidak berdasar dan tidak masuk akal sebab para
dewa tidak campur tangan dalam urusan dunia ini.

Di alam ini, semua pergerakan semesta terjadi karena gerakan atom-atom.


Para dewa tidak menciptakan jagat raya dan tidak berurusan dengannya. Para
dewa justru menikmati kebahagiaan kekal dan tidak bisa diganggu oleh siapa pun
dan apa pun, termasuk oleh manusia. Konsekunsinya, para dewa pun tidak akan
pernah menggangu manusia dan apa pun juga. Oleh karena itu, manusia tidak perlu
takut terhadap dewa dan maut sebab setelah mengalami kematian tubuh, jiwa
manusia akan dilarutkan ke dalam atom-atom, asal jiwa itu sendiri.

Berakar pada keyakinan ini, maka ditegaskannya bahwa di akhirat tidak ada
hukuman. Setelah mengalami kematian tubuh, manusia tidak akan mengalami
penderitaan apa pun di akhirat. Maut bukanlah sesuatu yang jahat. Selama masih
hidup, manusia tidak akan mati dan apabila mati, maka manusia dianggap tidak ada
lagi.

Manusia tidak perlu takut terhadap nasib sebab tidak ada nasib dan manusia
sendirilah yang menguasai nasib serta semua perbuatannya. Sebagaimana atom bisa
mengubah pergerakannya (kemungkinan perubahan itu selalu ada), demikian juga
manusia bisa mengubah kehendaknya dan menentukan keadaannya. Itu berarti, tidak
ada nasib.

2.1.5. Tujuan Hidup Manusia

Menurut Epikuros, tujuan hidup manusia adalah menggapai kenikmatan,


kepuasan (hedone). Tujuan ini hanya bisa dicapai apabila manusia memiliki disposisi
batin yang tenang dan tubuhnya sehat: ketenangan batin dialami apabila semua
keinginan terpenuhi sehingga tiada sesuatu pun yang diinginkan lagi dan seseorang
35
hanya menikmati saja. Semakin sedikit keinginan yang dikejar, semakin besar
kebahagiaan yang dinikmati. Untuk itu, sangat dituntut agar keinginan itu dibatasi.

Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa seseorang harus hidup miskin.
Kebahagiaan tidak terletak pada harta dan kenikmatan yang diperoleh darinya.
Kunci kebahagiaan adalah: perasaan yang memungkinkan seseorang untuk
menentukan perbuatannya yang mampu mendatangkan kebahagiaan. Apabila
seseorang terpaksa memilih dari pelbagai bentuk keinginannya, maka kemungkinan
yang harus dipilih adalah keinginan yang bisa memberikan kenikmatan yang
mendalam dan lama. Berkenaan dengan itu, salah satu sarana untuk menopang
kebahagiaan adalah persaudaraan.

2.1.6. Kesamaan antara Ajaran Epikuros dengan Demokritos

Epikuros dan Demokritos mengajarkan perihal yang sama, yaitu mengenai


atom-atom. Perbedaannya: menurut Demokritos, atom-atom hanya memiliki bentuk dan
besarnya; sedangkan menurut Epikuros, atom-atom juga memiliki berat. Perbedaan
tersebut menyebabkan inti ajaran mereka berbeda berkenaan dengan gerak atom-
atom tersebut.

Menurut Demokritos, atom-atom bergerak ke segalah penjuru; menurut Epikuros,


atom-atom bergerak dari atas ke bawah dan kemungkinannya akan bersimpangan
arah. Bagi Epikuros, gerak atom-atom memberi kemungkinan akan adanya
kebebasan, yaitu kebebasan berkehendak sebagaimana nyata dalam diri manusia.

2.1.7. Kesamaan antara Ajaran Epikuros dan Aristippos

Aristippos dan Epikuros mengajarkan tentang hal yang sama, yaitu teori
kenikmatan (hedone). Perbedaannya: menurut Aristippos, kenikmatan badaniah lebih
berbobot daripada kenikmatan rohaniah; bagi Epikuros, ketenangan batin yang
bersifat rohani lebih berbobot dibandingkan dengan kesehatan badaniah.

2.2. Stoa

Stoa didirikan oleh Zeno. Sesungguhnya sebutan Stoa diturunkan dari kata Stoa
Poikila (tempat Zeno mengajar, yaitu di gang, di antara tiang-tiang). Sejarah aliran
Stoa meliputi tiga tahap, yaitu:

 Stoa Yunani Kuno (336-264 Sebelum Masehi). Inti ajarannya mirip dengan
ajaran Antisthenes.
 Stoa zaman pertengahan (150-100 Sebelum Masehi. Zaman ini disebut dengan
zaman Helenisme dan Romawi.
 Stoa Baru pada Zaman Romawi (50-200 Masehi. Tokoh-tokonya: Seneca dan
Kaisar Markus Aurelius.

36
2.2.1. Filsafat dan Fungsinya

Menurut aliran Stoa, Filsafat dibagi atas tiga bagian, yaitu:

 Fisika : berfungsi sebagai ladang dan pohon-pohonnya


 Logika : berfungsi sebagai pagar
 Etika : berfungsi sebagai buah-buahan

2.2.2. Alam dan Dunia

Pandangan Stoa tentang dunia bersifat materialis. Menurut aliran ini, sesuatu
dikatakan nyata apabila bersifat jasmani. Segala sesuatu yang tidak nyata, tidak
mengambil tempat dianggap tidak ada.

Di antara kaum Stoa ada yang percaya akan adanya Allah. Bagi mereka
Allah itu bersifat jasmani, bendani. Allah diidentikan dengan alam.

Segala sesuatu dijadikan berkat kekuatan Ilahi atau kekuatan alam. Kekuatan
Ilahi yang bersifat jasmani ini menjiwai segala sesuatu, ibarat api atau nafsu meresapi
seluruh jagat raya ini.

Dari kekuatan Ilahi yang berfungsi sebagai nafsu dunia ini muncul empat anasir
(stoikheia), yaitu api (yang terpenting), hawa, air dan tanah. Keempat anasir ini saling
meresapi. Dari keempat anasir ini berkembang dunia dan seisinya. Perkembangan itu
terjadi dalam satu tahun dunia.

Di akhir tahun dunia ini, seluruh jagat akan dilarutkan lagi ke dalam api.
Sesudah itu akan dimulai kembali sebuah perkembangan baru. Inilah urutan terjadinya
dunia secara ritmis.

2.2.3. Dunia dan Logos

Dunia ini dikuasai oleh logos, yaitu akal atau ratio Ilahi. Logos juga dimengerti
sebagai tata tertib dunia yang melahirkan segala sesuatu, mengatur dan memimpin
segala sesuatu kepada suatu tujuan. Konsekuensinya, segala sesuatu ditaklukan dalam
dan oleh hukum logos, kepada nasib yang tidak bisa diubah.

2.2.4. Kejahatan

Menurut aliran Stoa, kejahatan di dunia ini hanya bersifat semu. Segala sesuatu
dianggap jahat apabila dilihat dari keseluruhan dunia ini yang pada prinsipnya baik.
Segala sesuatu dianggap sebagai perusak keselarasan dunia ini apabila dilihat
hakekat dari sebagian keselarasan itu sendiri.

37
2.2.5. Jiwa

Jiwa manusia bersifat jasmani sebab jiwa merupakan bagian dari nafsu dunia
atau nafsu ilahi. Jiwa memiliki hubungan dengan tubuh: jiwa adalah napas hidup: jiwa
menjiwai serta menggerakan tubuh.

Pusat jiwa adalah hati; jiwa juga menjadi tempat akal dan pusat kehangatan
hidup. Namun yang memimpin manusia adalah akal, yaitu bagian jiwa yang berfungsi
untuk memerintah. Jiwa memiliki alat-alat yang keluar dari hati, pusat jiwa. Yang
berfungsi sebagai tangan jiwa adalah panca indera, kekuatan untuk berbicara dan
untuk berbiak. Setelah mati, maka jiwa manusia akan larut ke dalam jiwa dunia.

2.2.6. Logika

Bagi Stoa, logika merupakan pagar filsafat yang memagari ladang dengan
aneka tumbuhan yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Sebagai pagar, logika
terdiri dari: logika formal, ajaran tentang pengenalan dan retorika.

2.2.6.1. Logika Formal

Kendati mengajarkan perihal logika formal, namun ajaran ini dipandang tidak
terlalu penting bagi Stoa. Ajaran ini dimunculkan hanya untuk mengoreksi ajaran
Aristoteles yang beralih dari logika penggolongan ke logika proposisi.

2.2.6.2. Pengenalan

Menurut Stoa, pengenalan diperoleh melalui pengamatan inderawi.


Pengamatan akan dunia yang berada di luar diri manusia hanya mungkin melalui
panca indera. Pengamatan tersebut akan membentuk khayalan dalam jiwa dan
tertanam dalam ingatan. Keseluruhan khayalan inilah yang disebut dengan
pengamatan. Berkenaan dengan itu, jiwa dilihat sebagai kertas putih yang ditulisi oleh
dunia luar atau seperti lilin yang kepadanya diterakan cap.

2.2.6.3. Retorika

Pengamatan memperkenalkan kepada jiwa benda-benda yang tunggal dalam


kenyataannya. Sementara itu, akal manusia merumuskan pengertian-pengertian umum
yang mencakup semua kenyataan yang tunggal tersebut.

Walaupun demikian, perihal kebenaran tidak terletak pada pengertian-


pengertian pada dirinya sendiri, tetapi pada penggabungan pengertian tersebut
dalam sebuah penilaian.

38
2.2.7. Etika

Berkenaan dengan etika, Stoa mengajarkan bahwa manusia bagian dari dunia.
Manusia mengemban tugas luhur, yaitu hidup selaras dengan keselarasan dunia. Tugas
ini hanya mungkin terpenuhi apabila manusia menjalani hidup yang selaras dengan
dirinya sendiri, yaitu hidup sesuai dengan akal, baik akalnya sendiri maupun dengan
tata-tertib dunia yang akali atau hukum dunia yang bersifat ilahi.

Menurut Stoa, akal yang benar atau akal yang selaras dengan akal dunia
adalah kebajikan. Apabila seseorang mengembangkan cara hidup demikian, maka
orang tersebut akan mengalami kebahagiaan.

Walaupun demikian, kebahagiaan bukanlah tujuan hidup. Kebahagiaan


hanyalah akibat dari perbuatan yang susila. Orang bijak (filsuf) adalah orang yang
memiliki kebebasan dan kesusilaan, berdiri di tengah-tengah dunia sekitarnya tanpa
membutuhkan siapa pun atau apa pun juga; orang yang puas dengan dirinya sendiri
serta bebas-merdeka.

Di satu pihak, kebahagiaan dialami apabila manusia bebas dari segala


pengaruh duniawi dan terhadap keadaan batin. Di pihak lain, kebahagiaan juga
terletak pada penguasaan diri atas keadaan dengan sempurna sehingga segala
ketakutan ditiadakan, baik ketakutan terhadap manusia maupun ketakutan terhadap
dewa.

Cita-cita tertinggi yang ingin dicapai adalah apatheia, yaitu keadaan tanpa
pathe, tanpa rasa. Walaupun demikian, apatheia tidak dipahami sebagai keadaan di
mana manusia tidak lagi memiliki perasaan, tetapi keadaan di mana manusia mampu
menguasai segala gerak perasaannya sehingga sekalipun merasa sakit, orang
tersebut tidak akan pernah mengeluh atau meminta untuk dikasihani.

Aliran ini juga menegaskan bahwa ada aneka bentuk rasa (efek):

 Ada nafsu (hedone) yang muncul karena pengertian yang keliru terhadap
benda-benda duniawi saat ini.
 Ada keinginan (epithumia) yang muncul karena pengertian yang keliru tentang
benda di masa depan.
 Ada kesedihan (lupe) yang muncul karena pengertian yang keliru terhadap
kejahatan masa kini.
 Ada kesakitan (phebos) yang muncul karena pengertian yang keliru terhadap
kejahatan di masa yang akan datang.

Semua manusia dituntut untuk mampu menguasai semua gerak perasaannya


dan membiarkan diri dipimpin oleh akalnya. Hanya dengan cara demikian, maka
kehidupan manusia akan selaras dengan kehidupan dunia.

Kebajikan yang paling penting adalah hikmat atau kebijaksanaan. Kebajikan


ini dikaitkan secara erat dengan kebajikan pokok yang lain, seperti kebenaran,
keberanian, pengekangan diri.

39
Secara teoritis, Stoa bersifat materialis. Namun dalam lingkup praktis, aliran ini
bermaksud untuk membebaskan manusia dari belenggu benda dengan mencita-
citakan hidup rohani demi memperoleh ketenangan batin.

2.3. Skeptisisme

Salah seorang filsuf yang beraliran Skeptisisme adalah Pyrrho dari Elis. Inti
pemikirannya adalah relativisme.

Menurut Pyrrho, pengamatan memberikan pengetahuan yang bersifat relatif


sehingga manusia kerap mengalami kekeliruan dalam melihat dan mendengar.
Apabila pengamatan manusia itu benar, maka kebenaran itu hanya terbatas pada
hal lahiriah dan tidak menyentuh hakekat yang sesungguhnya.

Ditegaskannya juga bahwa akal juga memberikan pengetahuan yang bersifat


relatif. Anggapan-anggapan manusia juga bersifat relatif sehingga setiap alasan bisa
serentak benar dan salah.

Oleh karena itu, manusia dituntut untuk sedikit mungkin bertindak. Kunci
kebahagiaan terletak pada titik ini: dengan penuh kesengajaan, manusia tidak
berbuat dan tidak membuat penilaian.

2.4. Filsafat Neopythagoris

Penamaan ini tidak mengandung arti bahwa aliran ini merupakan kelanjutan
murni Filsafat Pythagoras. Kepustakaan yang diterbitkan pada awal Sebelum Masehi
memunculkan dua nama, yaitu Pythagoras dan Plato untuk memperlihatkan bahwa
tulisan-tulisan tersebut sungguh-sungguh pengulangan dari gagasan Pythagoras dan
Plato.

Pengikut aliran ini bernama Appolonius (hidup di abad I Sebelum Masehi). Inti
ajaran aliran ini merupakan perpaduan antara ajaran Aristoteles dan Stoa, terutama
ajaran Plato. Pandangan dualisme Plato yang membuat perbedaan tegas antara
dunia rohani dan dunia bendawi dijelaskan dengan cara lain oleh aliran ini
(Neopythagorisme).

2.4.1. Yang Ilahi dan Yang Bendawi

Bagi aliran ini, yang ilahi adalah yang ada, yang tidak bergerak, realitas
yang sempurna, substansi yang tidak berjasad. Sedangkan realitas yang bendawi,
pada dirinya merupakan gerak yang tidak teratur, potensi murni sehingga dijadikan
sebagai pengandaian bagi eksistensi segala sesuatu.

Di dalam yang ilahi ada idea-idea. Ide-idea tersebut merupakan gagasan


yang ilahi, pola asal segala kenyataan dan segala yang ada dibentuk sesuai dengan

40
pola tersebut. Akan tetapi, menurut aliran ini, idea-idea serentak diakui sebagai
bilangan (pengaruh gagasan Pythagoras).

Antara yang ilahi dan yang bendawi tidak memiliki hubungan antara satu
dengan yang lainnya, maka keanekaragaman dunia ini terjadi bukan karena
penciptaan yang ilahi, melainkan karena hasil karya jiwa-dunia yang berfungsi
sebagai demiourgos (tukang). Sebagai penghubung antara alam rohani dan alam
bendawi, maka diciptakan banyak tokoh setengah dewa dan demon-demon.

Yang ilahi tidak bisa didekati, terlalu tinggi dan jauh dari manusia. Oleh
karena itu, manusia tidak bisa memuja dan menyembahnya. Akan tetapi, beberapa
pengikut aliran ini yang mengakui bahwa yang ilahi serentak diakui sebagai yang
imanen.

2.4.2. Manusia

Menurut aliran ini, manusia memiliki dua daya, yaitu: Pertama, daya untuk
mengenal dunia rohani (nous), daya intuitif. Daya ini bekerja sama dengan akal
(dianoia) dan berkat kerja sama tersebut, manusia mampu berpikir dan berbicara
tentang hal-hal yang bersifat rohani. Kedua, daya pengamatan (aisthesis). Berkat
daya ini, manusia bisa mengamati segala sesuatu secara langsung hingga memperoleh
gambaran, gagasan serta pengetahuan berdasarkan pada pengamatan itu sendiri.

Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Kedua unsur ini berdiri sendiri, yang satu
terpisah dari yang lain. Jiwa berada di dalam tubuh, seperti terkurung dan terpenjara
di dalamnya. Satu-satunya kekuatan yang mampu melepaskan jiwa dari kungkungan
tubuh adalah kematian. Akan tetapi ada juga sekelompok aliran ini yang
mengajarkan tentang perpindahan jiwa.

Oleh karena kejahatan sudah berada di dalam realitas bendawi, maka


manusia dituntut untuk membebaskan diri dari pengaruh tubuhnya dengan bertarak,
tidak makan daging, tidak bersetubuh dan lain-lainnya.

2.5. Filsafat Platonis Tengah

Pada prinsipnya, ajaran pengikut Plato memiliki banyak kesamaan dengan


ajaran aliran Neopythagorisme. Di dalam inti ajaran Filsafat Platonis Tengah ini, unsur
agama sangat ditekankan. Dua tokoh yang sangat berpengaruh dari aliran ini adalah
Plutarkhos dan Neumenios. Inti ajaran aliran ini dapat dirangkum sebagai berikut:

2.5.1. Yang Ilahi dan Yang Bendawi

Yang Ilahi tidak bisa dikenal, namanya tidak bisa diucapkan dan sifat-sifatnya
tidak bisa dimengerti. Yang Ilahi jauh lebih tinggi dari yang bendawi.

41
Di antara yang ilahi dan yang bendawi terdapat tokoh-tokoh setengah dewa,
para demon. Tokoh-tokoh ini sangat berpengaruh terhadap proses perjalanan segala
sesuatu di dunia ini.

Adanya dunia bukan hanya karena kehendak yang ilahi, melainkan juga
karena bantuan yang lain, yaitu asas yang bertentangan dengan yang ilahi, yaitu
jiwa-dunia yang jahat. Dunia merupakan perpaduan dari yang ada dan yang tidak
ada, yang baik dan yang jahat. Yang baik berasal dari yang ilahi; yang jahat
berasal dari jiwa-dunia.

2.5.2. Jiwa

Menurut aliran ini, jiwa manusia merupakan salah satu dari demon-demon yang
rendah. Setelah mengalami proses penyucian dalam tubuh, jiwa akan kembali ke
dalam persekutuan dengan demon-demon tersebut.

Di antara pengikut Platonisme yang paling kuat jiwa sinkretismenya adalah


Nuomenios. Bagi tokoh ini, Timur dan Barat satu dalam agama dan filsafat.
Ditegaskannya bahwa agama Kristen bukanlah sesuatu yang baru, sebab hakekat
agama tersebut satu dengan hikmat Yunani. Baginya, Plato merupakan seorang Musa
yang berbahasa Yunani. Untuk menyamakan agama Yahudi dan agama Kristen
dengan Pythagorisme dan Platonisme dipergunakan tafsiran alegoris sehingga baik
Taurat maupun Injil dijelaskan secara alegoris.

Inti ajaranya adalah sebagai berikut: di dalam yang ilahi dibedakan antara:

 Ilah yang pertama, yaitu ilah dalam arti sempit: ilah tersebut tidak
berhubungan dengan dunia ini;
 Ilah yang kedua adalah demiourgos. Ilah ini menyebabkan adanya dunia;
 Ilah yang ketiga merupakan hasil karya dari demiourgos, yaitu dunia ini.

42
FILSAFAT YAHUDI

1. Philo (30 Sebelum Masehi-50 Masehi)

Philo berusaha menyelaraskan inti ajaran agama Yahudi dengan filsafat


Helenisme. Dalam pemahamannya, Kitab Suci Perjanjian Lama (Kitab Yunani,
diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, Septuaginta) merupakan Wahyu Allah bagi
manusia. Langkah utama yang dilakukannya adalah membuat penafsiran alegoris
(kiasan) supaya bisa dimengerti.

Model penafsiran alegoris yang dilakukannya dibedakan atas dua, yaitu


penafsiran lahiriah (harafiah, jasmania: diperuntukan bagi orang-orang yang memiliki
daya pemikiran yang terbatas, dangkal sehingga harus ditolak) dan penafsiran
batiniah (mencari dan menemukan makna kiasan di dalam isi Kitab Suci itu sendiri).

Berkat penafsiran batinia, Philo mendefenisikan pemahamannya tentang Allah,


dunia dan manusia:

1.1. Allah

Allah adalah sosok Adikodrati. Dia adalah Roh, tidak dijadikan, tidak memiliki
sifat-sifat manusiawi, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tidak berwujud.

Allah itu transenden, tidak berada di dunia; Allah berada di seberang sana.
Allah itu tidak memiliki nama. Manusia hanya mengenal bahwa Allah itu ada, namun
tidak tahu bagaimana rupa-Nya.

Allah adalah Sang Ada. Kendati sosok-Nya tidak bisa dikenal, manusia bisa
menjelaskannya dari perspektif yang positif: Allah itu Esa. Dia memiliki kesempurnaan
tertinggi, keindahan yang asali, kebaikan yang mutlak dan Mahakuasa. Dia memiliki
aksi, kerja, tidak bisa disangkal.

Secara mutlak, Allah berbeda dan harus dibedakan dari kosmos: Allah itu Roh,
sedangkan kosmos adalah benda. Allah tidak bisa dipersatukan dengan dunia kosmos.
Lleh karena itu dibutuhkan pengantara.

Tokoh-tokoh yang berperan sebagai pengantara antara Allah dan dunia


kosmos diungkapkan dengan pelbagai sebutan:

 Idea-idea: gagasan yang dipergunakan sebagai pola untuk menciptakan


dunia.
 Kekuatan-kekuatan Ilahi yang bekerja di dunia.
 Malaikat-malaikat: utusan Allah untuk melaksanakan kehendak-Nya.

Semua sebutan ini dipersatukan dalam istilah Logos: Pengantara Allah dan
dunia. Logos adalah idea dari semua idea, kebijaksanaan, kekuatan dunia yang
universal. Walaupun demikian, Logos bukanlah Allah dan bukanlah makhluk biasa;
Logos bukan tidak dijadikan dan tidak dijadikan seperti makluk duniawi lainnya.

43
Logos adalah Allah kedua, Anak Allah yang sulung, Juru Bahasa Allah, Wakil Allah,
Parakletos.

1.2. Dunia

Menurut Philo, dunia tidak dijadikan, tetapi dibentuk oleh Logos. Kekuatan
Logos memasuki benda, mengenakan benda sebagai pakaiannya sehingga benda
tersebut bisa terbentuk menjadi dunia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri.

1.3. Manusia

Berdasarkan strukturnya, manusia merupakan gambar dari alam semesta.


Walaupun demikian, sebagai sebuah idea, yaitu manusia yang tidak bertubuh sudah
ada sejak kekal di dalam Logos.

Jiwa manusia dibedakan atas dua, yaitu: Psukhe (jiwa sebagai kekuatan hidup)
dan nous, dianoia, psukhe logike (jiwa yang bersifat akali). Sebagai kekuatan hidup,
jiwa berada di dalam darah dan tidak bisa binasa; sedangkan jiwa akali adalah jiwa
yang lebih tinggi sebab bersifat ilahi.

Sebelum dilahirkan, manusia sudah memiliki jiwa. Jiwa tersebut tidak bisa
binasa. Jiwa memasuki tubuh dari luar dan dipenjara di dalam tubuh. Akibatnya,
kehidupan di dunia ini menjadi sebuah kejahatan. Kematian mewujudkan sebuah
kebebasan sebab seseorang dibangkitkan kepada kehidupan yang sejati dan
kepada kebebasan.

1.4. Tujuan Hidup Manusia

Tujuan hidup manusia adalah menjadi sama dengan Allah. Satu-satunya jalan
menuju Allah adalah pengetahuan. Agar manusia bisa memperoleh pengetahuan,
maka dibutuhkan bantuan Logos, Sang Sumber Pengetahuan.

Untuk menerima daya kerja Logos, manusia dituntut untuk menjauhkan diri dari
dunia dan segala bentuk hawa nafsu, menantang segala perangsang yang berasal
dari luar diri serta terarah kepada dirinya sendiri.

1.5. Kebajikan

Philo membagi kebajikan atas tiga tingkatan: a) Apatheia: keadaan tanpa


perasaan, yaitu tatkala seseorang melepaskan diri dari segala bentuk hawa nafsu
dan dari segala sesuatu yang bersifat bendawi; mematikan semua keinginan, rasa,
kencenderungan dan hawa nafsu; b) kebijaksanaan: sebuah karunia Ilahi. Karunia ini

44
mengarahkan manusia untuk bertindak saleh (susilah); c) Ekstase: menenggelamkan diri
ke dalam yang Ilahi.

2. Neoplatonisme

Neoplatonisme merupakan aliran terakhir yang berusaha mengalirkan roh


Yunani untuk menantang agama Kristen. Aliran ini berjuang untuk menghidupkan
kembali ajaran atau roh Plato ke tingkatan yang lebih tinggi demi keselamatan dunia,
memperkaya ajaran tersebut dengan sistem atau unsur yang terbaik, terutama ajaran
Aristoteles, Stoa dan Philo serta menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Mereka
juga berjuang untuk menjadikan yang ilahi sebagai asas segala yang ada, asal
bersama segala sesuatu, baik yang bisa maupun yang tidak bisa diamati serta tujuan
terakhir dari segala sesuatu.

Pendiri aliran ini adalah Ammonius Sakkas dari Aleksandria (175-242). Akan
tetapi, dia tidak meninggalkan tulisan apapun sehingga ajarannya tidak bisa
diketahui oleh dunia. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Plotinos. Adapun pandangan
filosofis Plotinos:

2.1. Meningkatkan Derajat Dualisme Plato

 Landasan obyektif ajaran Plotinos adalah dualisme Plato tentang adanya


dunia yang real dan dunia idea.
 Plotinos menempatkan dualisme Plato ini dalam kesatuan arus hidup yang
mengalir dari Yang Ilahi.
 Konsekuensinya, dualime Plato yang berciri antroposentris (berpusat pada
manusia) menjadi filsafat yang berciri teosentris (berpusat pada Yang Ilahi)
dan asas hidup aliran Stoa serta Epikuros diganti dengan suatu sikap hidup
yang lebih tinggi derajatnya.

2.2. Ajaran tentang Allah

 Allah tidak termasuk dalam dunia ini, tetapi dalam dunia yang tidak bisa
diamati dan melampaui dunia ini.
 Allah itu Esa dan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun yang ada.
 Allah mengatasi semua hal yang berlawanan, karena Dia Esa dan Sempurna.
 Manusia tidak akan pernah mampu mendekati Allah dengan nalar sebab di
dalam pemikiran manusia masih ada pembedaan antara subyek dan obyek,
serta pembedaan antara perbuatan memikirkan dan pikiran.
 Allah tidak memiliki predikat dan tidak memiliki sifat, juga tidak bisa dikatakan
apakah memiliki kesadaran dan kehendak atau tidak.
 Allah itu Esa, yang Pertama, Yang Kekal, Yang Tertinggi, Yang Terbaik, Yang
mengatasi Semua Perlawanan, Bebas dari semua Pengertian sebab dalam diri-
Nya, Dia Sempurna (dipengaruhi oleh ajaran Neopytagorisme, Platonisme
Tengah dan Philo.

45
2.3. Asal Usul Alam Semesta
 Jagat raya dan seisinya berasal dari Yang Ilahi.
 Yang Ilahi adalah Sumber yang mengalirkan segala sesuatu keluar atau
laksana terang harus bersinar dalam kegelapan.
 Sejak kekal, dunia sudah ada secara terpendam di dalam Yang Ilahi.
 Proses asalnya alam ini sebagai berikut:
 semakin jauh hal-hal yang mengalir dari sumbernya, semakin tidak
sempurna keadaannya.
 Pengaliran itu terjadi secara bertahap.
 Tahap pertama adalah nous (roh, roh ilahi, bukan Allah), yaitu dunia
ide, dunia roh.
 Nous tidaklah sempurna sebab pada tahap ini Yang Esa sudah
membedakan diri dalam kedwitunggalan yang terdiri dari
memikir dan pikiran, karya akal dan isi akal, subyek dan obyek.
 Karya memikir bukanlah perbuatan menguraikan, melainkan suatu
pandangan rohani, sebuah permenungan untuk memperlihatkan
bahwa di dalam perbuatan memikir tidak ada obyek yang
dipikirkan yang berada di luar pikiran.
 Di dalam dirinya, perbuatan memikir itu memiliki obyeknya
tersendiri. Karena perbuatan memilikir, “yang ilahi” sadar bahwa
Dia ada. Dia berpikir, maka Dia berada. Yang ada identik
dengan memikir. Yang dipikir atau obyek pikiran itulah idea.

 Tahap kedua adalah jiwa (psukhe): jiwa dunia (dunia yang bersifat
jiwani).
 Nous adalah gambar “Yang Esa”, sedangkan jiwa adalah
gambar nous.
 Jiwa berhubungan dengan nous yang terang dan benda yang
gelap.
 Jiwa menjadi penghubung atau pengantara antara nous dengan
benda.
 Seperti nous, jiwa itu dwitunggal: memiliki identitas dan
perubahan atau kesamaan dan variasi.
 Di antara jiwa dunia dan dunia benda terdapat jiwa-jiwa
perorangan.
 Dalam keseluruhannya, jiwa dunia hadir dalam setiap jiwa dan
setiap jiwa mendukung jagat raya.
 Jiwa perorangan serentak mewujudkan dan mengungkapkan jiwa
dunia.
 Sebelum manusia lahir, jiwa sudah ada. Oleh karena itu, Plotinus
mengajarkan adanya pra-eksistensi jiwa dan ada perpindahan
jiwa.

 Tahap yang ketiga adalah benda (me on):


 Benda-benda keluar dari Yang Ilahi.

