Anda di halaman 1dari 11

TUGAS FILSAFAT ILMU

SISTEMATIKA PERSOALAN DASAR ONTOLOGI, EPISTOMOLOGI


DAN AKSIOLOGI

DISUSUN OLEH:
HILDA SAHIDA PUTRI
24040122420024

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FISIKA


DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2023
I. Pengertian Filsafat
Dalam sejarah filsafat dan ilmu selalu berjalan bersamaan, beriringan, saling membutuhkan
dan berkaitan. Sehingga Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam mencari kebenaran.
Secara historis ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat
bertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan
kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman. Hal demikian menjadi tampak bahwa
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat adalah pemikiran terhadap suatu
pemikiran, kepercayaan, dan sikap yang sudah dijunjung tinggi kebenarannya melalui
pencarian ulang dan analisis konsep dasar untuk menciptakan kebenaran. Tujuan filsafat adalah
menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran itu disusun secara sistematis.

Kata Philosophia yang berarti philein adalah mencintai dan sophos adalah kebijaksanaan
yang berarti filsafat juga memiliki arti mencintai pencarian menuju penemuan kebijaksanaan
atau kearifan. Mencintai kearifan di sini tentunya bermakna mencintainya dengan melakukan
proses pencarian terhadap kearifan sekaligus makna mendasar produknya sendiri. Proses
pencarian tersebut, yang dicari adalah kebenaran-kebenaran prinsip yang bersifat general.
Prinsip yang bersifat umum ini harus dapat dipakai untuk menjelaskan segala sesuatu kajian
atas objek filsafat yang dicari. Secara prinsip Filsafat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Esensial
Secara etimologi Esensial berasal dari Bahasa Inggris yaitu inti atau pokok dari segala
sesuatu. Pemikiran esensial dalam filsafat berarti pikiran kita berusaha memahami persoalan
hingga keakar atau substansinya dan mengesampingkan unsur-unsur aksidensi/subjektif,
pelengkap. Setiap permasalahan yang kita hadapi mengandung dua unsur yaitu substansi dan
aksidensi. Sebagai ilmuwan dalam menghadapi persoalan kita harus mencari substansinya
dengan berfikir secara esensial. Ciri berfikir esensial bersifat mengakar, langsung ke inti
masalah berdasarkan prinsip, objektif dan mendasar. Etika kita terjebak dalam persoalan
aksidensi, hal ini akan memunculkan masalah-masalah baru dan menjauhkan dari masalah
pokok yang sesungguhnya. Cara berfikir esensial dilakukan dengan menggunakan akal,
bekerja secara rasional dan logis. Secara rasional pikiran mencoba menanggalkan hal-hal
yang bersifat subjektif ketika mengadapi suatu masalah seperti emosi, perasaan, latar
belakang budaya, kepercayaan atau keyakinan, maupun konflik kepentingan agar supaya
pikiran kita jernih dan objektif, fokus pada akar persoalan. Sedangkan secara logis, pikiran
akan bekerja secara sistematis, tidak tumpang tindih dan merupakan satu kesatuan yang utuh.
Berfikir secara logis akan mengarahkan pikiran kita kepada proses yang runtut. Pikiran
esensial sangat berguna untuk menghadapi persoalan dan situasi yang komplek karena
mampu pikiran mampu menembus batas-batas empirik menggapai unsur-unsur hakiki di area
substantive.
b. Komprehensif
Komprehensif artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara komprehensif dalam
filsafat merupakan usaha untuk mengurai dan menjelaskan masalah secara keseluruhan
dengan melibatkan cara bekerja secara interdisipliner maupun multi disipliner sehingga
diperoleh penyelesaian secara utuh, tidak parsial atau menyisakan masalah. Cara pandang
komprehensif tidak melihat masalah dari satu sudut pandang saja melainkan secara
multidimensional. Berfikir komprehensif semakin urgent ketika dihadapkan persoalan yang
makin kompleks. Misalnya, persoalan kemiskinan. Selain dilihat dari segi ekonomis juga dari
sisi lainnya seperti sosial, psikologis, sosiologis, kultural, geografis. Dengan melibatkan
berbagai ilmu yang terkait dengan masalah dan mengintegrasikannya maka kita akan
memiliki sudut pandang yang beragam namun komprehensif sehingga akan memecahkan
masalahnya secara tuntas dan utuh.
c. Normatif
Pengertian normatif adalah suatu cara pandang yang berpegang teguh pada kaidah yang
berlaku dalam mengatasi suatu masalah melalui pendekatan normatif berarti melihat suatu
masalah bukan dari fakta persoalannya atau bukan apa adanya, namun dari apa yang
seharusnya. Normatif ini mengandung nilai etik moral dan religi. Proses berfikir normatif
dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan apa yang seharusnya bukan apa
faktanya. Atau dengan kata lain ingin memperoleh jawaban berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan etis dan bukan pertimbangan rasional. Dengan berfikir normatif, manusia
mampu mengolah pengetahuan dan pemikiran manusia menjadi makin mendalam serta makin
bermakna. Kemudian mengembangkan serta mengaplikasikan hasil pemikirannya. Manusia
mampu melakukan perubahan dan peningkatan kearah kehidupan yang lebih baik sesuai
sudut pandang normatif dalam kehidupan manusia.
II. Hakekat Ilmu
Hakekat adalah makna yang sebenarnya atau juga makna yang paling mendasar dari sesuatu
atau kenyataan yang sebenarnya atau sesungguhnya, ilmu adalah suatu pengetahuan, baik
natura atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta tersusun secara sistematik menurut kaidah
umum dan memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai bukti
empiris. metode pendekatan ilmu berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan
berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survei, studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-
pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang tertib. Unsur dari hakekat
ilmu adalah mencerdaskan, mensejahterakan dan memartabatkan.
Ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas
apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada“ dengan perkataan lain bagaimana
hakikat objek yang di telaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas
tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga
unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya,
maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya

III. Uraian Sistematika Persoalan Ontologi


Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti
“ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu
tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Ontologi adalah
cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya
menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-
pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini; apakah realitas yang tampak ini suatu
realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini terdiri dari satu unsur
(monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme).”
Ilmu secara ontologis membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-
daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada
dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan
lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang
mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah. Ilmu dalam
kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan
keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia,
merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Secara ontologis
ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan
hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana
adanya.

Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris. Objek
penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia
tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris,
sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris. Dalam
ontologi ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara: metodis, sistematis, koheren, rasional,
komprehensif, radikal, universal. Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan
dua macam:

1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau bahan
yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang terhadap
obyek material.
Beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu:

1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang
lainnya
2. Menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu.
3. Determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan.
Asumsi tersebut dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan berbagia
disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal yang Pertama, asumsi harus relevan
dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan
merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus disimpulkan dari “keadaan
sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”.Contoh ontologi yang
sering diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu meja. Dalam ontologi meja yaitu
menggunakan realitas tentang meja. Realitasnya adalah terdapat gambara atau ide yang
membuat kita mengenali sebuah meja. Tidak peduli berapa banyak model meja yang ada, tidak
peduli berapapun ukurannya, warnanya, dan fisiknya yang berbeda, benda tersebut tetaplah
sebuah meja. Inilah yang menjadi realitas dari ide dan gambaran yang ada.

IV. Uraian Sistematika Persoalan Epistomologi


Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti
pengetahuan dan “logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa
Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau
meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual
untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Epistemologi sering juga disebut
teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna
pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis
pengetahuan, dan lain sebagainya. epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan
mencoba menentukan kodrat dan pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah pada dasarnya merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh
pengetahuannya berdasarkan kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi
yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun,
menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut,
melakukan verifikasi terhadap hipotesisuntuk menguji kebenaran pernyataannya secara
faktual. Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam
mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti
evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual.
Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung
dalam hipotesis. Verifikatif faktual membuka diri terhadap kritik pada kerangka pemikiran
yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap
kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus)
berdasarkan cara berpikir kritis. Proses kegiatan keilmuan yang berkaitan dengan moral
dalam setiap upaya ilmiah harus ditunjukkan, untuk menemukan kebenaran yang dilakukan
dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup
berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup
untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.

Landasan yang ada dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan
mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh
kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran
ilmiah, kebaikan moral, dan keindahan seni. Untuk dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang
dapat diandalkan tidak hanya cukup dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya
berpikir secara empiris saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai
kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan
didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara
rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Langkah inilah
yang ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga disebut dengan metode ilmiah. Secara
sederhana semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu:
1. Harus konsisten dengan teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya
kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
2. Harus cocok dengan fakta empiris sebab yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak
didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah sebagai
berikut:
1. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
2. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
3. Penyusunan atau klarifikasi data
4. Perumusan hipotesis
5. Deduksi dari hipotesis
6. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi).
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut mencoba menjawab
pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan.
Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan yaitu aliran:
1. Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber pengetahuan manusia
ialah pikiran, rasio dan jiwa.
2. Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari
pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca inderanya.
3. Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia
itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia inklusif di dalamnya
aliran-aliran:
1. Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah gambaran
yang baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang baik tergambar
kebenaran seperti sesungguhnya
2. Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah kejadian dalam jiwa
manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia semuanya terletak di luar dirinya.
Contoh epistemologi dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan bagaimana kita
mendapatkan ilmu pengetahuan contohnya yaitu kursi. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita
bisa tahu bahwa benda tersebut adalah kursi, berdasarkan hal apa kita bisa memiliki pemikiran
dan anggapan bahwa itu benar-benar sebuah kursi. Pertama tentu dengan menangkap
keberadaan tentang kursi melalui pancaindra kita setelah itu mulai dilakukan analisa yang
dilakukan akal kita. Akal kemudian mengkategorikannya menjadi sebuah ilmu pengetahuan
yang membahas tentang kursi. Inilah yang menjadi praktek epistemologi dalam kehidupan
sehari-hari sama seperti benda-benda lainnya.

