Anda di halaman 1dari 4

Manuskrip

Lontara Tana Bone

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Manajemen manuskrip lokal

Kelompok 4:

1. Rismayani 40400120057
2. Rena Annisa Zalzabilah 40400120059
3. Nurhikmah M 40400120067
4. Nur Afifatul Fauziah 40400120079
5. Dheananda Nacita Dwiranti 40400120088
Mandar 40400120089
6. Dian Eka Rida Sari 40400120091
7. Dzul Mulki

JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022
INTISARI
Lontara Latoa merupakan kitab politik yang berisi tentang petuah, ajaran, protokoler dan
bahkan arahan bagi para pejabat negara Bugis. Latoa dikodifikasi oleh Arung Pancana Toa
Colli’ Pujie pada tahun 1872. Walaupun kehadiran Latoa secara lisan telah ada pada zaman raja
Bone KetujuhArung La Tenrirawe Bongkangnge.

Latoa sebagai salah satu diantara sekian banyak Lontarak (rontal) atau manuskrip orang Bugis
- Makassar, memiliki arti khusus, karena telah dijadikan Rapang (pedoman) bagi orang
Bugis- Makassar dalam rangka kepemimpinan masyarakat dan kekuasaan. Latoa telah berperan
sebagai pedoman bagi seseorang raja dalam menjalankan kekuasaan memerintah dan
telah menjadi penuntun bagi rakyat untuk menentukan sikap terhadap bentuk kekuasaan yang
diikuti atau tidak sudi ditaatinya. Sebagai rapang, Latoa mengandung kalimat-kalimat hikmah,
buah-buah pikiran, petunjuk-petunjuk, bahkan terdapat doktrin-doktrin raja dan orang-orang
bijaksana pada masa lalu (sekitar abad ke 14 sampai dengan abad ke 16) di kalangan Bugis-
Makassar. Lontara Latoa juga menjadi pedoman pemerintah di seluruh tanah Bugis dan Luwu
sebagai pelengkap isi perjanjian antara raja dan rakyat. Terutama di Soppeng, mungkin karena
dalam Latoa dituliskan juga ajaran moral pemerintah La Waniaga, Arung Bila, Mangkubumi
Soppeng pada abad XVI (sezaman dengan La Mellong Kajao Laliddong, La Paturusi To
Maddualeng ( Wajo) danLa Pagala Nenek Mallomo (Sirenreng).

Latoa juga juga dipergunakan di Wajo, sepanjang tidak bertentangan dengan


perjanjianperjanjian orang Wajo dan La Tiringeng To Taba' Arung Saotanre (abad XV)
pada tahun 1476. Setelah Batara Wajo ke-3 La Pateddung To Samallangik dipecat, Wajo
berbeda dengan kerajaan lain, karena Arung Matoa tidak boleh mewariskan/diwariskan, tetapi
harus dipilih. Lagi pula, Wajo mengenal konsep baru yaitu hak-hak asasi manusia, konsep
public servant (kerajaan adalah abdi
rakyat) dan adek -lah yang dipertua. Arung Matoa tidak mempunyai kekuatan besar, juga
Wajo tidak mempunyai arajang (yang dianggap sebagai pemilik kerajaan). Orang yang dianggap
pemilik kerajaan di Wajo adalah arumpanua (raja dan rakyat semuanya). Pemegang kekuasaan
tertinggi adalah Dewan Pemangku Adat yang anggotanya berjumlah empat puluh orang,
diantaranya adalah wakil-wakil limpo daerah bagian.

Melalui pengkajian mendalam dari Latoa dapat direkonstruksi bebarapa kerajaan besar
(utama) Bugis-Makassar dan kerajaan keluarga lainnya pada masa lampau. Seperti Bone,
Gowa, Luwu, Wajo, Soppeng. Kerajaan itu telah dibangun berdasakan lima aspek
pangadereng yaitu adek, Bicara, Wari, Rappang dan sarak. Pangadereng dengan lima aspeknya
itu memperoleh kekuatan gerak dan dorongan dari apa yang disebut sirik. Konsepsi sirik
seperti dinyatakan dalam pangadereng dapat ditanggapi sebagai etos budaya yang menjadi
sumber motivasi yang amat kuat dalam menetapkan pola-pola prilaku dan mewarnai keputusan-
keputusan, tindakan-tindakan atau perbuatan orang Bugis-Makassar. Konsep sirik
menghadapi hampir seluruh masalah dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.
Rekonstrukasi itu dapat pula meliputi berbagai pranata dan lembaga kekuasaan. Aspek
tersebut ternyata masih memainkan peranan dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar
sampai pada zaman mutakhir ini, walaupun sudah semakin samar. Pengaruh itu terutama
meliputi bentuk-bentuk sikap hidup seperti:

(1) sikap spontanitas yang tinggi,


(2) struktur dan stratifikasi sosial yang dipertahankan dengan teliti,
(3) prilaku dan kebiasaan apriori, dan

(4) sikap kekeluargaan yang tinggi dan keras.

LATOA : LONTARA TANA BONE membahas Latoa sebagai bahan utama lontarak
hukum dan moral adalah sejenis buku yang ditulis dengan huruf sulapak eppak , isinya
meliputi ajaran kesusilaan, pemerintahan, hukum acara, perjanjian antara kerajaan dan petuah
-petuah pada abad XV dan XVI yang telah diwariskan pada generasi berikutnya sampai
sekarang. Penetapan naskah Latoa sebagai sumber data utama dipandang tepat, karena
beberapa alasan:

1. Karena Latoa sebagai Lontarak yang ditulis dalam bahasa Bugis, yang
memuat sistem Pangngaderreng secara lengkap dan mengalami penulisan
ulang setelah masuknya Islam.
2. Karena unsur-unsur Pangngaderreng dalam Latoa lebih banyak
mengandung konsep syariat Islam dibandingkan dengan konsep Lantarak Bugis
lainnya.
3. Karena Latoia adalah Lontarak orang Bugis Bone yang justru merupakan
Kerajaan Bugis yang paling terkenal pada periode itu.
4. Karena tokoh sumber yang terlibat dalam Latoa adalah tokoh-tokoh Bugis abad
XV dan XVI (kecuali Nabi Muhammad SAW, dan Lukmanul Hakim).
Berdasarkan penetapan naskah Latoa sebagai data utama lontarak hukum dan moral, maka
ditarik kesimpulan, bahwa Islam sudah dikenal dalam lapisan masyarakat tertentu di Tana Bone
sebelum penerimaan Islam secara resmi oleh Raja Bone. Perhatian besar Raja Bone terhadap
Islam tinggi, hingga beliau pegi ke Sidenreng untuk mendalami Islam sampai wafat di sana.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dalam Lontarak, terdapat subtansi-subtansi Islam
yang sedemikian luas mewarnai pandangan-pandangan dalam Latoa. Buku ini merupakan
salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi
Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.

LATOA: LONTARA TANA BONE

Penulis: Hj. Andi Rasdiyanah

Penerbit: Alauddin University Press

Tempat Terbit: Makassar

Tahun Terbit: 2014

ISBN: 978-602-328-037-7

Anda mungkin juga menyukai