Anda di halaman 1dari 9

Nama: Yohanis Elia Sugianto

NIM: 220201017

STRUKTUR PERILAKU MANUSIA

Tulisan ini dibuat berdasar pada ulasan Evan Thompson perihal struktur perilaku
manusia. Ulasan Evans ini sendiri terdapat dalam buku Mind in Life; Biology,
Phenomenology and The Science of Mind. Buku ini diterbitkan oleh Belknap Press of
Harvard University Press pada tahun 2007. Bagian perihal struktur perilaku manusia
adalah bagian dari buku ini dan dapat ditemukan pada halaman 66-87. Ulasan ini sendiri
didasarkan pada buku The Structure of Behaviour yang adalah buku pertama tulisan
Maurice Merleau-Ponty. Buku ini diterbitkan pada tahun 1942. Dalamnya Merleau-Ponty
berusaha menjelaskan hubungan antara kesadaran dengan alam. Titik pijaknya adalah
dengan merevisi cara berpikir klasik tentang materi, kehidupan dan cita (Evan, 78).
Kendati demikian, agar dapat memahami sungguh ulasan Evans ini, dalam
beberapa bagian tulisan, dirujuk pula sumber primer ulasan Evan yang adalah buku The
Structure of Behaviour juga buku tulisan Dr. Thomas Hidya Tjaya, Ph.D yang berjudul:
Merleau-Ponty dan Kebertubuhan Manusia.

Biografi Singkat Merleau Ponty


Merleau-Ponty lahir di Rochefort-sur-Mer, sebelah timur Prancis pada tanggal 14
Maret 1908. Sejak usia 5 tahun ia menjadi anak yatim dan dibesarkan oleh ibunya
seorang diri karena ayahnya yang adalah seorang tentara meninggal. Setelah
menempuh Pendidikan dasar, karena cita-citanya untuk menjadi seorang filsuf, ia
berjuang keras untuk masuk Ecole Normale Superieure, sebuah institusi Pendidikan
tinggi Prancis yang memiliki sistem Pendidikan sendiri berbeda dari sistem universitas
pada umumnya. Sekolah ini terkenal sangat selektif juga bergengsi karena para
lulusannya terkenal mendominasi ragam sektor public dan swasta di Prancis.
Kecintaannya pada dunia akademik dan persahabatannya dengan para tokoh
Filsafat terkemuka semisal Sartre, Claude Levi-Strauss dan Simone de Beauvoir
menjadikan Ponty sebagai pribadi berpemikiran luas. Ini membuat karier akademiknya
terkenal gilang gemilang sehingga dari kalangan para tokoh Filsafat, betapa ia sungguh
dihormati, khususnya dari para filsuf analitik Inggris.
Dalam masa-masa hidupnya Ponty amatlah tertarik dengan Filsafat berbasis
pengalaman hidup konkret, dimana dalam berbagai peristiwa kehidupan, sungguh
individualitas terlibat sehingga tak hanya dipandang sebatas sebagai “teka-teki obejktif
yang hanya perlu dipecahkan” (Thomas, 2020, hlm. 25).
Sepanjang hidupnya, Ponty menulis beberapa karya yang adalah:
- Resensi atas buku Max Scheler: ressentiment in der Moral dan buku Gabriel
Marcel: Etre et avoir yang diterbitkan dalam jurnal La Vie Intellectualle.
- The Structure of Behaviour (1938).
- Phenomenology of Perception (1945).
- Humanism and Terror (1948).
- Sense and Non-Sense (1948).
- Adventures of the Dialectics (1955).
- The Visible and Invisible (1968)
- The Prose of The World (1973)
Ponty sendiri meninggal dalam usia 53 tahun, pada tanggal 3 Mei 1961.

Struktur Perilaku

Atas cara bagaimanakah perilaku manusia dapat dipahami? Dalam menjawab


pertanyaan ini, Evan mengulas pandangan Merleau-Ponty yang menyorot perihal
pentingnya peran tubuh dalam memampukan manusia memahami pengalaman dan
perilakunya. Dengan menyoroti pentingnya peran lingkungan dan kesesuaian
intensionalitas motorik sebagai cara manusia bersikap terhadap dunia, Evan
menunjukkan betapa bagi Merleau-Ponty sungguh menekankan pentingnya interaksi
tubuh dan lingkungan dalam memahami perilaku manusia. Pada point ini, Merleau-Ponty
menyatakan dengan tegas penolakannya terhadap sempitnya pemikiran behaviourisme
yang mereduksi perilaku manusia sebatas rangkaian stimulus-respon saja.
Keseluruhan ulasan Evan ini kiranya dapat menghantar kita pada pemahaman
penting mengenai konsep fenomenologi Merleau-Ponty dimana tubuh, materi dan
lingkungan adalah sungguh merupakan pengungkapan bentuk atau struktur perilaku
manusia.

Bentuk dan Kausalitas Sirkuler


Evan mengawali ulasannya dengan mengangkat fakta bahwa lewat alam kita
dapat memahami multiplisitas antar peristiwa eksternal dan lompatan bersama yang
disebabkan oleh relasi kausalitas. Kenyataan ini oleh Merleau-Ponty dijadikan sebagai
titik tolak untuk menunjukkan bahwa individualitas secara bertahap dicapai lewat
partisipasi tak setara tiga tatanan bentuk alam: materi, kehidupan dan pikiran (Maurice,
1963, hlm. 133). Untuk maksud tersebut, Merleau-Ponty memperkenalkan istilah
“perilaku” (Evan, 2007, hlm. 68). Term ini disampaikan oleh Merleau-Ponty dengan
maksud untuk memaksa kita merevisi kembali pandangan mengenai materi, kehidupan
dan pikiran. Merleau-Ponty menulis: “istilah ini diambil dengan sendirinya secara netral
dalam penghargaan atas distingsi klasik antara ‘mental’ dan ‘psikologi’; lewatnya kita
beroleh kesempatan untuk mendefinisikan kesadaran dan alam secara baru.” Perilaku
karenanya merujuk pada kesatuan peristiwa multiplisit dalam hubungan sebab-akibat
yang efisien. Bahwasanya setiap peristiwa kehidupan senantiasa mencakup dalamnya
kesatuan proses alami, dimana materi, kehidupan dan mental senantiasa nampak dalam
kesatuan kendati dalam porsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya (Evan,
2007, hlm. 67). Karenanya Merleau-Ponty menegaskan: “kesadaran bukanlah realitas
psikologis atau sebagai penyebab, tetapi sebagai struktur.” (Maurice, 1963, hlm. 5).
Penggunaan kata “struktur” oleh Merleau-Ponty memiliki kesamaan arti dengan
kata “bentuk”. Sinonimitas ini oleh Merleau-Ponty dibuat demikian sebagai upayanya
dalam merevisi pemahaman psikologi Gestalt atas tanda. Bagi Merleau-Ponty bentuk
ataupun struktur tak pernah dapat menjadi bagian yang terpisah dari pengalaman.
