Anda di halaman 1dari 13

KAJIAN FEMINISME DALAM MITOLOGI SUNDA DEWI SRI DAN NYI RORO

KIDUL

Oleh: Nia Kurniawati

Abstrak

Pada umumnya mitos mengisahkan tentang kejadian berbagai hal, seperti kejadian alam
semesta. Mitos Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul adalah dua mitos yang sangat dikenal di
daerah Jawa Barat yang dihubungkan denga nasal muasal padi dan penguasa laut Selatan.
Penelitian ini mengkaji dua mitos tadi dengan menggunakan perspektif filsafat post-
strukturalis feminisme. Metode yang digunakan adalah analisis isi. Hasil telaah
menunjukkan bahwa mitos Dewi Sri dan Nyi Ratu Kidul adalah contoh mitos Sunda yang
memberikan gambaran tentang keberadaan pemimpin perempuan sebagai penjaga alam.
Dewi Sri yang hadir sebagai dewi padi dan kemakmuran, dan Nyi Ratu Kidul yang hadir
sebagai dewi yang menguasai lautan, melindungi dan mendukung kepemimpinan raja
Mataram, sesuai dengan ideologi feminisme spiritual yang menarik analogi antara peran
wanita dalam produksi biologis dengan peran pola dasar "Tanah Air" atau "Ibu Kelahiran,"
sebagai pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada.
Kata Kunci: Mitologi, feminisme, Dewi Sri, Nyi Roro Kidul, padi, laut, perempuan

Abstract

Myths tell about the events of various things, such as the events of the universe. The myths
of Dewi Sri and Nyi Roro Kidul are two of the very well-known myths in West Java that
are connected with the origin of rice and the rulers of the South ocean. This study examines
these two myths using the perspective of the post-structuralist philosophy of feminism. The
method used is content analysis. The results of the study show that the myths of Dewi Sri
and Nyi Ratu Kidul are examples of Sundanese myths that provide a picture of the
existence of female leaders as guardians of nature. Dewi Sri who was present as a goddess
of rice and prosperity, and Nyi Ratu Kidul who was present as a goddess who controlled
the seas, protected and supported the leadership of the king of Mataram, in accordance
with the ideology of spiritual feminism which drew an analogy between the role of women
in biological production with the role of the archetype "Homeland "or" Birth Mother, "as
the giver of life and creator of every exsistence.
Keywords: Myths, feminism, Dewi Sri, Nyi Roro Kidul, rice, ocean, woman

1
PENDAHULUAN

Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa
tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial
masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya secara lisan (Suripan Sadi Hutomo, 1991: 4).

Pada umumnya cerita rakyat mengisahkan tentang kejadian berbagai hal, seperti kejadian
alam semesta.  Adapun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat biasanya ditampilkan dalam
berbagai wujud baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang kesemuanya disifatkan
sebagai manusia. Slah satu jenis cerita rakyat adalah mitos.

Mitos atau disebut juga dengan Mite merupakan cerita prosa rakyat yang bercerita suatu
kisah yang mempunyai latar belakang di masa lampau, berisikan penafsiran mengenai alam
semesta dan adanya makhluk di dalamnya, serta dipercaya benar terjadi oleh yang
menganutnya atau sang empunya.

Secara umum mitos bercerita tentang kejadian alam semesta, dunia dan para makhluk yang
menghuninya, bentuk topografi, kisah para makhluk supranatural serta lain sebagainya.
Mitos muncul sebagai catatan kejadian sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sebagai
alegori atau personifikasi untuk kejadian alam atau juga suatu penjelasan mengenai ritual.

Sedangkan menurut KBBI online, mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan
pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia,
dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.

Mitos yang berkembang di Indonesia, antara lain Bahu Laweyan, Cerita Dewi Nawang
Wulan, Cerita Pemindahan Gunung Suci, Mahameru di India oleh para dewa ke Gunung
Semeru yang dianggap suci oleh orang Jawa dan Bali, Cerita Joko Tarub, Cerita Nyai Roro
Kidul (Ratu Laut Selatan), dan Cerita Barong di Bali.

Paradigma filsafat postrukturalisme adalah cara mutakhir, baik dalam bentuk teori, metode,
maupun teknik yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai sebuah metode, teori
postrukturalisme terutama dikaitkan dengan teori strukturalisme yang sudah berkembang
selama lebih kurang setengah abad. Dengan tidak melupakan kekuatan sekaligus hasil-hasil

2
maksimal yang telah dicapai, strukturalisme ternyata memiliki sejumlah kelemahan yang
sangat perlu untuk diperbaiki. Strukturalisme dianggap terlalu kaku karena didasarkan pada
struktur dan sistem tertentu serta memberikan perhatian yang terhadap karya sastra sebagai
kualitas otonom. Banyak teori dan pemikiran yang telah dimunculkan untuk mengkaji dan
menafsirkan teks sastra dari berbagai perspektif, di antaranya adalah feminisme.

Banyak penelitian yang mengkaji mitologi di Indonesia. Makalah ini akan mengupas
mitologi Sunda Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul dipandang dari sudut feminisme. Mitologi
yang sangat dikenal oleh masyarakat Sunda dan bahkan Indonesia. Mitologi yang
mengisahkan tokoh perempuan yang diagungkan dan ditakuti oleh masyarakat Sunda.
Dewi Sri dikenal sebagai Dewi Padi, Dewi Kemakmuran, dan Nyi Roro Kidul dikenal
sebagai penguasa laut selatan. Dua tokoh mitologi perempuan yang dipuja dengan
berbabagi ritual. Fokus dari studi ini adalah mengkaji bagaimana mitologi ini
menggambarkan dua tokoh perempuan ini. Kemudian mengkaji bagaimana pandangan
aliran feminism terhadap dua tokoh mitologi perempuan di tatar Sunda ini.

Landasan Teori

Hakikat Mitologi

Dalam mengkaji mitologi Sunda Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul dari perspektif feminism,
tentunya ada beberapa teori dasar yang harus difahami.

Definisi mitos menurut Levi-Strauss dalam Nyoman (2004) adalah suatu warisan bentuk
cerita tertentu dari tradisi lisan yang mengisahkan dewa-dewi, manusia pertama, binatang,
dan sebagainya berdasarkan suatu skema logis yang terkandung di dalam mitos itu dan
yang memungkinkan kita mengintegrasikan semua masalah yang perlu diselesaikan dalam
suatu konstruksi sistematis.

Definisi mitos menurut Bascom adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa
atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kahyangan) pada masa lampau dan
dianggap benar-benar terjadi oleh empu cerita atau penganutnya dan berhubungan dengan

3
terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiada dan dongeng suci (Nyoman,
2004).

Menurut tempat asalnya, mitos dibagi menjadi dua macam yakni mitos asli Indonesia dan
mitos yang bersumber dari Luar (Indonesia, Arab, Negara di sekitar Laut Tengah). Dan
juga Mite bisa diklasifikasikan menjadi mitos penciptaan dan mitos asal-usul

Mitos penciptaan merupakan mitos yang berisikan peristiwa terciptanya sesuatu.


Kemudian Mitos asal-usul yaitu mitos yang berisikan peristiwa yang menciptakan proses
terbentuknya sesuatu.

Hakikat Feminisme

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan era pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi
Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1792, berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu,
perempuan dari kalangan atas sampai kalangan bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak
untuk mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak atas milik, dan hak pekerjaan. Ketika
tidak memiliki hak-hak tersebut, kedudukan perempuan tidaklah sama di hadapan hukum.
Menurut mereka, ketertinggalan tersebut disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih
buta huruf, miskin, dan tidak memiliki keahlian.

Lalu aliran ini semakin berkembang pada awal abad ke 20, yang dipelopori oleh Virginia
Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis
feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis
adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah
gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik
dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

4
Teori feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan
dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori sastra kontemporer,
feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini
dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-
laki. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas
studi feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya:
tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri
khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, dan sebagainya.

Menurut Salden (1986: 130-131) dalam Nyoman (2004), ada lima masalah yang biasa
muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman, c)
wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori
feminis timbul sebagai akibat masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya
termarginalisasikan melalui wacana yang dikuasaioleh laki-laki. Pada dasarnya teori
feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw. Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan
bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk menganalisis sastra Indonesia, dengan
catatan bahwa teori adalah alat, bukan tujuan.

Pemikiran feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik
oleh kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini terlihat
melalui penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang yang tadinya
hanya didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media.

Metode

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode analisis isi. Teknik pengumpulan data yang
diterapkan adalah teknik pengumpulan data yang dikembangkan oleh Miles and Huberman
(1992), yakni:
1. dilakukan pemisahan korpus data dalam film Maleficent
2. dilakukan reduksi data, reduksi ini dilakukan dengan beberapa tahap, yakni: identifikasi,
seleksi, dan klasifikasi korpus data
3. dilakukan presentasi data, presentasi data diterapkan melalui kodifikasi, penyusunan,
dan analisis data

5
4. dilakukan verifikasi atau pembuatan kesimpulan atas data, sebelumnya dilakukan
simpulan sementara untuk mereduksi dan mempresentasi data.

Mitos Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul

Dua mitos yang dipelajari dalam penelitian ini adalah "Dewi Sri dan Sadana" dan "Nyi
Ratu Kidul" yang lahir dari masyarakat agraris dan maritim. Dewi Sri, juga dikenal sebagai
Dewi Padi (Dewi Padi), adalah salah satu cerita rakyat agraris karena menceritakan asal
usul perkebunan padi di Jawa, sedangkan Nyi Ratu Kidul adalah sejenis cerita rakyat
maritim karena menceritakan tentang seorang ratu jin kerajaan yang mengendalikan lautan.
Dalam kedua cerita rakyat, tampak bahwa selain menjadi karakter utama, perempuan juga
menunjukkan peran mereka sebagai pembawa sumber makanan dan penjaga alam,
terutama lautan.

Berikut adalah ringkasan dari mitos Dewi Sri yang berkembang di tatar Sunda.

Dikisahkan bahwa Batara Guru sebagai kepala para dewa bermaksud ingin mendirikan
balai pertemuan. Semua dewa diwajibkan ikut berpartisipasi dengan memberi bantuan,
semampunya. Mendengar keputusan itu Dewa Anta menjadi sangat sedih. karena sebagai
dewa ular yang tidak mempunyai tangan dan kaki, dia merasa tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada suatu saat Dewa Narada menemuinya untuk menagih tanggungjawab Dewa Anta.
Karena merasa tidak dapat menyerahkan apa-apa, Dewa Anta lalu menitikkan tiga butir air
mata. Air mata tersebut lalu berubah menjadi tiga butir telor. Dewa Narada menyarankan
agar tiga butir telor tersebut diserahkan kepada Batara
Guru. Dewa Anta setuju. Dia lalu mengulum telor-telor tersebut untuk diserahkan, kepada
Batara Guru.

