Anda di halaman 1dari 14

ESSENSIALISME I. Pendahuluan Filsafat disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan..

Dengan demikian semua jenis ilmu pengetahuan, baik eksakta maupun non eksakta berlandaskan pada filafat, termasuk ilmu pengetahuan. Filsafat pendidikan dalam artian bentuknya yang murni berkembang dengan menghasilkan berbagai alternatif jawaban terhadap berbagai macam pertanyaan filosofis yang diajukan dalam problem hidup dan kehidupan manusia filsafat. Esensial, adalah aliran filsafat pendidikan yang mendasarkan dalam bidang pendidikan yang jawabannya telah melekat dalam masing-masing jenis, sistem, dan aliran-aliran

pandangannya kepada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan didasarkan pada nilai-nilai budaya yang essensial, yaitu budaya yang telah teruji keberadaannya dari segi waktu yang telah diwariskan dari zaman ke zaman. Konsep pendidikan aliran filsafat esensialisme, merupakan perpaduan antara ide-ide aliran filsafat idealisme dengan pandangan filsafat realisme, oleh sebab itu konsep filsafat lebih luas dari satu aliran yang disentesakan. (Tumpu, 1997 : 191-192) Dengan demikan, idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak essensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung essensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan pandangannya masing-masing, karena terdapat perbedaan di antara keduanya. Perbedaan dari kedua aliran tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut ini: Idealisme memandang bahwa dunia yang realisitis ini bukanlah dunia yang sempurna, melainkan dibalik alam ini ada alam yang lain yang merupakan tempat bersemayam seluruh hakikat yang ada, yaitu alam idea. Pandangan ini

lahir dari Socrates dan dikembangkan oleh Plato.

Sedangkan realisme

memandang bahwa pengalaman bukanlah pengetahuan yang merupakan bayangan atau aliran belaka dari alam idea. Idea itu sama sekali bukan realitas dari keadaan yang nyata, melainkan terletak pada pengertian tentang wujud realitas itu sendiri. Pandangan kefilsafatan ini, dicetuskan oleh Aristoteles. Realisme yang menjadi eksponen essensialisme, tujuannya dititikberatkan pada alam dan dunia fisik sedangkan idealisme sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam memiliki kenyataan pada dirinya sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Di dalam dunia fisik terdapat Sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan presepsi-presepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Dalam hal ini jiwa dapat diibaratkan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu merupakan pertemuan antara idealisme dan realisme, dan itulah essensialisme. (Poedjawijatna, 1983: 201-203) II. Pandangan Essensialisme a. Pandangan Ontologi Essesialisme Ontologi Essensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tatanan yang tiada cela, yang isinya diatur dengan rapi secara ekosistim. Pandangan ini menuujukkan bahwa hendaknya sifat, bentuk, dan cita-cita manusia disesuaikan dengan tata alam yang ada. Ontologi essensialisme adalah merupakan kemasan dari pandangan realisme dan idealisme objektif, sebagaimana uraian tentang realisme dan idealisme berikut ini: 1. Realisme yang mendukung essensialisme adalah realisme objektif, karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta manusia. Setiap aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan

adanya tatanan khusus. Dengan demikian, segala kejadian dapat ditafsirkan menurut hukum alam. 2. Idealisme mempunyai pandangan tentang alam semesta yang lebih optimis dibandingkan dengan pandangan realisme. Pandangan idealisme bersifat menyeluruh dan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semeta ini hakikatnya adalah jiwa atau spirit. Pandangan lain idealisme tentang tatanan dunia tersimpul dalam pengertian-pengertian tentang makrosmos dan mikrosmos. Makrosmos menunjukkan keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmos. Mikrokosmos menunjuk kepada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai individu, jasmani, dan rohani adalah mahluk yang semua tata dan kesatuannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta. Pengertian mengenai makrosmos dan mikrosmos merupakan dasar pengertian mengenai makrosmos dan mikrosmos merupakan dasar pengertian mengenai hubungan vertikal manusia terhadap tuhan. b. Pandangan Epistemologi Essensialisme Epistemologi Essensialisme, bertolak pada kepribadian manusia yang mampu menyadari realitas dirinya sebagai mikrosmos dan makrosmos, maka manusia dapat mengetahui tingkat kemampuan rasionya untuk memikirkan kesemestaan alam. Jasmani dan rohani, adalah kunci untuk memahami realitas baik pada kepribadian diri sendiri maupun pada realitas alam semesta. Secara umum dapat dikatakan bahwa jasmani adalah fakta yang fundamental, berpikir sebagai proses saraf yang kompleks. Kepribadian pun sesungguhnya hanyalah istilah dari pola-pola reaksi yang telah terkondisi kepada seseorang, sedangkan behaviorisme berkesimpulan bahwa manusia ditentukan semata-mata oleh hukum alam yang dapat berwujud dalam kehidupan mental serta tercermin pada tingkah laku.