Alasannya adalah bentuk atau struktur akan senantiasa tercipta entah sistem berubah
sifat-sifat tertentu atau bahkan secara keseluruhan. Bentuk atau struktur karenanya
senantiasa mengandung dalamnya sifat-sifat dari sistem bahkan bilamana dipisahkan
dari sistem itu sendiri. Bentuk atau struktur merujuk pada sistem itu sendiri (Evan, 2007,
hlm. 68). Perilaku karenanya tak dapat dipahami sebagai sesuatu yang terpisah entah
sebagai bagian dari kesadaran saja atau alam sajalah. Pengenalan dan pemahaman atas
perilaku sebagai jembatan antara kesadaran dengan alam hanyalah dapat dikenali oleh
Pemikiran dialektis. Dalam Pemikiran ini entah kesadaran pun alam sama-sama saling
bergantung satu terhadap yang lain, tak dapat didiskreditkan, saling berkorespondensi
satu terhadap yang lain.
Konsekwensi dari pemikiran ini, adalah segala usaha memecah lingkungan dan
memandang unsur-unsur pemecahnya sebagai hal yang saling berbeda satu sama lain
dapatlah dianggap sebagai tindakan yang keliru. Ponty menulis: “Asal mula keseluruhan
dengan komposisi bagian-bagian adalah fiktif. Ini secara sewenang-wenang memutus
rantai penentuan timbal balik” (Maurice, 1963, hlm. 50). Penentuan timbal balik merujuk
hukum internal organisme, yang adalah otonomi organisme (Evan, 2007, hlm. 69). Dalam
konteks ini pengalaman kebersinggungan manusia dengan lingkungan adalah syarat
mutlak munculnya kesadaran atas keberadaan lingkungan, sekaligus ketertarikan
perhatian terhadapnya. Perilaku mengandaikan kebersinggungan organisme dengan
lingkungan. Atas dasar ini, “makna” dapatlah dipahami sebagai hal yang bersifat
“intrinsik” mengingat hanya muncul lewat momen perjumpaan dan kebersatuan
organisme dengan lingkungan (Evan, 2007, hlm. 70).
Berdasar penjelasan tersebut, dua point penting yang digarisbawahi oleh Merleau-
Ponty sehubungan dengan perilaku, yaitu:
• Sifat perilaku adalah morfodinamik. Disebut demikian karena struktur senantiasa
muncul melalui diskontinuitas kualitatif yang umumnya disebut morfologi.
Sementara itu teori-teori dinamis morfologi berada dalam ranah morfodinamika.
Senantiasa ada hubungan era tantara konsep “struktur” dengan “morfodinamika”.
(Evan, 2007, hlm. 71)
• Perilaku merupakan fenomena kolektif yang kemunculannya senantiasa dalam
kesatuan antara otak, tubuh dan lingkungan. perilaku karenanya tidaklah berada
dalam sistem saraf. Perilaku adalah hasil konseptualisasi dan tidak terjadi dengan
sendirinya (Maurice, 1963, hlm. 127). Penegasan ini hendaklah dipahami
sebagaimana dibuktikan oleh Kelso dalam percobaannya yang membuktikan
bahwa pada “tingkat morfodinamik, bentuk atau struktur mencirikan perilaku
sensorimotor dan aktivitas tertentu” (Evan, 2007, hlm. 71).

Perintah Fisik dan Kehidupan


Dalam usaha untuk memahami gagasan tentang bentuk atau struktur dalam fisika,
Merleau-Ponty menyoroti kenyataan dimana sistem fisika senantiasa dijalankan dalam
pengkondisian tertentu terhadap alam dan bagaimana pengkondisian dimaksud sungguh
bergantung pada revolusi internal dari sistem fisika itu sendiri (Maurice, 1963, 145). Oleh
Merleau-Ponty, kenyataan ini menunjukkan betapa dalam Fisika stabilitas struktural
dibangun hanya berdasar pada kondisi eksternal tertentu dari alam. Cara pandang
demikian menunjukkan kelemahan substantial ini, yaitu bahwa kondisi eksternal
menonjolkan diskontinuitas kualitatif dari substrat material. Atas dasar ini, Merleau-Ponty
menegaskan: “Reduksionisme analitis harus ditolak”. Mengapa demikian?
Realitas fisik adalah sejatinya adalah sistem. Disebut demikian karena dalam
realitas fisik senantiasa terjadi perubahan fisik akibat distribusi kekuatan sebagai
ungkapan keteguhan hubungan antar materi. Adanya realitas fisik yang senantiasa
mengandaikan distribusi kekuasaan secara langsung mengandaikan pula dalamnya ada
materi penyusun yang memungkinkan realitas fisik itu sendiri ada. Dengan kata lain
realitas fisik sendiri tersusun atas sekumpulan materi saling berbeda satu sama lain.
Kesatuan kumpulan materi ini lantas membentuk dari padanya kesatuan ruang yang
otonom, terlepas dari pengaruh eksternal. Maka dari itu, segala upaya deformasi atasnya
secara langsung otomatis ditolak. Jika tidak demikian, realitas fisik adalah sesuatu yang
absurd karena tak mengandung dalamnya keteguhan hubungan antar materi.
Otonomitas ruang karenanya menjadikan bentuk fisik dari materi ini, bersifat individual
(Evan, 2007, hlm. 73).
Penggambaran struktur fisik demikian, secara langsung juga mendeskripsikan
pentingnya stabilitas struktur hidup diusahakan dalam keterlepasan dari pengaruh
eksternal. Keterlepasan dimaksud hendaknya dilakukan atas dua cara:
• Mengusahakan keseimbangan diri. Keutuhan bentuk fisik senantiasa
mengandaikan keseimbangan diri. Keseimbangan diri mensyaratkan adanya
kemampuan untuk bersikap otonom atas cara menempatkan materi dalam
hubungan yang teguh dengan pikiran dan kehidupan. Bilamana ini sungguh
diusahakan, tak ada tekanan eksternal yang sanggup memenjarakan manusia,
bahkan manusia dapat melakukan pekerjaannya dalam cara luar biasa melebihi
batasan yang ada serta menciptakan lingkungan yang tepat bagi dirinya sendiri
(Maurice, 1963, hlm. 145-146). Ini adalah transisi dari materi ke kehidupan (Evan,
2007, hal. 73).
• Keterarahan pada keutuhan. Dengan berkaca pada kenyataan dimana keutuhan
realitas fisik yang terungkap lewat otonomitas diri sebagai benteng terhadap
tekanan eksternal, hendaklah disadari bahwa adalah kewajiban bagi setiap pribadi
untuk turut mempertahankan realitas fisik. Ini dapat diusahakan atas cara
membentengi diri dari godaan deformasi yang mengabaikan kuatnya nilai internal
diri. Usaha ini mau – tak mau mendesak kita untuk memikirkan sebuah lingkungan
virtual yang dalamnya keutuhan boleh senantiasa dipandang sebagai nilai yang
harus diaktualisasikan. Evan menggunakan istilah Jerman: Umwelt yang dapat
dimaknai dalam artian: manusia sebagai pusat dari seluruh diri. ini bukan
dimaksudkan untuk menekankan superioritas manusia yang memberinya hak
untuk bertindak atas manusia seturut kehendak pribadi, melainkan
merepresentasikan kembali bentuk dunia sebagaimana sejatinya. Sebuah dunia
yang dalamnya keutuhan tercipta bukan lewat desakan eksternal, melainkan lewat
keterbukaan pada realitas internal diri yang mengandung dalamnya norma dan
vitalitas makna dari keutuhan itu sendiri; Itulah lingkungan yang seimbang (Evan,
2007, hal. 73).
• Hidup sesuai jati diri sebagai manusia. Keutuhan struktur hidup yang senantiasa
mengandaikan keterbukaan pada pemahaman atas norma, mau – tak mau
mengharuskan kita dalam usaha mencapai keseimbangan diri, senantiasa
berusaha agar hidup dalam lingkungan yang sesuai dengan norma yang
memungkinkan keutuhan senantiasa terjaga. Ini mengandaikan sebuah kerelaan
untuk hidup sesuai nilai internal sebagai manusia. Perihal ini Merleau – Ponty
menulis: “Setiap organisme di hadapan suatu lingkungan tertentu, memiliki kondisi
aktivitas yang optimal dan cara yang tepat untuk mewujudkan keseimbangan”
(Maurice, 1963, hal. 48). Agar hidup dapat sungguh menjadi optimal,
keseimbangan perlulah diusahakan dengan senantiasa hidup dalam norma (Evan,
2007, hal. 74).

Ordo Manusia
Ciri khas tatanan manusia terletak pada orisinalitas struktur dan bentuk
perilakunya yang khas karena bersifat simbolik. Pada manusia, sistem simbol ini tak
hanya terkait dengan benda atau peristiwa yang dilambangkan tapi juga dengan simbol-
simbol lainnya. Relasi keterkaitan demikian lantas memungkinkan terciptanya ragam
ekspresi pun representasi dari hal yang sama. Peran simbol atas cara demikian
menegaskan kemampuan mental yang dapat senantiasa menangkap objek yang
mengandung dalamnya ragam aspek dan perspektif. Bagi Merleau-Ponty, keunikan
mental dalam cara demikian terbentuk lewat pemaknaan yang terjadi dalam budaya.
Maka dari itu, perilaku simbolik sejatinya senantiasa menyebabkan terciptanya sebuah
lingkungan yang baru, sebuah lingkungan dimana relasi antar simbol berjalan dalam asas
dasar kebermaknaan. Tindakan diambil manusia berdasarkan kesadaran atas makna asli
dan isi konkret dari simbol-simbol dalam lingkungan itu sendiri (Maurice, 1963, hlm. 162).
Berdasar hal itu, menurut Merleau-Ponty objek asli dari persepsi manusia baik
secara ontogenetik pun fenomenologis senantiasa merupakan tindakan yang disengaja
dari subjek manusia lainnya (Maurice, 1963, hlm. 163). Terjadi demikian karena bagi
Ponty persepsi tindakan dari subjek lain adalah dasar dari persepsi tentang benda-benda
sebagai objek sebagaimana yang hidup dalam budaya. Maka dari itu, cara tepat dalam
memahami persepsi manusia adalah dengan melihat atas cara bagaimana manusia
lainnya mengekspresikan niatnya. Peran niat di sini adalah sebagai “realitas yang
dialami”. Evan dalam menjelaskan ini mengajak kita melihat realitas pertama yang
dialami bayi lewat persepsi visual. Dalam realitas ini oleh bayi, wajah ibu tidak dillihat
sebagai kumpulan kualitas sensorik, melainkan pusat ekspresi dan tindakan yang
disengaja (Evan, 2007, hlm. 77). Lewat analisa terhadap hal tersebut nampaklah bahwa
senantiasa persepsi bersifat fisiognomi karena lahir dari sebuah perjumpaan fisik.
Perjumpaan adalah syarat mutlak adanya penilaian.
Persepsi dalam artian demikian kemudian oleh Ponty dipandang sebagai hal yang
mendorong manusia untuk bekerja. Persepsi dalam hal ini memampukan manusia untuk
melihat lingkungan dalam keterarahan pada masa depan dan segala kemungkinan yang
ada dalamnya. Menurut Ponty karena tindakan kerja adalah sebuah usaha untuk melihat
ke depan, bekerja merupakan sebuah tindakan yang disengaja oleh manusia dengan
maksud menghasilkan sebuah lingkungan yang baru dengan mengubah sifat fisik
kehidupan (Maurice, 1963, hlm. 162). Ini adalah struktur hidup khas manusiawi, karena
lewatnya adaptasi terhadap kehidupan lahir dari cara manusia memandang dirinya dan
dunia. Dunia dipandang sebagai realitas (sosial dan budaya) yang dibuat oleh manusia
dan tak dibiarkan tetap berjalan sebagaimana adanya. Menjadi begitu berbeda dengan
hewan, manusia dengan menyadari dirinya sebagai realitas yang senantiasa bergerak ke
depan, senantiasa berusaha agar melampaui hewan dengan tak jemu-jemunya
menciptakan hal baru bagi kehidupannya. Kebermaknaan realitas sebagaimana yang
disimbolkan oleh manusia dalam budaya adalah hal yang mengharuskan manusia untuk
bertindak dalam keterarahan pada masa depan. Maka dari itu pelampauan atas hari ini
adalah hal yang wajib diperbuat oleh manusia.

Kesadaran dan Struktur Perilaku


Pemahaman atas kesadaran dan atas cara bagaimanakah struktur atau bentuk
perilaku lantas disesuaikan dimulai pertama-tama lewat pemahaman atas materi dan
kehidupan. Persepsi terhadap materi dan kehidupan berdasar pada gagasan
morfodinamika bentuk pada tingkat fisik. Bentuk nampak lewat ekspresi sesaat dari
bagian-bagian penyusunnya. Pada tingkat vital, interioritas bentuk muncul. Interioritas
merujuk pada kemampuan autopoietik individu dan hubungan internal serta normatif
antara individu dengan lingkungannya; sebuah hubungan intrinsik yang mengatasi
eksterioritas timbal balik organisme dan lingkungan.
Perihal autopoietik, yang adalah kapasitas individu untuk mampu merawat diri atas
cara memproduksi bagian penyusunnya sendiri, kendati merupakan kapasitas internal
individu, namun tak berarti memberi alasan bagi individu untuk berada dalam
diskontinuitas kualitas. Sifat interior individu autopoietik adalah dinamis, karenanya
individu autopoietik haruslah senantiasa berjalan dalam dinamisitas. Kontinuitas kualitas
diri haruslah diusahakan dalam sebuah gerak maju menuju masa depan. Pada titik ini
lingkungan ditampilkan sebagai realitas eksternal dinamis yang hanya dapat pahami
berdasar persepsi individu lain terhadap lingkungannya. Persepsi demikianlah persepsi
sejati karena sungguh berdasar pada penilaian asli individu tanpa deformasi akibat
dipandang sebagaimana adanya. Persepsi adalah relasi seluruh tubuh sebuah
organisme dengan lingkungannya (Thomas, 2020, hlm. 56).
Agar dapat memahami lingkungan sebagaimana adanya, manusia berusaha agar
memiliki dalam dirinya kesesuaian perseptual dan motorik terhadap dunia. Ungkapan dari
kesesuaian dimaksud, adalah kesadaran. Bagi Ponty, kesadaran adalah bentuk atau
struktur tingkah laku yang lewatnya sikap manusia disesuaikan karena dalam kesadaran
terjadi dialektika antara lingkungan dan tindakan; hal mana dari padanya manusia
didorong untuk menyesuaikan persepsi dan respon motoriknya terhadap dunia.
Karenanya bertindak sadar berarti bertindak dalam keselarasan persepsi tentang
lingkungan sebagai satu kesatuan utuh. Keutuhan ini kemudian dipertegas lewat
tindakan motorik yang sesuai. Kesadaran karenanya “beresonansi kuat dengan
sensorimotor dinamis kontemporer” (Evan, 2007, hlm. 80).

Naturalisme dan Sikap Fenomenologis


Keseluruhan penjelasan di atas akhirnya menghantar kita pada satu pertanyaan
mendasar ini: Atas cara bagaimanakah gagasan tentang bentuk dapat diterima sebagai
fakta natural dari manusia tanpa harus mereduksinya? Terhadap pertanyaan ini, Evan
menyajikan pandangan Merleau-Ponty mengenai perspektif “sudut pandang penonton
luar”. Dalamnya kita diminta untuk sejenak dapat bersikap mundur dan melihat dari jauh
perihal atas cara bagaimanakah pembentukan ‘bentuk’ sebagai objek bagi pengetahuan
ilmiah di tempat pertama (Evan, 2007, hlm. 81). Oleh Merleau-Ponty dalam perspektif ini
usaha memahami manusia berangkat dari sebuah kondisi dimana kita meninggalkan
sejenak segala pengetahuan kita tentang manusia dan memandang materi, pikiran dan
lingkungan dalam berpura-pura tidak mengetahui apapun tentang manusia. Refleksi
tentang manusia karenanya dilakukan dalam batasan untuk mengembangkan perihal
kesadaran sebagaimana tersirat dari perilaku manusia (Maurice, 1963, hlm. 184).
Perihal bagaimana caranya objek disadari dan ditangkap sebagaimana adanya,
oleh Evan hal yang kiranya haruslah digarisbawahi, yaitu tampilnya objek senantiasa
memiliki “korelasi dengan aktivitas mental yang menginginkannya” (Evan, 2007, 82).
Kenyataan ini menampilkan orientasi transendental manusia. Karenanya pertama-tama
menurut Evan yang ditolak bukanlah keberadaan dunia fisik, melainkan konsep-konsep
objektivis tentang dunia fisik. Maka dari itu pemahaman terhadap dunia fisik sejatinya tak
pernah dapat dibatasi sebatas sejauh manakah dapat dijelaskan oleh konsep-konsep
yang telah ada. Tentangnya Evan menulis: “sesuatu adalah objektif jika berlaku untuk
setiap subjek aktif manusia, bukan sebatas menyangkut sifat intrinsik entitas otonom.”
(Evans, 2007, hlm. 82). Guna memperkuat pendapatnya ini, Evans merujuk pendapat
Bittbol yang berbicara perihal tak dapatlah struktur teori ilmiah dijadikan titik pijak
pemahaman atas dunia fisik, mengingat struktur teori ilmiah senantiasa dibuat sebagai
“kerangka rasionalitas prosedural yang menopang praktik penelitian tertentu (Bittbol,
2003, hlm. 336-337).
Jika memang demikian adanya, apakah ini berarti sains tak dapat dipercaya
sebagai jalan bagi manusia menuju pemahaman atas dunia fisik? Sebagaimana Husserl
yang percaya bahwa kendati dunia fisik adalah sebuah cakrawala luas sehingga tak
dapat direduksi pemahamannya oleh sains, sains “mengalir ke dunia fisik” (Evan, 2007,
hlm. 82), Merleau-Ponty setuju mengenai hal ini, tapi dalam dua kondisi:
• Isomorfisme harus secara ketat dipertahankan
Sains tetap dapat menjelaskan dunia fisik bilamana proses sains “terlokalisasi
secara topologis sebagai bentuk atau pola aktivitas saraf yang dinamis” dan ini
terungkap atas cara senantiasa dunia fisik ditempatkan di depan aktivitas saraf (Evan,
2007, hlm. 83). Bagi Merleau-Ponty sikap sains, atas cara demikian adalah ungkapan
dipertahankannya isomorfisme secara ketat (Maurice, 1963, hlm. 2).

• Konseptualisasi fisiologi harus sesuai dengan psikologi.


Analisis otak dan perilaku jika dilakukan dengan menggunakan gagasan tentang
“bentuk” dapat menjadi sarana yang lewatnya kita diantar untuk kembali pada gagasan
tentang “bentuk”. Dengan meminjam istilah “sosok” dan “tanah”, sebagai bentuk
fisiologis, Merleau-Ponty menjelaskan bahwa selama dua bentuk fisiologis tersebut
dipahami secara memadai sebagai fenomena fisiologis dimana hubungan antara
keduanya berlangsung dalam apa yang disebut sebagai “kesadaran”, ‘sosok’ dan ‘tanah’
akan selalu dipahami sebagaimana adanya. Kesadaran karenanya merupakan
fenomena psikologis yang lantas memampukan kita untuk menjelaskan “sosok” dan
“tanah” sebagaimana yang kita rasakan tentangnya. “Sosok” dan “tanah” bukanlah
dipahami dalam tataran fisiologis yang menekankan pemahaman atasnya berdasar pada
prinsip kausalitas, melainkan dalam tataran psikologis dimana pengenalan dan
pemahaman atasnya berdasar pada kesadaran tentang “sosok” dan “tanah”
sebagaimana adanya “sosok” dan “tanah”.

Lewat semua ini, oleh Evan, Merleau-Ponty menunjukkan struktur perilaku manusia
dalam konsep fenomenologinya adalah sikap yang tepat dalam memahami perilaku
manusia. Alasannya adalah, karena dalamnya materi, kehidupan dan pikiran atau fisik,
vital dan manusia dilihat sebagai sebuah struktur alam yang pemahaman atasnya
didasari pada kenyataan sejauh mana semua itu disadari oleh manusia (Evan, 2007, hlm.
86). Kesadaran atas struktur atau bentuk pada titik ini dasar dari segala usaha untuk
memahami perilaku manusia.

Anda mungkin juga menyukai