Anda di halaman 1dari 14

H.

Dwi Kristanto@ad usum nostrorum

Filsafat Sejarah 5

BAB V
GIAMBATTISTA VICO: SEJARAH SEBAGAI ILMU
It is another property of the human mind that whenever men can form no idea of distant
and unknown things, they judge them by what is familiar and at hand.
G. Vico (The New Science 3rd, I.§122)
I. Pengantar
Walau ada yang menganggap bahwa St. Agustinus, berkat teori spekulatifnya tentang Kota
Dunia dan Kota Allah, merupakan ‘filsuf pertama Filsafat Sejarah’, ada yang berpandangan bahwa
Giambattista Vico (1668-1744) lebih pantas menyandang gelar tersebut. Lewat buku Scienza Nuova
(1744) Vico memaparkan suatu gagasan tentang alur dan makna sejarah manusia berdasarkan suatu
studi objektif atas peradaban dan mentalitas kuno, dan bukan berdasarkan suatu ideologi tertentu. St.
Agustinus menulis De civitate Dei dan berspekulasi tentang sejarah dalam rangka membela agama
Kristen yang dijadikan kambing hitam atas ambruknya kekaisaran Romawi. Jadi ada kepentingan
(ideologis) tertentu yang mendorong Agustinus. Sementara itu, Vico menulis Scienza Nuova tanpa
kepentingan ideologis tertentu melainkan melulu demi menemukan kebenaran objektif mengenai
sejarah itu sendiri. Seperti halnya Machiavelli, Vico memperlakukan sejarah sebagai objek studi
ilmiah. Namun, berbeda dengan Machiavelli yang kajiannya atas sejarah bersifat pragmatis—demi
membantu orang meraih dan mempertahankan kekuasaan—, Vico melakukan studi atas sejarah
secara filosofis: mengaplikasikan prinsip-prinsip abstrak atas peristiwa-peristiwa sejarah yang kon-
kret. Vico meyakini suatu prinsip epistemologis tertentu terkait kebenaran pengetahuan manusia (y.i.
verum–factum) serta memanfaatkan filologi (ilmu tentang asal-usul dan perkembangan makna kata)
untuk memahami peristiwa historis dan mentalitas kuno yang melatarbelakangi peristiwa tersebut.
Kebenaran historis dapat ditemukan lewat penyelidikan kritis atas kata-kata, mitos, adat istiadat, dan
ritual masyarakat kuno, hal mana merupakan ekspresi dari mentalitas mereka.

II. Perkembangan Sains dan Filsafat di Abad ke-16 dan 17 yang Melatarbelakangi Vico
Meski tak menulis berdasar ideologi tertentu, Vico menulis untuk menanggapi perkembangan
ilmu pengetahuan dan filsafat pada zamannya.1 Secara khusus, Vico menanggapi perkembangan
intelektual sebagai dampak dari “Revolusi Ilmiah” (Scientific Revolution) yang dipicu oleh Revolusi
Kopernikan (perubahan paradigma geosentrisme ke paradigma heliosentrisme). Revolusi Kopernikan
bukan hanya membuat orang mempertanyakan kebenaran Kitab Suci ketika berbicara mengenai
fakta-fakta fisiologis (asal-usul alam semesta, manusia, keanekaragaman bahasa, dll.), melainkan
juga membuat orang mempertanyakan pengetahuan manakah yang bisa mendatangkan kebenaran
yang pasti bagi manusia. Filsafat mulai sibuk memikirkan problem epistemologis: bagaimana kita
bisa menjamin kebenaran pengetahuan kita; bagaimana mencapai pengetahuan yang pasti? Karena
itulah, pada abad ke-17 mulai berkembang filsafat pengetahuan atau epistemologi dengan tokoh-
tokoh kunci seperti Descartes, Kant, Locke. Revolusi Kopernikan diikuti dengan kemunculan mazhab
empirisme di satu pihak dan mazhab rasionalisme di pihak lain. Keduanya berkutat soal pengetahuan
yang sahih. Buku Scienza Nuova secara tak langsung juga menanggapi pandangan filsafat politik
yang dikembangkan Hobbes dan Locke.

1
Untuk bagian ini lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students, hlm. 107-26.
I. Filsafat Sejarah Spekulatif

Melanjutkan penemuan Nikolaus Kopernikus, Galileo Galilei dan Isaac Newton mengem-
bangkan astronomi dan fisika. Mereka yakin bahwa ada hukum-hukum alam mengatur jalannya alam
semesta secara mekanis. Melihat perkembangan ilmu alam, filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-
1626), menegaskan bahwa observasi dan eksperimen (baca: empirisme) merupakan metode yang
dapat diandalkan untuk mencapai pengetahuan yang objektif. Kerajaan Inggris dan Perancis melihat
bahwa ilmu alam sangat menjanjikan kemajuan sehingga masing-masing mendirikan komunitas para
ilmuwan untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Di Inggris di dirikan Royal Society
(1660). Di Prancis ada Royal Academy of Sciences (1666). Institusi ini menerbitkan hasil riset dalam
bidang fisika, mekanik, navigasi, pertanian, astronomi, optik, geografi, dll. Jadi, Renaisans yang
membuat manusia memandang ‘ke bawah’, menghargai manusia, pada akhirnya membawa pada
perkembangan (progres) dalam ilmu pengetahuan.
Abad ke-17 menjadi saksi sejarah di mana ilmu-ilmu seperti fisika, astronomi, biologi, mate-
matika, dll. mendapatkan otonominya. Sebelumnya semua ilmu-ilmu itu dianggap merupakan bagian
dari Filsafat. Filsafat adalah ibu ilmu pengetahuan (mater scientiae). Para filsuf yang berbicara
mengenai alam adalah Filsuf Alam. Kini, ketika ilmu-ilmu itu berkembang dan menjadi makin kom-
pleks, masing-masing tidak lagi dianggap berada di bawah payung Filsafat, melainkan menjadi
disiplin ilmu yang otonom. Demikian pula di universitas Filsafat pelan-pelan juga menjadi suatu
disiplin ilmu tersendiri: ilmu filsafat. Galileo menjadi bapak ilmu pengetahuan modern, sedangkan
Descartes menjadi bapak ilmu filsafat modern. Walau demikian, baik ilmu (sains) maupun filsafat
sebenarnya sama-sama mau memahami dan menjelaskan hakikat realitas (the nature of things). Baik
sains dan filsafat sebenarnya saling membutuhkan. Galileo sebagai seorang ilmuwan (scientist) dalam
meneliti fenomena alam memerlukan metode pengetahuan tertentu (= memerlukan filsafat, khusus-
nya epistemologi) guna mendukung gagasan-gagasannya. Di sisi lain, Descartes sebagai filsuf perlu
melihat data-data empiris hasil ilmu pengetahuan untuk melengkapi gagasan-gagasannya.
Sementara para humanis di era Renaisans memfokuskan diri pada studi kemanusiaan (huma-
nity studies), para ilmuwan di abad ke-17 memfokuskan diri pada studi alam (natural studies). Fisika
Aristoteles ditinggalkan dan dikembangkan ilmu Fisika yang baru. Ada keyakinan bahwa perubahan
dan pergerakan dalam alam dapat dijelaskan dengan mempelajari hukum-hukum yang mengaturnya
(hukum gravitasi Newton, hukum Kepler, dll.). Hukum alam itu dapat diketahui lewat observasi, dan
kemudian diuji kembali lewat eksperimen secara berulang kali untuk memperoleh kepastian. Inilah
empirisme: keyakinan bahwa pengetahuan yang sahih dapat diperoleh lewat observasi dan eksperi-
men empiris. Seorang filsuf empiris, John Locke (1632-1704) dalam Essay concerning Human
Understanding menegaskan bahwa ide kita yang benar mengenai realitas alam diperoleh lewat per-
sepsi indrawi dan disusul oleh penalaran logis. Dengan kata lain metode empirisme ilmu pengetahuan
tak terlepas dari pengandaian-pengandaian filosofis mengenai hakikat akal budi, cara kerja akal budi,
dan konsep objektivitas. Artinya, metode empiris dalam sains memerlukan dukungan epistemologi
(teori tentang pengetahuan untuk menjustifikasi keyakinan bahwa metode empiris merupakan metode
yang paling sahih untuk mendapatkan pengetahuan tentang realitas). Paham empirisme berkembang
pesat di dunia Anglo-Saxon, termasuk dalam bidang sejarah.
René Descartes (1596-1650), filsuf Perancis, menjadi eksponen terkemuka mazhab rasio-
nalisme. Descartes meragukan keakuratan pengetahuan manusia dan mencari metode yang bisa
memastikan bahwa pengetahuan manusia itu memang benar dan akurat. Jadi, seperti kaum empiris,
ia menyelidiki pengetahuan manusia. Namun, berbeda dengan kaum empiris, Descartes meragukan
2
V. Giambattista Vico

akurasi pancaindra manusia sebagai sumber pengetahuan. Menurut Descartes, pengetahuan yang
dijamin pasti benar hanyalah proposisi yang diperoleh lewat proses deduksi rasional. Geometri dan
matematika adalah contoh ilmu yang menyajikan kepastian kebenaran, sebab dalam memperoleh
pengetahuan tidak tergantung pada persepsi indrawi. Metode Descartes ialah meragukan segala
sesuatu sampai pada satu pengetahuan awal yang tak dapat diragukan sama sekali, yakni pengetahuan
akan fakta bahwa “Aku berpikir” (cogito). Dari fakta yang meyakinkan ini, bisa dideduksi secara
logis pengetahuan berikutnya bahwa “Aku ada”. Artinya, “Kalau aku berpikir, itu berarti pasti aku
ini ada”. Paham rasionalisme lebih berkembang di Eropa kontinental.
Dalam bidang politik, karena Perancis tercabik-cabik oleh perang sipil antara kelompok Kato-
lik lawan kelompok Protestan, Jean Bodin (1529-1596) mengajarkan bahwa perlu dibentuk suatu
masyarakat yang diperintah oleh penguasa yang memiliki kedaulatan absolut (absolute sovereignty).
Kepada penguasa yang berdaulat tersebut tiap kelompok, terlepas dari kelas sosial maupun afiliasi
keagamaan, harus taat. Penguasa absolut tersebut membuat hukum, tak terbagi (tak membagi ke-
kuasaannya dengan institusi lain), dan tak harus bertanggung jawab kepada pihak lain (tak bisa diatur-
atur). Namun, Bodin menekankan bahwa penguasa yang berdaulat secara absolut tersebut harus
memerintah dengan baik hati dan dengan cara-cara yang terhormat. Thomas Hobbes (1588-1679)
mengembangkan suatu filsafat politik yang lebih empiris. Menurut Hobbes rasa-perasaan atau emosi
manusia itu bisa digolongkan ke dalam rasa nikmat dan rasa sakit. Manusia mengejar kepentingan
pribadi (interest) yang mendatangkan kenikmatan dan menghindari rasa sakit yang mengancam
hidupnya. Apa yang diinginkan manusia adalah baik, apa yang dihindarinya adalah buruk. Manusia
mengejar pemenuhan kepentingan pribadi (self-interest) dengan kalkulasi rasional. Dalam kondisi
alami atau asali (state of nature) manusia itu egois dan karena itu terjadi bellum omnium contra omnes
(perang semua melawan semua). Namun, karena perang itu merugikan semua pihak, lantas individu-
individu secara rasional akan bersepakat untuk menyerahkan kebebasannya kepada suatu penguasa
yang berdaulat secara absolut (= Leviathan). Ada kontrak sosial. Kontrak sosial ini dapat menjamin
terciptanya kedamaian di mana masing-masing dapat mengejar kepentingan pribadi tanpa perlu ber-
perang dengan yang lain, yakni dengan mematuhi hukum dan mengikuti prinsip “lakukanlah kepada
orang lain apa yang kamu ingin orang lain lakukan padamu”. John Locke menolak pemerintahan
yang menghapus kebebasan warga dan berkuasa absolut. Locke mengemukakan konsep ‘hak kodrati’
(natural right): masing-masing individu memiliki hak-hak kodrati akan hidup, akan kebebasan, dan
akan milik pribadi (rights to life, liberty, and property). Pemerintah dibentuk untuk menjamin hak-
hak individual tersebut; tak bisa semena-mena, sebab kuasa legislasi tetap ada di tangan rakyat.
Tentu saja teori tentang kondisi alami/asali (the state of nature) serta perlunya kontrak sosial
yang dideduksi secara logis dari kondisi alami ini merupakan teori yang masuk akal, namun menurut
Giambattista Vico sebenarnya masih berdasarkan suatu imajinasi saja. Ada asumsi bahwa kodrat
manusia itu egois dan mengejar kepentingan pribadi (self-interest), lalu diimajinasikan adanya kon-
disi alami yang ditandai perang semua melawan semua, dan kemudian diimajinasikan lagi bahwa
mereka akan menyerahkan kebebasan mereka ke seorang penguasa absolut, dst. Intinya, teori
mengenai asal-usul pemerintahan seperti ini bersifat ahistoris, tidak berdasarkan pada amatan atas
data-data sejarah, melainkan berdasarkan imajinasi walau mungkin cukup logis juga. Menurut Vico,
teori-teori politik pada abad ke-17 masih merupakan spekulasi abstrak dan bahkan fiktif—konsep
kondisi alami (state of nature) hanya ada dalam imajinasi saja—dan tak memperhitungkan apa yang
nyata-nyata terjadi dalam perkembangan masyarakat (actual history).
3
I. Filsafat Sejarah Spekulatif

Lewat buku Scienza Nuova Giambattista Vico menyelidiki dan menuliskan sejarah dunia
sipil, yakni aspek-aspek kehidupan manusia sebagaimana terorganisir dalam suatu masyarakat:
keluarga, hak/harta milik, bahasa, adat kebiasaan, bentuk pemerintahan, agama, moralitas, karya seni,
norma-norma kultural, serta mentalitas. Baik empirisme maupun rasionalisme menurut Vico tak bisa
membawa manusia pada pengetahuan yang memuaskan tentang aspek-aspek tersebut. Cogito Des-
cartes (aku berpikir, maka aku ada) hanya memberikan kepastian psikologis dalam diri si subjek (→
solipsisme), dan bukan kepastian mengenai pengetahuan akan fakta-fakta di luar diri subjek. Demi-
kian pula konsep kondisi alami dan kontrak sosial Hobbes dan Locke dianggapnya terlalu imajinatif
untuk dapat memberi penjelasan yang memiliki fondasi pada kenyataan (f)aktual sejarah manusia.
Vico membangun suatu teori kebenaran lantas menerapkannya dalam upayanya membaca sejarah
bangsa manusia lewat metode historico-linguistik. Filologi, menurut Vico, membantu manusia
menyingkap mentalitas masyarakat kuno dan dengan demikian dapat memahami peristiwa-peristiwa
yang mereka kisahkan lewat puisi dan syair. Jadi Vico memiliki metode yang eksplisit: menyelidiki
aspek-aspek kehidupan manusia lewat filologi guna melacak asal-usul dan sejarah perkembangannya.

III. Vico dan Metode Penelitian Sejarah


Giambattista Vico lahir dan berkarya di kota Napoli, Italia selatan. Dia gemar membaca karya
klasik, termasuk karya-karya epik Humerus, yakni Illiade and Odyseus. Ia menjadi profesor sastra di
Universitas Napoli.2 Pada masa itu terjadi perdebatan di Perancis me-
ngenai apakah sastra modern bisa dikatakan lebih unggul dan telah
melampaui sastra klasik atau tidak. Jawaban Vico: tidak bisa dikatakan
demikian. Alasannya, kunci untuk memahami sastra klasik menurut
Vico terletak pada menempatkan makna dari bahasa yang digunakan
dalam karya klasik itu dalam konteks budaya di mana sastra klasik itu
ditulis. Klaim bahwa sastra modern lebih unggul daripada sastra klasik
dibuat dengan membaca sastra klasik dengan sudut pandang modern,
kata-kata dalam karya klasik dimengerti dengan kaca mata modern,
padahal kata-kata tersebut dalam perjalanan waktu bisa mengalami
perubahan makna. Sebagai contoh, kata ‘sarjana’ dalam narasi tiga raja Gambar 1 Giambattista Vico

dari Timur yang mengunjungi bayi Yesus berarti ‘orang pintar yang banyak pengetahuannya’. Kini,
kata ‘sarjana’ berarti ‘gelar lulusan perguruan tinggi’. Jadi, karya sastra klasik (drama, puisi, prosa,
maupun filsafat) jangan dipahami secara harafiah, melainkan dengan memperhitungkan konteks dan
mentalitas masyarakat kuno. Mentalitas atau mind-set masyarakat jaman dulu tidak sama dengan
mentalitas masyarakat modern. Dengan demikian, tak dapat dibuat suatu perbandingan apple to apple
antara sastra klasik dan sastra modern.
Masyarakat kuno tidak melihat realitas dengan sebuah cara pandang objektif dan sikap rasio-
nal seperti yang dilakukan orang modern, melainkan dengan cara pandang dan sikap emotif serta
imajinatif (= sikap dan cara pandang puitis atas realitas). Masyarakat kuno memiliki kesadaran puitis
atas realitas, memandang realitas secara figuratif: ekspresi kata-kata mereka menggunakan benda-
benda konkret namun diliputi imajinasi. Sementara itu ekspresi orang modern bersifat lebih abstrak.

2
Untuk bagian ini lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students, hlm. 127-35.
4
V. Giambattista Vico

Sebagai contoh, untuk mengekspresikan kemarahan:


orang modern : “Aku marah”→ ekspresi langsung (denotatif)
orang kuno : “Darah dalam dadaku mendidih” → ekpresi puitis (figuratif/konotatif).
Bandingkan: orang Jawa tradisional ketika mengagumi kecantikan bibir seorang wanita akan berkata
“Wah, lambéné kaya manggis karéngat” (Wah, bibirnya seperti buah manggis yang matang). Semen-
tara tentang realitas yang sama orang modern akan berkata, “Wah, bibirnya seksi”. Agar dapat mema-
hami ekspresi yang tertulis dalam sastra kuno, orang perlu berempati dan memasuki mentalitas me-
reka. Orang kuno secara alami merupakan penyair; kata-kata mereka bisa kita pahami secara harafiah
hanya bila kita telah memahami mentalitas mereka. Dalam hal ini ilmu filologi dapat membantu,
sebab filologi mempelajari makna kata dengan menempatkannya dalam tata bahasa dan konteks
kultural di mana kata itu dipakai dan kemudian bagaimana makna kata itu ber-evolusi.
Lewat penelitian filologis Vico yakin bahwa semua bangsa di dunia ini melalui tahap-tahap
perkembangan yang serupa, walaupun bangsa-bangsa hidup secara terpisah satu sama lain. Tahap-
tahap yang dimaksud ialah “tahap para dewa/raksasa (the age of gods)—tahap para ksatria/pahlawan
(the age of heroes)—tahap manusia (the age of men)”. (Akan dijelaskan di bawah). Pranata-pranata
(institusi) yang ada dalam masyarakat mengalami perkembangan sesuai tahap-tahap tersebut. Melalui
metode penelitiannya itu Vico berkeyakinan bahwa dia sedang menyingkapkan hukum sejarah
universal umat manusia, prinsip kemanusiaan universal, atau kodrat universal bangsa-bangsa. Dia
melihat bahwa tahap-tahap sejarah itu terulang kembali dalam perjalanan bangsa Eropa. Tentu
pengulangan tidak terjadi dalam peristiwa yang sama persis, namun secara konseptual dan dalam
konteks zaman yang berbeda tahap-tahap tersebut bisa berulang kembali. Mentalitas mengalami
perubahan, makna kata-kata yang dipakai juga mengalami perubahan, namun kerap kali masih dapat
dilacak lewat penelitian filologi, sebab makna kata-kata tersebut bagaimanapun juga masih memiliki
kaitan dengan makna dalam mentalitas sebelumnya.
Sebagai contoh. Pada masa di mana Vico hidup ada
istilah Latin ‘lex’ (lex, legis = hukum). Istilah tersebut menurut
ilmu filologi pada mulanya merujuk pada ‘kumpulan buah
pohon ek (oak tree)’. Dari situ muncul istilah ‘illex’ yang ber-
arti pohon ek. Dari konsep yang sama, ada kata ‘aquilex’ yang
berarti orang yang mengumpulkan air (aqua). Perhatikan
bahwa istilah ‘lex’ terkait dengan makna ‘kumpulan’. Dalam
perkembangan selanjutnya ada istilah ‘lex’ yang berarti kum-
pulan atau ikatan sayur-mayur, yang kemudian disebut
Gambar 2 Pohon ek (oak tree) ‘legumina’ (kini dalam bahasa Perancis dikenal sitilah legumes
yang berarti sayuran). Tahap berikutnya, ketika belum ada tradisi tulisan, istilah ‘lex’ merujuk pada
kumpulan warga atau parlemen (kini: badan legislatif). Kini, ketika telah ada tradisi tulisan, aktivitas
mengumpulkan kata-kata dan membuat kata-kata itu bersama-sama berbunyi adalah aktivitas ‘legere’
(= membaca).
Vico memahami kebenaran demikian: “verum esse ipsum factum” (“What is true is precisely
what is made”). Dengan konsep ini Vico hendak menentang Decartes yang memahami kebenaran
hanya sebagai sifat dari pernyataan (property of a statement) yang dideduksi secara logis dari suatu
definisi. Bila matematika dan geometri bisa menyajikan kepastian, itu karena simbol-simbol yang
dipakai dibuat oleh pikiran manusia. Fenomen alam maupun fenomen manusiawi (institusi, pranata,
5
I. Filsafat Sejarah Spekulatif

norma, peristiwa politik, seni, dsb) merupakan ‘factum’, artinya dibuat. Bahwa realitas itu ‘dibuat’
(factum) menjadi dasar bagi kebenaran (verum). Hanya apa yang dibuat (= factum) itu bernilai benar
(= verum), dan apa yang benar (= verum) pastilah dibuat (= factum). Istilahnya dalam bahasa Latin:
verum et factum convertuntur (the true and the created are convertible). Singkat kata, fenomen alam
itu dibuat oleh Allah, sehingga hanya Allah yang sungguh-sungguh tahu kebenarannya. Vico menulis,
“Dalam Allah pengetahuan dan penciptaan adalah satu dan sama”3. Manusia dapat mendekati penge-
tahuan seperti itu lewat sains dan filsafat yang “mengkontemplasikan alasan (reason), sehingga me-
ngetahui yang benar (knowledge of the true)”.4 Namun pendekatan semacam ini hanya menghantar
manusia pada kebenaran logis (abstraksi) dan bukan pengetahuan akan hal yang riil (fakta). Ketika
diterapkan pada fenomen alam, pengetahuan manusia lewat sains dan filsafat tidak akan komplet.
Sementara itu, fenomen (fakta) manusiawi dibuat oleh manusia, maka manusia dapat menge-
tahui kebenarannya. Baginya, “institusi-institusi terkait kehidupan manusia itu lebih nyata daripada
[kategori geometris seperti] titik, garis, permukaan, bentuk”.5 Ini adalah kunci filsafat Vico: apa yang
dapat kita mengerti secara pasti ialah apa yang dibuat oleh manusia. Demikian pernyataan Vico:
in the night of thick darkness enveloping the earliest antiquity […] there shines the eternal and never-failing
light of a truth beyond all question: that the world of civil society has certainly been made by man, and that
its principles are therefore to be found within the modifications of our own human mind. Whoever reflects
on this cannot but marvel that the philosophers should have bent all their energies to the study of the world
of nature, which, since God made it, He alone knows; and that they should have neglected the study of the
world of nations or civil world, which, since men had made it, men could hope to know.6

Upaya mengetahui fenomen manusiawi ini disebut oleh Vico sebagai filologi, dan dengan filologi ia
memaksudkannya “semua yang dikerjakan oleh ahli tata bahasa, sejarawan, dan kritik sastra yang
telah menyibukkan diri mempelajari bahasa dan tindakan bangsa-bangsa,
baik di dalam negeri dengan mempelajari adat kebiasaan dan hukum mau-
pun di luar negeri dengan mempelajari peperangan, perdamaian, aliansi,
perjalanan, dan perdagangan”7. Pengetahuan akan fenomen manusiawi ini
merupakan suatu ‘kesadaran akan hal yang pasti’ (consciousness of what
is certain). Di sisi lain, pengetahuan para ilmuwan dan filsuf tentang fe-
nomen alam merupakan suatu ‘konstruksi akan apa yang benar’ (cons-
truction of what is true), suatu kebenaran logis. Singkat kata, mengenai
fenomen manusiawi, kita bisa memiliki pengetahuan yang lebih pasti
daripada mengenai fenomen alam. Vico menulis, “manusia yang tidak
Gambar 3 Buku Scienza Nuova
tahu apa yang benar tentang realitas (what is true of things) akan meme-
gang erat-erat apa yang pasti (what is certain)”.8
Sekali lagi, bagi Vico, pengetahuan manusia akan fenomen manusiawi (human world) lebih
pasti daripada pengetahuan manusia akan fenomen alam (natural world), sebab fenomen manusiawi
adalah buatan (factum) manusia sendiri. Konsekuensinya, “this world of nations has certainly been

3
Vico, Nova Scienza, §139.
4
Vico, Nova Scienza, §138.
5
Vico, Nova Scienza, §349.
6
Vico, Nova Scienza, §331.
7
Vico, Nova Scienza, §139.
8
Vico, Nova Scienza, §137.
6
V. Giambattista Vico

made by men… And history cannot be more certain than when he who creates the things also narrates
them”9. Ilmu sejarah yang mempelajari fakta-fakta manusia memiliki kadar kebenaran lebih pasti
daripada Ilmu alam yang mempelajari fakta-fakta alam. Jadi di satu sisi, tentang fenomen alam, hanya
Allah yang tahu secara pasti kebenarannya karena Allah sendiri yang menciptakannya: “The world
of nature…since God made it, He alone knows”. Di sisi lain, tentang fenomen manusiawi, manusia
dapat mengetahuinya secara pasti karena manusia sendiri yang menciptakannya: “The world of
nations or civil world… since men had made it, men could come to know”10.
Dengan epistemologinya ini, Vico ingin melampaui pertentangan antara sains dan filsafat,
serta pertentangan antara empirisme dan rasionalisme. Pengetahuan kita akan yang benar (knowledge
of the true) dapat disebut sebagai sains atau filsafat, sejauh kita memahaminya sebagai pengetahuan
yang didapatkan dari penalaran logis yang abstrak. Sementara itu pengetahuan akan apa yang pasti
(knowlege of the certain) adalah pengetahuan empiris akan fakta (factum), walau dalam arti fakta
sejauh fakta yang dibuat oleh manusia. Tentu saja, fakta-fakta mengenai fenomen manusiawi (human
world) harus dilihat kesalingterkaitannya melalui penalaran logis (sains/filsafat) agar sampai pada
kebenaran (the truth). Manusia perlu memeriksa hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang
lain: hubungan sebab akibat (kausalitas), hubungan saling mengecualikan, dll. Dengan demikian
kebenaran (the truth) merupakan kombinasi antara apa yang pasti (the certain) dan apa yang benar
(the true). Pengetahuan mengenai fakta-fakta manusiawi itu adalah pengetahuan sejarah. Penge-
tahuan tentang sejarah mungkin karena “yang benar adalah yang dibuat”. Tulis Vico: “adalah sebuah
kebenaran tak terbantahkan bahwa dunia masyarakat sipil diciptakan oleh manusia dan bahwa
prinsip-prinsip yang mengatur dunia masyarakat sipil tersebut harus ditemukan di dalam perubahan
cara berpikir manusia itu sendiri”.11
Mempelajari sejarah menurut Vico berguna untuk mengetahui perkembangan pemikiran yang
membentuk peradaban kita sekarang. Pengetahuan akan sejarah menghindarkan kita agar tidak jatuh
ke dalam barbarisme. Walaupun demikian, Vico mengakui bahwa memahami pemikiran para aktor
sejarah seturut mentalitas zamannya bukanlah perkara mudah. Ia mengingatkan akan adanya 5 hal
yang dapat menghambat upaya kita mencapai pengetahuan historis:12 [1] kecenderungan untuk
memandang masa lalu sebagai ‘masa keemasan’ (the golden age) yang lebih baik, lebih sejahtera,
dan lebih jaya ketimbang masa sekarang dengan mengabaikan bukti-bukti yang menyingkapkan sisi
gelap dari masa lalu; [2] kepongahan bangsa sendiri, artinya kepercayaan bahwa bangsa kita lebih
penting dari bangsa lain, sehingga orang mudah jatuh ke dalam anggapan bahwa kebudayaan, gaya
hidup, dan capaian militer bangsa kita lebih bagus dibanding bangsa lain; hal ini terjadi karena buku-
buku sejarah cenderung menampilkan keagungan masa lalu bangsa kita dan cenderung diam atau
menyembunyikan sisi-sisi buruk bangsa sendiri; [3] kepongahan para sejarawan yang cenderung
melihat dan menilai orang di masa lalu berdasarkan nilai-nilai dan sudut pandang masa kini; [4]
kecenderungan para sejarawan untuk terlalu mudah menyimpulkan bahwa bila ada dua kelompok
masyarakat memiliki karakteristik yang serupa, pastilah mereka memiliki satu asal usul yang sama,
atau pasti yang satu belajar/meniru dari yang lain; padahal, kenyataannya tidak selalu demikian
mengingat manusia itu sangat kreatif; [5] Vico mengingatkan pembacanya bahwa boleh jadi mereka

9
Vico, Nova Scienza, §349.
10
Vico, Nova Scienza, §331.
11
Vico, Nova Scienza, §331
12
Bdk. Marni Hughes-Warrington, Fity Key Thinkers on History 3rd ed., 322-23.
7
I. Filsafat Sejarah Spekulatif

lebih tahu tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu dibandingkan dengan saksi mata yang hadir di
tempat menyaksikan peristiwa tsb.; pernyataan orang dari masa lalu yang menjadi saksi mata tidak
serta merta benar; kebenaran historis hanya dapat diperoleh lewat pemeriksaan secara kritis atas
testimoni, mitos, tradisi, dan ritual. Dalam arti ini filologi menjadi penting, karena kata-kata meng-
ungkapkan pemikiran manusia di masa lalu. Filologi merupakan sarana untuk mengetahui perubahan
cara berpikir atau mentalitas manusia dari waktu ke waktu. Lagi jelas Vico tentang filologi:
Filologi adalah studi tentang ujaran. Filologi meneliti kata dan sejarahnya, dengan menyingkapkan asal-usul
dan perkembangannya… Namun karena kata-kata itu mengejawantahkan pemikiran manusia akan ‘benda-
benda’, filologi pertama-tama harus meneliti sejarah ‘benda-benda’. Maka dari itu, para filolog mesti meng-
adakan studi atas bentuk-bentuk pemerintahan, adat-istiadat, hukum, institusi-institusi, disiplin intelektual,
dan teknik mekanis… sebab tatanan pemikiran mesti sejalan dengan tatanan institusi-institusi.13

V. Vico dan Alur Sejarah


Mitos dan kisah legendaris (epos) yang dimiliki oleh bangsa-bangsa menurut Vico memiliki
nilai, sebab kisah yang menurut standar kita bersifat fiktif itu diciptakan dan disakralkan oleh
masyarakat kuno guna merawat “memori mereka akan hukum-hukum dan institusi-insitusi yang
mempersatukan mereka sebagai sebuah komunitas”. Mitos jangan dipandang sebagai kumpulan
pernyataan faktual yang berpretensi menjelaskan realitas atau, sebaliknya, sekadar sebagai buah
khayalan belaka, melainkan harus dipandang sebagai ekspresi dari cara pandang dan kepercayaan
masyarakat kuno. Dalam arti inilah, mitos menjadi sumber berharga bagi filologi untuk menemukan
prinsip-prinsip kemanusiaan yang sifatnya universal, yaitu prinsip-prisip yang diperlukan untuk
melestarikan moralitas dan komunitas. Vico menulis:
Karena dunia bangsa-bangsa dibuat oleh manusia, kita lihat institusi-institusi (lembaga) apa yang disetujui
dan dimiliki oleh semua bangsa… Kita mengamati bahwa semua bangsa, entah bangsa beradab maupun
bangsa barbar, meskipun satu sama lain terpisah oleh jarak geografis maupun jarak waktu, tetapi semuanya
memiliki tiga kebiasaan/adat ini: semuanya memiliki agama tertentu, semuanya menetapkan lembaga
perkawinan, dan semuanya menguburkan anggota masyarakat yang meninggal dunia. Dalam bangsa apapun,
bahkan dalam bangsa yang paling liar dan kasar sekalipun, tak ada upacara ritual yang lebih terinci dan lebih
sakral daripada upacara keagamaan, upacara pernikahan, dan upacaya pemakaman… Ini adalah batas-batas
akal budi manusia. Barangsiapa menerabas adat-kebiasaan tersebut, ia melanggar batas-batas kemanusiaan.14

Prinsip-prinsip kemanusiaan itulah yang membuat manusia tetap manusiawi. Melihat bagaimana
prinsip-prinsip itu dihidupi, Vico menjelaskan tahap-tahap perkembangan suatu bangsa yang sifatnya
universal.15
V.1. Tahap “Zaman Para Dewa” (the age of gods)
Dalam teori tahap-tahap perkembangan suatu bangsa yang dibuat Giambattista Vico, tahap
pertama adalah ‘zaman para dewa’. Berdasarkan bacaan Vico atas epos karya Homerus, Vico ber-
kesimpulan bahwa pada tahap awal manusia tak memiliki bahasa dan berbicara dengan ‘bernyanyi’.
Mereka mudah terkesan terhadap apa yang muncul dalam persepsi indrawi mereka, yaitu alam.
Kesadaran mereka akan realitas alam bersifat imajinatif atau figuratif. Kata-kata mengekpresikan apa

13
Vico, Nova Scienza, §314.
14
Vico, Nova Scienza, §333, 360.
15
Untuk bagian ini lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students, hlm. 127-47.
8
V. Giambattista Vico

yang secara konkrit dialami. Misalnya kata companion muncul dari cum (bersama) + panis (roti),
karena companion (sahabat) ialah dia yang dengannya aku makan roti bersama. Vico menganalogikan
tahap ini dengan masa kanak-kanak, di mana anak-anak mudah ter-
kesan dengan apa yang mereka persepsi; memori mereka sangat
tajam, dan imajinasi mereka sangat hidup. Anak-anak paling gemar
meniru, demikian pula manusia tahap awal suka berpuisi sebab puisi
adalah tiruan/imitasi atas realitas yang mengagumkan. Ingat bahwa
tulisan awal manusia adalah tiruan atas realitas alam, seperti misalnya
tulisan hieroglif. Tulisan seperti hieroglif merupakan ungkapan ke-
bijaksanaan puitis. Walau tak rasional, pengetahuan puitis sangat
kreatif. Memang dalam bahasa Yunani puisi berasal dari kata poiein,
yang juga berarti membuat atau mencipta. Selanjutnya, epos Odys-
seus dan Illiade karya Homerus di Yunani adalah puisi liris yang
dinyanyikan. Bandingkan dengan kitab Bhagavad Gita di India atau
kitab Negarakertagama di Indonesia yang juga berupa syair puitis
(kakawin) untuk dilagukan. Kitab Negarakertagama disusun ber-
dasarkan konsistensi guru wilangan (jumlah suku kata dalam tiap
baris) dan guru lagu (persamaan bunyi di akhir tiap baris) demi
memudahkan memori masyarakat yang masih bertradisi lisan. Gambar 4 Hieroglif

Vico mengaitkan asal-usul manusia dengan banjir bandang Nuh. Sejak banjir tersebut, bangsa
manusia terbagi menjadi dua golongan. Nuh dan Israel memiliki sejarah khusus karena mereka
mengenal Allah. Sementara itu bangsa-bangsa lain yang tak mengenal Allah, percaya akan adanya
raksasa-raksasa atau monster-monster yang mengerikan yang termanifestasikan dalam kekuatan-
kekuatan alam. Monster yang paling ditakutkan dalam ‘agama-agama’ primitif adalah monster yang
menghasilkan petir, yakni Yupiter (dipanggil dengan nama berbeda-beda di pelbagai bangsa). Suara
petir itu membuat manusia yang tinggal di gua-gua ketakutan. Agama sebagai institusi paling primitif
muncul dari rasa takut akan Dewa Petir atau Yupiter. Manusia yang takut pada Dewa Yupiter
melakukan persenggamaan pria-wanita di dalam gua-gua karena malu. Rasa takut pada Yupiter
membuat manusia ‘menahan diri’ dan mengatur perilaku manusia supaya tidak dihukum. Muncullah
institusi perkawinan. Jadi sesudah agama, institusi kedua yang muncul adalah keluarga. Institusi yang
ketiga adalah pemakaman. Bangsa-bangsa memiliki ritus pemakaman. Ritus ini muncul dari
kepercayaan bahwa jiwa manusia tidak mati bersama tubuh, melainkan immortal. Vico mengamati
bahwa bangsa-bangsa, entah itu beradab atau barbar, semuanya memiliki tiga institusi fundamental
ini: agama, perkawinan, dan pemakaman. Lama-lama keluarga-keluarga akan membersihkan hutan
untuk berladang dan akan muncul institusi ‘hak/harta milik pribadi’.
Jadi, tahap awal sejarah manusia adalah zaman para dewa atau para monster. Para dewa dan
monster kemudian tunduk di bawah kuasa Dewa Yupiter (dewa petir) sebagai dewa tertinggi. Dari
rasa takut pada Yupiter berkembanglah institusi-institusi atau pranata sosial dalam masyarakat. Maka,
bagi Vico institusi sosial lahir demi tujuan praktis, bukan mengalir dari kodrat manusia yang bersifat
sosial—seperti kata Aristoteles: zoon politikon. Institusi muncul bukan karena sifat altruis manusia,
melainkan karena keperluan praktis (utilities), agar tidak menyalahi kehendak dewata dan selamat.
Masyarakat muncul bukan karena sosiabilitas manusia melainkan karena kebutuhan religius. Pada

9
I. Filsafat Sejarah Spekulatif

era ini, orang yang dapat membaca pesan atau berkomunikasi dengan Yang Ilahi (dewa-dewi)
menduduki posisi terhormat serta mendapat privilese.

V.2 Tahap “Zaman Para Ksatria/Pahlawan” (the age of heroes/knights)


Tahap ini adalah tahap masyarakat dalam arti sesungguhnya. Keluarga-keluarga membentuk
kota atau negara-kota. Pemerintahannya berbentuk aristokrasi. Keluarga aristokrat yang berkuasa
mengklaim diri sebagai keturunan para monster atau dewa dan memperlakukan rakyat lain sebagai
keturunan binatang liar. Menurut Vico, di zaman para ksatria ini manusia masih mengandalkan
kekuatan fisik dan bukan akal budi/rasio. Mereka hidup menuruti nafsu untuk menjadi yang paling
berpengaruh dan berkuasa. Di antara keluarga-keluarga aristokrat sendiri sering ada duel atau
pertempuran untuk menyelesaikan perselisihan paham atau perbedaan kepentingan. Karena masih
merasa keturunan dewa, keluarga aristokrat menjaga privilese mereka dengan ritual-ritual serta
praktik-praktik kesalehan keagamaan, di mana mereka merasa diri lebih tahu dibanding rakyat
kebanyakan. Para imam harus datang dari keluarga aristokrat ini.
Bahasa yang digunakan pada periode para ksatria ini masih bersifat puitis, karena mereka
masih percaya pada kekuatan-kekuatan supranatural yang mendiami fenomena alam. Orientasi me-
reka masih bersifat praktis sehingga belum mampu mengembangkan abstraksi. Mentalitas ‘heroik’/
ksatria masih lekat dengan urusan ‘keperluan dan kebutuhan hidup’ (utilities and necessities of life):
teritori, ladang, jagung, perbatasan, silsilah keluarga, otoritas, dan keamanan. Namun konflik dan
pertempuran tanpa henti antar para ksatria perlahan-lahan memicu kesadaran akan perlunya penga-
turan masyarakat dalam sistem politik yang dapat menjamin peri keadilan dan peri kemanusiaan.

V.3 Tahap “Zaman para Manusia” (the age of men)


Ini adalah tahap di mana manusia telah memiliki mentalitas manusiawi. Mentalitas kstaria/
heroik yang keras, spontan, dan tak reflektif mulai hilang. Demikian pula dengan kesadaran puitis
atau imaginatif. Kini yang ada ialah “sifat manusiawi, cerdas dan terukur, baik hati dan masuk akal,
mengakui hukum, hati nurani, alasan dan kewajiban”16. Muncullah bahasa dan tradisi tulisan; kata-
kata yang merepresentasikan kelas dan spesies dari benda-benda. Dengan kata lain, mereka mengenal
konsep abstrak atau universalia (binatang, pohon, dll.). Lahirlah filsafat dan sains. Pada tahap inilah
ungkapan “Darah mendidih dalam hatiku” berubah menjadi “Aku marah”. Bila pada ‘zaman ksatria’
hukum hanya dimengerti oleh para imam dan tersimpan dalam bahasa yang rahasia/gaib, di zaman
manusia hukum dinyatakan dalam bahasa yang dimengerti oleh warga kota. Hukum bukan hanya
hukum yang diberikan kekuatan ilahi, tetapi hukum hasil diskusi dan kesepakatan bersama. Kesa-
daran mitis bergeser menjadi kesadaran rasional. Zaman manusia adalah zaman yang ditandai fajar
akal budi. Pada masa ini, menurut Vico “Orang akhirnya memahami bahwa kodrat rasional (yang
merupakan kodrat manusia) adalah sama dalam semua orang”17.
Menurut Vico, hukum muncul sebelum filsafat. Ini menandakan bahwa perkembangan rasio-
nalitas manusia terjadi secara bertahap. Perkembangan rasionalitas dipengaruhi oleh perkembangan
dalam dimensi material kehidupan manusia. Zaman manusia ditandai dengan pemerintahan monarki.

16
Vico, Nova Scienza, §918.
17
Vico, Nova Scienza, §29.
10
V. Giambattista Vico

Mengamati sejarah Roma, Vico berkeyakinan bahwa monarki lebih baik dari republik. Dalam
republik, warga negara hidup dalam individualisme, masing-masing mengejar kepentingan pribadi
dan mengabaikan kebaikan umum. Dalam monarki individu bertanggung jawab atas kepentingan
pribadi, namun kepentingan umum menjadi tanggung jawab raja yang berdaulat (monarch). Lewat
hukum, raja menjamin kesetaraan warga di hadapan hukum. Raja menjaga stabilitas dengan men-
cukupi kebutuhan dasar warga dan memberi ruang kebebasan seperlunya. Dalam arti ini, Vico memi-
liki pandangan Machiavelian atas masa rakyat yang secara alami mengejar kepentingan pribadi.
Zaman manusia menurut Vico bisa mengalami kemerosotan. Ide ini juga diperoleh dari
amatan akan sejarah kekaisaran Romawi. Sifat manusia yang baik di
awal pembentukan kota, bisa berubah. Pada awalnya yang memerintah
adalah yang rajin, yang berjiwa besar, yang ber-keutamaan dan bukan
yang jahat. Namun akan tiba suatu titik di mana orang tidak puas
dengan yang dimiliki dan mulai memperalat kekuasaan untuk kepen-
tingan diri, dan ini bisa memicu perang sipil. Vico mencirikan men-
talitas ketiga tahap peradaban demikian: “Awalnya manusia berusaha
memenuhi kebutuhan dasar hidup (necessity), lalu mencari apa yang
tidak hanya perlu tetapi juga berdayaguna (utility), dan akhirnya men-
cari kenyamanan (comfort)… yang terakhir ini kemudian berkubang
dalam kenikmatan, kemudian kemewahan, dan akhirnya menjadi ‘gila’ dan mengabaikan apa yang
penting”.18 Itulah saat di mana zaman manusia mengalami kemerosotan. Demikian pula sifat manusia
pada ketiga tahap peradaban “sifat manusia pada awalnya kasar/kejam (crude), lalu keras (severe),
lantas baik hati (benign)… akhirnya lembek, dan tak bermoral”19. Intinya, zaman manusia yang awal-
nya baik bisa merosot sampai pada tahap di mana orang “menjadi budak dari hawa nafsu yang tak
terkontrol—akan kemewahan, kebancian, keserakahan, kecemburuan, kesombongan, keangkuhan—
dan budak dari pencarian kenikmatan yang tak bermoral… mereka jatuh lagi ke dalam sifat-sifat
buruk dari para budak yang paling hina (menjadi pembohong, culas, pemfitnah, maling, pengecut,
dan penipu)”20. Kemerosotan moral akan dibarengi dengan kemerosotan intelektual: mereka jatuh ke
dalam skeptisisme, pemutarbalikan kebenaran, retorika yang penuh kebohongan (kini: hoax).

VI. Sejarah Manusia: Berulang?


Vico mengamati bahwa fenomen kemerosotan zaman manusia itu merupakan sesuatu yang
berlaku umum bagi tiap bangsa. Dari situ amatan historis ini dia menarik dua pelajaran: [1] mereka
yang tak dapat memimpin dirinya sendiri, harus membiarkan dirinya dipimpin oleh orang lain, [2]
dunia selalu dipimpin oleh mereka yang secara alami paling cocok (the fittest). Bila dua pelajaran ini
tidak diikuti suatu bangsa akan jatuh dalam perang sipil di mana faksi-faksi saling berkonflik dan
menjadikan kota-kota mereka menjadi hutan yang diwarnai barbarisme. Suatu bangsa bisa kembali
ke titik awal… Namun, menurut Vico, dari titik awal itu suatu bangsa bisa juga bangkit kembali
“seperti burung elang yang bangkit”. Maksud Vico ialah, bila suatu negara merosot dari zaman
manusia ke titik nadir, untuk bangkit kembali mereka harus—ceteris paribus—melewati ketiga tahap

18
Vico, Nova Scienza, §241.
19
Vico, Nova Scienza, §242.
20
Vico, Nova Scienza, §1105.
11
I. Filsafat Sejarah Spekulatif

peradaban/zaman di atas: zaman para dewa, zaman para ksatria, zaman manusiawi. Tetapi apakah
proses seperti merupakan keniscayaan, Vico tidak cukup jelas.
Dalam konteks Eropa, Vico melihat zaman Romawi sebagai ‘zaman manusia’, sedangkan
zaman Abad Pertengahan sebagai titik nadir, ‘zaman barbarisme’. Sesudah kekaisaran Roma ambruk,
di Abad Pertengahan muncul kembali teokrasi, yang berkuasa ialah pemimpin agama Kristen. Biara-
biara menjadi pusat peradaban. Dalam arti tertentu ini mirip dengan ‘zaman para dewa’ yang
bersifat teokratis. Di Abad Pertengahan, perbudakan, perampokan, duel, kekejaman, muncul kembali.
Lantas, di puncak Abad Pertengahan (High Middle Ages) muncullah para tuan tanah dan berkembang
sistem feodalisme. Para pangeran kecil membentuk klub aristokrasi dan mendominasi. ‘Zaman
ksatria/pahlawan’ muncul lagi. Dari aristokrasi, pelan-pelan di Eropa muncul monarki. Zaman sesu-
dah Renaisans, zaman di mana Vico hidup dipandangnya sebagai ‘zaman manusia’ kedua bagi Eropa.
Dalam arti ini, memang terjadi pengulangan (corso—rincorso) .
Meski demikian Vico tidak menawarkan ketegasan. Dia juga mengecualikan orang Israel dari
hukum tiga zaman itu. Alasannya, orang Israel sejak semula tidak percaya pada para dewa, melainkan
kepada Allah. Bagi Vico, “Allah telah memberikan agama yang benar kepada bangsa Israel, dari situ
agama Kristen muncul”. Boleh jadi ketidaktegasan Vico serta kehati-hatiannya dalam memandang
agama Kristen adalah supaya bukunya tidak terkena sensor pihak inkuisisi Gereja Katolik. Yang jelas
Vico tidak mengadopsi begitu saja konsep sejarah linear agama Kristen maupun konsep sejarah siklis
peradaban klasik yang mengarah ke fatalisme. Sejarah tidak ditentukan oleh keberuntungan (chance)
atau pun oleh takdir (fate), tetapi oleh bagaiman manusia mengubah kondisi kodratinya agar lebih
beradab. Upaya manusia itu bisa mencapai keberhasilan, tetapi bisa merosot kembali. Bagaimana
masa depan manusia tergantung pada bagaimana manusia menangani masa kini.
Vico juga menawarkan solusi agar ‘zaman manusia’ tidak jatuh ke dalam kemerosotan. Di
zaman manusia, di mana manusia lama kelamaan cenderung menjadi lembek dan hanya mencari
kenikmatan, perlu dibangkitkan kembali beberapa keutamaan yang ada pada ‘zaman ksatria’, keu-
tamaan seperti keberanian, keterusterangan, ketegasan. Di zaman di mana segala sesuatu menjadi
mudah, diperlukan semangat heroik, semangat mencari tantangan, agar tak terlena oleh kemewahan.

VII. Peran Allah dalam Sejarah


Dalam pandangan Vico, Allah memainkan perannya dalam sejarah manusia. Ada dua cara
melalui mana Tuhan berperan dalam sejarah: [1] lewat penyelenggaraan ilahi, dan [2] lewat rahmat.
Penyelenggaraan ilahi terwujud lewat kebebasan manusia. Jadi penyelenggaraan ilahi tidak
terwujud lewat campur tangan adikodrati dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, melainkan lewat fakta
bahwa Tuhan telah membuat sedemikian rupa sehingga manusia bisa tahu baik dan buruk, dan
mampu memilih hal-hal yang membawanya pada kebahagiaan. Agama yang diberikan oleh Tuhan
mempengaruhi cara orang berperilaku. Jadi penyelenggaraan ilahi tidak terwujud lewat ‘nasib’ atau
‘kebetulan’ (fortuna) melainkan lewat kodrat manusia itu sendiri yang mampu memilih hal-hal yang
mendatangkan kesejahteraan bagi mereka. Di sini Tuhan bukanlah seperti si pembuat jam yang
setelah menciptakan jam dengan mekanisme yang dapat berjalan secara otomatis, lantas hanya
berpangku tangan menonton. Alih-alih menjadi watchmaker, menurut Vico Allah adalah designer.
Lewat akal budi-Nya Allah mengatur tatanan alam semesta. Jam adalah dunia tempat manusia hidup
beserta sejarahnya. Manusialah si pembuat jam (watchmaker). Manusia yang menentukan jalannya

12
V. Giambattista Vico

sejarah. Penyelenggaraan ilahi terwujud dalam tatanan semesta (the natural order of things), bukan
lewat pre-destinasi atau penetapan nasib masing-masing individu manusia secara adikodrati.
Memang Tuhan bisa campur tangan secara adikodrati dalam sejarah lewat rahmat (divine
grace). Mukjizat adalah contoh campur tangan langsung Allah dalam sejarah. Vico menulis,
“manusia memiliki kebebasan memilih, kendati lemah, untuk mengubah hasrat-hasratnya menjadi
keutamaan. Tetapi… ia dibantu oleh Allah, secara kodrati (natural) lewat penyelenggaraan ilahi dan
secara adikorati (supanatural) lewat rahmat”.21 Agama Yahudi—Kristen menurut Vico juga tidak
muncul secara natural seperti agama-agama lain (animisme, dll), tetapi muncul berkat capur tangan
Allah. Tentu agama-agama lain juga berguna karena mengajarkan orang untuk mentransformasi
perasaan dan nafsu kasar mereka menjadi sikap-sikap yang lebih beradab. Namun, dalam agama
Yahudi—Kristen berkat campur tangan ilahi orang mengembangkan keutamaan untuk mengejar
kebaikan yang sifatnya tak terbatas.

VIII. Penutup
Pengetahuan manusia akan dunia bagi Vico tidak akan pernah tuntas. Masing-masing bangsa
memiliki kebudayaan yang unik. Cara terbaik memahami kebudayaan suatu bangsa ialah melalui
studi atas bahasa mereka. Produk-produk kebahasaan mereka, seperti mitos, epos, puisi, dan karya
sastra lain membentuk kesadaran dan peradaban mereka. Sejarah yang lewat filologi mempelajari
eskpresi kultural mereka, seperti institusi-institusi sosial berupa adat-kebiasaan melangsungkan
upacara keagamaan, perkawinan, dan pemakaman membantu kita memahami pola-pola perkem-
bangan sebuah bangsa. Tentu pola-pola di sini tidak bisa disamakan dengan hukum-hukum alam.
Hukum-hukum alam bukan ciptaan manusia; manusia hanya menemukan dan merumuskannya saja.
Sedangkan sejarah adalah ciptaan/produk manusia. Karena itu manusia dapat memahami sejarah.
Melawan rasionalisme Descartes yang mengklaim bahwa pengetahuan yang pasti hanyalah penge-
tahuan yang diperoleh lewat deduksi logis akal budi, Vico mengingatkan bahwa mitos dan puisi yang
menurut standard Cartesian bersifat irrasional juga dapat menjadi sumber pengetahuan yang pasti
tentang manusia. Vico mengingatkan: rasio dan kesadaran itu kontingen dan menyejarah.
Sejarah suatu bangsa bagi Vico bukan hanya sekedar rentetan peristiwa demi peristiwa tanpa
penjelasan (kronik). Ada perubahan budaya dan mentalitas sesuai dengan ‘tahapan zaman’; jadi ada
kontinuitas di tengah perubahan alur sejarah. Sejarah tersusun dari kisah-kisah yang memiliki ke-
terkaitan. Namun demikian, sejarah bukanlah sesuatu yang bisa diketahui lewat suatu deduksi logis.
Demikian pula suatu peristiwa tertentu tidak bisa menjelaskan sejarah terpisah dari peristiwa lain.
Sejarah dapat dimengerti bukan lewat empirisme atau rasionalisme, melainkan lewat suatu kesadaran
historis (historical consciusness) yang melacak kontinuitas di tengah perubahan.22 Sejarah tidak
ditentukan oleh suatu rangkaian hubungan sebab-akibat yang bersifat niscaya, sebab sejarah
merupakan hasil tindakan manusia yang bebas—meski tetap intelligible—di hadapan tantangan khas
zamannya. Para sejarawan bukanlah pengarang sejarah, mereka hanyalah penyingkap sejarah. Penga-
rang sejarah adalah para aktor yang bertindak dan menciptakan alur sejarah dalam kebebasannya.
Walau demikian, Vico mengakui bahwa di balik alur sejarah ada ‘seorang designer’, Allah sendiri,
sebab Vico melihat ada tahapan-tahapan atau pola sejarah yang dasariah, intelligible dan berlaku

21
Vico, Nova Scienza, §136.
22
Lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students, 165.
13
I. Filsafat Sejarah Spekulatif

universal (zaman dewa—ksatria—manusia), meski pola yang sama tersebut dialami dalam versi yang
berbeda-beda oleh banyak bangsa. Pola-pola dasariah itu tidak hanya dapat ditemukan dalam sejarah
bayak bangsa, tetapi juga mengalami pengulangan (rincorso).

Sumber:
M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (London—New York: Routledge, 2013),
107-167.
M. Hughes-Warrington, Fifty Key Thinkers on History 3rd ed. (London—New York: Routledge, 2015,
Routledge), 319-324.
G. Vico, The First New Science, trans. L. Pompa (Cambridge: Cambridge University Press, 2002)
J. Mali, “Vico”, dlm. A. Tucker (ed.), A Companion to the Philosophy of History and Historiography
(West Sussex: Blackwell, 2009), 446-56.
P. Avis, Foundations of Modern Historical Thought. From Machiavelli to Vico (London—New York:
Routledge, 1986), 132-61.
R.G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Clarendon Press,1946), 63-71.

14

Anda mungkin juga menyukai