Anda di halaman 1dari 67

A Ilmu Sains dan Hubungannya dengan 

Filsafat
1. Ilmu Sains dan Hubungannya dengan Filsafat
Menurut Titus (1959) dalam Uyoh Sadulloh (2012), sains diartikan sebagai common sense
yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau
peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode observasi yang teliti dan krisis. Sains
merupakan suatu metode berfikir yang bersifat  objektif, tujuannya untuk
menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia factual. Sains juga bersifat relative,
dalam arti bahwa suatu kebenaran sains dapat diuji kembali oleh pengalaman berikutnya
kemungkinan diperbaharui, bahkan dapat saja ditolak kalau memang hasil temuan baru
tersebut harus menolak.
Dalam perkembangan sains banyak terpengaruh dari pemikiran-pemikiran para filsuf,
seperti Leibniz yang menemukan “kalkulus diferensial”, Whitehead dan Bartrand Russel
dengan teori matematikanya yang terkenal, Ibnu Sina seorang filsuf muslin yang telah
banyak memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu kedokteran, Ibnu Khaldun
seorang filsuf muslim juga yang telah berjasa dalam mempelopori pengembangan ilmu
sejarah dan sosiologi, mendahului Agust Comte yang oleh Barat dianggap sebagai Bapak
Sosiologi. Tidak hanya perkembangan sains yang dipengaruhi oleh filsafat, namun
perkembangan filsafat juga dipengaruhi oleh sains. Sains membantu filsafat dalam
mengembangkan sejumlah bahan-bahan deskriptif dan factual serta esensialbagi
pemikiran filsafat, sains mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide
yang bertentangan dengan pengetahuan ilmiah. (Uyoh Sadulloh, 2012).
Filsafat dan sains memiliki beberapa kesamaan, diantaranya adalah 1) keduanya
menunjukkan metode berfikir reflektif dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup, 2)
keduanya menunjukkan sikap kritis dan terbuka, serta memberikan perhatian yang tidak
berat sebelah terhadap kebenarannya, 3) keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang
terorganisasi dan tersusun secara sistematis.
 
1. Definisi Filsafat
Kata filsafat yang dalam bahasa arab adalah falsafah dan dalam bahasa inggris adalah
philosophy adalah berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia yang terdiri atas kata
philien yang berarti cinta dan shopis yang berarti kebijaksanaan, sehingga secara
etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan dalam arti yang sedalam-dalamnya (Surajiyo,
2007).
Secara terminologis, terdapat banyak definisi tentang pengertian filasafat. Berikut ini
beberapa definisi filsafat dari beberapa filsuf dan ahli filsafat.
1. Para filsuf pra-Socrates
Filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan
mengandalkan akal budi.
 
2. Plato
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murn.
Plato juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-
asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
3. Aristoteles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan
penyebab-penyebab dari realitas yang ada.
4. Rene Descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah
mengenai tuhan, alam, dan manusia.
5. Wiliam James
Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang.
6. F. Beerling
Filsafat adalah mempertanyakan tentang seluruh kenyataan atau tentang hakikat, asas,
prinsip dari kenyataan. Berling juga mengatakan bahwa filsafat adalah usaha untuk
mencapai akar terdalam kenyataan dunia wujud, juga akar terdalam pengetahuan tentang
diri sendiri.
7. Louis O. Kattsoff
Filsafat merupakan suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran
mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut
pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.
Dari beberapa pengertian filsafat adalah suatu proses berpikir yang mendalam secara
sistematis terhadap segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (Ali Maksaum, 2009).
 
1. Perkembangan Filsafat
2. Perkembangan filsafat barat
3. Perkembangan dari Mitos ke Filsafat
Periodisasi perkembangan filsafat dibagi dalam enam periode, yaitu : periode purba,
periode Yunani, periode Iskandariyah, periode islam, periodee Renaissance dan periode
modern (Atang dan Beni, 2008)
 Zaman purba
Periode purba adalah zaman batu yang dipandang oleh para sejarawan sebagai zaman
pengetahuan ilmiah.±400.000 tahun yang lalu, manusia mulai membuat alat-alat dan
senjata-senjata tertentu.Keberhasilan manusia dalam membuat benda-benda itu setelah
melalui pengalaman mencoba-coba.Sebagai hasilnya mereka mampu menemukan
pengetahuan ilmiah.Perkembangan ilmu terjadi sejak 2000 tahun sampai 3000 tahun
sebelum masehi diantaranya matematika, astronomi, geologi, biologi, social.
 
 Periode yunani
Periode ini dikaji zaman yunani kuno (600 SM -200 M).pada zaman yunani kuno terdaapat
tiga periode masa sejarah filsafat, yaitu masa awal, amsa keemasan, serta masa helenitas
dan romawi. Masa awal filsafat Yunani Kuno ditandai dengan tercatatnya tiga nama filsof
yang berasal dari daerah miletos, yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pikiran-
pikiran Thales ditulis oleh murid-muridnya yaitu anaximandros dan
Anaximenes.Perhatiannya badalah pada alam dan kejadian alamiah terutama dalam
hubungan perubahan-perubahan yang terjadi. Dilanjutkan pada masa keemasan Yunani
kuno yang ditandai oleh sejumlah nama besar yang sampai sekarang tidak pernah
dilupakan oleh kalangan pemikir, termasuk masa kini yang berbeda pendapat. Prikles
yang tinggal di Athena.Pitagoras merupakan tokoh pada zaman
keemasan.Pemahammanya memperlihatkan sifat-sifat relitivisme atau kebenaran bersifat
relative, tidak ada kebenaran yang tetap dan definitif.Benar, baik dan bagus selalu
berhubungan dengan manusi, tidak mandiri sabagai kebenaran mutlak.Ilmu pengetahuan
Yunani ini mencapai puncak tertinggi dan kebesarannya di Athena. Ilmu mereka jauh
melebihi semua Negara lain karena Akademi plato dan Lyceum Aristoteles. Periode
gemilang ilmu-ilmu helenis ini berakhir dengan meninggalnya Iskandar Yang Agung,
kemudian disusul Aristoteles.
 Periode Iskandariyah
Pada periode iskandariyah, ilmu dan para ilmumuwan memperoleh perlindungan dari
pendukung-pendukung Ptolemeus.Ada masa ini perkembnagan ilmu pengetahuan
mengalami akselerasi kurang lebih pada tahun 105.Ta’ai Lun, seorang pegawai negeri
pada pengadilan kerajaan telah mempersembahkan penemuan contoh kertas kepada
kaisar cina.Dikatakan selanjutnya bahwa ppada ke-4 Masehi, Cina secara politisi terpecah-
pecah, tetapi Cina telah menunjukkan pada dunia bahwa pada masa itu telah di temukan
kompas, bahan peledak, dan percetakan.Tokoh lain adalah Socrates (470 SM – 399 SM)
yang menentang sofistik dengan mengatakan bahwa benar dan baik adalah nilai objektif
yang harus di junjung tinggi semua orang.Jasa Socrates yang paling besar adalah
mempertahankan tradisi filsafat Yunani yang pada saait itu sedang digoyahkan oleh kaum
sofis. Tokoh selanjutnya yaitu Plato , ia adalah murid Socrates yang terkenal sampai
sekarang lahir dari kalangan bangsawan Athena. Dalam filsafatnya, Plato menentang
realismee karena apa yang dinyatakan benar menurut realism, ialah yang dapat diindra,
sebenarnya adalah bayangan. Selanjutnya, Plato mengatakan bahwa realitas seluruhnya
dibagi dua dunia, yaitu dunia gagasan yang hanya terbuka bagi rasio, tidak dapat berubah
dan telah sempurna, serta dunia jasmani yang hanya terbuka bagi indra manusia yang
senantiasa berubah, secara tidak sempurna y\hanya mengutip dunia gagasan, seperti
suatu gagasan di papan tulis yang sewaktu –waktu dapat dihapus. Murid plato yang
terkenal adalah aristoteles (384 SM-322SM) dari Yunani Utara. Merupakan bapak filsafat
ilmu, menurut aristoteles, yanga ada adalah sesuatu yang konkret, benda ini atau benda
itu, bukan benda umumnya atau ciri benda.Jadi, yang ada adalah yang konkret, bukan
sekedar gagasan atau idea.
Karya aristoteles tentang logika, yang kelak diberi nama To Organon oleh muridnya yang
bernama Andrinikos dari Rhodos mencakup (1) katagorial (2) Peri hermenias, (3)
Analytical Protera, (4) Analytica Hystera, (5) Topica, (6) peri Sophistikoon Elegchoon.
 Periode Renaissance
Zaman Renaissance logika dalam abad ke 20 di tandai dengan terbitnya principia
Mathematica Jilid I yang merupakan karya Whitehead dan Betrand A.W. Russel.Karya ini
membuktikan bahwa matematika murni berasal dari logika.Pada tahun 1913, H.M. Sheffer
mengoreksi beberapa pemikiran Principia seorang mahaguru Matematika Universsitas
Havard, Profesor Clerence Irving Lewis.Ia mengajukan dan mempertahankan gagasan
strict Implication sebagai bertentangan dengan material Implication. Ludwig Wittgenstein
mengadakan pembaharuan teknis pada teori dan logika, khususnya mengenai tautologi
dan probabilitas. Akan tetapi jasanya lebih besar, akan tetapi, jasanya lebih besar dalam
bidang penelitian bahasa. Masalah yang ia tangani dalam Tractatus Logico-
Philosophicusadalah ketentuan-ketentuan apakah yang harus dipenuhi oleh setiap system
symbol sebagai representasi fakta. A. Tarski, pemikir Polandia berjasa dalam bentuk
sumbangan pada logika matematika disamping menggarap konsep-konsep dasar seperti
‘kebenaran’, ‘metabahasa’, ‘matematika’.Pada abad ke-2 di amping perkembangan logika
yang de facto beberapa dasarnya telah dibakukan oleh Aristoteles, juga terdapat kritik
terhadap logika klassik.Pengaruh tradisi empiris-rasional yang dibangun aristoteles dan
diawali guru-gurunya di yunani, telah mengubah dunia mistik menjadi dunia ilmu. Namun,
ternyata proses ini tidak lama bertahan. Penalaran mistik kembali mengalahkan
penalaran ilmiah yang telah susah payah dikerjakan oleh para filsof besar Yunani. Pasca
kematian Aristoteles, filsafat Yunani Kuno, kembali menjadi ajaran praksis dan bahkan
dan bahkan mistik.Ajaran mistik ini terlihat misalnya dari ajaran Stoa, Epicurus, dan
Plotinus.Filsafat Yunani dikesankan sangat secular, khususnya pada pemikiran Aristoteles
yang telah dicairkan dari antoniminya dengan doktrin gerejani. Ilmu pengetahuan
dihubungkan dengan kitab suci umat kristiani dalam bentuk hubungan history of scientific
progress (sejarah perkembangan ilmu) sehingga elastisitas ilmu pengetahuan menjadi
tidak tampak kalau bukan hilang sama sekali. Bentuk hubungan seperti yang diperagakan
masyarakat Kristen dicatat sejarah telah melahirkan sejumlah kerugian, diantaranya
adalah terjadinya pertentangan antara kajian keilmuan dan kajian keagamaan sehingga
perkembangan ilmu menjadi ilmu pengetahuan adalah upaya menentang doktrin agama,
dan ilmuwan adalah para penentang agama yang harus disingkirkan. Kondisi ini harus
diakui telah menyebabkan hilangnya tradisi  agung Yunani yang kritis dan dialektika.
Sebagian besar pengikut ajaran Kristus yang fanatic terhadap agamanya, justru memberi
kesan lahirnya kembali mitologi seperti pernah Berjaya pada abad-abad pra Socrates,
Plato, Aristoteles.Halini juga mengakibatkan perpustakaan iskandaria satu-satunya
dibakar oleh sabgian pengikut setia ajaran Kristus yang fanatic.Seorang gadis cantik
dibunuh oleh kaum gerejawan Kristen yang menolak lamaran setiap laki-laki bangsawan
dan kaum gerejawan Kristen.Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencurahkan
pikirannya dalam pengembanga ilmu pengetahuan.Ia ingin menghabiskan waktu
perpustakaan dan tidak terganggu oleh pikiran-pikiran duniawi. Sikap sebagian
masyarakat Kristen terhadap ilmu sebagaimana diilustrasi tadi, nyatanya masih terjadi
pada ilmuwan-ilmuwan abad medeavelis (ilmuwan abad pertengahan), dengan tokoh
kunci terlihat pada fenomena inkuisi Galileo Galilei dan Giordano Bruno. Inkuisi yang
dilakukan gereja terhadap dua tokoh kunci ilmuwan abadd pertengahan ini, ditengerai
karena penemuan ilmiahnya yang dianggap bertentangan dengan apa yang terjadi dalam
kitab suci Kristen.
 Periode Helenitas dan Romawi
Masa Helenitas dan Romawi adalah suatu masa yang tidak dapat dilepaskan dara peranan
Raja Alexender Agung.Raja ini telah mampu mendirikan Negara besar yang tidak sekedar
meliputi seluruh Yunani, tetapi daerah-daerah di sebelah Timurnya.Kebudayaan Yunani
menjadi kebudayaan supernasional. Kebudayaan Yunani disebut juga “kebudayaan
Helenitas”. Ada sejumlah aliran pada massa ini seperti stoisisme, epikurisme, skeptisisme,
ekletisisme dan neoplatonisme. Stoisisme merupakan mazhab yang didirikan di Athena
oleh Zeno dari Kition.Menurut stoisisme, jagat raya di tentukan “logos” yang berarti
rasio.Epikurisme dibangun Epikuros (341-270 SM) yang telah mendirikan sekolah sendiri
di Athena dan membangun kembali atomisme Demokritos.Menurut aliran ini segala hal
terdiri atas atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetuan bertabrakan. Di Yunani ,
Skeptisisme dipelopori oleh Pyrro (365-275 SM), yaitu aliran tidak jelass identitassnya
pada masa Helenitas. Ajaran dalam aliran ini lebih tampak sebagai sikap umum
masyarakat luas yang menyakini bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai pada
kebenaran yang mutlak. Isi ajaran mazhab ini adalah kesangsian.
Ekletisisme bukanlah sebagai mazhab atau aliran, seperti skeptisisme.Aliran ini
merupakan kecenderungan masyarakat luas untuk memetik berbagai unsur filsafat dari
berbagai aliran dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tidak sampai pada
kesatuan pemikiran.Tokoh yang hidup di Roma dalam aliran ini adalag Cicero (106-43
SM).Neoplatonisme perlu dipandang sebagai puncak terakhir filsafat Yunani. Sesuai
dengan namanya, neoplatonis menghidupkan kembali filsafat Plato, tetapi para
pngikutnya dipengaruhi filsafat lain yang lahir sesudah Plato, misalnya Aristoteles dan
Stoa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila aliran ini ditanggapi sebagai sintesis
dari semua lairan pemikiran saat itu.Tokohnya adalah Plotinos (203/4 – 269/70).System
filsafat Plotinos adalah kesatuan yang disebut Allah atau “yang satu” (toHen).Artinya
semua berasal dan kembali pada “Yang Satu” itu sehingga menimbulkan gerakan
pemikiran dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.Neoplatonisme merupakan aliran
filsafat yang dianggap sebagai filsafat baru dalam filsafat Yunani Kuno, menjadi aliran
intelektual yang dominan yang tamoak bersaing dengan dunia Kristen (teologi
Kristiani).Seorang filsof yang sukses dalam mengajarkan neoplatonisme di Athena adalah
Proklos (410-485 SM).
 
1. Abad Pertengahan
Ini adalah zaman dimana filsafat berfungsi sebagai alat untuk pembenaran atau justifikasi
ajaran agama. Salah satu tokoh filsafat pada abad ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274).
Thomas adlah seorang filsuf paling terkenal pada abad pertengahan ini. Ada sejumlah
pemikiran yang ditulisnya, salah satunya adalah mengenai “Lima Argumen Untuk
Membuktikan Keberadaan Tuhan”, lima argument tersebut adalah gerak, sebab-akibat,
ada dan tiada, kelas kualitas, dan keteraturan perencanaan.
 
1. Filsafat Modern
Filsafat modern berawal dari paruh kedua abad ke-16 Masehi. Berikut ini adalah beberapa
filsuf pada zaman filsafa modern :
 Francis Bacon (1561-1626) adalah seorang filsuf pertaman yang berusaha menggali
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan alam dan menyusun metode ilmiah yang
disebut Novum Organum (alat atau metode baru). Melalui metode ini para
ilmuwan berangkat dari pengamatan-pengamatan terhadap kasus-kasus khusus
untuk kemudian menyusun kesimpulan-kesimpulan umum.
 Rene Descartes (1596-1650) yang merupakan filsuf paling terkenal pada zaman ini,
sehingga ia disebut Bapak Filsafat Modern. Yang menjadi perhatian utama
filsafatnya adalah tentang masalah pengetahuan (eistemologi), dan manusia
(filsafat manusia).
 John Locke (1632-1704), yang berkeyakinan bahwa semua pengetahuan manusia
diperoleh melalui pengalaman, dan alat-alat indera. Yang merupakan pintu masuk
bagi pengalaman tersebut.
 Karl Marx (1818-1883), merupakan filsuf modern yang banyak dikenal oleh dunia.
Marx mengecam kapitalisme yang dinilainya jahat, Karena menjadikan para
pengusaha menjadi kaya, tetapi buruh atau pekerja tetap miskin.
1. Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan
kaya. Tema-tema filsafat yang banyak dikaji oleh para filsuf pada zaman ini berkaitan
tentang  manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan
struktur yang mengungkup hidup manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan
budaya, social, politik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi
manusia. Tokoh-tokoh filsafat pada zaman ini antara lain :
 Wilhelm Dilthey (1833-1911), yang juga merupakan seorang sejarahwan. Oleh
sebab itu ia sangat menentang upaya-upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan
social pada zamannya untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam sebagai model
bagi ilmu pengetahuan social, karena menurut Dilthey ada perbedaan antara IPA
dan IPS, terutama dalam objek kajiannya. Objek kajian IPA adalah benda-benda
alam, sedangkan objek kajian IPS adalah gejala tindakan manusia.
 Jean Paul Sartre (1905-1980) yang terkenal dengan ketegasannya tentang
kebebasan manusia.
 
 
 
 
 
1. Cabang-Cabang Ilmu Filsafat
[
[Pengamat dan pengkaji filsafat melakukan pembagian yang berbeda-beda mengenai
cabang filsafat. Berikut ini adalah pembagian yang dilakukan oleh para filsuf, pengamat,
dan ahli filsafat (Nurani Soyomukti, 2011):
1. Menurut Platon, filsafat dibagi menjadi tiga cabang, yaitu dialektia ( tantang ide-
ide atau pengertian umum), Fisika (tentang dunia material), dan Etika (tentang hal
ikhwal baik atau buruk).
2. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat cabang, yaitu Logika (ilmu yang
dianggap mendahului filsafat), Filsafat Teoritis (cabang ini mencangkup ilmu fisika
yang mempersoalkan dunia materi dan alam nyata, ilmu matematika yang
mempersoalkan hakikat segala sesuatu dalam kuantitasnya, ilmu metafisika yang
mempersoalkan hakikat segala sesuatu), Filsafat Praktis (cabang ini mencangkup
ilmu etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorangan
dan ilmu ekonomi yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam Negara),
dan Filsafat Poetika (ilmu kesenian).
3. De Vos menggolongankan filsafat menjadi beberapa cabang, yaitu Metafisika,
Logika, Filsafat Alam, Filsafat Sejarah, Etika, Estetika, dan Antropilogi.
4. Albuerey Castell membagi masalah-masalah filsafat menjadi enam bagian, yaitu
Teologis, Metafisika, Epistimologi, Etika, Politik, dan Sejarah.
5. Richard H. Popkin dan Dr. Avrum Astroll membagi filsafat ke dalam tujuh cabang
ilmu, yaitu Etika, Filsafat Politik, Metafisika, Filsafat Agama, Teori Pengetahuan,
Logika, dan Filsafat Kontemporer.
6. M. J. Langeveld mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang kesatuannya terdiri
atas tiga lingkungan masalah, yaitu Masalah Keadaan (Metafisika manusia, alam,
dan seterusnya), Masalah Pengetahuan (Teori kebenaran, teori pengetahuan, dan
logika), Masalah Nilai (teori nilai etika, estetika yang bernilai berdasaarkan religi).
Berdasarkan pada uraian pembagian cabang-cabang filsafat menurut para filsuf,
pengamat, dan ahli filsafat di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat terbagi kedalam
beberapa cabang. Secara garis besar cabang filsafat terbagi atas dua bagian, yaitu cabang
filsafat umum, dan cabang filsafat khusus. Cabang filsafat umum adalah metafisika, logika,
etika, estetika, dan epistimologi. Dan cabang filsafat khusus adalah filsafat agama, filsafat
manusia, filsafat hokum, filsafat politik filsafat sejarah, dan sebagainya.
Dari beberapa cabang filsafat diatas, hanya beberapa cabang saja yang umum dan sering
menjadi kajian dan harus benar-benar diajarkan, cabang-cabang tersebut adalah
(Sorajiwo, 2007) :
1. Logika, cabang filsafat yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita. Lapangan
dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan
sehat. Dengan mempelajari logikan, diharapkan dapat menerapkan asas bernalar
sehingga sapat menarik kesimpulan dengan tepat.
2. Epistemology, bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan,
sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan
kesahihan pengetahuan. Dengan mempelajari epistemology ini diharapkan dapat
membedakan antara pengetahuan dengan ilmu serta mengetahui dan
menggunakan metode yang tepat dalam memperoleh suatu ilmu serta mengetahui
kebenaran ilmu tersebut ditinjau dari isinya.
3. Etika, cabang filsafat yang membicarakan lingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik-buruk. Dengan mempelajari etika diharapkan
dapat membedakan istilah yang sering muncul seperti etika, norma, dan moral.
Disamping itu, dapat mengetahui dan memahami tingkah laku apa yang baik
menurut teori-teori tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah-kaidah
etika.
4. Estetika, cabang filsafat yang membicarakan tentang keindahan. Dengan
mempelajari cabang filsafat ini diharapkan dapat membedakan antara estetiks
filsafati dan estetika ilmiah, berbagai teori-teori keindahan, pengertian seni,
penggolongan seni, nilai seni, aliran dalam seni, dan teori penciptaan dalam seni.
5. Metafisika, cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Metafisika
membicarakan sesuatu dibalikyang tampak. Dengan belajar metafisika ini orang
justru akan mengenak tuhannya, dan mengetahui berbagai macam aliran yang ada
dalam metafisika. Aliran-aliran tersebut adalah ontology, kosmologi, dan
antropologi.
 
 
 
MAKALAH FILSAFAT ILMU
PERKEMBANGAN DAN CABANG-CABANG FILSAFAT
B. Hakikat Pengetahuan
1. Hakikat Pengetahuan
 
Secara biologis manusia memang diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, karena
adanya berbagai kesamaan dengan hewan[1]. Namun, manusia dikatakan memiliki
keunggulan terutama pada kecerdasannya. Karena hanya manusialah yang mampu
menafsirkan alam semesta beserta interaksi-interaksi yang ada di dalamnya melalui rasa
ingin tahu. Banyak ilmuwan yang telah berupaya mengidentifikasi perihal kemamapuan
manusia untuk “tahu” ini, contohnya melalui tinjauan otak manusia. Manusia itu
mempunyai otak besar serta kulit otak yang paling sempurna tumbuhnnya dan paling
banyak berliku-likunya. Ini menyebabkan bahwa ia menjadi suatu ‘binatang berpikir’,
sehingga ia membuka kemungkinan-kemungkinan bagi kekuatan berpikir, daya
mengangan-angankan, kesadaran dan keinsafan, kemampuan bicara, daya belajar yang
sempurna sekali dan daya menggunakan alat[2]. Melalui penerjemahan tentang otak
tersebut, ilmuwan mencoba memberikan kesimpulan bahwa rasa ingin tahu manusia
dapat ada karena salah satunya didukung oleh fisiologi sel-sel otak manusia. Namun
sejauh yang penulis ketahui, belum ada ilmu yang mampu menjelaskan lebih rinci
mengenai kemampuan dan mekanisme kerja otak manusia yang dapat berpikir untuk
tahu, menganalisis, mengingat, dan berangan-angan. Setidaknya biologi telah berupaya
menjelaskan otak manusia tersebut, yang dapat memberikan informasi terkait rasa ingin
tahu manusia.
Rasa ingin tahu yang ada pada manusia menjadikan manusia memiliki pengetahuan. 
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge.
Sedangkan secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah
segala sesuatu yang diketahui; segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata
pelajaran). Dalam penjelasan lain, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha
manusia untuk tahu[3]. Melalui dua pengertian di atas, dapatlah dipahami secara
sederhana bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang manusia ketahui sebagai
hasil dari proses mencari tahu. Pengetahuan menjadi sebuah hal yang luar biasa dalam
peradaban manusia, karena melalui pengetahuanlah aspek-aspek dalam peradaban
manusia berkembang yang kemudian seluruhnya dapat dibedakan berdasarkan ontologi,
epistemologi dan aksiologinya[4].
Agar lebih sederhana dalam memahami pengetahuan ini, maka penulis menganalogikan
dengan hal berikut: Anda adalah mahasiswa baru di Pascasarjana UNY, kemudian Anda
ingin mengetahui perpustakaan Pascasarjana UNY. Oleh karena itu, Anda menanyakan
pada seseorang, yang kemudian dengan informasi yang diberikannya Anda akhirnya tahu
dan dapat menemukan perpustakaan Pascasarjana UNY. Informasi yang Anda tanyakan
tadi akhirnya membantu Anda untuk menemukan perpustakaan Pascasarjana UNY.
Informasi tentang perpustakaan Pascasarjana UNY yang baru Anda dapatkan tadi, itulah
pengetahuan baru bagi Anda.
Manusia berpengetahuan bukan semata-mata untuk mempertahankan keberlangsungan
hidupnya, melainkan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Pada masa lalu, manusia berupaya
mencari tahu untuk mengetahui suatu hal, umumnya menggunakan cara-cara yang
sederhana yakni melalui aktivitasnya dengan alam. Sehingga ia akan menemukan cara
hidup yang sesuai dengan alam. Untuk dapat memahami tahapan pengetahuan, secara
umum August Comte (1798-1857)[5] membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan
manusia dalam tahap religius, metafisik dan positif. Tahapan tersebut jugalah yang ada
pada peradaban bangsa Indonesia. Pada tahap pertama, asas religilah yang dijadikan
postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi.
Tahap kedua, orang mulai berspekulasi tentang metafisika (kebendaan) ujud yang
menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem
pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah
tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif
dalam proses verifikasi yang objektif[6].
Berdasarkan tahapan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh August Comte,
dapatlah dipahami bahwa pengetahuan manusia pada mulanya didasari dengan suatu
sikap pasif terhadap alam semesta. Sehingga yang muncul adalah kepatuhan terhadap
alam semesta dengan cara memujanya agar kebaikan-kebaikanlah yang didapatkan dari
alam. Hal ini dapat diketahui melalui adat-istiadat beberapa masyarakat kita yang masih
mengadakan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Secara
sederhana masyarakat memandang lingkungan sekitarnya penuh dengan sumber daya
alam yang dapat dimanfaatkan, maka sistem pengetahuannya menyatakan bahwa semua
itu adalah karunia sesuatu yang tidak tampak. Akhirnya kekompleksitasan yang ada pada
alam semesta menjadikan manusia pada zaman dahulu mencoba menafsirkan alam
semesta dengan mengkaitkannya pada wujud dan sifat-sifat manusia. Kemudian
termanifestasikanlah ke dalam bentuk para dewa[7]. Karena pada dasarnya, setiap suku
bangsa umumnya mempunyai cerita mitos yang merupakan hasil pemikiran masyarakat.
Mitos mengandung unsur-unsur simbolik yang mempunyai arti dan pesan bagi hubungan
sosial maupun kehidupan sehari-hari masyarakat.
Masyarakat Indonesia juga memiliki mitos sendiri yang berasal dari asimilasi paham
animisme dengan paham Hindu dalam tindakan religius orang Jawa, akhirnya melahirkan
berbagai bentuk dewa. Dapatlah dianalogikan perkembangan pengetahuan manusia
menurut August Comte seperti ini, manusia yang hidup dengan mengandalkan alam
seperti pertanian. Sebagai contoh, masyarakat Jawa mempercayai bahwa melimpahnya
tanaman yang tumbuh di tanah Jawa sebagai karunia Yang Maha Kuasa, yang diperoleh
melalui pengorbanan seorang dewi, yaitu Dewi Sri[8]. Melalui pemahaman akan adanya
sosok Dewi Sri tersebut, maka masyarakat menganggap tumbuhan yang melimpah adalah
karunia sehingga memerlukan perlakuan yang baik. Maka, untuk menjaga agar tumbuhan
tetap dapat tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah, masyarakat
menggelar ritual untuk “menyenangkan” dan menghormati Sang Dewi. Hal tersebut
umumnya diselenggarakan dalam bentuk upacara-upacara pada proses penanaman padi,
mulai dari pembenihan hingga panen bahkan ketika terjadi gagal panen.
Oleh karena itu, jika pada suatu waktu padi yang ditanam tiba-tiba menjadi mengering
dan tidak memberikan hasil panen yang memuaskan, manusia menyimpulkan bahwa
alam telah marah padanya karena kurang dimuliakan maka mulailah mereka kembali
memuliakan alam melalui ritual-ritual tertentu[9]. Hal tersebut sebagai manifestasi dari
pengetahuan manusia bahwa ada kekuatan di luar diri manusia yang tidak bisa
dikendalikan oleh manusia, maka manusia harus memulikan kekuatan tersebut agar
kehidupan manusia dapat terjamin. Setelah itu, pengetahuan manusia terus berkembang,
sehingga memandang fenomena tanaman yang tiba-tiba tidak produktif ternyata terjadi
secara berkala, yakni pada suatu waktu tertentu[10]. Melalui pengalaman tersebut
akhirnya manusia menyimpulkan bahwa bukan semata-mata alam marah jika tanaman
tidak berproduksi melainkan hal tersebut terjadi karena suatu hal yang tidak nyata di
alam namun memiliki pengaruh pada pertumbuhan tanaman, seperti musim. Akhirnya
berdasarkan pengalaman manusia, pengetahuannya menyimpulkan bahwa ketika musim
tertentu (kemarau) padi yang ditanam tidak akan membuahkan hasil. Dengan demikian
pada tahap pengetahuan yang kedua ini, manusia mulai menafsirkan bahwa alam
memiliki siklus musim. Namun, manusia belum dapat berbuat banyak karena hanya
sekedar mengetahui adanya musim pengering. Maka, mereka memulai untuk
mengantisipasi ketersediaan air melalui sistem irigasi secara sederhana.
Selanjutnya, di tahap akhir manusia menafsirkan alam berdasarkan ilmu pengetahuan
seperti sekarang ini. Manusia mencoba menafsirkan mengapa musim kemarau itu dapat
terjadi dan pada dewasa ini cenderung tidak dapat terprediksikan. Sehingga seharusnya
mereka dapat memanen hasil pertanian namun terkadang gagal panen karena kekeringan
yang melanda. Pada tahap selanjutnya inilah, manusia mulai mengenal ilmu pengetahuan
maka untuk menafsirkan fenomena alam yang tidak terprediksikan tersebut mulailah
manusia meninjaunya secara lebih objektif atau berdasarkan kondisi alam apa adanya.
 
1. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Banyak orang mengartikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sama, hal tersebut
memang tidak salah seluruhnya namun perlu ditinjau berdasarkan kaidah keilmuan agar
dapat memahami sesungguhnya. Sebagaimana analogi yang telah dipaparkan, bahwa
ilmu pengetahuan adalah tahapan atau bagian dari pengetahuan. Sehingga dapat
dipahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu. Lebih tepatnya ilmu adalah bagian
dari pengetahuan. Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata “science”, yang secara
etimologis berasal dari kata latin “scinre”, artinya “to know”. Namun,
pengertian science ini sering salah diartikan, dan direduksi berkaitan dengan ilmu alam
semata padahal tidak demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu merupakan
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu. Pendapat lain menerangkan bahwa ilmu merupakan pengetahuan
yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung
jawab dan kesungguhannya[11]. Melalui pendapat tersebut dipahami bahwa ilmu
merupakan pengembangan dari pengetahuan yang memiliki aturan tertentu dan dapat
diuji kebenarannya karena berkaitan dengan penafsiran suatu hal yang pada umumnya
berlaku secara umum. Science is the system of man’s knowledge on nature, society and
thought. It reflect the world in concepts, categories and law, the correctness and truth of
which are verified by practical experience[12], demikian pernyataan Afanasyef seorang
ahli pikir Marxist berkebangsaan Rusia. Melalui penjabaran yang telah dikemukakan maka
dapatlah dipahami bahwa ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai
suatu hal tertentu (obyek/ lapangan), yang merupakan kesatuan yang sistematis dan
memberikan penjelasan yang sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
menunjukkan sebab-sebab hal atau kejadian itu[13].
Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan, maka ilmu menunjukan perkembangan
pengetahuan manusia yang telah tersusun secara lebih terstruktur dan dapat diuji
kebenarannya oleh semua orang. Pada akhirnya alam semesta dapat diterjemahkan oleh
manusia menggunakan cara-cara yang lebih sesuai dengan dinamika alam apa adanya.
Berdasarkan kajian-kajian yang ada, maka penulis menyimpulkan bahwa ilmu sebagai
bagian dari pengetahuan memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari pengetahuan lain,
yaitu: logis, sistematis, universal dan empiris. Logis menunjukan bahwa ilmu dapat
dijangkau dan diterima oleh nalar manusia. Karena sifatnya dapat teramati oleh indera
manusia atau dapat dijangkau oleh alat-alat yang mampu membantu indera manusia
dalam menafsirkan gejala alam. Sistematis menunjukkan pada sebuah hal yang runut,
memiliki tahapan-tahapan yang jelas dalam memahaminya. Universal, bersifat
menyeluruh yang berarti ilmu pengetahuan berlaku secara umum. Sedangkan empiris
menunjukan bahwa semua orang dapat mengalami ilmu pengetahuan itu atau dapat
mengembangkan ilmu tersebut.
Cerita tentang tanaman padi kita tadi yang tiba-tiba mengering secara tidak
terprediksikan, pada akhirnya dapat dijelaskan secara lebih ilmiah oleh keilmuan.
Fenomena tersebut dapat dijelaskan oleh ilmu geografi misalnya yang dapat menelaah
pergantian musim terjadi berdasarkan letak suatu wilayah dan penyinaran matahari. 
Sedangkan secara biologi misalnya, pada dewasa ini terjadi fenomena padi yang tiba-tiba
mengering sebelum masanya dapat terjadi karena adanya fenomena pemanasan global
yang menyebabkan musim menjadi tidak menentu dan meningkatnya suhu bumi sehingga
menjadi lebih panas akibat kerusakan ozon[14]. Hal tersebut dapat menjadi salah satu
penyebab yang lebih ilmiah dan berlaku secara umum untuk menjelaskan faktor
penyebab fenomena padi kita.
Setelah dipahami bahwa penyebab kekeringan itu adalah siklus penyinaran matahari dan
pada dewasa ini dapat pula terjadi karena adanya pemanasan global maka, ilmu jugalah
yang mengembangkan solusi bagi pertanian. Kemajuan di bidang biologi sel dan
molekuler[15] menjadikan para biologiwan dapat mengembangkan varietas tanaman
dengan keunggulan tertentu. Biologiwan dapat menghasilkan tanaman padi yang lebih
unggul dengan waktu produksi panen yang lebih singkat dan hasil yang baik. Sebagai
contoh adalah padi yang dihasilkan oleh BATAN atau lembaga pertanian. Karena padi
yang dihasilkan terbukti memiliki keunggulan seperti masa panen yang pendek, tahan
terhadap hama, tahan terhadap kondisi panas yang ekstrem. Dengan demikian solusi dari
masalah kegagalan panen karena musim tadi, bukan hanya dapat diselesaikan melalui
sistem irigasi sederhana melainkan dapat diantisipasi dengan adanya padi dengan varietas
yang lebih unggul.
Ilmu merupakan hasil dari peradaban manusia yang semata-mata membantu
memudahkan pekerjaan manusia. Dalam hal ini pekerjaan manusia bukan hanya aspek
praktis semata melainkan ilmu berhasil menerjemahkan alam semesta yang berlaku
secara umum. Sehingga setiap orang dapat memahami gejala-gejala alam secara serentak
dan ilmu itu juga dapat digunakan oleh semua orang tanpa batas apapun. Maka, di akhir
pembahasan mengenai hakikat ilmu ini dapatlah kita mengutip pernyataan berikut ini,
“ilmu itu ibarat bis kota: memang tidak senyaman Mercy Tiger, tapi rutenya jelas dan
jadwalnya dapat dipercaya. Jelas bukan tunggangannya nabi yang diberkahi wahyu atau
seniman besar yang penuh ilham, namun kendaraan orang-orang biasa seperti kita”[16].
 
C.Batasan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan memiliki ontologi, epistemologi dan aksiologi, maka apakah segala sesuatu
yang terjadi pada manusia mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan? Ternyata
jawabannya tidak. Karena ilmu pengetahuan memiliki batasan, seperti itu jawaban
sederhananya. Namun, apakah batas dari ilmu itu?. Secara ontologis, ilmu membatasi diri
pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia[17].
Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan
kehidupan sehari-hari manusia, serta digunakan untuk menawarkan kemudahan pada
kehidupan  manusia. Melalui hal tersebut dapatlah dipahami bahwa ilmu berbatas pada
sesuatu yang dialami manusia, karena pengetahuan yang belum dialami manusia
berupaya dijelaskan oleh pengetahuan lain, seperti agama contohnya.
Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya telah menghasilkan banyak hal dalam
peradaban manusia. Bahkan seperti yang diketahui makhluk hidup yang tidak dapat
dilihat oleh mata telanjang saja, dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop sebagai
salah satu hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan. Lebih menakjubkan lagi, karena
makhluk mikroskopik tersebut memiliki peran dalam kehidupan manusia. Seperti cerita
kekeringan padi tadi. Setelah manusia mampu mengidentifikasi penyebab kekeringan,
manusia mulai memikirkan cara untuk menghasilkan padi yang lebih baik, yang dapat
tahan pada kondisi dengan ketersediaan air yang rendah. Akhirnya melalui cabang ilmu
biologi, yakni rekayasa genetika, manusia dapat menggabungkan gen padi yang unggul
dengan gen padi yang biasa dengan menggunakan plasmid bakteri sebagai resipennya.
Apabila gen padi unggul tadi dapat berekspresi maka, munculah padi unggul dengan jenis
baru, dan dapat dikembangkan lagi keunggulannya itu. Hal ini tentu bermanfaat bagi
peningkatan produk pertanian. Demikianlah irama ilmu pengetahuan yang senantiasa
berdinamika dalam dinamika kehidupan manusia.
Ilmu telah membantu manusia menafsirkan alam semesta, bahkan membantu manusia
dalam meramalkan suatu kejadian berdasarkan pola-pola yang tampak. Namun, banyak
pula yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu menghasilkan dampak
positif, melainkan juga terdapat dampak negatifnya. Seperti padi hasil rekayasa genetika
tadi, dinilai dapat mengurangi varietas padi. Sehingga padi yang tidak unggul akan punah,
karena tidak dikembangkan. Melalui hal ini perlulah pemahaman yang lebih bijak, bahwa
ilmu merupakan alat yang dapat digunakan sesuai tujuannya. Kutipan bijak mengenai
ilmu tampaknya cocok sebagai penutup pada pembahasan batasan ilmu ini
yakni, menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup mata terhadap semua
kemajuan masa kini di mana hampir semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh
produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya dengan jalan mendewa-dewakan ilmu, hal ini
menunjukan bahwa disini pun kita gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai
hakikat ilmu yang sesungguhnya. Mereka yang sungguh-sungguh berilmu adalah mereka
yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu, di atas dasar itu mereka menerima
ilmu sebagaimana adanya, mencintainya dengan bijaksana, serta menjadikan dia bagian
dari kepribadian dan kehidupannya. Bersama-sama pengetahuan lainnya dan bersama
pelengkap kehidupan dan memenuhkan kebahagiaan kita[18].
 
1. Kebenaran Ilmiah
Pada dasarnya ilmu pengetahuan menjelaskan segala sesuatu dengan maksud untuk
mencari kebenaran. Kebenaran dalam wilayah ilmu pengetahuan ini memiliki berbagai
pandangan yang akhirnya menghasilkan berbagai aliran pemikiran. Aliran-aliran tersebut
berasal dari hasil pemikiran para ahli yang berupaya mencari tahu kebenaran yang
dimaksud oleh ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya kebenaran telah menjadi kajian berpikir sejak lama. Plato (427-347) dan
Aristoteles (384-322) telah mencoba merumuskan kebenaran ini. Teori kebenaran yang
dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah teori koherensi. Teori koherensi
beranggapan bahwa suatu hal dikatakan benar berdasarkan pernyataan-pernyataan yang
sebelumnya. Sehingga, apabila ada pernyataan “semua hewan menyusui masuk ke dalam
kelas mamalia” adalah pernyataan yang benar. Maka, pernyataan bahwa paus menyusui
dan ia termasuk ke dalam kelas mamalia” adalah pernyataan yang benar karena
pernyataan-pernyataan yang ada saling berkaitan dan menunjukan kebenaran. Walaupun
yang kita tahu paus adalah ikan, namun karena ia menyusui ia tidak masuk ke dalam kelas
Pisces melainkan Mamalia. Selanjutnya teori kebenaran dikembangkan oleh Bertrand
Russell (1872-1970) dengan teori korespondensi. Berdasarkan teori koherensi, suatu hal
dianggap benar apabila dapat diuji dengan kesesuaian obyek yang ada. Sebagai contoh,
apabila terdapat pernyataan “ayam berkembang biak dengan bertelur”. Maka pernyataan
dikatakan benar karena secara faktual, ayam memang berkembang biak dengan bertelur
dan ditemukan pula telur ayam itu. Demikian teori kebenaran yang umumnya digunakan.
Teori koherensi dan korespondensi bermanfaat dalam memahami suatu hal karena dilatar
belakangi oleh metode ilmiah. Sehingga kebenaran dalam wilayah ilmu pengetahuan
merupakan kebenaran ilmiah yang berangkat melalui metode ilmiah. Metode ilmiah ini
diidentikan sebagai cara yang tepat untuk memahami sesuatu, karena didasarkan pada
ciri-ciri keilmuan, yakni rasional, empiris dan sistematis.
Pada perkembangannya banyak ahli-ahli yang masih mencoba merumuskan kebenaran
itu, yang kemudian melahirkan berbagai aliran seperti empirisme, idealisme,
eksistensialisme dan pragmatisme. Teori-teori tersebut akan coba untuk dibahas berikut
ini:
1. Aliran Empirisme
Suatu hal dianggap benar menurut teori ini, jika suatu hal tersebut dapat dialami oleh
semua orang. Sehingga pengetahuan itu hanya didapatkan melalui pengalaman.
Pengalaman ini dibantu oleh alat-alat indera. Sehingga pengetahuan hanya didapatkan
jika alat-alat indera menerima suatu hal sebagai pengalamannya. Sebagai contoh: Api itu
panas. Hal ini dapat diketahui oleh semua orang karena ketika tangannya terbakar, ia
akan merasakan panas. Maka api itu panas adalah benar, karena semua orang dapat
mengalami rasa panas ketika kulit sebagai indera peraba terkena api. Tokoh dari aliran
empirisme ini adalah John Locke.
2. Idealisme
Immanuel Kant merupakan tokoh dalam teori ini. Idealisme sering disebut sebagai aliran
romantik. Kant dalam sistemnya memberi keterangan tentang kemampuan budi
mencapai pengetahuan: ia mengatakan sampai dimana kemampuan budi itu. Dengan
terang dikatakannya, bahwa dengan budi murni orang tak mungkin mengenal yang diluar
pengalaman, karena pengetahuan budi itu selalu mulai dengan pengalaman: metafisika
murni tak mungkin![19]. Secara sederhana dipahami bahwa idealisme berkaitan dengan
pikiran manusia sehingga sesuatu dinyatakan benar jika dapat terpikirkan oleh manusia.
Aliran ini dianggap terlalu subyektif dan romantik karena budi setiap orang itu berbeda-
beda.
3. Eksistensialisme
Eksistensi membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh
eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertatanam, tumbuh,
berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja,
berbakti dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia,
segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia
meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak
hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai.
Manusia mati. Demikianlah peranan eksistensia. Olehnya segalanya dapat nyata ada,
hidup, tampil, berperan. Tanpanya, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan
berperan[20] Sehingga dapat dipahami kebenaran menurut eksistensi adalah apabila
sesuatu itu ada, eksis meskipun saat itu ia tidak benar-benar ada di tempat kita
memikirkannya.
4. Pragmatisme
John Dewey merupakan tokoh yang ada pada teori ini. Pragmatisme beranggapan bahwa
sesuatu adalah benar jika memiliki fungsi secara praktis. Sebagai contoh: metode
pembelajaran berbasis kearifan lokal adalah metode yang tepat untuk belajar Biologi.
Karena melalui metode ini, siswa akan lebih mampu memahami materi ajar biologi dan
memperoleh hasil belajar yang bagus karena didasarkan pada kearifan lokal yang ada di
sekitarnya. Maka dalam pragmatisme, metode tersebut dianggap benar karena memiliki
fungsi untuk meningkatkan hasil belajar biologi siswa.
 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
1. Kesimpulan
Hal yang mendasar dari manausia adalah rasa ingin tahu. Dengan rasa ingin tahu ini,
dalam perkembangannya melahirkan adanya pengetahuan dan ilmu. Pengetahuan dan
ilmu sering sekali ditafsirkan sebagai hal yang sama. Namun, ternyata secara esensi
keduanya berbeda. Pengetahuan berkaitan dengan segala sesuatu yang manusia ketahui.
Sedangkan ilmu merupakan kumpulan dari pengetahuan yang telah tersistematis, jelas
ontologi, epistemologi dan aksiologinya dan dapat diuji kebenarannya. Melalui ilmu ini
terus berupaya memahami alam semesta sehingga ilmu itu bersifat dinamis. Karena
secara hakiki melalui ilmu, manusia berupaya mencari kebenaran dari fenomena yang
ada. Sehingga tidak mengherankan dalam perjalanannya, suatu fenomena dapat dinilai
benar saat itu karena dapat dibuktikan kebenarannya. Namun, pada beberapa tahun
setelahnya dapat saja kebenaran yang lalu itu tergantikan oleh kebenaran yang lain
karena telah lebih kompleksnya sarana pengujian fenomena tersebut. Akhirnya
kebenaran dalam wilayah ilmu ini pun menjadi bahasan di kalangan para pemikir, yang
kemudian melahirkan berbagai pemahaman terkait kebenaran. Menjadi sebuah hal yang
menarik untuk dikaji karena mampu menjadi landasan pemikiran bagi insan akademis
pada khususnya dan pada setiap insan pada umumnya.
 
1. Saran
Diperlukan adanya makalah khusus yang mengkaji lebih dalam mengenai teori-teori
pemikiran yang berkaitan dengan filsafat ilmu, sehingga mampu menafsirkan realitas hari
ini berdasarkan sudut pandang keilmuan.
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahan Pustaka:
 
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Maksum, Ali. 2012. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Poedjawijatna. 1997. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT Rineka Cipta
Salam, Burhanuddin. 2003. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi aksara
Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Poedjawijatna. 1997. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT Rineka Cipta
Utsman, Muhammad. 2012. Dewi Sri dan Masyarakat Agraris Jawa. Jakarta: Universitas
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Vaas, K.F. 1956. Darwinisme dan Ajaran Revolusi. Jakarta: PT Pustaka Rakyat
 
(http://filsafat.kompasiana.com/2013/11/30/auguste-comte–615312.html).28 September
2014.
 
[1] Makhluk hidup dalam biologi terbagi dalam lima kingdom. Secara biologis, manusia
masuk ke dalam kingdom
Animalia karena multiseluler, sel-sel terspesialisasi, eukariotik, heterotof, memerlukan
oksigen dalam respirainya,
reproduksi seksual.
[2]  K.F. Vaas, Darwinisme dan Ajaran Evolusi (Jakarta: PT Pustaka Rakyat,1956), hlm. 117.
[3]  Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: Bumi aksara, 2003), hlm.5.
 
 
[4]  “Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang
suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian
dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya
seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara
langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana
kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan
sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Setiap jenis
pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)”Jujun
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebagai Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2009), hlm. 104-105.
[5] August Comte dikenal sebagai filsuf Perancis karena memperkenalkan bidang ilmu
sosiologi serta aliran positivisme. Positivisme ini yang mempengaruhi pikirannya.
Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah
diketahui, yang faktual, yang positif. Positivisme hanya membetasi diri pada apa yang
tampak, segala gejala. (http://filsafat.kompasiana.com/2013/11/30/auguste-comte–
615312.html)
 
[6]  Jujun, op cit., hlm. 25.
[7]  Nenek moyang kita pada masa lalu telah berupaya membangun pengetahuannya
berdasarkan pengalamannya memahami kondisi alam semesta. Dengan cara yang tidak
juga mudah karena tentu dilakukan dengan cara pengamatan dan perhitungan yang
sederhana sampai akhirnya manusia mampu menelaah kondisi alam walaupun dengan
cara tahayul. Sehingga dapat dipahami bahwa sejak dahulu, masyarakat telah mencoba
mencari tahu sebab-sebab sesuatu terjadi dan apa yang pantas dilakukan untuk
mencegah hal buruk terjadi. Kemudian dengan cara berpikir yang tahayul tersebut,
mereka mengkaitkan gejala alam dengan sifat-sifat manusia yang termanifestasikan
dalam bentuk berbagai dewa lengkap dengan cerita-cerita mitosnya. Dengan demikian,
mulailah lahir ritual-ritual yang bermaksud memuja dewa guna menjaga kestabilan alam
semesta.
 
[8]  Dalam masyarakat pertanian, melimpahnya hasil panen berkaitan erat dengan
kesuburan yang identik dengan perempuan. Dewi Sri muncul sebagai gambaran dari dewi
kesuburan dalam masyarakat Jawa. Kesuburan dikaitkan dengan perempuan karena
fungsi produksi dan reproduksinya. Dalam kebudayaan agraris, perempuan dianggap
melahirkan segala sesuatu di dunia ini. Karena itulah muncul konsepsi pemujaan dewi ibu
(mother goddess) dalam masyarakat agraris. Dewi ibu berperan sebagai pelindung
kelahiran dan kehidupan, mengendalikan bahan makanan (padi), mengetur kehidupan,
kekayaan dan kemakmuran” Sumintarsih dalam Muhammad Sandy Utsman, Dewi Sri dan
Masyarakat Agraris Jawa(Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, 2012).
[9]  Bentuk ritual yang dilakukan masyarakat Jawa adalah upacara ketika menabur benih,
upacara ketika menyemai, upacara proses menandur, upacara Tingkep Tandur, yang
merupakan upacara yang dilakukan ketika gabah mulai tumbuh dan berisi, kemudian
upacara wirit/ methik yang dilakukan pada saat panen. Selain upacara-upacara yang
dilakukan, masyarakat Jawa juga menghormati Dewi Sri lewat adanya pemujaan terhadap
Dewi Sri di Candi Barong dan juga di dalam rumah adat orang Jawa yang pada umumnya
menyediakan tempat khusus untuk pemujaan sang Dewi.
[10]  Pada suatu waktu terkadang petani mengalami gagal panen. Dalam pertanian
banyak faktor yang mempengaruhi produksi tani, seperti: serangan hama, ketersediaan
air, pergantian musim sebagai faktor eksternal pertanian, selain itu jenis dan sifat
tanaman yang juga mempengaruhi cocok atau tidaknya di tanam di tanah tersebut.
[11] Jujun, op cit., hlm.35.
[12]   Burhanudin Salam, op cit., hlm.10.
[13]   Ibid., hlm. 14.
[14] Pemanasan global merupakan peristiwa meningkatnya suhu rata-rata di permukaan
bumi. Fenomena ini banyak diperbincangkan  beberapa tahun belakangan ini. Karena
dapat dirasakan di hampir seluruh wilayah yang ada di permukaan bumi. Seperti,
meningkatnya suhu panas di bumi, naiknya permukaan air laut, intensitas cuaca yang
ektrem dan tidak terprediksikannya perubahan musim. Setelah melalui penelitian
akhirnya diketahui bahwa penyebab dari pemanasan global ini adalah menumpuknya gas-
gas emisi yang berasal dari aktivitas manusia. Pemanasan global ini menyebabkan
kerugian bagi manusia sendiri, seperti terpengaruhnya hasil pertanian, pencarian kutub,
kebakaran hutan pada lahan gambut, dan masih banyak lagi.
[15] Kemajuan di bidang biologi sel dan molekuler ditandai dengan diketahuinya gen
sebagai unsur yang mempengaruhi pewarisan sifat pada seluruh makhluk hidup.
Kemudian, biologi molekuler mengetaui bahwa plasmid bakteri dapat digunakan sebagai
resipen untuk mereaksikan gen antar makhluk hidup. Penemuan inilah yang kemudian
dikembangkan guna mendapatkan tanaman dengan varietas unggul melalui rekayasa
genetika. Rekayasa genetika pada pertanian sudah banyak dilakukan guna memberikan
solusi pada masalah-masalah pertanian.
[16]  Jujun,. op cit., hlm.56.
[17]  Ibid.,  hlm.105.
[18] Ibid., hlm. 140.
[19] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1997), hlm.114
[20] Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2012), hlm.363-364.
Bagikan ini:

C. PENALARAN, LOGIKA, DEDUKTIF, INDUKTIF dan METODE ILMIAH


MAKALAH  FILSAPAT ILMU
PENALARAN, LOGIKA, DEDUKTIF, INDUKTIF dan METODE ILMIAH
 
PENDAHULUAN
 
Filsafat adalah suatu cara berpikir yang radial dan menyeluruh, dengan cara  mengupas
pengetahuan sedalam-dalamnya Yuyun (1999) sedangkan ilmu dalam pembelajaran filsapat
dapat di katakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Filsafat ilmu
adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan oleh dirinya.
Filsafat  dapat juga di katakan upaya manusia mnegumpulkan pengetahuan  sebanyak
mungkin dalam proses pengaturan kehidupan dalam bentuk sistematik. Filsafat diharapkan
dapat membawa manusia kepada pemahaman dan pemahamanan itu tentunnya dapat
membawa manusia ke tindakan yang lebih layak.
Secara umum Ilmu adalah pengetahuan yang kita dapatkan dari pendidikan dasar,
menengah sampai pendidikan tinggi. Dari ilmu dapat dilahirkan pengetahuan sehingga
pengetahuan dapat menegakan kebenaran. Dalam mempelajari filsafat ilmu  diharapkan
manusia  dapat mengunakan penalarannya untuk dapat menemukan kebenaran, bersifat
logika, deduksi dan induksi sebagai landasan dalam bertindak dan akhirnya dapat
mengunakan meteode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Secara umum, berpikir
filsafat dapat dilakukan melalui:
1. Pemikiran menyeluruh yaitu antara ilmu satu dengan ilmu lainnya dapat disatukan
sehingga ditemukan nilai moral, nilai agama, dan nilai kebenaran sehingga
membawa dalam kebahagiaan diri.
2. Mendasar ilmu didasarkan pada suatu kebenaran dia dikatakn benar karena melalui
proses yang benar
3. Spekulasi adalah suatu proses berpikir memilih pikiran sebagai titik awal bagi
penjelajahan pengatuhan.
Hasil pemikiran yang dimiliki manusia harus dinilai menjadi suatu titik kebenaran.
Kebenaran yang tertanam dalam dirinya melalui diawali dari penalaran, logika, deduksi,
induksi dan metode ilmiah.
 
 
 
PEMBAHASAN
 
1. PENALARAN
2. Pengertian penalaran
Penalaran adalah kemampuan manusia untuk melihat dan memberikan tanggapan tentang
apa yang dia lihat. Karena manusia adalah makhluk yang mengembangkan pengetahuan
dengan cara bersungguh-sungguh, dengan  pengetahuan ini dia mampu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
Penalaran juga merupakan kemampuan berfikir cepat, tepat dan mantap. Selain itu
penalaran merupakan proses berfikir dan menarik kesimpulan berupa pengetahuan.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
bersungguh-sungguh. Namun bukan hanya manusia yang mempunyai pengetahuan
binatang juga mempunyai pengetahuan. Perbedaan pengetahuan manusia dan hewan
adalah hewan hanya diajarkan hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya
(survival) contohnya apabila ada bencana mereka akan cepat bersembunyi atau mencari
tempat yang aman sedangkan manusia dengan cara mengembangkan pengetahuannya dia
akan berusaha menghindari dan mencari penyebab terjadinya bencana sampai bagaimana
mengatasinya.
Manusia dalam kehidupannya dia akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan kelangsungan
hidupnya, contohnya manusia akan selalu  memikirkan hal yang baru, mengembangkan
budaya dan memberikan makna dalam kehidupan.
 
1. Contoh Penalaran
Penalaran dalam contoh yang nyata dapat kita temukan pada perbedaan Contoh lainnya
yang membedakan manusia dengan hewan adalah yaitu apabila terjadi kabut burung akan
terbang untuk mengindari polusi udara yang memungkinkan dia tidak bisa bertahan hidup.
Sedangkan manusia akan mencari tau mengapa sampai terjadinya kabut? Bagaimana cara
menghindari kabut? Apa saja komponen-komponen yang terkadung di dalam kabut? Apa
saja penyakit yang diakibatkan oleh kabut?
 
 
Penalaran manusia bisa terjadi karena dua hal yaitu manusia mempunyai bahasa dan
manusia mampu mengembangkan pengetahuan. Dua hal inilah yang membedakan manusia 
dengan hewan  dan di harapkan manusia mampu memposisikan dirinya di tempat yang
benar.
Penalaran biasanya di awali dengan berfikir kerena berpikir merupakan suatu kegiatan
untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah
tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berfikir untuk mengasilkan pengetahuan
yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran
mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini
merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. penalaran merupakan
suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriterianya
masing-masing.
1. Ciri-ciri Penalaran
Sebagai suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri:
1. Adanya suatu pola pikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka
dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Atau
dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir
logis, di mana berfikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir menurut
suatu pola tertentu.
2. Bersifat analitik[1] dari proses berfikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan
berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang
dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan
logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya
tersendiri pula. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola
berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan
analisis.
Berdasarkan kriteria penalaran dikatakan bahwa tidak semua kegiatan berfikir bersifat logis
dan analitis. Jadi cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis
dan analitik. Dengan demikian maka dapat dibedakan secara garis besar ciri-ciri berpikir
menurut penalaran dan berpikir yang bukan berdasarkan penalaran.
Perasaan merupakan penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Kegiatan
berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpamanya adalah intuisi[2]. Berpikir
intuisi memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berpikir nonanalitik, yang
kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi secara luas dapat dikatakan bahwa cara
berpikir masyarakat dapat dikategorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa
panalaran dan cara berpikir yang nonanalitik yang berupa intuisi dan perasaan.
 
1. Prinsip-prinsip penalaran adalah:
Prinsip dasar pernyataan hanya ada tiga prinsip, yang mengemukakan pertama kali adalah
Aristoteles, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip identitas
Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium indentitas. prinsip identitas berbunyi: ’’sesuatu
hal adalah sama dengan halnya sendiri’’. Dengan kata lain, “sesuatu yang disebut p maka
sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.
1. Prinsip kontradiksi (principium contradictionis)
Prinsip kontradiksi berbunyi: “sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal
hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai
nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain, “sesuatu tidaklah
mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”.
1. Prinsip eksklusi (principium exclusi tertii)
Prinsip eksklusi tertii, yakni prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya
kemungkinan ketiga.
Prinsip ekslusi tertii berbunyi “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal
tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah. Dengan kata
lain, “sesuatu x mestilah p atau non p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip ini
ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya
dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya.
Disamping ketiga prinsip yang dikemukakan Aristoteles diatas, seorang filusuf Jerman
Leibniz menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip
identitas, yaitu prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis), yang berbunyi. “suatu
perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu haruslah berdasarkan alasan yang cukup,
tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain,
“adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada
perubahan pada keadaan sesuatu”. [3]
Penalaran merupakan cara berpikir tertentu oleh karena itu untuk melakukan kegiatan
analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang
berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran
pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio
adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut sebagai
rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat
pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme[4].
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
3. Pengertian logika
Nama logika untuk pertama kali muncul pada filusuf Cicero (abad ke -1 sebelum Masehi),
tetapi dalam arti ‘seni berdebat’. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3
sesudah Masehi) adalah orang  pertama yang mempergunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu
yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita[5].
Selain itu kata logika diturunkan dari kata “logike” (bahasa yunani), yang berhubungan
dengan kata benda logos, suatu yang menunjukkan kepada kita adanya hubungan yang erat
dengan pikiran dan kata yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Jadi, secara etimologi,
logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran melalui bahasa. Logika juga bisa dikatakan
penarikan  kesimpulan dari apa yang dianggap benar dari suatu proses penalaran.
logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar
dapat berpikir lurus, tepat, dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan
hukum-hukum yang harus ditepati. Logika itu adalah cara berpikir manusia yang disusun
berdasarkan pola tertentu. Berpikir adalah objek material logika. Berpikir disini adalah
kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir, manusia ‘mengolah’, ‘mengerjakan’
pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan ‘mengolah’ dan ‘mengerjakannya’ ini terjadi
dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan
pengertian yang satu dengan penegertian yang lainnya.
Dalam logika berfikir dipandang dari sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berfikir
lurus dan tepat, merupakan objek formal logika. Di samping dua filusuf di atas (Cicero dan
Alexander Aphrodisias) Aristoteles  pun telah berjasa besar dalam menemukan logika.
Namun, Aristoteles belum memakai nama logika. Aristoteles memakai istilah ‘analika’ dan
‘dialektika’. Analika untuk penyelidikan mengenai argumentasi yang bertitik tolak dari
putusan-putusan yang benar sedangkan dialektika untuk penyelidikan mengenai
argumentasi yang bertitik tolak hipotsesis atau putusan yang tidak pasti kebenarannya[6].
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan atas tiga golongan, yaitu ilmu pengetahuan praktis,
produktif, dan teoritis. Ilmu pengetahuan produktif menyangkut pengtahuan yang sanggup
menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian). Ilmu pengetahuan praktis meliputi etika
dan politika. Akhirnya ilmu pengetahuan teoritis mencakup tiga bidang yaitu fisika,
matematika, dan ‘filsafat pertama’. Logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi
mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan untuk berfikir dengan cara ilmiah[7].
Setelah Aristoteles meninggal, naskah-naskah ajarannya mengenai penalasaran, olah para
pengikutnya telah dihimpun menjadi satu. Himpunan tersebut mengenai ajaran Aristoteles
mengenai penalaran termuat dalam eman naskah, yaitu sebagai berikut:
1. Ini membahas mengenai cara menguraikan sesuatu objek dalam jenis pengertian
umum.
2. On Interpretation (tentang penafsiran). Membahas mengenai komposisi dan
hubungan dari keterangan sebagai satuan pikiran. Dalam hal ini Aristoteles
membahas suatu yang dikenal sebagai penyimpulan langsung dan bujur sangkar
pertentangan.
3. Prior Analyties (analika yang lebih dahulu). Memuat mengenai teori silogisme dalam
ragam dan pola-polanya.
4. Posterior Analyties (analika yang lebih dahulu). Membicarakan tentang pelaksanaan
dan penerapan, penalaran silogistik dalam pembuktian ilmiah sebagai materi dari
silogisme.
5. Topics (mengupas dialektika). Dibahas mengenai persoalan tentang perbincangan
berdasarkan permis-permis yang boleh jadi benar
6. Sohistical Refutations (cara perbincangan kaum sofis). Membahas mengenai sifat
dasar dan penggolongan sesat piker[8].
Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan
studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, maka dilakukan penelaahan yang
seksama hanya terhadap dua jenis penarikan kesimpulan yakni logika induktif dan logika
deduktif.
 
1. Contoh Logika
Contohnya penerapan ilmu logika dalam kehidupan misalnya pada manusia yang mengalami
penyakit serak pada tenggorokan maka pengobatannya dapat dilakukan dengan minum air
putih logikanya air putih adalah cairan yang diperlukan manusia untuk menjaga
keseimbangan tubuh, memberi kekuatan kepada leukosit untuk menjalankan tugasnya
menghasilkan makrofag untuk membunuh patogen yang masuk, menjadikan kekebalan
tubuh meningkat sehingga luka yang dihinggapi bakteri akan sembuh dan akhirnya
tenggorokan menjadi lapang dan dikatakan sembuh.
3. DEDUKSI
4. Pengertian Deduksi
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu
objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum.
Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang
bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai
kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir yang dinamakan
silogismus[9]. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian
dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan
pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut.
Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih
dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara
suatu kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu
merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pertnyaan-pertanyaan yang lebih dahulu
diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di
antara persoalan-persoalan yang menarik.
Guna memenuhi dan  membatasi maksud logika deduktif bagian terkenal sebagai logika
Aristoteles. Cabang loka ini membicarakan pernyataan-pernyataan yang dapat dijadikan
bentuk ‘S’ adalah ‘P’, misalnya, “manusia (adalah) mengenal mati. Tampaklah pada kita
bahwa ‘S’ merupakan huruf pertama perkataan ‘Subjek’ dan ‘P’ merupakan huruf pertama
perkataan ‘Predikat’. Dari pernyataan-pernyataan semacam itu, kita dapat memilah empat
cara pokok untuk mengatakan sesuatu dari setiap atau sementara subjek yang dapat
diterapi simbol ‘S’.
Setiap              S adalah P
Setiap              S bukan/tidaklah P
Sementara       S adalah P
Sementara       S bukan/tidaklah P.
 
1. Contoh Deduksi
Contoh membuat silogismus sebagai berikut:
Semua makhluk hidup memerlukan udara                  (Premis mayor)
Dewi adalah makhluk hidup                                       (Premis minor)
Jadi Dewi memerlukan udara                                                 (Kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa si Dewi memerlukan udara adalah sah menurut penalaran
deduktif, sebab kesimpulan ini ditasrik secara logis dari dua permis yang mendukungnnya.
Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang
ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya
benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni
kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan
kesimpulan.
 
.
 
4. INDUKSI
5. Pengertian induksi
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang
bersifat individual, selain itu metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek
tertentu dengn jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau bersifat lebih umum
berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat
khusus. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas
penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang
bersifat boleh jadi. Kesimpulan yang bersifat  umum ini penting artinya sebab mempunyai
dua keuntungan. Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini
bersifat ekonomis.
Kehidupan yang beranekaragam dengan berbagai corak dan segi dapat direduksikan
menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah
merupakan koleksi dari berbagai fakta melainkan esensi dan fakta-fakta tersebut. Demikian
juga dalam pernyataan mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud
membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar
yang menyangga wujud fakta tersebut. pernyataan bagaimanapun lengkap dan cermatnya
tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi atau pahitnya sebutir pil kina.
Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi
itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoritis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkan proses
penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun deduktif. Secara induktif maka dari
berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih
umum lagi. Melihat dari contoh bahwa semua binatang mempunyai mata dan semua
manusia mata, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua makhluk mempunyai mata.
Penalaran ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah
kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fudamental.
 
 
 
 
1. Jenis-jenis induksi:
2. Penyimpulan secara kausal
Jenis induksi lainnya adalah yang berusaha unutk menemukan sebab-sebab dari hal-hal yang
terjadi. Bila telah diajukan suatu perangkat kejadian, maka haruslah diajukan pernyataan:
“Apakah yang menyebabkan kejadian-kejadian itu?” Misalnya, terjadi suatu wabah penyakit
tipus: “Apakah yang menyebabkan timbulnya wabah tipus?” Ada suatu perangkat apa yang
dinamakan canons (aturan, hukum), yang dikenal sebagai metode-metode Mill, yang
mengajukan suatu pernagkat kemungkinan unutk melakukan penyimpulan secara kausal.
Metode-metode ini kadang kala berguna. Metode-metode tersebut ialah:
 Metode kesesuain
 Metode kelainan
 Metode gabungan kesesuaian dan kelahiran
 Metode sisa
 Metode keragaman beriringan
1. Penalaran berdasarkan probabilitas dan penalaran secara statistik. Digambarkan
dengan cara probabilitas dan secara statistik. Misalnya kita mengetahui bahwa John
Smith adalah seorang guru dan kita ingin bertaruh bahwa usianya akan mencapai 65
tahun. Berapakah taksiran kita mengenai usianya? Untuk menjawabnya kita perlu
mempunyai statistik mengenai panjangnya usia seorang guru. Dari hal-hal ini, yang
diringkas dalam bangun matematis yang tepat, dengan mempergunakan teori
matematik tetang probabilitas, maka akan dapat dilakukan penaksiran.
2. Analogi dan komparasi
Dua bentuk penyimpulan yang sangat lazim dipakai dalam perenungan kefilsafatan ialah
analogi dan komparasi. Penalaran secara analogi adalah berusaha mencapai kesimpulan
dengan secara analogi adalah berusaha mencapai kesimpulan dengan menggantikan apa
yang dicoba buktikan dengan sesuatu yang serupa dengan hal tersebut, namun yang lebih
dikenal, dan kemudian menyimpulkan kembali apa yang mengawali penalaran tersebut.
Misalnya kita ingin membuktikan adanya Tuhan berdasarkan susunan dunia tempat kita
hidup. Dalam hal ini dapat mengatakan sebagai berikut. Perhatikanlah sebuah jam. Seperti
halnya dunia, jam tersebut juga merupakan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang
sangat erat hubungannya yang satu dengan yang lain. Kiranya tidak seorang pun
beranggapan bahwa sebuah jam dapat membuat dorongnya sendiri atau terjadi secara
kebetulan. Susunanya sangat rumit menunjukan bahwa ada yang membuatnya. Dengan
demikian secara analogi adanya dunia juga menunjukan ada pembuatnya; karena dunia kita
ini juga sangat rumit susunannya dan bagian-bagiannya berhubungan sangat erat yang satu
dengan yang lain secara baik.
1. Metode verifikasi
Agar suatu penalaran dapat diterima maka perlu kiranya untuk mencapai kesimpulan yang
dapat diterima, maka perlu kiranya unutk menetapkan tidak hanya lurusnya atau sahnya
penalaran seseorang, melainkan juga kebenaran bahan yang mengawali penalaran tadi.
Penalaran yang sah yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperkirakan benar dapat
membwa kita kepada kesimpulan yang sesat atau benar, namun mungkin kita tidak
mengetahui yang manakah yang salah dan manakah yang benar. Penalaran yang sah yang
didasarkan atas fakta-fakta akan membawa kita kepada kebenaran. Pada dasarnya hanya
ada dua metode unutk melakukan verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan yang satu
adalah melalui observasi , dan yang lain, dengan mempergunakan hukum kontradiksi.
1. Observasi (pengamatan)
Suatu pernyataan yang maknanya dapat diuji dengan pengalaman yang dapat diulangi, baik
oleh orang yang mempergunakan pernyataam tersebut maupun oleh orang lain, pada
prinsipnya dapat dilakukan verifikasi terhadapnya. Jika pernyataan itu lulus dalam ujian
pengalaman, maka pengalaman itu dikukuhkan, meskipun tidak sepenuhnya terbukti benar.
Jika saya berkata, “Di luar hujan turun”, dan saya pergi ke luar serta melihat dan merasakan
turunnya hujan, maka pernyataan saya tersebut menurut ukuran tadi telah diverifikasi.
1. Penalaran berdasarkan kontradiksi
Metode verifikasi yang kedua, yakni dengan menunjukan kesesatan pernyataan yang
dipersoalkan karena bertentangan degan dirinya, atau mengakibatkan pertentangan dengan
pernyataan-pernyataan lain yang telah ditetapkan dengan baik. Misalnya, untuk
membuktikan bahwa garis-garis yang sejajar tidak pernah bertemu, orang mengambil cara
dengan mengandalkan bahwa hal yang demikian ini akan membawa kita
kepada kontradiksi. Demikian pula, mengandaikan bahwa suatu sudut didalam segitiga ada
yang besarnya nil derajat dan ada yang lebih dari nol derajat.
1. Contoh Induksi
Dalam deduksi kesimpulannya hanya bersifat probabilitas berdasarkan atas pernyataan-
pertanyaan yang telah diajukan. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam
menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Umpamanya
kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, demikian
juga dengan singa, kucing, dan berbagai binatang lainnya. Dari kenyataan –kenyataan ini
kita dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum yakni semua binatang mempunyai mata.
 
5. METODE ILMIAH
6. Pengertian Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Menurut Soejono Soemargono (1983) metode ilmiah secara garis besar ada dua macam,
yaitu sebagai berikut:
1. Metode ilmiah yang bersifat umum
Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi menjadi dua, yaitu metode analitiko-sintesa dan
metode nondeduksi. Metode analitioko-sintesa merupakan gabungan dari metode analisis
dan metode sintesa. Metode nondeduksi merupakan gabungan dari metode deduksi dan
metode induksi.
Apabila kita menggunakan metode analisis, dalam babak terakhir kita memperoleh
pengetahuan analitis. Pengetahuan analitis itu ada dua macam, yaitu pengetahuan analitik
apriori dan pengetahuan analitik aposteriori.
Metode ilmiah di bagi 2 jenis:
1. Metode analisis ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek ilmiah tertentu
dengan jalan memilah-milahkan pengertian yang satu dengan penegrtian yang
lainnya. Pengetahuan analisis apriori misalnya, definisi segitiga mengatakan bahwa
segitika itu merupakan sautu bidang yang dibatasi oleh tiga garis lurus saling
beririsan yang membentuk sudut berjumlah 180 derajat.
Pengetahuan analitis aposteriori berarti bahwa kita dengan menerapkan metode analisis
terhadap sesuatu bahan yang terdapat di alam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari
memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu. Misalnya, setelah kita mengamati sejumlah
kursi yang ada, kemudian kita berusaha unutk menetukan apakah yang dinamakan kursi itu?
Definisnya misalnya, kursi adalah perabot kantor atau rumah tangga yang khusus disediakan
untuk tempat duduk.
Pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode sintesis dapat berupa
pengetahuan sintesis apriori dan pengetahuan sintesisi aposteriori.
1. Metode sintesa ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan cara
menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya sehingga
menghasilkan sesuatu pengetahuan yang baru. Pengetahuan sinstesis apriori
misalnya, pengetahuan bahwa satu ditambah empat sama dengan lima.
Aposteriori menunjuk kepada hal-hal yang adanya berdasarkan atau terdapat melalui
pangalaman atau dapat dibuktikan dengan melakukan sesuatu tangkapan indrawi.
Pengetahuan sintetis  aposterior itu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara
menggabung-gabungkan pengertian yang satu dengan yang lain menyangkut hal-hal yang
terdapat alam tangkapan indrawi atau yang adanya dalam pengalaman empiris.
2. Metode penyelidikan ilmiah
Metode penyelidikan ilmiah dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode penyelidikan yang
berbentuk daur/metode siklus empiris dan metode vertikal atau yang yang berbentuk garis
lempang/metode linier. Yang dinamakan siklus-empiris ialah suatu cara penanganan
terhadap sesuatu objek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empiris-kealaman dan
penerapannya terjadi di tempat yang tertutup.  Metode penyelidikan ilmiah yang berbentuk
daur/metode siklus-empiris, maka pengetahuan yang dapat dihasilkannya akan berupa
hipotesa, teori, dan hukum-hukum alam (Soejono Soemargo, 1983)
Perkembangan ilmu-ilmu alam merupakan hasil penggunaan secara sengaja suatu metode
untuk memperoleh pengetahuan yang menggabungkan pengalaman dan akal sebagai
pendekatan bersama, dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai penyelesaian-
penyelesaian yang disarankan. Dari banyak di antara uraian kita sampai sejauh ini, kita
mungkin telah merasakan bahwa kesulitan yang dihadapi  oleh filsafat ialah, filsafat tidak
bersifat ilmu. Jika orang pernah bekerja di laboratorium ilmu,ia mungkin akan mengeluh, “di
dalam ilmu kita membicarakan kenyataan empirirs, di dalam filsafat nampaknya tidak ada
suatu cara untuk memperoleh jawaban”. Ini menimbulkan masalah tentang metode ilmiah
sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Tidak semua pengetahuan dapat disebut
ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat
disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah jadi metode
ilmiah mengikuti prosedur-prosedur tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam
usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuan.
Metode menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis[10]. Metodologi merupakan suatu pengkajian
dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut[11]. jadi metodologi ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Metodologi ini secara flsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi.
Epistomologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan
pengetahuan.
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode
ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran[12]. Dengan cara bekerja ini maka
pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu
yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan
tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara
berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat
konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan
kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun
argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan
demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan
dengan baik sebab penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai “rumah atau
batu bata yang cerai berai”[13]. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba
memberikan penjelasan yang rasional kepada obyek yang berada dalam fokus penelaahan.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika menusia mengamai
sesuatu[14]. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan laim: mengapa manusia
mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai
mengamati obyek tertentu kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap obyek
tersebut. Persukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita
yang menimbulkan pertanyaan[15]. Dan pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya
kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan.
dapat disimpulkan bahwa karena ada masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses
berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi
dalam dunia empiris pulan.
Manusia menghadapi atau menyadari adanya masalah dan bermaksud untuk memecahkan
dalam usaha unutk memcahkan masalah tersebut maka ilmu tidak berpaling kepada
perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan penalaran. Dalam hal ini maka
pertama-tama ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah konkret
yang terdapat dalam dunia fisik yang nyata. Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata
maka ilmu mencari jawaban pada dunia yang nyata pula. Disinilah pendekatan rasional
digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode
ilmiah. Langkah-langkah metode ilmiah:
1. Harus menanamkan rasa ingin tahu dalam suatu hal sehingga memunculkan
pertanyaan pada diri dan menjadi dasar untuk melakukan penelitian sehingga dapat
merumuskan masalahnya.
2. Mengumpulkan informasi sehingga dapat menyusun kerangka berpikir dalam
pengajuan hipotesis. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan
permis-permis ilmiah yang telah tealh teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan. Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif
dengan mengambil permis-permis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui
sebelumnya.
4. Pengujian hioptesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta
yangmendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaina apakah sebuah hipotesis yang
diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta
yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya
sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung
hipoteisi maka hipoteisi itu ditolak. Hipoteisi yang diterima kemudian dianggap
menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan
keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian
kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini
beluam terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah.
Dengan metode ilmiah sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan denganberbagai
pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang cepat.
Salah satu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi
ilmiah dimana oenemuan individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota
masyarakat atau pun ilmuan lainnya. Tersedia laat komukasi tertulis dalam bentuk majalah,
buletin, jurnal, mikro film, dan berbagai media masa lainnya sangat menunjang intensitas
dan efektivitas komunikasi ini. Suatu penemuan baru di negera yang baru segera dapat
diketahui oleh ilmuan di negara-negara lainnya. Penemuan ini segera dapat diteliti
kebenarannya oleh kalangan ilmiah di mana saja sebeb prosedur unutk menilai kesahihan
penyataan yang dikandung pengetahuan tersebut sama-sama telah diketahui oleh seluruh
masyarakat.
 
1. Contoh metode Ilmiah
Contoh kunyit digunakan untuk pengobatan.
Kunyit dapat dikatakan mampu penyembuhan luka, dapat  dibuktikan dilakukan dengan
metode ilmiah.
Sinkronisasi metode ilmiah ini dapat disimpulkan dari pengalaman dan kebiasaan
masyarakat dalam memanfaatkan kunyit sebagai obat tradisional untuk penyembuhan luka
pada organ tubuh bagian dalam. Jadi dengan  dilakukan metode ilmiah yang diawali dari
asumsi dan kebiasaan masayarakat mengani suatu hal. Misalnya dalam memanfaatkan
kunyit sebagai pengobatan tradisional. Diawali dari munculnya pertanyaan. Apakah benar
kunyit mampu mengobati luka  kemudian mengumpulkan informasi, melakukan hipotesis,
melakukan pengamatan dan menyimpulkan. Ditemukan didalam kunyit mengandung zat
antibiotik yang mampu menyembuhkan luka yang dialami organ bagian dalam.
 
KESIMPULAN
Dalam mempelajarai suatu nilai kebenaran manusia dituntut unutk bosa memanfaatkan
wahana berpikir yang dimilikinya, manusia juga harus mampu memposisikan dirinya diposisi
kebenaran. Hal yang harus dilakukan manusia adalah menempatkan penalaran, penalaran
sebagai salah satu langkah menemukan titk kebenaran. Kemampuan penalaran yang dimiliki
manusia tentuny akan melahirkan logika yang dpat dimanfaatkan oleh manusai utuk
menemukan pengethuan. Pengatahuan ini lah yang sebut dengan ilmu dan ilmu inilah yang
membuat manusia bisa berpikir.
Didalam penalaran ditemukan logika. Logika melahirkan deduksi dan induksi, secara umum
induksi dan induksi suatu proses pemikiran untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang
benar didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki. Deduksi dihasilkan dari pernyataan-
pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan bersifat khusus, sementara induksi
merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual.
Metode ilmiah berkaitan dengan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi. Jadi
suetu proses pemikiran dapat dituangkan dalam pembuatan metode ilmiah tersebut, dan
metode ilmiah juga membuktikan tentang penalaran yang melahirkan logika dibantu dengan
metode deduksi dan induksi maka akan menghasilkan pengetahuan yang baru. Dengan
metode ilmiah pengetahuan akan dianggap sah adanya.
 
.
 
[1] suatu kegiatan berfikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
[2] Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri
kepada suatu pola pikir tertentu.
[3] noor Ms Bakry, 1983 dalam buku Surajiyo
[4] Pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman.
[5] K.Bertens, 1975 dalam buku Surajiyo, 2005.
[6] K.Berens,1975 dalam buku  Surajiyo, 2005
[7] Bertens, 1975 dalam buku Surajiyo, 2005.
[8] The Liang Gie dan Suhartoyo Hardjosatoto, dan Endang asdi, 1980
[9] Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
[10] Peter R. Senn, Sosial Science and Its Methods (boston:Holbrook, 1971)
[11] Ibid, hlm 6
[12] T. H. Huxly, “The Method of Scientific Investigation”, Science: Method and Meaning, ed.
Samuel Rapport dan helen Wright (new York: Washington Square Press, 1964), hlm, 2.
[13] Morris Kline, “The Meaning of Mathematics”, Adventures of the Mind (New York:
Vintage, 1961), hlm 83.
[14] Ritchie Calder, science in Our Life (New York :New American Library,  1955), hlm. 37
[15] John Dewey, How We Think (Chicago: Henry regnery, 1933) hlm. 107
D. SILOGISME, HUKUM-HUKUM PENARIKAN KESIMPULAN, DEDUKTIF-NOMOLOGIKAN
DAN INDUKTIF-STATISTIKAL
MAKALAH FILSAFAT ILMU
SILOGISME, HUKUM-HUKUM PENARIKAN KESIMPULAN, DEDUKTIF-NOMOLOGIKAN DAN
INDUKTIF-STATISTIKAL
 
disusun oleh:
RIZA FIKRI ANDRIANTO (14708251096)
IKA YUNITA (14708251131)
 
 
PENDIDIKAN KONSENTRASI B
JURUSAN PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
 
1. Silogime
Berpikir  deduktif  atau  berpikir  rasional  merupakan  sebagian  dari  berpikir ilmiah. Dalam
penalaran deduktif, menarik  suatu simpulan dimulai dari pernyataan umum menuju
pernyataan-pernyataan  khusus  dengan  menggunakan  rasio  (berpikir  rasional).
Aristoteles  dalam  bukunya  Analitica  Priora  menyebut penalaran deduktif dengan istilah
silogisme. Aristoteles membatasi silogisme sebagai argumen yang konklusinya diambil
secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan  yang  berlainan.
Dalam Ilmu  Logika ada yang dinamakan dengan Silogisme. Silogisme adalah suatu bentuk
penarikan konklusi secara deduktif tak langsung yang konklusinya ditarik dari premis yang 
disediakan  serentak.  Oleh  karena  silogisme  adalah penarikan  konklusi  yang  sifatnya 
deduktif,  maka  konklusinya  tidak  dapat  mempunyai  sifat yang lebih umum dari pada
premisnya.
Silogisme  dalam  logika  tradisional  digunakan  sebagai  bentuk  standar  dari  penalaran 
deduktif.  Hanya  deduksi  yang  dapat  di kembalikan  menjadi  bentuk  standar  inilah  yang 
dapat  dibahas  dalam  logika  tradisional.  Silogisme  itu  terdiri  atas  tiga  proposisi 
kategorik.  Dua  proposisi  yang  pertama berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga
sebagai konklusi. Jumlah termnya ada tiga, yaitu term subjek, term predikat, dan term
medius. Term medius berperan sebagai  penghubung  antara  premis  mayor  dengan 
premis  minor  di  dalam  menarik konklusi, dan  term medius itu tidak boleh muncul pada
konklusi. Silogisme ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengetahui sesuatu
secara logika. Misalnya :
 Semua manusia yang ada akan mati.
 Sally adalah manusia.
 Oleh karena itu, Sally akan mati.
Untuk  menegaskan  pernyataan  pertama  (disebut  premis  mayor),  kita  hanya 
membutuhkan  keumuman  dari  pengalaman  kita  tentang  kematian  individu.  Kita  tidak
pernah  mempunyai  pengalaman  seseorang  yang  tidak  akan  mati,  juga  kita  nyatakan
bahwa semua manusia yang ada akan mati. Pernyataan kedua (disebut  premis minor) sama 
sekali  berdasarkan  atas  pengalaman  sensoris.  Kita  datang  dalam  hubungan dengan Sally
dan menggolongkan dia sebagai manusia. Kita tidak mempunyai kepercayaan  pada  indera 
kita,  selanjutnya,  untuk  mengetahui  bahwa  pernyataan  ketiga (disebut  konklusi)  harus 
benar.  Logika  mengatakan  kepada  kita  tentang  hal  ini. Sepanjang dua pernyataan
pertama adalah benar, pernyataan ketiga harus benar.
Term  ‘manusia’  pada premis mayor dan premis minor berperan sebagai penghubung
antara kedua premis tersebut  untuk  membentuk  konklusi,  dan  term  ‘manusia’  tidak 
muncul  dalam konklusi.  Inilah  dalam  silogisme  dikenal  dengan  istilah  term  medius 
(term  tengah). Term  medius  di  samping  sebagai  penghubung  kedua  premis,  dalam 
silogisme  juga memiliki peran yang sangat vital, yaitu sebagai ‘key reason’ dari konklusi
yang ditarik. Term subjek pada konklusi diambil dari premis minor dan term predikatnya
diambil dari premis mayor. Hal inilah yang merupakan inti dari silogisme.
Ciri-ciri silogisme yang membedakannya dari jenis penarikan konklusi lainnya adalah:
1. Konklusi dalam  silogisme  ditarik  dari  dua  premis  yang  serentak  disediakan, 
bukan dari salah satu premisnya saja. Konklusinya tidaklah merupakan penjumlahan
premis-premis itu, tetapi merupakan sesuatu yang dapat diperoleh bila kedua premis
itu diletakkan serentak. Ciri-ciri  ini  membedakan  silogisme  dari  bentuk-bentuk 
penarikan  konklusi  langsung  dan bentuk-bentuk penarikan konklusi tak langsung
lainnya.
2. Konklusi dari suatu silogisme tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum daripada
premis-premisnya. Silogisme  adalah  suatu  jenis  penarikan  konklusi  secara 
deduktif  dan  penarikan  konklusi  secara  deduktif  konklusinya  tidak  ada  yang 
lebih  umum  dari  premis-premis yang disediakan itu.
3. Konklusinya benar, bila dilengkapi dengan premis-premis yang benar. Suatu  hal 
yang  penting,  pada  silogisme  dan  pada  bentuk-bentuk  inferensi  deduktif  yang
lain, persoalan kebenaran dan ketidak benaran pada premis-premis tak pernah
timbul, karena  premis-premis  selalu  diambil  yang  benar;  akibatnya  konklusi 
sudah  diperlengkapi dengan  hal-hal  yang    Dengan  kata  lain,  silogisme  tinggal 
hanya  mempersoalkan kebenaran  formal  (kebenaran  bentuk)  dan  tidak  lagi 
mempersoalkan  kebenaran  material (kebenaran isinya).
Premis  yang  di  dalamnya  terdapat  term  mayor  dinamai  premis  mayor,  dan  premis 
yang di dalamnya terdapat term minor dinamai premis minor. Dalam bentuk silogisme
logika yang  sesungguhnya,  premis  mayor  diberikan  mula-mula  dan  sudah  itu  diikuti 
oleh  premis minor.  Perlu  diingat  bahwa  dalam  silogisme  lambang  M  dipakai  untuk 
menunjukkan  term penengah, S menunjukkan term minor dan P untuk term mayor.
Silogisme  dibedakan  menurut  bentuknya,  berdasarkan  pada  kedudukan  term  tengah 
(M) di dalam proposisi. Terdapat empat bentuk silogisme, yaitu: Bentuk I, Bentuk II, Bentuk
III, dan Bentuk IV.
1. Bentuk I (Silogisme Sub-Pre)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek di dalam premis mayor, dan berkedudukan
sebagai predikat dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
M  –  P      dengan model
S  –   M
S  –   P
JIKA :
S  : Term Mayor    Misal : Kantor Pajak
P  : Term Minor  Misal : Pelayan Publik
M  : Term Tengah  Misal : birokrasi
Misal
Premis Mayor  (M-P): Semua birokrasi adalah pelayan publik
Premis Minor  (S-M): Kantor pajak adalah birokrasi
Silogisme  (S-P): Kantor pajak adalah pelayan publik
2. Bentuk II (Silogisme Bis-Pre)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat, baik di dalam premis mayor maupun di
dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
P   –  M      dengan model
S  –  M
S   –  P
Misal
Premis Mayor  (P-M) : Semua pelayan publik adalah aparatur birokrat
Premis Minor (S-M) : Zahra adalah aparatur birokrat
Silogisme  (S-P): Zahra adalah pelayan publik
3. Bentuk III (Silogisme Bis-Sub)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek, baik di dalam premis mayor maupun di
dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
M   –  S      dengan model
M   –  P
S  –  P
Misal
Premis Mayor  (M-S): Pembuat kebijakan adalah administrator publik
Premis Minor (M-P): Pembuat kebijakan adalah pelayan publik
Silogisme  (S-P): Administrator publik adalah pelayan publik
4. Bentuk IV (Silogisme Pre-Sub)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat di dalam premis mayor, dan berkedudukan
sebagai subyek dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
S  –  M      dengan model
M  –  P
S  –  P
Misal
Premis Mayor  (S-M): semua koruptor adalah orang tidak beretika.
Premis Minor (M-P): orang yang tidak beretika adalah pelaku kejahatan publik
Silogisme  (S-P) : semua koruptor adalah pelaku kejahatan publik
 
1. Hukum-Hukum Penarikan Kesimpulan
Terdapat 8 kaidah atau hukum yang berlaku dalam penyusunan silogisme kategoris. Masing-
masing 4 menyangkut term, dan 4 menyangkut proposisi. Kaidah-kaidah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Menyangkut term-term.
2. Silogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga
term berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya
perbandingan. Kalaupun ada tiga term, ketiga term itu haruslah digunakan dalam arti
yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari
tiga term. Misalnya:
Kucing itu mengeong
Binatang itu kucing
Jadi, binatang itu mengeong
1. Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini sebenarnya
sudah jelas dari bagan silogisme. Selain itu, masih dapat dijelaskan bagini: term-
antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term.
Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu, term-antara (M) hanya
berguna dalam premis-premis saja.
 
1. Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam
premis-premis. Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh
universal, kalau dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini
sebenarnya merupakan singkatan dari hukum silogisme yang berbunyi: ‘Latius hos
quam praemiisae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja
dengan ‘generalisasi’. Baik ‘Latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan
ketidakberesan atau kesalahan penyimpulan, yakni menarik kesimpulan yang terlalu
luas. Menarik kesimpulan yang universal pada hal yang benar hanyalah kesimpulan
dalam bentuk keputusan yang particular saja. Misalnya:
Kucing adalah makhluk hidup
Manusia bukan kucing
Jadi, manusia bukan makhluk hidup
1. Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara
particular baik dalam premis major maupun minor, mungkin sekali term-antara itu
menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu term-
antara tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan
(memisahkan) subyek dan predikat. Misalnya:
Banyak orang kaya yang kikir
Si Fulan adalah orang kaya
Jadi, Si Fulan adalah orang yang kikir.
 
2. Menyangkut keputusan-keputusan (proposisi)
1. Jika kedua premis (yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka
kesimpulannya harus afirmatif dan positif pula.
2. Kedua premis tidak boleh negatif, sebab term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai
penghubung atau pemisah subyek dan predikat. Dalam silogisme sekurang-
kurangnya satu, yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-
antara (M). Misalnya:
Batu bukan binatang
Kucing bukan batu
Jadi, kucing bukan binatang
1. Kedua premis tidak boleh partikular. Sekurang-kurangnya satu premis harus
universal. Misalnya:
Ada orang kaya yang tidak tenteram hatinya
Banyak orang yang jujur tenteram hatinya
Jadi, orang-orang kaya tidak jujur
1. Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah. Keputusan particular
adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal.
Keputusan negatif adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan
afirmatif atau positif. Oleh karena itu:
 Jika satu premis partikular, kesimpulan juga partikular;
 Jika salah satu premis negatif, kesimpulan juga harus negatif;
 Jika salah satu premis negatif dan partikular, kesimpulan juga harus negatif
dan partikular. Kalau tidak, ada bahaya ‘latius hos’ lagi. Misalnya:
Beberapa anak puteri tidak jujur
Semua anak puteri itu manusia (orang)
Jadi, beberapa manusia (orang) itu tidak jujur
 
1. Silogisme Tidak Beraturan / Tidak Standar
Ada silogisme yang tidak mengikuti hukum-hukum silogisme tersebut. Silogisme demikian
disebut silogisme tidak beraturan atau silogisme tidak standar, yaitu sebagai berikut:
1. Entimema
Entimema adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpulan
saja atau keduanya, tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan. Contoh: PKI adalah
berhaluan komunis, maka PKI tidak boleh berkembang di negara Pancasila. Contoh tersebut
yang tidak disebutkan adalah pada premis “Komunis tidak boleh berkembang di negara
Pancasila”
2. Epikheirema
Epikheirema adalah suatu bentuk silogisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai
dengan alasan. Premis yang disertai dengan alasan itu sebenarnya merupakan kesimpulan
dari silogisme itu sendiri. Contoh: Semua pemimpin partai terlarang bersifat pasif, karena
mereka dilarang melakukan kegiatan politik. Hasan adalah pemimpin partai terlarang. Jadi
Hasan adalah bersikap pasif.
 
3. Sorites
Sorites adalah suatu bentuk silogisme yang premisnya saling berkaitan lebih dari dua
proposisi, sehingga kesimpulannya berbentuk hubungan antara salah satu term proposisi
pertama dengan salah satu term proposisi terakhir yang keduanya bukan term pembanding.
Contoh: Manusia itu berakal budi. Berakal budi itu berbudaya. Berbudaya itu perlu makan.
Makan memerlukan barang. Jadi manusia memerlukan barang.
4. Polisilogisme
Polisilogisme adalah suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme, sehingga
kesimpulan silogisme sebelumnya selalu menjadi premis pada silogisme berikutnya. Contoh:
Jika Farhan adalah seorang raja, dan raja adalah manusia, maka Farhan adalah manusia, dan
manusia adalah berakal budi, maka Farhan adalah berakal budi, dan berakal budi adalah
memerlukan makan, maka Farhan memerlukan makan.
 
1. Deductive-Nomological (DN) dan Inductive-Statistical (IS)
Teori penjelasan ilmiah adalah bentuk dari penjelasan ilmiah dalam sebuah bahasa biasa.
Juga dikenal dengan nama the covering law model, the subsumtion theory. Hempel’s model,
the Hempel-Oppenheim model, dan the Popper-Hempel model. Ada dua jenis penjelasan
dalam teri ini yaitu “deductive-nomological” (DN) dan “inductive-statistical” (IS). Deductive-
nomological (DN) berasal dari kata “deductive” yang artinya mengambil suatu kesimpulan
yang hakikatnya sudah tercakup dalam satu proposisi atau lebih dan “nomological” adalah
“nomos” dari bahasa Yunani yang artinya hukum.
Model DN ini telah memainkan peranan yang sangat luar biasa pentingnya dalam diskusi
secara  filosofis  mengenai  penjelasan  dalam  ilmu  pengetahuan  saat  ini.  Teori penjelasan
ilmiah adalah sebuah teori yang mencoba menjelaskan bagaimana penjelasan ilmiah itu
terjadi. Pada kali ini saya ingin membahas mengenai bagian dari Teori Penjelasan Ilmiah
yaitu adalah Teori Penjelasan Ilmiah Deduktif-Nomologis. Teori ini diusulkan oleh Carl G.
Hempel dan Paul Oppenheim pada1948. Teori ini terdapat pada buku Studies in the Logic of
Explanation (1948). Sebuah sketsa juga bisa ditemukan di buku Karl Popper Logic of
Scientific Discovery (1934).
Menurut  model  D-N,  sebuah  penjelasan  kausal  mengenai  beberapa  kejadian dapat
dicapai bila kejadian itu digolongkan di bawah beberapa hukum kausal. Bentuk umum dari
penjelasan model D-N adalah berikanlah sekelompok hukum kausal tertentu dan
pernyataan-pernyataan yang disebut kondisi awal, sebuah pernyataan yang
menggambarkan  kejadian  yang  ada  mengikuti penjelasan sebelumnya.
Hukum yang terdapat dalam penjelasan ilmiah disebut juga hukum pendukung fenomena
eksplanandum dan argument penjelasannya termasuk dalam eksplanandum tersebut.
Fenomena eksplanandum adalah penjelasan deductive-nomological (DN) yang dapat berupa
kejadian yang terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu, seperti hasil dari percobaan
Perier. Atau bisa juga fenomena yang terjadi di alam seperti ciri tertentu yang dilihat pada
pelangi atau suatu kesamaan oleh hukum empiris seperti yang diperlihatkan pada hukum
Galileo atau Keppler. Penjelasan nomological deductive-nomological (DN) syarat hubungan
penjelasan dengan kemungkinan yang sangat besar, bahwa informasi penjelasan yang
diberikan mempengaruhi kalimat eksplanandun secara deduktif, dengan demikian
memberikan dasar kesimpulan logis mengapa sebuah fenomena diharapkan dapat terjadi.
Sedangkan inductive-statistical (IS) berasal dari kata induktif dan statistic, dimana induktif
adalah suatu bentuk penalaran yang menyimpulkan suatu proposisi umum dan sejumlah
proposisi khusus. Meskipun premis-premis yang digunakannya adalah benar dan prosedur
yang digunakan adalah sah, maka kesimpulannya belum tentu benar. Yang dapat dikatakan
adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar.  Dapat dinyatakan bahwa
dasar dari statistika adalah ilmu peluang.
Ada dua jenis penjelasan dalam teori ini yaitu ‘deductive-nomological’ (DN) dan ‘inductive-
statistical’ (IS) keduanya memiliki struktur yang sama. Tiap premis memiliki struktur (1)
Kondisi yang ada C, dan (2) generalisasi hukum L. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa
DN merupakan generalisasi universal sedangkan IS merupakan generalisasi statistik.
Contoh DN:
C – Bayi itu memiliki tiga kromosom 21
L – Tiap bayi yang memiliki tiga kromosom 21 terkena Down Sydrom
E – Bayi itu terkena Down Syndrome
Contoh IS:
C – Otak seseorang kekurangan oksigen selama lima menit.
L – Hampir semua orang yang otaknya kekurangan oksigen selama lima menit akan
mengalami kerusakan otak.
E – orang itu mengalami kerusakan otak.
Menurut Hempel, DN lebih baik daripada IS. Ini disebabkan karena unsur prediktif dari DN
lebih besar, Agar suatu penjelasan menjadi penjelasan DN maka dia hanya perlu
menunjukkan struktur deductive-nomological. IS bersifat induktive artinya hubungan antara
premis dan kesimpulan bisa terganggu dengan adanya informasi baru
Kelebihan Eksplanasi Deduktif-nomologisn Pertama, jelas dan sederhana. Eksplanasi
deduktif-nomologis sebagaimana dikemukakan oleh Hempel dan kaum positivisme logis
yang lain adalah memiliki pola yang cukup jelas dan sederhana. Eksplanasi secara baku
menggunakan pola argumentasi deduktif, yang mengandung hukum umum dan fakta
partikular, dan kesimpulan atas sesuatu yang dieksplanasikan kebenarannya bersifat
niscaya. Kedua, menunjukkan kaitan yang jelas antara ilmu (studi) sejarah dengan ilmu
alam, karena eksplanasi deduktif-nomologis memang pola eksplanasi khas ilmu alam (ilmu
eksata); menurut penganjurnya eksplanasi jenis ini memungkinkan ahli sejarah untuk
menggunakan generalisasi dan hukum umum dari ilmu sosial-kemanusiaan yang lain,
sehingga pola eksplanasi ini dapat berperan dalam pengembangan studi interdisipliner yang
melibatkan ilmu sejarah. Ketiga, eksplanasi deduktif-nomologis merupakan sumbangan
pemikiran para filsuf ilmu sejarah, yang bermaksud untuk memberi jalan keluar terhadap
persoalan rekonstruksi sejarah. Sejarah juga memerlukan erklären, karena sampai tingkatan
tertentu fenomena historis juga mengandung unsur objektivitas. Setiap peristiwa itu terjadi
bukan tanpa sebab, jika kausalitas diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, dengan
demikian eksplanasi deduktif-nomologis yang juga merupakan eksplanasi kausal merupakan
salah satu alternatif yang dapat digunakan sejarawan untuk melacak mengapa satu
fenomena historis tertentu itu terjadi.
Kelemahan Eksplanasi Deduktif-nomologis, Pertama yaitu eksplanasi deduktif-nomologis
tidak pernah menjelaskan peristiwa secara utuh, yaitu dengan mengabaikan kompleksitas
peristiwa, sehingga senantiasa ada jarak antara eksplanans dan eksplanandum. Padahal
peneliti sejarah senantiasa ingin mengetahui semua seluk beluk dari sebuah peristiwa, selalu
berminat terhadap bentuk yang unik dan khas yang mewarnai kejadian historis, sehingga
eksplanasi deduktif-nomologis itu kurang memuaskan bagi seorang ahli sejarah. Kedua,
terlalu formal. Sebagaimana sifat argumentasi deduktif yang sangat memberikan tekanan
pada aspek formal penalaran, validitas lebih diutamakan daripada kebenaran (kesesuaian
pernyataandengan data empiris). Isi keterangan historis kurang diperhatikan. Padahal 
eksplanasi historis pada umumnya berkaitan dengan peristiwa individual yang juga berawal
dari data empiris. Ketiga, sejarah adalah sejarah peradaban manusia, yang banyak diwarnai
dengan nilai dan penuh dengan nuansa makna. Fenomena historis terkadang tidak dapat
dipahami melulu secara harfiah. Eksplanasi deduktif-nomologis yang hanya menekankan
hukum umum (pernyataan universal) tidak memberi tempat kepada interpretasi 
(verstehen)  yang sangat berguna dalam pemahaman fenomena historis. Keempat, hukum
umum yang mengandung makna universal berlaku kapan dan di mana saja dalam ilmu
sejarah sulit ditemukan, karena sejarah berkaitan dengan fenomena manusiawi yang sangat
rumit. Motif, tujuan, dan kehendak manusia sulit untuk diramalkan, sehingga prediksi yang
diharapkan melalui eksplanasi deduktif-nomologis juga sulit direalisasikan. Kelima,
kausalitas fenomena historis sulit untuk dapat dijelaskan secara memadai, karena sejarah
berkaitan dengan peristiwa masa lalu dan sekali terjadi. Sejarah bukan ilmu kuantitatif yang
memiliki kepastian dalam arti ilmu eksata. Eksplanasi deduktif-nomologis sulit untuk dapat
menjelaskan mengapa suatu peristiwa itu terjadi atau tidak terjadi. Keenam, sejarah sebagai
ekstensi memori artifisial sangat diwarnai dengan komitmen moral, agama, ideologi. Sejarah
mengandung unsur yang bersifat subjektif. Eksplanasi deduktif-nomologis yang sangat
menekankan objektivitas tentu akan mengabaikan unsur subjektif tersebut. Peneliti sejarah
dengan seluruh pengalamannya sangat berperan dalam merekonstruksi dan menafsirkan
masa lampau, dan hal ini juga tidak diberi  tempat di dalam eksplanasi deduktif-nomologis
 
 
1. Daftar Pustaka
Anonim. 2014. Modul Silogisme Kategoris. Yogyakarta: Staff UNY
Kattsof, Louis A. 2004. Pengantar Filsafat (alih bahasa: Soejono Soemargono). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Rahman Abdul Haji A. 2005. Wacana Falsafah ilmu: analisis konsep-konsep asas dan
falsafah Negara. Kuala Lumpur: Utusan Publication
Surajiyo. 2006. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
E. BAHASA, MATEMATIKA, STATISTIKA, TEORI PELUANG, TEKNOLOGI INFORMASI
DAN KOMUNIKASI
MAKALAH FILSAFAT ILMU
BAHASA, MATEMATIKA, STATISTIKA, TEORI PELUANG, TEKNOLOGI INFORMASI DAN
KOMUNIKASI
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
disusun oleh:
ROBERTUS TASO LEWA (14708251040)
EVA RIFA’ATUL MAHMUDAH (14708251083)
 
 
PENDIDIKAN KONSENTRASI B
JURUSAN PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
 
PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Pengetahuan
“Segala manusia ingin mengetahui” merupakan kalimat pembukaan Aristoteles dalam karya
yang berjudul metafisika. Pengetahuan secara perorangan maupun bersama ternyata
berlangsung dalam dua bentuk dasar yang berbeda dan sulit untk ditentukan mana yang
paling asli atau yang paling berharga dan manusiawi. Bentuk yang satu adalah pengetahuan
untuk sekedar mengetahui saja dan untuk menikmati pengetahuan itu demi memuaskan
hati manusia. Sedangkan bentuk yang lain ialah pengetahuan untuk digunakan dan
diterapkan misalnya untuk melindungi, dan membela diri, memperbaiki tempat tinggal,
mempermudah pekerjaannya dan lain-lain. Keduanya dalam dunia studi pengetahuan
dibedakan menjadi subjek dan obyek yang merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi
(tidak ada subyek tanpa obyek).  Pernyataan Aristoteles ternyata dalam hati dan akal
manusia terdapat keinginan ataupun keterarahan untuk mengetahui dan mengenal. Tidak
pernah suatu pengetahuan yang memuaskan hati ataupun akal budi manusia secara tuntas.
Pengetahuan adalah bertanya sambil terus mencari yang merupakan sintesis tiada henti
antara “sudah tahu dan belum tahu”.
Keterarahan dan intensionalitas yang terus menerus bertanya itu terjadi dalam suatu
hubungan timbal balik antara manusia dan dunianya yang tentu saja mencakup manusia ada
di dalamnya. Dalam filsafat manusia kita mengenal pengertian tentang manusia sebagai
kesatuan jiwa dan raga dalam hubungan yang timbal balik dengan dunia dan sesamanya.
Dalam kesatuan ini ada unsur jasmani yang membuat manusia sama dengan dunia di luar
dirinya, dan ada unsur lain yang membuat dirinya mengatasi dunia di sekiar dirinya sebagai
jasmani. Unsur tersebut adalah jiwa (soul, anima psuche).  Kegiatan dan tindakan makhluk
hidup terjadi sesuaai dengan susunan kodratinya. Dalam kegiatan dan tindakan manusia
selalu mengalami dan meampakan hubungan kesatuan antara jiwa dan raga yang jiwanya
bersifat rohani. Kegiatan pengenalan manusia yang terlibat di dunia ini menampakan diri
dalam pengetahuan indrawi.
Plato mengatakan satu-satu ilmu yang sejati adalah episteme yaitu pengetahuan yang
tunggal dan tak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Pengetahuan menurut Plato
merupakan hasil ingatan yang melekat padanya (apriori), dan ingatan itu berasal dari intuisi
yang pernah dialami oleh jiwanya. Aristoteles mengganti intuisi dengan abstaksi (aktifitas
rasional dimana seseorang meperoleh pengetahuan), ia menjelaskan tercapainya
pegetahuan sebagai hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak dan
berubah lalu melepaskan unsur-unsur universal dari yang partikular. Sambil meneruskan
jalan abstraksi itu manusia akan semakin meninggalkan bidang indrawi melampaui taraf
dugaan dan pendapat sehingga akhirnya mencapai episteme sebagai pengetahuan yang
sejati.
Ilmu Pengetahuan
Kekhususan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya,
berpusat pada kesadaran akan pengetahuan yang terdapat pada setiap tindakan
pengetahuan itu sendiri secara tersirat. Apabila unsur itu disampaikan secara tersurat maka
akan terjadi apa yang disebut refleksi. Berkat refleksi pengetahuan yang semula langsung
dan spontan memang akan kehilangan kelangsungan dan spontanitas tetapi pengetahuan
itu akan mulai cocok untuk diatur secara sistematis sedemikian rupa sehingga isinya dapat
dipertangungjawabkan.
Pembentukan ilmu pengetahuan berasal dari pengetahuan yang sudah ada yang
dikumpulkan lalu diatur dan disusun sehingga pengetahuan yang yang sudah diketahui
secara umum  dan ilmu pengetahuan akan diketahui dengan lebih masuk akal. Proses ini
menjadi jelas dalam upaya setiap ilmu untuk menyusun beberapa model. Model itu
dimaksud untuk menghadirkan kembali yang padat dan ringkas dari apa yang telah
dikumpulkan dalam pengetahuan umum maupun ilmiah. Terdapat dua model yang saling
melengkapi adalah :
1. Mendekatkan apa yang merupakan obyek pengetahuan ilmiah ataupun mau menarik
obyek itu kepadanya. Penyederhanaan ini merupakan suatu abstraksi, tetapi obyek
yang dipelajari menjadi semakin masuk akal.
2. Memasuki susunan obyek yang sedang dipelajari sedalam-dalamnya, dengan begitu
diharapkan didapatkan pengertian yang berasal dari dalam.
Model yang pertama mewakili kelompok ilmu yang pertama-tama mementingkan
pengamatan dan penelitian, yang disebut empiris atau aposteriori. Hasil mengamatan akan
dirangkum dalam model tersebut.Model yang kedua mewakili kelompok ilmu yang seakan-
akan ingin segera menangkap suasana keniscayaan yang mendasari dari segala kenyataan
secara apriori (dari kata latin prius “sebelum”). Kedua model tersebut dapat diterangkan
dengan mengutip pandangan tentang ilmu yang berasal dari zaman Yunani kuno yaitu dari
Plato dan Arisoteles.
Berdasarkan pemaparan tersebut ilmu pengetahuan dicirikan sebagai usaha untuk
mengumpulkan hasil mengetahuan secara teratur dan sistematis, berkat adanya refleksi.
Pengungkapan hasil itu terjadi dalam macam-macam model, yang dapat digolongkan
menjadi dua model dasar yaitu model aposteriori dan model apriori. Filsafat pengetahuan
memeriksa sebab musabab itu dengan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari. Filsafat menggali paham tentang kebenaran,  kepastian, dan tahap-
tahapnya objektivitas, abstraksi, intuisi dan juaga pertanyaan mengenai dari mana asalnya
dan kemana arah pengetahuannya.
Pengelompokan Ilmu Pengetahuan
Sejak pertama kali manusia berada di muka bumi, mereka telah dihadapkan pada masalah
dan bermaksud untuk memecahkannya, namun dalam menghadapi masalahnya, manusia
memberikan reaksi yang berbeda – beda sesuai dengan cara dan kemampuan berpikir
mereka. Cara dan kemampuan berpikir manusia selalu berkembang seiring dengan
berjalannya waktu. Begitu pula dengan ilmu dan pengetahuan yang didapat oleh manusia,
semakin lama semakin mendalam dan luas. Mulai dari zaman purba hingga zaman
kontemporer atau zaman sekarang.
Perkembangan ilmu di tiap – tiap wilayah atau benua yang dihuni manusia berbeda -beda,
sesuai dengan karakter dan kemampuan pemikiran dari manusia itu sendiri. Dimana
perkembangan tersebut merupakan rangkaian panjang sejarah peradaban umat manusia,
yang dengan kemampuan akal, pikirannya selalu berusaha melangkah maju. Tak ada
penemuan yang terlompat dari pemikiran seseorang.
 
1. Dikotomi Ilmu
2. Ilmu formal dan Nonformal
Non empirs bukan berati bahwa empiris/pengalaman indrawi tidak mempunyai peran.
Empiris/pengalaman indrawi tentu saja selalu memainkan peran karena dalam pengenalan
manusiawi, unsur-unsur indrawi tidak mungkin dilepaskan dari unsur-unsur intelektual.
Suatu ilmu disebut non empiris karena ilmu itu ada dalam seluruh kegiatannya tidak
bermaksud menyelidiki secara sistematis data-data indrawi yang kongkrit. Contohnya
adalah ilmu matematika dan ilmufilsafat.
Suatu ilmu disebut formal/empiris karena memainkan peran sentral/utama. Ilmu empiris
dalam seluru keitannya berusaha menyelidiki secara sistematis data-data indrawi yang
kongkrit. Contohnya ilmu hayat(biologi), ilmu alam(fisika,kimia), dan ilmu manusia.
1. Ilmu Murni dan Ilmu Terapan
Ilmu murni/teotitis adalah ilmu yang bertujuan  meraih kebenaran demi kebenaran
(matematika, metafisika). Ilmu terapan/praktis adalah ilmu yang bertujuanmengaplikasikan
atau diambil manfaatnya (ekonomi,teknik,psikologis dll).
1. Ilmu Nonteknis Dan Idiografis
Nonteknis ilmu yang obyek pembahasannya adalah gejala alam yang dapat diulang secara 
terus menerus serta kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum alam (ilmu alam). Ilmu
idiografis dimana obyek yang dibahas adalah gejala yang bersifat individulistik unik yang
hanya terjadi satu kali (ilmu budaya).
2. Ilmu Deduktif Dan Induktif
3. Deduktif
Ilmu yang yang pemecahan masalahnya yang dihadapi tidak  didasarkan atas pengalam
indrawi tetapi berdasarkan penjabaran/deduksi. Deduksi berarti proses pemikiran dimana
akal budi manusia dari pengetahuan tentang hal yang umum dan abstrak menyimpulkan
hal-hal yang bersifat khusus dan indifidual (matematika).
1. Induktif
Penyelesaian masalah dalam ilmu ini berdasarkan pengalaman indrawi/empiris. Ilmu ini
bekerja atas dasar induksi dimana penarikan kesimpulan yang berasal dari hal-hal yang
bersifat khusus dan individual menuju ke hal-hal yang bersifat umum dan abstarak (ilmu
alam).
1. Naturwissenschaften Dan Geisteswissenschaften
Natur adalah ilmu ilmu pengetahuan alam dan objek pembahasannya adalah benda/gejala
alam. Geist ilmu budaya yang pokok pembahasannya adalah produk-produk manusia. Ciri
khas ilmu budaya adalah mempunyai model sendiri yang tidak dapat diambil dari metode
ilmu alam. Ilmu budaya mendekati obyek dengan cara verstehen (mengerti/memahami).
Ilmu alam mendekati obyek dengan cara erklaren (menerangkan).
3. Ilmu-Ilmu Empiris Secara Khusus
Digolongkan menjadi 3 golongan yaitu ilmu alam, ilmu hayat dan ilmu manusia. Ilmu alam
yang dimaksud adalah yang tidak hidup dimana didalamnya terdiri dari ilmu fisika, kimia,
astronomi dan geologi. Ciri-ciri ilmu alam adalah adanya obsesvasi, teori, dan eksperimen
yang satu sama lain merupakan satu kesatuan.
4. Beberapa Pandangan Filsafan Terhada Pengolongan Ilmu Pengetahuan
5. Cristian Wolff
Mengolongkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan besar yaitu ilmu pengetahuan
empiris, matematika dan filsafat. Ia menjelaskan pokok pikiran tentang ilmu pengetahuan
antara lain :
 Semua yang ada di alam ini berada di luar pemikiran kita yang direfleksikan dalam
proses berpikir rasional.
 Pengetahuan memanusiaan terdiri dari ilmu murni dan filsafat praktis.
 Seluruh kebenaran pengetahuan diturunkan dari hukum berpikir.
Klasifikasi ilmu pengetahuan
 Ilmu pengetahuan empiris
Kosmologis empiris, psikologis empris
 Matematika
Murni (aritmatika, geometri, aljabar)
Campuran (mekanika)
 Filsafat
Spekulatif (metafisika)
Umum : ontologi
Khusus : (psikologis, kosmologi, theologi)
Praktis
Intelek/logika
Kehendak : ekonomi,etika,politik
Pekerjaan fisik : teknologi
1. Auguste Comte
Penggolongan ilmu pengetahuan sejalan dengan sejara ilmu pengetahauan itu sendiri yang
menunjukan gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu.
Kemudian disusul oleh pengetahuan yang semakin kompleks dan semakin rumit dan
kongkrit. Karena itu dalam penggolongan ilmu menurut Comte diawali dengan mengamati
gejala yang paling sederhana yaitu gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan
sehari-hari.
Klasifikasi ilmu pengetahuan
 
1. Ilmu Pasti (matematika)
2. Ilmu Perbintangan (asteronomi)
3. Ilmu Alam (fisika)
4. Ilmu Kimia
5. Ilmu Hayat (biologi)
6. Fisika Sosial (sosilogi)
 
Klasifkasi ilmu pengetahuan menurut Comte secara garis besar dapat dikemas sebagai
berikut :
1. Ilmu pengetahauan
2. Logika (maematika murni)
3. Ilmu pengetahauan empiris : astronomi,fisika.kimia,biologi, sosiologi
4. Filsafat
5. Metafisika
6. Filsafat ilmu pengetahauan : pada umumnya, pada khususnya.
7. Karl Raimund Popper
Sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan  ke dalam tiga dunia (world) yaitu
dunia 1 (merupakan kenyataan fisis dunia) dunia 2 (kejadian dan kenyataan psikis dalam diri
manusia) dunia 3 (hipotesa, hukum dan teori ciptaan manusia.
BAHASA
Pengertian Bahasa
Bahasa dapat dicirikan sebagai seragkaian bunyi, lambang di mana rangkaian bunyi ini
membentuk arti tertentu. Rangkaian bunyi ini yang kita kenal dengan sebagai kata
melambangkan suatu obyek tertentu. Bahasa mengalami berbagai perkembangan yang
disebabkan oleh berkembangnya ingatan pemikiran manusia. Dengan bahasa manusia
dapat mengomunikasikan apa yang sedang dipikirkan dan apa yang akan dilakukan terhadap
yang dipikirkan itu. Tanpa bahasa mustahil kita dapat mustahil kitadapat berpikir secara
teratur dandengan bahasa kita bisa melanjutkan nilai-nilai kepada generasi berikutnya.
Bahasa yang jelas apabilakata-kata yang terkandung di dalamnya diungkapkan secara
tersurat untuk mencegah adanya makana yang lain. Berbahasa dengan jelas berarti
mengungkapkan pendapat atau pikiran secara jelas. Jujun S (2013).
Menurut Keraf dalam Sumardyono (2003), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian
pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem
komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Lain halnya menurut Setiawan dalam,Sumardyono (2003), menjelaskan definisi bahasa
yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule
governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang
diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui
kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh
ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan dalam,Sumardyono
(2003), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang
sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat
lambang-lambang atau sibol-simbol (arbiter). Menurut Santoso dalam,Sumardyono (2003),
bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form
and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem
dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam
sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey dalam,Sumardyono (2003).
Menurut Wibowo dalam,Sumardyono (2003), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang
bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan
konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk
melahirkan perasaan dan pikiran. Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija
dalam,Sumardyono (2003), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling
lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat
kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin dalam,Sumardyono
(2003), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai
untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang
dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari
kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda
yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara Pengabean (1981), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang
mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. Pendapat terakhir dari
makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono dalam,Sumardyono (2003),
bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Ciri-Ciri Bahasa Universal :
1. Bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vocal dan konsonan. Misalnya,
bahasa Indonesia mempunyai 6 vokal dan 22 konsonan, bahasa arab mempunyai tiga
vocal pendek dan tiga vocal panjang serta 28 konsonan (Al-Khuli 1982); bahasa
Inggris memiliki 16 buah vocal dan 24 konsonan (Al-Khuli 1982).
2. Bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, kata, frase, kalimat dan
wacana.
Pandangan Terhadap Bahasa Menurut Ahli :
1. Ferdinand De Saussure sangat menekankan bahwa tanda-tanda bahasa secara
bersama membentuk system; bahwa langue, dengan kata lain berwatak sistematik
dan structural. Dengan pandangan terhadap sistematika bahasa ini de Saussure telah
menjalankan pengaruh yang dahsyat. Hal ini mengisyaratkan bahwa sistem bahasa
bukan saja mengacu pada bahasa oral, namun juga mencakup pada sistem
kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan sosio budaya dari kehidupan
manusia.
2. Noam Chomsky berpendapat suatu bahasa yang hidup ditandai oleh kreativitas yang
dituntut oleh aturan-aturan. Aturan-aturan tata bahasa nyata bertalian dengan
tingkah laku kejiwaan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat belajar
bahasa, Bahasa yang hidup adalah bahasa yang dapat dipakai dalam berpikir.
3. Benyamin Lee dan Sapir hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu
budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan
bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan
bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi
persoalan komunikasi atau refleksi tertentu. Hipotesis ini menunjukkan bahwa
proses berpikir kita dan cara kita memandang dunia dibentuk oleh struktur
gramatika dari bahasa yang kita gunakan.
Kelemahan-Kelamahan Bahasa
Karena fungsi dan peranan bahasa begitu luas dan kompleks bagi kehidupan umat manusia,
maka kita akan diperhadapkan pada kesulitan yang sangat berarti mengenai bahasa.
Kesulita itu ialah, bahasa bahasa dalam realitasnya memiliki kelemahan-kelamahan.
Kelemahan-kelamahan itu ditimbulkan oleh si pemakai bahasa atau kelemahan yang timbul
dari diri bahasa itu sendiri.
Pertama, bahasa sebagai suatu system symbol ternyata tidak dapat mengungkap seluruh
realitas yang ada di dunia ini. Ketidakmampuannya itu karena realitas-realitas itu pada
dasarnya merupakan symbol-simbol yang mesti diberi makna. Juga seperti yang
diungkapkan Wittgenstein, bahwa karena bahasa merupakan gambar dunia, subjek yang
menggunakan bahasa tidak termasuk menggambarkan dunia. Seperti mata tidak dapat
diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subjek yang menggunakan bahasa tidak
dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
            Kedua, bahasa ketika digunakan oleh pengguna bahasa seringkali memiliki
kecendrungan emosional dan tidak terarah. Meskipun bahasa digunakan dalam konteks
ilmiah. Kita sering mengemukakan kata-kata (bahasa) yang digunakan dalam perdebatan
ilmiah kurang mengandung arti yang pasti dan rasional yang dapat berakibat timbulnya
tidak masuk akal, terutama apabila suatu argument tergantung pada rangsang emosi dan
tidak memberikan informasi yang logis.
            Ketiga, sering dijumpai ungkapan-ungkapan bahasa dimanipulasi demi kepentingan-
kepentingan tertentu, seperti kepentingan kampanye politik, ras, suku, doktrin ajaran
tertentu, dan lain-lain. Dalam ilmu bahasa peristiwa itu lazim disebut dengan istilah
“eufemisme” bahasa, yaitu ungkapan yang lebih luas sebagai pengganti yang dirasakan
kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya kata “meninggal
dunia” untuk mati, wanita untuk “perempuan”, ”kupu-kupu malam” untuk “wanita pelacur”,
dan “tuna wisma” untuk orang yang tidak memiliki tempat tinggal.
            Keempat, suatu ungkapan bahasa sering dijumpai menibulkan arti ganda, karena
tidak semua ungkapan bahasa mampu melukiskan satu arti. Kegandaan arti tersebut
biasanya ditimbulkan oleh istilah-istilah yang goyah atau lemah rumusan atau masalahnya.
Kelima, ungkapan bahasa sering juga menimbulkan banyak arti atau arti yang sama.
Penggunaan istilah untuk lebih dari satu arti, sementara kesan yang diberikan untuk
mengatakan hanya satu arti yang sama dalam perdebatan. Kekeliruan atau kelemahan tadi
adalah akibat dari anggapan yang salah bahwa kata itu digunakan sepanjang diskusi tertentu
untuk memberikan arti yang tunggal.
            Kelima, bahasa tidak selamanya mampu memberikan respon, seperti selama ini
dianggap sebagian besar orang bahwa ungkapan-ungkapan bahasa yang dilontarkan akan
senantiasa memberikan respons sesuai dengan keinginan si pemakai. Tetapi dalam
kenyataannya sering uangkapan-ungkapan bahasayang dilontarkan oleh si pemakai tidak
memberikan respons sebagaimana yang diinginkan. Seorang perjaka, misalnya, ia menegur
seorang gadis cantik yang selama ini ia idam-idamkan. Tetapi karena gadis terebut tidak
mencintainya, maka teguran dan sapaan tidak direspons sesuai dengan yang diharapkan.
Bagi si perjaka mungkin sapaan tersebut merupakan ungkapan rasa cinta, tapi bagi si gadis
ungkapan itu dianggap teguran biasa disamping jalan.
Keenam, anggapan bahwa setiap ide yang akan diungkapkan oleh pemakai bahasa itu ada
kata atau istilah yang tersedia. Mereka yang berpandangan seperti ini, mengidentifikasikan
arti sebuah istilah atau ungkapan dengan ide-ide yang menimbulkan dan juga ditimbulkan
oleh ungkapan atau istilah tersebut. Padahal dalam ungkapan sehari-hari kita sering
menjumpai ungkapan-ungkapan atau kata-kata yang tidak ditimbulkan oleh ide apapun.
Misalnya, ungkapan penghubung “yang”, ungkapan pengandaian “jika” “dan yang lainnya
(kata-kata semacam itu dinamakan syntegorematic), yaitu kata-kata yang tidak dapat
dikatakan timbul ole ide-ide tertentu.
Ketuju, banyak orang yang beranggapan bahwa setiap kata yang diungkapkan itu me-refer
atau mengacu kepada suatu objek yang konkrit, empirik, dan dapat dibuktikan secara
empirik. Padahal banyak kata-kata yang dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari yang
tidak mengacu kepada objek yang konkrit ada di dunia. Misalnya, ungkapan kata “al-
jannah” (surga) dan “al-nar” (neraka) yang diambil dari untaian firman Tuhan dalam kitab
suci. Kata-kata ini susah untuk dibuktikan sebagai sesuatu ungkapan yang mengacu kepada
dunia konkri. Bahkan mungkin untuk sebagian orang yang tidak mempercayainya ungkapan-
ungkapan itu hanyalah ungkapan kosong yang tidak mengandung makna apapun.
Filsafat dan Bahasa
Fungsi filsafat sebagai suatu sistem pemikiran, atau lebih tepatnya lagi cara berpkir, yang
bersifat terbuka artinya terbuka untuk dipertanyakan dan dipersoaalkan membawah
konsekuensi logis pada tugas utama filsafat yakni untuk menjawab atau mencari jawaban
atas persoalan yang ditanyakan.
Dalam bidang bahasa, manfaat filsafat tidak biasa diragukan lagi. Fungsi fisafat dalam
bahasa yang mendasar adalah sebagai alat untuk menjawab ataupun menyelesaikan
persoalan kebahasaan yang membutukan analisis atau kerja filsafat dalam mencari solusi
antara  lain :
1. Masalah bahasa mengenai hakekat bahasa itu mengapa bahasa harus ada di
manusia, hubungan dengan manusia.
2. Pertanyaan mengenai persamaan bahasa manusia dan luar manusia.
3. Pengertian mengenai bahasa yang bermakna dan bahasa yang benar.
4. Menjawab hubungan antara bahasa dengan akal, hati,intuisi dan fenomena batin
manusia.
5. Menjawab kemungkinan manusia bisa berhubungan dengan bahasa yang beradadi
luar manusia dan bagaiman cara berhubungan.
Selain itu hubungan antara filsafat dengan bahasa adalah :
1. Filsafat merupakan suatu mdel yang digunakan oleh para ahli filsafat untuk
memecakan problematika bahasa.
2. Filsafat sebagai pandangan atau aliran tertentu terhadap suatu realitas, misalkan
filsafat idialime akan mewarnai pandangan ahli bahasadalam bengembangkan teori-
teorinya.
MATEMATIKA
Sejarah Matematika
Matematika seperti juga aspek yang lain memiliki sisi yang tidak terpisah dari sejarah.
Dimulai sekitar 4000 SM hingga kini memuat sumbangan dari ribuan tokoh matematika.
Sejarah matematika menampilkan bagian matematika yang berkaitan dengan
perkembangan matematika hingga menemukan bentuk yang dewasa saat ini yang terekam
dalam kebuadayaan besar Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, India Kuno, Cina Kuno,
Persia dan Eropa serta zaman moderen yang terpusat di Eropa. Sejarah matematika
termasuk bagian dari matematika. Sejarah matematika tidak hanya ada karena keniscyaan
tetapi ia juga penting karena dapat memberikan pengaruh kepada perkembangan
matematika dan pembelajaran matematika.Sumardyono(2003).
Pengertian Matematika
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang
ingin disampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisia yang mempunyai arti
setelah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu metematika hanyalah kumpulan rumus-
rumus yang mati. Matematika mempunyai kelebihan dari bahasa verbal karena matematika
mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran
secara kuantitaif. Dengan bahasa verbal hanya bisa mengungkapkan peryataan yang bersifat
kuantitatif. Sifat kuantitatif dari matematika meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari
ilmu. Ilmu memberi jawaban yang bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah
secara tepat dan cermat. Matematika berfungsi sebagai alat pemikir. Matematika secara
garis besar merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika
deduktif. Ada beberapa aliran dalam matematika antara lain aliran logistik, aliran intusionis
dan aliran formalis.
Kebanyakan ahli sepakat bahwa suatu pengetahuan disebut ilmu apabila lahir dari suatu
kegiatan ilmiah. Kegiatan ilmiah bertumpu pada metode ilmiah yang langkah-langkah
utamanya membuat hipotesis, mengumpulkan data, melakukan percobaan dan memuat
kesimpulan. Apabila kita berketetapan bahawa suatu ilmu harus lahir dari metode ilmiah
maka matematika bukanlah sebuah ilmu.
Matematika merupakan buah pikiran manusia yang kebenarannya bersifat umum(deduktif).
Kebenarannya tidak tergantung pada metode ilmiah yang mengandung proses induktif.
Kebenaran matematika pada dasarnya bersifat koheren/konsistensi yaitu kebenaran yang
didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang telah diterima sebelumnya.Misalkan
pernyataan yang mengatakan 2 + 2 = 4.Pernyataan tersebut bernilai benar bukan karena
kita melakukan percobaan tetapi karena menurut pemikiran logis kita kalau dua ditambah
dua adalah empat.
Walaupun matematika bukan merupakan produk ilmiah tetapi kebenaran matematika
bersifat universal. Kuniversallan kebenaran matematika menjadi lebih tinggi dari produk
ilmiah lainnya. Matematika menjadi ratunya ilmu sebab ia lebih penting dari logika dan
menjadi pelayan ilmu karena dengan matematika ilmu dapat berkembang jauh melebihi
pikiran manusia.
Selain  sebagai produk pemikiran, matematika dapat dipandang sebagai proses berpikir itu
sendiri. Matematika berperan menata pikiran manusia sehingga hasil yang diperoleh benar-
benar dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini logika matematika memegang fungsi
yang sangat penting. Matematika dapat dipandang sebagai sarana dalam membantu
penyelesaian persoalan manusia yang ampuh, karena penggunaan simbol yang
mengakibatkan proses berpikir menjadi lebih sederhana.
Evolusi Matematika
Matematika tidak muncul secara tiba-tiba. Matematika lahir karena ada sebab-sebab yang
melahirkannya seperti halnya produk lain. Mathematics has not grow in a vacuum Wilder
dalam Sumardyono (2003). Ada yang membedakan antara sejarah matematika di satu sisi
dengan evolusi matematika di sisi lain. Kalau sejarah matematika berkaitan dengan record
(catatan) perkembangan matematika secara kronologis maka evolusi matematika lebih
menekankan pada proses perkembangan matematika itu atau secara lebih khusus
membicarakan tentang sebab-sebab perkembangan konsep yang satu (primitif) menuju ke
konsep yang lain (moderen). Mathematics science, like all other living things, has its own
natural laws of grow Moore dalam Sumardyono (2003).Beberapa faktor yang
mempengaruhi perkembangan matematika antara lain :
 Hereditary stress : faktor dari dalam diri matematika
 Enviroment stress : faktor lingkungan
 Diffusion : faktor bergabungnya beberapaide matematika
 Consolidation : faktor meleburnya beberapa ide matematika menjadi ide baru
 Selection : faktor seleksi ide matematika yang tepat atau yang penting
 Simbolic achivement : faktor perkembangan simbolisasi
 Exceptional individual: faktor beberapa orang yang secara tak biasa melihat jauh ke
depan melebihi pemikiran pada jamannya
 Leaps in abstraction : faktor lompatan tingkat abstraksi suatu ide matematika
 Great generalization : faktor generalisasi konsep matematika
Karakteristik Filosofis Matematika
Berangkat dari pertanyaan “ apakah itu matematika “ para ahli telah bergumul dengan ide
dan pemikiran sejak abad ke-19 hingga sekarang. Secara umum ada 3 aliran pemikiran
tentang matematika menurut Sumardyono (2003) adalah :
1. Formalisme
David Hilbert seorang ahli matematika berkebangsaan Jerman menjadi pelopor aliran
matematika ini. Bagi kaum formalis matematika sesungguhnya dikembangkanmelalui suatu
sistem aksioma. Sifat alami dari matematika itu adalah sistem lambang-lambang formal.
Mereka percaya bahwa obyek-obyek matematika tidak ada sebelum diciptakan manusia
melalui aksioma. Mereka mencobah membuktikan bahwa semua bangunan matematika
disusun dari sistem aksioma itu konsisten. Walaupun semua sistem matematika masih
menggunakan sistem aksioma, tetapi menganggap bahwa formalisme menjadi landasan
matematika tidak diterima oleh beberapa alih.
Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1) formalis dalam memahami
obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak
bergantung pada obyek fisik; (2) formalis tidak dapat menjamin permainan matematika itu
konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa (1) lingkaran dan yang lainnya adalah
obyek yang bersifat material dan (2) meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan
kadang-kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian.
Menurut Ernest (1991) formalis memiliki dua dua tesis, yaitu
1. Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sembarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
2. Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari
ketidak konsistenan.
2. Logikalisme atau Logisisme
Dua ahli matematika sekaligus merupakan pelopor dari Inggris menjadi pioner aliran ini atau
landasan matematika ini yaitu Bertrand Russell(1872-1970) dan Alfred North Whiteheaf
(1861-1947) lewat buku mereka Pricipial Mathematica(1903). Menurut mereka matematika
dapat diturunkan dari prinrip-prinsip logika. Menurut kaum logisme matematika itu tidak
lain adalah logika. Menurut mereka matematika merupakan masa pendewasaan dari logika.
Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:
1. Bahwa pernyataan matematika sebagai impilikasi pernyataan sebelumnya, dengan
demikian kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa
menyatakan benar atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua
kebenaran matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
2. Teorema Ketidaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup
untuk mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi
yang sukses mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuk
menurunkan semua kebenaran matematika.
3. Kepastian logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan tidak
dijustifikasi. Program logisisme mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan
merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar
tertentu untuk pengetahuan matematika.
4. Intuisionisme
Sebagai pioner aliran ini adalah Luitzen Jan Brouwer (1881-1966) seorang matematikawan
Belanda. Aliran ini sejalan dengan fisafat umum dari Immanuel Kant (1724-1804).
Intuisionisme mengklaim bahwa matematika berasal dan berkembang di dalampikiran
manusia. Ketepatan dalil matematika tidak terletak dari simbol diatas kertas tetapi di dalam
pikiran manusia.Hukum matematika tidak ditemukan melalui pengamatan terhadap alam,
tetapi mereka ditemukan di dalam pikiran manusia.
Intuisionisme mengaku memberikan suatu dasar untuk kebenaran matematika menurut
versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari aksioma-aksioma intuitif tertentu,
penggunaan intuitif merupakan metode yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini
berdasarkan pengetahuan yang eksklusifpada keyakinan yang subyektif. Tetapi kebenaran
absolut (yang diakui diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada padangan yang
subyektif semata.Anglin, W. S. (1994)
Keberatan terhadap aliran ini adalah tidak memberikan gambaran yang jelas tentang
bagaimana matematika bekerja dalam pikian manusia. Kita tidak mengetahui secara jelas
pengetahuan intuitif bekerja dalam pikiran. Konsep mental seperti cinta dan benci berbeda-
beda untuk setiap manusia. Apakah realistik jika mengatakan setiap manusia memiliki
pemikiran intuitif yang sama.
Bagaimana implikasi teori-teori landasan matematika itu bagi pembelajaran matematika.
Implikasi tidak terjadi secara langsung tetapi akan mempengaruhi pemikiran guru dalam
memandang matematika sehingga mempengaruhi cara guru mengajar. Guru yang hanya
mengangap matematika hanyalah kumpulan angka dan rumus secara tidak langsung telah
menganut paham formalisme yang ekstrim. Guru ini hanya mengajarkan matematika bukan
membelajarkan matematika. Sumardyono (2003).
STATISTIK
Sejarah Perkembangan Statistik
Peluang yang merupakan dasardari teori statistik, merupakan konsep baru yang tidak
dikenal  dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi bahkan Eropa pertengahan. Teori mengenai
kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana Muslim
namun bukan dalam lingkup teori peluang. Perkembangan statistik tidak lepas dari peran
serta para ahli yang mempelajarinya dan menemukan konsep-konsep statistik antara lain :
1. Abraham Dmoitre (1667-1754) yang mengembangkan teori galat atau kekeliruan
(theory of error).
2. Thomas Simpson 1757 menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang
berkelanjutan (continous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuaensi
yang cukup banyak.
3. Pierre Simon d Laplace (1749-1827) mengembangkan kosep Demoivre dan Simpson
lebih lanjut dengan menemukan distribusi normal sebuah konsep mungkin.
Pengertian dan  Fungsi Statistika
Secara etimologi kata statistik berasal dari kata status (Latin) yang mempunyai persamaan
kata dengan state (Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemakan dengan negara.
Awalnya statistik diartikan sebagai kumpulan bahan keterangan (data) baik yang berwujud
angka maupun yang tidak berwujud angka, yang mempunyai arti penting bagi negara. Pada
perkembagan selajutnya kata statistik hanya dibatasi pada kumpulan bahan keterangan
yang berwujud angka.
Dasar dari teori statistik adalah peluang. Konsep statistik sering dikaitkan dengan distribusi
variabel yang ditelaah dalam suatu pupolasi. Statistik mampu memberikan secara kuantitatif
tingkat ketelitian dari kesimpualan yang ditarik, yang pada pokoknya didasarkan pada asas
yang sederhana yakni semakin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat
ketelitian kesimpulan tersebut. Statistik juga memberi kemampuan kepada kita untuk
mengetahuai apakah suatu hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat
kebetulan atau benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Sebagai
bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistik membantu kita untuk melakukan
generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan
secara kebetulan.S.Surismantri (2009).
Statistik juga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat bantu antara lain :
1. Sebagai bank data yaitu menyediakan data untuk diolah dan diinterpretasikan agar
dapat dipakai untuk menerangkan keadaan yang perlu diketahui atau diungkapkan.
2. Alat quliti kontrol yaitu sebagai alat pembantu standarisasi dan sekaligus sebagai alat
pengawas.
3. Alat analisis yaitu merupakan suatu metode penganalisis data
4. Pemecahan masalah dan pembuat keputusan yaitusebagaidasar penetapan
kebijakan dan lankah-langkah lebih lanjut untuk mempertahankan, mengembangkan
perusahaan dalam memperoleh keuntungan.
Peran statistik antara lain terlihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam penelitian ilmia dan
dalam ilmu pengetahuan.
1. Dalam kehidupan sehari-hari : dalam kehidupan sehari-hari statistik memiliki peran
sebagai penyedia bahan-bahan atau keterangan-keterangan berbagai hal untuk
diolah dan ditafsirkan misalnya angka kenakalan remaja, tingkat biaya hidup, tingkat
kecelakaan lalulintas dan lain-lain.
2. Dalam penelitian ilmiah : statistik memiliki peran sebagai penyedia alat untuk
mengemukakan atau menemukan kembali keterangan-keteranganyang seolah-olah
tersebunyi dalam angka-angka statistik.
3. Dalam ilmu pengetahuan : statistik memiliki peran sebagai peralatan analisis dan
interpretasi dari data kuantitatif ilmu pengetahuan, sehingga didapatkan suatu
kesimpulan dari data-data tersebut.
Statistik juga diperlukan untuk :
1. Menjelaskan hubungan antar variabel,misalkan hubungan antara permintaan produk
dan tingkat pendapatan, atau antara jumlah pendudukuk dengan tingkat
pencemaran lingkungan.
2. Membuat rencana atau ramalan, misalkan rencana pembuatan perumahan untuk
lima tahun kedepan dari satu pemerintahan kota yang dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat.
3. Mengatasi berbagai perubahan, misalkan membicarakan tentang tingkat perubahan
upah buruh yang berubah yang dikarenakan oleh perubahan indeks harga barang
secara global.
4. Membuat keputusan yang lebih baik, misalkan pengambilan keputusan tentang
keberlangsungan suatu tempat tetap digunakan sebagai suaka marga satwa atau
tidak.
Pengolongan Statistik
1. Berdasarkan cara pengolahan data statistik dapat digolongkan menjadi :
2. Statistik deskriptif
Jenis statistik yang mempelajari cara pengumpulan data dan penyajian sehingga mudah
dipahami. Statistik deskritif hanya berfungsi menerangkan keadan,gejala atau persoalan.
Penarikan kesimpualanyna hanya berdasarkan data yang ada.
1. Statistik inferensial
Mempelajari mengenai penafsiran dan penarikan kesimpulan yang berlaku secara umum
dari data yang tersedia. Statistik inferensial berhubungan dengan pendugaan populasi dan
pengujian hipotesisdari suatu data atau keadaan fenomena. Penarikan kesimpulan statistik
inferensial ini merupakan generalisasi dari suatu populasi berdasarkan data yang ada.
2. Berdasarkan ruang lingkupnya statistik dapat digolongkan menjadi :
 
1. Statistik sosial
2. Statistik pendidikan
3. Statistik ekonomi
4. Statistik perusahaan
5. Statistik pertanian
6. Statistik kesehatan
 
3. Berdasarka betuk parameternya statistik dapat digolongkan menjadi :
4. Statistik parametrik, bagian dari statistik yang parameter dari populasinya mengikuti
suatu distribusi tertentu.
5. Statistik non parametrik, bagian dari statistik yang parameter dari populasinya tidak
mengikuti suatu distribusi tertentu atau memiliki distribusi yang bebas.
 
 
 
TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Pengertian Teknologi
Teknologi berasal dari bahasa Yunani yaitu technologia yang berarti systematic
steatment atau penanganan sesuatu secara sistematis sedangkan techne sebagai dasar kata
teknologi berarti skill,scince atau keahlia, keterampilan dan ilmu.
Kata teknologi secara harafia berasal dari bahasa latin texere yang berarti menyusun atau
membangun, sehingga istilah teknologi seharusnya tidak terbatas pada penggunaan mesin,
meskipun dalam arti yang sempit hal tersebut sering dingunakan dalam kehidupan sehari-
hari.
Menurut Roger (1983) teknologi adalah rancangan atau desain untuk alat bantu tindakan
yang mengurangi ketidak pastian dalam hubungan sebab akibat dalam mencapai suatu hasil
yang diinginkan. Teknologi bisanya mempunyai dua aspek yaitu hardware dansoftwere.
Teknologi adalah penerapan dari pengetahuan ilmiah kealaman (Natural Science). Surajiyo
(2010).
Sementara, Jacques Ellul (1967) mendefenisikan teknologi sebagai keseluruhan metode
yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap kegiatan manusia.
Menurud Gary J. Aglin (1991) teknologimerupakan penerapan ilmu-ilmu perilaku alam serta
pengetahuan lain secara bersistem dan menyistemkan untuk menyelesaikan masalah.
Sedangkan menurud Vasa (2007) teknologi adalah sebuah proses yang dilaksanakan dalam
upaya mewujudkan sesuatu secara rasional. Teknlogi merupakan ilmu pengetahuan yang
ditransformasikan ke dalam produk,proses,jasa dan struktur organisasi.
Pengertian Informasi
Merupakan fakta atau apapun yang dapat digunakan sebagai input dalam menghasilkan
informasi. Sedangkan datamerupakan bahan mentah,data merupakan input yang setelah
diolah berubah bentuk menjadi output yang disebut informasi. Informasi adalah sejumlah
data yang telah diolah melalui pengolahan data dalam rangka menguji tingkat kebenarannya
dan ketercapaiannya sesuai kebutuhan.
Ciri-ciri informasi menurud Mc.Leod (1977) ada empat yaitu (1) akurat artinya informasi
mencerminkan keadaaan yang sebenarnya. Pengujian dilakukan oleh beberapa orang
apabila sama maka data tersebut dikatakan akurat, (2) tepat waktu artinya informasi harus
tersedia pada saat informasi diperlukan, (3) relefan artinya yang diberikan harus sesuai
dengan yang dibutuhkan, (4) lengkap artinya informasi harus diberikan secara utuh tidak
setengah-setengah.
Pengertian Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu “Communicare” artinya memberitahukan sesuatu
atau menjadi milik bersama. Komunikasi merupakan proses pemindahan dan penerimaan
lambang-lambang yang mengandung makna. Komunikasi mengandung makna menyebarkan
informasi,pesan,berita, pengetahuan dan norma dengan tujuan untuk menggugah
partisipasi agar yang diberitahu tersebut menjadi milik bersama. Pada umumnya komunikasi
mengunakan kata lisan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada
bahasa verbal yang dapat digunakan oleh kedua belah pihak maka bahasa gerak dapat
digunakan untuk menyampaikan pesan yag dimaksud.
Komunikasi merupakan proses pemindahan dan penerimaan lambang-lambang yang
mengandung makna dari komunikator kepada komunian. Schramm menyampaikan
pengertian komunikasi ke dalam tiga hal pokok sebagai berikut :
1. Penyandi : disampaikan dalam bentuk kode atau sandi seperti tulisan, bahasa lisan,
verbal,simbol dan visual simbol.
2. Signal : pesan yang dapat disampaikan oleh gerak badan,tangan, mata dll.
3. Decoder : komunikasi yang menggunakan pesan atau sandi yang harus dimengerti
oleh penerimah pesan tersebut.
Hakekat Teknologi Informasi Dan Komunikasi
Di banyak negara menganggap bahwa memahami TIK, menguasai TIK sertamemiliki konsep
TIK merupakan bagian dari inti pendidikan, sejajar dengan membaca menulis dan
numerasi.UNESCO mengatakan bahwa semua negara maju dan berkembang, perlu
mendapatkan akses TIK dan menyediakan fasilitas pendidikan yang terbaik sehingga
diperoleh generasi mudah yang siap berperan penuh dalam masyarakat moderen dan
mampu berperan dalam negara pengetahuan.
Istila TIK atau ICT (Information And Comunication Technology) atau yang dikalangan bangsa
Asia dan berbahasa Inggris disebut infocom muncul setelah perpaduan teknologi komputer
(baik perangkan kerasmaupun perangkat lunak) dan teknologi komunikasi sebagai sarana
penyebaran informasi. Menurud Kementrian Riset Dan Teknologi TIK sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum adalah semua teknologi yang berhubungan
dengan pengambilan,pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran dan penyajian
informasi.
Ruang Lingkup TIK
MenurutPuskur Kemendiknas TIK mencakup 2 hal pokok yaitu :
1. Teori informasi adalah meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses,
penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi dan pengelolaan informasi.
2. Teknologi komunikasi adalah segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat
bantu untuk memproses dan mentransfer data perangkat satu dengan yang lainnya.
Teknologi informasi dan komunikasi meliputi dua aspek yaitu teknologi informasi dan
teknologi komunikasi. MenurutPuskur teknologi informasi meliputi segala hal yang
berkaitan dengan proses pengunaan sebagian alat bantu manipulasi, pengelolaan dan
transfer atau pemindahan informasi antarmedia.
Sementara menurut Oxford dijelaskan bahwa teknologi informasi adalah studi atau
penggunaan alat alektronika, terutama komputer untuk menyampaikan, menganalisis data,
dan mendistribusikan informasi apa saja, termasuk kata-kata,bilangan dan gambar.
Berdasakan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa TIK merupakan peralatan
elektronik yang terdiri dari perangkat keras dan lunak serta segala kegiatan yang  terkai
dengan pemrosesan, manipulasi,pengelolaan dan transfer atau pemindahan informasi
antarmedia.
TEORI PELUANG
Sejarah Perkembangan
Mengundi dengan sebuah mata uang logam atau sebuah dadu, membaca temperatur
dengan termometer tiap hari, menghitung barang rusak yang dihasilkan tiap hari, mencatat
banyak kendaraan yang melalui pertigaan jalan tertentu setiap jam, dan masih banyak
contoh yang lain, merupakan eksperimen yang dapat diulangi. Semua hasil yang mungkin
terjadi bisa dicatat. Segala bagian yang mungkin didapat dari hasil ini dinamakan peristiwa.
Peluang diperlukan untuk mengetahui ukuran atau derajad ketidakpastian suatu peristiwa.
Di dalam statistik, peluang dipakai antara lain terkait dengan cara pengambilan sampel dari
suatu populasi.Kapantepatnya teori peluang masuk ke dalam dunia statistika belum
diketahui secara pasti. Meskipun teori peluang sudah dikenal sejak abad 17 oleh para
matematikawan, tetapi masih diragukan kapan teori ini berhubungan dengan statistika.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, perkawinan antara matematika peluang
dengan data yang dikumpulkan oleh negara-negara di berbagai penjuru dunia akhirnya
melahirkan ilmu baru yaitu statistika.Bambang S(2007).
Tidak dapat dipungkiri lagi berkembangnya teori peluang diawali oleh kesenangan orang
untuk mengadu untung di meja judi. Lahirnya berbagai teori peluang yang dilandasi dari
kesenangan ini telah banyak mempengaruhi perkembangan ilmu statistika itu sendiri.
Seseorang tidaklah mungkin untuk memahami statistika secara sempurna tanpa memahami
apa arti peluang itu sendiri. Olehkarena itu dapatlah dikatakan bahwa teori peluang adalah
fondasi dari statistika.
Penggunaan teori peluang dalam bidang bisnis sudah cukup lama dikenal oleh para pebisnis.
Meski banyak diantara mereka tidak memiliki latarbelakang matematika namun istilah
peluang, disadari atau tidak, banyak berperan ketika mereka menjalankan aktivitas
organisasi khususnya dalam proses pengambilan keputusan.
Pengertian Peluang
Peluang semata-mata adalah suatu cara untuk menyatakan kesempatan terjadinya suatu
peristiwa. Secara kualitatif peluang dapat dinyatakan dalam bentuk kata sifat untuk
menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu keadaan seperti “baik”, “lemah”, “kuat”,
“miskin”, “sedikit” dan lain sebagainya. Secara kuantitatif, peluang dinyatakan sebagai nilai-
nilai numeris baik dalam bentuk pecahan maupun desimal antara 0 dan 1. Peluang sama
dengan 0 berarti sebuah peristiwa tidak bisa terjadi sedangkan peluang sama dengan 1
berarti peristiwa tersebut pasti terjadi.
Berbicara mengenai peluang kita dihadapkan dalam suatu kondisi yang tidak pasti, akan
tetapi kita hanya diberikan suatu petunjuk atau gambaran seberapa besar keyakinan kita
bahwa suatu peristiwa bisa terjadi. Semakin besar nilai peluang yang dihasilkan dari suatu
perhitungan maka semakin besar keyakinan kita bahwa peristiwa itu akan terjadi. Dewasa
ini, perkiraan tentang akan terjadinya suatu gejala alam bukanlah sesuatu pekerjaan
sederhana akan tetapi telah melalui suatu proses perhitungan yang sangat kompleks. Gejala
sebuah peristiwa tidak hanya dikaji dari satu sisi saja, misalnya pengaruh waktu, akan tetapi
juga melibatkan banyak variabel yang terkait dengan peristiwa tersebut.  Olehkarena itu
peluang yang didasarkan pada latar belakang ilmiah bisa memberikan tingkat keyakinan
yang lebih tinggi bagi orang yang memerlukannya.
Salah satu cara untuk menyatakan peluang dari suatu peristiwa adalah penggunaan diagram
Venn. Meski konvensional, tetapi cara ini ternyata lebih mudah dipahami oleh masyarakat
luas khususnya bagi orang-orang yang bukan berlatar belakang matematika. Diagram Venn
berbentuk persegi panjang untuk menyatakan semua peristiwa yang bisa terjadi dan
lingkaran untuk menggambarkan peluang terjadinya peristiwa tertentu. Pengambaran
diagram umumnya tidak menggunakan skala yang sesungguhnya.
Peristiwa
Istilah peristiwa yang kita kenal sehari-hari seringkali agak berbeda makna  jika kita
berbicara tentang teori peluang. Biasanya orang berpikir bahwa peristiwa adalah suatu
kejadian layaknya peristiwa sejarah, gejala-gejala fisik, pesta dan lain sebagainya. Dalam
statistika, pengertian ini diperluas dengan memasukkan unsur-unsur kesempatan atau
peluang atas terjadinya suatu peristiwa yang didasarkan pada hasil sebuah percobaan atau
eksperimen yang dilakukan secara berulang-ulang.Bambang S (2007).
Untuk keperluan penentuan peluang ada gunanya untuk membagi peristiwa ke dalam dua
jenis peristiwa yakni peristiwa sederhana dan peristiwa majemuk. Peristiwa sederhana tidak
dapat dibagi lebih lanjut lagi ke dalam komponen-komponen peristiwa, sedangkan peritiwa
majemuk selalu memiliki dua atau lebih komponen peristiwa sederhana.
Peristiwa “Kartu Sekop” secara definisi adalah peristiwa sederhana karena hanya ada satu
jenis kartu sekop dalam setumpuk kartu bridge. Akan tetapi peristiwa “As Sekop” dapat
dianggap sebagai peristiwa majemuk karena kartunya haruslah berisikan keduanya yakni
kartu As dan kartu Sekop.  Namun definisi ini tergantung dari pandangan si pelaku
percobaan. Bisa saja seseorang mengatakan bahwa As Sekop sebagai suatu peristiwa
sederhana jika dia mengganggap hal ini sebagai suatu kesatuan. Pembagian jenis peristiwa
ini dimaksudkan untuk kemudahan dalam mempelajari teori peluang selanjutnya.
Peluang Logis, Empiris Dan Subjektif
1.      Peluang Logis
Peluang logis dari sebuah peristiwa adalah rasio antara jumlah peristiwa yangbisa terjadi
dengan jumlah semua hasil yang bisa terjadi, dimana hasil ini dapat diturunkan dari sebuah
eksperimen.
Peluang logis sebenarnya didasarnya pada pertimbangan logika semata, bukan berdasarkan
hasil percobaan. Tetapi hasil ini bisa diuji melalui suatu percobaan. Pelemparan dua buah
dadu yang merupakan salah satu upaya keras tertua dalam pengembangan teori peluang,
bisa diambil sebagai contoh dari penurunan peluang logis ini.  Pada pelemparan dua buah
dadu kita tahu bahwa jumlah angka dari kedua dadu yang bisa muncul adalah 2, 3, 4, 5, …,
12 atau ada 11 peristiwa yang berbeda.
2.      Peluang Empiris
Peluang empiris atau ada pula yang menyebutnya sebagai peluang objektif, hanya bisa
diperoleh melalui percobaan atau eksperimen yang dilakukan secara berulang-ulang, dalam
kondisi yang sama dan diharapkan dalam jumlah yang besar. Dari eksperimen ini akan
dihasilkan informasi berupa frekuensi relatif yang sangat berguna khususnya untuk
keperluan perbaikan sebuah sistem.
Misalnya saja dalam proses pengemasan susu ingin diketahui berapa persen kemasan yang
berisikan lebih dari 150 ml. Dari proses pengisian yang cukup lama, maka bisa dibuat
distribusi frekuensi volume susu yang terisi kedalam kotak atau susu yang tercecer pada
setiap pengisian. Dari sini maka akan akan diperoleh informasi yang sangat berguna untuk
melakukan penyesuaian terhadap sistem kerja mesin pengisi susu tersebut.
3.      Peluang Subjektif
Peluang subjektif adalah sebuah bilangan antara 0 dan 1 yang digunakan seseorang untuk
menyatakan perasaan ketidakpastian tentang terjadinya peristiwa tertentu. Peluang 0
berarti seseorang merasa bahwa peristiwa tersebut tidak mungkin terjadi, sedangkan
peluang 1 berarti bahwa seseorang yakin bahwa peristiwa tersebut pasti terjadi.Definisi ini
jelas merupakan pandangan subjektif atau pribadi tentang peluang.Peluang subjektif
muncul ketika seorang pengambil keputusan dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang
tidak bisa dijawab berdasarkan peluang empiris atau frekuensi empiris.
Sebagai contoh “Berapa peluang penjualan barang X bulan depan akan melebihi 50.000 unit
jika dilakukan perubahan kemasan?”.  Sudah barang tentu eksperimen tentang pengaruh
perubahan kemasan terhadap volume penjualan dengan pengulangan yang sangat besar
jarang dilakukan bahkan tidak pernah dilakukan. Meski menggunakan data penjualan
bulanan bukan sesuatu yang musthail, akan tetapi tidaklah efisien jika perusahaan selalu
merubah kemasan setiap bulannya hanya untuk meningkatkan volume penjualan.
Olehkarena itu, biasanya seorang manajer menggunakan intuisi atau perasaannya dalam
menentukan nilai peluang ini. Jadi tidaklah heran jika seorang manajer menyatakan
“peluang terjualnya barang X melebihi 50.000 unit pada bulan depan adalah 0,40”.
Meski peluang subjektif tidak didasarkan pada suatu eksperimen ilmiah, namun
penggunaannya tetap bisa dipertanggungjawabkan. Dalam menentukan nilai peluang ini,
seorang pengambil keputusan tetap menggunakan prinsip-prinsip logis yang didasarkan
pada pengalaman yang diperolehnya. Seorang pengambil keputusan sudah mengetahui
secara nyata apa faktor-faktor yang mempengaruhi keputusannya sehingga dia bisa
memprediksi apa kira-kira yang bakal terjadi dari keputusan yang diambilnya.Sampai saat ini
pengambilan keputusan berdasarkan peluang subjektif masih dibilang sebagai salah satu
tehnik manajerial yang terbaik.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Daftar Pustaka
 
Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press
 
Bambang S. Soedibjo. 2007. Statistik. Universitas Komputer Indonesia.
Pangabean, Maruli. 1981. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Gramedia.
 
S.Surismantri J. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Pustaka Sina Harapan.Jakarta
 
Sumardyono.2003. Sejarah Topik Matematika Sekolah. Paket embinaan Penataran.
Yogyakarta.
 
Surajiyo.2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta
 

Anda mungkin juga menyukai