V. Uraian Sistematika Persoalan Aksiologi


Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “aksios” yang berarti nilai
dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Dengan kata lain, aksiologi adalah teori nilai. Aksiologi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1995)
adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika. Menurut Wibisono seperti yang dikutip Surajiyo (2007), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan
value and valuation. Sehingga Aksiologi adalah salah satu cabang studi ilmu filsafat yang
mempertimbangkan hakikat nilai dan benda-benda apa saja yang memiliki nilai. Secara luas,
para aksiolog mementingkan segala bentuk nilai, termasuk nilai estetika, nilai etika, dan nilai
epistemik.
Ilmu pada dasarnya harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.
Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia
dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan
alam.Pengetahuan ilmiah untuk kepentingan manusia diperoleh, disusun dan dipergunakan
secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi
milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal
berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama. Berkaitan dengan
etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi dua kelompok:
a. Ilmu Bebas Nilai
Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya
mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilai-nilai di luar bidang
keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para ilmuan berjuang untuk
menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang bebas
nilai”. Tetapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan
mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan,
dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan ini
diarahkan. Sehingga ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi
haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai.
b. Teori tentang nilai
Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya
sehingga fakta mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai. Namun
bagaimanakah kriteria benda atau fakta itu mempunyai nilai.
Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Nilai Etika
Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan
memandangnya dari sudut baik dan buruk. Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain
manusia (binatang, benda, alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin
dihukum baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakan ia mencuri, mencuri itu nilai
etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing
mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita
yang tidak hati-hati, tidak mengunci pintu.
2. Nilai Estetika
Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan
pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika
diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika
dinyatakan dengan keindahan. Syarat nilai estetika terbatas pada lingkungannya, disamping
juga terikat dengan ukuran-ukuran etika. Etika menuntut supaya yang bagus itu baik. Lukisan
porno dapat mengandung nilai estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak etika.
Sehingga kadang orang memetingkan nilai panca-indra dan mengabaikan nilai ruhani. Orang
hanya mencari nilai nikmat tanpa mempersoalkan apakah ia baik atau buruk. Nilai estetika
tanpa diikat oleh ukuran etika dapat berakibat mudarat kepada estetika, dan dapat merusak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada manusia itu sendiri.
Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai nilai yang pasti dan dapat
dipertanggungjawabkan yaitu al-Qur’an dan hadis.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang
negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan.
Manfaat lain dari aksiologi adalah:
1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang
hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak
berorientasi pada kepentingan langsung.
2. Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah
kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah
kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan
kepentingan politik.
3. Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat
pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.
Teori aksiologi berisikan tentang etika dan estetika. Apabila kita sudah memahami dan
mengetahui tentang suatu ilmu pengetahuan kemudian dilanjutkan dengan kajian aksiologi,
aksiologi ini yang akan membahas tentang manfaat yang didapatkan dari ilmu pengetahuan
tersebut yang didapatkan.Apakah ilmu pengetahuan tersebut dapat memberikan manfaat atau
malah sebaliknya.

VI. Kesimpulan
Filsafat Ilmu memiliki dasar untuk bisa berfikir secara esensial, komprehensif , normatif,
rasional, empiris dan objektif. Dimana landasan utamanya adalah Ontologi, Epistomologi dan
Aksiologi. Manfaat belajar Aksiologi yaitu untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan
manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur
kemanusiaan.
VII. Daftar Pustaka
1. Adib, Muhammad. 2014. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: rajawali Pers.
3. Gazalba, Sidi. 2014. Sistematika Filsafat Buku: IV. Jakarta: Bulan Bintang.
4. Saputra, Mulyana.2014. Epistomologi dan Antologi Etika dan Logika dalam
Perkembangan Ilmu. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
5. Syafii, Inu Kencana. 2004. Pengantar Filsafat. Cet. I; Bandung: Refika Aditama.
6. Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Surabaya: Prestasi Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai