Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN STUDI LAPANGAN

Praktek-praktek Ketidakadilan di HKBP Jl.Cornel Simanjuntak Ressort


Pematangsiantar II

Nama : Nazareth Nababan

NIM : 17-3208

Mata Kuliah : Studi Lapangan

Dosen Pengampu : Pdt.Dr.Pahala Jannen Simanjuntak

Pdt.Dr.Sanggam L.M Siahaan. M.Th

Pdt.Mixon Simarmata, M.Th

SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA

HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN

Tahun Ajaran 2018/2019


I. Pendahuluan

Studi Lapangan merupakan suatu pembelajaran formal yang dilakukan di lokasi-lokasi


tertentu guna mendapatkan data-data berdasarkan konteks lapangan. Biasanya studi lapangan
dilakukan di luar ruangan. Studi lapangan dilakukan melalui 2 cara yaitu metode observasi
dan wawancara. Metode Observasi merupakan metode pengamatan terhadap objek kajian
yang sudah ditentukan serta memutuskan sebuah analisa di dalamnya. Pengamatan ini
berfokus pada faktor sosial, ekonomi, budaya dan spiritualitas objek. Obervasi dilakukan oleh
peneliti yang bertindak sebagai orang luar (pengamat), untuk lebih memahami dan
mendapatkan gambaran yang jelas dalam proses penelitian. Metode Wawancara merupakan
metode yang digunakan untuk mengadakan sebuah komunikasi tanya/jawab kepada
responden. Metode ini tidak lagi guna mendapatkan sebuah gambaran saja, tetapi mengarah
kepada sebuah jawaban pasti akan sebab dan akibat yang muncul di sekitar lingkungan
penelitian. Para peneliti akan melakukan pengolahan data/informasi yang diperoleh guna
sebagai landasan pemecahan masalah dan menuangkannya dalam bentuk laporan.

Studi Lapangan ini akan membahas tentang Ketidakadilan yang berada di dalam tubuh
gereja terkhusus gereja HKBP Jl.Cornel Simanjuntak. Tidak dapat dipungkiri banyaknya
ketidakadilan yang kita rasakan dalam kehidupan bergereja, hingga membuat hati bertanya-
tanya. Tetapi penulis memfokuskan titik perhatian kepada para pengamen cacat fisik. Bagi
penulis, para pengamen cacat fisik layaknya sekumpulan orang marginal yang menginginkan
belas kasihan dari orang-orang yang lewat di dalam Bait Allah dalam narasi Injil Matius.
Banyak orang-orang berinteraksi di dalam Bait itu termasuk orang-orang yang berjual beli di
halaman Bait Allah. Yesus menyebut,” Rumah-Ku akan disebut rumah Doa. Tetapi kamu
menjadikannya sarang penyamun” ( Matius 21:13). Kutipan ayat diatas, menjadi gambaran
kehidupan bergereja pada zaman ini. Hingga menimbulkan suatu ketidakadilan di dalamnya.

Laporan ini akan menyajikan pemaparan bukti akan ajaran gereja yang mendukung
hal tersebut dan bukti tanggapan dari komunikasi tanya jawab yang dilakukan oleh penulis.
Laporan ini juga sebagai langkah awal sebagai bentuk peningkatan kesadaran kita dalam
menanggapi kehadiran pengamen cacat fisik di gereja anda sekalian.
II. Gambaran Lokasi

Gereja HKBP Jl.Cornel Simanjuntak Ressort Pematangsiantar II adalah salah satu gereja
yang terletak di sebelah selatan kota Pematangsiantar. Sesuai dengan namanya, gereja ini
terletak di Jalan Cornel Simanjuntak No.58, Kelurahan Nagahuta Timur, Kecamatan Siantar
Marimbun. Lokasi gereja ini tidak jauh dari pusat kota Pematangsiantar yang sebelah timur
berbatasan dengan Jl.Lapangan Bola Atas dan di sebelah selatan berbatasan dengan jalan
lintas Medan-Tarutung yaitu Jl.Gereja. Kini gereja ini dilayani oleh:

 Pimpinan Jemaat : Pdt.Andi F. Napitupulu,S.Th (Pendeta


Ressort)
 Plt.Guru /Sekretaris Jemaat : CPdt.Barnes Panjaitan, S.Th
 Bibelvrouw : Biv. Helena br.Matondang, S.Pdk
 Para Majelis/Penatua
- St.T.Nainggolan
- St. F.O Pardede, M.Kom
- St. M.Siahaan
- St. P.Hutasoit
- St. S br.Sitorus
- St. Drs. J.Hutasoit
- St.A br.Pardede, S.Pd
- St.T. Tambunan
- C.St.S br.Sinaga
- CSt. R br. Aritonang
- CSt. J br.Siregar
- CSt. dr. M. Damanik
- CSt. B. Silitonga

HKBP Jl.Cornel Simanjuntak merupakan Gereja sabungan dari tiga pagaran Ressort
Pematangsiantar II yang antara lain:

1. HKBP Remeniscere berada di Jl.Durian No.1, Lapangan Bola Atas, dilayani oleh
Pdt.Dina Maria br. Nainggolan, S.Th
2. HKBP Immanuel berada di Jl.Mangga No.77b, Lapangan Bola Bawah dilayani oleh
Pdt.Netti br. Rumahorbo, S.Th
3. HKBP Maranatha Sipinggol-pinggol berada di Jl.Merak Ujung No.65 dilayani oleh
St.L.M br.Samosir

III. Sejarah HKBP Jl.Cornel Simanjuntak

Pada tahun 1992 dalam sinode godang HKBP terjadi kemelut dalam tubuh HKBP. Akibat
kemelut itu, pimpinan sinode tidak dapat mengendalikan situasi sehingga memaksa pimpinan
mengambil sikap dengan menunda sinode sampai dengan batas waktu yang tidak dapat
ditentukan.

HKBP Pematangsiantar turut terkena imbas dari perpecahan di tubuh HKBP sendiri.
Jemaat-jemaat yang mendukung Pdt.Dr.S.A.E Nababan mengambil sikap mengundurkan diri
dari kebaktian di gedung gereja sejak tanggal 7 November 1993. Jemaat ini mengadakan
kebaktian sendiri di halaman rumah Bapak W. Siahaan di Jl.Bahagia Pematangsiantar. Oleh
karena banyaknya jemaat yang tidak terbendung di dalam kebaktian tersebut, maka jemaat
meminta izin kepada Sekolah Bumi Putera agar mereka dapat memakai gedung sekolah
tersebut untuk beribadah dan hal itu pun disetujui oleh pihak sekolah. Gedung sekolah ini
digunakan sejak tanggal 14 November 1993- 1999.

Pada tahun 1995-1997 pernah terjadi kemelut antara jemaat yang beribadah di
parlapelapean dengan jemaat yang beribadah di gedung gereja HKBP Pematangsiantar.
Jemaat parlapelapean mendatangi dan meminta agar diberlakukan kebaktian bergilir di
gedung gereja. Akan tetapi pihak gereja tidak memberikan izin dengan alasan tidak ada
persetujuan dari pucuk pimpinan. Secara terpaksa, maka kebaktian pun harus tetap diadakan
di komplek Sekolah Bumi Putera sampai tahun 1999.

Pada tanggal 17 Juli 1998 atas kesepakatan dri kedua belah pihak memutuskan untuk
mengadakan kebaktian bergilir di gedung gereja dan hal itu terealisasi pada tanggal 19 Juli
1998 sampai tanggal 26 Juli 1998, dimana pihak parlapelapean masuk kebaktian pukul 11.00
WIB. Disamping itu, muncul inisiatif dari penatua yang menduduki gedung gereja agar kedua
belah pihak mengadakan kebaktian bersama kembali. Akan tetapi hal itu tidak disetujui
sebagian penatua dan jemaat parlapelapean. Mereka kembali mengadakan kebaktian di
parlapelapean di gedung Sekolah Bumi Putra. Dalam situasi ini, pendeta yang pada awalnya
memimpin parlapelapean yaitu Pdt. M. O. Tampubolon dan sebagian jemaatnya memilih
untuk tetap tinggal berkebaktian di gedung gereja. Sedangkan Gr. Letarius Hutabarat kembali
ke Parlapelapean. Akibatnya Pendeta di Parlapelapean (Sekolah Bumi Putera) mengalami
kekosongan. Kemudian Pdt. M. O. Tampubolon meminta pucuk pimpinan HKBP agar
menempatkan seoranag pendeta untuk melayani di parlapelapean. Maka pimpinan HKBP
menempatkan Pdt.Ramlan Hutahaean, M.Th sebagai pimpinan bagi jemaat di parlapelapean.
Dan dalam periode berikutnya, digantikan oleh Pdt.Martongo Sitinjak, M.Th

Pada tahun 1998 diadakan rekonsiliasi di tubuh HKBP yang sedang bermasalah tersebut,
dengan terpilihnya Pdt. Dr. JR. Hutauruk sebagai Ephorus dan Sekretaris Jendral Pdt. WTP.
Simarmata, MA. Setelah rekonsiliasi dilaksanakan, jemaat Parlapelapean memilih untuk tidak
kembali ke gedung gereja HKBP Pematangsiantar, akan tetapi mereka memilih untuk
pemekaran dan membangun gereja di Jl. Cornel Simanjuntak yang sebelumnya adalah tanah
milik HKBP Pematangsiantar (Jalan Gereja), dengan pemahaman bahwa tanah itu adalah
milik bersama. Dengan kesepakatan para penatua dan anggota jemaat kedua belah pihak,
maka tanah itu diberikan kepada jemaat yang beribadah di komplek Sekolah Bumi Putra.
Tanah itu pada awalnya untuk pemekaran HKBP Pematangsiantar yang telah dilaksanakan
peletakan batu pertama pada tahun 1990. Sehingga jemaat parlapelapean yang berkebaktian di
Bumi Putra mendirikan gedung gereja di Jl.Cornel Simanjuntak dengan hasil kesepakatan
bersama antar kedua belah pihak.

Perpindahan jemaat parlapelapean diadakan pada tanggal 7 Februari 1999 dan


kebaktian perdana dipimpin oleh Pdt. Martongo Sitinjak, M.Th dan Gr. Letarius Hutabarat.
Pada awalnya jemaat terdiri dari 150 kk. Jemaat tersebut ada yang berasal dari HKBP Sinta
Nauli dan jemaat HKBP Pematangsiantar yang tempat tinggalnya berada di sekitar HKBP Jl.
Cornel Simanjuntak.

Untuk memisahkan diri dari nama HKBP Pematangsiantar, maka parhalado dan
jemaat sepakat untuk mengganti nama tersebut. Kesepakatan itu melahirkan nama yang baru
menjadi HKBP Jln. Cornel Simanjuntak, Ressort Pematangsiantar II diresmikan pada
kebaktian tanggal 1 Agustus 1999 oleh pimpinan Huria Kristen Batak Protestan Pdt. Dr. J.R.
Hutauruk dan sekaligus peresmian HKBP Reminiscere, HKBP Immanuel, sebagai huria
pagaran HKBP Ressort Pematangsiantar II.
IV. Aspek-aspek luar Gereja

3.1. Keadaan Sosial

Menurut pengamatan yang penulis lakukan, daerah ini masih mengikuti tradisi dan
budaya yang mereka anut adalah budaya Batak Toba. Hal itu terlihat dari pengunaan bahasa
sehari-hari dalam hidup mereka yaitu menggunakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa ibu di
daerah ini. Tidak hanya itu, daerah ini dapat dikatakan begitu sejuk dikarenakan masih ada
areal persawahan tepatnya di belakang gereja ini. Tradisi untuk selalu bergotong royong
dalam hal panen, mamuro (mengusir burung), dan manuan eme (menanam padi), begitu
sering terlihat hingga saat ini.

3.2. Keadaan Ekonomi

Sumber mata pencaharian jemaat HKBP Jl.Cornel Simanjuntak sangat beragam.


Jemaat ada yang berprofesi sebagai pegawai Negeri dan Swasta, Pedagang, Pengusaha,
Petani, Buruh dan Jasa Angkutan. Kehidupan ekonomi jemaat, ada yang memiliki tingkat
perekonomian yang tinggi, sedang dan bahkan rendah. Oleh kerena itu, para Majelis dan
Pelayan Full Timer di gereja ini, tidak lagi menyamakan Pelean Taon bagi jemaat yang
memiliki perekonomian tinggi dengan perekonomian yang rendah dan sebagian jemaat telah
memberikan persembahan bulanan sesuai kerelaan hatinya masing-masing.

3.3. Keadaan Spiritual

Bentuk kerohanian jemaat sangatlah terjaga di daerah ini. Dikarenakan gereja ini masih
dalam areal perkampungan masyarakat yang beragama Kristen yang disebut Kampung
Kristen. Oleh karena itu, segala bentuk pelayanan dan kegiatan gereja berjalan dengan
harmonis tanpa adanya gangguan. Terkhusus jemaat HKBP Jl.Cornel Simanjuntak sendiri,
mayoritas bertempat tinggal di daerah kampung kristen. Menurut perhitungan dalam setiap
kali ibadah, gereja dapat dihadiri rata-rata oleh 253 orang dalam ibadah Siang jam 10.00.
Hanya saja di Ibadah Minggu Pagi jam 08.00, jemaat-jemaat bahkan remaja masih kurang
memberi perhatian untuk beribadah. Ibadah minggu Pagi hanya dapat dihadiri rata-rata oleh
88 orang saja.
IV. Observasi

4.1 Wawancara kaum pengamen Jalanan

 Narasumber : Amang Tonggor (28 Juli 2019)


Pekerjaan : Pengamen Cacat Fisik (Tuna Netra)

Pertanyaan : Bagaimana suasana kerohanian dan reaksi/perhatian selama amang mengamen


di HKBP Jl.Cornel Simanjuntak?

Jawaban : Semua biasa-biasa saja. Hampir beberapa gereja yang saya kunjungi di tiap
minggunya, terutama daerah kampung kristen dan sekitarnya, tidak ada menunjukkan sifat
loyal dalam bentuk pangurupion (bantuan) kepada orang seperti kami ini. Karna apa?
Sewajarnya kami hanya meminta sedikit dari jemaat-jemaat itu, artinya tidak sampai
membuat jemaat berkekurangan (pogos). Disamping itu, kami juga Kristen. Kami hanya ingin
meminta sedikit pasu-pasu ni Tuhan i marhite nasida. Kami mengunjungi 1-2 gereja setiap
minggunya, hanya untuk meminta itu saja, tidak lebih.

4.2 Wawancara Jemaat

 Narasumber : Inang S br.Purba (Senin, 15 Juli 2019)

Pekerjaan : Guru SD (Sekolah Dasar)

Usia : 55 tahun

Pertanyaan : Bagaimana tanggapan inang mengenai para pengamen cacat fisik yang
bernyanyi sepulag ibadah di gereja kita itu?

Jawaban : jika melihat hal tersebut, bagi saya terbagi dari dua sisi. Di satu sisi dari sudut
pandang kemanusiaan, memang harus dibantu. Secara umum, bagi mereka yang ungkap
rohana (terbuka) untuk membantu, pastilah membantu. Soal besar kecilnya itu tergantung
pribadi kita masing-masing. Apalagi ketika kita baru saja pulang dari gereja mendengar
Firman Tuhan, alangkah baiknya kita berbuat sebagai bukti dari Firman yang berbuah
tersebut.
Di lain pihak, bisa jadi membuat orang menjadi berdosa. Saya melihat para pengamen itu
seperti milyarder (orang kaya/orang yang punya). Mereka tidak susah, malah lebih kaya dari
orang yang memberi. Tapi memang tidak semua seperti itu. Keterbatasan mereka membuat
orang-orang yang melihat merasa kasihan, sehingga melihat mereka untuk dibantu. Jadi
mengenai pemberian sumbangan itu, berdasarkan hati masing-masinglah.

Tetapi, ada juga yang tidak di kasih uang, malah menggerutu pula. Makanya tidak jarang
orang-orang malah menutup pintu ketika mereka datang ke tiap-tiap rumah. Karna jadi serba
salah, dikasih terlalu sedikit, tidak dikasih merepet pula. Tapi menurut iman, pastilah saya
beri mereka seribu dua ribu. Pengalaman saya melihat di pajak horas, ada peminta yang
bengkok pinggang sekaligus cara berjalannya, saya berpikir pastilah dia ini diantarkan oleh
seseorang ke tempat ini. Tidak mungkin dia dapat berjalan sendiri ke tengah-tengah
keramaian. Selain itu, menurut pandangan saya sendiri tapi bukan bermaksud membedakan
agama, jika orang Kristen meminta-minta memang sebenarnya karna dia cacat. Tapi jika
agama lain, tangannya meminta tapi banyak penipuan yang telah dilakukan.

Pertanyaan : Bagaimana menurut pandangan inang mengenai sikap jemaat yang kurang
memberi perhatian terhadap mereka yang mengamen? Misalnya dari tingkat kehadiran jemaat
100%, saya pikir hanya 10-20% saja yang memberi.

Jawaban : memang seharusnya jika kita baru saja pulang dari gereja, berarti kita perlu
membantunya itu. Tapi kadang justru begininya, ada saja jemaat ini sudah tidak memberi
tetapi jemaat banyak mengeluh. Dalam arti, dia sendiri susah membantu pengamen tersebut.
Dengan sendirinya mengatakan, “ai molo di HKBP on holan hepeng do, uang an uang on
uang an ”. Padahal untuk mengantarkan persembahan ke gereja saja malas, apalagi untuk
memberi kepada orang yang membutuhkan. Memang pada umumnya, jemaat-jemaat yang
tidak terbuka hatinya adalah orang yang paling banyak mengomentari. Tetaplah hal
sumbangan tidak terukur bebas berapa saja, soal dosa atau berbohong itu urusan pihak yang
bersangkutan. Tapi memang dari saya sendiri, jika memang bisa kuberi, selalunya memang
kuberi setulus hati.

Pertanyaan : Bagaimana pendapat inang terhadap program Diakonia Sosial gereja kita
terhadap orang-orang kecil?
Jawaban : memang sejauh ini pandangan saya, memang kurang berjalan. Jangankan
perhatian terhadap orang kecil, penjemaatan saja kurang. Di sektor kita ini sajalah dulu sektor
4. Jika di katakan sintua yang kurang peduli sebenarnya salah, tapi memang betul itu terjadi.
Pertemuan yang kami terima, hanya ketika partangiangan sektor saja, selebihnya tidak ada
semisal dilakukan kunjungan dari parhalado gereja. Semisalnya, mengunjungi jemaat yang
sudah jarang untuk bergereja. Menindaklanjuti apa yang menjadi keluhannya sehingga tidak
pernah bergereja kembali itu tidak pernah. Hingga saya pernah mendengar perkataan dari
jemaat,” ah so hea didulo halak i ruasna, nga leleng be dang tu gareja, ale dang hea didulo”.
Sehingga tidak heran jika jemaat-jemaat ini akan semakin menjauh. Contoh seperti jemaat
sektor kita Nai Hotma br. Sihombing, kedengarannya sekarang dia sudah memilih aliran
gereja lain, tidak gereja kita lagi. Alasan yang saya dengar, karena selama suaminya sakit
tidak pernah mendapat perhatian berbentuk kunjungan dari gereja, hingga suaminya
meninggal. Itulah sebabnya, ada jemaat yang saya dengar merasa,”alani pogos ahu dang hea
didulo, ale halakan marsahit ro do tusi mandulo”.

 Narasumber : Amang J.Tampubolon (Senin, 15 Juli 2019)

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Usia : 53 tahun

Pertanyaan : Bagaimana tanggapan amang mengenai pengamen-pengamen cacat itu? apakah


pernah ada keluhan atau saran bagi mereka?

Jawaban : Nah jika dari sudut pandang saya, perihal pengamen-pangamen ini adalah sudah
menjadi bisnis. Kenapa? Karna jika kita lihat dari sekte gereja kita HKBP, semua orang-orang
cacat fisik ini kan sudah di tampung, semisal Panti Asuhan Elim dan juga Yayasan Hephata.
Di Pematangsiantar juga sudah ada tepatnya di jalan Medan, saya juga kurang mengetahui
apa nama yayasan tersebut tetapi bukan milik HKBP. Oleh karena itu, sebenarnya jika kita
beragama Kristen, mereka-mereka itu kita catat/data saja dan mari kita arahkan untuk masuk
ke yayasan milik gereja kita seperti Yayasan Hephata itu. Selanjutnya disanalah nanti dia di
didik untuk tidak susah lagi mencari makan. Nah ini yang jadi masalah, mereka-mereka ini
yang tidak mau ke tempat seperti itu. Disanalah berlaku bisnis tersebut. Jika mereka
menjalani gereja, mereka akan menghitung berapa kali peribadahan di satu bulan itu. Tidak
hanya gereja, setiap kali pekan (onan/pasar) mereka ini selalu bermunculan. Jadi sebenarnya,
kurang pas jika kita memberi kepada mereka ketika pulang gereja itu. Bukan kita tidak baik
atau tidak mau membantu, tetapi jika kita langsung memberikan uang adalah juga sebuah
kesalahan. Kesalahannya uang kita yang beri itu, seolah-olah akan menjadi perintah bagi si
pengamen untuk datang lagi minggu depannya.

Jadi sebenarnya, negara Indonesia kita ini adalah negara sosial. Mengapa? Sebenarnya
orang-orang yang demikian turut ditampung oleh negara.Tapi kenapa mereka tidak mau. Atau
mereka sudah masuk dalam satu yayasan penampungan, tetapi keluar untuk menambahi
pundi-pundinya kita tidak tau. Atau bisa jadi ingin menyekolahkan anaknya, jika benar
seperti itu, hendaknya dibuatkan surat yang menerangkan demikian. Di samping hal itu, jadi
mereka ini merupakan sebuah bisnis. Mereka-mereka ini berbagi menjadi beberapa orang, ada
yang ke pasar, gereja-gereja dan tempat lainnya. Saya memang bekerja di Pekan (onan),
kadang mereka datang saya katakan,”tunggu dulu jam-jam 2 lewat, tunggu ada dulu
pencarian partiga-tiga”. Masa jam 10 pagi sudah meminta-minta, padahal penjualan belum
memiliki dagangan yang laku terjual. Orang-orang di pekan juga rata-rata memberi, jadi
sudah terlalu enak jika waktu pekan (onan). Mau juga satu pekan tiga kelompok peminta-
peminta. Oleh karena itu, saya sendiri tidak pernah memberi itu dan saya juga tidak merasa
berdosa akan hal tersebut. Karna ternyata Dinas Sosial bertugas untuk mendata mereka-
mereka ini, tugas dinas di kotamadya Pematangsiantar ini dan kabupaten Simalungun. Yang
cacat fisiknya dipelihara oleh negara. Sudah ada biaya yang tersedia bagi mereka ini di
penampungan. Jadi sebenarnya sudah tidak ada lagi anak terlantar khususnya di Sumatera
Utara. Sedangkan cacat fisik seperti tuna wicara saja di tampung di daerah dekat Universitas
Simalungun (USI) masih satu lingkungan dengan Panti Jompo. Mereka diajari, malah diberi
guru khusus untuknya, apalagi seperti mereka itu. Jadi pengamen-pengamen inilah yang
sebetulnya yang tidak ingin masuk ke Yayasan penampungan yang telah disediakan oleh
negara kita. Berhubung karena dalam kehidupan di penampungan mereka tidak sebebas
mereka hidup di jalanan. Saya lebih mendukung sarana keterampilan yang dibuat langsung
oleh mereka, ketimbang langsung meminta begitus saja terhadap orang banyak.

Maka saran saya untuk tidak langsung memberikan sedekah terhadap mereka. Jika
ingin kita membantu, alangkah lebih baiknya kita sumbangkan melalui dinas sosial itu.
Istilahnya “jangan berikan mereka ikan, tetapi pancing”. Dampak terburuknya ketika
mereka kehabisan ikan, maka mereka akan terbiasa untuk meminta kembali, tidak pernah
berusaha menggunakan kemampuan mereka. Jika kita bandingkan di Balige, tidaklah pernah
mereka melakukan hal yang demikian. Dulu pernah ada, tetapi ada pernyataan resmi
menerangkan mereka dari Yayasan panti Hephata. Mereka ini akan pergi ke jalan-jalan
membawa hasil pekerjaan atau bahkan menggunakan kemampuan mereka bernyanyi untuk
orang banyak. Ini sebagai bukti bahwa tidak ada lagi orang-orang seperti mereka ini yang
ditelantarkan oleh negara, kecuali mereka yang tidak ingin masuk ke yayasan penampungan
itu.

Pertanyaan : Bagaimana tanggapan/pendapat amang mengenai aksi Diakonia Sosial gereja


kita?

Jawaban : jadi memang pendapat saya untuk Diakonia Sosial gereja kita, memang harus dari
kantor pusat. Haruslah ada memang ada monitoring untuk setiap distrik hingga ke ressort.
Kita sekarang HKBP jika sudah ressort, dikatakan sudah otonomi, tidak bisa diganggu-gugat.
Ada kelemahannya, jika ada kesalahan yang terjadi, maka kita sendiri yang merasakan
apalagi jemaat itu, kantor pusat tidak mengetahui yang kita alami. Karena apa disanalah
kinerja sintua kita dilihat. Kebanyakan dari kita, jika sudah sintua, ya sintua terus. Tidak
pernah memonitoring bahkan mengevaluasi pekerjaan. Jabatan sintua selesai hingga pensiun
dan menerima pensiunan. Tidak ada nilainya. Kita tidak tahu bagaimana nilai dirinya sebagai
sintua dalam berjemaat. Karna itu, monitoring tidak ada. Masing-masing sekarang memiliki
otonomi wilayah sering disebut Hak pendeta ressort dan Hak Praeses. Monitoring itu perlu
dilakukan, misalnya di lingkungan sektor 4 misalnya 20 KK, harus ada niat sintua itu untuk
mengunjunginya. Karena apa, jika tidak seperti selama ini maka kita nya kita ini. Dalam arti
kita semakin kisut.

 Narasumber : Inang J br.Siregar (Senin, 15 Juli 2019)

Pekerjaan : Penjual Sembako

Usia : 51 tahun

Pertanyaan : Bagaimana tanggapan inang mengenai pengamen cacat fisik di gereja kita?
Perlukah dibantu atau tidak?

Jawaban : Jika dilihat dari segi pengalaman, dulu saya pernah keluar dari gereja ketika
khotbah karna kebetulan saya sedang mengurus anak yang seperti biasa sangat cengeng. Saya
melihat pengamen-pengamen tersebut mulai bermunculan. Ketika itu mereka langsung duduk
di depan warung tepat di depan gereja. Layaknya orang biasa, mereka menongkrong sambil
angkat-angkat kaki. Hal yang mengejutkan hati, ketika Nyanyian Doxologi “Amen” tanda
penghujung ibadah, dalam pandangan saya para pengamen langsung bergegas ke depan
gereja. Ketika itu juga seorang Sintua bermarga Pardede (Ketua Parartaon), langsung
menegur mereka dengan mengatakan,” ai hamu pe, aha ma salah naro hamu nakkin hatop
tingki marjamita hundul hamu disi, seakan-akan holan hepeng i nama di hamuna, tingki
Amen tor ro hamu” . Dalam pikiran saya betul juga yang dikatakan Sintua tersebut. Seakan-
akan mereka tidak perlu lagi yang namanya khotbah (jamita), uang menjadi urusan serius
mereka datang ke gereja. Setelah itu, saya juga semakin malas memberikan sedekah terhadap
mereka. Selama ini saya sendiri tidak pernah mengetahui hal tersebut. Dalam pikiran saya
ketika itu, ”ahh dang toho be halak on”.

Pengalaman kedua yang saya terima, karna memang letak HKBP Pematangsiantar dan
HKBP Jl.Cornel Simanjuntak berdekatan, ketika itu gereja HKBP Pematangsiantar lebih
cepat selesai ibadah dan mereka sudah mengamen disana. Karna mengingat jam, mereka
bergegas (sekencang mungkin berkendara) dan hampir menabrak untuk sampai di gereja
HKBP Jl.Cornel Simanjuntak agar dapat mengamen kembali di gereja tersebut. Dengan
pemikiran, agar dapat uang dari kedua gereja ini. Sepenglihatan jemaat, ketika itu juga
mengatakan,”ai halak i tabo dope pas mulak tor mangallang mie pansit, hita on pe so
mangallang mie pansit. Dan mereka (pengamen) akan merasa sakit hati ketika kedua gereja
ini bersamaan jam akhir ibadahnya, karna penghasilan hari itu akan berkurang.

Hal yang saya keluhkan juga, janganlah setiap hari minggu yang mengamen itu-itu
saja orangnya, paling tidak bervariasilah. Saya melihat satu pengamen cacat fisik
(menggendong-gendong orang dewasa yang tidak dapat berjalan normal) yang setiap hari
minggu pasti datang ke gereja kita ini. Alangkah baiknya memang kita membantu, tetapi
bergantilah agar yang lain juga mendapat perhatian. Jika mereka ada usaha semisal bernyanyi,
sedikit banyaknya pastilah diberi. Tetapi saya kurang menerima, jika yang mengamen itu-itu
saja orangnya. Maka janganlah dulu mereka terlalu matrealistis.

 Narasumber : Sabrina Sihombing (25 Juli 2019)

Pekerjaan : Mahasiswa

Usia : 20 tahun
Pertanyaan : Bagaimana pendapat mu mengenai pengamen cacat fisik?

Jawaban : Saya sendiri jarang sekali untuk memberi kepada para pengamen. Saya hanya
pernah memberi 1 kali di tahun lalu, dan menjadi pemberian saya yang pertama dan terakhir
kepada pengamen cacat fisik. Ketika saya memberi saat itu, juga terlihat tidak begitu banyak
yang memberi pada pengamen-pangamen cacat fisik itu. Bagi saya sendiri, orang-orang
mengamen dilatarbelakangi oleh faktor tertentu misalnya memang dalam keadaan paling
membutuhkan uang. Saya mendapat pengalaman di Lapangan Bola atas, melihat pengamen
yang menipu dengan berpura-pura buta. Mereka bernyanyi ke tiap-tiap rumah, dengan sebuah
topi hanya untuk menutupi kebohongan mereka. Di samping itu, saya pernah salut kepada
salah seorang pengamen di gereja kita yang mengikuti ibadah di tahun yang lalu. Dengan
membawa kerajinan tangannya, gereja juga memberi ruang untuk mereka berjualan dengan
cara diting-tingkan, sehingga jualannya habis terjual. Justru saya lebih perhatian kepada
pengamen yang beribadah dulu daripada pengamen yang tidak beribadah. Harapan saya bagi
mereka, mari jangan gunakan kelemahan untuk menimbun pundi-pundi uang. Tapi diluar itu,
kreatif untuk membuat benda memiliki nilai jual.

 Narasumber : Irene Siregar (28 Juli 2019)

Pekerjaan : Siswa SMA (Sekolah Menengah Atas)

Usia : 15 tahun

Pertanyaan : Apa yang terlintas dalam pikiranmu ketika melihat pengamen cacat fisik di
depan gereja kita?

Jawaban : saya turut perihatin terhadap mereka. Apalagi melihat pengamen yang juga
membawa seseorang yang cacat fisik di dekatnya, saya lebih perihatin terhadap orang-orang
yang demikian. Bentuk perhatian saya wujudkan melalui sumbangan sukarela yang jika tidak
salah di dalam 6 bulan terakhir berkisar 7 kali. Saya juga memperhatikan seperti biasa
pastilah lebih banyak orang-orang yang lewat dari pada memberi. Saya tidak mempersalahkan
mereka, mungkin saja ada yang tidak memiliki uang kecil, buru-buru ataupun lupa. Satu kata
yang menggambarkan jemaat HKBP Jl.Cornel Simanjuntak adalah tidak peduli. Bagi saya
sosialitas gereja terhadap pengamen-pengamen cacat fisik sangatlah kurang.
4.3 Wawancara Pelayan Gereja

 Narasumber : Pdt.Andi F. Napitupulu, S.Th (Pendeta Ressort) , 23 Juli 2019

Pertanyaan : Bagaimana pendapat amang mengenai pengamen-pengamen cacat fisik?

Jawaban : sebenarnya jika kita ingin memberi, ya mari kita beri. Memang benar, terkadang
kita kecewa jika mereka berkali-kali datang, seolah-olah kita tidak ada keperluan. Tapi secara
umum saya melihat kekurangan mereka, kenapa kurang? Terkadangkan kita juga melihat
sikap. Yang pertama, sejak persembahan (pelean) spontanitas yang seharusnya di depan
gereja sewaktu bersalaman diganti menjadi pelean 2b, saya melihat jemaat menjadi terbeban.
Ketika spontanitas masih di depan gereja, jemaat hanya fokus pada itu saja. Seolah-olah tidak
melihat yang bernyanyi (pengamen) ini lagi. Nah sekarang setelah tidak ada spontanitas, saya
melihat seperti tidak ada lagi cara jemaat ini untuk menghindar walaupun tetap juga tidak ada
pemberian. Yang kedua, jemaat merasa lebih baik memberi kepada jemaat itu sendiri dari
pada orang pendatang. Semisal diadakannya Bazar sekolah minggu dan Naposobulung. Jika
saya melihat, memang harus kembali kepada diri kita masing-masing. Saya juga tidak
mengetahui apakah itu dikarenakan keadaan ekonomi jemaat yang mendominasi mereka
berbuat seperti itu. Tetapi saya pikir, “dok apala i”. Apa dampak berlebihan pada kita jika
memberi lima ribu? Pertanyaannya, apakah dia mau memberi lima ribu kepada pengamen?
Jika kita berpikir secara logika, mereka ingin memberi lima ribu berarti persembahannya
lebih dari lima ribu. Tetapi keadaan yang kita hadapi sekarang tidak begitu. Jemaat kini
berusaha menghindari pengamen, karena alasan mereka (jemaat) juga kekurangan, untuk apa
membantu pengamen tetapi hidup masih saja dalam ranah kekurangan.

 Narasumber : CPdt.Barnes Panjaitan, S.Th (Minggu, 7 Juli 2019)

Pertanyaan : Bagaimana menurut pandangan Amang mengenai kinerja Diakonia Sosial


HKBP Jl.Cornel Simanjuntak?

Jawaban : Sebenarnya, pelayanan Diakonia mulai dari Hatopan, Distrik dan Ressort hingga
ke Huria sudah berjalan. Gereja kita sudah memikirkan hal membantu jemaat-jemaat yang
pantas untuk dibantu. Tetapi memang benar-benar kepada jemaat yang sangat miskin, dalam
hal memang tidak punya apa-apa untuk dikerjakan. Hal ini diperkuat dengan program Huria
kita yang menyusun program “Segenggam Beras” (sekali sebulan) dan sedang berlangsung
sekarang ini. Tetapi jika nanti gereja tidak menemukan jemaat yang pantas untuk dibantu,
beras-beras ini akan dijual oleh gereja. Kemudian uang hasil dari penjualan (dihepengkon)
tersebut akan masuk ke dalam kas Dewan Diakonia. Setelah itu jika ada yang membutuhkan,
maka disanalah nanti Gereja akan memberikan bantuan misalnya kepada Yayasan Hephata
atau kepada lembaga-lembaga cacat mental. Disamping itu, gereja kita juga mempunyai
tabungan Diakonia yang dibuka sekali setahun, tabungan ini juga berguna untuk menambahi
kas Diakonia gereja kita. Pelean Diakonia setiap awal bulan juga ditujukan untuk keperluan
pelayanan Diakonia Sosial gereja kita.

Sebenarnya, Gereja kita HKBP peduli dengan pengamen-pengamen cacat fisik


tersebut. Jika dia ingin mendapat bantuan, haruslah jelas keterangan orang yang bersangkutan
dari mana dan ada surat pengantar yang jelas. Misalnya diberangkatkan dari Hephata beserta
dengan surat pengantarnya. Maka surat pengantar tersebut harus diberitakan (tingting) agar
semua jemaat mengetahui dengan jelas. Kebanyakan hal sekarang ini, mereka (pengamen)
menggunakan kekurangan mereka untuk mengumpuli rupiah mereka. Kesalahannya terletak
pada kedatangan mereka sendiri yang tidak jelas dari lembaga mana. Bisa saja mereka
disuruh-suruh pihak tertentu dan kita tidak tahu akan itu. Hingga kini memang belum ada
berjalan perhatian (action) kepada jemaat diluar jemaat kita sendiri terlebih kepada
pengamen-pengamen cacat fisik tersebut. Karna kita masih mendata jemaat-jemaat kita
sendiri yang perlu dibantu.

V. Ketidakadilan pada kaum Marginal (Pengamen cacat fisik)

Berdasarkan Pengakuan Iman Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Konfessi tahun
1996 Pasal 7 Tentang Gereja bagian C mengatakan:

Gereja itu adalah Am. Gereja yang Am, yaitu persekutuan semua orang kudus,
yaitu mereka yang mendapat bagian di dalam Yesus Kristus, yang berasal dari
setiap daerah atau bangsa, marga, kaum yang kaya dan miskin, laki-laki atau
perempuan dan dari segala bahasa (wahyu 7:9; Gal 3:28; 1 Kor 11:7-12) yang
mendapat bagian akan pemberiannya, yaitu: Kabar Baik, Roh Kudus, Iman,
Kasih dan Pengharapan. Dengan ajaran ini, kita menekankan Gereja itu
tidaklah berlainan walaupun status sosial dan kebangsaan warganya berbeda-
beda.
Landasan diatas menjadi modal bagi penulis untuk melihat ketidakadilan yang
diterima oleh pengamen jalanan. Kerap sekali pengamen mendapat sikap antipati dari jemaat
yang baru saja keluar dari pintu gereja. Dikala mereka mempertunjukkan kemampuan
bersamaan dengan keterbatasan (buta atau tidak dapat berjalan) mereka, hal tersebut hanya
menyentuh beberapa orang dari jumlah jemaat yang menghadiri kebaktian saat itu. Padahal,
jika ditelusuri jemaat baru saja mendapatkan pengajaran melalui khotbah yang disampaikan
oleh para pelayan. Terlepas dari isi pengajaran yang tidak menyuarakan ajaran-ajaran
“memberikan sedekah, memberi perhatian bagi orang membutuhkan atau berusaha
mengasihani orang lain” saat itu, jemaat secara hakiki seharusnya sudah memiliki dasar yang
kompeten akan ajaran “mengasihani sesama ciptaan terlebih orang-orang yang
membutuhkan”. Hal ini senada dengan perkataan Billy Graham (tulisan singkat Anwar Tjen),
“To feed and care for the world will require a spiritual revolution,”1.

Jemaat sebagai masyarakat yang heterogen sedang memperlakukan apa yang disebut
dengan Diferensiasi Sosial. Dalam hal ini, jemaat yang berasal dari kelompok sosial yang
berbeda sedang menitikberatkan posisi dan pengaruhnya terhadap kelompok sosial yang
dimilikinya. Pernyataan diatas searah dengan salah satu dari tiga faktor yang menyebabkan
integrasi sosial dan kerja sama antar kelompok dalam diferensiasi sosial menjadi pecah, yaitu
oleh karena pengaruh faktor ekonomi. Perbedaan antar kelompok bisa berubah menjadi
permusuhan atau minimal sikap antipati ketika perbedaan antara masing-masing kelompok itu
bersejajaran dengan kesenjangan kelas ekonomi2.

Disamping itu, para pengamen cacat fisik yang silih berganti datang ke gereja ini
setiap minggunya kurang mendapat tempat bagi Seksi Diakonia Sosial gereja. Hal ini patut di
telusuri di dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP tahun 2002 (Aturan dan Peraturan)
Pasal 5 mengenai Dewan. Terkhusus Dewan Diakoni Sosial dalam butir 4.2 menyatakan:

Seksi Diakoni Sosial adalah unit pelayanan yang dibentuk oleh Jemaat untuk
melaksanakan pelayanan diakonia kepada yang pantas dibantu. Tugasnya (2)
Melaksanakan pelayanan diakonia sosial kepada orang-orang yang terpenjara,
panti-panti asuhan, dan orang lain di luar jemaat itu sendiri.

Sampai sekarang ini, Dewan Diakonia Sosial HKBP Jl.Cornel Simanjuntak belum
menjalankan tugasnya dengan maksimal. Sejauh pengamatan dan pendengaran penulis, bahwa
1
Saut Sirait, dkk, Wajah Damai Negeriku, Penerbit Baskara Media, cetakan pertama, 2018, hlm. 22
2
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, edisi keempat, Jakarta:
Prenadamedia Group cetakan ke-8, 2015 hlm 200
Diakonia Sosial masih terlalu bergelut di dalam bentuk-bentuk pelayanan di jemaat itu
sendiri. Belum ada program tahunan yang dicanangkan oleh Dewan Diakonia untuk berusaha
menyentuh orang-orang di luar jemaat itu sendiri. Misalnya, pelayanan kepada jemaat yang
sedang sakit. Sesuai dengan keputusan rapat Huria, jemaat yang sakit dan jemaat yang
meninggal mendapat biaya santunan Rp.150.000,-/orang. Dan hal ini berlaku hanya kepada
jemaat yang terdaftar di HKBP Jl.Cornel Simanjuntak saja.

Pengamen cacat fisik penulis lihat sebagai orang pertama dari orang lain di luar jemaat
itu sendiri yang perlu mendapat perhatian lebih awal. Oleh karena tidak adanya program
dalam usaha memberi perhatian terhadap mereka, hal ini menjadi modal ketidakadilan itu.
Menumbuhkan sikap sadar terhadap kemanusiaan (humanity) pada setiap warga negara
sangatlah penting karena mereka yang memegang peranan penting dalam pembangunan serta
menjadi kebiasaan baik yang akan berlanjut di masa akan datang 3. Dan hal tersebut tidak
searah dengan hal yang diinginkan gereja kita HKBP untuk bekerja kepada orang-orang diluar
gereja kita atau yang berbeda label dengan kita. Beberapa orang mungkin merasa terancam
oleh perbedaan dan menjadikan perbedaaan itu sebagai sesuatu yang memusuhi dan
dimusuhinya (tulisan singkat Pdt.Saut Sirait, M.Th)4. Kerangka yang paling mudah untuk
dicerna adalah memaknai perbedaan dari perspektif pluralisme, karena dengan hal itu
menjamin keterlibatan orang-orang dari keyakinan dan budaya yang berbeda dalam
penciptaan masyarakat umum. Dalam hal ini tampak pluralisme melihat perbedaan itu sebagai
pemberian (given) yang indah dan positif5.

VI. Hubungan dengan Tritugas panggilan Gereja

Tritugas panggilan gereja merupakan serangkaian dari tugas hakikat gereja yang
ketiganya saling berhubungan satu sama lain. Diantaranya Koinonia, Marturia dan Diakonia.
Masing-masing tugas tersebut kini membentuk sebuah Dewan di tubuh gereja HKBP.

Sikap memarginalkan ataupun seminimalnya sikap antipati yang dilakukan oleh


jemaat HKBP Jl.Cornel Simanjuntak, setidaknya dilatarbelakangi kegiatan Tritugas yang
kurang dimaknai. Menurut Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002, Dewan Koinonia adalah
organ yang merencanakan dan melaksanakan pelayanan-pelayanan untuk memantapkan

3
Saut Sirait, dkk ,Wajah Damai Negeriku ,hlm. 142
4
Saut Sirait, dkk ,Wajah Damai Negeriku, hlm. 5
5
Saut Sirait, dkk ,Wajah Damai Negeriku, hlm. 6
persekutuan yang sehati, sepikiran, dan seperasaan di jemaat yang mencakup Seksi Sekolah
Minggu, Remaja, Pemuda, Perempuan, Bapak dan Lansia. Penulis kini membandingkan
tingkat keaktifan jemaat dalam keikutsertaannya di dalam persekutuan yang dibuka oleh
gereja.

Jumlah yang mengikuti Kebaktian Minggu:

(Minggu, 30 Juni 2019)

Kategori Bapa Ibu Nps. Nps.Per Rmj.lak Rmj.Pe TOTAL


laki-laki empuan i-laki rempua
n
Minggu 35 85 13 22 17 25 197 orang
Siang

(Minggu, 7 Juli 2019)

Kategori Bapa Ibu Nps.laki Nps.Per Rmj.lak Rmj.pe TOTAL


-laki empuan i-laki rempua
n
Minggu 45 90 17 20 13 35 220 orang
Siang

(Minggu, 14 Juli 2019)

Kategori Bapa Ibu Nps.Lak Nps.Per Rmj.La Rmj.Pe TOTAL


i-laki empuan ki-laki rempua
n
Minggu 87 12 22 23 25 35 313 orang
Siang

(Minggu, 21 Juli 2019)

Kategori Bapa Ibu Nps.Lak Nps.Per Rmj.La Rmj.Pe TOTAL


i-laki empuan ki-laki rempua
n
Minggu 57 98 42 33 25 27 282 orang
Siang

(Minggu, 28 Juli 2019)


Kategori Bapa Ibu Nps.Lak Nps.Per Rmj.La Rmj.Pe TOTAL
i-laki empuan ki-laki rempua
n
Minggu 42 100 15 27 17 28 229 orang
Siang

Jumlah yang mengikuti Partangiangan Sektor IV:

 (Selasa, 25 Juni 2019)

Sektor IV: Kel. P. Hutagalung/br. Simorangkir, Jl. Siborong-borong

Ama Ina Naposo ASM TOTAL


3 orang 16 orang 10 orang - 29 orang

 (Selasa, 2 Juli 2019)

==MANSOHOT==

 (Selasa, 9 Juli 2019)

Sektor IV: Kel. J. Sihombing/br. Butarbutar, Jl. Durian Gg. Sentul

Ama Ina Naposo ASM TOTAL


7 orang 14 orang 5 orang - 26 orang

 (Selasa, 16 Juli 2019)

Sektor IV: Kel. M. Ali/br. Rajagukguk, Jl. Tarutung belakang

Ama Ina Naposo ASM TOTAL


5 orang 10 orang 6 orang - 21 orang

 (Selasa, 23 Juli 2019)

Sektor IV: Kel.H. Hutabarat/br.Siallagan, Jl.Nias. No.1

Ama Ina Naposo ASM TOTAL


4 orang 9 orang 3 orang - 16 orang
Menurut data statistik persekutuan diatas, jemaat HKBP Jl.Cornel Simajuntak masih
kurang menyadari tingkat kewajiban yang telah gereja sediakan bagi mereka. Hal itu tampak
dari persentase kehadiran yang berfluktuasi dari jumlah jemaat secara keseluruhan. Terlebih
di persekutuan Partangiangan, masing-masing Kepala keluarga belum menggenapi
persekutuan dengan membawa seluruh anggota keluarganya untuk ikut serta. Jika dihitung
lebih lanjut kenyataan diatas tidak sepadan dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) menurut
Almanak HKBP yang diterbitkan tahun 2019 yaitu 260 Kepala Keluarga (KK).

Dewan Diakonia merupakan organ yang memikirkan dan melaksanakan pelayanan


Diakonia, meningkatkan pengetahuan dan kesehatan, demikian juga melaksanakan
percakapan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar maupun pemerintah yang mencakup
Seksi Diakonia Sosial, Seksi Pendidikan, Seksi Kesehatan, dan Seksi Kemasyarakatan. Setiap
tahunnya HKBP Jl.Cornel Simanjuntak telah memprogramkan akan kunjungan Diakonia
terhadap jemaat-jemaat yang berdukacita, kemalangan atapun sakit. Hal ini juga dibuktikan
dengan pemberian bantuan sebesar Rp.150.000/orang. Hal ini pun juga mengalami kesulitan
dalam kunjungannya. Masalahnya adalah ketika Parhalado gereja tidak mengetahui informasi
apapun jika ada pihak jemaatnya yang sedang berduka. Kejadian seperti ini menimbulkan
kecemburuan diantara kalangan jemaat.

Pelayanan Diakonia selanjutnya dinamakan “Segenggam Beras”. Melalui program ini


diharapkan Tema tahun Ulaon Parasinirohaon HKBP di gereja HKBP Jl.Cornel Simanjuntak
semakin mempertebal ikatan kasih antar sesama ciptaan. Program ini sedang berjalan sekali
sebulan melalui kerjasama jemaat dan parhalado. Program “Segenggam Beras” ini ditujukan
kepada jemaat gereja yang paling membutuhkan. Disamping itu, juga ditujukan kepada
orang-orang di luar gereja yang merasa perlu dibantu dalam hal ekonomi semisal panti asuhan
dll.

Dewan Marturia merupakan organ yang memikirkan dan melaksanakan kegiatan


pemberitaan injil di tengah-tengah jemaat dan masyarakat yang mencakup seksi Pekabaran
Injil dan Seksi Musik. Hingga saat ini memang belum terlaksana program yang direncanakan
dibawah naungan Dewan Marturia. Kegiatan Pekabaran Injil (sending ke dalam maupun
sending keluar) sama sekali tidak berjalan, hanya saja seksi musik yang selalu hadir
mengiringi rutinitas ibadah jemat.

VII. Penutup
Berdasarkan observasi yang dilakukan di HKBP Jl.Cornel Simanjuntak, penulis mendapat
jawaban yang sangat beragam. Tentu jawaban yang dihasilkan adalah benar berdasarkan
pengalaman-pengalaman narasumber terhadap pengamen cacat fisik. Di samping itu, penulis
memilih narasumber yang bervariasi berdasarkan usia, untuk mendapat jawaban etis dari
perkembangan setiap usia. Kepedulian terhadap sesama makhluk sosial pada masa kini
terkhusus jemaat HKBP Jl.Cornel Simanjuntak tercermin dari setiap jawaban narasumber
tersebut. Ada yang mendukung penuh dengan perhatian, tetapi ada juga yang sama sekali
belum menaruh perhatian. Tentu tidak ada jawaban yang dipersalahkan. Teori Schutz tentang
manusia (1967) yang meletakkan kalimat kondisi manusia dalam pengalaman subjektif dalam
bertindak dan mengambil sikap terhadap dunia kehidupan sehari-hari. Kemampuan inti
manusia dapat ditemukan dengan analisis atas unsur-unsur kesadaran praktis yang terus
berlangsung, aliran tindakan yang bersifat tetap yang terarah menuju serentetan tujuan yang
memungkinkan kita untuk memandang kehidupan menurut proyek-proyek yang dikejar
manusia (tulisan Mohammad Adib)6. Tetapi hendaknya kita mengingat perkataan Paulus
dalam suratnya 2 Korintus 8:14 “ Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu
mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan
kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan”. Melalui laporan observasi ini, sekiranya dapat
menjadi bahan pertimbangan pembaca dalam menata dan mengajarkan pesan-pesan teologis
dalam kehidupan berjemaat kelak.

Saya mengucap syukur mendapat kesempatan pengamatan/observasi di gereja HKBP.


Jl.Cornel Simanjuntak. Untuk melengkapi laporan ini, maka penulis melampirkan tanda
tangan penulis dan tanda tangan pimpinan jemaat di bawah ini.

Pematangsiantar, 28 Juli 2019

Pimpinan Jemaat Penulis

Pdt.Andi F.Napitupulu, S.Th Nazareth Nababan

Pendeta Ressort

6
Abdul Main., dkk, Fenomenologi Dalam Penelitian Sosial, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018 hlm.126

Anda mungkin juga menyukai