Di tengah perjalanan dia bertemu dengan burung garuda, lalu disapanya. Akan tetapi Dewa
Anta tidak menjawab karena khawatir kalau telornya, terjatuh. Burung garuda merasa

6
terhina lalu menyerang Dewa Anta. Oleh karenanya dua butir telornya terjatuh. Dua butir
telor yang terjatuh tersebut lalu menjelma menjadi dua ekor babi hutan bernama Kalabuat
dari Budugbasu. Dewa Anta lalu melanjutkan perjalanan untuk menyerahkan satu butir
telor yang masih dikulumnya. Setelah bertemu dengan Batara Guru, Batara Guru
memerintahkan untuk membawa kembali telor bersebut ke rumahnya, serta dirawat sebaik-
baiknya. Tak lama kemudian telor tersebut menetas menjadi seorang bayi perempuan. Bayi
itu lalu diserahkan kepada Batara Guru, dan diberi nama Ni Pohaci Sangiang Sri
Dangdayang Tisnawati.
Gambar 1. Ilustrasi Dewi Sri

Setelah dewasa Ni Pohaci Sangiang Sri menjadi gadis yang sangat cantik sehingga Batara
Guru bermaksud ingin memperistrinya. Para dewa tidak setuju, maka Ni Pohaci lalu
diracun hingga tewas. Jenazah Ni Pohaci dimakamkan di bumi. Dari kubur tersebut
tumbuhlah berbagai macam tumbuh-tumbuhan. Dari arah kepala tumbuh pohon kelapa.
Dari arah mata tumbuh padi. Dari arah dada tumbuh padi pulut. Dari arah kemaluan
tumbuh pohon onau. Dari bagian badan yang lain tumbuh barbagai pohon-pohonan yang
lain (Soepanta, 1963: 22-25).

Sedangkan mitos Nyi Roro Kidul yang berkembang di tatar Sunda adalah sebagai berikut:

7
Dewi Kandita, putri tunggal Raja Munding Wangi dari Kerajaan Pajajaran. Karena
kecantikannya, ia dijuluki Dewi Srêngéngé (lit. "Dewi Matahari"). Meskipun mempunyai
seorang putri yang cantik, Raja Munding Wangi bersedih karena ia tidak memiliki putra
yang dapat menggantikannya sebagai raja. Raja kemudian menikah dengan Dewi Mutiara
dan mendapatkan putra dari pernikahan tersebut. Dewi Mutiara ingin putranya dapat
menjadi raja tanpa ada rintangan di kemudian hari, sehingga ia berusaha menyingkirkan
Dewi Kandita. Dewi Mutiara menghadap Raja dan memintanya untuk menyuruh Kadita
pergi dari istana. Raja berkata bahwa ia tidak akan membiarkan siapapun yang ingin
bertindak kasar pada putrinya. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara tersenyum dan
berkata manis sampai Raja tidak marah lagi kepadanya.

Gambar 2. Ilustrasi Nyi Roro Kidul

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk
memanggil seorang tukang tenung. Dia menyuruh sang dukun untuk meneluh Kadita. Pada
malam harinya, tubuh Kadita gatal-gatal dipenuhi kudis, berbau busuk dan penuh bisul. Ia
menangis tak tahu harus berbuat apa. Raja mengundang banyak tabib untuk
menyembuhkan Kandita serta sadar bahwa penyakit tersebut tidak wajar, pasti berasal dari
guna-guna. Ratu Dewi Mutiara memaksa raja mengusir puterinya karena dianggap akan
mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Karena Raja tidak menginginkan puterinya

8
menjadi gunjingan di seluruh negeri, ia terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk
mengirim putrinya keluar dari negeri mereka.

Kandita pergi berkelana sendirian tanpa tujuan dan hampir tidak dapat menangis lagi. Ia
tidak dendam kepada ibu tirinya, melainkan meminta agar Sanghyang
Kersa mendampinginya dalam menanggung penderitaan. Hampir tujuh hari dan tujuh
malam, akhirnya ia tiba di Samudera Selatan. Air samudra itu bersih dan jernih, tidak
seperti samudera lain yang berwarna biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar suara gaib
yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Ia melompat dan berenang, air Samudera
Selatan melenyapkan bisulnya tanpa meninggalkan bekas, malah ia semakin cantik. Ia
memiliki kuasa atas Samudera Selatan dan menjadi seorang dewi yang disebut Nyi Roro
Kidul yang hidup abadi. Kawasan Pantai Palabuhanratu secara khusus dikaitkan dengan
legenda ini.

Sudut Pandang Aliran Filsafat Feminisme dalam Mitologi Dewi Sri dan Nyi Roro
Kidul

Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat
agraris. Sebagai tokoh agung yang sangat dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita,
kebanyakan melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana
(Sadhana atau Sadono), dengan latar belakang Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan
(dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya.

Dalam cerita padi Jawa Barat disebutkan asal muasal lahirnya tumbuhan padi.
Diceritakan bahwa muasal padi seolah-olah berasal dari Dewi Sri, sekalipun dengan sebab-
sebab yang berbeda di antara ketiganya. Dewi Sri yang berwujud perempuan merupakan
simbol kelahiran. Adanya pesan tersirat yang hendak disampaikan penutur atau penulis
cerita bahwa perempuan merupakan simbol kelahiran. Perempuan (atau juga betina) media
Sang Pencipta untuk melahirkan sesuatu yang baru. Dalam cerita padi dari Jawa Barat
Dewi Sri memiliki nama lain yaitu Nyi Pohaci. Secara harfiah, pohaci berasal dari kata
pwah yang berarti perempuan, dan aci yang berarti inti. Pohaci dapat diartikan sebagai inti
dari keperempuan. Ini bermakna bahwa perempuan merupakan “jalan kelahiran”.

9
Dewi Sri dipercaya masyarakat Sunda sebagai asal muasal berbagai tumbuhan termasuk
padi, kelapa dan tumbuhan lainnya seperti pohon enau. Pohon enau atau dalam bahasa
Sunda disebut kawung tidak kalah bermanfaat bagi kehidupan orang Sunda. Bahkan, hanya
pohon kawung yang ditulis secara khusus menjadi babad dalam naskah-naskah kuno
masyarakat Sunda di antaranya Babad Kawung Galuh, Babad Kaewung Lebak, dan Babad
Kawung Baduy. Ketiganya menuturkan keberadaan dan kegunaan pohon kawung atau enau
yang meliputi atas pemeliharaan dan pengolahan air kawung menjadi gula. Jadi, pohon
enau atau kawung bagi masyarakat Sunda dapat diolah menjadi berbagai produk. Airnya
dapat diproses menjadi gula dan cuka. Buahnya dapat dijadikan buah kolang-kaling.
Ijuknya dapat digunakan untuk atap, sapu atau tali. Pelepahnya dapat dibuat menjadi
instrumen karinding.

Mitos Ratu Kidul di sepanjang pantai Jawa Barat dan Jawa Timur, hingga Madura. Seperti
yang ditunjukkan dalam penelitian Setiawan (2009, hal. 189) bahwa mitos Nyi Roro Kidul
(nama lain untuk Nyi Ratu Kidul) hidup di masyarakat sekitar Sukabumi, Cianjur, Garut,
Tasikmalaya, dan Ciamis. Setiawan (2009, hal. 192) mengungkapkan bahwa di masyarakat
Cianjur ada sejumlah upacara tradisional terkait dengan keberadaan Nyi Roro Kidul di
pantai Cianjur Selatan, yaitu nyalawena, syukuran pasisiran, hajat mulud, babad astana,
bebersih cikahuripan, ngaruwat, dan mitembayan panen pare. Tujuan upacara adalah
sebagai ungkapan terima kasih atas berkah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, ungkapan terima kasih juga ditujukan kepada penguasa laut selatan, Nyi Roro
Kidul, yang telah senang memberikan hasil laut yang melimpah, serta keselamatan nelayan
baik saat berada di laut maupun kegiatan yang dilakukan. di sekitar pantai (Setiawan, 2009,
hal. 194).

Dua pemimpin wanita di dua cerita rakyat itu pada dasarnya bukan orang biasa. Dewi Sri
adalah makhluk yang dikirim dari kahyangan (surga) ke bumi untuk membawa benih padi
ke Jawa, sedangkan Nyi Ratu Kidul adalah roh laut selatan (jin) yang menikah dengan
Senapati, yang membantu dan melindunginya dari menjadi raja Mataram. Dua sosok
perempuan hadir dalam kehidupan manusia untuk melindungi kehidupan manusia dari
kecukupan sumber makanan dan memimpin mereka. Kelahiran dua cerita rakyat tentu

10
tidak terlepas dari penalaran kolektif atau pandangan dunia dari komunitas pendukung
dalam memahami kehidupan di dunia yang selaras dengan alam dan para penguasanya.
Selain itu, kedua cerita rakyat juga menunjukkan bahwa wanita juga memiliki peran
penting dalam kehidupan. Perempuan tidak dianggap sebagai jenis kelamin kedua, seperti
dalam sistem patriarki yang diadopsi di sebagian besar masyarakat modern (Walby, 1990,
hal. 20), tetapi juga berfungsi sebagai pembawa sumber makanan dasar dan penjaga alam
dan kehidupan.

Dalam perspektif feminisme, keberadaan perempuan sebagai penjaga alam dalam mitos
Dewi Sri dan Nyi Ratu Kidul menunjukkan bahwa perempuan diyakini sebagai sumber
kehidupan. Perempuan sebagai ibu kehidupan, Ibu Pertiwi. Dewi Sri sebagai sumber
kemakmuran ada di sini untuk memberikan kehidupan melalui biji-biji makanan pokok
dalam bentuk beras yang ia bawa dari surga (surga), mengajarkan cara menanam, dan
merawatnya, bahkan mengajarkan cara menghindari hama yang mengancamnya.

Nyi Ratu Kidul sebagai penguasa samudera menunjukkan bahwa sosok ibu sebagai
pemberi cinta dan kehidupan ada di samudera (Sunindyo, via Taum, 2013, hlm. 5). Laut
dijaga dan dikendalikan oleh sosok perempuan dari bangsa Jin, makhluk gaib bernama
Ratu Kidul. Dari kisah pernikahan Senopati dengan Nyi Ratu Kidul, tampak bahwa tanpa
bantuan Nyi Ratu Kidul, maka Panembahan Senapati tidak bisa menjadi raja Mataram.
Selama tiga hari tiga malam, tinggal di istana Nyi Rati Kidul, Senapati mendapat pelajaran
dari Nyi Ratu Kidul tentang bagaimana menjadi raja yang memimpin manusia, jin, dan
peri. Dari motif ini, dapat diartikan bahwa salah satu sumber kekuatan seorang raja
(pemimpin) adalah wanita yang menyatu dengan alam. Dalam perspektif ekofeminisme,
dapat diartikan bahwa untuk mencapai kekuatannya, kejantanannya, dilambangkan sebagai
raja, perlu bantuan dan dukungan dari feminitas. Sumber pengetahuan dan kekuasaan pada
dasarnya adalah feminitas yang dilambangkan oleh sosok Nyi Ratu Kidul, penguasa lautan.
Fakta bahwa wilayah laut Indonesia adalah dua pertiga dari ukuran Indonesia adalah ±
3.273.810 km² dan menjadikan Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia (Adhayanto,
2014, hlm. 140) melahirkan kepercayaan bahwa ada kekuatan lain yang mengendalikan
lautan.

11
Dengan merujuk pada pendapat Arivia (2014, hlm. 58-59) yang menyatakan bahwa sejak
era Paleolitik, jauh sebelum keberadaan Yudaisme, Kristen, Islam, Budha, dan Hindu
sudah ada kepercayaan yang meyakini Dewi, bahwa Yaitu, yang dibayangkan Tuhan
dalam karakter wanita, sosok Dewi Sri dan Nyi Ratu Kidul dapat dianggap sebagai Dewa
wanita yang melegitimasi kekuatan, cinta, dan kemandirian wanita (Christ via Arivia,
2014, hlm. 54). Tuhan telah menyembah ribuan tahun, sampai hari-hari agama
monoteistik: Yudaisme, Kristen dan Islam melarangnya karena dianggap takhayul dan
menyimpang (Arivia, 2014, hlm. 57). Pemujaan terhadap sosok Dewi Sri dan Nyi Ratu
Kidul dengan demikian dapat ditafsirkan sehubungan dengan spiritualitas masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa, sebelum mengakui agama monoteistik. Dari mitos Dewi Sri
dan Nyi Ratu Kidul, tampak bahwa nenek moyang kita dari zaman sebelum agama
monoteistik telah menempatkan perempuan pada posisi tinggi, tidak terpinggirkan.

SIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan penelitian ini adalah (1) mitos Dewi
Sri dan Nyi Ratu Kidul adalah contoh mitos Sunda yang memberikan gambaran tentang
keberadaan pemimpin perempuan sebagai penjaga alam, sehingga keselarasan antara
kehidupan manusia dan alam tercapai yang menjamin kelangsungan kehidupan di bumi.
(2) Dewi Sri yang hadir sebagai dewi padi dan kemakmuran, dan Nyi Ratu Kidul yang
hadir sebagai dewi yang menguasai lautan, melindungi dan mendukung kepemimpinan raja
Mataram, sesuai dengan ideologi ekofeminisme spiritual yang menarik analogi antara
peran wanita dalam produksi biologis dengan peran pola dasar "Tanah Air" atau "Ibu
Kelahiran," sebagai pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada. (3) Dari dua
mitos ini, juga dapat disimpulkan bahwa nenek moyang kita dari zaman sebelum agama
monoteistik telah menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi, bukan sebagai yang
terpinggirkan.

DAFTAR PUSTAKA

12
Aryono. (2015). Siapakah sebenarnya Nyai Roro Kidul [Who is actually Nyai Roro Kidul].
Retrieved from https://historia.id/kuno/articles/siapakah-sebenarnya-nyai-roro-kidul-
vVeVp
Haviland, W. (1993). Antropologi [Anthropology] (Trans. by R. G. Soekadjo). Jakarta:
Erlangga
Jalil, A. (2015). Memaknai tradisi upacara Labuhan dan pengaruhnya terhadap masyarakat
Parangtritis [Understanding the tradition of Labuhan ceremony and its effects on the
Parangtritis community]. el Harakah, 17(1), 101-113.
Kutha, Ratna, Nyoman. (2004) Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Denpasar:Pustaka Pelajar.
Rohmana, J. A., & Ernawati. (2014). Perempuan dan kearifan lokal: Performativitas
perempuan dalam ritual adat Sunda [Women and local wisdom: Women’s
reformation in Sundanese traditional rituals]. Jurnal Musâwa, 13(2), 151-165.
Setiawan, I. (2009). Mitos Nyi Roro Kidul dalam kehidupan masyarakat Cianjur Selatan
[The myth of Nyi Roro Kidul in the community life of South Cianjur], Patanjala,
1(2), 188 – 200.
Setiawan, E. (2016). Eksistensi budaya bahari tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi
[The existence of nautical culture of Sea Picking Traditions in Muncar Banyuwangi].
Jurnal Universum, 10(2), 229-237.
Suyami, et.al. (1998). Kajian nilai budaya naskah Kuna Cariyos Dewi Sri [A study of Kuna
Cariyos Dewi Sri’s cultural values]. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
kebudayaan RI.
Teeuw, A. (2016). Sastra dan ilmu sastra: Pengantar teori sastra [Literature and literature:
Introduction to literary theory]. Jakarta: Pustaka Jaya.
Warren, K. J. & Cheney, J. (2015). Ecological feminism and ecosystem ecology. Hypatia,
6(1), 179-197.

13

Anda mungkin juga menyukai