Perbedaan pandangan antara idealisme dan realisme tentang jasmani dan rohani adalah karena idealisme menganggap rohani adalah kunci kesadaran realisme. Manusia mengetahui sesuatu yang melalui ide dan rahani. Sebaliknya realisme berpendapat bahwa untuk mengetahui sesuatu realita hanya melalui jasmani. Dan bagi sebagian penganut realisme, memandang bahwa pikiran itu adalah jasmani yang sifatnya tunduk kepada hukum-hukum phisis. Dengan demikian,unsur rohani dan jasmani adalah realita kepribadian manusia, untuk mengerti manusia,baik secara filosofis maupun secara ilmiah harus melalui kedua unsur tesebut , berdasarkan pendekatan dengan pelaksanaan pendidikan, [Kattsoff,1992; 136-139] c. Pandangan Aksiologi Essensialisme Pandangan ontology dan epistemology dapat mempengaruhi pandangan aksiologi. Pandangan ini menekankan nilai-nilai kebenaran yang berakar dan berasal dari sumber objektif. Unsur-unsur yang tampak sebagai realitas terdapat dalam praktik tingkah laku sosial dan seni, praktik ini telah mewarnai sikap budaya yang dilatarbelakangi oleh pendidikan. Penganut idealisme memandang bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos. Karena itu, seseorang dikatakan baik jika banyak mengadakan interaktif dalam melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, bahwa sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mmpunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. George Santayana memadukan antara aliran idalisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengataan bahwa nilai itu tidak ditandai dengan suatu konsep tunggal, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai , namun idealisme tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif besifat menentukan nilai-nilai atas dirinya sendiri. Sebaliknya , realisme memandang bahwa sumber pengetahuan manusia yang sesuai

terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Bagi realisme perbuatan seseorang, adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa fisiologis dengan pengaruh lingkungan. III. Konsep dasar Pendidikan menurut Essensialisme a. Pendekatan Terhadap Ilmu Pengetahuan Secara essensial, pengetahuan dapat diketahui melalui rasio dan realita, sehingga yang dapat menjadi modal dasar untuk mendekati suatu pengetahuan untuk mengerti tentang rohani kita sendiri. Dengan pengertian tentang rohani kita sendiri akan memberikan kesadaran untuk mengerti realitas yang lain. Manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Dengan demikian, media antara intelek dan realita adalah seberkas penginderan atau pengamatan. b. Pola Pendidikan Pola dasar pendidikan essensialisme hanya berhubungan dengan teori dasar pendidikan, sebab soal-soal praktik pendidikan adalah masalah praktis yang dapat disesuaikan dengan kondisi yang insidental. Pola dasar pendidikan essensialisme dikenal melalui belajar yang populer, diantaranya. Pertama, pada prinsipnya bahwa belajar adalah melatih daya jiwa yang potensial dengan menyerap apa yang berasal dari luar, terutama pada warisan sosial budaya yang telah tersusun dalam bentuk kurikulum. Guru hanya sebagai perantara. Kedua, belajar lebih awal dimulai dari diri sendiri sebagai subjek yang kreatif dan dapat mengerti terhadap hubungannya dengan sesuatu. Begitu pula sebaliknya, harus dapat mengerti bagaimana hubungan alam semesta dengan pribadi beserta kegiatan konsekuensinya. Ketiga, belajar adalah proses penyesuaian dengan lingkungan pola stimulus response.

c. Kurikulum menurut Essensialisme Kaum essensialisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idil dan organisasiyang kuat.. Herman Harne mengatakan, bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas dasar ketentuan ini, kegiatan atau keaktifkan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan. Bogoslousky, mengutarakan dengan tegas, supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian: 1. Pengetahuan, merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia, asal usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas. 2. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera. 3. Kebudayaan, merupakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran, dan penilaian mengenai lingkungan. 4. Bagian yang bertujuan kepada pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun secara teratur satu sama lain, yaitu disusun dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini, dapat diibaratkan sebagai susunan dari alam, yang sederhana yang merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi, bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian, akan bersifat harmonis (Jalaluddin, 1997:88-89)

d. Tujuan Pendidikan Menurut Essensialisme Sekolah menurut essensialisme berfungsi untuk mendidik warga negara agar hidup sesuai dengan prinsip-prinsip hidup dan lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat. Sekolah, merupakan tempat membina manusia dan menstransformasikan kebudayaan, warisan sosial, serta membina kemampuan individu dan penyesuaian diri kepada masyarakat. Secara umum pendidikan bertujuan untuk membentuk pribadi bahagia di dunia dan manusia IV. Kesimpulan 1. Aliran filsafat essensialisme, adalah suatu aliran yang menginginkan agar manusia kembali ke akar-akar budaya yang sudah teruji, dan telah banyak memberikan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan manusia. 2. Essensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan, melihat kenyataan bahwa lembaga-lembaga pendidikan dan praktek kebudayaan modern perlu disrahkan untuk memenuhi kebutuhan jaman. 3. Untuk menyelamatkan manusia dan kebudayaannya, harus diusahakan melalui pendidikan. Hanya pendidikanlah yang mungkin dapat mengubah praktik sosial budaya serta segala dogma perlu dibentuk menjadi kebudayaan modern yang ideal. 4. Konsep pendidikan hendaknya dapat mengakumulasi anatar nilai-nilai idea dengan nilai-nilai realitas, dan menyatukan antara rasio dan rasa, antara zikir dan pikir, untuk melahirkan manusia-manusia yang beriman. di akhirat. Isi pendidikan sebaiknya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan potensi dan kehendak

PERENNIALISME I. Pendahuluan

Salah satu aliran yang terkenal dalam filsafat pendidikan adalah perennialisme. Menurut Sahabuddin (1997:102-103), perennialisme dianggap sebagai jalan mundur menuju kebudayaan zaman lampau (regressive road to culture). Perennialisme melihat kebudayaan sebagai suatu yang sedang krisis dan melanda manusia modern yang sekarang. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perennialisme menyarankan pemecahan dengan jalan kembali kepada kebudayaan masa silam, kebudayaan yang dianggap ideal. Pendidikan harus lebih banyak mengarahkan perhatian kepada

kebudayaan ideal yang teruji. Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal yang dimaksud; pendidikan sebagai regresi cultural. Perennialisme tidak melihat jalan lain kecuali kembali kepada kebudayaan dan kebudayaan abad pertengahan. Motivasi yang mendorong perennialisme kembali ke masa silam, bukan sikap nostalgia, melainkan untuk membina kembali kepercayaan yang teguh padea nilai-nilai asasi abad pertengahan yang praktis dan vital bagi abad ke-20, seperti nilai-nilai yang pernah hidup dalam alam pikiran dan tindakan manusia pada abad tersebut. II. Pengertian dan sejarah Perkembangan Perennialisme Perennialisme berasal dari kata perennial, diartikan sebagai Continuing throughout the whole year atau lasting for a very long time yaitu abadi atau kekal dan dapat pula berarti terus tiada akhir. Dengan demikian esensi kepercayaan filsafat perennial adalah berpegang pada nilai atau norma-norma yang bersifat kekal abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya manusia seperti realita sepohon bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim, datang dan pergi dan berubah warna secara tetap sepanjang tahun dan masa dengan gejala yang terus ada dan sama (Indar,1994:137).

Filsafat Perennialisme ini terkenal pula dengan nama latinnya philosophia Perennis. Aliran ini termasuk pendukung lewat aliran essensialisme. Filsafat ini muncul dari warisan yunani yang diwakili oleh Plato dan Aristoteles (leluhur Perennialisme), kemudian didukung dan diperkuat oleh Thomas Aquinas sebagai perubahan dan repormer utama pada abad ke-13 (Ali, 1993). Plato (427-347) hidup pada zaman kebudayaan yang penuh keraguan, immoralitas, perang dan kejahatan yang mengancam Athena. Seperti Socrates ia pun ingin membina kehidupan manusia di atas tata kebudayaan yang tertib dan sejahtera, yang ideal. Aristoteles (384-322) mewariskan prinsip yang realitistis, yang lebih dekat dengan alam kehidupan sehari-hari manusia. Ia pun berusaha merumuskan prinsip-prinsip ajarannya sebagai norma kehidupan pribadi dan sosial yang tersimpul dalam karyanya Etika dan Politika. Thomas Aquinas mengakui potensi martabat manusia sebagai mahluk intelek sekaligus sebagai mahluk susila. Manusia dapat melakukan reflective thinking tetapi juga manusia tak mungkin menolak dogma sebagai devine truth yang tidak rasional, melainkan superrasional (Syam. 1988:299-305) Demikian mulusnya pengaruh Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas, sehingga mereka dijuluki sebagai peletak dasar filsafat Perennialisme III. Pola Dasar Pendidikan Perennialisme Pola dasar pendidikan perennialisme dibatasi pada prinsip-prinsip umum dari teori dan praktek pendidikan. Bahkan harus diakui bahwa prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan perennialisme tidak selalu secara mutlak konsisten dengan asas-asas filosofis yang menjadi dasar pandangannya. Aristoteles dan Aquinas. a) Pokok Pikiran Plato Plato mengajarkan bahwa manusia secara kodrat memiliki tiga Meskipun demikian perennialisme tetap dipengaruhi oleh ketiga tokohnya; Plato,

potensi; nafsu, kemauan, dan pikiran.

Karena itu pendidikan harus

mengembangkan ketiga potensi itu. Ketiga potensi ini merupakan pula asas kepribadian manusia, karena itu sruktur sosial didasarkan pada pandangan kepribadian ini. Namun perimbangan ketiga potensi itu tidak sama pada setiap individu. Dalam hal ini dikenal tiga tingkatan manusia berdasarkan potensinya; b) Aristoteles Sebagian ajaran Aristoteles meneruskan ide-ide plato; tetapi dengan cara lebih dekat dengan realita dunia, dan tidak lebih supranatural dan ekstranatural seperti konsepsi Plato. Aristoteles terutama menitikberatkan pembinaan berpikir melalui media science dan terutama dengan filsafat. Tentang pembinaan pemimpin yang bijaksana dalam rangka tujun politik dan kehidupan negara, ia sependapat denan gurunya, Plato. c) Thomas Aquinas Persamaan Aquinas dan Aristoteles ialah dalam kepercayaannya tentang tujuan pendidikan sebagai usaha mewujudkan kapasitas (potensi) yang ada dalam individu agar menjadi aktif dan nyata. Peranan guru terutama mengajar, dalam arti memberi bantuan kepada anak untuk berpikir jelas dan mampu mengerti hukum pertama secara intuitif. Aquinas menganalogikan fungsi guru sebagai fungsi dokter. Dokter berfungsi membantu seorang yang sakit supaya sehat, sebab si sakit punya inherent tendency (kecendrungan bawaan) untuk sembuh. Demikian pula tugas seorang guru yaitu membantu perkembangan potensi-potensi yang ada pada anak untuk berkembang. Kedua tugas itu oleh guru dan dokter tak mungkin sukses tanpa adanya potensi yang sudah inherent pada manusia (Syam, 1988:319-321). IV. Teori Belajar Menurut Perennialisme Teori dasar dalam belajar yang utama menurut perennialisme ada lima

yaitu : a. Mental Disiplin sebagai Teori Dasar Penganut perennialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpkir (mental disiplin) adalah salah satu kewajiban tertinggi belajar atau keutamaan dalam proses belajar. Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnnya dipusatkan pada pembinaan kemampuan berpikir. b. Rasionalistas dan Asas Kemerdekaan Perennialisme menekankan prinsip utama, bahwa manusia baik sebagai jenis maupun martabatnya berbeda dengan semua makhluk alam lainnya. Prinsip rasionalitas manusia yang self evident itu melahirkan prinsip kedua yang utama juga, yakni asas kemerdekaan . Secara ontologis dan aksilogis asas kemerdekaan ini termasuk masalah kemerdekaan kemauan (free-will) yang juga mendapat pemecahan secara teologis. Makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, yang membedakan dari makhluk-makhluk lain. c. Belajar untuk Berpikir Bagaimana tugas berat ini dapat dilaksanakan, yakni belajar supaya mampu berpikir. Perennialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka belajar untuk berpikir menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah. d. Belajar sebagai Persiapan Hidup Belajar untuk mampu berpikir bukanlah semata-mata tujuan kebajikan moral dan kebajikan intelektual dalam rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk berpikir berarti pula untuk memenuhi fungsi practical philosophy baik, etika, sosial, politik, ilmu dan seni. e. Belajar melalui Pembelajaran

Perennialisme selalu cenderung untuk membandingkan antara seni mendidik dan seni dalam kesehatan (pengobatan). Teori ini berasal dari Aquinas yang melihat kesehatan sebagai inhern seperti juga potensi kecakapan adalah inherent dalam proses aktualitas. Fungsi guru menurut perennialisme ialah guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensipotensi self=discovery; dan ia melakukan; moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya, karena ia adalah professional yang berkualitas dan superior dibandingkan dengan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih dan pengetahuan yang sempurna. V. Kurikulum Perennialisme Sebagaimana filsafat pendidikan pada umumnnya, filsafat pendidikan perennialisme juga mempengaruhi sekolah-sekolah moderen sekarang, yang pandangan-pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktek pendidikan ; pendidikan dasar dan menengah (ii) pendidikan tinggi dan adult education a. Pendidikan Dasar dan (sekolah) Menengah 1. Pendidikan sebagai Persiapan Perennialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di dalam masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontology, bahwa anak-anak ada dalam phase photensialitas menu aktualitas, menuju kematangan. Pada tingkat pendidikan dasar kurikulum yang diutamakan.the three R.s Bagi Hutchins kurikulum tersebut ditambah lagi dengan sejarah, ilmu bumi, kesusastraan, bahasa asing dan science. Meskipun begitu hendaknya disadari guru bahwa sekolah dasar bukanlah berfungsi sebagai persiapan untuk hidup di dalam masyarakat dengan kebudayannya yang ada. Kemudian ia merevisi itu dengan menyatakan bahwa sebaiknya anak(i)

anak sekolah jangan di sibukkan oleh social studies.

Dengan demikian

kurikulum utam pendidikan dasar hanyalah membaca, menulis, dan berhitung. 2. Kurikulum Sekolah Menengah Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan menengah. Perennialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program, general education dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun. Bagi beberapa tokoh perennialisme ditekankan pada adanya kurikulum tertentu seperti bahasa asing, bahasa latin. Logika, retorika, grammar, matematika dalam rangka latihan berpikir. b. Pendidikan Tinggi dan Adult Education 1. Kurikulum Universitas Program general education dipersiapkan untuk pendidikan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi pada prinsipnya diarahkan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual yang disebut the intellectual love of God. Hutchins menganjurkan adanya lembaga teknis untuk melatih masalah-masalah pendidikan kejuruan, misalnya di bidang hukum, kedokterann keguruan dan lainlain. Teapi pendidikan kejuruan (profesi) ini juga tetap menekankan pembinaan kebajikan dan kebajikan moral. Semua mahasiswa mengalami pembinaan dalam dua tingkat; tingkat sarjana muda dan tingkat sarjana, yang terakhir ini untuk spesialisasi (keahlian). 2. Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education) Tujuan pendidikan orang dewasa ialh meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama selama itu. Menetralisir pengaruh-

pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana, guna mampu mereorganisasi pendidikan anak-anaknya, dan membina kebudayaannya. Malahan Hutchins mengatakan Pendidikan orang dewasa adalah jalan menyelamatkan kehidupan masyarakat bangsa-bangsa (Syam, 1988:329-333) VI. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa : a) Perennialisme melihat kebudayaan sebagai suatu yang sedang krisis dan melanda manusia modern sekarang. Untuk menghadapi sdituasi itu Perennialisme menyarankan pemecahan dengan jalan kembali kepada kebuudayaan masa silam, kebudayaan yang dianggap ideal. b) Filsafat perennialime muncul dari warisan Yunani yang diwakili oleh Plato dam Aristoteles (leluhur Perennialisme) kemudian didukung oleh Thomas Aquinas sebagai pembaru abad pertengahan (abad ke-13) c) Pandanan ontology perennialisme bersendikan atas pengertianpengertian yang pasti seperti benda individual, esensi. aksiden, dan substansi. Sedangkan pengetahuan dipandang mengandung kebenaran bila dapat memiliki evidensi diri sendiri. Pandangan mengenai nilai bahwa Allah swt adalah sumber nilai dan oleh karenanya nilai selalu bersifat teologis. d) Teori dasar menurut perennialisme ada lima yaitu mental disiplin sebagai teori dasar-dasar rasionalis dan asas kemerdekaan, belajar untuk berfikir, belajar sebagai persiapan hidup dan belajar melalui pembelajaran. e) Kurikulum perennialisme mempengaruhi praktek pendidikan ; Education. (1) Pendidikan Dasar dan Menengah dan (2) Pendidikan Tinggi dan Adult

Anda mungkin juga menyukai