Anda di halaman 1dari 45

FILSAFAT PENDIDIKAN

Oleh : Suwandi

NIM : 22.23.026524

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
2022
SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT PENDIDIKAN

A. SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT

Sebelum filsafat lahir, muncul berbagai mitos tentang kelahiran


filsafat. Berbagai mitos berupaya menjelaskan asal mula dan peristiwa
yang terjadi di alam semesta serta sifat-sifat peristiwa itu. Mereka percaya
bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai suatu kebenaran yang
bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya, suatu kebenaran
lewat akal pikir (logis) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran
yang bersumber pada mitos (dongeng-dongeng).

Setelah pada abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang


menentang adanya mitos. Mereka menginginkan pertanyaan tentang
misteri alam semesta ini jawabannya dapat diterima akal (rasional). Upaya
para ahli pikir untuk mengarahkan kepada suatu kebebasan berpikir ini
kemudian banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang
dilandasi kekuatan akal pikir secara murni. Maka timbullah peristiwa
ajaib The Greek Miracle yang artinya dapat dijadikan sebagai landasan
peradaban dunia.

Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat Yunani lahir.

Pertama, bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos
dianggap sebagai awal dari upaya orang untuk mengetahui atau mengerti.
Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk
sementara kelihatan rasional sehingga muncul mistos selektif dan rasional,
seperti syair karya Homerus, Orpherus, dan lain-lain.

Kedua, Karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong


kelahiran filsafat Yunani, karya Homerus mempunyai kedudukan yang
sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang di
dalamnya mengandung nilai-nilai edukatif.

Ketiga, Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia


(Mesir) di lembah Sungai Nil. Kemudian berkat kemampuan dan
kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka
mempelajarinya tidak didasarkan pada aspek praktisnya saja, tetapi juga
aspek teoritis kreatif.

Dengan adanya ketiga faktor tersebut, kedudukan mitos digeser oleh


logos (akal), sehingga setelah pergeseran tersebut filsafat lahir. Pada
zaman Yunani ini terbagi menjadi dua periode, yaitu: periode Yunani Kuno
dan Periode Yunani Klasik. Periode Yunani Kuno diisi oleh ahli pikir alam
(Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenophones dan Democritos).
Sedangkan pada Periode Yunani Klasik diisi oleh ahli pikir seperti
Socrates, Plato dan Aristoteles.

Periode Yunani Kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Para
pemikir filsafat Yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota
perantauan Yunani yang terletak di pesisir Asia kecil. Mereka kagum
terhadap alam yang penuh nuansa dan ritual dan berusaha mencari
jawaban atas apa yang ada di belakang semua misteri itu.

B. BIOGRAFI SINGKAT FILSOF YUNANI KUNO

Thales (625-545 SM)

Nama Thales muncul atas penuturan sejarawan Herodotus pada


abad ke-5 SM. Thales sebagai salah satu dari tujuh orang bijaksana
(seven wise men of greece). Aristoteles memberikan gelar The Father of
Philosophy. Juga menjadi penasihat teknis ke-12 kota Iona. Salah satu
jasanya yang besar adalah meramal gerhana matahari pada tahun 585
SM.

Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi yang


mempertanyakan asal mula, sifat dasar dan struktur komposisi dari alam
semesta. Menurut pendapatnya, semua yang berasal dari air sebagai
materi dasar kosmis. Sebagai ilmuwan pada masa itu ia mempelajari
magnetisme dan listrik yang merupakan pokok soal fisika. Juga
mengembangkan astronomi dan matematika dengan mengemukakan
pendapat bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari,
menghitung terjadinya gerhana matahari dan bahwa kedua sudut alas dari
suatu segitiga sama kaki adalah sama besarnya.

Dengan demikian, Thales merupakan ahli matematika yang pertama


dan juga sebagai the father of deductive reasoning (bapak penalaran
deduktif). Walaupun pandangan-pandangan Thales banyak yang kurang
jelas, akan tetapi pendapatnya merupakan percobaan pertama yang masih
sangat sederhana dengan menggunakan rasio (akal pikir).

Anaximandros (640-546 SM)

Ia adalah orang pertama yang mengarang suatu traktat dalam


kesusastraan Yunani dan berjasa dalam bidang astronomi, geografi,
sehingga ia sebagai orang pertama yang membuat peta bumi. Ia berhasil
memimpin sekelompok orang yang membuat kota baru di Apollonia,
Yunani.

Pemikirannya, dalam memberikan pendapat tentang Arche (asas


pertama alam semesta), ia tidak menunjuk pada salah satu unsur yang
dapat diamati oleh indera, akan tetapi ia menunjuk dan memilih pada
sesuatu yang tidak dapat diamati indera, yaitu to aperion, sebagai sesuatu
yang tidak terbatas, abadi sifatnya, tidak berubah-ubah, ada pada segala-
galanya dan sesuatu yang paling dalam.

Pendapatnya yang lain, bumi seperti silinder, lebarnya tiga kali lipat
dari tingginya.sedangkan bumi tidak terletak atau bersandar pada sesuatu
pun. Mengapa bumi tidak jatuh? Karena bumi berada pada pusat jagat
raya. Pemikirannya ini harus kita pandang sebagai titik ajaran yang
mengherankan bagi orang-orang modern.

Pythagoas (572-497 SM)

Ia dilahirkan di pulau Samos, Ionia. Menurut Aristoxenos seorang


murid Aristoteles, Pythagoras pindah ke kota Kroton, Italia Selatan karena
tidak setuju dengan pemerintahan Polykrates yang bersifat tirani.
Pemikirannya, substansi dari semua benda adalah bilangan dan
segala gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-
perbandingan matematis. Bilangan merupakan inti sari dan dasar pokok
dari sifat-sifat benda (number rules the univese = bilangan memerintah
jagat raya). Ia juga mengembangkan pokok soal matematik yang termasuk
teori bilangan.
Pythagoras yang mengatakan pertama kali bahwa alam semesta itu
merupakan satu keseluruhan yang teratur, sesuatu yang harmonis seperti
dalam musik.

Xenophanes (570-? SM)

Ia lahir di Xolophone, Asia Kecil. Ketika berusia 25 tahun ia


mengembara ke Yunani. Pendapatnya yang termuat dalam kritik terhadap
Homerus dan Herodotus, ia membantah adanya antropomorfosisme
Tuhan-Tuhan, yaitu Tuhan digambarkan (seakan-akan) manusia. Karena
manusia selalu mempunyai kecenderungan berpikir dan lain-lainnya. Ia
juga membantah bahwa Tuhan bersifat kekal dan tidak mempunyai
permulaan. Ia juga menolak anggapan bahwa Tuhan mempunyai jumlah
yang banyak dan menekankan atas keesaan Tuhan. Kritikan ini ditujukan
kepada anggapan-anggapan lama yang berdasarkan pada mitologi.
Heraclitos (535-475 SM)

Heraclitos lahir di Ephesus, sebuah kota perantauan di Asia kecil


dan merupakan kawan dari Pythagoras dan Xenophones, akan tetapi lebih
tua. Pemikiran filsafatnya terkenal dengan “filsafat menjadi”. Ia
mengemukakan bahwa segala sesuatunya (yang ada itu) sedang menjadi
dan selalu berubah. Tentang pengetahuan pun demikian, yaitu bahwa
pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang berubah-ubah
sehingga apa yang disebutnya sebagai realitas merupakan sesuatu yang
khusus, jumlahnya banyak dan sifatnya dinamis. Realitas merupakan
dunia materi, dimana pada setiap realitas berbeda satu dengan yang
lainnya dan tidak ada hal yang tetap berlaku umum.

Pemikiran tentang benda, ia mengemukakan bahwa setiap benda


terdiri dari hal-hal yang sifatnya berlawanan atau bertentangan, dua
ekstrem yang saling bertolak belakang, walaupun demikian tetap
membentuk kesatuan. Ia mempercayai bahwa arche (asas alam semesta)
adalah api. Api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan,
api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada dan megubahnya
sesuatu itu menjadi abu atau asap, toh adanya api tetap ada, segala
sesuatunya berasal dari api dan akan kembali ke api.

Parmenides (540-475 SM)

Ia lahir di kota Elea, kota perantauan Yunani di Italia Selatan.


Kebesarannya sama dengan kebesaran Heraclitos. Dialah yang pertama
kali memikirkan tentang hakikat tentang ada (being). Sesuatu yang tetap
dan berlaku secara umum itu tidak dapat ditangkap melalui indera, akan
tetapi dapat ditangkap lewat akal atau pikiran. Untuk memunculkan realitas
tersebut hanya dengan berpikir. Yang ada (being) itu ada, yang ada tidak
dapat hilang menjadi tidak ada, dan yang tidak ada tidak akan mncul
menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada, sehingga tidak dapat
dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja sedang yang
tidak ada tidak dapat dipikirkan.

Zeno (490-430 SM)

Zeno lahir di Elea, dan murid dari Permenides. Menurut Aristoteles,


Zeno lah yang menemukan dialektika, yaitu suatu argumentasi yang
bertitik tolak dari suatu pengandaian atau hipotesa dan dari hipotesa
tersebut ditarik suatu kesimpulan. Dalam melawan penentang-
penentangnya, kesimpulan yang diajukan oleh Zeno dari hipotesa yang
diberikan adalah suatu kesimpulan yang mustahil, sehingga terbukti bahwa
hipotesa itu salah.

Empedocles (490-435 SM)

Lahir di Akragos, pulau Sicilia. Ia sangat dipengaruhi oleh ajaran


kaum Pythagorean, Parmenides, dan aliran keagamaan refisme. Ia pandai
dalam bidang kedokteran, penyair retorika, politik, dan pemikir. Ia menulis
karyanya dalam bentuk puisi, seperti Parmenides. Empedocles
sependapat dengan Parmenides, bahwa alam semesta di dalamnya tidak
ada hal yang dilahirkan secara baru, dan tidak ada hal yang hilang. Ia tidak
setuju dengan konsep ruang kosong, akan tetapi ia mempertahankan
adanya pluralitas dan perubahan dari hasil pengamatan indera.

Realitas tersusun oleh empat unsur, yaitu: api, udara, tanah, dan air.
Kemudian, empat unsur tersebut digabungkan dengan unsur yang
berlawanan. Sehingga penggabungan dari unsur-unsur yang berlawanan
tersebut akan menghasilkan suatu benda dengan kekuatan yang sama,
tidak berubah, dan walaupun dengan komposisi yang berbeda.

Terdapat dua unsur yang mengatur perubahan-perubahan di alam


semesta ini, yaitu: Cinta dan Benci. Cinta mengatur ke arah
penggabungan, benci mengatur ke arah perceraian atau perubahan.
Kedua unsur tersebut dapat meresap kemana saja. Proses penggabungan
dan perceraian ini terjadi secara terus-menerus, tiada henti-hentinya.

Anaxagoras (499-20 SM)

Dilahirkan di kota Klazomenai, Ionia, kemudian menetap di Athena


selama 30 tahun. Anaxagoras adalah ahli pikir yang pertama yang
berdomisili di Athena, di mana di kemudian hari Athena inilah menjadi
pusat utama perkembangan filsafat Yunani sampai abad ke-2 SM. Ia
pernah Disidang ke pengadilan dengan tuduhan mengajarkan bahwa
matahari adalah batu yang berpijar dan bulan adalah tanah, bukan sebagai
dewa seperti apa yang menjadi kepercayaan masyarakat pada saat itu.
Atas jasa Pericles, ia dapat dilepaskan dan kemudian melarikan diri ke
Lampsakos.

Pemikirannya, realitas bukanlah satu, akan tetapi terdiri dari banyak


unsur dan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu atom. Atom ini sebagai bagian
yang terkecil dari materi sehingga tidak dapat terlihat dan jumlahnya tidak
terhingga. Ia tidak sependapat dengan konsep ruang kosong, alasannya
bagaimana dengan gerak atom-atom itu apabila tidak ada ruang kosong.
Dan ruang yang kosong inilah yang menjadi syarat untuk bergeraknya
atom-atom. Tentang terbentuknya dunia (kosmos), atom-atom yang
berbeda bentuknya itu saling terkait, kemudian digerakkan oleh puting
beliung. Semakin banyak atom-atom yang bergerak akan menimbulkan
pusat gerak (atom yang padat).

Ia mengemukakan pemikirannya tentang nus, bahwa apa yang


dikemukakan oleh Empedocles tentang cinta dan benci yang
menyebabkan adanya penggabungan dan perceraian, maka Anaxagoras
mengemukakan yang menyebabkan benih-benih menjadi kosmos adalah
nus. Nus, yang berarti roh atau rasio, tidak tercampur dengan benih-benih
dan terpisah dari semua benda. Nus mengenal dan menguasai segala
sesuatu. Oleh karena ajarannya tentang nus inilah Anaxagoras untuk
pertama kalinya dalam filsafat dikenal dengan adanya pembedaan antara
yang jasmani dan yang rohani.

Democritos (460-370 SM)

Ia lahir di kota Abdera di pesisir Thrake di Yunani Utara. Dari karya-


karyanya ia telah mewariskan sebanyak 70 karangan tentang bermacam-
macam masalah seperti: kosmologi, matematika, astronomi, logika, etika,
teknik, puisi, musik, dan lain-lainnya. Sehingga ia dipandang sebagai
seorang sarjana yang menguasai banyak bidang. Pemikirannya, bahwa
realitas bukanlah satu, tetapi terdiri dari banyak unsur dan jumlahnya tak
terhingga. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian materi yang sangat
kecil, sehingga indera kita tidak mampu mengamatinya dan tidak dapat
dibagi lagi. Unsur-unsur tersebut dikatakan sebagai atom yang berasal dari
satu dari yang lain karena tiga hal: bentuknya, urutannya, dan posisinya.
Atom-atom ini tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan, tidak berubah
dan tidak berkualitas.

C. FILSAFAT SEBAGAI INDUK PENGETAHUAN

Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa
ragu- ragu dan filsafat dimulai dari keduanya. Dalam berfilsafat kita
didorong untuk mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang belum kita
tahu. Filsafat dalam pandangan tokoh-tokoh dunia diartikan sebagai
berikut:
 Plato (427 – 348 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
berminat mencapai kebenaran yang asli
 Aristoteles (382 – 322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung dalam ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
 Al Kindi (801 M), filsafat adalah pengetahuan tentang realisasi
segala sesuatu sejauh jangkauan kemampuan manusia
 Al Farabi (870 – 950 M), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang
alam wujud bagaimana hakikat sebenarnya.
 Prof. H. Muhammad Yamin, filsafat adalah pemusatan pikiran,
sehingga manusia menemui kepribadiannya. Di dalam
kepribadiannya itu dialami sesungguhnya.

Dalam kamus Bahasa Indonesia, filsafat dapat diartikan sebagai berikut


1. Teori atau analisis logis tentang prinsip-prinsip yang mendasari
pengaturan, pemikiran pengetahuan, sifat alam semesta.
2. Prinsip-prinsip umum tentang suatu bidang pengetahuan.
3. Ilmu yang berintikan logika ,estetika, metafisika, dan epistemologi
4. Falsafah

Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia


sebanyak mungkin dan menerbitkan serta mengatur semua itu dalam
bentuk sistematik. Dengan demikian filsafat memerlukan analisa secara
hati-hati terhadap penalaran- penalaran sudut pandangan yang menjadi
dasar suatu tindakan. Semua ilmu baik ilmu sosial maupun ilmu alam
bertolak dari pengembangannya yaitu filsafat. Pada awalnya filsafat terdiri
dari tiga segi yaitu
(1) apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika);
(2) mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika);
(3) apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika).
Kemudian ketiga cabang utama itu berkembang lagi menjadi cabang-
cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik.
Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
1. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
2. Etika (Filsafat Moral)
3. Estetika (Filsafat Seni)
4. Metafisika
5. Politik (Filsafat Pemerintahan)
6. Filsafat Agama
7. Filsafat Ilmu
8. Filsafat Pendidikan
9. Filsafat Hukum
10. Filsafat Sejarah
11. Filsafat Matematika

Ilmu tersebut pada tahap selanjutnya menyatakan diri otonom, bebas dari
konsep-konsep dan norma-norma filsafat. Namun demikian ketika ilmu
tersebut mengalami pertentangan-pertentangan maka akan kembali
kepada filsafat sebagai induk dari ilmu tersebut.

D. SISTEMATIKA FILSAFAT PENDIDIKAN


1. ANTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
ONTOLOGI merupakan suatu bidang kajian yang paling tua dalam
filsafat. Thales (624-546 SM), Antologi berasal dari bahasa Yunani Kuno,
Yaitu ANTHOS = KEBERADAAN dan LOGOS = BAHASAN. Jadi
“Ontology adalah Bahasan-bahasan tentang keberadaan”.
Pembahasan ontology menekankan pada hakikat sesuatu.
Pertanyaan yang muncul pada bidang kajian ini adalah, Apa sih hakikat
sesuatu tersebut ?
Dalam Antologi kita diajarkan untuk membahas dan memisahkan dua
keberadaan, yaitu PENAMPAKAN (Appearance) dan KENYATAAN
(Reality).

2. EPISDEMOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN


Episdemologi berasal dari bahasa yunani yaitu, EPISTEME =
Pengetahuan dan LOGOS = Bahasan. Jadi “Episdemologi adalah
bahasan-bahasan tentang pengetahuan”.
Pertanyaan yang muncul pada bidang kajian ini adalah, Bagaimana
manusia bisa berhubungan dengan atau mengetahui sesuatu diluar dirinya
?.
Episdemologi membahas tentang alat/sumber pengetahuan manusia yaitu
Akal Pikiran (Rasionalisme) dan Panca indra (Empirisme).

3. AKSIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN


Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu, AXIOS = Nilai dan
LOGOS = Bahasan. Jadi “Aksiologi adalah Bahasan-bahasan tentang
Nilai”
Aksiologi membahas dua nilai yaitu ETIKA (Moral) dan ESTETIKA
(Keindahan). Pertanyaan yang muncul dari pembahasan ini adalah,
Bagaimana Nilai Nilai itu di gunakan atau dimanfaatkan ?

E. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Definisi Filsafat secara Etimologis yaitu philosophia merupakan kata


majemuk yang terdiri dari atas philo dan shophia, dalam bahasa arab
disebut falsafah. Philo artinya (cinta), dan Sophia (kebijaksanaan).
Menurut Poedjawinata, philo artinya cinta, dalam arti luas, yaitu ingin, dan
karena itu lalu berusaha mencapai yang dinginkan itu. Sedangkan sophia
artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam.
Dengan demikian secara etimologis, philosopia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan.

Menurut Ciceros (106-43 SM) penulis Romawi, orang yang pertama


memakai kata-kata filsafat adalah Phytagoras (497 SM), sebagai reaksi
terhadap cendikiawan pada masanya yang menamakan dirinya ”Ahli
pengetahuan”. Phytagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya
yang lengkap tidak sesuai untuk manusia . tiap-tiap orang yang mengalami
kesukaran-kesukaran dalam memperolehnya dan meskipun
menghabiskan seluruh umurnya, namun ia tidak akan mencapai tepinya.
Jadi pengetahuan adalah perkara yang kita cari dan kita ambil sebagian
darinya tanpa mencakup keseluruhannya.

Oleh karena itu, datangnya kebijaksanaan bukan dari penglihatan


saja, tetapi juga dari penglihatan dan hati, atau dengan kata lain dengan
mata hati dan pikiran yang tertuju kepada alam yang ada di sekeliling kita,
banyak orang yang melihat tetapi tidak memperhatikan.

Sasaran pendidikan adalah manusia, yang mengandung banyak


aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sangat kompleks tersebut,
tidak ada satu batasan yang bisa menjelaskan Hakikat pendidikan secara
lengkap. Batasan yang diberikan para ahli beraneka ragam, karena
orientasi, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan atau
falsafah yang mendasarinya juga berbeda.
Menurut Ki Hajar Dewantara, Hakikat pendidikan ialah proses
penanggulangan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan
kualitas hidup pribadi serta masyarakat yang berlangsung seumur hidup.
Pada tingkat permulaan pendidik lebih menentukan dan mencampuri
pendidikan peserta didik. Setelah itu pendidik hanya sebagai pengasuh
yang mendorog, membimbing, memberi teladan, menuntun serta
menyediakan dan mengatur kondisi untuk membelajarkan peserta didik
sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang mampu memperbaharui
diri secara terus menerus dan aktif menghadapi lingkungan hidupnya.

Semua itu terlihat pada semboyan dan perlambangan yang


dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu, "ing ngarso sung
tuludo" artinya kalau pendidik berada dimuka, ia memberi teladan kepada
pendidiknya; “ing madya mangun karso” artinya kalau pendidik berada
di tengah, dia membangun semangat berswakarya dan berkreasi pada
peserta didiknya; dan “tut wuri handayani” artinya kalau pendidik berada
di belakang, dia mengikuti dan mengarahkan peserta didiknya agar berani
berjalan di depan dan sanggup bertanggungjawab serta mencari jalan
sendiri.

Sedangkan menurut Plato, Filsuf Yunani yang hidup dari tahun 429
SM- 346 mengatakan bahwa: “Pendidikan itu ialah membantu
perkembangan masing- masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu
yang memungkinkan tercapainya kesempurnaan.”

Sedangkan menurut Aristoteles, Filsuf terbesar Yunani, guru


Iskandar Makedoni, yang dilahirkan pada tahun 384 SM-322 SM
mengatakan bahwa: “Pendidikan itu ialah menyiapkan akal untuk
pengajaran.”

Pemerintah, dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 menyebutkan


bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
Negara” (Pasal 1 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003).

Filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan


kaidah falsafah dalam bidang pendidikan yang mencerminkan satu segi
dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada
pelaksanaan prinsip- prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi
dasar falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan
secara praktis. Masalah filsafat umum antara lain tentang hakikat hidup
yang baik, hakikat manusia yang ingin menerima pendidikan, hakikat
masyarakat yang menjalani proses sosial, dan hakikat realitas akhir yang
ingin dicapai semua pengetahuan.

Menurut Kneller (dalam Sadulloh, 2008:72) filsafat pendidikan


merupakan aplikasi filsafat spekulatif, preskriptif, dan analitik. Dikatakan
spekulatif karena berusaha membangun teori-teori hakikat manusia,
hakikat masyarakat, hakikat dunia yang sangat bermanfaat dalam
menafsirkan data sebagai hasil penelitian sains yang berbeda. Dikatakan
preskriptif bila filsafat pendidikan menentukan tujuan- tujuan yang harus
diikuti dan dicapainya, dan menentukan cara-cara yang tepat dan benar
untuk digunakan dalam mencapai tujuan. Filsafat pendidikan dikatakan
analitik bila ingin menjelaskan pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan
preskriptif seperti menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau
gagasan-gagasan pendidikan, dan bagaimana konsistensinya dengan
gagasan lain.

F. LATAR BELAKANG MUNCULNYA FILSAFAT PENDIDIKAN

Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai


definisi pendidikan. Pendidikan merupakan aktivitas rasional yang
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga
“belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instingnya. Manusia belajar dengan
otaknya melalui rangkaian kegiatan menuju pendewasaan untuk mencapai
kehidupan yang lebih berarti.

Pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan


manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Karena itu diperlukan sejumlah
landasan dan asas-asas tertentu dalam menentukan arah dan tujuan
pendidikan. Beberapa landasan pendidikan yang sangat memegang
peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah landasan
filosofis, sosiologis, dan kultural, Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi
akan mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan.

Selain itu, pendidikan merupakan kebutuhan bagi semua manusia,


manusia yang melupakan pendidikan bagaikan orang buta yang berjalan
tanpa tongkat di tangannya. Pendidikan memberikan banyak arti bagi
kehidupan manusia di dalam kehidupannya. Karena itulah manusia
mempelajari filsafat pendidikan, landasan filsafat pendidikan perlu di
kuasai oleh para pendidik, karena pendidikan bersifat normative. Selain itu,
pendidikan tidak hanya di pahami melalui pendekatan ilmiah yang bersifat
parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu dipandang secara holistik,
adapun kajian pendidikan secara holistik dapat dilakukan melalui
pendekatan filosofis.

Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme,


Realisme , Pragmatisme dan sebagainya. Pemahaman tentang filsafat
pendidikan ini akan membantu kita agar tidak terjerumus ke dalam filsafat
lain yang menjerumuskan kita, di samping itu, dengan mempelajari filsafat
pendidikan berguna memperkokoh landasan Filsafat pendidikan kita.

G. PENDIDIKAN SEBAGAI CABANG ILMU FILSAFAT

Sebagaimana cabang ilmu lainnya pendidikan merupakan cabang


dari filsafat. Namun pendidikan bukan merupakan filsafat umum/murni
melainkan filsafat khusus atau terapan. Dalam filsafat umum yang menjadi
objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu, sedangkan
filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan
manusia.
Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan
potensi- potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta,
rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya.

Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.


Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan.
organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai
masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) Filsafat Praktek Pendidikan dan
(2) Filsafat Ilmu Pendidikan.

Filsafat Praktek Pendidikan diartikan sebagai analisis kritis dan


komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan
dan dilaksanakan dalam kehidupan. Sedangkan Filsafat Ilmu Pendidikan
secara konsepsional diartikan sebagai analisis kritis komprehensif tentang
pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan
melalui riset baik kuantitatif maupun kualitatif.

Jika dalam Filsafat Praktek Pendidikan biasanya membahas


mengenai 3 (tiga) masalah pokok yaitu
(1) apakah sebenarnya pendidikan itu;
(2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya dan
(3) dengan cara apa tujuan pendidikan dapat dicapai,

maka dalam Filsafat Ilmu Pendidikan membahas mengenai


(1) struktur ilmu dan
(2) kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan pengetahuan tentang
kenyataan.

Objek dalam Filsafat Ilmu Pendidikan dapat dibedakan dalam 4 (empat)


macam yaitu:
1. Ontologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat subtansi
dan pola organisasi Ilmu Pendidikan
2. Epistomologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat
objek formal dan material Ilmu Pendidikan
3. Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-
cara kerja dalam menyusun ilmu pengetahuan
4. Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai
kegunaan teoritis dan praktis Ilmu Pendidikan

Pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang mendasar dan


mendalam, sehingga diperlukan analisis dan pemikiran filosofis. Selain
perumusan tujuan, seluruh aspek dalam pendidikan mulai dari konsep,
perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan
pemikiran filosofis.

H.DORONGAN SEJARAH FILSAFAT YUNANI TERHADAP FILSAFAT


PENDIDIKAN

Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan


tidak di daerah yang berperadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di
daerah lainnya, tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang
lebih bebas.

Dalam perkembangannya, filsafat Yunani sempat mengalami masa


pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas
Gereja dan imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan
filsafat di mana dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa
ketika itu.

Filsafat Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam dinasti


Abbasiyah sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia
filsafat Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para kaum filsuf
yang diwakili oleh Ibnu Rusyd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali
yang menganggap filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam
Atheisme. Hal ini terjadi setelah Ibnu Rusyd sendiri menyatakan bahwa
jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati
dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli atau mistikus agama.

Setelah abad ke-13, peradaban filsafat Islam benar-benar


mengalami kejumudan setelah kaum ulama berhasil memenangkan
perdebatan panjang dengan kaum filsuf. Kajian filsafat dilarang masuk
kurikulum pendidikan. Pemerintah mempercayakan semua konsep berfikir
kepada para ulama dan ahli tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa,
demam filsafat sedang menjamur. Banyak buku- buku karangan filsuf
muslim yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Ini sekaligus
menunjukkan bahwa setelah pihak gereja berkuasa pada masanya dan
sebelum peradaban Islam mulai menerjemahkan teks-teks aristoteles dan
lain sebagainya oleh Al Kindhi, di Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi
buku-buku filsafat hasil peradaban Yunani.

Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia Islam bisa


dikatakan telah usai dan berpindah ke Eropa, peradaban Islampun
mengalami kemunduran sementara di Eropa sendiri mengalami masa
yang disebut sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada
sekitar abad ke-15 M. Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas gereja.
Periode ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi terbelah. Doktrin
para pendeta katolik terus mendapatkan protes dari kaum Protestan.

Pemikiran-pemikiran permulaan filsafat pendidikan berkembang


dalam tingkat humanisme relativistik, humanisme ilmiah, dan humanisme
literer. Humanisme relativistik memandang kebenaran tak dapat dicapai,
akhirnya penampakan kebenaran dapat berlaku sebagai kebenaran itu
sendiri. Opini harus didukung oleh argumentasi yang lebih baik.
Humanisme ilmiah memandang pengetahuan mungkin bukan kebajikan,
tetapi pengetahuan adalah suatu fondasi yang esensial untuk tingkah laku
etis. Sedangkan humanisme literer memandang pendidikan dapat
menjadikan orang-orang yang berkebajikan secara alamiah lebih efektif
dan memproduksi orator yang sempurna “seseorang yang baik yang
terampil berbicara.” Dari ketiga pemikiran ini tampaknya yang kuat menjadi
pijakan filsafat pendidikan adalah humanisme literer.

Humanisme relativistik ditokohi oleh para filsuf seperti Protagoras


(481- 411 S.M.), Gorgias (483 S.M.), Prodicus (473 S.M.) dan lain-lain.
Pemikiran yang mereka terapkan dalam dunia pendidikan berhubungan
dengan usaha mendidik warga negara keturunan yang baik untuk
memegang senjata guna pertahanan Negara. Hanya saja sistem
pendidikan itu tertuju bagi warga negara yang sudah mapan yang
dipersiapkan untuk menempati barisan penguasa di Athena. Namun,
banyak penduduk Athena mengkritik keangkuhan intelektual dan
kelancangan filosofi pendidikan mereka.

Persangsian moral dan ketidakpastian intelektual para filsuf yang


relativistik diselamatkan oleh Plato, murid Socrates, yang membangun
fondasi pertama filsafat pendidikan dan menamakannya dengan
humanisme ilmiah. Humanisme ilmiah mengutamakan kebenaran dan
kebajikan. Kebenaran atau kebajikan tidak merupakan faktor kebetulan
dari waktu dan tempat, keduanya berdiri di atas bantuan ilmu dan filsafat.

Pokok-pokok pikiran humanisme ilmiah Plato diadopsi oleh muridnya


yang termasyhur, Aristoteles (384-322 S.M.). Kenyataannya, Aristoteles
menyimpang dari idealisme filosofis Plato dan menemukan kebenarannya
lebih sebagai hasil pencapaian intelektual. Kebenaran Plato adalah
spiritual dan rasional, kebenaran Aristoteles adalah material dan
eksperimental. Namun, humanisme ilmiah keduanya didukung oleh satu
dasar yang sehat, yaitu untuk mendidik manusia.

Humanisme literer mempunyai komitmen pada kesamaan pendapat


yang satu sama baiknya dengan pendapat yang lain. Paham ini
mempertaruhkan pendidikan pada kekuatan argumentasi yang lebih baik.
Kehidupan sosial politik harus dibentuk oleh orang-orang yang mampu
menggunakan kata-kata secara persuasif. Tokoh filsafat yang
memperhatikan pola persuasif itu adalah Socrates yang mempertajam
kemampuan oratorinya dengan meniti karir menulis profesional.

I. ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Ada beberapa aliran filsafat pada pendidikan diantaranya yaitu :


- Progresivisme memandang proses pembelajaran perlu ditekankan
pada pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan,
suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman
siswa.
- Konstruktivisme melihat pengalaman langsung siswa (direct
experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran.
- Humanisme/Humanistik, melihat siswa dari segi keunikan, potensi,
dan motivasi yang dimiliki.
1. PROGRESIVISME

Progresivisme telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan


kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan, baik secara
fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan
yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat
oleh orang lain. Filsafat progressivisme merupakan The Liberal Road of
Culture (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-
nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka
sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif, inovatif
dan reformatif, aktif serta dinamis. Untuk mencapai perubahan tersebut
manusia harus memiliki pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat:
fleksibel, curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open
minded. Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan
yang otoriter. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya
memfokuskan pada guru atau bidang muatan.

Kelebihan filsafat progresivisme


– Nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan.
– Toleran dan terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak
secara konstruktif, inovatif dan reformatif, aktif serta dinamis.
– Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir,
guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang
terpendam dalam dirinya
– Menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai
generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru

Kelemahan filsafat progresivisme


– Progresivisme terlampau menekankan pada pendidikan individu
– Kelas sekolah progresif artifisial / dibuat-buat dan tidak wajar
– Progresivisme bergantung pada minat dan spontan
– Siswa merencanakan sesuatu sendiri dan mereka tidak bertanggung
jawab terhadap hasil dari tugas-tugas yang dikerjakan

2. KONSTRUKTIVISME

Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran


konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata.

Kelebihan filsafat konstruktivisme


– Siswa berpikir aktif. Dalam proses membina pengetahuan baru,
murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, mengembangkan ide
dan membuat keputusan.
– Paham. Murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan
baru, sehingga mereka akan lebih paham dan boleh
mengapliksikannya dalam semua situasi.
– Ingat. Murid terlibat secara langsung dengan aktif, sehingga mereka
akan lebih mengingat semua konsep. Melalui pendekatan ini, murid
membina sendiri kefahaman mereka, maka mereka akan lebih yakin
menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
– Kemahiran sosial. Mengembangkan kemahiran sosial, karena dalam
pembelajaran terjalin interaksi dengan rekan serta guru dalam
membina pengetahuan baru, dimana mereka terlibat secara terus
menerus, mereka paham, mengingat, yakin dan berinteraksi.

Kelemahan filsafat konstruktivisme


- Dibutuhkan kemampuan guru dalam membantu siswa untuk aktif
dan membangun (mengkonstruksi) pengetahuan siswa. Seringkali
kemampuan guru masih kurang mendukung, karena masih
memandang pembelajaran sebagai 1 arah dan kurang melibatkan
siswa dalam membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata.
– Lembaga pendidikan (sekolah) masih belum bisa optimal
menciptakan masyarakat pebelajar. Pendidikan masih banyak
dipahami sebagai proses transfer pengetahuan semata, dari guru ke
siswa.

3. HUMANISME/HUMANISTIC

Humanisme berpandangan bahwa pendidikan berpusat pada subyek


didik. Belajar akan optimal apabila siswa terlibat secara penuh dan
sungguh serta berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses
belajar. Proses pendidikan berpusat pada subyek didik, dalam hal ini peran
guru dalam proses pendidikan sebagai fasiltator dan proses pembelajaran
dalam kontek proses penemuan yang bersifat mandiri.

Kelebihan filsafat humanisme


- Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang
bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan
analisis terhadap fenomena sosial.
– Menciptakan pembelajaran dimana siswa merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku
dan sikap atas kemauan sendiri.
– Mengarahkan siswa menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh
pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku

Kelemahan filsafat humanism


– Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan
dalam proses belajar
- Terlalu memberi kebebasan pada siswa

J. TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

seperti tertuang dalam dalam UU No. 20 tahun 2003 yaitu


pendidikan nasional “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan
pendidikan nasional tersebut memenuhi dimensi :
– ke-Tuhan-an,
– pribadi, dan
– sosial.

Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler,


bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik,
tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi
tersebut. Hal ini menggambarkan proses pendidikan yang diwarnai oleh
ketiga filsafat pendidikan baik konstruktivisme, progresivisme, maupun
humanism. Masing-masing aliran memiliki keunggulan dan kelemahan.
Sistem pendidikan di Indonesia secara selektif lebih mengkompromikan
dan mengakomodasi sesuai tujuan spesifik yang akan dicapai, dan sesuai
dengan berbagai kepentingan yang terkait erat dengan pendidikan.
LANDASAN AKSIOLOGIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN

Perumusan sistem pendidikan nasional membutuhkan pemikiran


yang mendalam, yaitu sampai ke pertimbangan landasan-landasan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan aksiologis sistem
pendidikan nasional penting sebagai dasar untuk menganalisis penerapan
teori pendidikan yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, terutama dalam
kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila. Fungsi pendidikan nasional adalah
untuk mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan membentuk
akhlak mulia dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai-nilai
religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi siswa agar
dapat berpikir secara rasional, dan berakhlak mulia dalam kaitannya
dengan nilainilai Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran,
kebaikan, keindahan, dan religius, serta konstruktif dan kreatif agar
mampu bertanggung jawab untuk memajukan bangsa Indonesia dalam
menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat modern didasarkan pada
demokrasi dan keadilan.

Pesera didik yang mampu membawa kemajuan sesuai cita-cita


masyarakat dan bangsanya. Kemajuan hidup yang dapat disamakan
dengan modernisasi tentunya bukan perubahan yang hanya terbatas untuk
meniru gaya hidup Barat yang rasional pragmatis. Meskipun modernisasi
lahir di Barat, tetapi modernisasi bukan merupakan perubahan yang hanya
terbatas pada menirukan gaya hidup orang Barat. Rasionalitas dan
kebebasan di Indonesia tidak harus sama dengan di Barat.

A. PENDAHULUAN
Pendidikan, terutama pendidikan formal merupakan salah satu proses
dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa yang penting. Sumber daya
manusia terdidik sebagai hasil pendidikan akan besar pengaruhnya pada
perkembangan hidup bermasyarakat dan berbangsa. Nilai-nilai dan norma-
norma moral yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa perlu diperhatikan agar kegiatan pendidikan dapat
menghasilkan sumber daya berkembang. di Barat hanya mengenal
kebenaran empiris dan cenderung menempatkan nilai-nilai kebendaan di
atas nilai-nilai hidup yang lain, sehingga dapat menjungkir balikkan hierarki
nilai yang sebenarnya. Kecenderungan tersebut menyebabkan
diabaikannya nilai-nilai dan norma-norma moral (Hadiwardojo, 1993:50).
Pendidikan dalam pandangan yang luas adalah proses pembentukan
pribadi dalam semua aspeknya, yaitu pembentukan aspek jasmani, akal,
dan hati. Tujuan pendidikan adalah kegiatan memberikan pengetahuan
agar kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya
(Djumberansyah, 1994:19). Proses pendidikan terutama pendidikan di
sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan pemikiran rasional yang
ditandai kemajuan ilmu dan teknologi, tetapi teori-teori ilmu dan teknologi
yang akan disampaikan perlu mempertimbangkan peningkatan dan
martabat manusia. Permasalahan utama yang dihadapi dalam proses
pendidikan ialah pemilihan nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam diri
anak didik (Arifin, 2000:75). Pendidikan seharusnya tetap terpadu dengan
keseluruhan sistem nilai dan norma moral yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat. Sikap ilmiah yang menjunjung kebenaran rasional dan
pengabdian kepada kehidupan bermasyarakat merupakan faktor yang
penting dalam pembinaan karakter bangsa. Seorang ilmuwan harus lebih
menitikberatkan penerapan teori yang berguna untuk kepentingan hidup
bermasyarakat dan berbangsa dibandingkan kepentingan pragmatis. Nilai-
nilai dan norma-norma moral Pancasila berfungsi sebagai landasan dan
pengarah bagi perumusan sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan
kecerdasan yang memadai (Tilaar, 2001:4). Sistem pendidikan nasional
Indonesia di masa sekarang dan untuk masa depan tentunya akan
bercirikan rasionalitas, tetapi tetap mempertimbangkan landasan nilai-nilai
hidup yang bersumber dari budaya Indonesia sendiri. Nilai-nilai hidup
berbangsa dan bernegara perlu menjadi pertimbangan utama dalam
merumuskan sistem pendidikan nasional. Nilai-nilai dan norma moral
Pancasila yang dijunjung tinggi di Indonesia dapat berfungsi ganda, yaitu
menanggulangi dampak negatif modernisasi sekaligus hambatan dari
ikatan-ikatan dan loyalitas primordial. Sistem pendidikan nasional
berfungsi untuk mendukung eksistensi bangsa Indonesia dan sekaligus
meningkatkan kualitasnya dalam menyesuaikan diri pada tata pergaulan
dunia modern (Kartodirdjo, 1994:49). Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab X
pasal 37 berisi ketentuan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan
menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan
bahasa. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi
tersebut tidak mewajibkan pendidikan Pancasila, sehingga terkesan
mengabaikan nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional penting dievaluasi. Perumusan sistem pendidikan nasional
memerlukan berbagai pertimbangan sampai ke landasan-landasan
filsafatinya, yaitu landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan
aksiologisnya.

B. LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN


Filsafat Pendidikan adalah cabang filsafat yang objek sasarannya
bidang pendidikan. Filsafat Pendidikan sesuai pemikiran filsafati yang kritis
dan mendalam akan membahas pendidikan sampai ke hakikatnya. Filsafat
Pendidikan secara khusus akan membahas landasan-landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis pendidikan. Landasan ontologis pendidikan
akan menganalisis hakikat keberadaan pendidikan yang terkait dengan
hakikat keberadaan manusia. Landasan epistemologis pendidikan akan
menganalisis hakikat kebenaran yang terkait dengan kebenaran teori-teori
pendidikan. Landasan aksiologis pendidikan akan menganalisis tentang
penerapan teori-teori pendidikan yang terkait dengan tujuan pendidikan,
terutama dalam hubungannya dengan nilai-nilai dan norma-norma moral
(Suharto, 2011:29). Landasan aksiologis pendidikan akan membekali para
pendidik berpikir klarifikatif tentang hubungan antara tujuan-tujuan hidup
dan pendidikan sehingga akan mampu memberi bimbingan dalam
mengembangkan suatu program pendidikan yang berhubungan secara
realitas dengan konteks dunia global. Manfaat mendalami landasan
aksiologis pendidikan adalah untuk secara konsisten merumuskan
landasan epistemologis pendidikan. Landasan epistemologis pendidikan
akan membantu para pendidik untuk dapat mengevaluasi secara lebih baik
mengenai tawaran-tawaran teori-teori yang merupakan solusi bagi
persoalan-persoalan utama pendidikan (Suharto, 2011:43). Filsafat
Pendidikan memiliki empat fungsi, yaitu fungsi spekulatif, normatif, kritis,
dan teoritis. Fungsi spekulatif menekankan bahwa Filsafat Pendidikan
berusaha memahami berbagai persoalan pendidikan, merumuskannya dan
mencarikan hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
pendidikan. Fungsi normatif Filsafat Pendidikan adalah sebagai penentu
arah dan pedoman pendidikan. Fungsi normatif tersebut meliputi tujuan
pendidikan apa yang akan ditentukan, manusia model apa yang ingin
dicetak dan norma-norma atau nilai-nilai apa yang hendak dibina. Filsafat
Pendidikan melakukan fungsi kritis artinya memberi dasar bagi pengertian
kristis-rasional dalam mempertimbangkan dan menafsirkan data-data
ilmiah pendidikan. Filsafat Pendidikan juga berfungsi teoretis, karena
senantiasa memberikan ide, konsepsi, analisis, dan berbagai teori bagi
upaya pelaksanaan pendidikan. Filsafat Pendidikan menentukan prinsip-
prinsip umum bagi suatu praktek pendidikan (Suharto, 2011:46).
Brameld mengelompokkan berbagai pandangan untuk memenuhi fungsi-
fungsi Filsafat Pendidikan berdasarkan teori-teori sebagai berikut.
Pertama, progresivisme. Teori progresivisme didasarkan pada
konsep pendidikan yang pada hakikatnya progresif. Pendidikan bukan
hanya menyampaikan pengetahuan, melainkan yang lebih penting adalah
melatih kemampuan berpikir rasional. Berpikir adalah penerapan cara-cara
ilmiah seperti mengadakan analisis, pertimbangan, dan memilih di antara
beberapa alternatif yang tersedia. Tujuan pendidikan diartikan sebagai
rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, yaitu mengadakan
penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan lingkungan
(Brameld, 1999:91).
Kedua, esensialisme. Teori esensialisme didasarkan pada konsep
pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yaitu yang hakiki
kedudukannya dalam kebudayaan. Nilainilai yang dijadikan dasar adalah
nilai-nilai yang telah teruji oleh waktu. Proses pendidikan merupakan
perantara atau pembawa nilai-nilai budaya untuk dibawa masuk ke jiwa
anak didik (Brameld, 1999:204).
Ketiga, perenialisme. Teori perenialisme didasarkan pada konsep
agar pendidikan kembali kepada jiwa pencerahan yang menguasai abad
pertengahan. Jiwa pencerahan abad pertengahan yang rasional telah
menuntun manusia hingga dapat mengerti adanya tata kehidupan yang
telah ditentukan secara rasional untuk menemukan evidensi-evidensi diri
sendiri (Brameld, 1999:288).
Keempat, rekonstruksianisme. Teori rekonstruksianisme didasarkan
pada konsep agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk
secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan
perkembangan masyarakat modern sebagai akibat pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Penyesuaian seperti ini akan membuat anak
didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas (Brameld, 1999: 296).

C. AKSIOLOGI DAN HAKIKAT NILAI


Aksiologi sebagai Cabang Filsafat Nilai-nilai kebenaran, keindahan,
kebaikan, dan religius adalah nilai-nilai keluhuran hidup manusia. Nilai-nilai
keluhuran hidup manusia dibahas oleh cabang filsafat yang disebut
aksiologi. Aksiologi membahas tentang nilai secara teoretis yang
mendasar dan filsafati, yaitu membahas nilai sampai pada hakikatnya.
Karena aksiologi membahas tentang nilai secara filsafati, maka juga
disebut philosophy of value (filsafat nilai).
Aksiologi adalah cabang Filsafat yang menganalisis tentang hakikat
nilai yang meliputi nilai-nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, dan religius
(Kattsoff, 1996:327). Hakikat nilai adalah kualitas yang melekat dan
menjadi ciri segala sesuatu yang ada di alam semesta dihubungkan
dengan kehidupan manusia. Nilai bukanlah murni pandangan pribadi
terbatas pada lingkungan manusia. Nilai merupakan bagian dari
keseluruhan situasi metafisis di alam semesta seluruhnya.
Pengertian nilai apabila dibahas secara filsafati adalah persoalan tentang
hubungan antara manusia sebagai subjek dengan kemampuan akalnya
untuk menangkap pengetahuan tentang kualitas objekobjek di sekitarnya.
Kemampuan manusia menangkap nilai didasari adanya penghargaan yang
dihubungkan dengan kehidupan manusia. Fakta yang meliputi keseluruhan
alam semesta bersama manusia menciptakan situasi yang bernilai.
Pernyataan tentang nilai tidak dapat dikatakan hanya berasal dari dalam
diri manusia sendiri, tetapi kesadaran manusia menangkap sesuatu yang
berharga di alam semesta (Brennan, 1996:215).
Hararkhi Nilai Nilai-nilai dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi
dan ada yang lebih rendah. Hirarkhi nilai dikelompokkan ke dalam empat
tingkatan (Deeken, 1995:44-47) seperti berikut.
Pertama, nilai-nilai kenikmatan. Tingkatan nilai ini meliputi nilai-nilai
kebendaan yang mengenakkan secara jasmaniah dan menyebabkan
orang senang. Contoh: rasa enak setalah makan, atau karena memunyai
uang yang banyak.
Kedua, nilai-nilai kehidupan. Tingkatan nilai kehidupan meliputi nilai-
nilai yang penting bagi kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Contoh:
keterampilan, kesehatan, kesejahteraan perorangan sampai dengan
keadilan bermasyarakat.
Ketiga, nilai-nilai spiritual. Tingkatan nilai spiritual meliputi macam-
macam nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan
jasmani. Nilai kejiwaan ini meliputi kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Keempat, nilai-nilai kerohanian. Tingkatan nilai kerohanian meliputi
modalitas nilai yang suci. Nilai kerohanian ini terdiri dari nilai-nilai pribadi,
terutama dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai pribadi paling tinggi
dan suci. Contoh : keimanan dan ketakwaan.

Norma Moral Nilai kebaikan manusia secara khusus dibahas dalam


etika sehingga nilai kebaikan sering disebut nilai etis. Nilai etis menjadi
sumber nilai bagi penilaian baik atau buruknya manusia sebagai manusia,
bukan dalam hubungan dengan peran tertentu, misalnya sebagai ilmuwan,
seniman, atau pedagang. Etika yang secara khusus membahas nilai
kebaikan manusia dalam perkembangannya dapat dibedakan dua macam,
yaitu sebagai berikut.
Pertama, etika dipahami dalam pengertian yang sama dengan
moralitas. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara
hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan
hidup yang baik tersebut dianut dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibakukan dalam
bentuk kaidah aturan atau norma yang disebarluaskan, dipahami, dan
diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah aturan atau norma ini
pada dasarnya menyangkut baik atau buruknya perilaku manusia (Keraf,
2002:2).
Kedua, etika dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan
moralitas. Etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus
tertentu. Etika adalah filsafat moral yang membahas dan mengkaji secara
kritis persoalan baik dan buruk secara moral, tentang bagaimana harus
bertindak dalam situasi konkret.

Manusia melakukan refleksi kritis untuk menentukan pilihan, sikap, dan


bertindak secara benar secara moral sebagai manusia. Refleksi kritis ini
menyangkut tiga hal.
(1) Refleksi kritis tentang norma moral yang diberikan oleh etika dan
moralitas dalam pengertian pertama, yaitu tentang norma moral yang
dianut selama ini.
(2) Refleksi kritis tentang situasi khusus yang dihadapi dengan segala
keunikan dan kompleksitasnya.
(3) Refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia
atau kelompok masyarakat tentang segala sesuatu yang ada di
dunia. Misalnya, paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat,
sistem sosial politik, dan Moralitas (karakter) seseorang dan
kelompok masyarakat dapat dinilai tinggi atau rendah ditinjau dari
sudut pandang nilai kebaikan.

Norma-norma moral adalah pedoman-pedoman untuk hidup luhur sesuai


dengan nilai kebaikan. Norma-norma moral bersumber dari kebiasaan
hidup yang baik dan tata cara hidup yang baik. Norma-norma moral
merupakan tolok ukur untuk menentukan benar atau salah sikap dan
tindakan manusia ditinjau dari segi baik atau buruk sebagai manusia dan
bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas (Magnis-Suseno,
2008:19).
Nilai kebaikan sebagai sumber normanorma moral memunyai ciri-ciri
sebagai berikut.
Pertama, absolut dan objektif karena moralitas pada manusia
seharusnya bebas dari sifatsifat mementingkan diri sendiri yang terdapat
pada kehendak-kehendak relatif.
Kedua, primer, karena moralitas pada manusia melibatkan suatu
komitmen untuk bertindak dan merupakan landasan hasrat yang paling
utama.
Ketiga, real atau nyata karena moralitas merupakan kenyataan
bukan sekedar angan-angan atau semu belaka.
Keempat, universal dan terbuka, karena moralitas mengharuskan
lingkup yang terbuka sepanjang waktu.
Kelima, bersifat positif dan bukan yang negatif, karena norma moral
dapat berwujud anjuran-anjuran maupun laranganlarangan.
Keenam, hierarkhi tinggi, karena nilai kebaikan memiliki ciri intrinsik
yang menjadi sumber nilai bagi norma-norma moral (Moekijat, 1995:72).

D. LANDASAN AKSIOLOGIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


Nilai-nilai Budaya Nilai sesungguhnya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kebudayaan. Para ahli kebudayaan berpandangan bahwa
membahas tentang kebudayaan harus didasarkan pada petunjuk
keyakinan tentang nilai-nilai kejiwaan, yaitu baik-buruk, benar-salah, indah-
jelek, dan suci-dosa. Nilai sebagai hasil konsep ukuran yang diyakini
seseorang atau kelompok masyarakat merupakan bagian dari
kebudayaan. Konsep ukuran tersebut tidaklah bebas dari penilaian.
Konsep ukuran nilai sekaligus juga merupakan objek bernilai yang
potensial untuk dinilai. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penilaian
seseorang pada dasarnya merupakan penilaian yang bersifat sementara.
Suatu ketika seseorang dapat memutuskan hasil penilaian atas dasar
konsep ukuran yang telah diyakininya, namun hasil penilaian itu akan
berubah seiring dengan berubah atau berkembangnya konsep ukuran
yang diyakininya. Hasil penilaian seseorang memang dapat berubah,
tetapi tidak berarti bahwa seseorang tidak memunyai pendirian. Sangat
berbahaya justru apabila seseorang tetap mempertahankan konsep
ukuran lama yang telah diyakini, sedangkan konsep ukuran baru yang
lebih baik telah hadir. Kenyataan demikian justru harus disadari agar
seseorang mau terbuka, mau terus-menerus mengadakan dialog dengan
lingkungan masyarakat dalam arti luas, yaitu dengan sistem keyakinan
yang dianut, dengan hasil penilaian yang telah dibuat, dengan budaya
baru yang hadir. Dialog dengan lingkungan masyarakat akan
memunculkan suatu pemahaman yang lebih kaya atas objek-objek bernilai
sehingga konsep ukuran yang diyakini juga akan menjadi lebih kaya
(Brameld, 1999:12). Benoit (1996:85) menekankan bahwa pemilihan nilai-
nilai budaya ditentukan dalam konteks sosial, yaitu sebagai berikut.
Pertama, dari sudut pandang sejarah, nilai-nilai budaya merupakan hasil
dari gerakan sejarah yang konkret. Meskipun nilai-nilai budaya dari sudut
pandang filsafat merupakan nilai mutlak, mendasar, dan universal, namun
nilai-nilai itu dinyatakan (diajarkan, disajikan, digarisbawahi) dan dipelajari.
Pernyataan dan penjelasan mengenai nilai-nilai tersebut merupakan
produk sosial, hasil kerja manusia, atau hasil dari gerakan sejarah yang
konkret. Kedua, dari sudut pandang sosiologi, ada gunanya dibedakan
beberapa kelompok nilai budaya. Nilai-nilai ada yang mengungkapkan
perintah secara umum abstrak. Nilai-nilai yseperti ini kerap kali
menunjukkan kebutuhan (hak, keweajiban) yang dipandang mutlak dan
universal, misalnya keadilan, cinta kasih, kejujuran. Nilai-nilai juga dapat
menunjukkan kebutuhan umum tetapi kurang mendasar, misalnya
keramahan, ketekunan, kesopanan dan sebagainya. Nilai-nilai yang
bersifat umum dan abstrak, yang tidak mengacu pada keadaan tertentu,
terkadang dikatakan bahwa nilai-nilai tersebut tidak berkaitan dengan
konteks sosial. Pemilihan nilai-nilai oleh suatu masyarakat, cara
merumuskan, memahami dan mempelajarinya dalam kenyataannya
menununjukkan bahwa nilai-nilai tersebut betapapun abstrak dan universal
memunyai kaitan dengan konteks sosial tertentu. Nilai-nilai budaya adalah
jiwa kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Tata
hidup merupakan pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang
bersifat abstrak. Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindera,
sedangkan nilai budaya hanya dapat ditangkap oleh budi manusia. Nilai
budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan
yang berupa sarana kebudayaan. Sarana kebudayaan pada dasarnya
merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat fisik yang merupakan
produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam
berkehidupan (Suriasumantri, 1994:262). Setiap kebudayaan memunyai
skala hirarkhi mengenai nilai yang dipandang lebih penting dan yang
dipandang kurang penting. Pendidikan sebagai usaha yang sadar dan
sistematis dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran,
kepribadian, dan kemampuan fisiknya, memunyai tugas untuk mengkaji
terus nilai-nilai kebudayaan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan
adalah pengembangan nilai budaya yang telah tertanam dalam diri anak
didik agar tetap relevan dengan perkembangan jaman. Nilai-nilai budaya
sebagai suatu sistem merupakan suatu rangkaian konsep abstrak yang
hidup dalam alam pikiran warga masyarakat, yaitu mengenai apa yang
harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Nilainilai budaya
sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi
sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya
sebagai sistem hanya merupakan konsep-konsep yang abstrak tanpa
perumusan yang tegas, sehingga memerlukan suatu pedoman yang nyata
berupa norma-norma, hukum dan aturan, yang bersifat tegas dan konkret.
Norma-norma dan aturan-aturan tersebut harus tetap bersumber pada
sistem nilai budaya dan merupakan pemerincian dari konsep-konsep
abstrak dalam sistem nilai tersebut (Koentjaraningrat, 1997:388). Nilai-nilai
Pancasila sebagai Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional
merupakan suatu subsistem dari sistem kehidupan nasional, yang berarti
bahwa sistem pendidikan nasional merupakan subsistem dari kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sistem pendidikan nasional bukanlah sesuatu
yang bebas nilai dan bebas budaya karena merupakan bagian dari sistem
komunitas nasional dan global. Sistem pendidikan harus selalu bersifat
dinamis, kontekstual, dan selalu terbuka kepada tuntutan relevansi di
semua bidang kehidupan. Sistem pendidikan nasional tidak perlu berisi
aturan pelaksanaan terperinci karena yang penting memunyai kejelasan
konsep dasar dan nilai-nilai budaya yang menjadi landasan di setiap
pelaksanaan jenjang pendidikan (Tilaar, 2001:10). Landasan aksiologis
sistem pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila, karena nilai-nilai
budaya Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila sebagai
landasan aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia merupakan
konsistensi landasan ontologisnya. Landasan ontologis sistem pendidikan
nasional Indonesia adalah pandangan bangsa Indonesia tentang hakikat
keberadaan manusia. Hakikat pribadi kebangsaan Indonesia terdiri atas
nilai-nilai hakikat kemanusiaan dan nilainilai tetap yang khusus sebagai ciri
khas bangsa Indonesia. Nilai-nilai hakikat kemanusiaaan menyebabkan
bangsa Indonesia dan orang Indonesia sama dengan bangsa lain dan
orang bangsa lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan dapat menjadi ciri khas bangsa-bangsa lain,
tetapi kesatuan rumusannya secara lengkap sebagai Pancasila hanya
dimiliki dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia (Notonagoro, 1980:93).
Nilai-nilai keluhuran hidup manusia yang terkandung dalam sila kedua
Pancasila dirumuskan dari pengertian hakikat manusia sehingga landasan
aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia merupakan implementasi
landasan ontologisnya. Landasan ontologis sistem pendidikan nasional
Indonesia adalah hakikat keberadaan manusia, yaitu sebagai makhluk
majemuk tunggal atau monopluralis. Susunan kodratnya terdiri atas unsur-
unsur tubuh dan jiwa (akal-rasa-kehendak) dalam kesatuan ketunggalan;
sifat kodratnya adalah sifat makhluk perseorangan dan makhluk sosial
dalam kesatuan ketunggalan, serta kedudukan kodratnya sebagai pribadi
berdiri sendiri dan makhluk Tuhan dalam kesatuan ketunggalan. Nilai-nilai
kemanusiaan bangsa Indonesia bukan hanya nilai-nilai kebenaran,
keindahan, dan kebaikan, tetapi masih ditambah ciri khas adil dan
beradab. Kemanusiaan yang beradab tidak memisahkan kemampuan akal
dari rasa dan kehendak, tetapi menyatukannya dalam kerjasama.
Kerjasama akal, rasa, dan kehendak disebut budi atau kepercayaan-
keyakinan. Budi dapat mengenal dan memahami nilai religius sebagai
kenyataan mutlak. Nilai religius meliputi nilai-nilai keabadian dan
kesempurnaan yang memunyai sifat mutlak dan tetap atau tidak berubah.
Kemanusiaan yang adil meliputi hubungan keadilan selengkapnya, yaitu
adil pada diri sendiri, masyarakat dan negara, serta pada Tuhan sebagai
asal mula manusia (Notonagoro, 1980:91). Negara Indonesia bukan
lembaga agama, tetapi memiliki tertib negara dan tertib hukum yang
mengenal hukum Tuhan, hukum kodrat, dan hukum susila (etis). Hukum-
hukum tidak tertulis tersebut menjadi sumber bahan dan sumber nilai bagi
negara dan hukum positif Indonesia. Peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan penguasa wajib menghormati dan memperhatikan nilai-
nilai religius yang telah diwahyukan oleh Tuhan dan nilai-nilai
kemanusiaan

E. REFLEKSI KRITIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


Landasan aksiologis sistem pendidikan nasional bermanfaat untuk
menganalisis tentang penerapan teori-teori pendidikan yang terkait dengan
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan terutama dalam
hubungannya dengan nilai-nilai keluhuran hidup. Landasan aksiologis
sistem pendidikan nasional Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Bab I Pasal 1 Ayat 3 berisi ketentuan bahwa sistem pendidikan nasional
adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara
terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Ketentuan ini
menempatkan tujuan pendidikan nasional menjadi penting, yaitu sebagai
pertimbangan utama untuk merumuskan komponen-komponen pendidikan
yang lain terutama untuk mengevaluasi secara lebih baik mengenai
tawaran-tawaran teori-teori yang merupakan solusi bagi persoalan-
persoalan utama pendidikan.
Bab II Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Rumusan tentang tujuan pendidikan nasional ini sebagai kesatuan kalimat


tidak menunjukkan konsep yang jelas. Susunan kata-katanya terlalu rinci
dan tidak jelas hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila. Rumusan
tentang tujuan pendidikan nasional ini perlu diperbaiki dengan
memperhatikan pandangan bangsa Indonesia tentang hakikat manusia
sebagai landasan ontologisnya dan nilai-nilai utama landasan
aksiologisnya, yaitu nilai-nilai Pancasila. Tujuan pendidikan nasional
tentunya tetap bercirikan rasionalitas, tetapi rasionalitas yang
berkeadaban. Berpikir rasional yang berkeadaban adalah kemampuan
berpikir rasional yang mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan,
keindahan, dan religius. Perumusan tujuan pendidikan nasional supaya
bersifat konseptual, maka penting memperhatikan berbagai teori-teori
pendidikan yang ada agar dapat dilakukan perumusan yang komprehensif.
Berbagai teori-teori pendidikan yang dijadikan pertimbangan merumuskan
tujuan pendidikan adalah Esensialisme, tetapi tidak meninggalkan ranah
tujuan menurut teori-teori progresivisme perenialisme, dan
rekonstruksianisme.

Tujuan pendidikan berdasar teori esensialisme adalah internalisasi nilai-


nilai budaya ke jiwa anak didik.
Tujuan pendidikan berdasar teori progresivisme adalah agar anak didik
mampu berbuat sesuatu dengan pemikiran kreatif untuk mengadakan
penyesuaian terus-menerus sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Tujuan pendidikan berdasar teori perenialisme adalah pertumbuhan jiwa
yang rasional agar anak didik dapat menemukan evidensi-evidensi diri
sendiri.
Tujuan pendidikan berdasar teori rekonstruksianisme adalah tumbuhnya
kemampuan untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan
perubahan dan perkembangan masyarakat modern.

Rumusan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti ketentuan


Bab II Pasal 3 dapat diperbaiki dengan meliputi unsur-unsur utama
sebagai berikut. Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan berpikir rasional dan membentuk watak yang luhur sesuai
nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
mampu berpikir rasional dan berwatak luhur, yaitu menjunjung tinggi nilai-
nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius, serta secara konstruktif
dan demokratis menjadi warga negara yang kreatif dan bertanggung jawab
untuk memajukan bangsa Indonesia dalam menyesuaikan diri dengan
tuntutan perkembangan masyarakat modern yang berkeadilan.

Bab X Pasal 37 berisi ketentuan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan


menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan
bahasa. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi
tersebut telah diimplementasikan berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006. Struktur kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta perguruan tinggi tidak mewajibkan mata
pelajaran dan mata kuliah Pendidikan Pancasila dengan pertimbangan
digabungkan pada Pendidikan Kewarganegaraan. Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta perguruan tinggi tahun 2006 oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dipertimbangkan untuk dikembangkan dalam
arti disesuaikan dengan tantangan dan kompetensi masa depan.
Rancangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta perguruan
tinggi yang baru telah disosialisasikan pada 29 Nopember sampai 23
Desember tahun 2012. Rancangan kurikulum baru akan
diimplementasikan tahun 2013 dengan dimulai untuk kelas I, IV, VII, dan X
di seluruh sekolah. Pelatihan guru dan tenaga kependidikan akan
diselenggarakan pada Maret 2013. Implementasi kurikulum baru
dikembangkan untuk kelas I, II, IV, V, VII, VIII, X, dan XI di seluruh sekolah
pada tahun 2014. Implementasi secara menyeluruh untuk kelas I sampai
XII pada tahun 2015. Rancangan kurikulum baru akan dievaluasi secara
formatif pada Juni 2013 dan evaluasi summatif pada tahun 2016. Struktur
kurikulum baru tahun 2013 untuk Sekolah Dasar akan meminimumkan
jumlah matapelajaran dari 10 menjadi 6 matapelajaran. Matapelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam diintegrasikan menjadi materi pembahasan tematik di
pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika. Matapelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial diintegrasikan menjadi materi pembahasan tematik di
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, serta Bahasa
Indonesia. Matapelajaran Muatan Lokal menjadi materi pembahasan di
pelajaran Seni Budaya, Prakarya, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga,
dan Kesehatan. Matapelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke
semua matapelajaran. Struktur kurikulum baru tahun 2013 untuk kelompok
A meliputi matapelajaran Agama, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Kelompok B
meliputi matapelajaran Seni Budaya dan Prakarya, serta Pendidikan
Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Struktur kurikulum baru tahun 2013
untuk Sekolah Menengah Pertama akan meminimumkan jumlah
matapelajaran dari 12 menjadi 10 matapelajaran. Matapelajaran Muatan
Lokal menjadi materi pembahasan di pelajaran Seni Budaya, Prakarya,
serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Matapelajaran
Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua matapelajaran. Struktur
kurikulum baru tahun 2013 untuk kelompok A meliputi matapelajaran
Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan
Bahasa Inggris. Kelompok B meliputi matapelajaran Seni Budaya dan
Prakarya, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Struktur
kurikulum baru tahun 2013 untuk Sekolah Pendidikan Menengah akan
meniadakan jurusan untuk Sekolah Menengan Atas. Matapelajaran
jurusan akan dijadikan Matapelajaran Peminatan Akademis. Struktur
kurikulum baru Sekolah Pendidikan Menengah meliputi 3 kelompok.
Kelompok A meliputi matapelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Sejarah
Indonesia, dan Bahasa Inggris. Kelompok B meliputi matapelajaran Seni
Budaya, Prakarya, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.
Kelompok C meliputi matapelajaran peminatan akademis untuk Sekolah
Menengah Atas dan matapelajaran peminatan akademis dan vokasi untuk
Sekolah Menengah Kejuruan. Struktur kurikulum Sekolah Menengah Atas
meliputi matapelajaran kelompok A dan B sebagai matapelajaran wajib.
Kelompok C sebagai kelompok matapelajaran Peminatan Akademis, dan
kelompok matapelajaran pilihan.Kelompok C, yaitu matapelajaran
Peminatan Akademis dibedakan 3 peminatan.
Pertama, Peminatan Matematika dan sains meliputi matapelajaran
Matematika, Biologi, Fisika, dan Kimia.
Kedua, Peminatan Sosial meliputi matapelajaran Geografi, Sejarah,
Sosiologi dan Antropologi, serta Ekonomi.
Ketiga, Peminatan Bahasa meliputi metapelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, Bahasa dan Sastra Arab, serta
Bahasa dan Sastra Mandarin.

Kelompok matapelajaran pilihan meliputi matapelajaran Literasi Media,


Teknologi Terapan, dan Pilihan Pendalaman Minat atau Lintas Minat.
Struktur kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan meliputi matapelajaran
kelompok A dan B sebagai matapelajaran wajib. Kelompok C sebagai
kelompok matapelajaran Peminatan Akademis dan Vokasi meliputi
metapelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris vokasi, dan
keterampilan/kejuruan. Permasalahan kurikulum baru tahun 2013 yang
perlu mendapat tanggapan adalah diintegrasikannya matapelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam menjadi materi pembahasan tematik di pelajaran
Bahasa Indonesia dan Matematika untuk kelas V dan VI. Matapelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial diintegrasikan menjadi materi pembahasan
tematik di pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, serta
Bahasa Indonesia. Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian
adalah dihapusnya jurusan di Sekolah Menengah Atas dan
dikembalikannya matapelajaran Pendidikan Pancasila dalam kesatuan
dengan matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pengintegrasian
matapelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial
apabila diartikan bukan penghapusan, maka dapat dibenarkan. Peminiman
dalam arti pengurangan jumlah jam untuk pelajaran kognitif memang
diperlukan agar tersedia waktu yang cukup untuk membentuk pribadi yang
berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif. Konsekuensinya
adalah perlu penyusunan silabus, buku ajar, dan dokumen kurikulum
(struktur kurikulum, standar kompetensi lulusan, kompetensi inti,
kompetensi dasar, dan pedoman) yang konsisten dengan landasan filsafati
pendidikan. Permasalahan dihapusnya jurusan di Sekolah Menengah Atas
juga dapat dibenarkan, agar tidak terjadi kelompok strata atau kasta di
sekolah. Siswa yang satu akan berbeda dengan siswa yang lain, karena
perbedaan peminatan akademis. Permasalahan dikembalikannya mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dalam kesatuan dengan matapelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan juga benar, karena nilai-nilai Pancasila
adalah kepribadian bangsa Indonesia. Pendidikan Agama, Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan unsur utama
pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah upaya terencana bukan
hanya untuk mengenal melalui pembelajaran kognitif, tetapi memerlukan
kepedulian dan internalisasi nilai-nilai (Haryanto, 2011: 17). Pendidikan
nilai meliputi ranah kognitif, afektif, dan psiko motoris. Tujuan pendidikan
nilai bukan hanya untuk memunyai pengetahuan tentang keluhuran nilai,
tetapi juga untuk menumbuhkan simpati dan empati. Pendidikan nilai
memerlukan waktu yang cukup agar anak didik mampu berbudipekerti
luhur (Jirzanah, 2008:109). Permasalahan yang penting dan perlu
ditindaklanjuti sebagai akibat rancangan kurikulum baru tahun 2013 adalah
perlunya penyesuaian beberapa ketentuan di dalam Undangundang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Bab X pasal 37 berisi ketentuan, bahwa kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta perguruan tinggi tidak mewajibkan
matapelajaran dan matakuliah Pendidikan Pancasila. Konskwensi lebih
lanjut adalah rumusan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada
bab II pasal 3 juga perlu diperbaiki agar jelas hubungannya dengan nilai-
nilai Pancasila.

E. PENUTUP
Landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional merupakan konsistensi
landasan ontologisnya, yaitu pandangan bangsa Indonesia tentang hakikat
keberadaan manusia. Hakikat keberadaan manusia adalah sebagai
makhluk majemuk tunggal atau monopluralis. Susunan kodratnya terdiri
dari unsur-unsur tubuh dan jiwa (akal-rasa-kehendak) dalam kesatuan
ketunggalan; sifat kodratnya adalah sifat makhluk perseorangan dan
makhluk sosial dalam kesatuan ketunggalan, serta kedudukan kodratnya
sebagai pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan dalam kesatuan
ketunggalan. Landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional adalah
nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai religius yang menjadi dasar dan sumber
nilai bagi nilai kemanusiaan. Nilai-nilai religius dan kemanusiaan menjadi
dasar dan sumber nilai bagi nilai persatuan kebangsaan, nilai demokrasi
kerakyatan, dan nilai keadilan. Landasan aksiologis sistem pendidikan
nasional merupakan landasan pertimbangan merumuskan tujuan
pendidikan, terutama dalam hubungannya dengan nilai-nilai dan norma-
norma moral Pancasila. Rumusan tentang fungsi dan tujuan pendidikan
nasional seperti ketentuan bab II pasal 3 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 perlu diperbaiki. Fungsi pendidikan
nasional adalah mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan
membentuk watak yang luhur sesuai nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai-nilai
ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang mampu berpikir rasional dan berwatak luhur, yaitu
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius,
serta secara kreatif dan konstruktif menjadi warga negara yang
bertanggung jawab untuk memajukan bangsa Indonesia dalam
menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan masyarakat modern
yang demokratis dan berkeadilan. Kurikulum baru tahun 2013 yang
mengembalikan matapelajaran dan matakuliah Pendidikan Pancasila
berdiri sendiri tidak dalam kesatuan dengan Pendidikan Kewarganegaraan
sangat tepat. Nilai-nilai Pancasila adalah landasan aksiologis Sistem
Pendidikan Nasional
MEMBANGUN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA

Abstrak
Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara (ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) adalah
wasiat luhur yang patut dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan
pendidikan karakter. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah
bersifat nasional. Artinya, secara nasional pendidikan harus memiliki corak
yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia
yang terdiri atas banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki
kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya.
Penyelenggaraan pendidikan jangan terjebak pada pencapaian target
sempit yang hanya melakukan transfer pengetahuan, tetapi perlu dengan
sengaja mengupayakan terjadinya transformasi nilai untuk pembentukan
karakter anak bangsa. Pembentukan karakter peserta didik perlu
melibatkan tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat)
secara sinergis. Pengembangan karakter peserta didik perlu
memperhatikan perkembangan budaya bangsa sebagai sebuah
kontinuitas menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan
tetap memiliki sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia
(konsentris).
Kata Kunci: Membangun Karakter; Filsafat Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara

Abstract
The education system put forward by Ki Hadjar Dewantara (ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, and tut wuri handayani) is a noble
will that should be used as a reference in the development of character
education. Education according to Ki Hadjar Dewantara must be of a
national nature. This means that nationally education must have the same
style without ignoring local culture. The Indonesian nation which consists of
many tribes, races, and religions should have a common pattern in
developing the character of their nation's children. The implementation of
education should not be trapped in the achievement of narrow targets that
only transfer knowledge, but it is necessary to deliberately pursue the
transformation of values for the formation of national character. Character
building of students needs to involve tri education centers (family, school,
and community) synergistically. Character development of students needs
to pay attention to the development of national culture as a continuity
towards the unity of world culture (convergence), and still have personality
traits in the world humanitarian environment (concentric).
Keyword: Character Building; Educational Philosophy Ki Hadjar
Dewantara

1. Pendahuluan

Pemuda masa kini hidup dalam dunia yang serba pragmatis sebagai
dampak dari globalisasi yang memasuki budaya Indonesia melalui
perkembangan teknologi dan informasi yang sangat memikat. Globalisasi
tidak selalu mendatangkan dampak negatif seperti tersebut di atas. Akan
tetapi, globalisasi di Indonesia lebih banyak mendatangkan dampak
negatif, seperti pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif,
hedonis, dan materialistik. Akibatnya, pemuda masa kini belajar hanya
untuk meraih hasil yang baik dengan mengandalkan segala cara tidak
terkecuali mencontek yang sudah menjadi budaya bagi siswa yang hanya
mementingkan nilai dari pada ilmu. Hal tersebut menunjukan akhlak
generasi muda Indonesia yang bobrok. Perilaku dan sikap bangsa
Indonesia di kalangan generasi muda, khususnya anak didik perlu terus
diperkuat sehingga dapat melahirkan generasi muda yang handal dan
memiliki karakter yang kuat, salah satunya dengan menumbuhkan minat
baca untuk menambah pengetahuan. itu penting agar bangsa Indonesia
dapat berkembang dan sejajar dengan bangsa-bangsa asing dalam
pergaulan internasional, tetapi tidak larut dalam arus globalisasi.
Bangsa Indonesia membutuhkan lima karakter untuk dapat
menampilkan jati dirinya dan bersaing dengan bangsa lain. Pertama,
karakter bangsa yang bermoral (religius). Bangsa ini harus sarat dengan
nilai-nilai moral dan etika keagamaan sebagai sebuah pandangan dan
praktik. Kedua, karakter bangsa yang beradab. Beradab dalam arti luas,
menjadi suatu bangsa yang memiliki karakter, berbudaya, dan
berperikemanusiaan. Ketiga, karakter bangsa yang bersatu, di dalamnya
termasuk menegakkan toleransi, tidak mungin Indonesia dapat bersatu
tanpa adanya toleransi, keharmonisan, dan persaudaraan. Keempat,
karakter bangsa yang berdaya, dalam arti yang luas berdaya berati
menjadi bangsa yang berpengetahuan, terampil, berdaya saing secara
mental, pemikiran maupun teknis. Daya saing bukan hanya sekadar dalam
arti materi dan mekanik, melainkan dalam makna secara mental, hati, dan
pikiran. Kelima, karakter bangsa yang berpartisipasi. Partisipasi sangat
diperlukan untuk menghapus sikap masa bodoh, mau enaknya saja, dan
tidak pernah peduli dengan nasib bangsa Indonesia. Karakter partisipasi
ditandai dengan penuh peduli, rasa dan sikap bertanggung jawab yang
tinggi serta komitmen yang tumbuh menjadi karakter dan watak bangsa
Indonesia (Ismadi. 2014: 29).
Menurut survei yang dilakukan oleh United Nations Educational, Scientific,
and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2016 bahwa minat baca
masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah, yakni 0,001 persen. Hal
ini sangat disayangkan karena masyarakat Indonesia tidak ada kesadaran
terhadap menumbuhkan minat baca. Seharusnya Indonesia belajar dari
buku berjudul “Sekolah Taman Siswa” karangan Ki Hadjar Dewantara.
Buku tersebut telah dijadikan referensi di Finlandia, tetapi di Indonesia
buku tersebut tidak dibaca. Dalam buku tersebut, salah satunya Ki Hadjar
Dewantara telah menuliskan tentang kondisi belajar yang menyenangkan.
Pemerintah Finlandia telah mengikuti pandangan Ki Hadjar Dewantara
dengan mengubah sistem belajar dan situasi di sekolah menjadi lebih
nyaman dan menggembirakan. Berbeda dengan sekolah dan instansi
pendidikan di Indonesia yang peserta didiknya lebih banyak merasa stres
saat belajar (Belarminus, 2014).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai lembaga yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
memandang pentingnya pendidikan karakter dalam diri anak didik agar
dapat menjadi bekal kelak di masa depan dalam menggapai cita-cita anak
bangsa. UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, menerangkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak yang bermartabat. Dalam hal ini, proses pendidikan
harus ditanamkan nilai-nilai moral. Penanaman nilai moral tidak hanya
menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga dan lingkungan
masyarakat karena dalam proses pembelajaran tidak hanya berlangsung
di sekolah. Ki Hadjar Dewantara membedakan lingkungan pendidikan
menjadi tiga yang dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Lingkungan
keluarga jika ditinjau dari ilmu sosiologi, keluarga adalah bentuk
masyarakat kecil yang terdiri atas beberapa individu yang terikat oleh
suatu keturunan, yakni kesatuan dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat.
Keluarga tempat anak diasuh dan dibesarkan, berpengaruh besar
terhadap pertumbuhan dan perkembangannya baik secara fisik maupun
mental.
Lingkungan sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena
pengaruhnya sangat besar pada jiwa anak. Jadi, di samping keluarga
sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat
pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Sekolah merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak,
terutama untuk kecerdasannya. Lingkungan masyarakat adalah
lingkungan tempat tinggal anak, juga meliputi teman-teman anak di luar
sekolah. Kondisi orang-orang di lingkungan desa atau kota tempat tinggal
anak juga turut memengaruhi perkembangan jiwanya (Yuwono, 2015).
2. Metode

Metode yang dipergunakan di dalam artikel ini adalah study kepustakaan,


yaitu menelaah sumber pustaka primer dan sekunder yang terkait dengan
karakter dalam perspektif filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara. Telaah
penelitian sejenis juga dilakukan agar didapat simpulan yang valid.

3. Hasil dan Pembahasan

Ki Hadjar Dewantara
Mengangkat pemikiran seorang tokoh besar seperti Ki Hadjar
Dewantara tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan
kondisi sosioal dan politik masa hidupnya yang mengiringi pertumbuhan
pemikirannya, tentunya akan memberikan dampak yang kurang baik
karena pada dasarnya Ki Hadjar Dewantara merupakan produk sejarah
masa lampau. Oleh karena itu, situasi dan kondisi yang berkembang ikut
menentukan perkembangan dan corak pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ki
Hadjar Dewantara terlahir dari keluarga kerajaan Paku Alam yang
merupakan keturunan bangsawan, lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei
1889 dengan nama R.M. Suwardi Suryaningrat. Ayah Ki Hadjar Dewantara
bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat, putra dari Kanjeng Gusti
Pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III
(Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4. 1989). Ki Hadjar Dewantara
merupakan keturunan dari Paku Alam III, dan mendapat pendidikan
agama dari ayahnya.
Beliau juga mendapat pelajaran falsafah Hindu yang tersirat dari
cerita wayang dan juga satra jawa gending. Ki Hadjar Dewantara di dalam
keluarganya banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh
dengan nuansa kerajaan yang feodal. Walaupun ayahnya seorang
keturunan dari Paku Alam III, Ki Hadjar Dewantara seorang yang sangat
dekat dengan rakyat karena pada masa kecilnya Ki Hadjar Dewantara
senang bergaul dengan anak-anak kebanyakan di kampung-kampung
sekitar puri tempat tinggalnya. Ki Hadjar Dewantara menolak adat feodal
yang berkembang di lingkungan kerajaan. Hal ini dirasakan olehnya bahwa
adat yang demikian menganggu kebebasan pergaulannya (Taman Siswa,
1979). Pada masa itu, pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang
dari kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang
dapat mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan
Belanda.
Ki Hadjar Dewantara sewaktu kecil mendapat pendidikan formal
pertama kali pada tahun 1896. Akan tetapi, Ki Hadjar Dewantara merasa
kecewa karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama
sebab mereka hanya rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan
memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya dalam
melakukan perjuangannya, baik dalam dunia politik maupun pendidikan. Ki
Hadjar Dewantara juga menentang kolonialisme dan foedalisme yang
menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan kemerdekaan
dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan
merata (Soeratman, 1985). Kecintaan Ki Hadjar Dewantara terhadap ilmu
pengetahuan dan agama membuatnya menjadi sosok yang memiliki
pengetahuan dan wawasan yang sangat luas sehingga membuat beliau
dihormati oleh rakyat dan disegani oleh musuh. Ki Hadjar Dewantara
melihat ketimpangan pendidikan yang dialamai oleh rakyat kecil sehingga
mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk berusaha memperjuangkan rakyat
kecil agar dapat mengenyam pendidikan karena bagi Ki Hadjar Dewantara,
pendidikan merupakan hak setiap manusia dan juga bekal bagi masa
depan.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Karakter

A. Pengertian Pendidikan Karakter


Pendidikan dalam konteks sekarang kurang relevan untuk mengatasi
krisis moral yang sedang melanda di negara Indonesia. Krisis tersebut
antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka
kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian
remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi,
dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga
saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Sistem pendidikan Indonesia
masih jauh dari kata berhasil untuk menghasilkan generasi penerus
bangsa yang cerdas ilmu dan perilaku, dibuktikan dengan banyak
munculnya kasus-kasus korupsi dalam pemerintahan, kejahatan seksual
yang merajalela, narkoba yang terus memakan korban dsb. Berdasarkan
realita tersebut perlu adanya perombakan sistem pendidikan agar dapat
menghasilkan generasi yang cerdas akal dan budi pekertinya.
Pendidikan karakter menjadi wacana yang telah lama dibicarakan oleh
berbagai pihak dalam kaitannya dengan generasi Indonesia, seperti apa
yang hendak dihasilkan untuk menggantikan generasi sebelumnya.
Wacana pendidikan karakter telah ada pula sebelum kemerdekaan atau
sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Di antaranya adalah tokoh
pendidikan nasional yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui bidang pendidikan yang merupakan bapak pendidikan
Nasional, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Sepak terjang Ki Hadjar Dewantara
di dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi, peranan Ki Hadjar
Dewantara sangat besar dalam sejarah pendidikan tanah air. Ki Hadjar
Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah “Menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (Taman Siswa,
1977).
Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan adalah
”Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect)
dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-
pisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik
selaras dengan dunianya” (Taman Siswa, 1977). Definisi pendidikan yang
dikembangkan Ki Hadjar Dewantara, menunjukkan bahwa Ki Hadjar
Dewantara memandang pendidikan moral sebagai suatu proses yang
dinamis dan berkesinambungan. Di sini tersirat pula wawasan kemajuan
karena sebagai proses pendidikan harus mampu menyesuaikan diri
dengan tuntutan kemajuan zaman.
Keseimbangan unsur cipta, rasa, dan karsa yang tidak dapat
dipisah-pisahkan ini memperlihatkan bahwa Ki Hadjar Dewantara tidak
memandang pendidikan hanya sebagai proses transfer ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge). Hal ini sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh
Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan pada masa itu (kolonial Belanda)
penuh dengan semangat keduniawian (materialism), penalaran
(intellektualism) serta individualism (Taman Siswa, 1977). Pendidikan
merupakan upaya untuk mengembangkan ranak kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Muara ranah kognitif adalah tumbuh dan berkembangnya
kecerdasan dan kemampuan intelektual akademik, ranah afektif bermuara
pada terbentuknya karakter kepribadian, dan ranah psikomotorik akan
bermuara pada keterampilan dan perilaku. Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa terdapat tiga aspek dalam
pembelajaran, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Pengetahuan adalah bentuk dari prinsip dan fakta, keterampilan
adalah pemerolehan kemampuan melalui pelatihan atau pengalaman.
Sikap didefinisikan sebagai suatu pendapat, perasaan atau mental
seseorang yang ditunjukkan oleh tindakan. Pendidikan sebagai upaya
untuk memajukan budi pekerti, baik itu kekuatan batin maupun karakter
agar anak didik dapat menemukan kesempurnaan hidup. Ki Hadjar
Dewantara memandang pentingnya pendidikan karakter sebagai bekal
untuk meraih cita-cita karena karakter manusia menjadi modal utama
dalam menjalani kehidupan. Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan
pendidikan adalah sebagai daya dan upaya yang dilakukan untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran
dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu
kehidupan dan penghidupan anak-anak peserta didik dapat selaras
dengan dunianya (Taman Siswa, 1967).
Pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara
memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekadar
proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi
sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai
(transformation of value). Dengan kata lain, pendidikan adalah proses
pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia. Di
sisi lain, karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan budi
pekerti, kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak.
Ki Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan
karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik karena dapat
membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan
kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum
kebatinan). Jika itu terjadi, orang akan senantiasa dapat mengalahkan
nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli, seperti bengis, murka, pemarah, kikir,
keras, dan lain-lain (Taman Siswa. 1977). Karakter adalah pola untuk
membentuk peserta didik yang beradab, membangun watak manusia yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya,
cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat jasmani dan rohani sehingga bisa
mewujudkan manusia yang mandiri serta bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan bangsa, Negara, dan masyarakat pada umumnya.

B. Tujuan Pendidikan Karakter


Tujuan pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah membangun
anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya
serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna
dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta
manusia pada umumnya (Suparlan, 1984). Ki Hadjar Dewantara
mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan,
yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam
masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan, tetapi juga dengan
maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju
kearah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat
ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu sebagai
berikut.

1. Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus


merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut
penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa
lain.
2. Konvergensi yang berarti kita harus menghindari hidup menyendiri,
terisolasi, dan mampu menuju ke arah pertemuan antarbangsa dan
komunikasi antarnegara menuju kemakmuran bersama atas dasar
saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-
masing.
3. Konsentris yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi
dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan
kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka
yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri, meskipun bertitik
pusat satu, tetapi dalam lingkaran yang konsentris masih tetap
memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan negara
Indonesia dengan negara lainnya (Taman Siswa, 1977).

C. Dasar Pendidikan
Falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara bukan semata-mata
sistem pendidikan perjuangan, melainkan juga merupakan suatu
pernyataan falsafah dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Sistem
pendidikan tersebut kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli. Ki
Hadjar Dewantara mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan
Taman Siswa yang mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa
untuk memelihara dan mengembangkan benih turunan bangsa itu. Untuk
itu, Ki Hadjar Dewantara mengembangkan metode among sebagai sistem
pendidikan yang didasarkan asas kemerdekaan dan kodrat alam. Ki
Hadjar Dewantara mengartikan merdeka sebagai kesanggupan dan
kemampuan untuk berdiri sendiri guna mewujudkan hidup diri sendiri,
hidup tertib, dan damai dengan kekuasaan atas diri sendiri. Merdeka tidak
hanya berarti bebas, tetapi harus diartikan sebagai kesanggupan dan
kemampuan, yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah diri pribadi
(Taman Siswa, 1977). Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma
Taman Siswa, yang meliputi:
1. asas kemerdekaan, yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai
hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat;
2. asas kodrat alam, yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu
sebagai makluk, yaitu satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat
lepas dari kodrat alam dan akan berbahagia apabila dapat
menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan
itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan
sewajarnya (Suparlan, 1984);
3. asas kebudayaan, yang berarti bahwa pendidikan harus membawa
kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan
kecerdasan zaman, kemajuan dunia, dan kepentingan hidup lahir
batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan;
4. asas kebangsaan, yang berarti tidak boleh bertentangan dengan
kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk kemanusiaan yang
nyata. Oleh karena itu, asas kebangsaan ini tidak mengandung arti
permusuhan dengan bangsa lain, tetapi mengandung rasa satu
dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam
kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh
bangsa; dan
5. asas kemanusiaan, yang menyatakan bahwa darma setiap manusia
itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada
kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama
manusia dan terhadap makluk ciptaan Tuhan seluruhnya
(Surjomihardjo, 1986).

D. Pokok Ajaran/ Sistem Pendidikan


Pokok ajaran Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan
yang cocok untuk anak-anak Indonesia adalah Pendidikan Nasional. Untuk
menyelengarakan pendidikan nasional, beliau mendirikan Lembaga
Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai
Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan untuk
membuat rakyat pandai, sebab Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa
perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu, Ki
Hadjar Dewantara mengemukakan konsepnya mengenai Pendidikan
Nasional yang direalisasi mulai tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan
Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dengan tugas-tugasnya. Pertama,
untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka,
serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat
nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka. Kedua,
membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang pada waktu itu
sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sedangkan sekolah yang
disediakan oleh pemerintah Belanda sangat terbatas.
Ki Hadjar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang
merupakan sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah
menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang
berakar pada budaya Barat. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara,
kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup, yakni kehidupan
dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan
masyarakat. Ki Hadjar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum
sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti
(kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani anak menuju ke arah
masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu
ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam, anak,
dan masyarakat. Jadi, dapat diartikan bahwa pendidikan terutama
berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun. Dalam
pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan “Sistem
Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak
sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, setiap pamong
sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing
ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani
(MLPTS, 1992).
1. Ing ngarsa sung tuladha
Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih
berpengalaman dan lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha
berarti memberi contoh, memberi teladan (Reksohadiprodjo, 1989).
Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi
teladan. Dalam pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan
metode ceramah, guru harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang
diajarkannya itu baik dan benar.

2. Ing madya mangun karsa


Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di
tengah harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa, dan
berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru
menggunakan metode diskusi. Sebagai narasumber dan sebagai
pengarah, guru dapat memberikan masukan-masukan dan arahan.
3. Tut wuri handayani
Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) berada di
belakang, mengikuti, dan mengarahkan anak didik agar berani
berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru
berada di tengah membangun semangat, di belakang memberi
dorongan, dapat terjadi anak didik akan berusaha bersaing,
berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang terbaik
(Soeratman, 1989).

Ki Hadjar menyetujui teori Konvergensi, yaitu perkembangan


manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang
baru lahir diibaratkan kertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi belum
jelas. Selanjutnya Ki Hadjar juga berpendapat bahwa perkembangan anak
didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai berikut.
1) Zaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang sangat penting bagi
perkembangan badan dan pandca indra.
2) Zaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk
daya-daya jiwa terutama pikiran anak.
3) Zaman wirama (16-24 th) merupakan masa untuk menyesuaikan diri
dengan masyarakat karena anak mengambil bagian sesuai dengan
cita-cita hidupnya (Taman Siswa. 1977)

E. Simpulan dan Saran

Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara (ing


ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani)
adalah wasiat luhur yang patut dijadikan sebagai acuan dalam
pengembangan pendidikan karakter. Pendidikan menurut Ki Hadjar
Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya, secara nasional pendidikan
harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal.
Bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, ras, dan agama
hendaknya memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter
anak bangsanya. Penyelenggaraan pendidikan jangan terjebak pada
pencapaian target sempit yang hanya melakukan transfer pengetahuan,
tetapi perlu dengan sengaja mengupayakan terjadinya transformasi nilai
untuk pembentukan karakter anak bangsa. Pembentukan karakter peserta
didik perlu melibatkan tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat) secara sinergis. Pengembangan karakter peserta didik perlu
memperhatikan perkembangan budaya bangsa sebagai sebuah
kontinuitas menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi),
dan tetap memiliki sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan
sedunia (konsentris). Asas dan dasar pendidikan yang digagas Ki Hadjar
Dewantara merupakan landasan dasar yang kokoh untuk membangun
karakter bangsa, bersendi pada budaya bangsa dengan tidak
mengabaikan budaya asing.

Anda mungkin juga menyukai