46
 Konsekuensinya: 1) dualisme antara dunia yang tampak dan
dunia yang tidak tampak ditiadakan; 2) baik roh maupun benda
hanya menjadi mata rantai atau alat penghubung untuk
mengalirkan segala sesuatu yang keluar dari Yang Ilahi.
 Walaupun demikian, tetap ada perbedaannya:
o Benda-benda adalah bagian dari kegelapan yang membatasi
terang dan harus diterangi oleh sinar.
o Benda merupakan lapisan dasar segala hal yang tampak,
namun tidak memiliki realitas.
o Benda hanya memiliki potensi (kemungkinan) yang
memungkinkan segala sesuatu berada di dalam ruang dan
waktu.
o Agar potensi itu menjadi kenyataan, maka dibutuhkan bentuk.
o Bentuk terdapat dalam jiwa dunia, sejauh jiwa dunia
dipandang sebagai Logos atau idea dunia yang tampak.
o Konsekuensinya, yang dipandang sebagai idea adalah dunia
roh atau nous.
o Hal ini digambarkan dengan lambang ini: terang yang asali
bersinar di dalam kegelapan sehingga dengan sendirinya jiwa
dunia dihubungkan dengan benda. Penyatuan antara bentuk
dan benda menyebabkan adanya dunia dan dengan demikian
jagat mewujudkan gambaran tentang dunia idea.
o Jagat berada dalam satu kesatuan yang organis. Di jagat ini,
jiwa dunia menjadi asas segala fungsi sehingga semua
kekuatan bisa dihubungkan antara satu dengan yang lainnya.

2.4. Manusia
2.4.1. Jiwa Manusia

 Sejak kekal, jiwa manusia berada dalam jiwa dunia dan bersama jiwa dunia
memandang Yang Ilahi.
 Menurut tabiatnya, jiwa harus melahirkan tubuh. Namun jiwa lebih suka
menciptakan suatu tubuh sehingga darinya jiwa menemukan gambarannya
sendiri. Akibatnya, penggabungan jiwa dengan tubuh menjadi sebuah hukuman.

2.4.2. Tiga Substansi

 Manusia memiliki tiga substansi: roh (nous), jiwa (psukhe) dan tubuh (soma).
 Ketiga substansi ini membentuk manusia sebagai satu keseluruhan dan jiwa
(tempat kesadaran) menjadi pusat.
 Tubuh mewujudkan alat bendani, sedangkan roh berada dalam kesatuan
dengan nous yang tertinggi, yaitu Yang Ilahi.

2.4.3. Tujuan Hidup Manusia

 Tujuan tertinggi hidup manusia adalah bersatu dengan Yang Ilahi.

47
 Jalan untuk kembali (remanasi) kepada Yang Ilahi ini bertahap-tahap sama
seperti inti ajarannya tentang emanasi (pengaliran keluar).
 Adapun jalan remanasi yang diajarkan Plotinus: melakukan kebajikan umum,
berfilsafat dan mistik

2.4.3.1. Melakukan Kebajikan Umum

Sebagaimana diajarkan Plato, jalan untuk melakukan kebajikan umum menurut


Plotinus adalah:

 Memiliki pengetahuan tentang yang baik (hikmat).


 Memiliki keberanian.
 Mengendalikan diri.
 Berbuat adil.

2.4.3.2. Berfilsafat

Bagi plotinos, kebajikan umum merupakan persiapan untuk melakukan jalan


yang kedua, yaitu berfilsafat. Dengan berfilsafat, seseorang:

 Dihantar untuk memikirkan segala sesuatu secara mendalam. Berfilsafat mutlak


dilakukan sebab baginya:
 pengenalan inderawi memang perlu untuk hidup tetapi tidak
memberikan kepastian,
 segala hal yang bisa diamati dengan indera bukanlah hakekat yang
sesungguhnya dari segala sesuatu.
 Pengenalan inderawi hanya menyingkapkan perihal sesuatu yang bisa
diamati saja.
 Dituntut untuk meningkatkan pengetahuan hingga mampu mengenal idea-idea.
Hanya dengan berfilsafat, seseorang bisa mengarahkan pandangannya ke
atas dan membebaskan dari dari ikatan benda.
 Dengan berfilsafat, nous atau roh manusia akan memberikan kepada jiwa
rasionalitas yang sesungguhnya, yaitu dengan pencerahan sehingga jiwa juga
memiliki idea-idea yang dimiliki oleh nous atau roh manusia.

2.4.3.3. Mistik

Menurut Plotinus, tahap kedua menghantar seseorang menuju tahap tertinggi,


yaitu mistik yang memungkinkan seseorang untuk mampu menyelami dirinya secara
sempurna, menyelami Yang Ilahi yang hadir di dalam dirinya. Pada tahap ini,
seseorang akan mengalami kebebasan, mengatasi segala pikiran dan kesadaran
hingga mencapai ketakjuban yang bahagia karena bersatu dengan Yang Esa, Yang
Ilahi.

48

Anda mungkin juga menyukai