Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sarah Lutfiah Ardilla

Nim : 230321807036
ETIKA KEILMUAN: FILSAFAT BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME

Filsafat behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang berfokus pada
pengamatan dan analisisi terhadap perilaku manusia serta dampak dari lingkungan terhadap
perilaku tersebut. Behaviorisme menekankan bahwa perilaku dapat dipelajari dan dipahami
melalui pengamatan objektif dan eksperimen.

Behaviorisme dalam Perspektif Ontologis Behaviorisme sebagai aliran filsafat yang


diterapan dalam teori belajar mendasarkan pada filsafat realisme, positivisme dan
materialisme Secara ontologis memandang sebuah realitas adalah hal yang dapat diindera,
logis dan berdasarkan hukum-hukum materi. Behaviorisme harus memandang manusia dari
sisi yang hidup dan dinamis, dapat dibuktikan secara empiris dan harus berwujud materi.
Sehingga bagi behaviorisme perilaku manusia sebagai pusat kajian adalah hal yang dapat
diindera dapat dibuktikan secara saintifik dengan berbasis hukum-hukum alam.
Behaviorisme dalam Perspektif Epistemologis Epistemologi memberitahu bagaimana
sebuah ilmu atau pengetahuan diperoleh sehingga melahirkan tentang sebuah kebenaran
Behaviorisme sebagai aliran filsafat psikologi memandang manusia dari aspek perilaku yang
menganut anggapan-anggapan pokok sains. Behaviorisme dalam Persopektif Aksiologis
Aksiologi melahirkan sistem tata nilai (system of value). Perilaku secara utuh dijadikan
penilaian personal dalam keterlibatan lingkungan Sehingga secara aksiologis, behaviorisme
mempunyai nilai manfaat bagi dunia pendidikan dengan ide sentralnya bahwa perilaku (hasil
belajar) harus dikondisikan melalui stimulus-stimulus tertentu baik internal dan eksternal
sehingga terbentuk respon yang diharapkan.
Tokoh-Tokoh dalam Filsafat Behaviorisme Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera atau suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat. Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936)
Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan
Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi
yang diinginkan. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Edwin Ray Guthrie (1886-1959) Azas belajar Guthrie yang utama adalah
hukum kontiguiti yaitu Contiguity dapat diartikan sebagai rangkaian peristiwa, hal-hal atau
benda-benda yang terus saling berkait antara satu dengan lainnya. Teori ini dikembangkan
oleh Edwin Ray Guthrie (1886-1956). Guthrie menegaskan bahwa kombinasi stimulus yang
muncul bersamaan dengan satu gerakan tertentu, sehingga belajar adalah konsekuensi dari
asosiasi antara stimulus dan respon tertentu (Hitipew, 2009). Watson mendefinisikan belajar
sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang
dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur
Kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir,
karena dalam belajar suatu proses lebih penting dibanding dengan hasil belajar, sehingga
belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks. Teori ini berpandangan bahwa belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan infirnasi,
emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Adapun ciri-ciri dari aliran kognitivistik yang
dapat dilihat adalah sebagai berikut:
1) Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
2) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
3) Mementingkan peranan kognitif
4) Mementingkan kondisi waktu sekarang
Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Ontologi dari cognitivism berfokus pada bagaimana cara manusia memperoleh informasi
mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya. Bagaimana cara informasi itu disimpan dan
diproses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan bahasa
dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat diamati dan juga
yang tidak dapat diamati. Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang
terlihat dalam usaha atau cara untuk memperoleh pengetahuan. Epistemologi cognitivism
membahas proses yang terlibat dalam usaha atau cara untuk memperoleh pengetahuan
tentang bagaimana manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana
memprosesnya serta bagaimana menyampaikannya. Kegunaan dari cognitivism diantaranya
adalah sebagai berikut: Kognisi atau proses mental merupakan masalah pokok dalam studi
cognitivism. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tak akan lepas dari aspek
kognisinya.
FILSAFAT EKSISTENSIALISME DAN PERENIALISME

Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena
ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti
protes terhadap rasionalisme. Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk
memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang pelakunya, dibandingkan cara tradisonal yaitu
dari sudut penelitinya. Eksistensialisme memberi perhatian terhadap masalah-masalah
kehidupan manusia modern. Eksistensialisme menekankan tema eksistensi pribadi yang
dibandingkan dengan eksistensi manusia secara umum, kemustahilan hidup dan pertanyaan
untuk arti dan jaminan kebebasan manusia, pilihan dan kehendak, pribadi yang terisolasi,
kegelisahan, rasa takut yang berlebihan dan kematian. Pusat pembicaraan eksistensialisme
adalah keberadaan manusia, dan pendidikan itu sendiri hanya bisa dilakukan oleh manusia,
maka tampaklah jelas bahwa terdapat hubungan antara eksistensialisme dengan pendidikan.
Pendidikan dan eksistensialisme bersinggungan satu sama lain dalam masalah-masalah yang
sama, yakni manusia. Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat eksistensialisme dapat
ditinjau dari berbagai implikasinya, yaitu terhadap 1) Tujuan Pendidikan, 2) Pendidikan dan
Sekolah, 3) Peranan Pendidik/Guru, 4) Peranan Peserta Didik, 5) Kurikulum, dan 6) Materi
Pembelajaran.
Filsafat Perenialisme Berdasarkan etimologinya, kata Perenial berasal dari Bahasa
Latin Perenis yang memiliki arti eternal atau abadi. Kata ini juga dapat diartikan sebagai
tumbuh terus melalui waktu. Lebih lanjut, filosofi perenialisme disebut juga dengan filosofi
keabadian. Esensi aliran ini adalah menerapkan nilai yang bersifat kekal dan abadi (Siregar,
2016). Ontologi Filsafat Perenialisme Perenialisme membedakan realitas dalam aspek
perwujudannya dengan beberapa istilah ini, yakni Benda Individual (Individual Thing),
Esensi (Essence), Aksiden (Accident), dan Substansi (Substance). Epsitemologi Filsafat
Perenialisme Epistemologi dalam filsafat Perenialisme mengungkapkan bahwa kebenaran
harus bersifat mutlak dan asasi, dimana diperlukan adanya dalil yang logis sehingga sulit
diubah atau ditolak kebenarannya. Filsafat perenialisme cenderung memandang pengetahuan
yang didapatkan melalui metode deduktif memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan metode induktif. Hal ini dikarenakan kebenaran dalam metode deduktif bersifat
analogical analysis, yang dapat dipertahankan ketetapannya. Sedangkan metode induktif yang
didapatkan melalui langkah empiris masih bersifat tentatif. Aksiologi Filsafat Perenialisme
Berdasarkan tinjauan aksiologi, nilai didasarkan pada prinsip yang bersifat universal dan
abadi. Perilaku manusia berasal dari potensi yang dimiliki oleh manusia, baik maupun
buruknya. Potensi kebaikan dan keburukan ini telah menjadi kodrat manusia. Aksiologi dari
Perenialisme juga memandang nilai berdasarkan prinsip supernatural, sehingga aksiologi
dalam perenialisme kerap dihubungkan pada theology
Prinsip Pendidikan Perenialisme Pendidikan dalam filsafat Perenialisme bertujuan
untuk mewujudkan manusia yang berkarakter dan mampu bertahan. Tujuan lainnya adalah
untuk meningkatkan kemampuan berpikir manusia yang mana merupakan bagian terpenting
dari sifat dan kemampuan alamiah manusia. Berdasarkan filsafat Perenialisme, nilai-nilai
kebenaran bersifat universal dan abadi, sehingga internalisasi dari nilai ini akan menjadi
tujuan pendidikan yang sejati. Oleh karena itu, pendidikan seyogyanya membantu
menyiapkan peserta didik dalam melakukan internalisasi nilai ini, sehingga dapat mencapai
kebajikan dan kebaikan dalam hidup (Yasyakur, dkk., 2021). Sekolah menjadi tempat dimana
proses ini dapat terjadi, sehingga individu yang mengetahui kebenaran akan dapat
meneruskannya ke generasi selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai